Interesterifikasi enzimatik bahan baku berbasis minyak ... · Cocoa butter (CB) merupakan lemak...
Transcript of Interesterifikasi enzimatik bahan baku berbasis minyak ... · Cocoa butter (CB) merupakan lemak...
9
TINJAUAN PUSTAKA
Specialty Fats Bernilai Tinggi: Cocoa Butter Equivalents
Specialty fats adalah suatu jenis lemak yang mempunyai fungsionalitas
khusus, sehingga mempunyai potensi aplikasi yang khusus pula. Dalam konteks
yang lebih luas, specialty fats dapat juga dikategorikan sebagai lipida terstruktur
(structured lipids/structured fats), yaitu suatu triasilgliserol (TAG) yang
mengandung campuran dari asam lemak dengan karakteristik tertentu dan
teresterifikasi dalam kerangka gliserol untuk tujuan memberikan fungsionalitas
tertentu, baik fungsionalitas kesehatan maupun fungsionalitas fisik lainnya
(Hariyadi 2009). Sedangkan menurut Osborn dan Akoh (2002a), lipida terstruktur
adalah TAG yang dimodifikasi untuk diubah komposisi asam lemak atau
distribusi posisinya dalam kerangka gliserol secara reaksi kimia dan/atau
enzimatik dan/atau rekayasa genetika untuk memperbaiki nilai gizi atau sifat-sifat
fungsionalnya.
Berbagai jenis specialty fats telah dikembangkan oleh industri minyak dan
lemak dari tahun ke tahun dalam upaya mendukung berkembangnya industri
pangan, nutrisional, farmasi, kosmetik maupun perawatan personal. Di antara
specialty fats, cocoa butter alternatives (CBA) mungkin mewakili specialty fats
yang paling beragam dan paling banyak dikembangkan. CBA didesain untuk
memberikan alternatif, baik secara ekonomi maupun fungsional terhadap
ingridien bernilai ekonomi tinggi, cocoa butter (CB). CB berkontribusi penting
terhadap sifat-sifat tekstural dan sensori produk-produk coklat confectionery.
Produsen CBA selalu membandingkan penampilan produk dan karakteristiknya
dengan CB, karena CB dianggap mewakili standar emas untuk produk specialty
fats (Wainwright 1999).
Cocoa Butter dan Cocoa Butter Alternatives
Cocoa butter (CB) merupakan lemak alami (titik leleh 32-35°C) berwarna
kuning terang yang diperoleh dari biji kakao (Theobroma cacao), sedangkan
menurut Minifie (1999), beberapa negara memberi batasan yang lebih spesifik
10
tentang CB, yaitu sebagai hasil pengepresan cocoa nib (kotiledon kakao) setelah
dipisahkan dari shell (proses winnowing). CB bersifat keras dan mudah patah
(brittle) di bawah suhu ruang, tetapi ketika dimakan, CB meleleh sempurna di
mulut dengan tekstur creamy yang lembut dan sensasi dingin (Gunstone 2002).
Polimorfismenya juga berpengaruh besar terhadap sifat-sifat fisik dari produk
coklat, seperti kilap (gloss), derak (snap), kontraksi, ketahanan panas, pelelehan
yang cepat dan tajam di mulut, serta ketahanan bloom (Osborn dan Akoh 2002a).
Karakteristik tersebut sebagai konsekuensi dari komposisi TAG CB yang
hampir 80% didominasi oleh tiga TAG simetrik, saturated-unsaturated-saturated
(StUSt), yaitu palmitat-oleat-palmitat (POP, 16.8-19.0%), palmitat-oleat-stearat
(POS, 38.0-43.8%) dan stearat-oleat-stearat (SOS, 22.8-30.0%) (Lipp et al. 2001).
CB juga mengandung sejumlah kecil TAG yang tidak simetrik (POO, PSO dan
SSO). Komposisi TAG yang unik bersama-sama dengan kandungan diasilgliserol
(DAG) yang sangat rendah membentuk CB dengan sifat fisik yang diinginkan dan
kemampuannya untuk rekristalisasi selama pengolahan untuk membentuk suatu
kristal stabil (Shukla 2006, Liu et al. 2007).
Karakteristik unik tersebut juga menjadi alasan yang membuat CB
dianggap sebagai lemak ideal dan pilihan dalam industri coklat confectionery,
sehingga menciptakan permintaan pasar yang besar melebihi pasokan. Biji kakao
mengandung CB relatif kecil (52.5-55.5% dari nib). Sementara itu, hanya sedikit
negara yang membudidayakan kakao, sehingga suplai menjadi tidak stabil dan
harganya relatif paling mahal di antara lemak dan minyak alami (Zaidul et al.
2007).
Menurut Torbica et al. (2006), selain pasokan dan harga yang tidak
menentu, CB juga kurang memadai untuk digunakan pada iklim panas serta
kualitasnya bervariasi antar wilayah yang berbeda. Selain itu, proses tempering
diperlukan untuk produk coklat yang sepenuhnya menggunakan CB dalam
formulasinya, karena akan cenderung mengalami blooming (Fuji Oil Europe
2004). Berbagai alasan tersebut mendorong dikembangkannya specialty fats
alternatif CB, sehingga dikenal istilah cocoa butter alternatives (CBA).
Selanjutnya, pada Tabel 2.1 dapat dilihat komposisi dan sifat-sifat CB dari
beberapa negara.
11
Tabel 2.1 Komposisi dan sifat-sifat CB dari beberapa negara
Faktor Negara Ghana India Brazil Nigeria Ivory Cost Malaysia
Bilangan iod Titik leleh (°C) DAG (%) ALB (%) Komposisi AL: C16:0 (%) C18:0 (%) C18:1 (%) C18:2 (%) C20:0 (%) Komposisi TAG: Trisat. (%) PPS PSS Monounsat. (%) POP POS SOS SOA Diunsat. (%) POO SOO Polyunsat.(%) OOO SFC (tempering 40 jam, 26°C) 20°C (%) 25°C (%) 30°C (%) 35°C (%)
35.8 32.2 1.9 1.53
24.8 37.1 33.1 2.6 1.1
0.7 0.3 0.4 84.0 15.3 40.1 27.5 1.1 14.0 2.1 3.8 1.3 0.4
76.0 69.6 45.0 1.1
34.9 32.4 1.5
1.06
25.3 36.2 33.5 2.8 1.1
1.1 0.6 0.5
85.2 15.2 39.4 29.3 1.3
12.8 1.9 3.3 0.9
Trace
81.5 76.8 54.9 2.3
40.7 32.0 2.0 1.24
23.7 32.9 37.4 4.0 1.0
Trace Trace Trace 71.9 13.6 33.7 23.8 0.8 24.1 6.2 9.5 4.0 1.0
62.6 53.3 23.3 1.0
35.3 33.1 2.8 1.95
25.5 35.8 33.2 3.1 1.1
0.8 0.3 0.5 85.8 15.5 28.8 40.5 1.0 12.7 1.7 3.0 0.7
Trace
76.1 69.1 43.3
0
36.3 32.0 2.1 2.28
25.4 35.0 34.1 3.3 1.0
0.6 0.3 0.3
82.6 15.2 39.0 27.1 1.3
15.5 2.7 4.1 1.3
Trace
75.1 66.7 42.8
0
34.2 34.3 1.8 1.21
24.8 37.1 33.2 2.6 1.1
1.3 0.8 0.5 87.5 15.1 40.4 31.0 1.0 10.9 1.5 2.7 0.3 -
82.6 77.1 57.7 2.6
Sumber : Shukla (2006)
Keterangan: DAG, diasilgliserol; ALB, asam lemak bebas; AL, asam lemak; TAG, triasilgliserol; Trisat., trisaturated; Monounsat., monounsaturated; Diunsat., diunsaturated; Polyunsat., polyunsaturated; P, asam palmitat; O, asam oleat; S; asam stearat; A, asam arakhidat; SFC, solid fat content
CBA yang kadang-kadang disebut sebagai hard butter atau confectionery
fats atau specialty fats saja, biasanya diklasifikasikan berdasarkan komposisi
12
kimia dan kompatibilitasnya terhadap CB. Menurut Lipp dan Anklam (1998),
CBA diklasifikasikan sebagai:
(a) CB Equivalents (CBE): lemak nabati non laurat (tidak mengandung asam
laurat) yang mirip sifat-sifat fisik dan kimianya dengan CB dan dapat
dicampur dengan CB pada jumlah berapapun tanpa mengubah sifat-sifat CB;
(1) Cocoa butter extender (CBX): subgroup dari CBE yang tidak dapat
dicampur dengan CB pada semua rasio.
