ISI- Mekanisme Neuroinflamasi Pada Nyeri Neuropatik

32
1 BAB I PENDAHULUAN Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan. 1 Sehingga timbul dua asumsi mengenai nyeri yaitu pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pengalaman emosional berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan yang nyata (‘pain with nociception”), dimana keadaan tersebut disebut sebagai nyeri akut. Asumsi kedua menyebutkan bahwa perasaan yang sama juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (“pain without nociception”) disebut nyeri kronis. 1 Nyeri berperan sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap ancaman kerusakan jaringan. 2 Sifat nyeri sebagai pertahanan tubuh dalam mengetahui adanya ancaman kerusakan jaringan lebih ditunjukkan oleh nyeri akut, dimana nyeri kronis di sisi lain memiliki kegunaan perlindungan tubuh yang tidak signifikan , dan dapat menetap walaupun telah terjadi normalisasi setelah terjadinya kerusakan jaringan dan dapat mengganggu produktifitas. 3

description

nyeri neuropatik neuroinflamasi

Transcript of ISI- Mekanisme Neuroinflamasi Pada Nyeri Neuropatik

1

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau cenderung akan terjadi kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukan kerusakan jaringan.1 Sehingga timbul dua asumsi mengenai nyeri yaitu pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan berkaitan dengan pengalaman emosional berkaitan dengan adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception), dimana keadaan tersebut disebut sebagai nyeri akut. Asumsi kedua menyebutkan bahwa perasaan yang sama juga dapat terjadi tanpa disertai kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception) disebut nyeri kronis.1Nyeri berperan sebagai sistem pertahanan tubuh terhadap ancaman kerusakan jaringan.2 Sifat nyeri sebagai pertahanan tubuh dalam mengetahui adanya ancaman kerusakan jaringan lebih ditunjukkan oleh nyeri akut, dimana nyeri kronis di sisi lain memiliki kegunaan perlindungan tubuh yang tidak signifikan , dan dapat menetap walaupun telah terjadi normalisasi setelah terjadinya kerusakan jaringan dan dapat mengganggu produktifitas.3Data yang dikeluarkan tahun 2011 menunjukkan bahwa satu dari tiga orang Amerika menderita nyeri kronis, dan hampir semua juga menderita penyakit jantung, kanker dan diabetes.2 Nyeri kronis menyerang 20% dari populasi Eropa dan lebih banyak terjadi pada wanita dan orang tua.4 Sekitar seperlima dari pasien yang mengalami nyeri kronis diperkirakan menderita nyeri neuropatik.2Diantara beberapa jenis nyeri kronis, nyeri neuropatik merupakan salah satu nyeri yang susah untuk ditangani, dimana belum ditemukannya terapi yang efektif untuk nyeri neuropatik menyebabkan masih tingginya angka prevalensi nyeri tersebut.5 Nyeri neuropatik dapat berkembang setelah adanya suatu kerusakan pada jaringan saraf, dimana perubahan terjadi pada jaringan saraf yang mengalami kerusakan itu sendiri dan sepanjang alur nosiseptif dan alur modulasi desenden pada sistem saraf pusat.6 Saat ini telah ditemukan bukti yang menunjukkan adanya peran dari proses inflamasi yang terjadi pada jaringan saraf baik perifer maupun sentral terhadap nyeri neuropatik, dimana hal ini berkontribusi terhadap timbulnya nyeri persisten.7Neuroinflamasi merupakan mekanisme inflamasi sitem saraf pusat yang terjadi karena adanya respons terhadap trauma, infeksi, dan penyakit neurodegeneratif. Neuroinflamasi memiliki efek neuroprotektif apabila terjadi dalam waktu yang singkat namun neuroinflamasi yang kronis sebaliknya memiliki efek yang berbahaya terhadap sistem saraf pusat. Pada neuroinflamasi ditemukan adanya peran dari komponen imun seluler maupun molekuler.8 Pelepasan mediator selama respons inflamasi memiliki efek terhadap sensitisasi dan stimulasi nosiseptor, perubahan ini dapat menyebabkan adanya plastisitas maladaptif yang terjadi dalam waktu yang lama sehingga berakibat timbulnya nyeri neuropatik persisten.3baru Pemahaman mengenai mekanisme neuroinflamasi sehingga menyebabkan nyeri neuropatik dapat menuntun ditemukannya terapi yang potensial dalam penanganan nyeri neuropatik itu sendiri. 7BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Nyeri Neuropatik

Timbulnya nyeri selain bermanfaat menjadi mekanisme pertahanan tubuh, sebaliknya dapat menyebabkan berbagai ganggguan kualitas hidup apabila terjadi dalam waktu yang lama.1 Apabila nyeri timbul dalam waktu yang lama dapat menjadi sumber masalah, selain berkembang menjadi suatu penyakit fisik itu sendiri, juga dapat mempengaruhi keadaan psikologis pasien, sehingga penanganan terhadap nyeri kronis dibutuhkan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya penderita nyeri neuropatik merupakan 20% dari seluruh penderita nyeri kronis, namun belum ada terapi yang efektif dalam penanganan nyeri neuropatik. Penanganan nyeri neuropatik masih merupakan tantangan dalam penanganan nyeri, karena etiologinya yang bermacam-macam, manifestasi gejalanya yang beragam dan mekanisme terbentuknya nyeri neuropatik itu sendiri masih belum pasti. 2.1.1 Definisi dan Etiologi Nyeri Neuropatik

