PELAKSANAAN SHOLAT WETU TELU SUKU SASAK DI LOMBOK (...
Transcript of PELAKSANAAN SHOLAT WETU TELU SUKU SASAK DI LOMBOK (...
PELAKSANAAN SHOLAT WETU TELU SUKU SASAK
DI LOMBOK
( Studi Kasus Desa Narmada Kecamatan Lombok Barat )
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
Siti Raihanun NIM : 1110043100027
KONSENTRASI PERBANDINGAN MADZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
i
ABSTRAK
Siti Raihanun, NIM: 1110043100027, PELAKSANAAN SHALAT WETU
TELU SUKU SASAK DI LOMBOK, program Studi perbandingan Mazhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437/2016.
Skiripsi ini merupakan upaya untuk menjelaskan tentang masalah yang ada di
sebagian pedalaman suku di Lombok (Suku Sasak) tepatnya di Desa Narmada
Kecamatan Lombok Barat mengenai pelaksanaan shalat Wetu Telu yang masih
dilaksanakan sampai pada hari ini, padahal sebagian yang lain –eks suku sasak
terutama generasi-generasi tua- sudah beralih ke shalat Waktu Lima yang umumnya
umat Islam kerjakan, sebagai akibat gencarnya para pedakwah Islam dalam usahanya
meluruskan praktik tersebut. Shalat Wetu Telu (Bahasa Indonesia: Waktu Tiga)
adalah praktek shalat dengan hanya mengerjakan tiga waktu atau tiga kali dalam
sehari. Tidak lazimnya orang Islam pada umumnya, mereka hanya mengerjakan
shalat pada siang hari (Zuhur), sore hari (Ashar), dan saat matahari terbenam
(Magrib). Praktik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang
berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap,
meninggalkan pulau Lombok atau sebagian lain meniggal sebelum mengajarkan
ajaran Islam dengan utuh atau lengkap.
Tujuan dari penelitian ini supaya masyarakat Muslim secara luas mengetahui
sejarah keagamaan terutama shalat Wetu Telu di Narmada Lombok, bahwa ada
ii
praktik yang berbeda dengan praktik mereka yang dijalankan sehari-hari, ini
menunjukkan bahwa sejarah Islam di Nusantara tidak terlepas dari budaya masing-
masing, termasuk di Narmada Lombok. Sejarah mengatakan bahwa shalat Wetu Telu
ada karena akulturasi budaya Hindu dengan Islam. Al-fadal penyebar agama Islam di
Lombok mengatakan bahwa komunitas Islam Wetu Telu adalah sistem kepercayaan
sinkretik hasil saling –silang ajaran islam, Hindu, unsur Animisme dan
antropomorfisme (Boda).
Jenis penelitian yaitu menggunakan Metode Pendekatan kualitatif, yang
memiliki karakteristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, yang
diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang,
lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak, data pun dicari melalui studi kepustakaan (library research), sumber data
primer dan sumber data sekunder. Adapun metodenya menggunakan metode induktif,
yaitu pengambilan kesimpulan dan Metode deduktif, menarik fakta yang bersifat
umum, untuk dijadikan fakta umum yang bersifat khsusus. Ada juga metode
kompratif, yaitu metode perbandingan.
Kata Kunci : Shalat, Wetu Telu, Suku Sasak, Lombok
Pembimbing : Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc., M.A.
Daftar Pustaka : 1974-2015
iii
بسم االله الرحمن الرحیم
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tiada hentinya dipanjatkan kepada sang penguasa
kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan petunjuknya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skiripsi ini dengan baik.
Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarganya, para sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.
Berkat rahmat dan hidayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “PELAKSANAAN SHALAT WETU
TELU SUKU SASAK DI LOMBOK”, Dalam penulisan skiripsi ini, semoga dapat
bermanfaat bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak yang membacanya, serta
dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama penulisan skiripsi ini penulis banayak kesulitan dan hambatan yang
dihadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan bantuan dari berbagai pihak, segala
kesulitan itu dapat teratasi.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih atas segala jasa dan bantuan
kepada :
iv
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua Jurusan
Perbandingan Mazhab Hukum dan Ibu Siti Hanna, Lc., MA. Sekretaris
Jurusan Perbandingan Mazhab Hukum.
3. Bapak Ahmad Bisyri Abd. Somad, Lc., MA. selaku pembimbing
skiripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, saran
serta petunjuk dalam menyelesaikan skiripsi
4. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada
penulis semasa kuliah, semoga amal kebaikannya mendapatkan
balasan di sisi Allah SWT.
5. Seluruh staf karyawan Perpustakaan Utama dan staf karyawan fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas
kerjasamanya dalam pelayanan yang terbaik dalam pengumpulan
materi skiripsi dan kelancaran administrasi.
6. Kepada ayah tercinta almarhum bapak H. Akhyar Hamdan Bin H.
Hamdan, Ibunda Hj. Saronih Ishaq, Saudara-saudaraku Kak Izu, Bang
Apip dan adikku Uun, serta Suamiku tercinta Lutfi Fauzi yang
membantu dalam proses mengerjakan skripsi serta putriku tercinta
Tanmiya Lutfiya yang menjadi penyemangat hidupku, dan orang-
orang yang berjasa yang tidak bisa disebutkan, yang telah mendoakan,
v
bantuan dana moral dan materil serta memberi motivasi sebagai
inspirasi bagi penulis.
7. Kepada para bapak dan Ibu di Lombok yang berkenan untuk
diwawancarai untuk mempermudah dalam penambahan bahan
referensi yang berkaitan dalam masalah sholat wetu telu.
8. Sahabat dan rekan PMH (Perbandingan Mazhab Hukum) angkatan
2010.
9. Terakhir Teman-teman yang saya kenal maupun yang tidak saya kenal
yang telah memudahkan saya dalam menyelesaikan skiripsi ini. Berkat
doa dan bantuan kalian saya sangat berterima kasih.
Semoga amal baik dan jasa yang telah diberikan para pihak kepada penulis
diterima oleh Allah SWT dan diberikan pahala yang berlipat ganda. Dengan segala
kelemahan dan kekurangan yang tetrdapat dalam karya ilmiah ini, besar harapan
penulis semoga skiripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Semoga Allah Senantiasa
meridhoi setiap langkah kita. Aamiin
Jakarta, 22 Oktober 2016
Siti Raihanun
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... i
ABSTRAK .................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Batasan Dan Perumusan Masalah ........................................................... 4
C. Tujuan Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
D. Review Kajian Terdahulu ........................................................................ 5
E. Metode Penelitian ..................................................................................... 5
1. Jenis Penelitian .................................................................................... 5
2. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 6
3. Lokasi Penelitian ................................................................................. 6
4. Teknik Analisis Data ........................................................................... 6
F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 7
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG SHALAT A. Pengertian Shalat..................................................................................... 9
B. Sejarah Tentang Wajibnya Shalat .......................................................... 12
C. Dalil-Dalil Al-Quran Tentang Wajibnya Shalat ....................... .......... 15
D. Dasar Hukum Shalat ............................................................................... 17
vii
E. Bilangan Shalat Yang Diwajibkan ......................................................... 19
F. Batas-Batas Shalat Fardhu ...................................................................... 20
BAB III : SEKILAS TENTANG WETU TELU DAN GAMBARAN DESA NARMADA DASAN TERENG
A. Sejarah Wetu Telu................................................................................... 25
B. Arti dan Makna Wetu Telu .................................................................... 31
C. Perubahan keagamaan Islam Wetu Telu...............................................32
D. Proses Terjadinya Perubahan Keagamaan Islam Wetu Telu................35
E. Profil Desa Narmada Dasan Tereng.....................................................35
F. Kegiatan-kegiatan Penganut Islam Wetu Telu Desa Narmada............36
BAB IV : SHALAT WETU TELU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pelaksanaan Shalat Wetu Telu ............................................................... 43
B. Hijrahnya Penganut Wetu Telu Menuju Waktu Lima …...............… 46
C. Pandangan Islam Terhadap Praktik Wetu Telu...................................58
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 64
B. Saran-saran ............................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Antara agama dan budaya sama-sama melekat pada diri seseorang
beragama dan di dalamnya sama-sama terdapat keterlibatan akal fikiran mereka.
Dari aspek keyakinan maupun aspek ibadah formal, praktik agama akan selalu
bersamaan, dan bahkan berinteraksi dengan budaya. Kebudayaan sangat berperan
penting di dalam terbentuknya sebuah praktik keagamaan bagi seseorang atau
masyarakat. Tidak hanya melahirkan bermacam-macam agama, kebudayaan inilah
juga mempunyai andil besar bagi terbentuknya aneka ragam praktik beragama
dalam satu payung agama yang sama. Dalam kenyataannya dua atau lebih orang
dengan agama yang sama belum tentu mempunyai praktik atau cara pengamalan
agama, khususnya ritual, yang sama. Keragaman cara beribadah dalam suatu
komunitas agama ini mudah kita dapati dalam setiap masyarakat, dengan
terbentuknya berbagai macam kelompok agama.1
Karena keragaman corak dan praktek keberagaman di berbagai komunitas
Muslim Indonesia, di Lombok misalnya, corak Islam Wetu Telu yang sebagian
besar adalah masyarakat pedesaan yang terisolir dan terbelakang dalam
kehidupan. Mereka pada umumnya berdomisili di bagian utara dan selatan pulau
Lombok. Namun penganut Islam Wetu Telu yang masih dapat bertahan sampai
1Khadziq, Islam Dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama Dalam
Masyarakat, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.42.
2
saat ini hanya di bagian utara pulau Lombok, tepatnya di desa Narmada
Kabupaten Lombok Barat dan sekaligus menjadi pusat Islam Wetu Telu.2
Berbeda dengan Islam Waktu Lima, penganut Islam Wetu Telu identik
dengan mereka yang dalam praktek kehidupan sehari-hari sangat kuat berpegang
kepada adat istiadat nenek moyang mereka.3 Dalam ajaran Islam Wetu Telu,
terdapat banyak nuansa Islam didalamnya. Namun demikian, artikulasinya lebih
dimaknakan dalam idiom adat. Di sini warna agama bercampur dengan adat,
padahal adat sendiri tidak selalu sejalan dengan agama. Percampuran praktek-
praktek agama ke dalam adat ini menyebabkan watak Islam Wetu Telu menjadi
sangat sinkretik. Wetu Telu ini merupakan praktik agama yang unik, yang
sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam
menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para
penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke
masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok
sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu
Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di
daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya
meluruskan praktik tersebut.4
Ketika membicarakan masalah Islam, kita dapat menarik suatu
permasalahan diantaranya tentang shalat, yang mana shalat adalah salah satu
2Rasmianto, Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam Wetu
Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2, (Malang: UIN Malang, 2009), h. 138.
3Team Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat, Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat Jilid 1, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI, 1997), h. 14.
4Erni Budiwanti, Islam Sasak, Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Cet 2, h.47.
3
rukun Islam yang kelima, juga merupakan ibadah yang paling pokok. Shalat
merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di akhirat kelak. Seperti
diungkapkan dalam sebuah hadits:
دت ينظُر في صلَاته فَإِنْ صلَحت فَقَد أَفْلَح وإِنْ فَس أَولُ ما يحسب بِه الْعبد يوم الْقيامة الصلَاةُ
رسخو ابخ
“Permulaan amalan yang diperiksa dari amalan seseorang hamba pada hari
kiamat ialah shalatnya. Diperhatikan benar-benar shalatnya .Jika betul urusan
shalatnya mendapat kemenanganlah dia. Jika tidak betul urusan shalatnya, rugi
dan sia-sialah usahanya”. (H.R. Ath -Thabrany dari Anas r.a., At Targhib1 :
210).5
Khalifah Umar bin Al Khattab pernah mengirim surat kepada Gubernur
yang diangkatnya, pesannya, “Sesungguhnya tugas kalian sebagai Gubernur yang
paling utama dimataku adalah shalat. Barang siapa memelihara shalat, berarti ia
telah memelihara agamanya. Barang siapa yang lalai terhadap shalatnya,
terhadap urusan lain akan lebih lalai”.
Begitu pentingnya shalat. Karena shalat merupakan penentu amal yang
lain. semua ibadah yang kita lakukan akan berharga jika shalat dilaksanakan. Jika
kita nilai dengan angka maka nilai shalat itu adalah satu, beda halnya dengan
ibadah lainnya seperti zakat, puasa, haji itu bernilai nol. Jika nol itu banyak, maka
tidak ada artinya apabila tidak ada angka satu di depannya yaitu shalat.
Oleh sebab itu disini penulis menemukan fenomena tentang perbedaan
shalat Wetu Telu dengan Waktu Lima. Dimana Islam pada umumnya
5Moh.Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: N.V.Bulan Bintang,1983) Cet 11, h.43.
4
melaksanakan perintah shalat sebanyak lima waktu dalam sehari. Akan tetapi pada
kenyataanya pelaksanaan shalat yang dilakukan oleh masyarakat suku Sasak desa
Narmada di Lombok NTB berbeda dengan Islam pada umumnya, yaitu Islam
Wetu Telu, yang pada khususnya melaksanakan shalat dalam tiga waktu. Untuk
itu penulis termotifasi untuk mengangakat permasalahan yang muncul dengan
judul PELAKSANAAN SHALAT WETU TELU SUKU SASAK DI
LOMBOK (Studi Kasus Desa Narmada Kabupaten Lombok Barat).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Agar permasalahan tidak melebar maka penulis akan membatasi objek
kajian penelitian untuk mendapatkan data penelitian yang akurat dan objektif.
Dalam hal ini, penulis fokus kepada komunitas Islam Wetu Telu di desa Narmada,
sebagai wilayah penelitian ini. Sesuai dengan latar belakang diatas, maka penulis
merumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain
sebagai berikut:
a. Bagaimana Sejarah munculnya Islam Wetu Telu di Narmada
Lombok?
b. Apakah ada penganut Wetu Telu menuju Waktu Lima?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Di samping latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan
di atas, penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan:
1. Untuk memperluas pengetahuan tentang sejarah Islam Wetu Telu di
Narmada Lombok.
2. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan Shalat Wetu Telu di
Narmada Lombok.
5
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam pelaksanaan shalat Wetu Telu di Lombok.
D. Tinjauan (Review) kajian terdahulu
Untuk memberikan keutuhan dalam tulisan ini, maka penulis melakukan
kajian terdahulu diantaranya melalui buku-buku maupun karya tulis lainnya,
diantara kajian tersebut yaitu:
1. Parokalitas Adat Islam Wetu Telu Dalam Prosedur Perkawinan Ditinjau
Dari Perspektif Hukum Islam di desa Narmada Beleq kecamatan Narmada
Lombok Barat Nusa Tenggara Barat. (Tesis) Oleh Muhammad Harfin
Zuhdi, konsentrasi studi syari’ah, sekolah Pascasarjana UIN Jakarta 2004.
Dalam literature ini penulis lebih menekankan kepada aspek tata cara
prosedur perkawinan dalam komunitas Islam Wetu Telu di Narmada. Jadi yang
membedakan antara literature ini dengan judul yang akan saya angkat yaitu
praktek shalat yang dilakukan oleh komunitas Islam Wetu Telu di Narmada.
2. Islam Sasak Wetu Telu Versus Wetu Lima, Dr. Erni budi wanti memaparkan
tentang perbedaan Islam Wetu Telu dengan Waktu Lima, serta menunjukkan
serangan dakwah terus menerus yang dilakukan Islam Waktu Lima terhadap
Islam Wetu Telu.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian lapangan (fild researeh)
yang dilakukan di komunitas Islam Wetu Telu di desa Narmada. Penelitian ini
bersifat mencari penjelasan-penjelasan tentang berbagai aspek kepercayaan dan
praktek keagamaan, terutama dalam pelaksanaan shalatnya. Penelitian ini
6
termasuk jenis penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan
data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan pelaku
yang diamati.
2. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi adalah “metode pengumpulan data yang alat pengumpul
datanya adalah panduan observasi, sedangkan sumber data bisa berupa
benda tertentu, atau situasi tertentu, atau proses tertentu dan perilaku
tertentu” dalam definisi lain observasi adalah “pengamatan yang
dilakukan secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial dengan
gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan”.6
b. Interview (wawancara)
Wawancara mendalam menurut kriyanto adalah “suatu cara
mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung berupa muka
dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam”7.