(2) Cocoa butter improvers (CBI): mirip dengan CBE, tetapi dengan
kandungan TAG padat lebih tinggi, digunakan untuk memperbaiki CB
yang lunak.
(b) CB Replacers (CBR): lemak non laurat dengan distribusi asam lemak mirip
CB, tetapi struktur TAGnya berbeda sepenuhnya, hanya pada rasio kecil
kompatibel dengan CB.
(c) CB Substitutes (CBS): lemak nabati laurat (mengandung asam laurat), berbeda
sepenuhnya dengan CB secara kimia, dengan beberapa kemiripan sifat fisik,
hanya cocok untuk pensubstitusi CB sampai 100%.
CBR diproduksi dari minyak dan lemak non laurat terhidrogenasi parsial
(terutama dari minyak kedelai, biji kapas dan sawit). Profil pelelehannya
diperbaiki dengan manipulasi parameter hidrogenasi. CBR atau sering disebut
CBS non laurat memiliki sifat-sifat flavor, aroma, kilap dan retensi kilap yang
baik serta tidak memerlukan tempering, tetapi cenderung mengalami blooming
pada penyimpanan jangka panjang. Walaupun mempunyai kompatibilitas rendah
terhadap CB, tetapi CBR sangat kompatibel dengan lemak non laurat lainnya.
CBR cocok untuk enrobing produk bakery (lunak atau berongga). CBR dapat
dicampur dengan CB sampai 20-25% (basis lemak) jika digunakan sebagai
confectionery coating (Wainwright 1999, Shukla 2006, Fuji Oil Europe 2004, PT
Cahaya Kalbar Tbk 2004).
CBS adalah lemak modifikasi dari asam laurat (La) dan asam miristat (Mi)
dengan TAG utama LaLaLa, LaLaMi, dan LaMiMi (Shamdusin et al. 2006). CBS
terutama diproduksi dari lemak laurat seperti minyak kelapa dan minyak inti
sawit, walaupun sejumlah kecil dari minyak kedelai terhidrogenasi, biji kapas,
sawit dan lemak nonlaurat lainnya juga digunakan. Teknik pengolahannya
13
meliputi hidrogenasi, interesterifikasi dan fraksinasi. Hidrogenasi sempurna
minyak inti sawit menghasilkan suatu lemak yang sangat keras, tetapi dengan
interesterifikasi acak dapat memperbaiki sifat pelelehan secara dramatis. Sebagai
alternatif, minyak inti sawit dapat difraksinasi untuk menghasilkan stearin dengan
pelelehan yang tajam. Stearin inti sawit dapat dihidrogenasi untuk menghasilkan
produk yang lebih keras. CBS tidak memerlukan tempering, cepat mengkristal,
sifat pelelehan dan pelepasan flavor baik, serta kilap dan retensi kilap baik. CBS
tidak kompatibel dengan CB, toleransinya dengan CB sampai 6%, sehingga
digunakan untuk komponen coating, diformulasi dengan bubuk coklat. Selain itu,
jika terhidrolisis akan memberikan flavor sabun (asam laurat) serta mempunyai
toleransi yang rendah terhadap lemak susu (Wainwright 1999, Shukla 2006, Fuji
Oil Europe 2004, PT Cahaya Kalbar Tbk 2004).
Harga CBA ditentukan oleh fungsionalitasnya, antara lain daya tahan
terhadap panas, daya tahan terhadap blooming, kemudahan tempering dan
sebagainya. CBE mempunyai fungsionalitas yang paling tinggi diantara ketiga
jenis CBA (Gambar 2.1). Oleh karena itu, CBE mempunyai harga yang paling
mahal dan CBS yang paling murah.
Harga
Fungsionalitas
Gambar 2.1 Hubungan antara harga CBA dengan fungsionalitasnya (Balle 2006)
Cocoa Butter
CBR
CBE
CBS Filling fats
14
Harga CBE diperkirakan sekitar USD 4,000-4,500 per ton, CBR sekitar
USD 1,000 – 1,500 per ton dan CBS sekitar USD 700 – 900 per ton. Walaupun
demikian, harga CBA hanya sepertiga atau seperempat dari harga CB (Idris dan
Dian 2005). Harga CB akhir tahun 2010 mencapai IDR 100 ribu - IDR 150 ribu
per kilogram.
Cocoa Butter Equivalents
Cocoa butter equivalents (CBE) adalah lemak yang berperilaku seperti CB
dalam segala hal dan dapat dicampur dengan CB pada proporsi berapapun tanpa
mengubah karakteristik pelelehan, rheologi dan pengolahan. CBE didesain agar
mengandung komposisi TAG yang mirip dengan CB, sehingga sifat-sifatnya
diharapkan mirip dan kompatibel dengan CB dalam campuran untuk pembuatan
coklat. (Zaidul et al. 2007). CBE mempunyai peranan antara lain untuk
memperbaiki toleransi terhadap lemak susu; meningkatkan daya simpan pada
suhu tinggi; mengendalikan blooming; serta memberikan alternatif secara
ekonomi terhadap penggunaan CB dalam formulasi coklat (Wainwright 1999).
CB merupakan suatu sistem tiga komponen yang terdiri atas TAG POP,
POS dan SOS dan jika tiga TAG ini dicampur pada proporsi yang sesuai, maka
lemak nabati yang dihasilkan akan berperilaku sebagai CBE. Walaupun demikian,
CBE tidak dapat dihasilkan dengan mencampur TAG secara individual, karena
akan sangat mahal untuk diproduksi (Shukla 2006). CBE biasanya diformulasi
dari lemak yang sifat pelelehan dan kristalisasinya agak mirip dengan CB. CBE
umumnya diformulasi dari minyak yang secara alami mengandung TAG simetrik
yang diperoleh dengan cara fraksinasi dari sumber minyak dan lemak yang
berasal dari tanaman tropik. Sebagian besar berasal dari tanaman liar yang dikenal
sebagai exotic fats (illipe, shea, sal, kokum), kecuali sawit yang dibudidayakan di
kebun (Wainwright 1999).
Pada Tabel 2.2 disajikan sifat-sifat fisik dan kimia CBE komersial dan CB
dari Indonesia. Pada dasarnya, tidak ada lemak yang dihasilkan secara alami
dengan sifat-sifat fisik yang mirip CB, masing-masing sumber lemak mempunyai
kelebihan dan kekurangan TAG CB, sehingga semua alternatif CB dibuat dengan
blending dan/atau modifikasi lemak (Soon 1991, Osborn dan Akoh 2002).
15
Tabel 2.2 Sifat-sifat fisik dan kimia CBE komersial dan CB dari Indonesia
Spesifikasi Produk CBE Komersial CB Indonesia
Asam Lemak Bebas 0.2% 1.5% Titik Leleh (tempered) 36-38°C 33-36°C Bilangan Iod 30-34 33-38 SFC (IUPAC 2.150 Method) (%) (%) 10°C 90-95 86-90 20°C 85-92 80-83 25°C 80-88 74-78 30°C 65-89 45-50 35°C 10-25 1-3 40°C - - FAME (Fatty Acid Methyl Ester) (%) (%) C12:0 (Laurat, La) 0.1 max 0.1 max C14:0 (Miristat, Mi) 0.1 max 0.1 max C16:0 (Palmitat, P) 15-21 24-26 C18:0 (Stearat, S) 40-47 34-38 C18:1 (Oleat, O) 33-35 33-36 C18:2 (Linoleat, L) 2 max 2 max C20:0 (Arakhidat, A) 2 max 1 max CNP (Carbon Number Profile) (%) (%) C48 0.1 max 0.1 max C50 9-11 17-19 C52 39-42 44-47 C54 43-47 33-36 C56 3-5 1-2 POP 7-11 15-17 POS 35-40 40-42 SOS 40-45 28-30 SOA 3-5 1.5-2
Sumber : PT Cahaya Kalbar Tbk (2004)
CBE dapat diformulasi dari fraksi tengah minyak sawit (palm midfraction, PMF)
yang kaya TAG POP dengan exotic fats seperti shea, shal dan illipe yang kaya
TAG POS dan SOS. Formulasi suatu CBE yang tepat merupakan seni terbesar
dalam teknologi lemak (Shukla 2006).
