Internal Telu, Eki Visiyam f. d1e012009
-
Upload
eki-visiyam -
Category
Documents
-
view
66 -
download
4
description
Transcript of Internal Telu, Eki Visiyam f. d1e012009
1
PERMASALAHAN
Kualitas telur konsumsi, terutama telur ayam, dapat digolongkan menjadi
dua macam yaitu kualitas telur bagian luar dan kualitas telur bagian dalam. Faktor
kualitas telur bagian luar meliputi bentuk, warna kerabang, tekstur permukaan
kerabang, keutuhan dan kebersihan kerabang telur. Bagian dalam meliputi,
kekentalan putih telur, warna kuning telur, posisi kuning telur dan ada-tidaknya
noda berupa bintik-bintik darah pada kuning telur maupun putih telur. Kualitas
telur bagian luar mudah diketahui secara visual dengan melihat kebersihan
kerabangnya. Kualitas telur yang rendah dapat dilihat dan diketahui berdasarkan
faktor internal dan eksternal. Permasalahan yang sering muncul pada kualitas telur
umumnya dilihat dari faktor internal dan eksternal.
Faktor Internal
Faktor internal yang mempengaruhi kerabang telur yang adalah umur. Umur
memiliki faktor terpenting dalam kualitas telur ayam. Hasil survei pada
peternakan menunjukkan bahwa kecilnya ukuran telur, disebabkan oleh umur
ayam yang muda. Umur produksi yang baik pada ayam muda antara 30 sampai
40 minggu dengan berat telur kurang lebih 60 gram dan produksi telur sebanyak
16 butir dapat menghasikan bobot telur 1 kg. Cangkang keras, warna bagus,
kemerah-merahan.
Berdasarkan keadaan diatas dapat disimpulkan bahwa ayam berada pada
umur dengan produksi telur yang tinggi dan mempunyai pengaruh besar terhadap
kualitas telur. Sedangkan ayam pada periode dibawah umur tersebut termasuk
dalam umur periode pertumbuhan. Umur 30-40 minggu termasuk umur produksi
yang tergolong muda atau medium. Kualitas telur yang dihasilkan juga berbeda
dengan keadaan produksi. Beberapa literature menunjukan bahwa faktor umur
dapat mempengaruhi kekentalan putih telur. Ayam petelur yang lebih tua akan
menghasilkan telur dengan putih telur yang lebih encer dibandingkan putih telur
yang dihasilkan oleh ayam muda (Sarwono, 1995).
2
Permasalahan diatas dapat didukung melalui beberapa referensi
pemeliharaan ayam niaga petelur dalam menghasilkan telur. Terdapat tiga
periode, yaitu :
1. Periode pemeliharaan ayam periode awal (starting Period), umur 1-8
minggu.
2. Pemeliharaan periode pertumbuhan (growing period), umur 9 minggu
sampai menjelang bertelur.
3. Pemeliharaan periode produksi (laying period), umur saat mulai bertelur
sampai afkir.
Kemudian terdapat pengelompokkan pemeliharaan ayam petelur menjadi empat
periode yaitu :
a. Pemeliharaan pada periode awal (starting period) umur 0-6 minggu.
b. Pemeliharaan ayam periode pertumbuhan I (growing period) umur 7-12 atau
14 minggu.
c. Pemeliharaan ayam periode pertumbuhan II (developer period) umur 12
atau 14 minggu sampai 22 minggu (menjelang bertelur).
d. Pemeliharaan ayam periode produksi (laying period) umur diatas 22 minggu
sampai afkir (Suswoyo, 2004).
PEMECAHAN MASALAH
Kualitas telur bagian dalam (isi telur)
1) Ruang udara
Telur yang segar memiliki rongga udara yang lebih kecil dibandingkan telur
lama. Pada negara non-lokal, kualitas telur dapat dikelompokan berdasarkan
ukuran kedalaman rongga udara. Berikut ini pembagian kualitas telur berdasarkan
ukuran kedalaman rongga udara.
a) Kualitas AA memiliki kedalaman ruang udara 0,3 cm.
b) Kualitas A memiliki kedalaman ruang udara 0,5 cm
3
c) Kualitas B memiliki kedalaman ruang udara lebih dari 0,5 cm.
2) Kuning telur
Telur yang segar memiliki kuning telur yang tidak cacat, bersih, dan tidak
terdapat pembuluh darah. Bagian dalam kuning telur tidak terdapat bercak daging
atau bercak darah.