Sedangkan menurut Jusuf Soewaji wawancara mendalam merupakan
“suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan pedoman
wawancara. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengumpulkan
data utama, selanjutnya informasi atau data yang lebih detil atau
mendalam dikumpulkan peneliti melalui pengembangan pedoman
wawancara tersebut”.8
6P. Joko subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: PT. Rineke
Cipta, 2006. H.63. 7Rachmat Kriyanto, 2006. h.96. 8Jusuf Soewaji, Metodologi Penelitian, Jakarta: Grafika Indah, 2003. h.11.
7
c. TeknikPenulisan
Adapun penilisan skripsi ini, menggunakan buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian yang dipilih adalah Desa Narmada kabupaten Lombok
barat NTB.
4. Teknik analisis data
Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara
kualitatif. Analisis data dilakukan setelah data-data di lapangan terkumpul secara
berkeseimbangan yang diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai
konsistensi di lapangan. Analisis terhadap informasi lapangan mempertimbangkan
hasil pernyataan-pernyataan yang memungkinkan dianggap mendasar dan
universal.9
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam penulisan skripsi ini
peneliti mencoba mengelompokannya berdasarkan hubungan dari setiap masalah
yang ada. Secara keseluruhan skripsi ini terdiri dari lima bab yaitu:
BAB I: Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian
terdahulu, metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian dan
teknik pengumpulan data serta sistematika penulisan.
9 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian kualitatif, Aktualisasi Metodologis ke arah
Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004, Cet ke-3, h.106.
8
BAB II: Dalam bab ini akan berisikan mengenai tinjauan teoritis mengenai
definisi shalat, sejarah, dasar hukum shalat dan ruang lingkup
tentang shalat.
BAB III: Sejarah dan definisi Wetu Telu serta gambaran umum lokasi
penelitian. Bab ini mengurai sejarah datangnya Islam Wetu Telu
serta definisinya dan mennerangkan secara umum lokasi penelitian
yang meliputi, profil desa Narmada kabupaten Lombok Barat Nusa
Tenggara Barat, kegiatan-kegiatan Islam Wetu Telu di desa
Narmada kabupaten Lombok Barat NTB.
BAB IV: Penyajian data dan analisis data hasil penelitian. Menyajikan data
hasil wawancara dengan pelaku Wetu Telu tentang tata cara
pelaksanaan shalat pada Islam Wetu Telu dan menganalisis
penyajian data tersebut.
BAB V: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran
terkait kajian yang dimaksud dari awal sampai akhir pembahasan
beserta lampiran-lampiran terkait.
9
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SHALAT
A. Pengertian Shalat
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
mukallaf dan harus dikerjakan dalam kondisi apapun, tidak ada alasan bagi
seseorang tidak melaksanakan shalat, bagi yang tidak melaksanakannya, dia
berdosa. Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang
siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam) dan barang siapa
meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat adalah simbol hubungan manusia dengan Allah Swt. yang harus
dikerjakan sebagai kewajiban agama, baik sendirian maupun berjamaah, dan
merupakan media pendekatan diri kepada Allah Swt., serta sarana memohon
apa yang dibutuhkan manusia dengan mensyukuri semua kasih sayang Allah
Swt., dengan demikian, di dalam shalat terdapat dua unsur: pertama, syukur
kepada Allah Swt, memuja-Nya dan mengagungkan-Nya atas kebesaran dan
keindahan ciptaan-Nya. Kedua, memohon kepada Allah Swt. sang pengabul
do’a hamba. Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima
kali, berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun
sakit. Macam-macam shalat ada lima: farhu a’in, fardhu kifayah, sunnah,
10
fadhilah dan nafilah10. Tetapi untuk membatasi bahasan penulisan dalam
permasalahan ini, maka penulis hanya membahas tentang shalat wajib secara
umum.
Kata Shalat berasal dari bahasa Arab yang diartikan secara harfiah
dengan do’a11, dan do’a adalah permohonan, sebagaimana yang telah digambarkan
Al-Quran :
)103: التوبة(
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berd’oalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah (9) : 103)
Menurut Jawwad Ali Shalat secara etimologi berarti doa, rahmat, dan
istigfar. Islam telah mempersempit makna shalat sebagai kewajiban ibadah
yang di dalamnya terdapat rukuk, sujud, gerakan-gerakan tertentu, dan
aturan-aturan baku yang tidak bisa mengubah semaunya.12 Shalat bisa pula
bermakna dengan shalawat, pujian, dan berkah.13
Shalat bisa pula bermakna dengan shalawat (QS. Al-Ahzab (33) : 56),
dalam menafsirkan makna shalawat Allah Swt. dan para malaikatnya, Ibnu
10 Abi Al-Qasim Muhammad bin Ahmad bin Juzayya, Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah, (Kairo,
Dar –Al-hadits, 2005) hal. 37. 11 Muhammad bin Ismail As-Shin’ani, Subula As-Salam; Syarah bulug Al-Maram,
(Kairo, Dar Al-Hadits, 2007), Jilid 1, hal. 151. 12 Jawwad Ali, Sejarah Shalat, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), cet. II, h. 3. 13 Syahruddin El Fikri, Sejarah Ibadah, Menelusuri Asal-usul, Memantapkan
Penghambaan, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), cet. I, h. 30.
11
Katsir mengemukakan, shalat Allah adalah rahmat, sedangkan shalat
malaikat adalah permohonan ampun.
Sedangkan menurut istilah ahli fiqih, shalat adalah ucapan dan perbuatan
yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam, sesuai
dengan syarat tertentu..14 Ucapan di sini adalah bacaan-bacaan Al-Qur’an,
takbir, tasbih, dan do’a. Sedang yang dimaksud dengan perbuatan adalah
gerakan-gerakan dalam shalat misalnya berdiri, ruku’, sujud, duduk, dan
gerakan-gerakan lain yang dilakukan dalam shalat.
Istilah shalat berasal dari bahasa Aramaic yang derivasinya dari suku kata
shad, lam, dan alif (shala), yang artinya adalah rukuk atau menunduk. Kata
shalat difungsikan untuk merepresantikan praktik ritual keagamaan,
kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi, sehingga sejak itu menjadi
bahasa Aramaic-Ibrani (aramiyah-‘Ibriyah). Kata ini masuk dalam bahasa
Arab melalui jalur Ahli Kitab sebelum datangnya Islam. Umat Yahudi
menggunakan kata “shallutah” pada masa-masa akhir periode Taurat,
sehingga menjadi bahasa popular yang memiliki religi.15
Dalam kamus-kamus bahasa disebut “shalat-shalat Yahudi (Wa shalawat
al-Yahudi), yaitu sinagog-sinagog Yahudi, sementara dalam Al-Quran, Allah
Swt. berfirman:
) 40: الحج(
14 Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh A’la al-Madzahib al-Arbiah, (Kairo: Dar al-Hadits,
2004), Jilid 1, h. 141. 15 Jawwad Ali, Sejarah Shalat, h. 4.
12
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan
Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya
Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa”. (QS. (22) Al-hajj : 40)
Ibnu Abbas berkata, “shalawat” artinya adalah tempat ibadah Yahudi yang
berasal dari bahasa Ibrani “shalluta”.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna sholat
tidak jauh dari do’a, yaitu suatu bacaan yang diawali dengan takbiratul Ihram
dan diakhiri dengan salam, tentunya bacaan-bacaan tersebut bersumber dari
Hadits-hadits Nabi Saw. salah, ketika seseorang memaknai sholat dengan
berdoa di dalam hati saja – yaitu tanpa adanya gerakan-gerakan sholat yang
semestinya- karena sholat adalah jatuh pada tataran praktek.
B. Sejarah Tentang Wajibnya Shalat
Berbicara mengenai sejarah shalat, banyak umat muslim yang belum tahu
kapan shalat pertama kali dikerjakan. Mayoritas dari mereka ketika ditanya,
menjawab “saya tidak tahu, sungguh Allah Swt. telah mewajibkan kepada
kita, cukup bagi kita mengerjakan saja apa yang telah diperintahkan kepada
kita”.
Hal senada juga dinyatakan oleh pemeluk Yahudi atau Nasrani ketika
ditanya tentang sejarah shalat. Mereka melaksanakan shalat karena orang tua
13
mereka mendirikan shalat. Mereka menjalankan ibadah dengan tata cara
warisan leluhur dan pelajaran dari mereka.
Lalu kapankah pelaksanaan shalat itu dimulai dalam kehidupan umat
manusia? Tak ada keterangan detail yang menjelaskan masalah ini. Namun,
dalam Al-Quran terdapat keterangan bahwa para nabi dan rasul yang diutus
oleh Allah semuanya melaksankan ibadah , termasuk shalat.
Hanya saja, bagaimana shalatnya para nabi dan rasul itu, tak diketahui
dengan pasti, kecuali shalat umat Islam yang diajarkan oleh Rasulullah Saw.
Melihat dari asal-usul pengertian sholat di atas, bisa dikatakan bahwa sholat
juga dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum Islam. Pemeluk Yahudi
dan Nasrani dari Arab mengerjakan shalat di tempat-tempat ibadah mereka.
Mereka tahu perihal ibadah shalat dengan tata caranya yang khas.
Dalam sebuah riwayat Hadits Bukhori dan Muslim diakatakan bahwa
peristiwa Isra Miraj adalah yang melatarbelakangi sejarah shalat,
meriwayatkan bahwa sebelum keberangkatannya – dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsa kemudian naik menuju sidratul Muntaha- Nabi Saw. dibedah
dan di duci hati beliau agar dipenuhi dengan iman. Disiapkan pula untuk
perjalanan beliau suatu kendaraan yang lebih kecil dari pada kuda dan lebih
besar dari pada baghal yang dinamai Buraq, langkahnya sejauh matanya
memandang.
Kemudian Beliau diantar oleh Malaikat Jibril dengan kendaraan itu dari
langit pertama hingga langit ketujuh. Di setiap langit beliau bertemu dengan
Nabi/utusan Allah, bermula dari Adam, lalu Yahya dan Isa as, lalu dilangit
ketiga Nabi yusuf, di langit keempat Nabi Idris, di langit kelima Nabi Harun,
14
di langit keenam Nabi Musa, dan di langit ketujuh Nabi Ibrahimas. Di sana
terdapat empat sungai, dua diantaranya adalah sungai Nil dan Eufrat dan dua
lainnya adalah sungai surgawi, lalu beliau menuju Bait al-Makmur. Setelah
itu masih menurut Nabi Muhammad: “Aku diberi pilihan tiga gelas berisi
khamr, susu, dan madu. Maka kupilih susu.” Jibril menyatakan: “inilah
fithrah yang diwajibkan kepadamu dan umatmu.” Lalu diwajibkan kepadaku
lima puluh sholat sehari semalam. Dalam perjalanan pulang, beliau bertemu
lagi dengan Nabi Musa as. Yang bertanya tentang apa yang nabi Saw.
peroleh. Ketika Nabi menyampaikan bahwa ada kewajiban lima puluh kali
sholat sehari semalam, Nabi Musa as. Meminta Nabi Saw. untuk memohon
keringanan. Beliau pun kembali dan diringankan lima kali, tetapi ketika
bertemu lagi dengan Nabi Musa, Nabi ini meminta Nabi Saw. kembali
meminta keringanan. Demikianlah, diringankan lagi lima kali. Berulang-
ulang. Berulang-ulang Nabi Saw. bertemu dengan Nabi Musa dan berulang-
ulang pula beliau kembali sehingga akhirnya tinggal lima kali sehari. Ini
masih dianjurkan oleh Nabi Musa agar Nabi Muhammad memohon
keringanan, tetapi beliau berkata: “Aku telah memohon kepada Allah berkali-
kali sehingga aku malu. Aku rela dan menerima itu.” ketika aku dalam
perjalanan pulang kudengar suara mengatakan: “Telah kutetapkan kewajiban
yang kubebankan dan telah kuringankan buat hamba-hamba-Ku.”16
M. Quraish Shihab mengomentari peristiwa di atas: “ada hal yang
disepakati oleh ulama dalam konteks peristiwa ini, yaitu bahwa ketika itulah
sholat lima kali sehari disyariatkan Allah, sedang sebelumnya sholat hanya
16 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, (Tangerang: Lentera Hati,
2011), Cet. 1, h. 446.
15
diwajibkan dua kali sehari: pagi dan petang. Ini berarti bahwa sholat
sedemikian penting sehingga Allah Swt. mengundang Nabi-Nya untuk datang
“menemui-Nya” dan menerima langsung kewajiban itu. kita di sini juga wajar
berhenti pada riwayat tentang kewajiban sholat yang telah dihidangkan di
atas, yakni tentang berbolak-baliknya Nabi Saw. meminta keringanan dan
yang terakhir dengan ditetapkannya sholat wajib lima kali sehari semalam.17
C. Dalil-Dalil Al-Quran Tentang Wajibnya Shalat
a. QS. (4) An-Nisa, 103:
Artinya: “Maka dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
(QS. (4) An-Nisa : 103).
b. QS. (2) Al-Baqarah, Ayat 43:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta
orang-orang yang ruku” (QS. (2) Al-Baqarah : 43)
c. QS. (2) Al-Baqarah, Ayat 110:
17 M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, h. 450
16
Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa
yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan dapat
pahalanya pada sisi Allah sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa
yang kamu kerjakan”. (QS. (2) Al-Baqarah : 110)
d. QS. (29) Al-Ankabut, Ayat 4:
Artinya: Kerjakanlah shalat sesungguhnya shalat itu bisa mencegah perbuatan keji dan munkar”. (QS. (29) Al-Ankabut : 4)
e. QS. (24) An-Nuur, Ayat 56:
Artinya: “Dan kerjakanlah shalat, berikanlah zakat, dan taat kepada
Rasul, agar supaya kalian semua diberi rahmat”. (QS. (24) An-Nuur :
56).
f. QS. (87) Al-A’la, Ayat 14, 15:
Artinya: “Sungguh beruntung oranng yang mensucikan diri (dengan
beriman), dan mengingat nama Tuhan-Nya, maka dia shalat” (QS. (87)
Al-A’la : 14,14)
g. QS. (20) Thaha, Ayat 14:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (Allah)” (QS.
(20) Thaha: 14).
17
Dari dalil-dalil Al-Qur'an di atas tidak ada kata-kata perintah shalat dengan
perkataan “laksanakanlah” tetapi semuanya dengan perkataan “dirikanlah”.
Dari unsur kata-kata melaksanakan itu tidak mengandung unsur batiniah
sehingga banyak mereka yang Islam dan melaksanakan shalat tetapi mereka
masih berbuat keji dan munkar. Sementara kata mendirikan selain
mengandung unsur lahir juga mengandung unsur batiniah sehingga apabila
shalat telah mereka dirikan, maka mereka tidak akan berbuat jahat.
D. Dasar Hukum Shalat
Islam adalah agama penyempurna dari agama-agama sebelumya, segala
bentuk ibadah-ibadah telah diatur olehnya, termasuk didalamnya shalat, yang
mana Allah Swt. telah mewajibkan kepada umat Muslim laki-laki atau
perempuan berdasarkan Al-Qur’an , Hadits dan Ijma’.
a. Al-Qur’an:
)النساء :
103(
Artinya: “Maka dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”.
(QS. (4) An-Nisa : 103).
Shalat dalam agama-agama dibagi menjadi dua macam: pertama,
shalat “yang diwajibkan”; kedua, yang dianjurkan.” Shalat yang kedua
ini tidak memiliki konsekuensi dosa jika ditinggalkan. Shalat sunah
bisa dilaksanakan secara sukarela bagi siapa pun yang ingin lebih
mendekatkan diri pada Tuhan. Sebagian kalangan Yahudi dan Nasrani
18
telah mengabaikan sebagai shalat yang dilakukan oleh nenek moyang
mereka. Oleh karena itu, bilangan shalat kaum Yahudi sekarang ini
lebih sedikit dibandingkan dengan yang pernah ada pada zaman
dahulu. Mereka juga telah menyepelekan ketentuan waktu shalat.