16
CBE sebenarnya menggambarkan suatu kisaran (range) produk, beberapa
di antaranya didesain untuk pengganti keseluruhan CB, sedangkan yang lainnya
adalah pengganti sebagian (Wainwright 1999). Sampai saat ini, definisi CBE
menurut Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) melalui CAOBISCO (asosiasi
pembuat candy dan biskuit dalam EEC) masih menjadi bahan diskusi dan
perdebatan. Definisi CBE menurut EEC adalah sebagai berikut (Minifie 1999) :
1 Kandungan triasilgliserol jenis StOSt ≥ 65 persen (St = Saturated, O = Oleat).
2 Fraksi triasilgliserol dengan posisi sn-2 mengandung asam lemak tidak jenuh
≥ 85 persen.
3 Kandungan total asam lemak tidak jenuh ≤ 45 persen.
4 Asam lemak tidak jenuh dengan dua atau lebih ikatan rangkap ≤ 5 persen.
5 Kandungan asam laurat ≤ 1 persen.
6 Kandungan asam lemak trans ≤ 2 persen.
Mengingat semakin terbatasnya sumber exotic fats dari alam, maka akhir-
akhir ini teknik interesterifikasi enzimatik menjadi salah satu pilihan untuk proses
produksi CBE (Wainwright 1999). Interesterifikasi enzimatik termasuk salah satu
teknik modifikasi lemak/minyak yang menawarkan pilihan lain untuk strukturisasi
TAG yang memungkinkan lebih banyak bahan baku seperti PMF dan minyak
kaya oleat lainnya untuk digunakan dalam proses produksi CBE (Wainwright
1999, Fuji Oil Europe 2004). Selama interesterifikasi akan terjadi redistribusi
asam lemak dalam TAG, sehingga akan mengubah komposisi asam lemak dalam
TAG. Perubahan jumlah dan jenis TAG tersebut akan mempengaruhi karakteristik
fisik minyak dan lemak, seperti sifat pelelehan dan kristalisasi (Idris dan Dian
2005).
Jika proses enzimatik digunakan untuk produksi CBA, maka banyak
faktor yang harus dipertimbangkan. Perilaku pelelehan harus mirip dengan CB
untuk memberikan efek pendinginan yang sama di dalam mulut. Lemak alternatif
yang digunakan tidak boleh terganggu dengan kristalisasi CB yang tepat selama
tempering. Kristal β adalah polimorfisme yang diinginkan dalam industri
confectionery (Osborn dan Akoh 2002a). Selain itu, produksi CBE secara
interesterifikasi enzimatik masih menghadapi beberapa kendala seperti legislasi
penggunaan CBE dalam formulasi coklat termasuk bahan baku yang diijinkan,
17
harga enzim yang relatif mahal serta penerimaan konsumen berkaitan dengan
aspek rekayasa genetika (genetically modified food) baik pada produk minyak
nabati maupun pada mikroba penghasil enzim (Nielsen et al. 2000).
Sementara itu, penambahan CBE pada produk-produk coklat diatur
melalui EU Directive 2000/36/EC (“Chocolate Directive”) oleh Uni Eropa yang
memperbolehkan penggantian CB dengan lemak nabati lain selain CB maksimal
5% dari total berat produk akhir, asalkan dalam label ditambahkan pernyataan
“mengandung lemak nabati sebagai tambahan CB”. Enam lemak nabati (disebut
CBE) yang dapat digunakan secara tunggal atau campuran adalah
illipe/tengkawang (Shorea spp), minyak sawit (Elaeis guineensis, Elaeis olifera)
sal (Shorea robusta), shea (Butyrospermum parkii), kokum gurgi (Garcinia
indica) dan mango kernel (Mangifera indica).
Produk CBE yang ada di pasaran umumnya direkomendasikan untuk
aplikasi tertentu seperti untuk plain chocolate dan milk chocolate. Selain itu,
beberapa produk CBE juga direkomendasikan untuk aplikasi enrobing (coating)
pada berbagai produk pangan seperti cakes, wafer, biskuit dan confectionery
lainnya. Aplikasi yang lain adalah untuk supercoating, filling atau sebagai barrier
antara filling centres dan chocolate shells (Soekopitojo 2009).
Menurut Lipp et al. (2001), CB asli memperlihatkan kisaran (range)
variasi komposisi yang cukup sempit dibandingkan CBE. Data komposisi asam
lemak dan TAG dapat digunakan untuk deteksi dan kuantifikasi CBE dalam plain
chocolate, dengan menggunakan model kalibrasi yang dimilikinya. Konstituen
minor (data tokoferol, tokotrienol dan stirene) kegunaannya terbatas untuk tujuan
kuantifikasi, tetapi dapat sebagai tambahan indikator adanya lemak nabati lain di
dalam coklat. Interesterifikasi enzimatik untuk sintesis lemak dengan profil TAG
mirip CB dapat dilakukan melalui reaksi transesterifikasi ataupun asidolisis.
Transesterifikasi merupakan reaksi pertukaran gugus asil antara dua ester, yaitu
antara dua TAG. Sedangkan asidolisis merupakan reaksi perpindahan gugus asil
antara suatu asam dengan suatu ester, atau dapat diartikan sebagai inkorporasi
asam lemak bebas baru ke dalam TAG (Willis dan Marangoni 2002).
Reaksi transesterifikasi enzimatik untuk sintesis CBE antara lain telah
dilakukan oleh Chang et al. (1990) dari minyak biji kapas terhidrogenasi
18
sempurna dan minyak zaitun; Liu et al. (1997) dari minyak sawit dan tristearin;
Abigor et al. (2003) dari refined, bleached, deodorized palm oil (RBDPO) dan
fully hydrogenated soybean oil (FHSO); serta Liu et al. (2007) dari lard dan
tristearin. Sedangkan reaksi asidolisis enzimatik antara lain telah dilakukan oleh
Chong et al. (1992) dari asam stearat dan olein sawit; Mojovic et al. (1993) dari
palm mid fraction (PMF) dan asam stearat dalam n-heksana; Satiawihardja et al.
(2001) dari asam stearat dan olein sawit dalam n-heksana ; Wang et al. (2006)
dari minyak biji teh dan metil palmitat/metil stearat ; Ciftci et al. (2009) dari
refined olive pomace oil (ROPO) dan asam palmitat/asam stearat; serta
Pinyaphong dan Phutrakul (2009) dari minyak sawit dan metil palmitat/metil
stearat.
Minyak Sawit sebagai Bahan Baku Specialty Fats
Potensi Sawit
Industri minyak sawit telah lama berperan dalam perekonomian nasional
melalui kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan
tenaga kerja serta perolehan devisa negara. Kontribusi industri minyak sawit yang
sangat strategis dalam perkembangan perekonomian ini dapat terus ditingkatkan,
mengingat penggunaan minyak sawit dunia yang sangat prospektif serta potensi
yang dimiliki oleh industri minyak sawit nasional seperti antara lain ketersediaan
lahan dan tenaga kerja (Apolin News 2006).
Indonesia merupakan produsen minyak sawit utama dunia dengan total
produksi CPO (crude palm oil) pada tahun 2010 sebesar 22.3 juta ton dan pada
tahun 2020 diperkirakan mencapai 44 juta ton. Sedangkan luas area tanam pada
tahun 2010 diperkirakan 8.2 juta hektar dengan luas area panen sekitar 5.7 juta
hektar yang pada tahun 2020 diperkirakan mencapai 9.7 juta hektar luas area
panen (Janurianto 2011). Produksi tersebut sekitar 70-80% diekspor ke berbagai
negara dalam bentuk CPO maupun olah lanjut CPO, sedangkan sisanya untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pada saat ini, industri minyak sawit Indonesia masih didominasi oleh
industri refinery yang menghasilkan RBD (Refined Bleached Deodorized) olein
19
dan RBD stearin. Produk hilir yang dihasilkan dari olah lanjut CPO sebagian
besar berupa produk untuk keperluan pangan seperti minyak goreng, margarin dan
shortening. Sampai pertengahan tahun 2006, Indonesia memiliki 81 pabrik
minyak goreng sawit yang tersebar di Sumatra, Jawa dan Kalimantan dengan total
kapasitas mencapai 11.16 juta ton per tahun. Sedangkan perusahaan margarin dan
shortening sebanyak 18 dengan kapasitas produksi sekitar 773 ribu ton per tahun
(Bisinfocus 2006).
