2 Bab.ii Tinjauan Pustaka T-Pikon-H (Eki) Revisi

download 2 Bab.ii Tinjauan Pustaka T-Pikon-H (Eki) Revisi

of 29

Transcript of 2 Bab.ii Tinjauan Pustaka T-Pikon-H (Eki) Revisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1

Lahan Rawa Pengertian Lahan Rawa Lahan rawa sebenarnya merupakan lahan yang menempati posisi peralihan

di antara sistem daratan dan sistem perairan (sungai, danau, atau laut), yaitu antara daratan dan laut, atau di daratan sendiri, antara wilayah lahan kering (uplands) dan sungai/danau. Karena menempati posisi peralihan antara sistem perairan dan daratan, maka lahan ini sepanjang tahun, atau dalam waktu yang panjang dalam setahun (beberapa bulan) tergenang dangkal, selalu jenuh air, atau mempunyai air tanah dangkal. Dalam kondisi alami, sebelum di buka untuk lahan pertanian, lahan rawa ditumbuhi berbagai tumbuhan air, baik sejenis rumputan (reeds, sedges dan rushes), vegetasi semak maupun kayu-kayuan/hutan, tanahnya jenuh air atau mempunyai permukaan air tanah dangkal, atau bahkan tergenang dangkal (Subagyo, 2006). Lahan rawa adalah lahan di sekitar daerah aliran sungai, yang selalu tergenang air terutama pada musim hujan dan dapat kering di musim kemarau. Lahan rawa di sepanjang tepi sungai dipengaruhi oleh pasang surutnya air tawar, tanah tergenang pada saat air pasang dan kembali kering pada saat air surut. Sedangkan lahan yang jauh dari sungai akan selalu tergenang airnya, hanya dapat kering pada waktu musim kemarau. Lahan rawa yang dilimpahi air di kala air pasang dan kering di kala air surut dinamakan lahan pasang surut. 2.1.2 Klasifikasi Zona Wilayah Rawa Berdasarkan pengaruh air pasang surut, khususnya sewaktu pasang besar (spring tides) di musim hujan, bagian daerah aliran sungai di bagian bawah (down stream area) dapat dibagi menjadi 3 (tiga) zona. Klasifikasi zona-zona wilayah rawa ini telah diuraikan oleh (Widjaja-Adhi, 1992 dalam Subagyo, 2006). Ketiga zona wilayah rawa tersebut adalah:

5

6

a) Zona I : Wilayah Rawa Pasang Surut Air Asin/Payau Wilayah rawa pasang surut (RPS) air asin/payau terdapat di bagian daratan yang bersambungan dengan laut, khususnya di muara sungai besar, dan pulaupulau delta di wilayah dekat muara sungai besar. Di bagian pantai ini, dimana pengaruh pasang surut air asin/laut masih sangat kuat, sering kali disebut sebagai tidal wetlands, yakni lahan basah yang dipengaruhi langsung oleh pasang surut air laut/salin. Bagian wilayah pasang surut yang dipengaruhi oleh air asin/salin dan air payau ini, di pantai timur pulau Sumatera seperti di Sumatera Selatan, Jambi, dan Riau, umumnya masuk ke dalam daratan Pulau Delta dan sepanjang sungai besar sejauh dari beberapa ratus meter sampai sekitar 4-6 km ke dalam. Wilayah ini, karena pengaruh air laut/salin atau air payau, tanahnya mengandung garam-garam yang tinggi, dikategorikan sebagai tipologi lahan salin, dan tidak sesuai untuk lahan pertanian (Subagyo, 2006). Jika ditinjau dari jangkauan luapan air pasang, sebagai akibat terjadinya pasang surut air sungai, lahan rawa dibedakan menjadi empat tipe luapan yaitu: y Rawa Tipe Luapan A : rawa dalam klasifikasi ini merupakan rawa yang selalu terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, baik pasang tertinggi saat musim kemarau maupun musim penghujan; y Rawa Tipe Luapan B : rawa yang termasuk dalam kategori ini ialah rawa yang kadang-kadang (tidak selalu terluapi) oleh air pasang tinggi karena pengaruh pasang surut air sungai, paling tidak terluapi pada saat musim penghujan; y Rawa Tipe Luapan C : daerah rawa (RPS) dalam kategori ini didefinisikan sebagai daerah rawa yang tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, namun memiliki kedalaman muka air tanah tidak lebih dari 50 cm dari permukaan tanah; y Rawa Tipe Luapan D : daerah rawa (RPS) ini adalah rawa yang menurut hydrotopografinya tidak pernah terluapi oleh air pasang tertinggi karena pengaruh variasi elevasi pasang surut air sungai, dan memiliki kedalaman air tanah > 50 cm dari permukaan tanah.