Menurut The International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang timbul akibat adanya suatu penyakit atau kerusakan pada sistem saraf perifer maupun sentral, dan akibat disfungsi dari sistem saraf.9Etiologi dari nyeri neuropatik itu sendiri dibedakan menjadi penyebab perifer dan sentral.9 Beberapa contoh dari nyeri neuropatik perifer (disebabkan kerusakan sistem saraf perifer) adalah neuropati diabetes, neuralgia pasca herpes, neuralgia trigeminal, nyeri radikuler, nyeri neuropatik kronis pasca bedah, nyeri neuropatik pada kanker. Sedangkan penyebab sentral dari nyeri neuropatik meliputi stroke, cedera pada medulla spinalis, dan multiple sklerosis.102.1.2 Patofisiologi Nyeri Neuropatik

Sebelum membahas mengenai patofisiologi nyeri neuropatik, akan dibahas terlebih dahulu mengenai mekanisme terbentuknya nyeri secara umum. Nyeri dapat timbul akibat adanya rangsangan oleh zat algesik pada reseptor nyeri pada lapisan superfisial kulit dan jaringan dalam tubuh. Serat saraf aferen A( dan C berperan sebagai reseptor nyeri, reseptor ini diaktifkan oleh rangsangan dengan intensitas tinggi seperti rangsang termal, mekanik, elektrik atau kimiawi.4br Terdapat empat proses terbentuknya nyeri yang mengikuti adanya suatu kerusakan jaringan dan nosisepsi yaitu6,8:

1. Transduksi, merupakan proses stimuli nyeri (naxious stimuli) yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas fisik pada ujung-ujung saraf.

2. Transmisi, merupakan proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi. Penyaluran impuls tersebut dilakukan melalui serabut saraf A( dan C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis.

3. Modulasi, adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis.

4. Persepsi, adalah hasil akhir dari proses sebelumnya yang di persepsikan pada kortek sensoris di otak sehiningga menghasilkan sutu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Gambar 2.1 Proses terbentuknya Persepsi NyeriMekanisme terjadinya nyeri neuropati memiliki perbedaan dengan terjadinya nyeri nosiseptif. Pada nyeri nosiseptif diperlukan proses transduksi untuk mengubah impuls yang bukan impuls elektrik (misalnya mekanis) menjadi impuls elektrokimia, sedangkan pada nyeri neuropatik ditemukan adanya stimulasi langsung pada saraf yang menimbulkan impuls elektrokimiawi yang selanjutnya dipersepsikan sebagai nyeri.6

Beberapa mekanisme terjadinya nyeri neuropatik telah diketahui, secara lebih sederhana mekanisme tersebut dibedakan menjadi 3 mekanisme utama meliputi11:

1. Peningkatan aktivitas pada nosiseptof aferen primer (misalnya impuls ektopik sebagai akibat redistribusi abnormal kanal natrium pada serat saraf yang rusak.