3) Putih telur
Putih telur dari telur yang segar adalah tebal dan diikat kuat oleh kalaza. Pada
telur kualitas AA, putih telur harus bebas dari titik daging atau titik darah.
ik adalah proporsional, tidak berbenjol-benjol, tidak terlalu lonjong, dan tidak
terlalu bulat. Bentuk telur unggas umumnya hampir bulat sampai lonjong.
Perbedaan bentuk tersebut dapat terjadi karena pengaruh berbagai faktor antara
lain genetik (keturunan), umur unggas saat bertelur, sifat –sifat fisiologis sewaktu
bertelur dan sifat-sifat fisiologis yang terdapat pada induk tersebut. Bentuk telur
umumnya unggas dinyatakan dalam indeks perbandingan antara lebar dan
panjang.
A. Komposisi Telur
Telur ayam segar konsumsi adalah telur ayam yang tidak mengalami proses
pendinginan dan tidak mengalami penanganan pengawetan serta tidak
menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan embrio yang jelas, kuning telur belum
tercampur dengan putih telur, utuh dan bersih (Dewan Standardisasi Nasional,
2008). Telur tersusun atas tiga bagian utama yaitu kerabang dengan membran
kerabang, putih telur dan kuning telur. Sebutir telur ayam White Leghorn
menurut Yamamoto et al. (2007) terdiri dari 28%-29% kuning telur, 60%-63%
putih telur dan 9%-11% kerabang.
B. Kerabang Telur
Kualitas kerabang telur ditentukan oleh tebal dan struktur kerabang
(Yamamoto et al., 2007). Kerabang telur sebagian besar terdiri atas kalsium
karbonat (CaCO3) sehingga kandungan kalsium dalam ransum perlu diperhatikan
untuk mendapatkan ketebalan kerabang telur yang optimum. Tebal kerabang
optimum adalah 0,31 mm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kerabang telur
4
tersusun atas 95,1% garam-garam anorganik (dengan kalsium sebanyak 98%) dan
3,3% bahan organik terutama protein dan air (Yamamoto et al., 2007; Romanoff
dan Romanoff, 1963). Mineral lainnya yang terkandung dalam kerabang adalah
garam, karbonat, fosfat dan magnesium (Yamamoto et al., 2007).
Penurunan kualitas kerabang telur sejalan dengan meningkatnya umur ayam
disebabkan oleh: 1) jumlah kalsium dalam medula tulang menurun, 2) jumlah
kerabang (berat) pada tiap minggu selama fase produksi telur. Selain itu,
perbedaan ketebalan pada kerabang coklat dan kerabang putih. Kerabang coklat
lebih tebal dibandingkan kerabang putih (North, 1984; Bell dan Weaver, 2002;
Yamamoto et al., 2007). Kerabang yang diproduksi pada suhu di atas suhu
normal (20-26°C) akan bersifat tipis, lebih ringan dan mudah retak baik telur
ayam lokal (Islam et al., 2001; Nwachukwu et al. 2006) maupun telur ayam ras
petelur (Bell dan Weaver, 2002; Yamamoto et al., 2007). Oguntunji dan Alabi
(2010) menyebutkan bahwa kerabang telur dipengaruhi oleh genetik, nutrisi di
dalam pakan, hormon, lingkungan dan manajemen. Kualitas kerabang telur yang
rendah pada suhu lingkungan yang tinggi (>32°C) dapat disebabkan oleh
rendahnya konsumsi pakan. Konsumsi pakan akan menurun pada suhu yang
tinggi sehingga nutrien yang diperoleh pun rendah. Kemampuan ayam untuk
menghasilkan kerabang berkualitas baik sangat tergantung pada kalsium dalam
pakan yang dicerna dan cadangan kalsium pada tulang. Rendahnya konsumsi
pakan dapat menyebabkan kurangnya persediaan kalsium dalam tubuh ayam saat
pembentukan telur, sehingga kerabang telur menjadi tipis.