Shalat dalam Islam juga ada dua macam: pertama, shalat yang
diwajibkan, yakni shalat fardhu lima waktu yang harus dilaksanakan
tepat pada waktunya; kedua, shalat yang tidak diwajibkan yang terdiri
atas shalat sunah, mustahab, tawathu’.18
a. Hadits:
قاَل رسولُ االلهِ صلى االله عليه وسلم : عنه قال عن عبد االله بن عمر رضي االله
بنِي الإِسلَام على خمسٍ، شهادة أَنْ لَاإله إلّا االله وأَنَّ محمدا رسولُ االله، وإقَامِ (
رواه ) الصلَاة وإِيتاءِ الزكَاة وصومِ رمضانَ وحج البيت لمنِ استطَاع إلَيه سبِيلًا
البخاري والمسلم
Dari Abdullah bin Umar R.A. berkata: Rasulullah Saw. Bersabda:
Islam dibangun di atas lima perkara: Syahadat (bersaksi tiada Tuhan
selain Allah dam Nabi Muhammad adalah utusan Allah), mendirikan
shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, Haji bagi orang yang
mampu. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Hadits diatas bahwa Islam dibangun dengan pondasi yang
kokoh dan kuat, diantaranya shalat, shalat merupakan tolak ukur
seseorang untuk dikatakan muslim atau bukan. Karena ibadah yang
18 Jawwad Ali, Sejarah Shalat, h. 15.
19
paling utama dan yang paling pertama diwajibkan dari ibadah-ibadah
yang lain adalah shalat.19 Dan shalat juga merupakan amal yang
paling pertama dihisab pada hari kiamat, jika shalatnya berkualiatas
baik maka baik pula seluruh amalan yang lainnya.
b. Ijma’
Para Ulama bersepakat bahwa shalat lima waktu sehari semalam
hukumnya wajib yaitu Subuh, Dzuhur, Ashar, Magrib dan Isya.
E. Bilangan Shalat Yang Diwajibkan
Seluruh mazhab Islam bersepakat bahwa shalat yang diwajibkan dalam
sehari semalam adalah lima waktu. Mereka juga sepakat dalam masalah
bilangan rakaat. Shalat subuh dua rakaat, shalat Dzuhur, Ashar, dan Isya,
masing-asing berjumlah empat rakaat. Sedangkan shalat Magrib tiga rakaat.
Tidak ada dalil terperinci dalam Al-Qur’an mengenai bilangan shalat
fardhu, tetapi Surat An-Nisa Ayat 103 bisa dijadikan rujukan walaupun tidak
dijelaskan secara rinci, kita cukup mengimaninya saja, karena ini adalah
ketetapan dari Allah Swt. yang tidak boleh diganggu gugat, sesiapa yang
mengingkarinya maka dinyatakan keluar dari islam (murtad)20.
Sedangkan menurut Hadits, dalil tentang bilangan shalat lima waktu
adalah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: “perumpamaan
shalat lima waktu adalah seperti sungai yang mengalir membanjiri pintu
rumah di antara kamu, mandi dengan air sungai itu setiap hari lima kali”
(HR. Muslim).
19 Sayyid Sabiq, As-Shalat, At-taharat, wa al-wudhu, (Kairo: Daar Al-Fath Lil i’lam Al-
A’rabi, 1996), cet. 1, hal 69. 20 Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh A’la al-Madzahib al-Arbiah, jilid I, hal. 144.
20
Shalat lima waktu telah disempurnakan di Madinah. Di kota inilah shalat
lima waktu muncul; sesuatu yang belum ada pada periode Mekkah. Hal ini
dikarenakan perubahan kondisi dan situasi serta perkembangan Islam,
sehingga memungkinkan kaum Muslim untuk mengerjakan ibadah secara
terang-terangan.
F. Batas-Batas Waktu Shalat Fardlu
Shalat mempunyai batas-batas waktu tertentu yang harus dipatuhi,
seseorang tidak boleh mengerjakan shalat disembarang waktu, tidak dianggap
sah shalatnya seseorang jika shalat tidak dikerjakan tidak pada waktunya.
sesuai dengan firman Allah Swt.: Artinya: “Maka dirikanlah shalat.
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman”. (QS. (4) An-Nisa : 103).
Al-Qur’an juga memberi petunjuk tentang waktu-waktu shalat,
sebagaimana dalam QS. (11) Hud, Ayat 114:
Artinya: “Dan dirikanlah shalat pada kedua ujung siang (pagi dan petang)
dan pada bagian permulaan malam. Perbuatan baik itu menghapus
kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat Allah.
(QS. (11) Hud : 114)
Para mufassir berbeda pendapat tentang arti tharafayi an-nahar, Ali bin
Abi Talhah berpendapat kalimat tersebut berarti subuh dan magrib,
sedangkan Al-Hasan mengatakan kalimat tersebut berarti subuh dan ashar.
Sedangkan kalimat zulafan min Al-laili Ibnu Abbas, Mujahid dan Hasan
21
mengartikannya dengan shalat isya dan ada juga yang mengartikannya
dengan shalat magrib dan isya ini menurut Hasan dari riwayat Ibnu
Mubarak.21
Ayat lain –tepatnya QS. (18) Al-Isra : 78- memerintahkan shalat ketika
matahari tergelincir sampai gelap malam, juga menerangkan waktu-waktu
shalat yang lima, tergelincir matahari untuk waktu shalat dzuhur dan ashar,
gelap malam waktu untuk magrib dan Isya. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh, sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat)” (QS. (18) Al-Isra : 78).
Allah Swt. berfirman kepada Rasulullah Saw. untuk melaksanakan shalat
pada waktunya, Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibn Zaid lafadz duluki artinya
terbenamnya matahari, sedangkan lafadz gasaqi artinya gelapnya malam.
Terbenamnya matahari mencakup shalat dzuhur, ashar, magrib, i’sya dan
shalat subuh ada pada kalimat Wa Qurana Al-Fajr.22
Dari beberapa petunjuk ayat di atas, dapat diperinci waktu-waktunya
sebagai berikut:
1. Shalat Dzuhur
Secara bahasa Dzuhur berarti waktu zawal yaitu waktu
tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari tengah-tengah
21 Abi Al-Fida Ismail ibn Umar Ibn Katsir Ad-damasyqi, Tafsir Al-Quran Al-A’dzhim,
(Riyad : Daar At-tayyibah li An-Nasyr wa at-Tauzi’, 1997) Cet. 1, Jilid. 4, Hal. 354. 22 Abi Al-Fida Ismail ibn Umar Ibn Katsir Ad-damasyqi, Tafsir Al-Quran Al-A’dzhim,
Jilid. 5, Hal. 101.
22
langit) menuju arah tenggelamnya (barat). Sholat dzuhur adalah sholat
yang dikerjakan ketika waktu dzuhur telah masuk. Sholat dzuhur
disebut juga sholat Al Uulaa (الأُوْلَى) karena sholat yang pertama kali
dikerjakan Nabi Saw. bersama Jibril ‘Alaihis salam.23
Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser dari
tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini merupakan
kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya adalah hadits Nabi Saw.
dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr r.a.:
وقْت الظُّهرِ إِذَا زالَت الشّمس وكَانَ ظلُّ الرّجلِ كَطُوله ما لَم يحضرِ رصالْع……..
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju
arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana
tingginya selama belum masuk waktu ‘Ashar……….” (HR. Muslim)
Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu dzuhur
namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat
jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-bayang
seseorang semisal dengan tingginya (masuknya waktu ‘ashar).24
2. Shalat Ashar
Ashar diartikan sebagai waktu sore hingga matahari memerah yaitu
akhir dari dalam sehari. Shalat ashar adalah shalat ketika telah masuk
waktu ashar, shalat ashar ini juga disebut shalat wushtho (الوُسْطَى).
23 Abdul Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh A’la al-Madzahib al-Arbiah, Jilid 1, hal. 143. 24 Artikel ini diakses pada tanggal 18 Januari 2017 Pukul 15.30 dari
http://muslim.or.id/6258-waktu-waktu-shalat.html.
23
Awal waktu ashar yaitu jika panjang bayangan sesuatu telah
semisal dengan tingginya (menurut pendapat jumhur ulama) sampai
terbenamnya matahari. Dalilnya adalah hadits Nabi Saw.:
قْتوو رصرِ الْعضحي ا لَمم هلِ كَطُولجّلُّ الركَانَ ظو سمّالش الَترِ إِذَا زالظُّه قْتو
سمّالش ّفَرصت ا لَمرِ مصالْع……
“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir matahari (menuju
arah tenggelamnya) hingga bayangan seseorang sebagaimana tingginya
selama belum masuk waktu ashar dan waktu ashar masih tetap ada
selama matahari belum menguning………”(HR. Muslim). 3. Shalat Magrib
Maghrib berarti waktu dan arah tempat tenggelamnya matahari.
Sholat maghrib adalah sholat yang dilaksanakan pada waktu
tenggelamnya matahari. Awal waktu sholat maghrib adalah ketika
matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar tenggelam
sempurna. Sedangkan akhir waktu shalat magrib adalah hilangnya
syafaq yaitu cahaya kemerah-merahan.
4. Shalat Isya
Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap
(setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat ‘isya’
disebut demikian karena dikerjakan pada waktu tersebut.
Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah jika
telah hilang sinar merah di langit. Sedangkan akhir waktu shalat Isya’
24
adalah hingga setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’ adalah
hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah.
5. Shalat Shubuh
Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut juga
sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah. Fajar ada dua jenis yaitu
fajar pertama fajar kadzib yang merupakan pancaran sinar putih yang
mencuat ka atas kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.
Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih yang
memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus menjadi lebih
terang hingga terbit matahari.
Para ulama sepakat bahwa awal waktu shalat fajar dimulai sejak
terbitnya fajar kedua/fajar shodiq. Para ulama juga sepakat bahwa
akhir waktu shalat fajar dimulai sejak terbitnya matahari.
25
BAB III
SEKILAS TENTANG WETU TELU DAN GAMBARAN UMUM DESA
NARMADA DASAN TERENG
A. Sejarah Wetu Telu
Awal mula kedatangan Islam ke pulau Lombok adalah seiring dengan
perkembangan Islam di Nusantara dan keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Masuknya Islam ke tanah Lombok diduga diabwa oleh pedagang-pedagang
muslim yang berniaga di Lombok yang kemudian menyebarkan agamanya.
Dalam Babad Lombok dijelaskan bahwa Sunan Ratu Giri memerintahkan
Raja-Raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke
Indonesia bagian utara. Beberapa orang yang ditugasakan itu adalah Lembok
Mangkurat dan pasukannya dikirim ke Banjar, Datu Bandan dikirim ke
Selayar, Makassar,Tidore dan Seram, Pangeran Perapen mengirim anak laki-
lakinya untuk berlayar menyiarkan Islam ke Bali, Lombok dan Sumbawa.25
Amaq Sumiati pelaku Wetu Telu menjelaskan bahwa sejarah Wetu Telu
datangnya Da’i yang datang dari tanah Jawa, sekitar tahun 1600 M. Melalui
daerah Bayan, wilayah Lombok bagian utara yang sekarang menjadi
kabupaten Lombok Utara. Para Da’i berdakwah dengan menggunakan
metode-metode pendekatan keilmuwan dan dengan mempertimbangkan
situasi saat itu. Ketika itu masyarakat pulau Lombok masih dalam keadaan
25Artikel diakses pada 12 Januari 2017 pukul 22.57 WIB dari http://kebudayaanindonesia.net/
26
kepercayaan animisme, yakni pengaruh Hindu dan Budha. Maka para Dai
dalam berdakwah memperkenalkan Islam tidak dengan secara terbuka tetapi
dengan cara menyentuh kepada ketuhanan. Kemudian tentang metode
bagaimana caranya para Da’i (yang dalam bahasa sasak ngamar) memulai
dengan memperkenalkan dari mana asal kejadian manusia, supaya mengenal
diri manusia setelah itu nantinya dia akan mengenal Tuhannya.26
Riwayat lain menyebutkan bahwa sebelum masuknya Islam, masyarakat
yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan
animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui
para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah
runtuhnya kerajaan Majapahit. Sunan Prapen merupakan Raja ke 4 dari dinasti Giri
Kedaton. Ia merupakan anak dari Sunan Dalem penerus Giri yg ke 2. Sunan Prapen lahir
tahun 1432 saka atau 1510 Masehi. Pada umur 46 tahun menjadi Raja Giri ke 4
bertepatan tahun 1556 M. Dan meninggal dunia tahun 2605 M. umur Sunan
Prapen 95 tahun. Dan memimpin kerajaan Giri Kedaton selama 49 tahun.27
Setelah pangeran tiba di tanah Lombok, pangeran Prapen diterima dengan
baik oleh Raja Lombok, setelah memaparkan misi sucinya Raja Lombok pun
bersedia masuk Islam. Akan tetapi Rakyat Sasak belum bisa menerima
kehadiran agama Islam di tanah mereka sehingga Raja Lombok pun dihasut
oleh rakyat sampai terjadi peperangan antara kedua belah pihak yaitu pasukan
pangeran Prapen dan rakyat sasak yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan
Pangeran Perapen. Atas kemenangan tersebut, Pangeran Perapen dan
pasukannya pun mengislamkan Raja beserta kedatuan-kedatuan lainnya
26 Wawancara pribadi dengan Amaq Sumiati, Pelaku Wetu Telu, Narmada 15 febururi 2014 Pukul 9.27 WITA 27 Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam sejarah, Cet. 4, 2007.
27
seperti Pejanggik, Langko, Parwa, Sarwadadi, Bayan, Sokong dan Sasak
(Lombok Utara). Dan juga ada kedatuan-kedatuan yang dengan sukarela
masuk islam yaitu Parigi dan Sarwadadi. Pangeran Prapen juga
mengislamkan masyarakat Lombok dan menghitan para lelaki serta
mengharamakan pura, meru, babi dan sanggah. Pasca itu, Agama Islam
berkembang dengan sangat pesat Di Pulau Lombok. Hal ini tidak terlepas dari
beberapa faktor yang membuat Islam dengan mudah diterima di Tanah
Lombok.
Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah (1) Agama Islam dianggap
sebagai agama yang demokratis, (2) Agama Islam bukan merupakan ajaran
yang asing lagi bagi masyarakat Sasak, (3) penyebaran Agama Islam
dilakukan secara damai seperti melalui pereragangan dan perkawinan, (4)
terjadinya kekosongan rohani rakyat akibat runtuhnya Kerajaan Majapahit
dan (5) dakwah dari para guru dan ulama yang intensif.
Pasca kesuksesan Sunan Prapen mengislamkan masyarakat suku Sasak
saat itu, Sunan Prapen bergegas meninggalkan Lombok untuk menyebarkan
agama Islam ke wilayah Sumbawa dan Bima. Akan tetapi, sepeninggalan
Sunan Prapen timbul masalah baru di kalangan masyarakat suku Sasak, yakni
kaum wanita suku Sasak menolak memeluk agama Islam. Tak hanya itu,
masyarakat Sasak juga terpecah menjadi 3 golongan yaitu golongan yang
memilih mempertahankan kepercayaan lamanya dan lari ke hutan (orang
Boda), golongan yang takluk dan memeluk Islam (Waktu Lima) dan
golongan yang hanya takluk pada kekuasaan Sunan Prapen (Wetu Telu).
Akibat dari adanya masalah ini Sunan Prapen akhirnya kembali lagi ke
28
Lombok untuk meluruskan dan memperbaiki penyebaran Islam di Lombok.
Dari ketiga golongan tersebut, Islam Wetu Telu adalah golongan yang
keberadaannya masih bertahan sampai sekarang. Hal ini disebabkan oleh
proses Islamisasi yang belum tuntas sebagai penyebab utama munculnya
Islam Wetu Telu. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Kedatangan Islam pada saat kuatnya kepercayaan tradisional seperti
animisme, dinamisme, dan Boda.
2. Dominasi ajaran Hindu Majapahit yang telah berakar kuat di
masyarakat.
3. Para mubaligh dan ulama yang menyampaikan ajaran agama Islam
terburu-buru meninggalkan tempat tugasnya untuk menyebarkan
agama Islam ke tempat lain seperti Sumbawa, Dompu, dan Bima.
4. Para murid yang menjadi kepanjangan tangan para mubaligh dan
ulama belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan ajaran
Islam secara rasional dan
5. Metode dakwah yang sangat toleran dengan komitmen tidak akan
merusak adat istiadat setempat.
Menurut Lalu Lukman dalam bukunya disampaikan juga dugaan bahwa praktik
Wetu Telu bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali
tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu
itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak
memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke
arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat
ditemukannya penganut Wetu Telu sampai masa modern ini. Bahasa
29
pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta
menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut
kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya
masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-
istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian dan penyebaran Islam.
Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa
Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan
kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk
melakukan peribadatan adalah para kiai atau pemangku adat saja (sebutan
untuk pewaris adat istiadat nenek moyang).