2. Perubakan pada pemrosesan sinyal sensoris di sentral (sensitisasi sentral)

3. Penurunan aktivitas neuronal inhibisi di sentral (misalnya dapat disebabkan oleh hilangnya neuron inhibisi)

a. Aktivitas saraf ektopik

Aktivitas saraf ektopik berperan dalam berbagai gejala positif nyeri neuropatik seperti nyeri spontan, kontinyu, dan paroksismal dan hiperalgesia/alodinia primer. Aktifitas saraf ektopik dapat terjadi pada serat aferen nosiseptif (A( dan C), ganglion radiks dorsalis, dan radiks spinalis sehingga menimbulkan sensitisasi perifer.6,11Terjadinya kerusakan pada neuron menyebabkan timbulnya proses inflamasi dan perbaikan jaringan yang mengakibatkan terjadinya fase hipereksitabilitas yang disebut dengan sensitisasi perifer. Normalnya fase ini selanjutnya digantikan dengan timbulnya penyembuhan dan berhentinya inflamasi, namun pada kerusakan yang terus berlanjut perubahan pada neuron aferen primer dapat terus berlangsung.6Beberapa faktor dapat berkontribusi terhadap sensitisasi perifer. Mediator inflamasi seperti kalsitonin, gene related peptide, dan substansia P yang dilepaskan dari terminal nosiseptif , meningkatkan permeabilitas vaskuler , dan memicu terjadinya edema lokal dan pelepasan mediator selanjutnya seperti prostaglandin, bradikinin, growth factor, dan sitokin. Bahan-bahan tersebut dapat mensensitisasi dan mengeksitasi nosiseptor yang berlanjut pada penurunan ambang stimulasi dan cetusan ektopik (ectopic discharge).6,9,11Aktivasi saraf ektopik dapat menyebabkan nyeri spontan dan dapat berasal dari ganglion radiks dorsalis, titik lain sepanjang serat saraf yang mengalami kerusakan, atau bahkan dapat berasal dari serat saraf yang berdekatan yang tidak mengalami kerusakan. Proses eksitasi sel saraf yang berdekatan yang tidak mengalami kerusakan merupakan akibat dari adanya nonsynaptic crosstalk yang disebut dengan transmisi ephaptik.6Salah satu faktor yang berkontribusi dalam timbulnya stimulasi spontan dari serat saraf setelah terjadinya kerusakan neuron adalah peningkatan ekspresi kanal natrium pada ganglion radiks dorsalis dan di sekitar neuroma dari akson yang mengalami kerusakan. Proliferasi kanal sodium heterotropik seperti Nav1.3, Nav 1.7, dan Nav1.8 dapat menurunkan ambang stimulasi dan memprovokasi cetusan ektopik, dan beakibat pada timbulnya nyeri spontan. Selain itu penyebaran kanal natrium dapat memicu sensitisasi sentral dan menyebabkan alodinia. Obat yang dapat bekerja dengan memblokade kanal natrium ini seperti carbamazepin.6Neuron yang terdiferensiasi memiliki kemampuan untuk melakukan fungsi spesifik, seperti contohnya serat A( dan C yang berfungsi untuk mentrasmisikan nyeri. Namun setelah terjadinya kerusakan neuron, terjadi ganggun dari regulasi gen-gen yang berperan dalam mempengaruhi fungsi neuron. Hal ini dapat berakibat pada eksitabilitas neuron serta proses transduksi dan transmisi. Oleh karena ekspresi genetik berpengaruh dalam penentuan karakteristik seluler, gangguan regulasi gen dapat berakibat pada perubahan fenotip serat saraf, sebagai contoh neuromodulator yang biasanya diekspresikan pada serat C (calcitonin, gen related peptide, dan substansia P) juga diekspresikan pada serat saraf yang lain. Hal ini meyebabkan stimulasi yang biasanya tidak dipersepsikan sebagai nyeri, kini diekspresikan sebagai nyeri.6Setelah terjuadinya kerusakan pada saraf sensoris, perubahan atropik (degenerasi Wallerian) menyebabkan penurunan ukuran badan sel dan diameter akson, dan selanjutnya memicu kematian neuron. Hal ini menyebabkan adanya penurunan densitas nosiseptor intraepidermal sehingga berakibat pada hilangnya sensasi, hiperalgesia, dan nyeri yang semakin berat (deafferentiation pain).6b. Sensitisasi Sentral

Pada sirkuit saraf, sinyal nosiseptif yang dihasilkian oleh adanya kersakan saraf dimodulasi oleh inhibisi atau fasilitasi desenden supraspinal pada cornu posterior medulla spinalis. Pada level seluler transmisi sinyal nosiseptif dalam sistem saraf pusat diregulasi oleh elemen seluler dan intraseluler meliput kanal ion (Na+, Ca++, K+), reseptor ionotropik dan metabotropik (seperti glutamatergik, GABAergik, serotoninergik, adrenergic, dan neurokinin), sitokin inflamasi yang dilepaskan oleh sel glia, nerve growth factor, dan regulator intaseluler (protein kinase C) dan faktor trasnkriptional (nuclear factor-KB).6Sensitisasi sentral dapat berkembang sebagai akibat dari aktivitas ektopik pada serat nosiseptif aferen primer tanpa adanya kerusakan struktur dalam sistem saraf pusat.11 Kerusakan pada sistem saraf perifer dapat meningkatkan eksitabilitas medulla spinalis dengan mengaktifkan reseptor glutamate eksitatorik. Kerusakan neuron juga menurunkan regulasi transporter glutamat yang bertanggungjawab dalam mempertahankan homeostasis glutamate pada sinaps. Peningkatan ketersediaan glutamate regional sebagai akibat dari berkurangnya trasporter glutamate meningkatkan aktivasi reseptor glutamate ionotropik (misalnya NMDA dan AMPA) dan metabotropik (misalnya metabotropik glutamate receptor 2) secara persisten. Hal ini berdampak pada penurunan ambang aktivasi neuron dan peningkatan eksitabilitas neuron dan neurotoksisitas. Proses tersebut bermanifestasi sebagai adanya persepsi nyeri sebagai respon terhadap stimulus taktil dan gesekan ringan yang seharusnya tidak dipersepsikan sebagai nyeri.1,6Sitokin proinflamasi diproduksi secara sentral dan perifer sebagai respon terhadap kerusakan neuron. Sitokin proinflamasi memiliki peran yang krusial pada respon inflamasi setelah terjadinya kerusakan neuron melalui mediator intaseluler seperti protein kinase C. Sitokin proinflamasi juga memiliki peran penting dalam sensitisasi sistem saraf pusat dan berkontribusi terhadap terjadinya alodinia, hiperalgesia, dan pembentukan neuroma. Sel glia mengalami transformasi dalam struktur dan fungsi setelah terjadinya kerusakan neuron, dengan astrosit kemudian menghasilkan faktor pronosiseptif seperti prostaglandin, asam amino eksitatorik, dan sitokin. Microglia disisi lain menstimulasi komplemen pada sistem imun dan melepaskan sitokin, kemokin, dan bahan sitotoksik seperti NO dan radikal bebas. Adanya pelepasan sitokin dari astrosit dan microglia memicu terjadinya respon seluler yang berujung pada eksitasi medulla spinalis dan perubahan neuroplastik. 6,11