7

b) Zona II : Wilayah Rawa Pasang Surut Air Tawar Wilayah pasang surut air tawar adalah wilayah rawa berikutnya ke arah hulu sungai. Wilayahnya masih termasuk daerah aliran sungai bagian bawah, namun posisinya lebih ke dalam ke arah daratan, atau ke arah hulu sungai. Di wilayah ini energi sungai, berupa gerakan aliran sungai ke arah laut, bertemu dengan energi pasang surut yang umumnya terjadi dua kali dalam sehari (semi diurnal). Karena wilayahnya sudah berada di luar pengaruh air asin/salin, yang dominan adalah pengaruh air-tawar (fresh-water) dari sungai sendiri. Walaupun begitu, energi pasang surut masih cukup dominan, yang ditandai oleh masih adanya gerakan air pasang dan air surut di sungai (Subagyo, 2006). Makin jauh ke pedalaman, atau ke arah hulu, gerakan naik turunnya air sungai karena pengaruh pasang surut makin berkurang, dan pada jarak tertentu berhenti. Disinilah batas zona II, dimana tanda pasang surut yang terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah juga berhenti. c) Zona III : Wilayah Rawa Lebak, atau Rawa Non-Pasang Surut Wilayah rawa lebak terletak lebih jauh lagi ke arah pedalaman, dan dimulai di wilayah dimana pengaruh pasang surut sudah tidak ada lagi. Rawa lebak sering disebut sebagai rawa pedalaman, atau rawa non-pasang surut. Biasanya sudah termasuk dalam daerah aliran sungai bagian tengah pada sungaisungai besar. Landform rawa lebak bervariasi dan dataran banjir (floodplains) pada sungai-sungai besar yang relatif muda umur geologisnya, sampai dataran banjir bermeander, termasuk bekas aliran sungai tua. Pengaruh sungai yang sangat dominan adalah berupa banjir besar musiman, yang menggenangi dataran banjir di sebelah kiri-kanan sungai besar. Peningkatan debit sungai yang sangat besar selama musim hujan, "verval" sungai atau perbedaan penurunan tanah dasar sungai yang rendah, sehingga aliran sungai melambat, ditambah tekanan balik arus air pasang dari muara, mengakibatkan air sungai seakan-akan "berhenti" (stagnant), sehingga menimbulkan genangan banjir yang meluas. Sejalan dengan perubahan musim yang ditandai dengan berkurangnya curah hujan, genangan air

8

banjir secara berangsur-angsur akan surut sejalan dengan perubahan musim ke musim kemarau berikutnya (Subagyo, 2006).

(Sumber: Subagyo, 2006)

Gambar 2.1. Pembagian Zona Lahan Rawa di Sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Bagian Bawah dan Tengah

2.2

Gambaran Umum Wilayah Studi

2.2.1 Umum Desa Penggalaman merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Martapura Barat Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan Selatan. Desa ini terbagi menjadi 3 RT, setiap RT di pimpin oleh ketua RT dan desa ini dikepalai oleh seorang kepala desa atau disebut juga dengan pembakal desa.

(Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2011)

Gambar 2.2 Gambaran Wilayah Desa Penggalaman

9

2.2.2

Luas dan Batas Wilayah Desa Penggalaman mempunyai luas wilayah sebesar 28,49 Km2 dengan

a) Luas Wilayah

penggunaan, antara lain: - Luas Pemukiman - Luas Persawahan - Lahan Lebak - Luas Perkebunan - Luas Rawa Tanah Basah - Tanah Rawa - Pasang surut b) Batas Wilayah Desa Penggalaman mempunyai batas-batas wilayah desa, antara lain: Tabel 2.1 Batas Wilayah Desa PenggalamanBatas Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat Desa/Kelurahan Keliling Benteng Tengah Landasan Ulin Sei. Rangas Hambuku Pejambuan Kecamatan Martapura Barat Landasan Ulin Martapura Barat Sei. Tabuk

: 7 Ha/m2 : 1.581,5 Ha/ m2 : 500 Ha : 3 Ha/m2 : 200 Ha : 8 Ha/m2 : 6 Ha/m2

Sumber: Monografi Desa Penggalaman, 2010

2.2.3 Kependudukan 1. Jumlah penduduk di Desa Penggalaman menurut: a. Jenis kelamin - Jumlah laki-laki - Jumlah Perempuan - Jumlah Total b. Jumlah Kepala Keluarga c. Rata-rata Penduduk : 1.153 Orang : 1.087 Orang : 2.240 Orang : 600 KK : 72 per Km2

10

Berikut Tabel 2.2 menunjukkan jumlah penduduk di Desa Penggalaman menurut KK, RT, dan jenis kelamin. Tabel 2.2 Data Penduduk Desa PenggalamanJenis Kelamin No. 1 2 3 RT 01 02 03 Jumlah L 514 408 231 1.153 P 489 369 229 1.087 Jumlah Jiwa 1.003 777 460 2.240 KK 263 207 130 600

Sumber: Monografi Desa Penggalaman, 2010

2. Jumlah penduduk Desa Penggalaman menurut tingkat pendidikan terakhir yang pernah dijalani yaitu: y y y y y y TK SD : 142 Orang : 165 Orang

SMP : 165 Orang SLTA : 190 Orang D1-D3 : S-1 : 8 Orang 5 Orang

2.2.4 Sumber Daya Air Adapun sumber daya air di Desa Penggalaman dilihat dari luas, kondisi dan pemanfaatannya (Monografi Desa Penggalaman, 2010) yaitu: a. Sungai Jumlah sungai Kondisi : 2 buah : - Tercemar - Pengendapan lumpur tinggi - Keruh - Berkurangnya biota sungai - Kering

11

b. Rawa Luas Rawa Pemanfaatan : 200 Ha : - Perikanan darat - Air baku untuk pengolahan air minum - Cuci dan mandi - Buang air besar - Perikanan - Sungai c. Irigasi Luas Pemanfaatan : 5 Ha : - Air minum/air baku - Cuci dan mandi - Irigasi sawah

2.2.5 Data Kesehatan Penduduk Kesehatan penduduk tidak lepas pengaruh kondisi sanitasi yang ada di lingkungannya. Begitu juga untuk kondisi kesehatan di Desa Penggalaman yang terletak di Kecamatan Martapura Barat, dapat diketahui melalui Tabel 2.3 berikut. Tabel 2.3 Sepuluh Besar Penyakit pada Kecamatan Martapura BaratNo. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Jenis Penyakit Batuk Artritis Pusing Hipertensi ISPA Asma Faringitis Urticaria Nyeri Ulu Hati Penyakit Lainnya Jumlah Kasus 4.986 3.718 1.188 1.084 994 991 816 608 468 481 Persentase (%) 35,52 24,25 7,75 7,07 6,48 6,46 5,32 3,92 3,05 3,14