Kerabang telur merupakan lapisan luar telur yang melindungi telur dari
penurunan kualitas baik disebabkan oleh kontaminasi mikroba, kerusakan fisik,
dan penguapan. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kualitas kerabang
telur adalah umur ayam, semakin meningkat umur ayam, kualitas kerabang
semakin menurun dan kerabang telur semakin tipis, warna kerabang semakin
memudar, dan berat telur semakin besar (Jazil N. dkk, 2013). Menurut Haryono
(2000) kerabang telur yang lebih tipis relatif berpori lebih banyak dan besar
sehingga mempercepat turunnya kualitas telur akibat penguapan. Kualitas telur
dapat mengalami penurunan selama penyimpanan. Hal tersebut terjadi karena
5
penguapan CO2 dan air dari dalam telur, sehingga akan mengakibatkan pH telur
meningkat. Kemungkinan penurunan kualitas bukan hanya disebabkan oleh faktor
lamanya waktu penyimpanan, tetapi juga disebabkan oleh faktor penanganan dan
kondisi lingkungan (Indrawan, dkk. 2012)
C. Putih Telur dan Kuning Telur
Putih telur terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda kekentalannya, yaitu
lapisan encer luar, lapisan kental luar, lapisan kental dalam dan lapisan encer
dalam. Perbedaan kekentalan ini disebabkan perbedaan kandungan ovomucin.
Putih telur terdiri atas 12% protein dan 88% air. Warna jernih atau kekuningan
pada putih telur disebabkan oleh pigmen ovoflavin. Kandungan air putih telur
lebih banyak dibandingkan dengan bagian lainnya sehingga selama penyimpanan
bagian inilah yang paling mudah rusak. Kerusakan ini terjadi terutama disebabkan
oleh keluarnya air dari serabut ovomucin yang berfungsi sebagai pembentuk
struktur putih telur (Romanoff dan Romanoff, 1963; Yamamoto et al., 2007).
Kuning telur memiliki warna bervariasi, mulai dari kuning pucat sampai
jingga. Kuning telur mengandung zat warna (pigmen) golongan karotenoid yaitu
xantofil, lutein, dan zeasantin serta sedikit betakaroten dan kriptosantin. Warna
atau pigmen yang terdapat dalam kuning telur sangat dipengaruhi oleh jenis
pigmen yang terdapat dalam ransum yang dikonsumsi (Winarno, 2002) dan setiap
ayam mempunyai kemampuan berbeda untuk merubah pigmen karoten tersebut
menjadi warna kuning telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Castellini et al.
(2006) menyatakan bahwa jagung kuning dan hijauan seperti rumput dapat
menyebabkan warna pekat pada kuning telur.
I.2 Kualitas Telur
Kualitas telur merupakan kumpulan ciri-ciri telur yang mempengaruhi
selera konsumen (Stadelman dan Cotteril, 1973). Kualitas fisik dan kimia sebutir
telur tergantung pada kualitas isi telur dan kerabang telur. Kualitas fisik telur
ditunjukan melalui karakteristik telur yang meliputi berat telur, bentuk telur, berat
putih, kuning, dan kerabang telur, nilai haugh unit, indeks telur dan kuning telur.
Kuning dan putih telur konsumsi harus bebas dari noda darah ataupun noda
daging, putih telur harus bersifat kental dengan posisi kuning telur berada di
6
bagian tengah dan berbentuk cembung. Kerabang telur harus dalam keadaan utuh,
licin, dan bebas dari kotoran ayam yang menempel (DSN, 2008). Karakteristik
kimia telur secara keseluruhan meliputi kandungan air, abu, protein, lemak,
karbohidrat, vitamin, dan mineral.
Menurut Badan Standarisasi Nasional mutu fisik telur ayam konsumsi dijelaskan
melalui tabel 1
7
Tabel 2 Persyaratan mutu mikrobiologis telur ayam konsumsi menurut Badan
Standarisasi Nasional
Sumber : Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2008. SNI 3926:2008 Telur
Ayam Konsumsi. BSN, Jakarta.
3.2.1 Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas telur ayam
1. Faktor genetik
Perbedaan sifat genetik seperti kelas, strain, family, dan individu ayam
berpengaruh terhadap warna kerabang dan warna kuning telur, tekstur dan
ketebalan kerabang, berat telur, adanya noda darah dan banyaknya putih telur
kental (Islam et al., 2001). Strain dan breed ayam (Bell dan Weaver, 2002)
mempengaruhi berat telur yang dihasilkan pada setiap periode bertelur. Beberapa
strain ayam mampu menghasilkan kerabang telur yang lebih baik di banding
8
strain lainnya. Strain dan bangsa ayam dengan produksi telur yang baik memiliki
kecenderungan terhadap penurunan kualitas kerabang.