c. Disinhibisi

Setelah adanya lesi pada saraf, hilangnya inhibisi terjadi sebagai akibat dari disfungsi produksi dan pelepasan GABA serta terganggunya homeostasis intraseluler yang disebabkan aktivitas K+Cl- cotransporter atau peningkatan aktivitas Na+K-Cl- cotrasnporter menyebabkan menurunnya kadar Cl- dan apoptosis interneuron inhibitorik pada medulla spinalis. Menurunnya control inhibisi telah diketahui dapat memprovokasi terjadinya alodinia taktil dan hiperalgesia.6 Pencegahan kematian sel interneuron yang berefek pada menurunnya derajat hiperalgesia termal maupun mekanis menunjukkan adanya pengaruh disinhibisi terhadap nyeri neuropatik.11 2.2 Mekanisme Neuroinflamasi pada Nyeri Neuropatik

Bukti-bukti yang menunjukkan adanya peranan proses inflamasi pada nyeri neuropatik semakin lama semakin banyak ditemukan. Patofisiologi nyeri neuropatik yang telah dijelaskan sebelumnya mencakup adanya inflamasi yang luas pada sistem saraf perifer maupun sentral yang dapat menyebabkan terjadinya nyeri yang persisten.Pembahasan lebih jelas mengenai mekanisme neuroinflamasi serta kontribusinya terhadap terjadinya nyeri neuropatik akan dipaparkan lebih lanjut.

2.2.1 Definisi Neuroinflamasi

Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap adanya kerusakan jaringan dan melibatkan baik system imun seluler maupun pelepasan mediator.7 Inflamasi bertujuan untuk menghindari stimulus berbahaya, membunuh bakteri, membersihkan debris seluler, dan memulai penyembuhan.5 Respons inflamasi terdiri dari fase proinflamasi dimana terjadi pembersihan pathogen, sel yang rusak, dan debris seluler juga terjadi pengembalian hemostasis lokal seperti sebelumnya. Selanjutnya aka nada fase resolusi dimana terjadi perbaikan jaringan, dan hilangnya efek yang berpotensi merusak dari respons inflamasi yang terus menerus.7 Namun apabila inflamasi tersebut tetap persisten dalam waktu yang lama akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan.5

Neuroinflamasi didefinisikan sebagai respons otak terhadap kerusakan jaringan, infeksi, atau penyakit. Respons neuroinflamasi bertujuan membersihkan agen yang berpotensi merusak jaringan saraf atau sisa debris seluler.14 Respons ini terutama dapat dimediasi oleh salah satu dari berikut: mediator yang diproduksi pada sistem saraf pusat yaitu oleh glia pada sistem saraf pusat atau dapat direkrut dari dari sistem perifer oleh karena adanya kerusakan pada sawar darah otak (BBB) yakni berupa limfosit, monosit, dan makrofag dari sistem hematopoietik.8,14