Sumber: Puskesmas Kecamatan Martapura Barat, 2009

12

Gambar 2.3 Peta Administrasi Desa Penggalaman Kecamatan Martapura Barat

13

(Sumber: Balai Rawa Kal-Sel, 2011)

Gambar 2.4 Peta Sebaran Unit Rawa Pasang Surut Provinsi Kalimantan Selatan

14

2.3

Kualitas Perairan Rawa/Sungai Kualitas perairan seperti rawa/sungai menurut (Alaerts dan Santika, 1987

dalam Efendi, 2003) sangat tergantung pada komponen penyusunnya dan banyak dipengaruhi oleh masukan komponen yang berasal dari pemukiman. Perairan yang melintasi daerah pemukiman dapat menerima masukan bahan organik yang berasal dari aktivitas penduduk (Lutfi, 2006). Untuk melakukan analisis terhadap kualitas perairan baik sungai/rawa di Provinsi Kalimantan Selatan, berikut dapat dilihat pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Baku Mutu Air Sungai di Provinsi Kalimantan SelatanNo. 1. 2. 3. 4. Parameter pH BOD COD Fecal Coliform Satuan I mg/l mg/l Jml/100ml 6-9 2 10 100 Klasifikasi II 6-9 3 25 1.000 III 6-9 4 50 2.000 IV 6-9 12 100 2.000

Sumber: PerGub KalSel No.5 Tahun 2007

2.4

Sumber, Jenis dan Macam Air Limbah Menurut (Miller, 1991 dalam Rhomaidi, 2008) terdapat 2 bentuk

pencemar, yaitu : 1. Point Sources Merupakan sumber pencemar yang membuang effluent (limbah cair) melalui pipa, selokan atau saluran air kotor ke dalam badan air pada lokasi tertentu. Misalnya pabrik, tempat-tempat pengolahan limbah cair (yang menghilangkan sebagian tapi tidak seluruh zat pencemar), tempat-tempat penambangan yang aktif dan lain-lain. Karena lokasinya yang spesifik, sumber-sumber ini relatif lebih mudah diidentifikasi, dimonitor dan dikenakan peraturan-peraturan. 2. Non-Point Sources Terdiri dari banyak sumber yang tersebar yang membuang effluent, baik ke dalam badan air maupun air tanah pada suatu daerah yang luas. Contohnya adalah limpasan air dari ladang-ladang pertanian, peternakan, lokasi

15

pembangunan, tempat parkir dan jalan raya. Pengendaliaan sumber pencemar ini cukup sulit dan membutuhkan biaya yang tinggi untuk mengidentifikasi dan mengendalikan sumber-sumber pencemar yang tersebar tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pendekatan terpadu dengan penekanan pada pencegahan pencemar. Pencegahan tersebut dapat dilakukan salah satunya melalui penataan ruang yang baik.

Jenis dan macam air limbah dikelompokkan berdasarkan sumber penghasilan atau penyebab air limbah yang secara umum yang terdiri dari : a. Air Limbah Domestik Air limbah yang berasal dari kegiatan penghunian, seperti rumah tinggal, hotel, sekolahan, kampus, perkantoran, pertokoan, pasar dan fasilitas-fasilitas pelayanan umum. Air limbah domestik dapat dikelompokkan menjadi: Air buangan kamar mandi Air buangan WC: air kotor/tinja Air buangan dapur dan cucian

b. Air Limbah Industri Air limbah yang berasal dari kegiatan industri, seperti pabrik industri logam, tekstil, kulit, pangan (makanan dan minuman), industri kimia dan lainnya. c. Air Limbah Limpasan dan Rembesan Air Hujan Air limbah yang melimpas di atas permukaan tanah dan meresap kedalam tanah sebagai akibat terjadinya hujan.