Sementara itu, industri hilir yang bernilai tambah tinggi seperti industri
oleokimia misalnya, pertumbuhannya sangat lambat dan produksinya relatif masih
kecil. Sampai pertengahan 2006, di Indonesia terdapat 11 produsen oleokimia
dengan kapasitas produksi sekitar 855 ribu ton per tahun, sedangkan produksinya
sekitar 700 ribu ton per tahun (Bisinfocus 2006). Oleh karena itu, pengembangan
produk hilir bernilai tambah tinggi menjadi alternatif potensial untuk
meningkatkan daya saing produk minyak sawit Indonesia di pasar dunia maupun
domestik.
Fraksi-Fraksi Minyak Sawit dan Aplikasinya
Minyak sawit merupakan bahan baku penting untuk produksi specialty
fats. Minyak sawit dan produk turunannya secara luas telah digunakan untuk
aplikasi pangan (~90%), seperti margarin, shortening, minyak goreng,
confectionery fats, vanaspati dan sebagainya serta aplikasi non pangan (~10%),
seperti industri sabun dan oleokimia (Sarmidi et al. 2009, Idris dan Dian 2005) .
Minyak sawit mengandung campuran TAG bertitik leleh tinggi dan
rendah. Pada suhu ruang, TAG bertitik leleh tinggi akan mengkristal membentuk
fraksi padat yang disebut stearin, sedangkan TAG bertitik leleh rendah akan tetap
dalam bentuk cair yang disebut olein (Zaliha et al. 2004). Campuran TAG dalam
minyak sawit terdiri atas asam lemak jenuh, tidak jenuh tunggal
(monounsaturated) dan tidak jenuh banyak (polyunsaturated) (Huey et al. 2009).
Komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh dalam minyak sawit kira-kira
berjumlah sama, khususnya asam palmitat dan oleat.
Faktor lain yang berkaitan adalah jumlah yang signifikan dari asam lemak
jenuh (10-16%) yang berada pada posisi sn-2 dari TAG yang menentukan sifat-
20
sifat kristalisasi (Basso et al. 2010). Pada posisi sn-2, asam oleat terlihat paling
dominan, diikuti oleh asam palmitat dan asam linoleat dengan jumlah yang
hampir sama (Lipp dan Anklam 1998). Minyak sawit mengandung jumlah
signifikan TAG simetrik (POP) yang merupakan satu dari TAG utama yang ada
dalam CB (Goh 2002). Pada Tabel 2.3 dapat dilihat komposisi asam lemak dan
profil TAG minyak sawit dan fraksi-fraksinya. Sedangkan pada Tabel 2.4 dapat
dilihat komposisi asam lemak beberapa minyak nabati edibel (yang dapat
dimakan) sebagai pembanding.
Tabel 2.3 Komposisi asam lemak dan profil TAG minyak sawit dan fraksi- fraksi minyak sawit
Faktor
Fraksi Minyak Sawit Minyak sawit
(% berat) Olein
(% berat) Stearin
(% berat) PMF
(% area) Asam Lemak: C16:0 (Palmitat, P) 43.7 40.0 68.8 54.0 C18:0 (Stearat, S) 4.5 4.3 5.1 7.0 C18:1 (Oleat, O) 39.3 40.8 19.1 33.0 C18:2 (Linoleat, L) 10.1 12.3 4.5 3.5 C20:0 (Arakhidat, A) 0.3 - - 0.4 Triasilgliserol: (% area) (% area) LLP 1.0 2.0 1.0 - LLO - 0.3 - - LOO 1.0 1.6 0.8 - LOP 7.7 9.8 5.5 0.8 LPP 7.0 10.1 7.1 6.2 OOO 3.4 4.8 2.6 0.5 POO 24.4 27.6 16.3 5.0 POP 34.2 31.2 30.0 63.2 PPP 9.2 0.5 22.1 3.0 SOO - 2.8 1.5 0.9 PSO 5.3 5.9 4.4 13.0 PPS 0.8 - - 3.8 Lainnya 6.0 3.4 8.7 3.6
Sumber : Lipp dan Anklam (1998)
21
Tabel 2.4 Komposisi asam lemak (%) beberapa minyak nabati edibel
Asam Lemak (%)
Minyak Nabati Sunflower Kedelai FHSO* Jagung Olive
C14:0 (Miristat, Mi) 0.1 0.1 - - - C16:0 (Palmitat, P) 9.1 14.6 13.5 16.1 15.9 C18:0 (Stearat, S) 4.6 4.9 82.6 2.6 5.4 C18:1 (Oleat, O) 26.4 20.6 3.1 28.3 68.4 C18:2 (Linoleat, L) 57.8 50.5 0.9 50.6 7.2 C18:3 (Linolenat, Ln) 0.1 7.8 - 1.2 1.0 C20:0 (Arakhidat, A) 0.3 0.5 - 0.6 0.6 AL Jenuh 15.4 20.7 96.1 19.5 21.9 AL Tidak Jenuh 84.6 79.3 3.9 80.5 78.1
Sumber: Kim et al. (2010); *Fully Hydrogenated Soybean Oil (Li et al. 2010) Seperti halnya minyak dan lemak nabati alami lainnya, minyak sawit
mempunyai aplikasi yang terbatas dalam bentuk aslinya karena komposisi
kimianya yang spesifik. Untuk memperluas penggunaannya, minyak nabati
biasanya dimodifikasi, baik secara fisik dengan fraksinasi dan blending, atau
secara kimia dengan hidrogenasi maupun interesterifikasi (Chen et al. 2007).
Pertumbuhan yang signifikan dari produksi minyak sawit di Malaysia dan
selanjutnya Indonesia yang dimulai pada tahun 1970-an, berpengaruh besar dalam
perkembangan teknologi fraksinasi minyak makan (Hamm 2000). Seiring dengan
perkembangan teknologi fraksinasi minyak sawit, maka saat ini berbagai produk
dapat diperoleh dengan tingkat selektivitas tinggi. Operasi yang dilakukan secara
multitahap, dapat menghasilkan banyak fraksi minyak sawit dengan karakteristik
fisikokimia yang spesifik untuk aplikasi yang berbeda (Braipson-Danthine dan
Gibon 2007).
Proses fraksinasi multitahap minyak sawit disajikan pada Gambar 2.2
(Illingworth 2002). Dengan proses fraksinasi kering sederhana di bawah berbagai
kondisi terkendali, minyak sawit dapat dipisahkan sebagai fraksi cair (olein) dan
fraksi padat (stearin) berbagai grade (Zaliha et al. 2004) yang masing-masing
mempunyai karakteristik fisikokimia tertentu dan aplikasi khusus (Sarmidi et al.
2009). Olein sawit yang diperoleh selanjutnya difraksinasi menjadi superolein
22
yang stabil dingin dan soft palm mid fraction (sPMF) yang pelelehannya tajam.
Fraksi terakhir mengandung TAG monounsaturated tinggi dan dapat difraksinasi
lebih lanjut menghasilkan mid olein dan hard PMF, sebagai bahan dasar CBE
(Calliauw et al. 2007). Di antara minyak nabati, minyak sawit menghasilkan
produk fraksinasi yang paling banyak. Fraksi cair (olein, super olein dan top
olein) dapat digunakan sebagai minyak masak dan minyak salad, dan fraksi yang
lebih keras (stearin dan mid fractions) mempunyai aplikasi sebagai ingridien
minyak goreng, margarine, shortening, sebagaimana specialty fats (cocoa butter
equivalents) (Braipson-Danthine dan Gibon 2007).