Gambar 2.2 Mekanisme inflamasi setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf 72.2.2 Respons Inflamasi dalam Sistem Saraf PeriferKerusakan pada saraf perifer memicu adanya respons inflamasi lokal yang berkontribusi pada hipersensitivitas neuron. Sel pertama yang bereaksi terhadap kerusakan jaringan saraf adal sel Schwann dan sel imun seperti sel mast dan makrofag. Sinyak tidak spesifik yang berasal akson yang rusak menghasilkan aktivasi jalur pensinyalan extracellular signal-related (ERK) mitogenactivated protein (MAP) kinase pada sel Schwann. Hal ini merupakan kejadian pertama yang memicu ekspresi mediator inflamasi dan perekrutan sel imun ke saraf yang mengalami kerusakan. Sel Schwann yang bermielin mengalami dediferensiasi dan terjadi degradasi selubung myelin pada lokasi kerusakan, yang merupakan syarat untuk terjadinya regenerasi.7Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi, meliputi histamine, serotonin, nerve growth factor, dan leukotrin, yang dapat mensensitisasi nosiseptor dan berkontribusi dalam rekrutmen neutrophil, yang merupakan sel pertama yang menginfiltrasi jaringan yang rusak. Stabilisasi sel mast dengan dengan pemberian sodium cromoglycate mengurangi infiltrasi neutrophil ke sel saraf yang rusak dan menekan perkembangan hipersensitivitas termal dan mekanis. Hal ini menunjukkan pentingnya respons imun awal dalam berkembangnya nyeri neuropatik. 5,7Pemberian antibodi anti neutrophil untuk mengurangi jumlah neutrophil dalam sirkulasi juga memberikan hasil yang mirip yaitu menurunnya derajat hipersensitivitas neuron. Infiltrasi neutrophil pada lokasi kerusakan jaringan terjadi secara akut, mencapai puncak pada beberapa jam pertama pasca terjadinya kerusakan dan menurun setelah 3 hari namun tetap dalam kadar yang tinggi. Neutrophil melepaskan mediator yang mampu mensensitisasi nosiseptor, dan merekrut makrofag dan sel T ke lokasi kerusakan.5Makrofag yang direkrut kemudian menginfiltrasi dan bergabung bersama makrofag pada jaringan yang rusak, bersama-sama dengan sel Schwann berperan dalam fagositosis dan degenerasi akson dan selubung myelin. Selain itu sel-sel tersebut juga mensekresi banyak sitokin/kemokin proinflamasi dan mediator lipid. Sel T ditandai dengan adanya ekspresi molekul permukaan dan dikelompokkan menjadi sel T-helper dan sel T-sitotoksis. Sel T-helper melepaskan sitokin proinflamasi seperti IL-1, TNF-, dan IL-17, dan juga sitokin anti inflamasi seperti IL-4 dan IL-10.5,7Selain pelepasan mediator oleh sel imun, terminal saraf sensoris juga melepaskan neuropeptide seperti substansia P dan Calcitonin Gene Related Peptide (CGRP). Peptida vasoaktif meningkatkan respon imun dengan meningkatkan permeabilitas dan juga secara langsung berinteraksi dengan sel imun seperti sel Langerhans dan makrofag. Selain itu sel tersebut juga dapat memberikan feedback dan mensensitisasi neuron aferen perifer. 7Mediator kimia yang dilepaskan oleh berbagai sel pada respons imun perifer setelah terjadinya kerusakan pada jaringan saraf memberikan efek sensitisasi dan stimulasi nosiseptor yang tidak diinginkan. Dalam jangka waktu yang singkat, hal ini diperlukan untuk memperingati seseorang akan terjadinya kerusakan jaringan dan mengistirahatkan jaringan yang rusak. Namun pada nyeri neuropatik hal ini dapat membuat terjadinya perubahan plastis. Perubahan kimia yang disebabkan oleh respons inflamasi tidak hanya berakibat pada neuron yang rusak namun juga pada neuron aferen yang tidak rusak disekitarnya yang memiliki inervasi yang sama. Akibatnya serat-serat tersebut mengalami aktivitas spontan yang merupakan penyebab nyeri neuropatik. Kerja mediator-mediator inflamasi tersebut dapat secara langsung dengan berikatan pada reseptor pada nosiseptor. Namun dapat juga bekerja secara tidak langsung seperti IL-1b yang secara tidak langsung mensensitisasi nosiseptor dengan meningkatkan sintesis prostaglandin selain secara langsung mensensitisasi nosiseptor melalui kerjanya pada transient reseptor potential vanilloid type 1 (TRPV1) dan reseptor IL-1R itu sendiri.7Respons inflamasi juga memiliki fungsi adaptif yang dapat membantu perbaikan jaringan saraf. Fungsi perbaikan jaringan tergantung pada ekspresi IL-1 dan TNF- dan ablasi sempurna dari makrofag yang berakibat pada gangguan regenerasi akson yang berat. Oleh karena itu terapi analgesik yang bekerja pada respons inflamasi, harus bertujuan untuk mengurangi inflamasi yang luas bukannya meghilangkannya secara total.5Ganglion radiks dorsalis juga merupakan sasaran respons imun setelah terjadinya kerusakan saraf perifer. Invasi netrofil setelah terjadinya kerusakan saraf perifer sekitar 7-14 hari setelah operasi pada ganglion radiks dorsalis diketahui jauh lebih lama terjadi dan dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pada saraf perifer. Kerusakan saraf perifer juga menginduksi infiltrasi sel T ke ganglion radiks dorsalis yang ipsilateral 7 hari setelah terjadinya kerusakan. Makrofag menginfiltrasi ganglion radiks dorsalis ipsilateral, membentuk cincin perineuronal disekitar neuron berukuran medium dan besar 3 hadi setelah kerusakan, dan mencapai puncak pada hari ke-7 lalu berlanjut untuk beberapa minggu. Interaksi ini juga dimediasi sistem sinyal bidireksional antara neuron sensori yang rusak dan sel imun. Neuron sensori yang rusak meregulasi mediator untuk merekrut sel imun, selanjutnya sel imun yang menginfiltrasi jaringan yang rusak juga mensekresi banyak mediator inflamasi, mensensitisasi badan sel neuron dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan perubahan plastis pada neuron.6,7