Untuk mengukur sampai berapa jauh tingkat pengotor air, maka dapat digunakan beberapa parameter antara lain: BOD (Biochemical Oxigen Demand), COD (Chemical Oxigen Demand), SS (Suspended Solid), E-coli (colitinja), dan golongan amoniak. Kuat lemahnya air limbah ditentukan oleh konsentrasi BOD5 dan COD. Konsentrasi yang tinggi dari air limbah domestik tergantung dari komposisi yang ada dalam air limbah dan tingkat kebutuhan air bersih. Berikut pada Tabel 2.5 dari data BPPT mengenai karakteristik air limbah domestik.

16

Tabel 2.5 Karakteristik Limbah DomestikNo. 1. 2. 3. Parameter BOD - mg/l COD - mg/l pH Minimum 31,52 46,62 4,92 Maksimum 675,33 1.183,4 8,99 Rata-rata 353,43 615,01 6,96

Sumber: BPPT, 2011

Karakteristik air limbah rumah tangga dari WC/kakus dapat dilihat seperti pada berikut ini: Tabel 2.6 Kualitas Air Limbah Rumah Tangga dari WC/Kakus di IndonesiaNo 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Parameter pH Temperatur Amonium Nitrat Nitrit Sulfat Phospat HCO3 BOD5 COD Khlorida Total Colio

Satuan C

Konsentrasi 6,5 7 37 25 0 0 20 30 120 220 610 45 3 x 105

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN

Sumber: Laboratorium Balai Lingkungan Permukiman, 1994 dalam Efendi,2003

2.5

Tinja

2.5.1 Pengertian Tinja dan Sumber Tinja Kotoran manusia, disebut juga tinja, merupakan bahan buangan dari tubuh manusia yang dikeluarkan melalui anus atau rektum. Tinja merupakan bahan sisa dari proses pencernaan makanan pada setiap sistem saluran pencernaan makanan manusia untuk berkontak karena sifatnya yang menimbulkan kesan jijik pada setiap orang dan bau yang menyengat. Tinja juga merupakan bahan yang sangat

17

menarik perhatian serangga, khususnya lalat dan berbagai hewan lain, misalnya anjing, ayam, tikus, ikan karena mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan hewan itu. Pembuangan tinja manusia yang tidak ditangani sebagaimana mestinya menimbulkan pencemaran permukaan tanah, air tanah dan air yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman & Suparmin, 2002). Tujuan teknis pembuangan tinja secara saniter adalah untuk mengisolasi tinja sehingga bibit penyakit infeksius didalamnya tidak dapat mencapai inang baru. Metolodologi yang dipilih untuk area yang berbeda akan tergantung pada beberapa faktor termasuk kondisi geologi dan hidrogeologi, budaya dan kebiasaan masyarakat, ketersediaan bahan local dan biaya baik jangka pendek maupun jangka panjang (WHO, 1992 dalam Djonoputro, 2010). 2.5.2 Karakteristik Tinja Gootas (dalam Soeparman & Suparmin, 2002) mengumpulkan data dari berbagai sumber di seluruh dunia, menyatakan bahwa kuantitas tinja dan air seni terlihat pada Tabel 2.7. Tabel 2.7 Kuantitas Tinja dan Air SeniGram/orang/hari Tinja/Air Seni Tinja Air Seni Jumlah Berat Basah 135-270 1.000-1.300 1.135-1.570 Berat Kering 35-70 50-70 85-140

Sumber: Wagner & Lanoix, 1958 dalam Soeparman & Suparmin, 2002

Menurut (Azrul Azwar, 1995 dalam Soeparman dan Suparmin, 2002), seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-rata sehari sekitar 83 gram dan menghasilkan air seni sekitar 970 gram. Kedua jenis kotoran manusia ini sebagian besar berupa air, terdiri dari zat-zat organik (sekitar 20% untuk tinja dan 2,5% untuk air seni), serta zat-zat anorganik seperti nitrogen, asam fosfat, sulfur dan sebagainya. Menurut (Gootas,1956 dalam Soeparman dan Suparmin, 2002), perkiraan kuantitas tinja manusia tanpa air seni adalah 135-270 gram per kapita berat basah, atau 35-70 gram per kapita per hari berat kering. Sedangkan