Gambar 2.2 Proses fraksinasi multitahap minyak sawit (Illingworth 2002)
Hard PMF (hPMF) dapat digunakan baik secara tunggal maupun dalam
campurannya dengan fraksi SOS dari shea butter atau sal fat untuk menghasilkan
CBE yang sangat kompatibel dengan CB (Illingworth 2002). Hard PMF yang
kaya dengan triasilgliserol POP dikarakterisasi oleh sifat keras pada suhu ruang
dan sifat pelelehan yang tajam pada suhu sekitar 30-35°C seperti cocoa butter.
Adanya triasilgliserol trisaturated (StStSt) dan diasilgliserol (DAG) walaupun
sedikit dalam PMF akan berpengaruh buruk terhadap sifat pelelehan, sehingga
Keterangan : IV : Iodine Value
Palm Oil IV : 51-53
Hard Stearin IV : 32-36
Soft Stearin IV : 40-42
Super Stearin IV : 17-21
Olein IV : 57-59
Soft PMF IV : 42-48
Super Olein IV : 64-66
Top Olein IV : 70-72 OLEINS
Hard PMF IV : 32-36
23
harus dihilangkan sama sekali agar terjadi pelelehan yang cepat dan sempurna di
dalam mulut (Hashimoto et al. 2001).
Hard stearin kegunaannya terbatas, biasanya sebagai bahan baku industri
sabun. Akhir-akhir ini kedudukan hard stearin menjadi penting, karena banyak
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri oleokimia dan industri margarin setelah
dilakukan modifikasi lebih lanjut (zero-trans) sebagai pengganti lemak
hidrogenasi. Sementara itu, stearin dan soft PMF banyak digunakan dalam industri
margarin dan shortening. Sedangkan berbagai jenis olein banyak dimanfaatkan
sebagai minyak salad dan minyak goreng dengan stabilitas oksidatif yang tinggi
(Ong et al. 1995, Illingworth 2002).
Karakteristik penting dari minyak/lemak untuk modifikasi adalah
kandungan asam lemak dan distribusinya dalam TAG. Pada banyak modifikasi
enzimatik dimana produk yang dikehendaki adalah lipida terstruktur (cocoa butter
equivalents, milk fat substitutes, nutritional lipids), reaksi harus menjamin bahwa
asam lemak pada posisi sn-2 tetap tidak berubah, sehingga digunakanlah lipase
spesifik-1,3. Selain itu, harus ada asam lemak yang diinginkan pada posisi sn-2
dari TAG awal. Dengan demikian, pada sintesis CBE lebih difokuskan pada
penggunaan TAG dengan asam oleat pada posisi sn-2 sebagai bahan baku awal
(Khumalo et al. 2002).
Interesterifikasi Enzimatik
Interesterifikasi termasuk salah satu teknik modifikasi selain strategi
modifikasi lipida lainnya seperti blending, fraksinasi dan hidrogenasi yang banyak
diaplikasikan dalam industri pangan untuk mengubah sifat fisikokimia minyak
dan lemak (Idris dan Dian 2005). Selain untuk tujuan modifikasi minyak dan
lemak, akhir-akhir ini teknik interesterifikasi juga ditujukan untuk menghasilkan
produk-produk yang bebas asam lemak trans seperti shortening, margarin,
vanaspati, es krim dan confectionery. Intereterifikasi juga dapat menggantikan
hidrogenasi sebagai sumber utama asam lemak trans (trans fatty acids, TFA) dan
telah menjadi alat utama dalam menciptakan lemak plastik untuk produk bakery
(Ahmadi dan Marangoni 2009).
24
Menurut Osborn dan Akoh (2002a) perhatian terhadap reaksi
interesterifikasi, baik dari sudut pandang gizi maupun fungsional terus meningkat
karena memungkinkan untuk dihasilkannya margarin bebas asam lemak trans,
cocoa butter alternatives (CBA), dan pangan rendah kalori; serta dapat
memperbaiki sifat-sifat fisik dan fungsional pangan, juga dapat memperbaiki
kualitas nutrisi lemak dan minyak. Produksi CBE merupakan suatu aplikasi yang
menjanjikan dari produksi secara enzimatik lipida terstruktur (Ciftci et al. 2009a).
Sedangkan menurut Jeyarani dan Reddy (2010), interesterifikasi enzimatik telah
digunakan untuk meningkatkan nilai ekonomi lemak yang murah dan jenuh atau
untuk meningkatkan nilai tambah minyak dan lemak komersial.
Reaksi Interesterifikasi
Reaksi interesterifikasi dapat didefinisikan sebagai reaksi dari suatu ester
yang menghasilkan satu atau lebih ikatan ester baru; atau dapat dikatakan sebagai
reaksi penyusunan kembali gugus asil dalam triasilgliserol (Huyghebaert et al.
1994). Sedangkan menurut Willis and Marangoni (2002), interesterifikasi adalah
pertukaran gugus asil antara suatu ester dengan suatu asam (asidolisis), antara
suatu ester dengan suatu alkohol (alkoholisis), antara suatu ester dengan suatu
ester (transesterifikasi). Beberapa peneliti ada yang lebih menyukai menggunakan
istilah transesterifikasi untuk ketiga jenis reaksi tersebut dan istilah
interesterifikasi hanya untuk jenis reaksi ketiga (transesterifikasi). Prinsip reaksi
interesterifikasi disajikan pada Gambar 2.3.
Interesterifikasi dapat dilakukan secara kimia maupun enzimatik. Masing-
masing jenis interesterifikasi mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan
interesterifikasi enzimatik adalah reaksinya lebih spesifik, kondisi reaksinya mild
(pH, suhu, tekanan) serta limbah yang dihasilkannya minimal atau mengurangi
polusi lingkungan (Idris dan Dian 2005, Silva et al. 2009).
Penggunaan lipase juga dapat mengurangi biaya dan konsumsi energi.
Walaupun demikian, sifat yang paling penting dari lipase adalah tetap
spesifisitasnya, karena telah memperlihatkan kemampuannya untuk
mempersiapkan banyak jenis TAG baru (Silva et al. 2009). Sedangkan kelemahan
interesterifikasi enzimatik menurut Greyt (2004) adalah antara lain harga katalis
25
(enzim) yang relatif mahal serta sifat enzim yang sensitif terhadap suhu, kadar air,
gum dan kotoran, serta komposisi TAG untuk proses-proses tertentu. Selain itu,
interesterifikasi enzimatik relatif masih baru dikembangkan, sehingga masih
banyak hal yang belum diketahui.
(1) Asidolisis
H2 O H2 O H2 O H2 C–O–C–R
O O 1 C–O–C–R C–O–C–R1 C–O–C–R1 H–O–C–R
| O O | O | O | O O 1
HC–O–C–R2 + HO–C–R HC–O–C–R2 + HC–O–C–R + HC–O–C–R2 + H–O–C–R | O | O | O | O O
2
C–O–C–R3 C–O–C–R3 C–O–C–R3 C–O–C–R H–O–C–R H
3 2 H2 H2 H2
TAG Asam lemak TAG Asam lemak (2) Alkoholisis
H2 O O H2 O H2 O H C–O–C–R
2
1 RO–C–R1 C–O–C–R1 C–O–C–R1 | O O | | |
C–OH
HC–O–C–R2 + ROH RO–C–R2 | O O | | O |
+ HC–OH + HC–O–H + HC–OH
C–O–C–R3 RO–C–R3 C–OH C–O–C–R3 H
C–OH 2 H2 H2 H
2
TAG Alkohol Mono Ester MAG DAG Gliserol
(3) Transesterifikasi
H2 O H2 O H2 O H2 C–O–C–R
O 1 C–O–C–R4 C–O–C–R4 C–O–C–R
| O | O | O | O 1
HC–O–C–R2 + HC–O–C–R5 HC–O–C–R2 + HC–O–C–R5 | O | O | O | O
C–O–C–R3 C–O–C–R6 C–O–C–R6 C–O–C–R3 H
2 H2 H2 H
2
TAG TAG
Keterangan: TAG, triasilgliserol; DAG, diasilgliserol; MAG, monoasilgliserol
Gambar 2.3 Prinsip reaksi interesterifikasi (Huyghebaert et al. 1994)
Sementara itu, kelebihan interesterifikasi kimia dari reaksi enzimatik
adalah biaya recovery dan investasi awal untuk katalis kimia lebih murah
26
dibandingkan dengan lipase. Proses sudah berlangsung lama dengan prosedur dan
peralatan industri yang sudah tersedia (Idris dan Dian 2005). Sedangkan
kelemahan interesterifikasi kimia adalah bahaya dari katalis itu sendiri, terjadinya
reaksi yang tidak diinginkan apabila katalis berlebih atau suhu terlalu tinggi,
berubahnya flavor atau berkurangnya stabilitas serta hilangnya komponen minor
penting, misalnya tokoferol (Greyt 2004).