2. Umur induk ayam
Bertambahnya umur induk ayam menyebabkan menurunnya kemampuan
fungsi fisiologis alat reproduksi dan semakin berkurangnya kualitas telur,
terutama ketebalan kerabang telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Tumuova
dan Ledvinka (2009) mengatakan bahwa peningkatan umur ayam berhubungan
positif terhadap peningkatan berat telur, berat kuning, berat dan tebal kerabang.
Bentuk telur ayam yang abnormal (Bell dan Weaver, 2002) adalah seperti
keretakan kerabang, bodychecked eggs (bentuk telur bergelombang seperti tubuh
ayam), kerabang tipis disebabkan umur ayam yang semakin tua.
3. Suhu Lingkungan
Suhu lingkungan tinggi dapat menyebabkan stress dan penurunan nafsu
makan pada ayam, sehingga pemenuhan nutrien bagi tubuh dan produksi ayam
tidak tercukupi. Hal tersebut dapat mengurangi ketebalan dan kekuatan kerabang.
Suhu optimum dalam kandang bagi ayam petelur adalah 18-27°C. Telur ayam
hasil persilangan ayam Leher Gundul dan ayam Berbulu Terbalik yang diteliti
oleh Nwachukwu et al. (2006) memiliki kualitas telur yang baik (tebal kerabang,
berat kuning dan putih telur, indeks kuning telur, dan haugh unit) pada rentang
suhu lingkungan ≤ 27 °C.
4. Air
Ayam memperoleh air dari tiga sumber yaitu dari air minum, air dari bahan
makanan, dan air dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein. Ransum
komersial unggas mengandung air kurang lebih 10% jika kebutuhan air bagi ayam
sebagian besar diperoleh dari air minum. Konsumsi air pada ayam petelur
umumnya di pengaruhi oleh umur, temperatur lingkungan dan kesehatan ayam
(Anggoridi, 1995 Swick, 1999 dalam Resnajati, 2011)
Air minum yang diberikan pada ayam harus memiliki kualitas yang baik dan
memenuhi kebutuhan ayam. Kualitas air sendiri di pengaruhi bakteri Escheria
9
coli, pH air, kadar magnesium, kadar nitrat dan nitrit, kadar sodium atau klorida
serta mineral lainnya. Air yang baik diberikan pada ayam terutama pada saat
udara panas yaitu air yang bersih dan dingin karena ayam memerlukan persediaan
air tersebut untuk pertumbuhan optimum, produksi, dan efisiensi penggunaan
ransum. (Anggorodi, 1995 dalam Resnajati, 2011).
3.2.2 Penanganan Telur
Telur yang dihasilkan oleh ayam perlu ditangani dengan tepat dan cepat,
sehingga telur tidak mengalami penurunan kualitas. Pengambilan telur dari
kandang baterai sebaiknya dilakukan sesering mungkin sehingga telur tidak
terinjak atau dipatuk ayam (Bell dan Weaver, 2002). Salah satu manajemen
peternakan yang berhubungan dengan penanganan telur ayam adalah pengepakan.
Pengepakan akan berpengaruh terhadap kerusakan telur karena telur pecah akan
menekan kerusakan komponen dan sifat fisiko kimia lainnya (Romanoff dan
Romanoff, 1963; Bell dan Weaver, 2002). Beberapa ciri – ciri pengepak telur
ayam yang berguna dalam pemasaran antara lain dapat menghindari kerusakan
fisik, mengurangi evaporasi air, mengurangi kontaminasi kotoran dan penyerapan
bau yang tidak diinginkan (Winarno, 2002).
Pengemasan telur ayam harus dilakukan secara hati-hati agar telur tidak
retak. Lama dan suhu penyimpanan telur ayam turut berperan terhadap kualitas
telur. Semakin lama telur ayam disimpan dapat mengakibatkan terjadinya
penguapan isi telur dan membesarnya rongga udara. Telur ayam yang disimpan
pada suhu di atas 20oC menyebabkan terjadinya penguapan air dan CO2 dari
dalam telur. Hal tersebut mengakibatkan rongga udara pada telur semakin
membesar (Hardjosworo et al., 1989; Bell dan Weaver, 2002).
3.2.3 Bentuk, Keutuhan dan Kebersihan Telur Ayam
Bentuk telur yang menyimpang merupakan keabnormalan pada telur yang
dapat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap telur tersebut.
