Mekanisme Nyeri Pada Gigi

28
Pendahuluan Nyeri gigi merupakan salah satu nyeri yang paling sering dijumpai di daerah orofasial.Pada pasien yang datang ke dokter gigi, sebagian di antaranya sangat peka terhadap nyeri, namun sebaliknya tidak jarang dijumpai pasien yang tidak terlalu peka terhadap nyeri. Di sisi lain, terdapat anggapan kuat bahwa perawatan gigi identik dengan nyeri, sehingga menyebabkan pasien menjadi takut dan enggan untuk berkunjung ke dokter gigi. Persepsi nyeri bukanlah sekedar fungsi besarnya stimulus yang ada, namun juga dipengaruhi oleh sistem penekan nyeri endogen.Hampir semua mediator inflamasi menyebabkan aktivasi atau sensitisasi reseptor nyeri, namun juga terdapat beberapa mediator yang berfungsi menghambat nyeri. Adanya perbedaan persepsi nyeri gigi mungkin disebabkan adanya mediator kimia yang menambah sensitivitas terhadap nyeri seperti bradikinin, prostaglandin, substansi P, asam gluitamat atau mediator penghambat lokal seperti opioid lokalm, kanabioid, atau somatostatin. Teori sistem penekanan nyeri endogen didasaran pada keberadaan peptida opioid endogen di beberapa bagian susunan saraf pusat (SSP).Semula dianggap bahwa reseptor opioid ini hanya terdapat di beberapa bagian SSP, namun berbagai penelitian terakhir menunjukkan bahwa peptide opioid juga mengaktifkan reseptor yang ada di perifer, termasuk reseptor opioid µ di dalam pulpa. Telah lama diketahui bahwa kemampuan suatu sel saraf menghantarkan rangsang tergantung pula pada banyak sedikitnya

Transcript of Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Page 1: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Pendahuluan

Nyeri gigi merupakan salah satu nyeri yang paling sering dijumpai di daerah

orofasial.Pada pasien yang datang ke dokter gigi, sebagian di antaranya sangat peka terhadap

nyeri, namun sebaliknya tidak jarang dijumpai pasien yang tidak terlalu peka terhadap nyeri. Di

sisi lain, terdapat anggapan kuat bahwa perawatan gigi identik dengan nyeri, sehingga

menyebabkan pasien menjadi takut dan enggan untuk berkunjung ke dokter gigi.

Persepsi nyeri bukanlah sekedar fungsi besarnya stimulus yang ada, namun juga

dipengaruhi oleh sistem penekan nyeri endogen.Hampir semua mediator inflamasi menyebabkan

aktivasi atau sensitisasi reseptor nyeri, namun juga terdapat beberapa mediator yang berfungsi

menghambat nyeri. Adanya perbedaan persepsi nyeri gigi mungkin disebabkan adanya mediator

kimia yang menambah sensitivitas terhadap nyeri seperti bradikinin, prostaglandin, substansi P,

asam gluitamat atau mediator penghambat lokal seperti opioid lokalm, kanabioid, atau

somatostatin.

Teori sistem penekanan nyeri endogen didasaran pada keberadaan peptida opioid

endogen di beberapa bagian susunan saraf pusat (SSP).Semula dianggap bahwa reseptor opioid

ini hanya terdapat di beberapa bagian SSP, namun berbagai penelitian terakhir menunjukkan

bahwa peptide opioid juga mengaktifkan reseptor yang ada di perifer, termasuk reseptor opioid µ

di dalam pulpa.

Telah lama diketahui bahwa kemampuan suatu sel saraf menghantarkan rangsang

tergantung pula pada banyak sedikitnya kanal ion Na. Semakin banyak kanal ion Na, semakin

baik kemampuan sel saraf dalam menghantarkan rangsang, termasuk stimulus nyeri. Blokade

kanal ion Na akan mengakibatkan terhentinya aliran impuls saraf, termasuk stimulus nyeri.

Berdasarkan afinitasnya terhadap tetrodotoksin (TTX), kanal ion Na dibagi menjadi kanal yang

sensitive dan resisten terhadap TTX.

Pulpa gigi merupakan salah satu jaringan tubuh yang sangat banyak mendapat inervasi

saraf, namun dalam keadaan normal sangat sedikit rangsang sensorik yang dapat dirasakan.Saat

ini telah banyak penelitian yang membuktikan tidak adanya korelasi yang kuat antara nyeri

dengan keadaan jaringan pulpa pada saat inflamasi.Banyak mediator inflamasi telah terbukti

berpengaruh pada persepsi nyeri gigi, khususnya pada saat inflamasi pulpa. Namun di sisi lain,

belum didapati informasi yang memadai mengenai variasi faktor-faktor fisiologis yang

mempengaruhi sensitivitas gigi terhadap nyeri, seperti densitas reseptor opioid- µ maupun

Page 2: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

densitas kanal ion Na. Sekalipun demikian, diyakini bahwa keduanya merupakan faktor-faktor

fisiologis yang sangat berpengaruh pada persepsi nyeri gigi.

Tinjauan Pustaka

1. Persarafan pulpa

Serabut saraf pada pulpa dan dentin merupakan bagian sistem saraf perifer yang juga

termasuk persarafan sensorik pada gingival, epithelial junction, ligamen periodontal, lidah, bibir,

otot-otot mastikasi dan sendi temporomandibular. Masing-masing bagian memberikan informasi

somatosensorik yang berbeda sesuai dengan fungsinya, namun secara bersama memberikan

sistem pengaturan yang terintegrasi pada gigi dan jaringan penunjangnya.

Persarafan pulpa sangat banyak, berasal dari akson trigeminal aferen.Saraf ini umumnya

berfungsi untuk mendeteksi rangsang nyeri.Soma saraf trigeminal terletak pada ganglion

trigeminal yang bercabang menjadi tiga, yaitu serabut maksilaris yang mempersarafi gigi-gigi di

rahang atas, serabut mandibularis yang mempersarafi gigi-gigi di rahang bawah dan serabut

optalmikus.Akson pulpa terdapat pada cabang alveolaris yang masuk ke dalam pulpa melalui

foramen apikalis bersama dengan pembuluh darah intradental.