18

perkiraan volume air seni sebesar 1,0-1,3 liter per kapita per hari dengan jumlah bahan padat kerig sebesar 50-70 gram per kapita per hari. Tabel 2.8 Perkiraan Komposisi Tinja Tanpa Air SeniKomponen Air Bahan organik (dari berat kering) Nitrogen (dari berat kering) Fosfor (sebagai P2O5) (dari berat kering) Potasium (sebagai K2O) (dari berat kering) Karbon (dari berat kering) Kalsium (sebagai CaO) (dari berat kering) C/N rasio (dari berat kering) Kandungan (%) 66-80 88-97 5,0-7,0 3,0-5,4 1,0-2,5 40-55 4-5 5-10

Sumber : Gootas, 1956 dalam Soeparman & Suparmin, 2002

Untuk keperluan perencanaan sarana pembuangan tinja, bila tidak tersedia data hasil penelitian setempat, dapat digunakan angka kuantitas tinja manusia sebesar 1 kg berat basah per orang per hari. Selain kandungan komponenkomponen tersebut di atas, per gram tinja mengandung pula berjuta-juta mikroorganisme pada umumnya bersifat menyebabkan penyakit (Bertthuox & Rudd, 1977 dalam Soeparman & Suparmin, 2002). Khusus untuk air limbah buangan wc/air kotor/tinja, besaran yang sering digunakan dalam perencanaan tangki septik dan bangunan peresapan adalah 25 liter/orang/hari. 2.5.3 Peranan Tinja dalam Penyebaran Penyakit Pembuangan tinja manusia yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan pencemaran terhadap permukaan air, tanah serta air tanah yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencernaan (Soeparman dan Suparmin, 2002). Selain dapat

mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, juga dapat menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong water borne diseases akan mudah terjangkit. Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah pencemaran tanah, pencemaran air, kontaminasi

19

makanan, dan perkembangbiakan lalat. Penyakit-penyakit yang dapat ditimbulkan antara lain tifoid, paratifoid, disentri, diare, kolera, penyakit cacing, hepatitis viral, dan beberapa penyakit infeksi gastrointestinal lain, serta investasi parasit lain (Chandra, 2007). Tinja potensial mengandung mikroorganisme pathogen, terutama apabila manusia yang menghasilkanya menderita penyakit saluran pencernaan makanan (enteric or intestinal diseases). Mikroorganisme tersebut dapat berupa bakteri, virus, protozoa, ataupun cacing-cacing parasit. Coliform bacteria yang dikenal sebagai Escherchia coli dan fecal streptococci yang sering terdapat di saluran pencernaan manusia, dikeluarkan dari tubuh manusia dan hewan-hewan berdarah panas lainnya dalam jumlah besar rata-rata sekitar 50 juta per gram (Hammer,1977 dalam Soeparman & Suparmin, 2002). Menurut (Notoatmodjo, 2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan adalah : 1) Tidak mengotori permukaan tanah disekitarnya; 2) Tidak mengotori air permukaan disekitarnya; 3) Tidak mengotori air dalam tanah disekitarnya; 4) Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat di pakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan vektor penyakit lainnya; 5) Tidak menimbulkan bau; 6) Pembuatannya murah; dan 7) Mudah digunakan dan dipelihara.

2.6

Sistem Sanitasi Setempat (On-Site) Sistem sanitasi setempat (on-site sanitation) adalah sistem pembuangan air

buangan dimana air buangan tidak dikumpulkan dan tidak disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran yang akan membawanya ke suatu tempat pengolahan ataupun badan air, melainkan dibuang di tempat. Sistem ini dipakai bila syaratsyarat teknis lokasi dapat dipenuhi dan biaya relatif rendah. Sistem ini sudah umum karena telah banyak dipergunakan di Indonesia.