Keabnormalan telur adalah adanya butiran-butiran kasar pada permukaan
kerabang, tidak licin, tidak rata, kerabang telur bergelombang sepanjang badan
telur (body-check), tidak proporsional, bintik-bintik kapur, titik-titik jernih, dan
lubang kecil pada kerabang. Sebagian besar dari keabnormalan ini disebabkan
10
oleh infeksi penyakit, umur ayam yang bertambah tua, stress akibat adanya
ganguan penyebaran kalsium atau phosphor saat pembentukan telur, komposisi
nutrien pakan yang kurang tepat, dan kelembaban yang tinggi. Lubang pada
kerabang telur dapat terjadi dikarenakan telur dipatuk oleh induk atau terkena
kuku ayam (Bell dan Weaver, 2002).
Kelainan pada kerabang telur dapat berupa retak kasar dan retak halus
yang mempengaruhi keutuhan telur. Keretakan kerabang umumnya disebabkan
oleh kandungan kalsium dan fosfor dalam pakan, serta pengaruh dari suhu yang
tinggi. Keretakan pada telur biasanya terjadi akibat genetik, waktu peneluran (pagi
atau sore), waktu pengumpulan telur, masa bertelur yang terlalu panjang, suhu,
penyakit, retak saat oviposisi, retak saat telur menggelinding pada lantai cage,
penanganan yang kurang tepat saat pengumpulan dan pengalokasian telur atau
saat perjalanan (Bell dan Weaver, 2002).
Kualitas telur ayam juga dinilai dari kebersihan kerabang telur. Kerabang
telur yang terkontaminasi oleh ekskreta mengakibatkan penurunan kualitas telur.
Ekskreta dapat membawa bakteri-bakteri yang merugikan seperti Salmonella
melalui pori-pori pada kerabang telur yang dapat mengkontaminasi isi telur.
Ekskreta ayam juga dapat menimbulkan bau pada telur (Bell dan Weaver, 2002).
3.2.4 Berat Telur Ayam
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap berat telur ayam adalah umur
ayam, suhu lingkungan, strain dan bangsa ayam, umur ayam, kandungan nutrisi
dalam ransum, berat tubuh ayam, dan waktu produksi telur (Bell dan Weaver,
2002). Kekurangan protein, kalsium, vitamin D, dan zat besi menyebabkan
turunnya berat telur. Penyusutan berat telur ayam dapat terjadi karena adanya
penguapan air selama penyimpanan, terutama pada bagian putih telur dan
sebagian kecil oleh penguapan gas-gas seperti CO2, NH3, N2, dan H2S akibat
degradasi komponen organik telur (Romanoff dan Romanoff, 1963; Buckle et al.,
1985; Bell dan Weaver, 2002). Telur ayam yang diteliti oleh Islam et al. (2001)
pada lingkungan yang bersuhu tinggi (>27°C) umumnya memiliki berat yang
lebih rendah dibandingkan lingkungan bersuhu rendah (<20°C). Berat telur yang
dihasilkan pada umur ayam 20-60 minggu mengalami peningkatan seiring dengan
11
bertambahnya umur ayam (Tumuova dan Ledvinka 2009; Bell dan Weaver,
2002).
3.2.5 Indeks Telur
Pilliang (1992) dan Septiawan (2007) mengatakan bahwa bentuk telur
dipengaruhi oleh lebar diameter isthmus. Semakin lebar diameter isthmus, maka
bentuk telur yang dihasilkan cenderung bulat dan apabila diameter isthmus
sempit, maka bentuk telur yang dihasilkan cenderung lonjong. Semakin tinggi
nilai indeks telur, maka bentuk telur tersebut akan semakin bulat. Bentuk oval
atau bulat pada telur dipengaruhi oleh dinding saluran telur selama pembentukan.
Indeks telur diperoleh dari hasil pengukuran panjang dan lebar telur
(lebar/panjang X 100) dan kisaran indeks telur yang normal adalah 0,70-0,74. Jika
terjadi penyimpangan nilai indeks, telur akan memiliki penampilan yang kurang
menarik dan menjadi rentan terhadap kerusakan saat pengemasan dan pengiriman.
Bentuk dan indeks telur dikendalikan oleh faktor genetik (Bell dan Weaver,
2002).