Secara morfologis, serabut saraf pada pulpa terdiri dari 2 golongan; pertama serabut A

yang bermielin dan mampu menghantarkan rangsang secara cepat. Serabut A masih dibedakan

lagi menjadi A-β yang berukuran sedang.Serabut ini menginervasi dentin dan daerah peralihan

pulpa dentin dekat ujung tanduk pulpa.Berikutnya adalah A-δ yang berukuran kecil, serabut ini

terdapat pada dentin, predentin dan lapisan odontoblas bagian koronal.Ketika berada di bawah

lapisan odontoblas, selubung mielin serabut A-δ menghilang dan selanjutnya membentuk

jaringan syaraf yang disebut plexus of Raschkow yang kemudian menembus lapisan odontoblas

sebagai ujung saraf bebas. Serabut saraf ini masuk ke dalam tubulus dentin sampai sejauh 200

µm. Sekitar 90% serabut A adalah tipe A-δ. Hubungan yang erat antara serabut A-δ dengan

lapisan odontoblas dinamakan kompleks pulpodentin.Kedua adalah serabut C, sebagian besar

serabut saraf pada pulpa adalah serabut C yang tidak bermielin dan lambat menghantar impuls

saraf. Serabut ini dapat dibedakan lagi menjadi jenis nosiseptive C, polimodal nosiseptive C dan

glial-derived neurotrophic factor regulated C fibers. Kurang lebih 80% serabut saraf pada pulpa

adalah serabut saraf tipe C.

Page 3: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Serabut A yang bermielin memberikan respon terhadap berbagai rangsang hidrodinamik

pada dentin seperti misalnya semprotan udara, larutan hipertonik, pengeburan, dan

sondasi.Serabut C adalah polimodal yang berarti serabut ini mampu memberikan respon terhadap

berbagai rangsang yang mencapai pulpa.Serabut ini memiliki ambang rangsang yang tinggi,

sehingga baru dapat diaktifkan oleh perubahan suhu yang ekstrim, baik panas maupun dingin

serta oleh rangsang mekanik.Serabut C juga memberikan respon terhadap mediator inflamasi

seperti bradikinin dan histamin. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa serabut A diaktifkan

oleh sensitivitas dentin yang terjadi akibat adanya dentin yang terbuka, sementara serabut C

hampir selalu diaktifkan ketika pulpa berada dalam kondisi patologis. Di samping itu, serabut C

lebih tahan terhadap keadaan hipoksia dibanding serabut A-δ.Daerah penerima rangsang pada

kedua jenis serabut inipun berbeda, untuk serabut C terletak di dalam pulpa, sehingga tidak dapat

diaktifkan oleh stimulasi pada dentin.Sebaliknya untuk serabut A, daerah penerima rangsang

terdapat pada permukaan dentin, yang berupa titik kecil dengan diameter beberapa millimeter.

Kemampuan menghantarkan nyeri gigi hanya terdapat pada serabut A-δ dan serabut C.

Serabut A yang terletak di bagian perifer pulpa memiliki ambang rangsang rendah, dapat

mengalirkan nyeri yang tajam dan cepat karena memiliki mielin.Serabut A-δ memiliki diameter

1-5 µm. Serabut ini berada dalam hubungan yang rapat dengan odontoblas dan ujung serabutnya

masuk ke sebagian besar tubulus dentin.Sebaliknya serabut C tidak mempunyai mielin sehinga

diameter aksonnya lebih kecil berdiameter 0,4 – 1 µm dan dapat menghantarkan nyeri yang

tumpul.Ujung sarafnya berakhir di dalam pulpa atau di sekeliling pembuluh darah. Perbedaan

diameter ini berpengaruh pada kecepatan hantar impulsnya, serabut A-δ mampu menghantarkan

impuls saraf 6-30 m/detik, sementara serabut C hanya 0,5 – 2 m/detik. Di samping itu, serabut A-

δ memiliki ambang rangsang yang relative rendah dibandingkan dengan serabut C.

Selain serabut sensorik, di dalam pulpa juga dijumpai serabut saraf simpatis dan

parasimpatis.Kedua serabut saraf otonom ini terletak di bagian dalam pulpa sepajang pembuluh

darah dan jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan serabut saraf sensorik.Serabut saraf otonom

ini mempunyai peran dalam pengaturan aliran darah ke pulpa, khususnya serabut saraf simpatik

yang menyebabkan vasokonstriksi.Fungsi serabut parasimpatis kurang berarti jika dibandingkan

dengan serabut saraf simpatis, sekalipun dapat dijumpai neurotransmitor seperti asetilkolin

dalam pulpa.

Page 4: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

2. Sensitisasi pulpa terhadap nyeri

Mediator inflamasi seperti histamine, bradikinin , prostaglandin, xerotonin, substansi P,

calcitonin-gene related peptide (CGRP) dan lekotrin dapat menyebabkan nyeri secara langsung

dengan mengaktifkan atau menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri. Secara tidak langsung,

mediator inflamasi tersebut juga menyebabkan nyeri dengan cara memulai serangkaian proses

inflamasi yang menyebabkan bertambahnya permeabilitas vaskuler, edema dan akhirnya

meningkatkan tekanan intar pulpa.

Beberapa mediator kimia mampu mengaktifkan ujung saraf nosiseptive seperti

bradikinin, sementara yang lain menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap efek mediator

lain, misalnya prostaglandin. Sensitisasi reseptor nyeri artinya ambang rangsang terhadap panas,

dingin ataupun stimulus lainnya berkurang. Proses sensitisasi reseptor nyeri ini memberikan

implikasi klinik yang penting untuk menjelaskan fenomena hiperalgesia dan allodinia.

Inflamasi akut yang disebabkan orofacial ataupun stimulus mekanik lainnya yang

menyebabkan kerusakan jaringan dentin dapat menimbulkan hiperalgesia dan allodinia.