Gambar 2.3 Mekanisme inflamasi perifer sehingga menimbulkan sensitisasi perifer 72.2.3 Respons Inflamasi Sentral

Tidak seperti saraf perifer dan ganglion radiks dorsalis, medulla spinalis dilindungi oleh sawar darah-medulla spinalis (blood-spinal cord barrier), yang dianggap dapat mencegah masuknya sel imun dari sirkulasi ke medulla spinalis setelah terjadinya kerusakan jaringan saraf. Namun laporan terbaru menyebutkan bahwa kerusakan saraf perifer dapat berakibat pada gangguan pada sawar darah-medulla spinalis dan megizinkan influx sel imun perifer, yang dimediasi oleh monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1, yang juga disebut sebagai CCL2). Hal ini sejalan dengan laporan lain yang menjelaskan sedikitnya kadar sel T yang menginfiltrasi medulla spinalis dorsalis setelah terjadinya kerusakan saraf perifer. Selain itu juga terdapat respon inflamasi sentral yang berat yang melibatkan sel sel yang memang berada di sistem saraf pusat (misalnya mikroglia dan astrosit).7,8Sel glia menyusun 70% dari total populasi sel di otak dan medulla spinalis. Selama bertahun-tahun, fungsi dari sel glia diperkirakan hanya berfungsi sebagai sederhana, yaitu penyangga neurotropic dan proteksi imun. Namun saat ini diketahui bahwa glia memiliki peran penting dalam terbentunya sindrom nyeri persisten. Mikrogia dianggap sebagai makrofag yang menghuni sistem saraf pusat karena mikroglia memiliki property fagositosis yang sama dengan makrofag. Dalam kondisi fisiologis, mikroglia diperkirakan menstabilisasi sistem saraf pusat dengan menilai ada atau tidaknya stimulus dan perubahan yang mengindikasikan adanya ancaman pada homeostasis fisiologis sistem saraf pusat seperti trauma, iskemia, dan infeksi.7,8,13Setelah terjadinya kerusakan saraf perifer, fenotip dari mikroglia mengalami perubahan menjadi proinflamasi atau efektor fenotip yang apabila berproliferasi menjadi sangat motil dan fagositik, mengekspresikan reseptor baru (misalnya ligand-gated ion channel P2X4) dan melepaskan mediator-mediator proinflamasi. Respons mikroglia telah terhadap beberapa model kerusakan saraf telah dipelajari. Secara konsisten didapatkan peningkatan imunoreaktivitas CD11b (OX42/complement receptor 3), yang merupakan penanda transformasi mikrogia menjadi fenotip efektor. Hal ini terjadi dalam medulla spinalis 3 hari setelah terjadi kerusakan saraf, memuncak setelah 7 hari dan mulai mengalami penurunan setelah 14 hari setelah kerusakan. Peningkatan aktivasi mikroglia juga terlihat pada sistem saraf yang lebih tinggi (hipotalamus dan korteks periakuaduktus) setelah terjadinya kerusakan saraf perifer. Oleh karena sulitnya pencitraan mikroglia pada pasien, hanya ada sedikit data yang menunjukkan bagaimana reaksi mikroglia pada nyeri neuropatik pada manusia. Sebuat studi positron emission tomography (PET) scan pada pasien menggunakan ligan untuk reseptor benzodiazepine perifer yang telah diberi radiolabel menunjukkan bahwa mikrogliosis terjadi pada thalamus pasien yang menjalani amputasi dengan phantom pain yang berlangsung lama.7Blockade respons mikroglia menggunakan minosiklin (tetrasiklin generasi kedua) mencegah timbulnya hipersensitivitas yang diinduksi oleh kerusakan jaringan saraf pada tikus percobaan, sehingga memblokade mediator kunci dalam transformasi mikroglia menjadi efektor fenotip. Oleh karena itu jelas terlihat bahwa mikroglia penting dalam inisiasi nyeri neuropatik. Namun masih belum jelas apakah mikroglia juga berperan dalam mempertahankan keadaan nyeri neuropatik. Penggunaan minosiklin relative tidak efektif untuk meredakan nyeri neuropatik yang telah terjadi. Namun nyeri yang telah terjadi dapat diredakan dengan menyasar beberapa sinyal mikroglia utama, misalnya blokade P2X. Walaupun mikrogliosis juga ditemukan pada nyeri neuropatik pada binatang