20

Kelebihan sistem ini adalah : y y y y Biaya pembuatan relatif rendah/murah; Bisa dibuat secara pribadi; Teknologi dan sistem penanganannya cukup sederhana; Operasional dan perawatannya merupakan tanggung jawab pribadi.

Kekurangannya : y Umumnya tidak disediakan untuk menampung limbah dari proses mandi, cuci dan dapur; y Dapat mencemari air tanah bila syarat-syarat teknis pembuatan dan pemeliharaan tidak dilakukan sesuai dengan aturannya. Menurut (Dinas Pekerjaan Umum, 1998 dalam Herliana, 2007) pada penerapan sistem setempat ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi antara lain: y y Kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa/ha; Kepadatan penduduk 200 500 jiwa/ha masih memungkinkan dengan syarat penduduk tidak menggunakan air tanah; y Tersedia truk penyedotan tinja.

Beberapa contoh fasilitas sanitasi On-Site: 2.6.1 Cubluk Pit privy atau cubluk merupakan sistem pembuangan tinja yang paling sederhana. Terdiri atas lubang yang digali secara manual dengan dilengkapi dinding rembes air yang dapat terbuat dari pasangan batu bata berongga, anyaman bambu, dan lain-lain. Cubluk biasanya berbentuk bulat atau kotak, dengan potongan melintang sekitar 0,5-1 m2 dengan kedalaman 1-3 m. Hanya sedikit air yang digunakan untuk menggelontorkan tinja ke dalam cubluk. Cubluk ini biasanya didesain untuk waktu 5-10 tahun. Cubluk terbagi atas beberapa jenis: a) Cubluk tunggal Muka air tanah lebih dari 1 m dari dasar cubluk Penduduk mampu membangunnya Cocok untuk daerah dengan kepadatan < 200 jiwa/ha Pemakaian dihentikan setelah terisi 75%

21

b) Cubluk Kembar Muka air tanah lebih dari 2 m dari dasar cubluk Cocok untuk daerah dengan kepadatan < 50 jiwa/ha Lokasi pemukiman tidak dilengkapi jalan raya untuk kendaraan roda 4 Pemakaian lubang cubluk pertama dihentikan setelah terisi 75 % dan selanjutnya lubang cubluk kedua dapat difungsikan. Jika lubang cubluk kedua telah terisi 75 %, maka lumpur tinja yang ada di lubang pertama dapat dikosongkan secara manual dan dapat digunakan untuk pupuk tanaman. Setelah itu lubang cubluk dapat difungsikan kembali.

(Sumber: Djonoputro, 2010)

Gambar 2.5 Cubluk Tunggal 2.6.2 Jamban Cemplung Jamban cemplung banyak terdapat di pedesaan tapi kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban. Jenis jamban ini, kotoran langsung masuk ke dalam lubang jamban (Mashuri, 1994 dalam Tarigan, 2008). Jamban cemplung pada daerah sungai/rawa tentunya tinja akan masuk langsung ke dalam badan air permukaan sungai/rawa. Jamban cemplung pada daerah sungai/rawa memiliki

22

kesamaan fungsi dengan jamban empang. Jamban empang di bangun di atas empang , bedanya di sini terjadi daur ulang, yakni tinja bisa langsung di makan ikan, ikan dimakan orang, lalu orang mengeluarkan tinja, dan seterusnya. Jamban ini berfungsi mencegah tercemarnya lingkungan oleh tinja, juga menambah protein bagi nelayan penghasil ikan (Kumoro, 1998 dalam Tarigan, 2008). Namun, bahaya laten yang mengancam lewat media air ini adalah bakteri E-coli atau yang dikenal dengan colitinja yaitu bakteri yang sangat identik dengan pencemaran tinja. Setelah tinja memasuki badan air, colitinja akan

mengkontaminasi perairan, bahkan pada kondisi tertentu colitinja dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh dan dapat tinggal di dalam pelvix ginjal dan hati jika masuk ke dalam tubuh manusia.