Hiperalgesia adalah bertambahnya nyeri yang berasal dari suatu stimulus nyeri, sedangkan

allodinia adalah menurunnya ambang rangsang nyeri, sehingga suatu stimulus ringan bias

membangkitkan nyeri. Hiperalgesia dan allodinia ditandai dengan nyeri spontan, berkurangnya

ambang rangsang nyeri dan bertambahnya respon terhadap stimulus yang

menyakitkan.Sekalipun keadaan ini disebabkan oleh suatu inflamasi pada pulpa, namun

mekanisme penyebabnya belum diketahui dengan pasti.Diduga kenaikan tekanan dan keberadaan

beberapa mediator kimia seperti bradikinin, lekotrin, xerotonin, prostaglandin dalam pulpa ikut

berperan pada terjadinya hiperalgesia dan allodinia.

3. Sistem penghambat nyeri

Transmisi nyeri ke SSP dapat mengalami modulasi di beberapa sinap awal di medula dan

spinal dorsal horn oleh sistem penghambat nyeri endogen. Sistem ini akan diaktifkan oleh nyeri

atau stress. Sistem analgesic endogen adalah salah satu kemampuan SSP dalam mengatur

informasi sensorik yang didapatnya. Dalam SSP, sistem ini terdapat pada bagian periaaquedectal

grey, medulla dan spinal chord. Pada masing-masing bagian dapat dijumpai peptide opioid

endogen seperti enkefalin, dinorfin, dan endorphin.Peptida ini memiliki sifat mirip golongan

opioid seperti morfin, kodein.

Page 5: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Telah diketahui bahwa bradikinin merupakan mediator inflamasi utama pada pulpa yang

dapat mengaktifkan nosiseptor secara langsung. Namun demikian, pada pasien yang memiliki

riwayat nyeri ternyata memiliki kadar bradikinin yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien yang sedang mengalami nyeri pada saat pengukuran kadar bradikinin dilakukan. Dengan

demikian tidak dijumpai adanya korelasi antara intensitas nyeri dan kadar bradikinin dalam

pulpa.

Beberapa mediator inflamasi seperti opioid endogen dan somatostatin bekerja dengan

menghambat reseptor nyeri.Pemberian morfin secara topikal pada kavitas yang dalam ternyata

dapat menghilangkan nyeri pulpa yang mengalami inflamasi.Hal ini membuktikan adanya sistem

penghambat nyeri di dalam pulpa yang dapat menjelaskan kasus inflamasi pulpa tanpa disertai

dengan keluhan nyeri.

Jika semula diduga obat golongan opioid mempunyai sifat analgesic karena efeknya pada

SSP.Kini telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa opioid juga bekerja di perifer.

Suntikan ke ligament periodontal gigi yang mengalami inflamasi dapat menginduksi analgesia,

demikian pula pencampuran morfin ke dalam larutan anestesi lokal memberikan efek analgesik

yang bertahan hingga 12 jam seteleh prosedur .

4. Reseptor opioid-µ

Untuk merespon secara tepat terhadap lingkungannya, pulpa harus mampu

mengintegrasikan semua informasi yang masuk dari berbagai ligan seperti europeptida, growth

factors dan amin vasoaktif.Ligan ini berkerja melalui berbagai jalur intraseluler.Reseptor yang

berpasangan dengan protein G memainkan peranan penting dalam mengatur second messenger

dan efektor. Opioid endogen akan berinteraksi dengan reseptor yang berpasangan dengan proten

G1 yang menghambat efektor adenilat siklase akan menyebabkan efek analgesik.

Opioid adalah analgesik yang sangat poten dan sering digunakan di bidang kedokteran

gigi dalam bentuk kombinasi dengan asetaminofen, asetosal dan ibuprofen.Sebagian besar opioid

yang digunakan bekerja pada reseptor opioid-µ yang terletak di beberapa lokasi penting di

SSP.Aktivasi reseptor ini menghmbat transmisi nyeri dari nucleus trigeminal ke daerah otak

yang lebih tinggi.Opioid juga dapat mengaktifkan reseptor opoiod yang terdapat di perifer,

khusunya dalam pulpa.

Diketahui paling sedikit terdapat 3 reseptor opioid, yaitu µ(mu), δ (delta), dan K(kappa)

yang masing0masing memiliki afinitas berbeda terhadap peptide opioid endogen seperti

Page 6: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

endorphin, dinorgin dan enkefalin. Morfin dan sebagian besar derivatnya yang mempunyai efek

analgesic kuat bekerja dengan berinteraksi pada reseptor- µ.

5. Kanal ion Na

Merupakan suatu jenis protein yang terintegrasi padamembran plasma, yang mempunyai

peranan penting dalam menghantarkan rangsangan syaraf.Sinyal neuronal bergantung pada

perubahan perbedaan potensi listrik yang cepat di membrane plasma.Sekaipun sebagian besar sel

memiliki kemampuan menyalurkan sinyal intraselular secara lokal, hanya sel syaraf dan sel otot

yangdapat menghantarkan sinyal secara cepat untuk jarak yang jauh.Hal ini disebabkan kedua

jenis sel tersebut memiliki kanal ion yang sangat padat pada membran selnya.Namun demikian

kanal ion yang terdapat pada sel saraf dan otot, tidaklah bebedasecara mendasar dibandingkan

kanal pada sel tubuh lainnya.

Kemampuan suatu sel saraf dalam menghantarkan rangsang tergantungpadabanyak

sedikitnya kanal ion Na. Pada akson yang tidak bermielin, densitas kanal ini sangat rendah, yaitu

antara 35-500 kanal per micrometer persegi, sebaliknya pada akson yang bermielin kanal ion Na

terkonsentrasi pada nodus Ranvier dengan kepadatan berkisar 1000-2000 kanal untuk luas yang

sama. Semakin banyak kanal ion Na, semakin baik kemampuan sel saraf tersebut dalam

menghantarkan rangsang.