percobaan lain, namun mikrogliosis tidak secara universal berkaitan dengan nyeri neuropatik, mengingat bahwa terbentuknya nyeri neuropatik didasari oleh mekanisme patofisiologi yang berbeda-beda.7Pada tikus percobaan dengan neuropati yang diinduksi diabetes, aktivasi astrositik (tanpa mikroglia) terlihat pada medulla spinalis. Astrosit merupakan tipe glia lain pada sistem saraf pusat dengan karakteristik morfologi seperti bintang (star-like morphology). Dalam keadaan fisiologis normal, astrosit bekerja dengan membersihkan molekul yang bersifat toksik atau molekul dalam konsentrasi besar, dimana hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan homeostasis ektraseluler. Selain itu astrosit juga merupakan modulator yang penting dalam fungsi sinaps. Aktivasi astrosit pada hewan percobaan terjadi beberapa hari setelah kerusakan dan bertahan lebih lama. Setelah terjadinya kerusakan saraf perifer, astrosit membesar, dan meregulasi intermediate filament protein GFAP, vimentin, dan calcium-binding peptide S100b. Tikus percobaan yang kekurangan GFAP normalnya mengalami keadaan seperti nyeri setelah terjadinya cedera pada saraf perifer, walaupun hal ini lebih singkat daripada yng terlihat pada tikus pada umumnya. Selain itu pemberian terapi antisense GFAP pada tikus, 6 minggu setelah kerusakan saraf perifer meredakan perilaku hipersensitivitas. Kedua penemuan tersebut menunjukkan peran astrosit dalam menetapnya nyeri neuropatik.7,122.2.4 Mikroglia dan Astrosit Meningkatkan Eksitabilitas Saraf pada Cornu Posterior Medulla SpinalisPada keadaan nyeri neuropatik, keadaan patologis yang sering ditemukan adalah peningkatan transmisi eksitatorik pada cornu posterior medulla spinalis yang akhirnya menimbulkan nyeri. Telah kita ketahui bahwa peningkatan eksitabilitas ini terjadi melalui komunikasi empat arah yang kompleks antara terminal aferen primer, neuron pada cornu posterior, astrosit, dan mikroglia (dan dapat juga melibatkan tipe sel tambahan seperti limfosit B). 5,7Mikroglia dan astrosit berkontribusi terhadap pelepasan berbagai mediator inflamasi, neuromodulator, dan growth factor. Proses ini bukanlah sekedar proses pasif yang dipicu oleh degenerasi terminal akson,namun merupakan proses aktif yang diinisiasi oleh sinyal kerusakan yang dilepaskan oleh neuron yang rusak. Misalnya, sitokin seperti TNF- meningkatkan amplitudo cetusan eksitatorik yang diinduksi glutamate, sedangkan IL-1b tidak hanya meningkatkan trasmisi eksitatorik sinaps, namun juga mengurangi transmisi inhibitorik. Pelepasan Cathepsin S memecah fraktalkin neuronal dan menghasilkan fraktalkine perangsang soluble, kemudian mengaktifkan mikroglia dalam siklus feedback positif. Brain-derived neurotrophic factor (BDNF), yang dilepaskan oleh mikroglia mengubah ekspresi transporter utama, yaitu KCC2, yang meregulasi gradient anion melewati membran neuron. Akibatnya terjadi pergeseran gradient anion seperti menurunnya efek hiperpolarisasi GABA, yang menyebabkan disinhibisi. 5,7Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemberian morfin dapat meningkatkan ekspresi ligand-gated ion channel P2X4 di mikroglia, pelepasan BDNF, dan perkembangan hiperalgesian. Oleh karena itu, mikroglia tidak hanya penting dalam memulai berkembangnya nyeri neuropatik, namun juga berkontribusi pada beberapa efek samping terapi opioid. Transmisi pada level cornu posterior medulla spinalis dipengaruhi oleh control desenden yang kuat dari batang otak (medulla rostral ventromedial (RVM) merupakan lokus penting dalam modulasi ini). Hal ini juga memiliki komponen fasilitatif dan inhibitorik. Telah ditemukan bahwa tejadi reaksi mikroglia dan astrosit pada RVM, yang berkontribusi pada fasilitasi desenden dan meningkatnya derajat nyeri yang berhubungan dengan hipersensitivitas setelah kerusakan neuron.6,7