Salah satu bukti yang dapat dijadikan sebagai kajian tentang awal penyebaran
agama Islam adalah masjid kuno Bayan Beleq.28 Al-Fadal salah satu penyebar Islam
di Bayan mengatakan bahwa komunitas Islam Wetu Telu adalah sistem kepercayaan
sinkretik hasil saling-silang ajaran Islam, Hindu, unsur animisme dan
antropomorfisme (Boda). Adanya sinkretisme semacam itu tercermin pula pada
sejumlah lontar yang ditemukan di Lombok, banyak diantara lontar tersebut yang
dimulai dari lafaz “Bismillah” tapi selanjutnya memberikan ajaran yang jelas-jelas
berdasarkan filsafat Hindu dan Budha. Oleh karena itu Vogellasaeng mengatakan
bahwa Islam Wetu Telu adalah agama Majapahit (Hindu dan Budha) yang sudah
ipernis dengan ajaran Islam. 29
Erni Budiwati mengatakan sebelum kedatangan pengaruh asing di
Lombok, Boda merupakan kepercayaan asli orang Sasak atau dikenal juga
28 Muhammad Ahyar Fadly, Islam Lokal, STAIIQ Press, Cet 1 Maret 2008, hlm 36 29 Bahrie S,Pd., H. sudirman, S,Pd., L. Rarmaja, S,Pd, Islam Wetu Telu di Bumi Sasak,
hlm. 9
30
dengan Sasak-Boda. Kendati demikian kepercayaan Boda ini tidaklah sama
dengan Budhisme karena ia tidak mengakui Sidharta Gautama atau Sang
Budha sebagai figur utama pemujaannya maupun terhadap ajaran
pencerahannya. Agama Boda dari orang Sasak asli terutama ditandai oleh
animisme dan panteisme.30 Pemujaan dan penyembahan terhadap roh-roh
leluhur dan berbagai dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktek
keagamaan Sasak-Boda.
Islam Wetu Telu meskipun dasar-dasar syri’atnya sudah dilaksanakan,
tetapi mereka masih melaksanakan ajaran-ajaran yang berbau Hindu seperti
pemujaan-pemujaan terhadap pedewak. beralihnya agama Hindu pada agama
Islam tidaklah sekaligus, tetapi berangsur-angsur yang dikenal dengan priode
peralihan. Islam masuk ke pulau Lombok pertama-tama sekitar pada abad ke-
16, setelah runtuhnya Majapahit. Islam masuk melalui adat Hindu yakni
dengan cara tidak menyinggung kepercayaan agama lain, dengan cara tidak
bertentangan dengan syari’at. seperti Al-Qur’an ditulis dengan tangan, huruf-
huruf arab ditulis dengan memakai bahasa jawa kuno dengan menggunakan
tembang-tembang. Salah satu contoh syahadatain, yang berbunyi:“ASYHADU
ANLAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADA
ROSULULLAH” kemudian ditulis atau digantikan digantikan dengan bahasa
jawa kuno yang berbunyi: “URUH INSUN SATUHANE PANGERAN
AMUNG ALLAH LAN URUH SATUHUNE NABI MUHAMMAD UTUSAN
ALLAH”. dari tulisan di atas jelaslah dasar-dasar inti dari ajaran Wetu Telu
adalah Islam. Maka ada kemungkinan sebelum masa peralihan tersebut
30 Secara harfiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua adalah Tuhan". Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang mencakup semuanya; atau bahwa alam semesta atau alam dan Tuhan adalah sama.
31
penyebar Islam sudah meningglkan pulau Lombok lalu sebagai bentuk
kepatuhannya para murid kepada guru tidak mau beranjak untuk perubahan
kesempurnaan.
B. Arti dan Makna Wetu Telu
Penyebutan istilah Wetu Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda.
Komunitas Waktu Lima menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga
dan mengaitkan makna ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi tiga.
Dan inilah beberapa arti dan makna Wetu Telu dapat dijabarkan sebagai
berikut:
1. Wetu berarti hukum dan Telu berarti tiga. Adapun hukum yang yang
ketiga yang dimaksudkan adalah: adat, agama dan pemerintah.
2. Semua makhluk hidup muncul (metu) melalui tiga jenis sistem, yaitu:
a. Mentiuq (berkembang biak dari benih) seperti tumbuhan.
b. Menteluq (bertelur) seperti unggas.
c. Menganak (melahirkan) seperti manusia.
3. Pengakuan terhadap Tuhan, Adam dan Hawa.
4. Keharusan semua makhluk hidup melalui tiga tahapan rangkaian
siklus, yaitu: menganak (dilahirkan), urip (hidup) dan mate (meninggal
dunia).
5. Kepercayaan masyarakat terhadap Al-Quran, Hadits, dan Ijma’ para
ulama.
6. Kenyataan hidup yang tidak pernah terlepas dari: hari, bulan, tahun.
32
C. Perubahan Keagamaan Islam Wetu Telu
a. Pergeseran Praktek Keagamaan Masyarakat Wetu Telu
Islam Wetu Telu di Narmada adalah suatu realitas kehidupan
keagamaan yang bercirikan paham keagamaan dalam aspek-aspek tertentu
berbeda dengan Islam Waktu Lima. Ciri khas praktek keagamaan Wetu
Telu antara lain, seperti: keterlibatan arwah leluhur dalam menyampaikan
permohonan seseorang atau sekelompok orang pada Tuhan, Peran
dominan Kiai dalam semua upacara ritual keagamaan, kewajiban shalat
dan puasa hanya diserahkan kepada Kiai untuk melakukannya,
dibayarkannya dua jenis zakat fitrah, yaitu fitrah urif dan fitrah Pati oleh
masyarakat konon zakat fitrah yang hanya boleh dibayarkan kepada Kiai,
dan yang paling penting adalah dijadikannya norma adat sebagai pedoman
dominan dalam melaksanakan semua bentuk kepercayaan dan praktek
ritual keagamaan serta prilaku keagamaan dalam kehidupan keseharian.
Paham dan praktek keagamaan Wetu Telu merupakan suatu
realitas sosial, dalam arti bahwa masyarakat Wetu Telu dengan ciri-cirinya
tersebut diatas merupakan sesuatu yang riil, bekerja menurut prinsip-
prinsipnya sendiri yang khas, yang tidak hanya mencerminkan maksud-
maksud individual yang sadar, berada secara terlepas dari individu-
individu yang berada di dalamnya, karena masyarakat merupakan suatu
kenyataan yang lebih dari pada sekedar jumlah bagian-bagiannya.
Di sisi lain, masyarakat Wetu Telu Narmada bisa dipandang dalam
posisi nominal, sehingga sebenarnya hanya individu-individu yang riil
secara obyektif, sedang masyarakat hanya suatu nama yang menunjukkan
33
pada sekumpulan individu-individu. Berikut ini akan dipaparkan
bagaimana individu-individu tertentu di desa atau masyarakat desa ini
telah melakukan tindakan perubahan keagamaan sebagai suatu realiatas
sosial obyektif keagamaan yang lain (Islam Waktu Lima) yang berbeda
dari realitas obyektif yang telah ada (Islam Wetu Telu), setelah Nahdhatul
Wathan31 berupaya melenyapkan bercampurnya norma adat dengan nilai-
nilai ajaran Islam yang sebenarnya melalui aktivitas dakwah Islamiyah.
Berbeda dengan sekarang ini, masyarakat Narmada sudah
menjadikan Islam sebagai anutannya. Masyarakat Islam Narmada telah
menjalankan shalat lima kali sehari semalam, berpuasa selama bulan
Ramadhan, zakat fitrah tidak lagi diserahkan kepada para Kiai atau
penghulu, melainkan kepada orang yang memang berhak menerimanya
(mustahiq) seperti fakir dan miskin. Di kalangan masyarakat juga tidak
tampak lagi kepercayaan tentang hari baik ketidak beruntungan seseorang
di dalam menjalankan suatu kegiatan atau suatu usahanya, atau
keterlibatan arwah leluhur di dalam menyampaikan permohonan seseorang
atau sekelompok orang kepada Tuhan. Zakat tidak lagi diserahkan kepada
para Kiai, melainkan kepada orang yang memang berhak menerimanya
seperti fakir miskin; mereka juga tidak mau lagi mengikuti prakek-praktek
adat yang selain tiak masuk dalam akal pikiran, dan membutuhkan biaya
yang sangat besar, serta mengarah kepada sikap boros, dan yang sangat
penting adalah dijadikanya ajaran Islam sebagai pedoman di dalam
bersikap dan berperilaku dalam masyarakat.
31 Sebuah organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di pulau Lombok Nusa Tenggara Barat, didirikan oleh Tuan Guru (TG.) KH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang dijuluki Tuan Guru Pancor pada tanggal 1 Maret 1953 bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1372.
34
Dari hasil pengamatan di lapangan dan beberapa informan
menyatakan bahwa masyarakat bahwa masyarakat Narmada saat ini,
sesudah menjadikan Islam sebagai aturannya, mereka juga telah
mempraktikkan ajaran Islam dalam setiap kegiatan keseharia. Masyarakat
juga telah meninggalkan berbagai praktek ritual yang setiap
pelaksanaannya diiringi dengan acara makan dan minum secara
berlebihan. Sebaliknya saat ini, masyarakat sudah mulai mempergunakan
akal pikirannya di dalam memahami ajaran Islam. Selain itu, mereka juga
mulai rasional, penuh perhitungan, hemat, serta teliti di dalam setiap
aktivitas kesehariannya.
Senada dengan pernyataan di atas, Tuan Guru Afifuddin (70 tahun)
salah seorang da’i ketika itu, menyatakan bahwa kami merasa bersyukur
melihat perkembangan masyarakat Narmada yang sekarang ini sudah
menjalankan syari’at Islam secara utuh dan konsisten, berbeda dengan
ketika kami pertama kali datang dulu, kami dituduh sebagai orang yang
merusak adat atau tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Berdasarkan realitas di atas, nampaklah bahwa telah terjadi
perubahan keagamaan masyarakat Wetu Telu ke Islam Waktu Lima di
Narmada. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana proses perubahan
keagamaan itu terjadi, bagaimana sikap dan perilaku keagamaan
masyarakat, dan apa saja yang diperoleh oleh orang-orang yang
melakukan praktek keagamaan tersebut.
35
b. Proses Terjadinya Perubahan Keagamaan Islam Wetu Telu
Pesatnya perkembangan kepercayaan Wetu Telu terutama di wilayah
Narmada telah mendorong organisasi keagamaan Nahdhatul Wathan untuk
masuk ke dalam kelompok Wetu Telu dan berusaha untuk mendorong
mereka melakukan perubahan keagamaan ke Islam Waktu Lima dengan
cara melepaskan mereka dari pengaruh tradisi yang diwariskan oleh para
leluhur dan memebersihkan mereka dari sistem kepercayaan dan praktik-
praktik ritual yang berdasarkan norma adat yang bertentangan dengan
ajaran Islam.
Dalam menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat Wetu Telu
Narmada, setidaknya terdapat tiga mekanisme dakwah yang dipergunakan
Nahdlatul Wathan yaitu:
1) Dakwah melalui Madrasah.
2) Dakwah melalui Majlis Taklim.
3) Dakwah melalui khutbah dan ceramah pada moment penting
hari besar Islam.
D. Profil Desa Narmada Dasan Tereng
Desa Narmada merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan
Narmada, kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia.
Desa Narmada merupakan satu dari 16 desa dan kelurahan yang berada di
kecamatan Narmada. Desa ini memiliki kode pos 83371. Desa ini memiliki
jumlah penduduknya sebagian besar bersuku daerah Sasak. Terletak di bagian
barat pulau Lombok. Narmada terletak 10 kilometer di sebelah timur kota
Mataram. Kota ini terkenal dengan julukan kota "Air". Hal ini didasarkan
36
pada kenyataan bahwa Narmada mempunyai banyak mata air. Mata air
berasal dari simpanan air hutan di daerah Narmada yang terletak di Suranadi
dan Sesaot. Desa Narmada memiliki Moto "AIR" yang merupakan singkatan
dari "Aman, Indah, Rapi".32
E. Kegiatan-Kegiatan Penganut Islam Wetu Telu Desa Narmada
Setiap daerah di Indonesia mempunyai adat istiadat atau kegiatan
kemasyarakatan yang sangat beragam, begitu pun yang terjadi pada
masyarakat Islam Wetu Telu desa Narmada yang notabene –sebelum
datangnya Islam- adalah desa pedalaman, mayoritas penduduknya adalah
suku Sasak yang mempunyai adat istiadat yang sangat kental, adat istiadat itu
sudah bercampur sehubungan datangnya Islam Wetu Telu. adapun kegiatan-
kegiatan Masyarakat Islam Wetu Telu Desa Narmada adalah sebagai berikut:
1. Buang Au (Upacara Kelahiran)
Merupakan upacara pembuangan abu dari arang yang dibakar
dukun beranak (belian) setelah membantu persalinan. Upacara ini
dilaksanakan kira-kira satu minggu setelah melahirkan. Pada saat itu
pula orang tua mengumumkan nama anaknya setelah berkonsultasi
dengan pemangku atau kyai mengenai nama yang cocok untuk
anaknya.
2. Ngurisang (Pemotongan Rambut)
Merupakan upacara pemotongan rambut yang dilakukan setelah
buang au. Upacara ini diadakan untuk seorang anak yang sudah
mencapai usia antara 1 sampai 7 tahun. Ngurisang dianggap penting
32 Wawancara pribadi dengan Yudi, Warga Desa Narmada, Narmada, 25 februari 2014,
Pukul 16.21 WITA
37
karena setelah ini anak yang menjalaninya disebut selam (Muslim)
sebagai lawan dari Boda, artinya orang yang belum di-Islam-kan.
3. Ngitanang (Khitanan)
Ngitanang yaitu ritual yang dilakukan saat anak berusia antara 3
hingga 10 tahun. Seperti buang au dan ngurisang, ngitanang juga
dipandang sebagai simbol peng-Islam-an. Seorang anak masih tetap
Boda sampai ia dikhitan.
4. Merosok (Meratakan Gigi)
Merupakan upacara yang menandai peralihan dari kanak-kanak
menjadi dewasa. Dalam upacara ini pemangku atau kyai
menghaluskan gigi bagian depan anak laki-laki dan gadis remaja yang
berbaring di berugak.
5. Merari/Mulang (“mencuri” Gadis) dan Metikah (Perkawinan)
Merari yaitu mencuri gadis yang hendak dinikahkan. Calon
mempelai wanita menyelinap keluar dari rumah orang tuanya seperti
sudah direncanakan sebelumn. Penculikan ini dianggap berhasil bila
mempelai wanita dan pria menyembunyikan diri di suatu tempat
rahasia biasanya di rumah keluarga mempelai pria seperti paman an
bibi atau rumah salah seorang kerabat terdekat mempelai pria.
Warna Islam memang ada dalam kepercayaan Wetu Telu, warna islam
juga ditemukan dalam ritual-ritual yang diselenggarakan pada hari besar
Islam, seperti halnya Masyarakat di bayan, penganut Wetu Telu di Narmada
juga memperingati hari-hari besar Islam, bedanya dengan penganut Waku
Lima mereka mengikuti waktu yang ditentukan oleh Departemen Agama,
38
sedangkan Wetu Telu menggunakan naptu (perhitungan tradisional) mereka
sendiri dalam menetapkan tanggal yang tepat untuk menyelenggarakan hari
besar Islam. Adapun ritual yang diselenggarakan yaitu:33
1. Rowah Wulan dan Sampet Jum’at34
Kedua upacara ini dimaksudkan untuk menyambut tibanya bulan
puasa (Ramadlan). Rowah Wulan diselenggarakan pada hari pertama
bulan Sya’ban, sedangkan Sampet Jum’at dilaksanakan pada jum’at
terakhir bulan Sya’ban. Tujuannya adalah sebagai upacara
pembersihan diri menyambut bulan puasa, saat mereka diminta untuk
menahan diri dari perbuatan yang dilarang guna menjaga kesucian
bulan puasa.
Upacara-upacara ini tergolong unik, karena masyarakat Wetu Telu
sendiri tidak melakukan puasa. Yang melaksanakan hanyalah para
Kiai, itupun tidak sama dengan tata cara berpuasa yang dilakukan oleh
penganut Waktu Lima.