Kanal ion Na termasuk kanal yang dapat membuka karena perbuhan tegangan listrik

(voltage-gated channels). Kanal ini dapat dibedakan menjadi 2, yaitu kanal ion Na yang sensitive

terhadap tetrodotoxin (TTX), suatu racun yang dihasilkan ole Pacific puffer fish, sejenis ikan laut

yang sering dikonsumsi masyarakat di Jepang. TTX memiliki afinitas yang sangat besar,

sehingga dalam kisaran kadar nanomolar saja sudah dapat berakibat fatal. Kanal ini tedapat pada

semua sel saraf sensorik. Jenis lain adalah kanal ion Na yang resisten terhadap TTX, karena TTX

baru dapat memblokade dalam kisaran dosis 10 mikromolar pada neuron nosiseptif.

Dalam keadaan inflamasi, beberapa serabut aferen dapat mensisntesis kanal ion Na yang

resisten terhadap TTX. Kanal ini terdapat pada serabut C dan sulit sekali diblok oleh larutan

anestesi lokal, sehingga dibutuhkan dosis lidokain 4 sampai 5 kali lipat untuk dapat memblok

impuls pada serabut aferen tersebut. Kanal ini menyebabkan sensitisasi serabut C dan

hiperalgesia pada infalamasi pulpa.

Page 7: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

6. Nyeri Gigi

Dewasa ini, nyeri dianggap sebagai peristiwa yang kompleks, bukan lagi sekedar sebuah

kejadian.Nyeri dapat dirasakan tanpa adanya kerusakan jaringan maupun keadaan patologis

lainnya.Oleh karena itu, nyeri selalu dianggap sebagai keadaan subyektif yang dipengaruhi oleh

stress, kecemasan, dugaan, gender dan budaya.Lebih lanjut dikatakan bahwa aktivitas nosiseptor

pada sistem saraf yang dibangkitkan oleh suatu stimulus tidak dapat dianggap sebagai satu-

satunya faktor yang berpengaruh pada nyeri.

Telah lama diperdebatkan apakah nyeri merupakan modalitas sensor khusus yang

mempunyai ujung saraf dan jalur ke SSP tersendiri atau merupakan akibat stimulasi yang

berlebihan pada ujung saraf aferen atau karena pola tertentu akibat stimulasi pada ujung saraf

aferen yang mampu menghantarkan berbagai modalitas. Beberapa hasil percobaan tampak

mendukung teori spesifisitas, seperti misalnya bila stimulasi diberikan pada serabut C yang tidak

bermielin dan serabut A-δ yang kecil dan bermielin, maka pasien akan merasakan nyeri, namun

bila serabut besar bermielin yang distimulasi pasien, akan merasakan sensasi sentuh. Sebaliknya

bila diberi anestesi local, maka yang pertama hilang adalah sensasi nyeri, sedangkan sensasi

tekan / sentuh baru hilang beberapa saat kemudian, karena serabut kecil yang akan dihambat oleh

obat anestesi lokal lebih dahulu dibandingkan serabut yang besar.

Tidak semua nyeri dapat dijelaskan dengan teori spesifisitas.Beberapa jenis nyeri ternyata

lebih dapat diterangkan dengan teori pola.Menurut teori ini, nyeri disebabkan oleh stimulasi pada

berbagai jenis neuron sensorik, tidak selalu berasal dari stimulasi nosiseptor.Dengan demikian,

stimulus noksius tidak selalu dibutuhkan untuk persepsi nyeri, sebaliknya pada stimulus yang

menyebabkan sensasi nyeri.Hal ini dapat menjelaskan mekanisme alodinia.

Penyebab nyeri gigi yang lain adalah rangsang fisik maupun kimia yang menyebabkan

inflamasi pada pulpa. Pada keadaan ini reseptor nyeri akan mendeteksi adanya mediator

inflamasi yang disintesis oleh soma sel saraf. Jika mediator tersebut mencapai kadar yang cukup

untuk mengaktivasi reseptor, maka neuron nosiseptif menjadi aktif.

Terdapat 2 tipe diagnosis untuk pulpa: (1) Berdasarkan temuan klinis dan (2) berdasarkan

temuan histologis. Tujuan dari diagnosis klinis ialah untuk menggunakan informasi klinis yang

relevan untuk menetapkan gigi yang menyebabkan adanya gejala, dan membuat keputusan yang

tepat berdarkan kondisi histologis dari pulpa gigi. Tanda-tanda klinis, gejala dan tes diagnostik ,

Page 8: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

dalam banyak kasus, tidak berhubungan dengan status histopathologic yang sebenarnya dari

pulpa. Satu alasan untuk perbedaan ini adalah bahwa inflamasi pulpa dan periapikal bersifat

asymtomatic dalam banyak kasus. Bila ada gejala, dokter gigi hanya bisa berspekulasi tentang

kondisi histopatologi dari pulp. Secara klinis, pulpa dapat didiagnosis sebagai pulpa yang sehat,

pulpa yang terlukai namun mampu memperbaiki dirinya sendiri setelah menghilangkan iritasi

(pulpitis reversibel) atau pulpa yang rusak lalu diperbaiki (baik pulpitis ireversibel atau

nekrosis). Secara histologi, pulpitis digambarkan sebagai akut, kronis, atau hiperplastik.

Pulpa Sehat

Pulpa sehat sifatnya vital dan bebas dari peradangan. Pulpa sehat dapat dirangsang

dengan pengujian sensitivitas dingin dan panas, menghasilkan nyeri yang ringan dan berlangsung

selama tidak lebih dari 1 sampai 2 detik setelah stimulus itu hilang. Serabut saraf aferen

bermielin (A-delta) dan tidak bermielin (C-fiber) sangat berpengaruh mengontrol kepekaan

pulpa gigi. Bekerja di bawah kemampuan pathophysiologic yang berbeda, kedua serabut saraf

sensorik menyalurkan nociceptive masuk ke otak.Perbedaan antara dua serabut sensorik ini

memungkinkan pasien untuk membedakan dan mengkarakterisasi kualitas, intensitas, dan durasi

respon nyeri.