Lipase sebagai Katalis Reaksi Interesterifikasi
Enzim lipase (triacylglycerol acylhydrolase, E.C. 3.1.1.3) secara alami
didesain untuk hidrolisis asilgliserol, tetapi pada kenyataannya beberapa lipase
lebih cocok untuk sintesis daripada aplikasi hidrolisis (Gandhi et al. 1997). Pada
awal tahun 1980-an ditemukan bahwa lipase dapat mengkatalisis interesterifikasi
grup asil dalam sistem mikroakueus. Berbagai jenis lipase telah diteliti untuk
modifikasi enzimatik minyak dan lemak. Lipase telah tersedia secara komersial,
baik dari sumber mikroba, tanaman dan hewan. Lipase dari mikroba termasuk
enzim yang paling menarik di antara jenis-jenis lipase lainnya karena sifat-sifat
katalisisnya, sehingga terus dipelajari dan dikembangkan dalam aplikasi
komersial. Walaupun demikian, harga enzim yang mahal masih menjadi kendala
dalam aplikasi modifikasi lemak dan minyak secara komersial (Zhang et al. 2001,
Yang et al. 2003).
Menurut Santini et al. (2009), kandungan air dan aktivitas katalitik
berpengaruh besar terhadap laju reaksi yang dikatalisis lipase. Pada sebagian
besar lipase, kandungan air yang rendah (< 5%) diperlukan untuk transesterifikasi
atau interesterifikasi yang optimal. Sedangkan menurut Willis dan Marangoni
(2002), aktivitas lipase dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, diantaranya adalah
kadar air, pH, suhu, komposisi substrat, konsentrasi produk dan kandungan lipase.
Suhu optimum untuk lipase amobil adalah antara 30-62°C, sedangkan pH
optimum untuk aktivitas lipase adalah antara 7-9.
Menurut Osborn dan Akoh (2002a), reaksi-reaksi yang dikatalisis lipase
merupakan kombinasi dari esterifikasi dan hidrolisis. Air harus dihilangkan secara
kontinyu dari medium reaksi untuk meningkatkan reaksi esterifikasi, sambil
meminimalkan hidrolisis agar diperoleh laju konversi yang tinggi ke arah produk.
27
Jika terdapat kelebihan air, hidrolisis akan dominan, menghasilkan akumulai
gliserol, asam lemak bebas, monoasilgliserol (MAG) dan diasilgliserol (DAG).
Reaksi interesterifikasi terdiri atas empat tahap (Marangoni dan Rousseau
1995). Pada tahap pertama, sisi aktif serin menyerang karbon karbonil dari TAG,
(asam lemak yang tidak terdissosiasi), suatu ester alkil asam lemak, membentuk
intermediate tetrahedral (Gambar 2.4). Peranan residu histidin dan asam aspartat
Gambar 2.4 Mekanisme katalitik interesterifikasi enzimatik dengan katalis lipase. Sisi katalitik lipase mengandung residu Asp/Glu-His-Ser (Marangoni dan Rousseau 1995)
28
membuat grup hidroksil serin suatu nukleofil yang lebih kuat tanpa membutuhkan
kondisi basa yang kuat. Intermediate tetrahedral distabilkan oleh grup rangka
amida spesifik, yang membentuk struktur yang disebut sebagai “oxyanion hole”
(tidak terlihat pada gambar). Ikatan karbon-oksigen dari ester kemudian pecah
(tahap 3), melepaskan alkohol atau air tergantung pada apakah substrat TAG,
metil ester asam lemak atau asam lemak. Pada tahap 4, alkohol akan bereaksi
dengan intermediate asil-enzim (acyl-enzyme intermediate), membentuk
intermediate tetrahedral yang akan tersusun kembali, melepaskan TAG baru dan
regenerasi sisi aktif serin.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan lipase mikroba komersial, yaitu
Lipozyme TL IM, yang dalam aplikasinya secara ekonomi sangat kompetitif
dengan proses interesterifikasi kimia konvensional. Lipozyme TL IM adalah
lipase food grade dari Thermomyces (Humicola) lanuginosa yang diimobilisasi
dengan metode granulasi silika, mempunyai spesifisitas sn-1,3 serta karakter
hidrofobik (Zhang et al. 2001; Yang et al. 2003).
Zhang et al. (2001) mempelajari interesterifikasi dari campuran stearin
sawit dan minyak kelapa (75:25, b/b) menggunakan katalis lipase T. lanuginosa.
Suhu (dalam selang 55-80°C) sedikit berpengaruh terhadap derajat
interesterifikasi selama 6 jam reaksi, tetapi mempunyai pengaruh sedikit terhadap
kandungan asam lemak bebas. Pengeringan Lipozyme dari kadar air 6% menjadi
3% tidak mempengaruhi aktivitasnya, tetapi banyak menurunkan kandungan asam
lemak bebas dan diasilgliserol dalam produk. Lipase T. lanuginosa tetap stabil
dalam reaktor skala 1 kg untuk 11 batch, sedangkan untuk reaktor skala pilot 300
kg untuk 9 batch.
Menurut Yang et al. (2003), lipase Thermomyces lanuginosa mempunyai
aktivitas yang sama dengan lipase Rhizomucor miehei (Lipozyme RM IM) dalam
gliserolisis minyak bunga matahari, tetapi lipase T. lanuginosa mempunyai
aktivitas yang lebih tinggi pada suhu reaksi rendah. T. lanuginosa mempunyai
aktivitas katalitik yang lebih rendah daripada Lipozyme RM IM dalam asidolisis
minyak bunga matahari dengan asam kaprilat. Sementara itu, aktivitas T.
lanuginosa hanya sedikit lebih rendah daripada Lipozyme RM IM dalam
29
pertukaran ester-ester antara tripalmitin (PPP) dengan etil ester EPA (asam
eikosapentaenoat) dan DHA (asam dokosaheksaenoat).
Lipase spesifik sn-1,3, hanya bereaksi pada posisi α dari asilgliserol dan
sangat menguntungkan untuk industri lemak modifikasi. Dalam modifikasi TAG
untuk CBE, substrat seharusnya mempunyai asam lemak monounsaturated pada
posisi sn-2 dari asilgliserol dan lebih disukai residu asam oleat (Huyghebaert et al.
1994). Oleh karena itu, CBE yang kaya dengan POS dan SOS dapat dipersiapkan
dari minyak yang secara alami tinggi kandungan POP dan SOS-nya. Berdasarkan
pertimbangan harga pasar, maka minyak yang mengandung POP tinggi lebih
disukai untuk produksi CBE secara enzimatik. Kandungan POP yang tinggi dapat
diperoleh dari minyak sawit dan fraksi-fraksinya.
Sintesis CBE Secara Transesterifikasi Enzimatik
Banyak peneliti telah melakukan kajian sintesis komponen utama CBE
(POP, POS, SOS) secara interesterifikasi enzimatik dari berbagai jenis bahan
baku. Pada prinsipnya para peneliti menggunakan dua tipe reaksi interesterifikasi
enzimatik, yaitu reaksi transesterifikasi dan asidolisis. Transesterifikasi
merupakan reaksi pertukaran gugus asil antara dua ester, yaitu antara dua
triasilgliserol. Sedangkan asidolisis merupakan reaksi perpindahan gugus asil
antara suatu asam dengan suatu ester, atau dapat diartikan sebagai inkorporasi
asam lemak bebas baru ke dalam triasilgliserol (Willis dan Marangoni 2002).
Berbagai manipulasi dilakukan terhadap jenis dan rasio substrat, kondisi dan
waktu reaksi serta proses fraksinasi untuk menghasilkan komponen utama CBE.