2. Maleman Qunut dan Maleman Likuran
Maleman qunut merupakan peringatan yang menandai
keberhasilan melewati separuh bulan puasa. Upacara ini dilaksanakan
pada malam keenam belas dari bulan puasa. Bila dibandingkan dengan
Waktu Lima, pada malam keenam belas dalam pelaksanaan rakaat
terakhir shalat witir setelah shalat tarawih disisipkan qunut. Barangkali
atas dasar ini kemudian Wetu Telu menyelenggarakan Maleman
33 Erni Budiwanti, Islam Sasak, WetuTelu versus wetu Lima, (Yogyakarta: LKiS, 2000) Cet 2, h.156
34 Secara Harfiah Sampet berarti tutup. Jum’at terakhir bulan Saban adalah tutupan (Sampet). Ini berarti bahwa pesta-pesta dan perilaku yang berlebihan sudah tidak dibenarkan lagi.
39
Qunut. Sedangkan Maleman Likuran35 merupakan upacara yang
dilaksanakan pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29 bulan puasa.
Perayaan tersebut dinamakan maleman selikur, maleman telu likur,
maleman selae, maleman pitu likur, dan maleman siwak likur. Pada
malam ini masyarakat Wetu Telu secara bergiliran menghidangkan
makanan untuk para kyai yang melaksanakan shalat tarawih di masjid
kuno. Adapun pada malam ke-22, 24, 26, dan 28 dirayakan dengan
makan bersama oleh para kyai. Perayaan ini disebut sedekah maleman
likuran.
3. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di
kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat
sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu
Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat
dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah
kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di
antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran
Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya,
zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan
hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu
Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang,
termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu
35 Secara Harfiah, Maleman berarti malam, sedangkan Linkuran berarti dua puluhan.
40
disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut
Pitrah Pati.
Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan hari raya
Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam upacara Lebaran
Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka agama dan
pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.
4. Lebaran Topat
Lebaran Topat diadakan seminggu setelah upacara Lebaran Tinggi.
Dalam perayaan ini, seluruh Kyai dipimpin Penghulu melakukan
Sembahyang Qulhu Sataq atau shalat empat rakaat yang menandai
pembacaan surat Al-Ikhlas masing-masing seratus kali. Lebaran Topat
berakhir dengan makan bersama di antara para kyai. Dalam perayaan
ini, ketupat menjadi santapan ritual utama.
5. Lebaran Pendek
Lebaran Pendek identik dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha di
kalangan Waktu Lima. Pelaksanaannya dilakukan dua bulan setelah
lebaran topat. Dimulai dengan shalat berjamaah di antara para Kyai
disusul acara makan bersama dan setelah itu dilanjutkan dengan
pemotongan kambing berwarna hitam.
6. Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi
Maleman Pitrah identik dengan saat pembayaran zakat fitrah di
kalangan Waktu Lima. Hanya saja dalam tradisi Wetu Telu terdapat
sejumlah perbedaan dalam tata cara pelaksanaannya dengan Waktu
Lima. Dalam tradisi Wetu Telu, maleman Pitrah merupakan saat
41
dimana masing-masing anggota masyarakat mengumpulkan pitrah
kepada para kyai yang melaksanakan puasa dan hanya dibagikan di
antara para kyai saja. Bentuk pitrahnya pun berbeda. Dalam ajaran
Waktu Lima, yang juga mentradisi di kalangan Islam pada umumnya,
zakat fitrah hanya berupa bahan makanan dengan jumlah tertentu dan
hanya dikeluarkan untuk orang-orang yang hidup. Dalam tradisi Wetu
Telu, Pitrahnya berupa makanan, hasil pertanian, maupun uang,
termasuk uang kuno, dan berlaku baik untuk yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal. Untuk yang masih hidup Pitrah itu
disebut Pitrah Urip, sedangkan untuk yang sudah meninggal disebut
Pitrah Pati. Sedangkan Lebaran Tinggi identik dengan pelaksanaan
hari raya Idul Fitri bagi penganut Waktu Lima. Bedanya, dalam
upacara Lebaran Tinggi diadakan acara makan bersama antara pemuka
agama dan pemuka adat, serta masyarakat penganut Wetu Telu.
7. Selametan Bubur Puteq dan Bubur Abang
Upacara Selametan Bubur puteq dan bubur abang dilaksanakan
pada tanggal 10 Muharram dan 8 Safar menurut penanggalan Wetu
Telu. Upacara ini untuk memperingati munculnya umat manusia dan
beranak pinaknya melalui ikatan perkawinan. Bubur puteq (bubur
putih) dan bubur abang (bubur merah) merupakan hidangan ritual
utama yang dikonsumsi dalam upacara ini. Bubur putih melambangkan
air mani yang merepresentasikan laki-laki, sedangkan bubur merah
melambangkan darah haid yang merepresentasikan perempuan.
42
8. Maulud
Dari penyebutannya, terkesan bahwa upacara ini terkait dengan
upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, sebagaimana
dilaksanakan oleh Waktu Lima. Kendati waktu pelaksanaannya sama,
yakni pada bulan Rabi’ul Awal, Wetu Telu merayakannya untuk
memperingati perkawinan Adam dan Hawa. Seperti upacara-upacara
lainnya, berdo’a dan makan bersama ditemukan dalam upacara ini.
43
BAB IV
SHALAT WETU TELU DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pelaksanaan Shalat Wetu Telu
Islam Wetu Telu sejak kehadirannya banyak menimbulkan tanda tanya
bagi kalangan Muslim (Waktu Lima) Pribumi Lombok maupun luar daerah
Lombok, hal ini dikarenakan ajarannya yang bisa dibilang “aneh”, praktik-
praktik ibadah (terutama shalat) yang masih bercampur dengan ritual-ritual
maupun adat-adat ajarannya yang terdahulu masih menimbulkan pertanyaan,
apakah praktik-praktik seperti ini dibiarkan saja (karena masih ada ajaran
Islam di dalamnya) atau menjadi persoalan serius yang harus diperhatikan
agar tidak menimbulkan perpecahan di antara umat Islam?
Adat-adat terdahulu atau ajaran animisme pada suku sasak sangatlah
kental, sehingga beberapa praktik tertentu harus ada beberapa tahapan yang
harus dilakukan oleh seseorang yang ingin masuk ajaran tersebut, termasuk
Islam Wetu Telu. Berikut pelaksanaan ibadah (shalat) Wetu Telu:
a. Bertaubat terlebih dahulu
Mereka tidak boleh diajarkan ajaran Islam sebelum bertaubat
terlebih dahulu, bunyi taubatnya sebagai berikut : (HAMBE HANE
HANEDE PENGAMPURE HING ALLAH SAKING SAKUEHE DOSE
HAMBE IKANG AGUNG IKANG ALIT IKANG SAMAR IKANG
NYATE TANMEHE SAMI NGAMBIL PATOBAD AKNING ALLAH)
“ASTAGFIRULLAH AL-ALIM MIN KULLI ZAMBIN WA ATUBU
ILAIH”(3X), ASYHADU ALLA ILAHAILLALLAH WA ASYHADU
ANNA MUHAMMAD RASULULLAH” (3X), ALLAHUMMA SHALLI
44
‘ALA MUHAMMAD WA ’ALA SAIYYIDINA MUHAMMAD” (3X).
Dalam proses belajarnya sang murid begitu patuh kepada guru mereka,
mereka merasa ketergantungan atas segala yang diajarkan oleh maha
guru.36
b. Pembekalan Dakwah
Biasanya jika seseorang akan masuk ajaran tertentu ada beberapa
pembekalan yang harus dilakukan, tujuannya agar orang tersebut
mampu mendalami ajarannya dengan baik.
Pertama-tama yang diajarkan adalah tentang siapa dirinya, yang
diawali dengan keberadaan dirinya ketika bersama Allah (alam nur)
yang disebutnya AHADIYAH, kemudian ketika berada di dalam perut
ibunya yang disebutnya WAHDAH, kemudian setelah dia lahir di
bumi disebutnya WAHIDIAH, inilah yang dikembangkan dengan
berbagai macam metode sesuai menurut situasi masyarakat yang mana
nantinya bentuk ibadahnya melalui shalat lima waktu, yakni Dzuhur,
Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. dzuhur disimbolkan dengan warna
putih, ashar disimbolkan dengan warna kuning, magrib disimbolkan
dengan warna merah, isya disimbolkan dengan warna hitam, subuh
disimbolkan dengan warna biru. Semua simbol warna tadi ada pada
tubuh manusia, darah putih, kuning, merah, hitam dan biru. Sedangkan
mengenai jumlah rakaat shalat zuhur yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua tangan dan dua kaki, ashar yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua mata dan dua telinga, magrib yang tiga rakaat tuhan
36 Wawancara pribadi dengan Amaq Mansur, Pelaku Wetu Telu, Narmada 19 Februari 2014 Pukul 14.09 WITA.
45
yang menciptakan dua hidung dan satu mulut, subuh yang dua rakaat,
tuhan menciptakan dada dan punggung. Selanjutnya para dai juga
berdakwah dengan melalui tembang seperti tembang sinom. Salah satu
isinya “istri lanang sami sembahyang, hati sami beceh hadinin”.37
c. Praktik Shalat Wetu Telu
Pada dasarnya ajaran wetu telu yang sudah disebutkan di atas
menggunakan tiga waktu, mereka menafsirkan sebutan itu karena
penganut Islam Wetu Telu misalnya hanya melaksanakan tiga rukun
islam saja yaitu mengucap syahadat, melaksanakn shalat, dan
berpuasa. Mereka meninggalkan rukun yang keempat dan kelima.
Untuk urusan shalat mereka hanya melaksanakan shalat tiga kali
sehari, yaitu shalat pada siang hari (dzuhur), sore hari (ashar), dan saat
matahari terbenam (maghrib). Sedangkan untuk ajaran shalatnya sama
dengan Islam Waktu Lima yang membedakan hanya waktunya saja.
Tetapi ada beberapa kelompok islam wetu dalam pelaksanaan
shalatnya berbeda dengan yang disebutkan di atas. berikut kelompok-
kelompok tersebut:
Kelompok pertama, shalat lima waktu: magrib, isya, subuh, ashar
dan dzuhur dilaksanakan oleh kyainya saja. Hal ini berlaku untuk
Wetu Telu didaerah pujut bagian selatan, Lombok Tengah (Wetu Telu
Putih).
Kelompok kedua, waktu shalat hanya zuhur saja pada hari jum’at,
shalat mayyit, sholat hari raya idhul fitri, sholat terawih di bulan
37 Wawancara pribadi dengan Amaq Mansur, Pelaku Wetu Telu, Narmada 19 Februari 2014 Pukul 14.09 WITA.
46
ramadhan. Hal ini berlaku di daerah bayan, tanjung, narmada, gerung
dan pujut (Waktu Telu Hitam).
Kelompok ketiga, waktu shalat hanyalah ashar pada hari kamis,
shalat subuh pada pagi hari raya idhul fitri, shalat pada hari jum’at. Hal
ini berlaku di daerah sembalung, sapit Lombok timur.
Kelompok keempat, waktu shalat subuh pada pagi hari raya idhul
fitri, shalat zuhur pada hari jum’at, shalat magrib dan isya selama
bulan ramadhan, hari raya idhul fitri dan idhul adha, shalat tarawih dan
shalat mayyit. Hal ini berlaku di daerah rambitan Lombok Tengah.
Kelompok kelima, selama kyai bertugas sebagai marbot atau
petugas penjaga masjid dan memukul bedug maka wajib melaksanakan
shalat lima waktu sehari semalam berturut-turut selama 7 hari, apabila
kyai sudah tidak berfungsi lagi maka ia hanya shalat jum’at, shalat
mayyit, shalat tarawih, shalat hari raya idhul fitri dan idhul adha. Hal
ini berlaku di daerah desa pengadangan Lombok Timur.38
B. Hijrahnya Penganut Wetu Telu Menuju Waktu Lima
Dengan banyaknya para da’i yang menyebarkan ajaran Islam waktu Lima
kepada penganut Wetu Telu secara terus menerus, maka tidak sedikit
penganut Wetu Telu yang beralih ke ajaran Waktu Lima dengan alasan bahwa
Islam Waktu Lima adalah ajaran sempurna yag sesuai dengan Al-Quran dan
Hadits. Berikut wawancara saya dengan penganut Wetu Telu menuju ke
Waktu Lima:
38 Wawancara pribadi dengan Amaq Mansur, Pelaku Wetu Telu, Narmada 19 Februari
2014 Pukul 14.09 WITA
47
1. Amaq Fadhilah
Amaq fadhilah (65 tahun), seorang informan yang saya
wawancarai menjelaskan tentang pengalamannya berkaitan dengan kenapa
dirinya melakukan tindakan perubahan keagamaan dari Wetu Telu ke
Islam Waktu Lima.
Menurut keterangan Amaq Fadhilah dirinya menjadi pengikut
Islam Waktu Lima tidak terlepas dari dorongan kuat saudaranya, yakni
Amaq Sebah yang sudah terlebih dahulu menjalankan ajaran Islam Waktu
Lima. Sebagai Kakak, Amaq Sebah merasa bertanggung jawab terhadap
sikap dan perilaku keagamaan adiknya. Oleh sebab itu dia mendorong
adiknya untuk menambah pengetahuan keagamaannya, dengan cara
mengikuti pengajian Tuan Guru Djuaini. Pada awalnya Amaq Fadhilah
tidak terlalu perduli dengan dorongan Amaq Sebah, namun setelah diajak
beberapa kali, dia pun merasa tidak enak untuk tidak mengikuti nasehat
kakaknya. Akhirnya pada suatu kesempatan, dia menyempatkan dirinya
untuk mengikuti pengajian Tuan Guru Djuaini yang diadakan di masjid
Nurul Huda Narmada.
Setelah beberapa kali menghadiri pengajian Tuan Guru Djuaini,
dia menyatakan bahwa saat itu apa yang dia peroleh pada pengajian itu
telah membuat dirinya merasa semakin bertambah pengetahuan
keagamaannya. Yang dia praktikkan selama ini ternyata ada bentuk lain
yang dinilai lebih sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya dan lebih
dapat diterima pikirannya, terutama karena semuanya didasarkan kepada
sandaran Al-Qur’an dan Hadits. Tetapi katanya: waktu itu dia belum bisa
48
menunjukkan sikap bahwa dirinya mempunyai pengetahuan dan
pengalaman pengetahuan keagamaan yang berbeda, selain itu dia juga
tidak bisa menjalankan praktek ibadah Islam tersebut, karena berbeda
dengan faham keagamaan orang-orang Wetu Telu di kampung bangket
punik dalam beberapa masalah keagamaan. Akhirnya dia pun mencari
teman yang sepaham.
Pergaulannya dengan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan
paham keagamaan membuat dirinya semakin gemar mengikuti pengajian
Tuan Guru Djuaini. Berdasarkan pengetahuan dari menghadiri pengajian,
kemudian dia bisa menyadari ada perbedaan dan lalu memberi
pertimbangan berupa pendapat mana yang lebih diterima, baik
berdasarkan sumber maupun alasan yang mendukung. Ketika ditanya
tentang bagaimana pandangan terhadap pengajian-pengajian yang
diberikan Tuan Guru Djuaini, Amaq Fadhilah mengatakan bahwa dirinya
dan masyarakat di kampungnya, cukup senang dan menarik minatnya,
karena pengajian tersebut menjalankan tentang ajaran Islam yang
sebenarnya sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Setelah mengamalkan pengetahuan keagamaan sesuai dengan
tuntunan ajaran Islam yang sebenarnya, amaq fadhilah merasa keyakinan
keagamaannya menjadi semakin mantap dan lebih tenang dalam
menjalankan ajaran Islam. Selanjutnya ia pun mengajak keluarga,
tetangga, dan teman-teman dekatnya untuk menambah pengetahuan
dengan menghadiri pengajian majlis ta’lim yang dibina tuan guru Djuaini
49
serta mendorong mereka untuk memperaktikkan ajaran Islam yang
sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, dia pun menjadi semakin peduli dengan pendidikan
agama anak-anak muda di kampung. Bersama dengan teman-temannya,
dia bekerjasama membangun lembaga pendidikan keagamaan seperti
madrasah dan sarana ibadah seperti masjid.
2. Amaq Muhir (72 tahun)
Seorang informan lainnya, Amaq Muhir menceritakan kepada
saya, mengenai perubahan keagamaan dirinya. Dia menuturkan, bahwa
pada dasarnya ia tidak suka dengan orang-orang Waktu Lima, termasuk
dengan para ustaz dan tuan guru. Pada suatu kesempatan, dirinya dan
beberapa tokoh agama lainnya di undang oleh lalu Alwi kepala distrik
Narmada untuk menghadiri pengajian umum di Masjid Nurul Jihad
Narmada yang dibawakan oleh Tuan Guru Djuaini Muktar. Dalam
kesempatan tersebut tuan guru Djuaini menjelaskan mengenai masalah
keimanan, terutama enam rukun iman, pada saat itu Tuan Guru Djuaini
menjelaskan secara rinci, lengkap dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.