3.2.6 Haugh Unit
Haugh unit (HU) digunakan untuk mengukur kualitas putih telur. Haugh
unit yang tinggi menunjukkan kualitas putih telur tersebut juga tinggi (Bell dan
Weaver, 2002). Nilai HU untuk telur yang baru ditelurkan adalah 100, sedangkan
untuk telur dengan mutu terbaik nilainya 75. Telur yang busuk biasanya memiliki
nilai HU dibawah 50 (Buckle, 1987). Penurunan nilai HU pada telur akan
mempengaruhi kualitas telur. Tingkatan kualitas telur berdasarkan nilai HU yaitu
jika >72 termasuk kualitas AA, nilai HU antara 60-71 termasuk kualitas A dan
nilai HU antara 31-59 termasuk kualitas B (USDA, 1964; Brown, 2000).
Haugh unit dipengaruhi umur ayam dan genotip, musim, kandungan nutrisi
pakan, lama dan suhu selama penyimpanan (Williams, 1992). Umur ayam yang
meningkat dan suhu lingkungan di atas 30°C menyebabkan penurunan nilai HU.
Kandungan magnesium dalam pakan perlu ditingkatkan agar penurunan
kekentalan putih telur dapat diperlambat sehingga nilai HU tetap terjaga. Suhu
ideal yang mampu mempertahankan nilai HU lebih lama adalah penyimpanan
12
telur pada suhu freezer yaitu 0-0,5°C dan pada refrigarator suhu penyimpanan
harus dipertahankan antara 10-18°C.
3.2.7 Indeks Kuning Telur
Indeks kuning telur digunakan untuk menyatakan kondisi di dalam telur
secara umum berdasarkan perhitungan matematis. Pengukuran dilakukan denngan
membandingkan tinggi kuning telur dan lebar kuning yang baru dipecahkan di
atas meja kaca (Romanoff dan Rommanoff, 1963). Nilai indeks kuning telur segar
beragam antara 0,33-0,50 dengan nilai rata-rata 0,42 (Buckle et al., 1985).
Binawati (2008) menuliskan kisaran nilai indeks kuning telur ayam Arab adalah
0,39-0,42.
Indeks kuning telur ditentukan oleh bentuk kuning telur. Bentuk kuning
telur tergantung pada kekuatan membran vitelin dan lapisan khalaza di sekitar
kuning telur. Setelah ovoposisi, struktur ini secara bertahap mengalami perubahan
fisik dan kimia yang mengurangi kemampuan membran vitelin dan khalaza untuk
mempertahankan bentuk kuning telur tetap bulat. Perubahan ini mengubah
kekuatan 14 membran vitelin sehingga kadar air berpindah dari putih menjadi
kuning, meningkatkan ukuran kuning, selanjutnya akan melemahkan membran.
Hal tersebut menyebabkan permukaan kuning telur menjadi datar pada saat telur
dipecahkan (Bell dan Weaver, 2002). Daya ikat membran vitelin dipengaruhi
oleh kandungan protein dalam pakan. Membran vitelin terbentuk atas 87%
protein, 3 % lemak dan 10% karbohidrat (Yamamoto et al., 2007).
in cukup tinggi. Selama masa bertelur, pemberian ransum diganti dua kali,
pertama sewaktu mencapai 5% hen-day diberikan ransum ayam bertelur fase I
(ransum layer I atau prelayer) dan setelah mencapai puncak produksi diberikan
ransum ayam bertelur fase II (ransum layer II) (Rasyaf, 2008). Kebutuhan energi
ayam petelur pada umur 14 minggu hingga mencapai 5% hen-day sebanyak 2750
kkal/Kg. Setelah mencapai 5% hen-day digunakan ransum dengan kandungan
energi 2850 kkal/Kg.
Menurut Johari (2004), ayam berumur 42 minggu membutuhkan PK 21%
dan ME 2950 kkal/Kg, 43-84 minggu membutuhkan PK 19% dan ME 2850
kkal/Kg, 85-112 membutuhkan PK 16-17% dan ME 2800 kkal/Kg dan 112
13
minggu membutuhkan PK 21% dan 3100 kkal/Kg. Kelebihan energi disimpan
dalam bentuk lemak. Menurut Surdayani dan Santoso (2000), bahwa pemberian
ransum untuk periode petelur dapat diberikan sesuai dengan umur ayam, yaitu
ayam 19-35 minggu membutuhkan ransum dengan protein 19%; energi
metabolisme 2800 kkal/kg; dan kalsium 3,8 - 4,2%, untuk ayam umur 53 minggu
sampai 76 atau 80 minggu membutuhkan protein 18%; energi metabolisme 2750
kkal/kg; dan kalsium 4,0-4,4%.