Chang et al. (1990) melakukan transesterifikasi enzimatik antara minyak
biji kapas terhidrogenasi sempurna dengan minyak zaitun. Waktu reaksi optimum
untuk menghasilkan komponen utama CBE, POS adalah 4 jam. Setelah fraksinasi
aseton terhadap hasil interesterifikasi diperoleh rendemen sekitar 19% dari berat
minyak awal dengan komposisi triasilgliserol POS dan SOS masing-masing 23%
dan 28% serta titik leleh antara 29°C dan 49°C. Perbandingan substrat yang
digunakan dalam reaksi interesterifikasi antara minyak biji kapas dan minyak
zaitun adalah 1 :1, dengan konsentrasi enzim lipase (Lipozyme) 10%, sedangkan
reaksi dilakukan selama 4 jam pada suhu 70°C.
30
Liu et al. (1997) menggunakan karbon dioksida superkritis sebagai
medium untuk sintesis CBE secara interesterifikasi enzimatik dengan berbagai
jenis lipase. Di antara lima jenis lipase yang digunakan lipase IM-20 dari Mucor
miehei merupakan yang paling efektif dan spesifik dalam sintesis produk CBE
secara interesterifikasi dengan komposisi POP, POS dan SOS masing-masing
31.8%, 24.2% dan 4.3%. Etil eter asam stearat merupakan substrat yang kurang
baik untuk sintesis CBE dengan katalis lipase, sedangkan tristearin merupakan
donor asil terbaik untuk sintesis CBE diikuti oleh stearat anhidrat dan asam
stearat. Reaktor yang digunakan adalah reaktor tekanan tinggi 40 mL, yang diisi
dengan 0.09 g lipase amobil, 60 μL minyak sawit, 0.03 g tristearin, 5μL air dan
70μL campuran solven n-heksana dan t-butil alkohol (9 :1 v/v).
Lemak cocoa butter-like dipersiapkan oleh Abigor et al. (2003) dari
refined, bleached and deodorized palm oil (RBDPO) dan fully hydrogenated
soybean oil (FHSO) melalui interesterifikasi enzimatik. Lemak cocoa butter-like
diisolasi dari hasil interesterifikasi melalui kristalisasi fraksional dari aseton.
Distribusi TAG-nya mirip dengan CB, tetapi juga mengandung MAG dan DAG
yang dapat dihilangkan melalui kromatografi silika. Rasio berat RBDPO terhadap
FHSO 1.6 :1 menghasilkan TAG POP, POS dan SOS masing-masing 11%, 39%
dan 23% yang paling mendekati CB. Titik leleh produk murni (33.8°C) relatif
rendah dari CB (36°C) dengan rendemen sekitar 45% dari berat substrat awal.
Reaksi transesterifikasi dilakukan dalam vial bertutup (dalam beaker berjaket)
dengan pengaduk magnet. Reaksi dilakukan pada suhu 70°C selama 4 jam dengan
kecepatan pengaduk magnet 200 rpm dan jemlah enzim 10% dari berat substrat.
Sementara itu, Liu et al. (2007) melakukan optimasi reaksi interesterifikasi
(transesterifikasi) menggunakan lard dan tristearin (pada rasio mol 1.4) sebagai
substrat untuk menghasilkan analog CB dalam sistem SC-CO2 (Supercritical-
CO2
) pada 17 MPa, 50°C, pH 9 selama 3 jam dengan lipase amobil (Lipozyme
IM-20).
Sintesis CBE Secara Asidolisis Enzimatik
Asidolisis merupakan reaksi interesterifikasi yang paling banyak
digunakan untuk TAG terstruktur. Produksi CBE secara asidolisis enzimatik dapat
31
dilakukan dengan menggunakan lipase spesifik sn-1,3 yang mengkatalisis
inkorporasi asam stearat dan palmitat pada posisi sn-1,3 dari minyak awal yang
mengandung asam oleat pada posisi sn-2 sampai komposisi yang mirip dengan
CB diperoleh (Ciftci et al. 2009). Efisiensi dari reaksi asidolisis untuk produksi
CBE tergantung pada parameter reaksi yaitu rasio substrat, suhu reaksi, waktu
reaksi, konsentrasi enzim dan kandungan air (Ciftci et al. 2008).
Chong et al. (1992) melakukan inkorporasi asam stearat dalam olein sawit
dengan katalis lipase (Lipozyme IM20). Interesterifikasi enzimatik (asidolisis)
dilakukan tanpa solven antara olein sawit (1 kg) dengan asam stearat (0.5 kg).
Reaksi asidolisis berlangsung dalam reaktor gelas 5 L yang dilengkapi stirrer
mekanik (200 rpm) dan pemanas (60°C) selama 20 jam serta dengan konsentrasi
Lipozyme (10 % b/b minyak) dan air (1% v/b minyak). Hasil interesterifikasi
olein sawit memberikan formasi 39.3% triasilgliserol cocoa butter-like yang
diinginkan, yaitu SOS (10.8%), POS (18.6%) dan POP (9.9%). Sedangkan setelah
dilakukan fraksinasi menggunakan heksana dan aseton diperoleh fraksi dengan
komposisi triasilgliserol yang sangat mirip dengan cocoa butter, yaitu SOS
(29.6%), POS (44.1%) dan POP (15.3%). Rendemen yang diperoleh sekitar 25%
dari berat olein sawit awal.
Lipase amobil dari Rhizopus arrhizus digunakan untuk asidolisis TAG
palm mid fraction (PMF) dengan asam stearat dalam n-heksana menghasilkan
produk interesterifikasi dengan komposisi triasilgliserol yang mirip dengan
komposisi triasilgliserol cocoa butter, yaitu sekitar 80% (Mojovic et al. 1993).
Penambahan lesitin kedelai tanpa lemak secara signifikan meningkatkan konversi
substrat. Reaksi asidolisis antara PMF dengan asam stearat dilakukan dalam labu
Erlenmeyer (100 mL) dengan shaking (130 strokes per menit) pada 37°C selama
20 jam. PMF (1 g) dan asam stearat (0.7 g) dilarutkan dalam n-heksana jenuh air
(4 mL) dengan jumlah enzim lipase amobil yang ditambahkan sebanyak 0.1 gram.
Asidolisis olein dengan asam stearat untuk menghasilkan produk CBE
juga dilakukan oleh Satiawihardja et al. (2001). Kondisi terbaik yang diperoleh
adalah olein 6 gram, asam stearat 3 gram, lipozyme IM 0.6 gram, silika gel 3
gram, heksana 30 mL, suhu reaksi 55°C, rotary shaker 250 rpm, waktu reaksi 60
jam, dengan komposisi POP, POS dan SOS masing-masing 14.83%, 38.14% dan
32
23.69%, tetapi profil SFC yang dihasilkannya sangat berbeda dengan profil SFC
CBE, yaitu dengan nilai SFC yang masih sangat rendah untuk suhu di bawah
30°C. Fraksinasi yang dilakukan merupakan kombinasi fraksinasi solven (heksana
dan aseton) serta fraksinasi kering (pengaturan suhu).
Wang et al. (2006) mempersiapkan cocoa butter equivalent melalui
interesterifikasi dari minyak biji teh, metil palmitat dan metil stearat dengan
katalis lipase. Kondisi reaksi adalah rasio mol substrat 1:8:8 (minyak biji teh :
metil stearat : metil palmitat), kandungan air 10 mg/g, jumlah lipase amobil yang
ditambahkan 15% (b/b), suhu reaksi 35°C. Reaksi dilakukan selama 60 jam dan
setiap 5 jam dianalisis komposisi asil dalam TAG. Komposisi asil dari TAG CBE
adalah palmitoil, oleoil dan stearoil masing-masing 31.43% mol, 35.30% mol dan
29.26% mol.
Ciftci et al. (2009) menggunakan bahan baku refined olive pomace oil
(ROPO) untuk produksi cocoa butter like fat. Reaksi dilakukan secara asidolisis
dengan lipase spesifik-1,3 (Lipozyme IM) antara ROPO dengan asam palmitat
(PA) dan asam stearat (SA). Reaksi dilakukan pada suhu 45°C selama 8 jam,
dengan konsentrasi enzim 20% dari berat substrat. Produk dengan rasio mol
substrat 1:2:6 (ROPO:PA:SA) yang paling mirip dengan CB mengandung 11%
POP, 21.8% POS dan 15.7% SOS. Produk mempunyai puncak pelelehan pada
29.9°C.