Setelah beberapa kali mengikuti pengajaran keagamaan yang
diberikan oleh Tuan Guru Djuaini di majlis ta’lim yang diadakan di
sekolah dasar Narmada yang terletak beberapa meter dari rumahnya,
Amaq Muhir mengakui bahwa dia merasa pengetahuan agamanya,
terutama berkaitan masalah enam rukun iman, menjadi semakin
bertambah. Dan dia menjadi lebih yakin dan mantap setelah dirinya
menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman
50
mengikuti pengajian Tuan Guru Djuaini pada waktu itu, kata Amaq Muhir,
merupakan sesuatu yang menarik dan merupakan pengalaman pertama
diberikan pemahaman dan pandangan keagamaan, terutama berkaitan
masalah keimanan dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang baru itu,
dia semakin yakin dan mantap dalam menjalankan syari’at Islam. Sebelum
mengikuti pengajian Tuan Guru Djuaini, dia tidak mengetahui kenapa
harus mempercayai keterlibatan arwah leluhur dalam menyampaikan
permohonan seseorang atau sekelompok orang kepada Tuhan. Dia juga
tidak mengetui arwah leluhur dapat mendatangkan keberuntungan dan
ketidakberuntungan kepada orang-orang tertentu yang di kehendakinya.
Yang dia tahu adalah bahwa orang-orang mempercayainya karena
memang masyarakat mengikuti begitu saja, tanpa mengetahui dari mana
dan apa dasarnya. Ketika saya kejar dengan pertanyaan nilai-nilai ajaran
Islam mana saja yang dipraktekan dan apa saja yang diperolehnya, Amaq
Muhir menjawab dengan jelas, bahwa dirinya mengetahui dan memahami
ajaran Islam, serta mereapkan ajaran-ajaran Islam dalam kegiatannya
sehari-hari, seperti dirinya tidak lagi memiliki keyakinan dan kepercayaan
bahwa arwah leluhur memiliki peranan dalam menyampaikan permohonan
seseorang atau sekelompok orang kepada Tuhan.
Dari pengetahuan yang melahirkan keyakinan itu, kata ia
mempunyai kegiatan baru, pandangan dan pemahaman baru bahwa
ternyata ajaran Islam bukan hanya menjadi kewajiban para kiai saja seperti
yang selama itu dipraktekan dikalangan orang-orang Wetu Telu, tapi
51
melaksanakan ajaran Islam merupakan kewajiban setiap individu muslim.
Setiap individu orang Islam berkewajiban melaksanakan shalat, ibadah
puasa, berzakat, dan berhaji ke mekkah bagi yang sudah mampu. Setiap
individu muslim juga harus mempraktekan nilai-nilai ajaran Islam dalam
segala aktivitas kesehariannya. Setiap orang Islam juga berkewajiban
mengajrakan orang-orang dan anak-anaknya mengenai nilai-nilai ajaran
Islam, serta mendorong mereka untuk menerapkannya dalam
kehidupannya sehari-hari. Semua itu, kata Amaq Muhir memerlukan
kerjasama perlu dikerjakan oleh beberapa orang karena itu perlu mengikuti
organisasi seperti Nahdlatul Wathan ini.
Lanjut Amaq Muhir menjelaskan:
Setelah beberapa kali mengikuti pengajian yang diberikan Tuan
Guru Djuaini, sampailah kepada pembahasan tentang zakat. Dalam
pengajian itu Tuan Guru Djuaini menjelaskan bahwa zakat fitrah diberikan
kepada sekelompok orang yang berhak menerima zakat fitrah,
sebagaimana ketentuan al-Qur’an yaitu: fakir, miskin, amil. Mu’allaf,
riqab, gharimin, syabilillah dan mereka yang sedang dalam perjalanan
untuk kebaikan yang kekurang bekal.
Lebih lanjut, Amaq Muhir menuturkan bahwa perubahan juga
terjadi pada keyakinan dan kepercayaannya. Ia tidak lagi memandang
bahwa setiap orang Islam tidak wajib melaksanakan kewajiban-kewajiban
keagamaan seperti shalat, puasa dan zakat, selain itu, setiap orang Islam
juga harus menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya sehari-hari
menjalankan nilai-nilai agama, bukan hanya menjadi kewajiban kiai,
52
seperti ketika dirinya masih menjadi pengantar Wetu Telu lagi. akan tetapi
setiap orang Islam harus mengetahui dan memahami nilai-nilai ajaran
islam dan yang lebih penting adalah menerapkan nilai-nilai ajaran Islam
tersebut dalam sikap dari prilaku keagamaannya sehari-hari.
Tanpa diminta menjelaskan, Amaq Muhir menutup penjelasannya
bahwa pada dasarnya keberhasilan seseorang atau sekelompok orang
dalam suatu kegiatan atau suatu sangat ditentukan oleh dirinya sendiri,
bukan oleh arwah leluhur, apalagi ditentukan oleh hari baik dan tidak baik.
3. Amaq Sahri (69 tahun)
Sementara itu, Amaq Sahri (69 tahun) seorang informan lainnya, yang
saya wawancarai menjelaskan bahwa :
Pada dasarnya, seperti halnya orang-orang Wetu Telu lainnya,
dirinya tidak begitu peduli dengan aktifitas pengajian yang dibina oleh
Tuan Guru Djuaini dan Tuan Guru Afifuddin Adnan secara bergiliran di
masjid dekat rumahnya. Namun setelah Lalu Alwi Kepala distrik Narmada
ketika menganjurkan masyarakat Narmada untuk menigkatkan keagamaan
dengan mengikuti kegiatan rutin pengajian di Masjid dekat rumahnya
tersebut, dirinya merasa tidak enak jika tidak mengikuti ajakan tersebut,
apalagi yang menganjurkan itu adalah kepala distrik.
Setelah beberapa kali mengikuti pengajian tersebut, ia merasakan
ada sesuatu yang lain. Dia merasakan bahwa yang dipahaminya selama ini
berbeda dengan pengajian yang diberikan Tuan Guru Djuaini.
Setelah menimba pengetahuan agama itu, membuat dirinya
mengalami perubahan pola pikir, sikap dan perilaku keagamaan dalam
53
kehidupannya sehari-hari. Lebih jauh, Amaq Sahri menjelaskan bahwa
secara bertahap mulai ditinggalkan beberapa bentuk upacara ritual yang
menjadi tradisi para orang tuanya dulu. Ia tidak mau lagi melakukan
kegiatan upacara ritual yang selalu menggunakan sesajen berupa beras,
sirih, buah pinang, kelapa, seekor ayam yang ditempatkan dalam sebuah
baki, yang dipimpin oleh seorang kiai dan para pemangku dalam
melaksanakan upacara turun bibit yang biasanya dilakukan di sawah.
Ketika ditanya adakah permasalahan keagamaan yang ditemukan
dari pengajian tersebut, sehingga dia tertarik pada hal-hal yang berbeda
tersebut? Dia menyatakan bahwa diantara permasalahan keagamaan yang
didasarkan pada nilai-nilai adat atau kebiasaan orang tuanya dulu, yaitu
seperti segala bentuk perintah agama hanya menjadi kewajiban para kiai.
Selain itu, beberapa bentuk ritual keagamaan seperti upacara ritual
kematian yang sesungguhnya sangat memberatkan warga masyarakat yang
kena musibah, seperti upacara ritual selamat bumi, ritual ini selalu
disuguhkan nasi-lauk, kue dan minum di rumah duka secara berlebihan.
Semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, padahal Islam tidak
pernah memerintahkan seperti itu.
Secara etika kesopanan, Amaq Sahri menilai bahwa mereka makan
di rumah orang yang sedang terkena musibah kematian anggota
keuarganya, kita merasa tidak enak. Disamping itu, makan di rumah
mereka yang tidak mampu membertakan tanggungan ekonomi yang kena
musibah, juga bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang
54
mengajarkan tentang hidup hemat, menjauhkan sifat foya-foya, dan
pemborosan.
Seorang informan lainnya mengungkapkan bahwa pernah seorang
keluarga yang tidak mampu tertimpa musibah karena kematian salah
seorang anggota keluarganya yakni suaminya. Dia bukan hanya sedih
karena ditinggal suaminya, tetapi juga menjadi bertambah sedih karena
memikirkan hutang yang harus dibayar untuk membiayai ritual yang harus
dlakukan sehubungan dengan kematian suaminya itu. Menurut Amaq
Ripa’ah, akhirnya peerempuan itu menjadi ngereras, sedih mendalam dan
berkelanjutan kemudian jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia
beberapa bulan kemudian dan meninggalkan dua orang anak yang masih
kecil. Dalam kasus seperti itu seharusnya para pemimpin tokoh
masyarakat dan jama’ahnya memperkarsai untuk menjalnkan perintah
agama, yakni membantu mendo’akan bagi si almarhum dengan cara
mengadakan tahlilan, disamping memberi dukungan kepada yang
ditinggalkan semoga tabah menghadapi musibah itu. Setelah dia
mengetahui bahwa mengetahui bahwa upacara ritual kematian
(gawe pati) seperti selamatan bumi dia tidak pernah mau mengikutinya
lagi.
Ada salah satu lagi masalah keagamaan yang menurut amaq Sahri
yang perlu dirubah, yaitu upacara ritual siklus penanaman padi yang
diikuti dengan beberapa upacara ritual, seperti ritual selamet binek,
upacara selamet lowong, upacara tunas sesari, upacara bedede lowong,
55
dan upacara nyelamet inak. Semua upacara itu, selain melibatkan arwah
leluhur, juga diikuti dengan acara makan dan minum secara berlebihan.
Ketika dikejar dengan pertanyaan, bagaimana sikap dan perilaku
keagamaan setelah dirinya bertambah pengeetahuan keagamaan yang
dimilikinya. Amaq Sahri mengatakan bahwa dirinya menjadi sadar bahwa
dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari, harus didasarkan pada nilai-nilai
ajaran Islam, bukan didasarkan pada norma-norma adat atau karena
mengikuti orang banyak.
Setelah amaq Sahri cukup memperoleh pengetahuan agama,
kemudian dia berusaha memperaktikkan, lalu dia mengajak orang lain
yang belum menjalankan ajaran Islam secara sempurna. Yang dia
dahulukan adalah mengajak saudara-saudaranya.
4. Amaq Rawet
Sementara itu, Amaq Rawet informan lainnya menjelaskan tentang
kesadarannyaa sendiri mulai belajar agama. Paham keagamaan Wetu Telu
yang selama itu diikuti belum mampu memberinya keyakinan sepenuhnya.
Beberapa ajaran keagamaan yang selama di amalkan bukannya membuat
dirinya semakin yakin dan merasa lebih tenang, bahkan sebaiknya
membuat dirinya menjadi semakin ragu.
Ditengah-tengah keraguannya tersebut, pada suatu waktu Amaq
Syarif tetangganya mengajaknya untuk menghadiri pengajian yang dibina
ustaz Djuaini tersebut, Amaq Rawet lalu merasa dan tersentak, bahwa
sikap dan prilaku keberagaman yang selama ini dilaksanakan tidak sedikit
diantaranya kepercayaan masyarakat akan keterlibatan arwah leluhur
56
dalam menyampaikan permohonan atau seseorang atau sekelompok orang
pada tuhan, pandangan masyarakat yang berkaitan dengan kewajiban ritual
yang hanya menjadi kewajiban kiai saja, atau tradisi memberikan zakat
fitrah kepada kiai saja, serta beberapa bentuk kepercayaan dan upacara
ritual yang selain memberatkan masyarakat yang mengikutinya, juga
mengarah kepada tindakan foya-foya dan pemborosan. Menurut amaq
Rawet masyarakat perlu didorong terus untuk menambah pengetahuan
agamanya dengan cara menghadiri pengajian Tuan Guru Djuaini dan
kegiatan keagamaan Nahdlatul Wathan lainnya.
Karena dengan bertambahnya pengetahuan keagamaan masyarakat
akan dapat merubah sikap dan prilaku keagamaannya. Orang tersebut, kata
amaq Rawet tidak akan memberikan zakat fitrahnya lagi kepada kiai,
karena kiai bukanlah termasuk orang yang berhak menerima zakat fitrah.
Aktifitas amaq Rawet meliputi pengasuhan pengajian yang
diadakan oleh orang-orang Nahdlatul Wathan terutama yang dipusat
Masjid Nurul Jihad yang jaraknya kurang lebih tiga ratus meter dari
rumahnya. Karena aktifitas-aktifitas keagamaan yang sering diadakan
amaq rawet, kemudian amaq Rawet dalam aktifitas tersebut, dianggap
sebagai sesepuh, pemuka sekaligus merupakan perintis kegiatan Nahdlatul
Wathan dikampungnya itu.
Sebuah tempat pengajian yang dirintis oleh Amaq Rawet adalah
majlis ta’lim yang bernama Majlis Nahdlatul Wathan. Pengajian pada
majlis ta’lim ini diperuntukkan oleh masyarakat umum.
57
Pengajian di Majlis Ta’lim ini dibina oleh Tuan Guru Djuaini
dalam menyampaikan pengajian terlebih dahulu, membacakan kitab-kitab
tertentu, kemudian memberikan penjelasan secukupnya. Di akhir
pengajian peserta, pengajian diberikan waktu untuk bertanya tentang
permasalahan yang belum dipahaminya berkaitan dengan pokok bahasan
pada pengajian itu, pengajian dilaksanakan selama kurang lebih satu jam
lalu diakhiri dengan pembacaaan shalawat Nahdlatain dan selanjutnya
penutupan dengan doa.
Selain mengikuti pengajian di majlis Nahdlatul wathan tersebut,
Amaq rawet juga menghadiri pengajian-pengajian yang di adakan dirumah
Tuan Guru Djuaini setelah shalat jum’at, jam 14.00-15.30 Wita. Pada
bulan puasa menjelang berbuka puasa seminggu sekali juga diadakan
pengajian yang membahas tentang keutamaan bulan puasa, berdasarkan
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits, serta pendapat para Imam madzhab,
terutam pendapat Imam madzhab Syafi’i.
Amaq Rawet juga aktif mengikuti kegiata-kegiatan Nahdlatul
Wathan. Ketika Nahdatul Wathan baru berkembang beberapa tahun di
Narmada pada tahun 1959, Amaq Rawet dipercaya menjadi pengurus
ranting Nahdlatul wathan yang di Narmada, demikian amaq rawet
menjelaskan, dia mulai mendorong teman-temannya yang masih menjadi
penganut Wetu Telu untuk menghadiri pengajian Tuan Guru Djuaini guna
meningkatkan pengetahuan agamanya.
58
C. Pandangan Islam Terhadap Praktik Shalat Wetu Telu
Agama merupakan bagian penting yang tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan manusia, tanpa beragama manusia tidak punya arah tujuan yang
jelas. Islam merupakan agama yang sangat peduli terhadap semua aktifitas
manusia, segala aktifitas sehari-hari sudah diatur oleh Allah Swt. sehingga
manusia tidak lagi merasa kehilangan arah, ini semua bertujuan agar manusia
berlomba-lomba untuk mendapatkan ridho dari Allah Swt.
Islam “membebani” manusia dengan segala bentuk perintah yang harus
dijalani, ini semua sebagai bentuk timbal balik manusia terhadap Tuhan-Nya
yang telah menciptakan manusia, perintah itu mempunyai hikmah di
dalamnya, terkadang perintah itu menjadikan manusia berdosa jika tidak
mengerjakannya, salah satu perintah itu adalah kewajiban melaksanakan
shalat fardhu sehari semalam sebanyak lima waktu.
Shalat merupakan kewajiban umat islam yang harus dikerjakan, tidak
boleh meninggalkannya dalam kondisi apapun, selagi urat nadi masih
berdenyut, diharamkan intuk meninggalkan shalat. Shalat juga merupakan
sarana komunikasi antara hamba dengan Tuhan-Nya, sehingga mereka yang
benar-benar khusyu’ dalam shalatnya bisa merasakan kehadiran Tuhan.
Dalam praktik shalat, Islam sudah mengaturnya secara terperinci. Tidak
boleh mengerjakan shalat selain apa yang sudah ditentukan oleh syariat islam,
jika hal itu terjadi, maka shalatnya tidak sah/tidak diterima atau bahkan
sampai kepada kategori “musyrik”. Inilah yang ingin penulis garis bawahi,
bahwa ada praktik shalat yang “berbeda” dengan umat islam pada umumnya,
59
salah satunya yang terjadi pada Islam Wetu Telu Suku Sasak di Daerah
Narmada Lombok Barat.