Gambar 2.4 Mekanisme sensitisasi cornu posterior medulla spinalis7Seperti yang telah disebutkan, respons inflamasi juga terdiri atas fase resolusi. Sekarang telah diakui bahwa fase ini merupakan fase aktif dari respons inflamasi yang dimediasi oleh molekul proresolusi. Lipoxin (berasal dari asam arakidonat), serta resolvin dan protektin (berasal dari v-3 essential polyunsaturated fatty acids) telah diidenfikasi sebagai molekul proresolusi. Aktivitas antiinflamasi dari molekul ini meliputi mendorong makrofag untuk memfagositosis sel-sel yang mati, penghentian produksi kemoatraktan dan perginya sel inflamasi dari lokasi inflamasi melalui sistem limfatik. Oleh karena itu pendekatan farmakologis yang bertujuan untuk meningkatkan fase proresolusi pada inflamasi, dapat bermanfaat pada penanganan nyeri neuropatik.

2.2.5 Penanganan Nyeri Neuropatik dengan Mengurangi Respons Inflamasi Eksesif

Telah ditemukan bukti kuat bahwa kerusakan pada sistem saraf dapat memicu terjadinya respons inflamasi maladaptif yang berkontribusi terhadap munculnya nyeri persisten. Berbagai mekanisme patofisiologi dapat berakibat pada timbulnya nyeri persisten setelah kerusakan neuron. Sehingga penggunaan biomarker klinis atau molekuler akan bermanfaat untuk memberikan penanganan secara individual (misalnya menyasar inflamasi yang eksesif hanya pada pasien dengan bukti adanya respon inflamasi yang sedang terjadi). Beberapa agen yang memodulasi inflamasi telah digunakan pada beberapa kelompok pasien dengan nyeri neuropatik. Kortikostroid menekan ekspresi sitokin proinflamasi dan imunitas yang dimediasi sel. Kortikosteroid dapat diberikan melalui berbagai rute (oral, perineural, epidural, intratekal) untuk penanganan beberapa kondisi nyeri neuropatik, seperti neuralgia pasca herpes, CRPS, dan nyeri punggung radikuler. Namun, bukti definitif untuk efektivitasnya masih belum ditemukan karena jarangnya studi menggunakan control placebo, beberapa percobaan juga menunjukkan efek yang merugikan.7 Pendekatan lain dilakukan dengan menargetkan pada sitokin tersendiri. Walaupun beberapa penelitian menggunakan obat anti TNF- menunjukkan hasil yang menjanjikan, namun randomized controlled trials menggunakan terapi anti TNF- sistemik atau subkutan tidak menunjukkan efektivitas. Salah satu hal yang menyulitkan adalah aktivitas sitokin yang berlebihan. Terlebih lagi seperti supresi kortikosteroid terhadap sistem imun, agen ini dapat meningkatkan risiko infeksi secara signifikan.5,7Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mendapatkan efek anti inflamasi yang luas adalah penggunaan agen proresolusi seperti resolving. Harapan lain adalah inhibisi dari fungsi mikroglia. Uji klinis terhadap minosiklin untuk pencegahan nyeri intercostal pasca operasi sedang berjalan. Profepentofylline mengurangi produksi radikal bebas dan aktivasi mikroglia. Sebuah randomized controlled trial terhadap agen ini tidak menemukan efektivitas terapi pada pasien dengan neuralgia pasca herpes. Dimana salah satu alas an adanya perbedaan hasil adalah adanya perbedaan antara mikroglia pada tikus percobaan dengan mikroglia pada manusia.7Pendekatan lanjutan akan menargetkan ligand-gated ion channels yang diekspresikan oleh mikroglia (contohnya P2X4 dan P2X7) atau jalur pensinyalan yang mengubah mikroglia ke dalam fase efektor (contohnya p38 MAP Kinase). Sebuah uji double-blind crossover, menemukan bahwa p38 MAP kinase inhibitor secara signifikan mengurangi skor harian pasien dengan nyeri neuropatik.13Berdasarkan hal tersebut, ada tantangan yang lebih besar untuk mengintervensi dan mengurangi neuroinflamasi eksesif. Tantangan ini selanjutnya berkembang untuk mengidentifikasi pasien yang memiliki risiko mengalami nyeri persisten (karena pengobatan akan lebih efektif apabila diberikan pada tahap awal nyeri) dan pasien yang telah mengalami nyeri, juga untuk mengidentifikasi pasien yang mengalami inflamasi yang masih berlangsung dalam upaya penatalaksanaan nyeri secara individual.7,14BAB III

PENUTUPNyeri neuropatik memiliki mekanisme patofisiologi yang beragam, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum efektifnya penanganan nyeri neuropatik. Nyeri neuropatik berhubungan dengan keadaan inflamasi yang berat, dimana keadaan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya nyeri neuropatik yang persisten.

Neuroinflamasi merpakan respons otak terhadap adanya kerusakan jaringan saraf. Respons ini bertujuan untuk membersihkan agen yang yang memiliki potensial memberikan bahaya pada nouron dan membersihkan sisa sel yang mati. Namun apabila respons ini terjadi dalam waktu yang lama akan menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada jaringan sarf itu sendiri. Mekanisme inflamasi pada nyeri neuropatik melibatkan mediator inflamasi perifer yang dapat mensensitisasi sistem saraf di perifer maupun sentral. Mekanisme mediator inflamasi seperti sitokin dan kemokin menjadi nyeri adalah dengan meningkatkan eksitabilitas aferen primer atau dengan memfasilitasi transmisi sinaptik dalam cornu posterior medulla spinalis. Sel glia yang berada dalam sistem saraf pusat juga menyebabkan inflamasi yang semakin berat sehingga dapat meningkatkan eksitabilitas sel saraf pada medulla spinalis dan kemudian menghasilkan nyeri.

Pemahaman mengenai mekanisme inflamasi tersebut dapat membantu ditemukannya sasaran terapi baru dalam penanganan nyeri neuropatik. Pada pasien tertentu, ditemukan adanya harapan penanganan nyeri neuropatik dengan menargetkan pada respons inflamasi, walaupun mash belum ada penelitian klinis yang cukup untuk membuktikannya. Tantangan yang dihadapi saat ini meliputi risiko terjadinya supresi imun akibat penghentian jalur inflamasi.