Biasanya gigi sensitif bila terkena iritasi. Gejala klinis dari rasa nyeri pada serat A-ð

berfungsi untuk menandakan bahwa komplek pulpodentinal masih utuh dan mampu merespon

suatu gangguan eksternal.Hal ini merupakan respon normal dari pulpa vital.Banyak dokter gigi

telah membuat kesalahan menginterpretasikan nyeri pada dentin ini sebagai indikasi pulpitis

reversibel.Sensitivitas dentin atau nyeri harus dibedakan dari inflamasi pulpa.

Dentin Hipersensitif

Istilah hipersensitivitas dentin telah digunakan untuk menggambarkan kondisi spesifik

yang didefinisikan sebagai nyeri yang timbul dari dentin yang terekspos. Biasanya rasa nyeri

timbul setelah mendapatkan rangsang termal, rangsang kimia, taktil, atau osmotik dan tidak

disebabkan oleh defek pada gigi atau suatu keadaan patologis lainnya. Rasa nyeri ini konsisten

dengan respon berlebihan dari kompleks pulpodentinal yang normal, dan sudah parah dan

menyebabkan rasa yang tajam pada penerapan stimulus pada dentin terekspos. Namun, tidak ada

rasa tidak nyaman yang berlangsung lama sekali jika stimulus dihilangkan.

Page 9: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Ada beberapa teori yang telah diajukan dan setiap teori memiliki kekurangan sehingga

mendukung anggapan bahwa keadaan itu ditimbulkan oleh lebih dari satu mekanisme. Ketiga

mekanisme yang telah diajukan tersebut adalah: (1) persarafan langsung dari dentin, (2)

odontoblas sebagai restptor, dan (3) teori hidrodinamik.

(1) Persarafan Langsung

Saraf memang ada di dentin.Namun, saraf-saraf ini hanya terdapat di predentin dan

sepertiga-dalam dari dentin termineralisasi.Saraf tidak dijumpai di sepertiga-luar, di PED atau

PSD, yang merupakan daerah yang sangat sensitif.Lebih jauh lagi, tidak seperti pada jaringan

yang mengandung saraf lainnya, zat penimbul nyeri atau zat pereda nyeri yang diaplikasikan ke

dentin tidak menimbulkan potensial aksi (respons saraf).Oleh karena itu, konsensusnya adalah

bahwa walaupun saraf yang berasal dari trigeminus memang terdapat di dentin, stimulasi

langsung dari saraf-saraf ini tidak merupakan mekanisme utama dalam menimbulkan sensitivitas

dentin.

(2) Odontoblas sebagai Reseptor

Teori ini awalnya timbul ketika diketahui bahwa secara embriologi odontoblas berasal

dari batang saraf dan bahwa pewarnaan odontoblas untuk asetilkolin adalah positif.Akan tetapi,

penelitian yang kemudian dilakukan menunjukkan bahwa prosesus odontoblas tidak mengisi

seluruh dentin dan bahwa potensial membran odontoblas masih terlalu rendah bagi

berlangsungnya transduksi. Walaupun demikian, teori ini memperoleh kredibilitasnya kembali

ketika ditemukan bahwa pada beberapa gigi prosesus odontoblas benar-benar berada sepanjang

ketebalan dentin dan bahwa gap junction benar-benar ada di antara odontoblas dan mungkin

antara odontoblas dengan saraf. Saat ini dukungan terhadap teori transduksi tidak begitu banyak.

(3) Teori Hidrodinamik

Teori hidrodinamik, diusulkan oleh Brannstrem dan Astrom, memuaskan sebagian besar

data morfologik dan eksperimental yang berkaitan dengan sensitivitas dentin. Teori ini

mempostulasikan bahwa pergerakan cairan yang cepat di dalam tubulus dentin (ke luar dan ke

dalam) akan mengakibatkan distorsi ujung saraf di daerah pleksus saraf subodontoblas (pleksus

Raschkow) yang akan menimbulkan impuls saraf dan sensasi nyeri. Ketika dentin dipotong, atau

Page 10: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

ketika larutan hipertonik diletakkan di atas permukaan dentin yang terpotong, cairan akan

bergerak ke luar dan mengawali nyeri. Prosedur yang menyumbat tubulus, seperti

mengaplikasikan resin di permukaan dentin atau membuat kristal di dalam lumen tubulus, akan

menginterupsi aliran cairan dan mengurangi sensitivitas.

Pada gigi yang utuh, aplikasi dingin dan panas pada permukaan gigi menimbulkan

kecepatan kontraksi yang berbeda dalam dentin dan cairan dentin; hal ini mengakibatkan

pergerakan cairan dan diawalinya rasa nyeri. Respons ini akan menghebat jika dentinnya

terbuka. Pada akhirnya, semua rangsang hidrodinamik akan menghasilkan efek mekanis yang

mengaktifkan reseptor nyeri. Rangsang hidrodinamik yang dimaksud antara lain penguapan zat,

pengeringan, perubahan suhu baik panas maupun dingin, larutan hipertonik.

Teori hidrodinamik telah diterima walaupun tidak lepas dari kritik.Menurut teori ini

diperlukan keberadaan pleksus Raschkow, tetapi hipersensitivitas dentin tetap terjadi pada gigi

yang pulpanya rusak parah.“Cilium” dalam tubulus dentin utuh dapat berupa hidrogel yang

relatif padat dengan konduktivitas hidrolik yang kecil dan bukan berupa cairan jaringan

sederhana seperti dikatakan pertama kali oleh Brannström.Akhirnya, sensitivitas yang

ditimbulkan oleh aplikasi dingin dan panas dapat diterangkan melalui keberadaan reseptor termis

pada pulpa dan melalui teori hidrodinamik.