Sebelum membahas tentang shalat Wetu Telu dalam pandangan islam,
penulis berpendapat bahwa ajaran Wetu Telu, sebenarnya adalah bagian dari
islam –walaupun dari segi praktik ibadahnya masih dipengaruhi oleh
kepercayaan lamanya- yang mana seandainya para pendakwah yang datang
untuk menyebarkan (mengajarkan) islam tidak pergi sebelum sempurnanya
ajaran islam tersebut, maka dapat dipastikan ajaran Wetu Telu dapat berubah
menjadi Waktu Lima. Penganut Wetu Telu menamakan dirinya dengan
“Wetu Telu” karena tidak terlepas dari pengaruh ajaran islam yang belum
sempurna yang dibawa oleh para pendakwah tersebut.
Banyak timbul pertanyaan dari kalangan awam yang mempertanyakan
tentang status Islam Wetu Telu, apakah ia termasuk bagian dari islam atau
termasuk golongan/ajaran lain atau bahkan termasuk ajaran yang sesat?
Raden Gedarip, seorang pemangku adat Karangsalah mengatakan bahwa
Islam hanya satu, tidak ada polarisasi antara waktu tiga (Wetu Telu) dan
Waktu Lima. “Sebenarnya Wetu Telu bukan agama, tetapi adat”, ucapnya.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa masyarakat adat Wetu Telu ini mengakui
dua kalimah syahadat, “Allah Tuhan kami yang kuasa dan nabi Muhammad
sebagai utusan Allah”. Dua kalimat syahadat pun diucapkan oleh penganut
Wetu Telu ini, Setelah diucapkan dalam bahasa Arab, kata Gedarip,
diteruskan dalam bahasa Sasak, misalnya: “Asyhadu Ingsun sinuru anak sinu.
Anging stoken ngaraning pangeran. Anging Allah pangeran. Ka sebenere lan
ingsun anguruhi. Setukhune nabi Muhammad utusan demi Allah. Allahhuma
60
shali Allah sayidina Muhammad”. Artinya: “Kami berjanji (bersaksi) bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan kami percaya bahwa nabi Muhammad
adalah utusan Allah”. Disebut “berjanji” karena diakui sudah menerima
agama Islam.39 Ia menambahkan: “Kembali kita garis bawahi kalau Wetu
Telu itu sama sekali bukan ajaran Agama atau waktu Sholat yang hanya
dikerjakan 3 kali atau waktu Puasa yang dikerjakan pada saat awal, tengah
dan akhir bulan Ramadhan saja, akan tetapi Wetu Telu itu adalah filosofi,
paham atau sebutan dari proses kejadian antara Ibu, Bapak, danAllah.40
Walaupun kepercayaan yang sudah begitu menyimpangnya dari syari’at
islam dan perbedaan semacam ini tidak boleh ada, namun islam Waktu Lima,
khususnya yang berada di Lombok mengatakan ajaran Wetu Telu tidak sesat.
Hanya saja mereka butuh dakwah yang lebih gencar, kemudian meluruskan
pemahaman agama mereka selama ini, karena kemunculan komunitas Wetu
Telu yang membawa sekian kebiasaan ibadah yang berbeda itu bukan lahir di
era dakwah yang sudah maju seperti saat sekarang ini, melainkan sebuah
masalah yang timbul akibat budaya yang dijalani turun temurun sejak
beratus-ratus tahun yang lalu.
Sedangkan pendapat lain mengatakan: “terjadi kesalah fahaman dari
masyarakat tentang konsep wetu telu yang diyakini masyarakat adat Bayan
dan Karang Bajo KLU, Wetu Telu bukan melaksanakan Shalat tiga kali
sehari, tapi konsep Wetu Telu tetap ada unsur keyakinan tentang budaya dan
39 Artikel diakses pada tanggal 18 Januari 2017 pukul 22.30 dari WIB http://as-
salafiyyah.blogspot.co.id/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayan-lombok.html. 40 Artikel diakses pada tanggal 18 januari 2017 pukul 22.00 WIB dari
http://www.kompasiana.com/www.suarakomunitas.net/filosofi-ajaran-wetu-telu-di-bayan-lombok-utara.
61
kearifan lokal, kami tetap shalat lima waktu sebagaimana umat muslim lain"
kata Rianom di Lombok Utara, Minggu (17/1/2016).
Dikatakan, Wetu Telu itu sendiri bermakna mentiok, mentelok dan
menganak yaitu dengan berkunjung ke tempat sakral, memohon keselamatan
bagi tumbuh, melahirkan bagi manusia dan bertelur bagi binatang Untuk
ibadah, kami tetap melaksanakan shalat lima waktu sebagaimana umat
muslim lain tetap melaksanakan ibadah seperti warga lain seperti shalat,
puasa termasuk syahadat juga sama tidak ada yang berbeda. "Jadi pandangan
masyarakat luar yang menganggap masyarakat adat Bayan dan Karang Bajo
sesat karena hanya melaksanakan shalat hanya tiga kali sehari, itu jelas tidak
benar" ungkapnya. Lebih lanjut, Rianom menjelaskan, hanya saja dari lima
rukun Islam yang ada, hanya tiga yang sering kami laksanakan syahadat,
shalat lima waktu, puasa dan mengeluarkan zakat, kalau haji kami tidak
laksanakan, karena tidak mampu.41
Berkaitan dengan praktik shalat Wetu Telu, Islam sudah meluruskan
praktik tesebut jauh dari sebelum munculnya Islam Wetu Telu, bahwa shalat
yang benar adalah yang diajarkan oleh Nabi melalui Al-Quran dan Hadits
sebagaimana yang telah dipaparkan dalam bab II. Dikatakan bahwa praktik
shalat Wetu Telu hanya melaksanakan shalat tiga kali sehari, yaitu shalat pada
siang hari (dzuhur), sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam (maghrib), adapun
pelaksanaannya sama seperti Waktu Lima yang membedakan hanya persoalan waktu
shalat.
41 Artikel diakses pada 21 Januari Pukul 23.00 WIB dari
http://www.cendananews.com/2016/01/dianggap-sesat-ini-jawaban-penganut.html.
62
Dalam masalah ini Islam Waktu Lima ingin meluruskan ajaran-ajaran
Islam Wetu Lima melalui sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan Hadits.
Al-Quran memerintahkan umat muslim agar memahami islam secara
menyeluruh, Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara menyeluruh, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan.
Sungguh syaitah musuh yang nyata bagimu” (QS. (2) Al-Baqarah: 208).
Ketika menjadi muslim, masuklah secara totalitas. Artinya jangan
setengah-setengah dalam menjalankan perannya sebagai seorang muslim,
biasanya orang yang setengah-setengah lebih cendrung mengikuti bisikan
syaitan. Ayat di atas seolah-olah jika ditujukan kepada penganut Wetu Telu
mengajak mereka untuk menyempurnakan keislaman yang mereka anut,
bahwa selama ini ajaran mereka belum sepenuhnya sempurna. Dalam praktik
ibadah-ibadah lainnya mereka juga identik dengan ajaran animisme, inilah
yang harus diluruskan bahwa dalam ajaran Islam Waktu Lima semua bentuk
ibadah harus ditujukan kepada satu tujuan yaitu Allah Swt., tidak boleh ada
unsur-unsur lain.
Penulis enggan mengatakan bahwa ajaran Islam Wetu Telu adalah sesat,
dikarenakan beberapa faktor diantaranya tidak sempurnanya ajaran islam
yang mereka terima, sehingga mereka hanya menerima ajaran yang sudah
63
ada, tidak ada keinginan untuk menyempurnakannya. Sebelum datangnya
para pendakwah Waktu Lima gencar untuk menyampaikan ajaran yang
sesungguhnya, mereka masih diam di tempat, tidak berani melakukan
perubahan. Tetapi, melihat kondisi sekarang ini, penganut Wetu Telu secara
perlahan mulai memudar –bisa dilihat kembali beberapa pelaku yang sudah
berpindah dari Wetu Telu ke Wetu Lima- berkat gigihnya para pendakwah.
Sehingga jika dipresentasikan jumlah penganut Wetu Telu (khususnya di
Desa Narmada) yang masih bertahan sekira 2% itupun pelakunya adalah
mereka yang berasal dari generasi tertua. Bukan tidak mungkin penganut
Wetu Telu nantinya sudah tidak ada lagi.
Penganut Wetu Telu kini berada di dalam posisi yang sangat terjepit yang
dihadapkan pada agresi kultural kaum waktu lima. Dengan memperhitungkan
peningkatan penetrasi gerakan islam ortodoks, beriringan dengan ketatnya
kontrol pemerintah dan pembangunan perekonomian baru di Bayan, penulis
berkeyakinan lama kelamaan integritas dan pandangan religius komunitas
Wetu Telu akan mengalami transformasi. Dengan kata lain, dibawah tekanan
terus-menerus dari kekuatan-kekuatan eksternal itu, lambat laun setidak-
tidaknya akan memberikan paradigma baru bagi komunitas Wetu Telu
mengenai kepercayaan mereka sendiri.
64
BAB V
PENUTUP
Penulis bersyukur kepada Allah Swt. Atas segala kuasa dan
pertolongannya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tulisan ini dengan perasaan
antara sedih dan senang, sedih karena takut “menyesatkan” pemahaman orang
lain, yang jauh dari kata benar. Senang karena bisa menyusun ilmu Allah dengan
penuh perjuangan. Manusia Cuma bisa berusaha, benar datangnya dari Allah. Dan
bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran sebagai berikut :
A. Kesimpulan
1. Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam
perjalanan. Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam
didirikan atas lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga
barang siapa mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam) dan
barang siapa meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat
maupun sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat-shalat sunah. Untuk
membatasi bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis
hanya membahas tentang shalat wajib kaitannya dengan kehidupan sehari-
hari.
65
2. Pelaksanaan shalat Wetu Telu Suku Sasak di Lombok Desa Narmada
terjadi karena adanya penyebaran dua aliran dari barat dan timur. Islam
Wetu Telu merupakan suatu kepercayaan masyarakat lombok. Asal usul
terbentuknya Islam Wetu Telu di bayan sampai saat ini juga masih
merupakan misteri, kapan dan siapa yang menamakannya pertama kali.
Ada beberapa versi tentang latar belakang munculnya Islam Wetu Telu.
Sebuah versi menyebutkan bahwa Islam Wetu Telu terbentuk bersamaan
dengan penyebaran Islam di Lombok. Sebelum tuntas mengajarkan Islam,
penyebarnya (wali atau muridnya) dengan sebab yang tidak diketahui
meninggalkan Lombok, akibatnya masyarakat yang masih menganut
agama Hindu dan Animisme tidak sepenunhnya mampu menyerap ajaran
Islam. Maka mereka memadukan Animisme, Hindu dan Islam menjadi
satu. Perpaduan inilah yang kemudian disebut dengan Islam Wetu Telu.
Sesungguhnya penganut Islam Wetu Telu itu sebelah kakinya di Islam dan
sebelah lagi Hindu dan Animisme.
3. Penyebutan istilah Wetu Telu mempunyai perspektif yang berbeda-beda.
Komunitas Waktu Lima menyatakan bahwa Wetu Telu sebagai waktu tiga
dan mengaitkan makna ini dengan reduksi seluruh ibadah Islam menjadi
tiga. Orang Bayan sebagai penganut terbesar Islam Wetu Telu ini,
menyatakan bahwa wetu telu bermakna semua makhluk hidup muncul
melalui tiga macam sistem reproduksi, yaitu melahirkan (menganak),
bertelur (menteluk ) dan berkembang biak dari benih (mentiuk ). Sumber
lain menyebutkan bahwa ungkapan Wetu Telu berasal dari bahasa Jawa
yaitu Metu Saking Telu yakni keluar atau bersumber dari tiga hal: Al-
66
Qur’an, Hadis dan Ijma. Artinya, ajaran-ajaran komunitas penganut Islam
Wetu Telu bersumber dari ketiga sumber tersebut.
4. Ada berbagai macam praktik ibadah wetu telu yang sesuai dengan adat
masyarakat, yang mana bentuk ibadahnya melalui shalat lima waktu,
yakni Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Subuh. Zuhur disimbolkan
dengan warna putih, ashar disimbolkan dengan warna kuning, magrib
disimbolkan dengan warna merah, isya disimbolkan dengan warna hitam,
subuh disimbolkan dengan warna biru. Semua simbol warna tadi ada pada
tubuh manusia, darah putih, kuning, merah, hitam dan biru. Sedangkan
mengenai jumlah rakaat sholat zuhur yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua tangan dan dua kaki, ashar yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua mata dan dua telinga, magrib yang tiga rakaat tuhan yang
menciptakan dua hidung dan satu mulut, subuh yang dua rakaat, tuhan
menciptakan dada dan punggung. Selanjutnya para dai juga berdakwah
dengan melalui tembang seperti tembang sinom. Salah satu isinya “istri
lanang sami sembahyang, hati sami beceh hadining…”
5. Shalat wetu telu (Bahasa Indonesia: Waktu Tiga) adalah praktek shalat
dengan hanya mengerjakan tiga waktu atau tiga kali dalam sehari, tidak
lazimnya orang Islam. Mereka hanya mengerjakan shalat pada siang hari
(Zuhur), sore hari (Ashar), dan saat matahari terbenam (Magrib). Praktik
ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha
mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap,
meninggalkan pulau Lombok atau sebagian lain meniggal sebelum
mengajarkan ajaran Islam dengan utuh atau lengkap.
67
6. Islam Wetu Telu sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Sasak
Lombok Utara khususnya, diantaranya beberapa ritual yang ada seperti:
Wet Agama, Wet Adat, Wet Pemerintahan. Sehingga Wet Telu merupakan
kearifan lokal yang berlangsung secara turun temurun pada masyarakat
Lombok Utara.
7. Di era ini, Islam Wetu Telu masih tetap bertahan di daerah Lombok bagian
Utara khususnya daerah Bayan. Meskipun sudah banyak sekali para da’i
yang menyebarkan dakwah Islam di sana dari turun temurun, akan tetapi
ada tokoh-tokoh adat lain seperti pemangku gubug, perumbak, toaq local
yang sangat berpengaruh dalm pelesatrian budaya religius Wetu Telu.
8. Dialektika Islam dan Budaya Sasak meliputi beberapa hal seperti: Adat
hidup dan mati terdapat upacara-upacara adat sebagai berikut: Buang au
(Aqiqah dalam Islam Waktu Lima), Ngurisan dan Nyunatan, Potong Gigi
dan Ngawinan. Peristiwa kematian penyelenggaraan jenazah seperti
memandikan, megafankan, menyalatkan dan menguburkan. Dilanjutkan
dengan upacara Nelung, Mituq, Nyanga, Pelayaran, Matangpulu, nyatus
dan nyiu (diadakan pada hari yang ke empat puluh, keseratus dan
keseribu). Adat Agama (Rowah Wulan dan Sampet Jum’at, Maleman
Qunut dan Maleman Likuran, Maleman Pitrah dan Lebaran Tinggi,
Lebaran Topat, Lebaran Pendek, Selametan Bubur Puteq dan Bubur
Abang, Maulud).
9. Mayoritas dari para informan yang beralih ajaran, dari Wetu Telu ke
Waktu Lima disebabkan ajakan para da’i –dimulai dari keluarga, kerabat,
tokoh masyarakat, hingga Tuan Guru setempat- melalui bicara dari hati ke
68
hati, samapi ajakan bersifat umum seperti dakwah di Masjid, Majlis
Taklim, atau di sekolah.
10. Ajaran Wetu Telu, sebenarnya adalah bagian dari islam –walaupun dari
segi praktik ibadahnya masih dipengaruhi oleh kepercayaan lamanya-
yang mana seandainya para pendakwah yang datang untuk menyebarkan
(mengajarkan) islam tidak pergi sebelum sempurnanya ajaran islam
tersebut, maka dapat dipastikan ajaran Wetu Telu dapat berubah menjadi
Waktu Lima. Penganut Wetu Telu menamakan dirinya dengan “Wetu
Telu” karena tidak terlepas dari pengaruh ajaran islam yang belum
sempurna yang dibawa oleh para pendakwah tersebut.