Pinyaphong dan Phutrakul (2009) melakukan sintesis CBE dari minyak
sawit dengan katalis lipase Carica papaya. Penelitian ini memperlihatkan bahwa
komposisi CBE dipengaruhi oleh sumber asil donor, rasio substrat, kadar air
enzim, waktu reaksi, suhu reaksi dan jumlah enzim. Metil stearat merupakan
donol asil terbaik di antara metil stearat, etil stearat dan asam stearat. Kondisi
reaksi terbaik adalah rasio mol substrat 1:4 (minyak sawit : metil stearat), aktivitas
enzim 0,11, waktu reaksi 4 jam, suhu reaksi 45°C dan konsentrasi berat enzim
18%.
Fraksinasi Untuk Produksi Cocoa Butter Equivalents
Hidrogenasi, interesterifikasi, blending dan fraksinasi minyak dan lemak
merupakan metode modifikasi yang sering digunakan untuk mencapai target
33
kualitas produk berbasis lemak atau perbaikan proses. Selama modifikasi tersebut,
sifat-sifat fisik dan kimia dari minyak dan lemak awal dapat berubah. Di antara
semuanya, fraksinasi merupakan salah satu yang paling banyak diterapkan,
khususnya untuk modifikasi minyak sawit (Ramli et al. 2008). Fraksinasi
merupakan suatu metode fisik menggunakan sifat-sifat kristalisasi dari TAG
untuk memisahkan campuran ke dalam fraksi cair bertitik leleh rendah dan fraksi
padat bertitik leleh tinggi (Sarmidi et al. 2009). Konsep dari fraksinasi didasarkan
pada perbedaan titik leleh TAG (Huey et al. 2009).
Ada tiga jenis proses fraksinasi, yaitu fraksinasi kering, fraksinasi solven
dan fraksinasi deterjen. Pada dasarnya, fraksinasi kering melibatkan kristalisasi
fraksional minyak/lemak dengan mengendalikan suhu, diikuti dengan proses
filtrasi untuk memisahkan fraksi cair “olein” dari kristal padat (Calliauw et al.
2007), dengan penyaringan vakum atau membrane filter press (Mamat et al.
2005). Proses fraksinasi solven melibatkan kristalisasi TAG bertitik leleh tinggi
dari minyak/lemak yang dilarutkan dalam solven organik, biasanya heksana atau
aseton. Sesudah itu, padatan disaring vakum dan kemudian dicuci dengan solven
segar untuk menghilangkan secara sempurna sisa fraksi cair “olein” yang
terperangkap (Timms 1997, Salas et al. 2011). Pada fraksinasi deterjen, larutan
surfaktan digunakan untuk memindahkan bahan yang dikristalkan dari fase
minyak ke fase air untuk mempermudah pemisahan selanjutnya (Hamm 1995).
Fraksinasi kering dianggap sebagai metode yang ramah lingkungan dan
efektif secara ekonomi, karena merupakan proses fisik berdasarkan kristalisasi
minyak/lemak tanpa penambahan bahan kimia (Chaleepa et al. 2010). Walaupun
demikian, fraksinasi kering kurang efisien dan biasanya membutuhkan proses
multitahap untuk menghasilkan produk yang diinginkan. Fraksinasi solven lebih
efisien, karena dapat menghasilkan TAG disaturated yang sangat banyak dalam
satu tahap. Hal ini karena solven menginduksi kristalisasi β dari TAG yang
meningkatkan selektivitas dan stabilitas kristal. Kekurangannya adalah bahwa
fraksinasi solven membutuhkan biaya operasi yang lebih tinggi dan oleh karena
itu biasanya diterapkan untuk menghasilkan fraksi minyak yang bernilai tinggi
seperti confectionery fats dan CBE dari minyak yang kaya dengan asam lemak
jenuh (Salas et al. 2011).
34
Fraksinasi melibatkan dua tahap, yaitu kristalisasi selektif dan filtrasi
(separasi). Proses kristalisasi lemak dapat dibagi ke dalam tiga tahap dasar, yaitu
super cooling dari minyak/lemak, pembentukan inti kristal dan pertumbuhan
kristal (Zaliha et al. 2004). Keberhasilan fraksinasi lemak bergantung pada
perilaku fase TAG penyusunnya. Konsep dari perilaku fase ini tidak hanya
mengacu pada titik leleh dari TAG atau karakter polimorfiknya, tetapi juga
melibatkan campuran TAG yang berbeda pada keadaan cair dan padat (Calliauw
et al. 2007).
Kristalisasi lemak penting peranannya dalam mengendalikan sifat-sifat
fisik dari produk yang mengandung lemak yang dapat berada dalam bentuk
kristalin yang berbeda. Industri confectionery menginginkan bentuk βV, sebagai
polimorfisme optimal dalam pembuatan coklat. Bentuk βV merupakan fase
polimorfik stabil dengan titik leleh cukup tinggi bagi coklat untuk disimpan pada
suhu ruang dan cukup rendah bagi coklat untuk menjadi cairan yang lembut ketika
dipanaskan dalam mulut. Bentuk βV juga memberikan derak yang bersih,
penampakan yang mengkilap, dan warna yang optimal untuk coklat, tetapi bentuk
ini tidak dapat diperoleh dengan pendinginan sederhana (Maleky dan Marangoni
2008).
Untuk produksi CBE secara interesterifikasi enzimatik dalam industri
pangan, saat ini campuran substrat minyak dan asam lemak bebas dilewatkan
melalui suatu reaktor packed bed berisi enzim, diikuti dengan proses distilasi,
evaporasi, fraksinasi dan pemurnian (Liu et al. 2007). Fraksinasi uap pada kondisi
vakum merupakan proses distilasi yang dapat memberikan pemisahan fisik secara
sempurna untuk fraksi-fraksi bertitik leleh lebih rendah, seperti asam lemak bebas,
dari komponen bertitik leleh tinggi, seperti minyak dan lemak (Chong et al.
1992). Fraksi gliserida bebas asam lemak selanjutnya dapat dijadikan subyek
fraksinasi lemak konvensional seperti ekstraksi cairan-cairan countercurrent dan
kristalisasi dari solven untuk menghasilkan lemak dengan profil pelelehan tertentu
(Chang et al. 1990).
Menurut Hashimoto et al. (2001), penggunaan aseton (solven polar) lebih
selektif terhadap kristalisasi TAG simetrik (StUSt) daripada TAG non-simetrik
(StStU), sedangkan heksana (solven non polar) cenderung tidak selektif terhadap
35
kristalisasi kedua jenis TAG tersebut. DAG dapat dihilangkan sebagai fraksi cair
dengan fraksinasi aseton atau fraksi padat dengan fraksinasi heksana, tetapi
fraksinasi dengan banyak solven dinilai tidak ekonomis dan kurang efisien. Di sisi
lain, metode fraksinasi kering (pengaturan suhu) lebih murah secara ekonomi dan
lebih aman karena tidak menggunakan solven. Oleh karena itu, fraksinasi
multitahap sebagai kombinasi dari fraksinasi kering dan fraksinasi solven (aseton)
diasumsikan sebagai metode yang paling sesuai dan efisien untuk mendapatkan
komponen triasilgliserol simetrik.
Isolasi CB-like fat dilakukan oleh Abigor et al. (2003) menggunakan
fraksinasi aseton dengan pengaturan suhu, sedangkan pemurnian dilakukan
dengan kromatografi kolom silica gel 60 dengan eluen campuran heksana/eter.
Sedangkan Ciftci et al. (2009) melakukan isolasi CB-like fat dalam dua tahap.
Tahap pertama adalah netralisasi campuran reaksi (hasil interesterifikasi) untuk
menghilangkan asam lemak bebas, selanjutnya pemurnian dengan kromatografi
kolom silika gel. Netralisasi menggunakan KOH dalam etanol, sedangkan
pemisahan TAG dari monoasilgliserol (MAG) dan DAG dilakukan menggunakan
kromatografi kolom silika gel dengan eluen campuran petroleum eter/dietil eter.