Nervus-nervus sensoris pulpa dikategorikan dalam Aβ dan Aδ bermielin, dan serabut-C

yang tidak bermielin. Yang tajam, sakit yang terlokalisir pada hipersensitif dentin dianggap

bergantung pada nervus Ad.Seluruh nervus ada pada batas ambang untuk hal itu.Pada kondisi

yang normal, ambang ini sifatnya konstan. Bagaimanapun, pada tubuli dentin pasien, produk-

produk bakteri yang berasal dari plak secara perlahan akan berdifusi ke dalam pulpa di mana

dapat menginduksi tingkat inflamasi (akut dan kronis) yang bervariasi. Sitokin dan mediator

yang terkait dengan inflamasi dianggap untuk menurunkan saluran natrium yang normal

(sensitive terhadap Tetrodotoxin(TTX)) dan menaikkan ekspresi dari saluran sodium yang

resisten terhadap TTX, seperti misalnya saluran Navl.8. Kami berspekulasi bahwa inflamasi

pulpa yang ringan di bawah sensitifitas yang paten dari tubuli dentin dapat menginduksi ekspresi

hipersensitivitas dentin .

Scanning studi mikroskopis elektron menunjukkan bahwa dentin hipersensitif memiliki

jumlah permukaan tubulus tujuh kali lebih banyak dibanding jumlah tubulus dentin yang tidak

sensitif. Meskipun tubulus dentin dari gigi yang tidak sensitif tertutup, celah dari tubulus dentin

Page 11: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

yang hipersensitif sifatnya terbuka, atau melebar.Studi menunjukkan bahwa tubulus yang terbuka

bersifat paten untuk pulpa, dan sebagai hasilnya, bakteri dan produk beracunnya dapat

berpenetrasi ke dalam dentin dan menyebabkan peradangan.

Ketika ada gejala yang berhubungan dengan dentin terbuka, diagnosisnya adalah

hipersensitivitas dentin. Namun, ketika ada faktor etiologi khusus yang menyebabkan

sensitivitas, seperti karies, fraktur, restorasi bocor, atau perawatan restoratif terakhir, gigi dengan

pulpa vital mungkin menunjukkan gejala yang identik dengan hipersensitivitas dentin. Ketika

gejala berkembang dalam situasi ini, diagnosis yang tepat adalah pulpitis reversible. Jadi riwayat

yang cermat, bersama dengan pemeriksaan klinis dan radiografi, diperlukan untuk

menyimpulkan diagnosis definitif hypersentivity dentin. Diagnosis definitif lebih sulit ketika

penyebab klinis pulpitis reversibel ada dalam kombinasi dengan dentin terbuka.

Hipersensitivitas dentin mungkin timbul gejala yang kompleks, melainkan hasil dari

transmisi rangsangan di seluruh dentin terbuka.Meskipun mekanisme yang tepat untuk

sensitivitas gigi tidak diketahui, mekanisme hidrodinamik, sebagaimana dikemukakan oleh

Brannstrorm, adalah teori yang paling sering dikutip.

Reversible Pulpitis

Iritasi eksternal yang besar dan lama dapat menciderai pulpa. Meskipun cidera tersebut

menyebabkan inflamasi pada jaringan, terhentinya proses cidera pulpa ditentukan oleh sifat dan

besar cidera serta dinamika respon inflamasi. Berdasarkan tanda klinis, gejala dan tes diagnostik,

Page 12: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

reversible pulpitis merupakan pulpa vital yang terinflamasi namun memiliki keampuan reparatif

dengan menghilangkan iritannya.

Pulpa normal dan reversible pulpitis sulit dibedakan.Sebagai contoh, karies, kebocoran

tumpatan, resesi perlekatan aparatus, erosi daerah servikal, begitu pula penyakit periodontal dan

prosedurnya menyebabkan hipersensivitas dentin.Perkiraan intensitas nyeri dapat langsung

diketahui saat stimulasi.Riwayat dental, dan pemeriksaan yang cermat memungkinkan klinisi

membedakan pulpa normal, dentin hipersensitf, dan reversible pulpitis.

Rasa nyeri pada pulpa sering terjadi setelah perawatan dan biasa disebabkan oleh

preparasi kavitas dan mahkota. Cidera pulpa dapat pula disebabkan oleh panas, gaya tekan,

desikasi dentin, komponen toksik yang terdapat pada bahan restorasi, khususnya kebocoran tepi

yang menjadi tempat kolonisasi bakteri pada batas dentin dan restorasi. Respon histologik

terhadap karies yang kerap terjadi adalah inflamasi kronis.Rasa nyeri yang sering terjadi saat

prosedur operatif dilakukan adalah pulpitis kronis asimpomatik, berhubungan dengan eksaserbasi

akut yang pernah ada.

Setelah ditumpat dengan restorasi amalgam, hipersensitivitas terhadap rangsang termal

akan terjadi selama beberapa minggu. Amalgam akan mengalami kontraksi setelah penumpatan

dan terbentuk celah berukuran 10mm-15mm antara restorasi dan dentin. Cairan pada celah

tersebut mendukung berkembanganya bakteri.Aplikasi rangsang dingin dapat menimbulkan

nyeri karena terjadi kontraksi cairan dentin pada celah tersebut.Pergarakan cairan yang cepat

dalam tubuli dentin merangsang serabut saraf pulpa. Nyeri karena rangsangan dingin biasanya

hilang setelah beberapa minggu, karena produk korosi amalgam akan mengisi celah tersebut, dan

protein plasma serta sisa-sisa sel dari pulpa menutupi tubuli dentin. Pembentukan reparatif dentin

terjadi bersamaan denga respon inflamasi pulpa dan cenderung menutup tubuli dentin.

Terjadinya korosi dapat dipercepat bila restorasi amalgam dipertemukan dengan bahan

yang terbuat dari logam berbeda, seperti crown dari emas. Arus galvanik yang dihasilkan

merambat melalui logam, diteruskan ke pulpa dan gingiva, dan menyebabkan hipersensitivitas

dan nyeri. Ketika permukaan film terbentuk, rasa nyeri akan mereda dalam waktu yang relatif

singkat.

Penggunaan resin komposit dapat mengurangi tejadinya kebocoran tepi.Restorasi

komposit dapat menyebabkan sensitivitas saat mengunyah setelah penumpatan.Pada banyak

kasus, gejala ini disebabkan oleh pergerakan cairan dentin.Peneliti menemukan bahwa

Page 13: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

pergerakan cairannya lebih besar dari pergerakan cairan dentin yang direstorasi dengan

amalgam.Cairan dapat mendukung perkembangan mikroorganisme yang mungkin tertinggal di

tubuli dentin, dan juga mikroorganisme baru yang masuk ke dentin melalui batas dentin-

restorasi.