(Sumber: Dokumentasi Penelitian, 2011)

Gambar 2.6 Jamban Cemplung di Sungai/Rawa

2.6.3 Septic-Tank Septic-tank merupakan cara yang memuaskan dalam pembuangan ekskreta untuk kelompok kecil yaitu rumah tangga dan lembaga yang memiliki persediaan air yang mencukupi, tetapi tidak memiliki hubungan dengan sistem penyaluran limbah masyarakat (Chandra, 2007). Septic-tank berfungsi sebagai penampung air kotor/tinja (merupakan bahan organik) langsung dari WC dan urinoir, di dalam tangki tersebut air limbah akan mengalami proses pembusukan/perombakan/

23

penguraian oleh mikroorganisme selama 3 hari dan terjadi secara aerobik (mikroorganisme memerlukan O2 ) dan anaerobik (mikroorganisme tidak membutuhkan O2). Berdasarkan SNI: 03-2398-2002, mengenai perencanaan septic-tank dengan sistem resapan, diatur standar prosedur pembangunan septic-tank, termasuk ukuran dan batasan kebutuhan minimum fasilitas tangki. Selain itu, juga persyaratan jarak minimum septic-tank terhadap bangunan. Berdasarkan standar itu, bangunan tangki harus kuat, tahan terhadap asam, dan kedap air. Artinya, tidak boleh ada rembesan yang keluar dari tangki. Kemudian, bahan yang diizinkan untuk membuat penutup dan pipa penyalur air limbah adalah batu kali, bata merah, batako, beton bertulang, beton tanpa tulang, PVC, keramik, pelat besi, plastik, dan besi.

(Sumber: Hammmond, 1999)

Gambar 2.7 Tampak Dalam Septic-tank Adapun jarak septic-tank dan bidang resapan ke bangunan adalah 1,5 m. Sedangkan jarak ke sumur air bersih adalah 10 m dan 5 m untuk sumur resapan air hujan. Bertolak belakang dengan peraturan tersebut, yang sekarang banyak ditemukan di lapangan rata-rata jarak tangki dengan sumur hanya berkisar tiga meter. Sementara untuk dimensi dari septic-tank disesuaikan dengan jumlah penghuni dari rumah tangga masing-masing. Semisal, untuk rumah satu KK (kepala keluarga) dengan lima jiwa, septic-tank terdiri dari ruang basah seluas

24

1,2 m3, ruang lumpur 0,45 m3, dan ruang ambang bebas 0,4 m3 dengan panjang 1,6 m; lebar 0,8 m; dan tinggi 1,6 m. Adapun periode pengurasan bagi tangki itu adalah tiga tahun. Beberapa ketentuan yang harus diperhatikan dalam perencanaan

septic-tank (Prodjopangarso, 1991): a) Dimensi septic-tank ditentukan oleh jumlah pemakai yang akan membebani septic-tank. b) Jumlah air kotor perkapita = 25 liter/hari. c) Waktu tinggal di dalam septic-tank, T = 3 hari d) Gerakan aliran air limbah di dalam septic-tank adalah: pada saat masuk dan keluar septic-tank gerakannya adalah vertikal pada saat berada di dalam septic-tank gerakannya adalah horizontal, gerakan aliran ini menjadi penting karena merupakan gerakan proses dari pembusukan/perombakan/penguraian air limbah selama 3 hari sehingga diusahakan gerakan alirannya mengikuti bagian yang terpanjang dari septic-tank (bagian memanjang). e) Dimensi septic-tank : dalam minimum, h = 1,50 m panjang minimum, l = 1,00 m lebar minimum, b = 0,75 m perbandingan panjang (l) : lebar (b) = 3 : 2

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan septic-tank (DPU,1998 dalam Herliana, 2007): y y y y Kecepatan daya serap tanah > 0.0416 cm/menit; Cocok diterapkan di daerah yang memiliki kepadatan penduduk