11. Islam sudah meluruskan praktik tesebut jauh dari sebelum munculnya
Islam Wetu Telu, bahwa shalat yang benar adalah yang diajarkan oleh
Nabi melalui Al-Quran dan Hadits sebagaimana yang telah dipaparkan
dalam bab II. Dikatakan bahwa praktik shalat Wetu Telu hanya
melaksanakan shalat tiga kali sehari, yaitu shalat pada siang hari (dzuhur),
sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam (maghrib), adapun pelaksanaannya
sama seperti Waktu Lima yang membedakan hanya persoalan waktu shalat.
12. Penulis enggan mengatakan bahwa ajaran Islam Wetu Telu adalah sesat,
dikarenakan beberapa faktor diantaranya tidak sempurnanya ajaran islam
yang mereka terima, sehingga mereka hanya menerima ajaran yang sudah
ada, tidak ada keinginan untuk menyempurnakannya. Sebelum datangnya
para pendakwah Waktu Lima gencar untuk menyampaikan ajaran yang
sesungguhnya, mereka masih diam di tempat, tidak berani melakukan
perubahan. Tetapi, melihat kondisi sekarang ini, penganut Wetu Telu
secara perlahan mulai memudar –bisa dilihat kembali beberapa pelaku
69
yang sudah berpindah dari Wetu Telu ke Wetu Lima- berkat gigihnya para
pendakwah. Sehingga jika dipresentasikan jumlah penganut Wetu Telu
(khususnya di Desa Narmada) yang masih bertahan sekira 2% itupun
pelakunya adalah mereka yang berasal dari generasi tertua. Bukan tidak
mungkin penganut Wetu Telu nantinya sudah tidak ada lagi.
B. SARAN
Pada akhir bab ini, penulis ingin memberikan saran dengan besar harapan
tulisan ini dapat bermanfaat, khususnya diri saya pribadi umumnya orang yang
membaca tulisan ini, semoga tulisan ini menjadi penyemangat untuk penulis agar
terus bisa belajar ilmu Allah. Adapun saran-saran sebagai berikut:
1. Tulisan skripsi ini jauh dari kata sempurna untuk menggambarkan atau
menjelaskan praktik ibadah wetu telu suku sasak terutama dalam hal
shalat, maka dari itu, penulis berharap akan ada perbaikan atau
pemaparan dari penulis lain, yang lebih mendalam tentang shalat wetu
telu.
2. Penulis berharap ada perhatian khusus bagi para ulama untuk
membahas masalah ini, agar masyarakat luas tahu bahwa ada praktik
ibadah pokok- yaitu shalat- yang berbeda dari mereka, tujuannya
bukan untuk saling menyalahkan tapi untuk mencari solusi.
3. Dan juga tulisan ini masih banyak kekurangan, terutama dalam hal
wawancara yang penulis hadapi, karena kebanyakan –penulis
menemukan beberapa informan saja yang menjelaskan tentang praktik
shalat wetu telu- dari informan memberikan penjelasan ke arah
sejarah, bukan praktik shalat yang mereka kerjakan.
70
4. Penulis berharap ada masukan, kritikan atau saran yang sekiranya
dapat mencerahkan pikiran penulis, agar tulisan ini tidak berhenti
sampai di sini.
5. Semoga Allah meridhai segala amal yang kita lakukan, dan
menjadikan kita semua hamba-Nya yang shalih. Amin.
71
DAFTAR PUSTAKA
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak. Wetu Telu Versus Waktu Lima. Yogyakarta:
LKiS.
Bungin Burhan, metodologi penelitian kualitatif, Aktualisasi Metodologis
kearahragam Varian kontemporer, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
Khadziq. 2009. Islam dan Budaya Lokal, Belajar Memahami Realitas Agama
Dalam Masyarakat. Yogyakarta: Teras
Ash Shiddieqy, Moh. Hasbi, Pedoman Shalat, (Jakarta: N.V.Bulan Bintang,1983)
Cet 11.
Rasmianto. Interrelasi Kiai, Penghulu dan Pemangku Adat dalam Tradisi Islam
Wetu Telu di Lombok. Jurnal el-Harakah, Vol. 11, No. 2. Malang: UIN
Malang 2009.
Soewaji, Jusuf, Metodologi Penelitian, Jakarta: Grafika Indah, 2003.
Subagyo, P. Joko, Metode Penelitian dalam Teori dan praktek, Jakarta PT. Rineke
Cipta, 2006.
Team Penyusun Monografi Daerah Nusa Tenggara Barat, Monografi Daerah
Nusa tenggara Barat Jilid 1, (Jakarta: Proyek Pengembangan Media
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
kebudayaan RI, 1997), h. 14.
Bahrie, Sudirman Ratmaja Lalu, Sejarah Perkembangan agama Islam di Lombok,
Nusa Tenggara Barat, 2013, Cet 2
Zaelani Kamarudin, Satu Agama Banyak Tuhan Melacak Akar Sejarah Waktu
Telu, Mataram Pantheon Media Pressindo, 2007, Cet 1
72
Fadly, Muhammad Ahyar, Islam Lokal Akulturasi dibumi Sasak, STAIIQ Press
Maret 2008, Cet 1
Ali Jawwad, Sejarah Shalat, (Jakarta: Lentera Hati, 2013), cet. 2
Al-Jaziri, Abdul Rahmani, Al-Fiqh A’la al-Madzahib al-Arbiah, (Kairo: Dar al-
Hadits, 2004), Jilid 1
Shihab M. Quraish, Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, (Tangerang: Lentera
Hati, 2011), Cet. 1
El Fikri Syahruddin, Sejarah Ibadah, Menelusuri Asal-usul, Memantapkan
Penghambaan, (Jakarta: Republika Penerbit, 2014), cet. I.
Lalu Lukman, Pulau Lombok dalam Sejarah, cet. 4, 2007.
As-Shin’ani, Muhammad bin Ismail, Subula As-Salam; Syarah bulug Al-Maram,
(Kairo, Dar Al-Hadits, 2007), Jilid 1.
Juzayya, Abi Al-Qasim Muhammad bin Ahmad, Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah,
(Kairo, Dar –Al-hadits, 2005).
Sayyid Sabiq, As-Shalat, At-taharat, wa al-wudhu, (Kairo: Daar Al-Fath Lil i’lam
Al-A’rabi, 1996), cet. 1.
Abi Al-Fida Ismail ibn Umar Ibn Katsir Ad-damasyqi, Tafsir Al-Quran Al-A’dzhim, (Riyad : Daar At-tayyibah li An-Nasyr wa at-Tauzi’, 1997) Cet. 1, Jilid. 4.
73
Artikel dan Wawancara
http://kebudayaanindonesia.net/ diakses pada 12 Januari 2017 pukul 22.57 WIB.
http://as-salafiyyah.blogspot.co.id/2012/05/islam-wetu-telu-di-bayanlombok.html,
diakses pada tanggal 18 Januari 2017 pukul 22.30 WIB.
http://www.kompasiana.com/www.suarakomunitas.net/filosofi-ajaran-wetu-telu
di-bayan-lombok-utara diakses pada tanggal 18 januari 2017 pukul 22.00 WIB.
http://www.cendananews.com/2016/01/dianggap-sesat-ini-jawabanpenganut.html,
diakses pada 21 Januari Pukul 23.00 WIB.
Wawancara pribadi dengan Amaq Sumiati, Pelaku Wetu Telu, Narmada 15
Febururi 2014 Pukul 9.27 WITA.
Wawancara pribadi dengan Yudi, Warga Desa Narmada, Narmada, 25 februari
2014, Pukul 16.21 WITA.
Wawancara pribadi dengan Amaq Mansur, Pelaku Wetu Telu, Narmada 19
Februari 2014 Pukul 14.09 WITA.
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU PELAKU WETU TELU DESA
NARMADA KABUPATENLOMBAK BARAT
Nama : Amaq Sumiati
Usia : 76 Tahun
Alamat : Narmada, Lombok Barat
Pekerjaan : Petani
Pertanyaan : Kapan Sejarah munculnya Islam Wetu Telu di Narmada Lombok?
Jawaban : Ditandai dengan datangnya para Da’i
Datangnya dai-dai yang dari tanah jawa, sekitar tahun 1600 M. Melalui
daerah Bayan, wilayah Lombok bagian utara yang sekarang menjadi
kabupaten Lombok utara. Para dai berdakwah dengan menggunakan
metode-metode pendekatan keilmuwan dan dengan mempertimbangkan
situasi saat itu. Ketika itu masyarakat pulau Lombok masih dalam
keadaan kepercayaan animisme, yakni pengaruh Hindu dan Budha.
Maka para Da’i didalam berdakwah memperkenalkan Islam tidak
dengan secara terbuka tetapi dengan cara menyentuh kepada ketuhanan.
Kemudian tentang metode bagaimana caranya para Da’i (yang dalam
bahasa Sasak ngamar) memulai dengan memperkenalkan dari mana asal
kejadian manusia, supaya mengenal diri manusia setelah itu nantinya
dia akan mengenal Tuhannya.
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU BUDYAWAN DESA
NARMADA KABUPATENLOMBAK BARAT
Nama : Drs. Sanusi
Usia : 55 Tahun
Alamat : Narmada, Lombok Barat
Pekerjaan : Budayawan
Pertanyaan : Bagaimana pelaksanaan shalat Wetu Telu di Desa Narmada?
Jawaban : Pada dasarnya ajaran wetu telu yang sudah disebutkan di atas
menggunakan tiga waktu, mereka menafsirkan sebutan itu karena
penganut Islam Wetu Telu misalnya hanya melaksanakan tiga rukun
islam saja yaitu mengucap syahadat, melaksanakn shalat, dan berpuasa.
Mereka meninggalkan rukun yang keempat dan kelima. Untuk urusan
shalat mereka hanya melaksanakan shalat tiga kali sehari, yaitu shalat
pada siang hari (dzuhur), sore hari (ashar), dan saat matahari terbenam
(maghrib). Sedangkan untuk ajaran shalatnya sama dengan Islam
Waktu Lima yang membedakan hanya waktunya saja. Tetapi ada
beberapa kelompok islam wetu dalam pelaksanaan shalatnya berbeda
dengan yang disebutkan di atas. berikut kelompok-kelompok tersebut:
Kelompok pertama, shalat lima waktu: magrib, isya, subuh, ashar
dan dzuhur dilaksanakan oleh kyainya saja. Hal ini berlaku untuk Wetu
Telu didaerah pujut bagian selatan, Lombok Tengah (Wetu Telu Putih).
Kelompok kedua, waktu shalat hanya zuhur saja pada hari
jum’at, shalat mayyit, sholat hari raya idhul fitri, sholat terawih di
bulan ramadhan. Hal ini berlaku di daerah bayan, tanjung, narmada,
gerung dan pujut (Waktu Telu Hitam).
Kelompok ketiga, waktu shalat hanyalah ashar pada hari kamis,
shalat subuh pada pagi hari raya idhul fitri, shalat pada hari jum’at.
Hal ini berlaku di daerah sembalung, sapit Lombok timur.
Kelompok keempat, waktu shalat subuh pada pagi hari raya idhul
fitri, shalat zuhur pada hari jum’at, shalat magrib dan isya selama
bulan ramadhan, hari raya idhul fitri dan idhul adha, shalat tarawih
dan shalat mayyit. Hal ini berlaku di daerah rambitan Lombok
Tengah.
Kelompok kelima, selama kyai bertugas sebagai marbot atau
petugas penjaga masjid dan memukul bedug maka wajib
melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam berturut-turut
selama 7 hari, apabila kyai sudah tidak berfungsi lagi maka ia hanya
shalat jum’at, shalat mayyit, shalat tarawih, shalat hari raya idhul fitri
dan idhul adha. Hal ini berlaku di daerah desa pengadangan Lombok
Timur
HASIL WAWANCARA DENGAN SALAH SATU PELAKU WETRU TELU
DESA NARMADA KABUPATENLOMBAK BARAT
Nama : Amaq Mansur
Usia : 52 Tahun
Alamat : Narmada, Lombok Barat
Pekerjaan : -
Pertanyaan : Bagaimana proses pengajaran Islam Wetu Telu di Narmada?
Jawaban : 1. Bertaubat lebih dahu
Mereka tidak boleh diajarkan ajaran Islam sebelum bertaubat
terlebih dahulu, bunyi taubatnya sebagai berikut : (HAMBE HANE
HANEDE PENGAMPURE HING ALLAH SAKING SAKUEHE DOSE
HAMBE IKANG AGUNG IKANG ALIT IKANG SAMAR IKANG NYATE
TANMEHE SAMI NGAMBIL PATOBAD AKNING ALLAH)
“ASTAGFIRULLAH AL-ALIM MIN KULLI ZAMBIN WA ATUBU
ILAIH”(3X), ASYHADU ALLA ILAHAILLALLAH WA ASYHADU ANNA
MUHAMMAD RASULULLAH” (3X), ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA
MUHAMMAD WA ’ALA SAIYYIDINA MUHAMMAD” (3X). Dalam
proses belajarnya sang murid begitu patuh kepada guru mereka, mereka
merasa ketergantungan atas segala yang diajarkan oleh maha guru.
Ada beberapa pendapat yang menyebutkan tentang latar belakang
munculnya Islam Wetu Telu. Pertama, pendapat yang menyebutkan
bahwa Islam Wetu Telu terbentuk bersamaan dengan penyebaran agama
Islam di Lombok. Dengan sebab yang tidak pasti, para penyebarnya (para
wali dan muridnya) meninggalkan Lombok menuju pulau Sumbawa.
Akibatnya, masyarakat yang masih dengan kepercayaan animisme dan
Hindu tidak sepenuhnya mampu menyerap ajaran agama Islam. Pada
akhirnya, mereka memadukan ajaran animisme, Hindu dan Islam menjai
satu. Perpaduan inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Islam
Wetu Telu (wacana, 1985). Jadi, dapat dikatakan bahwa Islam Wetu Telu
itu sebelah kakinya di Islam, dan sebelahnya lagi di animisme dan Hindu.
Dari beberapa pendapat diatas, yang jelas bahwa Islam Wetu
Telu sangat berbau Islam meskipun dalam beberapa acara ritual tampak
adanya singkritisme antara agama Islam, Hindu dan ajaran Nenek
Moyang. Inilah yang lebih mendekati kebenaran asal-usul Islam Wetu
Telu terbentuk atau muncul setelah Belanda menguasai Lombok Dalam
masyarakat Lombok yang awam, mereka menyebut kepercayaan ini
dengan sebutan "Wetu Telu" sebagai akulturasi dari ajaran Islam dan
sisa kepercayaan lama yakni animisme, dinamisme, dan kerpercayaan
Hindu. Selain itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan
peribadatan seperti agama Islam pada umumnya -dikenal dengan
sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban shalat Lima
Waktu- Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah
orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk
pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang
berhubungan dengan daur hidup (kematian, kelahiran, penyembelihan
hewan, selamatan dll) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan
mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai
ucapan terima kasih dari tuan rumah.
2. Pembekalan Dakwah
Biasanya jika seseorang akan masuk ajaran tertentu ada beberapa
pembekalan yang harus dilakukan, tujuannya agar orang tersebut
mampu mendalami ajarannya dengan baik.
Pertama-tama yang diajarkan adalah tentang siapa dirinya, yang diawali
dengan keberadaan dirinya ketika bersama Allah (alam nur) yang
disebutnya AHADIYAH, kemudian ketika berada di dalam perut
ibunya yang disebutnya WAHDAH, kemudian setelah dia lahir di bumi
disebutnya WAHIDIAH, inilah yang dikembangkan dengan berbagai
macam metode sesuai menurut situasi masyarakat yang mana nantinya
bentuk ibadahnya melalui shalat lima waktu, yakni Dzuhur, Ashar,
Maghrib, Isya’ dan Subuh. dzuhur disimbolkan dengan warna putih,
ashar disimbolkan dengan warna kuning, magrib disimbolkan dengan
warna merah, isya disimbolkan dengan warna hitam, subuh
disimbolkan dengan warna biru. Semua simbol warna tadi ada pada
tubuh manusia, darah putih, kuning, merah, hitam dan biru. Sedangkan
mengenai jumlah rakaat shalat zuhur yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua tangan dan dua kaki, ashar yang empat rakaat, tuhan
menciptakan dua mata dan dua telinga, magrib yang tiga rakaat tuhan
yang menciptakan dua hidung dan satu mulut, subuh yang dua rakaat,
tuhan menciptakan dada dan punggung. Selanjutnya para dai juga
berdakwah dengan melalui tembang seperti tembang sinom. Salah satu
isinya “istri lanang sami sembahyang, hati sami beceh hadining”.