Telah dijelaskan bahwa setelah cidera ringan pulpa akibat restorasi kavitas dangkal, serat

saraf CGRP dan serat saraf substansi P dalam pulpa bertambah banyak dengan cepat.Serat yang

baru berkembang ini biasanya hilang dalam beberapa minggu.

Irreversible Pulpitis

Pulpa berada dalam lingkungan yang rigid, teremenineralisasi, dan memiliki kemampuan

yang sangat terbatas untuk meningkatkan volumenya selama masa inflamasi.Dalam lingkungan

yang rendah-penyesuaian, respon peradangan yang intens dapat menyebabkan peningkatan yang

merugikan pada tekanan jaringan, melampaui mekanisme kompensasi pulpa untuk

menguranginya. Proses peradangan menyebar secara sirkumferensial dan secara bertahap

melewati pulpa, melangsungkan siklus destruktif.

Dengan rangsangan, pulpa vital yang terluka dengan inflamasi local yang dibentuk dapat

mengeluarkan gejala dari serabut nyeri A-δ. Dengan adanya inflamasi, respon menjadi

berlebihan dan tidak semestinya dengan stimulus yang dihadapi, dimana yang sering adalah

stimulus panas.Mediator inflamasi menginduksi jenis hyperalgesia dan salah satu gejala klasik

dari irreversible pulpitis adalah rasa sakit yang berkepanjangan dari stimulus panas. Rasa sakit

yang berlebihan dari serabut nyeri A-δ mereda,dapat timbul rasa sakit yang tumpul, berdenyut.

Gejala nyeri kedua ini menandakan keterlibatan inflamasi dari serat saraf nosiseptif C.

Dengan meningkatnya inflamasi dari jaringan pulpa, serabut nyeri C menjadi satu-

satunya fitur nyeri.Rasa sakit yang mungkin muncul singkat, rasa tidak nyaman berlama-lama

bisa meningkat ke episode berkepanjangan atau sakit yang konstan, menyebar, berdenyut. Rasa

sakit yg spontan (tanpa ada rangsangan) adalah tanda lain dari ireversibel pulpitis. Jika sakit

pulpa berkepanjangan dan intens, efek pusat rangsang memproduksi sakit berlanjut ke bagian

yang jauh atau gigi yang lain. Ketika serabut nyeri C mendominasi serabut nyeri A-delta, rasa

sakit lebih menyebar dan kemampuan dokter gigi untuk mengindentifikasi gigi yang bermasalah,

melalui provokasi, berkurang. Sering kali dokter menemukan pulpa bermasalah dengan

ireversibel puplpitis tanpa pathosis periradikular merupakan yang paling susah untuk

Page 14: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

didiagnosis. Jika serabut saraf proprioseptif periradikular tidak terinflamasi, maka gigi tidak akan

sakit di perkusi dan akan susah untuk melokalisasi gejalanya.

Kadang-kadang pembuluh darah yang terinflamasi memberikan respon terhadap dingin,

dimana memvasokonstriksi pembuluh yang dilatasi dan mengurangi tekanan jaringan. Rasa lega

sementara dari rasa sakit yang intens disediakan; ini menjelaskan mengapa beberapa pasien

membawa air es pada saat janji perawatan darurat. Rasa lega yang disediakan oleh stimulus

dingin didiagnosis dan mengindikasikan bahwa vital irreversible inflamasi pulpa telah menjadi

semakin nekrotik. Dengan tidak adanya intervensi dari endodontik, kondisi yang cepat

memburuk kemungkinan besar akan berkembang menjadi akut periradikular abses.

Serabut nyeri C adalah gejala tidak menyenangkan yang menandakan bahwa kerusakan

irreversibe jaringan local telah terjadi. Irreversible pulpitis adalah istilah klinis yang

menunjukkan bahwa pulpa terinflamasi, dimana pulpa vital kekurangan kemampuan reparatif

untuk kembali sehat. Perawatan yang diindikasikan adalah perawatan saluran akar atau ekstraksi

gigi.

Nekrosis Pulpa.

Tidak ada gejala yang tepat dari nekrosis pulpa, karena saraf sensori pulpa telah hancur.

Bagaimanapun, rasa sakit bisa timbul dari jaringan periradikular yang terinflamasi karena

degenarasi pulpa.Nekrosis bisa penuh atau sebagian, dimana berbagai gejala bisa timbul.Ini bisa

membingungkan, karena adanya dari beberapa jaringan vital yang tersisa di dalam sebagian

sistem saluran akar.Kondisi ini yang paing umum pada gigi dengan banyak akar. Pada

kebanyakan kasus tidak ada respons dari tes sensitifitas pulpa panas atau elektrik, namun, respon

vital kadang-kadang ditemui. Gambaran radiografis mungkin tidak menunjukkan

abnormalitas/kelainan, pelebaran ligamen periodontal, atau radiolusensi periradikular.Karena

adanya potensial kesalahan respon vital, tes termal yang menguatkan dan gambaran radiografis

perlu untuk diagnosis yang defenitif.

Pembahasan

Sensitivitas seseorang terhadap nyeri gigi berbeda-beda.Bagi pasien yang sangat

sensitive, lesi karies kecil sudah menimbulkan nyeri.Persepsi nyeri gigi yang berlebihan ini

dikenal sebagai hiperalgesia dan alodinia. Hingga sejauh ini belum diketahui dengan pasti

Page 15: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

mekanisme penyebab bertambahnya respon terhadap stimulus yang menyakitkan, namun diduga

kenaikan tekanan intra pulpa dan kenaikan kadar beberapa mediator inflamasi seperti bradikinin,

prostaglandin ikut berperan di dalamnya. Secara fisiologis mediator inflamasi tersebut dapat

dijumpai dalam kadar yang sangat rendah pada pulpa sehat, sehingga tidak memiliki peran yang

berarti dalam mempengaruhi sensitivitas reseptor nyeri. Namun dalam keadaan inflamasi,

interaksi yang kompleks dan dinamis antara mediator inflamasi dengan faktor fisiologis pulpa

akan menghasilkan persepsi nyeri berbeda-beda antar individu yang dikenal dengan hiperalgesia

atau pulpitis tanpa nyeri.

Dalam keadaaan seperti itu, dapatlah dipahami kesulitan yang dialami dokter gigi untuk

mengendalikan nyeri gigi dalam upaya memberikan perawatan yang tepat pada pasien yang

bersangkutan.Sebaliknya pada seseorang yang tidak sensitive, seringkali dijumpai gigi dengan

karies yang dalam tanpa disertai keluhan nyeri yang berarti. Sekalipun bradikinin diketahui

menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri secara langsung, ternyata tidak dijumpai adanya korelasi

antara intensitas nyeri dengan kadar bradikinin dalam pulpa. Hal ini diduga disebabkan oleh

keberadaan mediator infalamasi lain yang bersifat analgesik.

Pemberian morfin topical dapat mengurangi nyeri pada pulpa yang

terinflamasi.Membuktikan keberadaan reseptor opoioid-µ dalam pulpa.Mengingat derivate

opioid mempunyai efek analgesic yang kuat, maka dengan ditemukannya reseptor opoioid-µ

dalam pulpa membuktikan eksistensi sistem analgesic endogen dalam pulpa.Hal ini diduga

merupakan penyebab terjadinya pulpitis yang tidak disertai nyeri.

Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat 3 tahap yang harus dilalui untuk merasakan

nyeri, yaitu deteksi nyeri oleh ujung saraf sensorik di perifer, pemrosesan nyeri yang terjadi di

medulla dan spinal dorsal horn; dan persepsi nyeri sebagai hasil aktivitas di korteks serebral.

Nyeri gigi pada umumnya disebabkan oleh rangsang fisik atau oleh pelepasan mediator inflamasi

yang kemudian mengaktifkan reseptor pada ujung saraf sensorik. Bila teraktivasi, serabut A-δ

dan C akan meneruskan sinyal nyeri tersebut melalui nervus trigeminal ke trigeminal neural

complex yang terletak di medulla. Di sini sinyal nyeri diolah sebelum diteruskan ke korteks

serebral.Sinyal nyeri dapat ditingkatkan sehingga terjadi hiperalgesia, diturunkan sebagai efek

analgesia atau terjadi persepsi yang salah, sehingga berakibat terjadinya referred pain.

Page 16: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Kesimpulan dan Saran

Berbagai faktor telah diketahui berpengaruh pada persepsi nyeri gigi seseorang.Adanya variasi

faktor-faktor tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan persepsi antar individu.Sebagian

diantaranya sangat sensitive terhadap nyeri, sebaliknya ada pula yang tidak begitu sensitive

terhadap nyeri gigi.Sensitivitas seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisiologis pada pulpa.

Densitas reseptor opoioid-µ akan berpengaruh pada sistem analgesic endogen, semakin tinggi

densitasnya, aktifitas saraf sensorik akan berkurang. Sebaliknya densitas kanal ion Na, maupun

ratio antara kanal ion Na yang sangat resisten dan sensitive terhadap TTX sangat berpengaruh

pada transmisi nyeri gigi. Semakin tinggi densitas kanal ion Na, khususnya yang resisten

terhadap TTX, maka aktifitas saraf sensorik akan meningkat.

Interaksi yang dinamik antara faktor-faktor fisiologis tersebut dengan berbagai mediator

kimia yang dihasilkan pada saat inflamasi menyebabkan perbedaan persepsi nyeri gigi yang

dikenal dengan hiperalgesia ataupun pulpitis tanpa rasa nyeri.Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk mengetahui variasi dalam faktor fisiologis tersebut pada pulpa, sehingga dapat

ditemukan metode yang lebih sederhana untuk mengklasifikasikan pasien berdasarkan

sensitivitasnya terhadap nyeri.Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kerberhasilan

perawatan sekaligus mengurangi rasa cemas pasien terhadap nyeri yang mungkin ditimbulkan

pada perawatan gigi.

Page 17: Mekanisme Nyeri Pada Gigi

Daftar Pustaka

Byers, M.R. dan Narhi, M.V.O. 2002.Nerve supplu of the pulpodentin complex and responses to

injury. Dalam: Seltzer and Bender’s Dental Pulp. Hargreaves, K.M. dan Goodis, H.E.

(eds).Quintessence, Chicago. Hlm. 151-79.

Cohen, A.S. dan Brown, D.C. 2002. Orofacial dental pain emergencies: endodontic diagnoses

and management. Dalam : Pathways of the pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds). Ed. Ke-8.

Mosby, St.Louis. Hlm.31-75

Eli, I. 2003. The multidisciplinary nature of pain. Dalam: Textbook of Endodontology,

Bergenholtz, G., Horsted-Bindslev, P. dan Reit, C. (eds).. Blackwell, Munksgaard. Hlm.57-65.

Gutstein, H.B. dan Akil, H. 2001, Opioid Analgesics. Dalam: Goodman and Gillman’s The

Pharmalogical Basis of Therapeutics. Hardman, J.G., Limbird, L.E. dan Gilman, A.G. (eds).. Ed.

Ke-10. McGraw Hill, New York. Hlm.569-620.

Hargreaves, K.M. 2002. Pain mechanism of the pulpodentin complex. Dalam: Seltzer and

Bender’s Dental Pulp. Hargreaves, K.M. dan Goodis, H.E. (eds).Quintessence, Chicago. Hlm

181-203.

Hargreaves, K.M. dan Hutter, J.W. 2002. Endodontic pharmacology. Dalam : Pathways of the

pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds). Ed. Ke-8. Mosby, St. Louis. Hlm. 665-82.

Trowbridgr, H.O., Kim, S., Suda, H. 2002. Structure and function of the dentin and pulp

complex. Dalam: Pathways of the pulp. Cohen, S. dan Burns, R.C. (eds). Ed. ke-8. Mosby, St.

Louis. Hlm. 411-55.