Ikterus Pada Bayi Perempuan Berusia 5 Hari

12
Ikterus Pada Bayi Perempuan Berusia 5 hari Lisa Sari 102012129 / E7 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna utara No.6 Jakarta Barat 11510 ______________________________________________________________ _____________ Pendahuluan Bayi atau janin baru lahir, merupakan kelompok individu yang seringkali mengalami anemia, berupa anemia normositik- normokromik, dan biasanya hal ini dapat terjadi akibat inkompatibilitas komponen darah di dalam darah ibu dengan komponen darah di dalam darah janin, dapat berupa inkompatibilitas pada sistem Rh maupun inkompatibilitas pada sistem ABO. Saat ini, inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kasus tersering yang menyebabkan anemia, yaitu jenis anemia hemolitik pada neonatus. Sekitar 20 persen bayi mengalami inkompatibilitas golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen saja yang mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas ABO hampir selalu menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus pada neonatus atau anemia, tetapi bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun). 1 Anamnesis

description

makalah pbl

Transcript of Ikterus Pada Bayi Perempuan Berusia 5 Hari

Ikterus Pada Bayi Perempuan Berusia 5 hariLisa Sari102012129 / E7Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna utara No.6 Jakarta Barat 11510___________________________________________________________________________PendahuluanBayi atau janin baru lahir, merupakan kelompok individu yang seringkali mengalami anemia, berupa anemia normositik-normokromik, dan biasanya hal ini dapat terjadi akibat inkompatibilitas komponen darah di dalam darah ibu dengan komponen darah di dalam darah janin, dapat berupa inkompatibilitas pada sistem Rh maupun inkompatibilitas pada sistem ABO. Saat ini, inkompatibilitas antigen golongan darah utama A dan B merupakan kasus tersering yang menyebabkan anemia, yaitu jenis anemia hemolitik pada neonatus. Sekitar 20 persen bayi mengalami inkompatibilitas golongan darah ABO dengan ibunya, dan 5 persen saja yang mengalami gejala klinis. Untungnya, inkompatibilitas ABO hampir selalu menyebabkan penyakit yang ringan yang bermanifestasi sebagai ikterus pada neonatus atau anemia, tetapi bukan eritroblastosis fetalis (hidrops imun).1AnamnesisAnamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain:1. Identitas pasien, yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, anak ke-berapa1. Keluhan utama, sejak kapan.1. Riwayat penyakit sekarang2. Pada pasien terjadi ikterus (bayi kuning), maka ditanyakan:0. Sejak kapan?0. Bagaimana riwayat kelahiran?0. Apakah bayi sudah diberi ASI atau belum?0. Apakah sebelumnya mendapat transfusi darah?1. Keluhan penyerta/keluhan lain1. Riwayat penyakit dahulu (ditujukan pada ibu pasien)4. Usia kehamilan?4. Pasien adalah anak ke-berapa?1. Jika pasien bukan anak pertama, tanyakan apakah terjadi hal yang sama (ikterik juga/tidak) pada anak yang sebelumnya?4. Apakah selama atau sebelum masa kehamilan ibu sedang menderita penyakit infeksi tertentu? (contoh: hepatitis, malaria, dll)4. Apakah selama atau sebelum kehamilan ibu sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu?4. Apakah golongan darah ibu dan ayah? Apakah rhesus ibu dan ayah? (jika diketahui)4. Apakah dulu pernah mengalami sakit yang cukup berat sehingga harus dirawat di rumah sakit?4. Adakah riwayat diabetes melitus?4. Adakah riwayat penyakit berat yang lain?1. Riwayat pribadi (ditujukan pada ibu pasien)5. Bagaimana riwayat vaksinasi pasien? (Lengkap/tidak)5. Bagaimana kebiasaan pasien? (seperti makanan, minuman, pengguna obat-obatan, dan lain sebagainya)5. Apakah ada riwayat alergi?5. Apakah melahirkannya cukup bulan? Normal atau tidak?5. Dimana terjadi proses kelahiran si bayi?5. Apakah si bayi minum asi?1. Riwayat keluarga6. Apakah di keluarga juga ada yang sedang atau pernah menderita penyakit yang sama?6. Apakah ada riwayat penyakit yang diturunkan?3Pada anamnesis didapatkan bahwa ibu mengatakan bayi mulai kuning sejak 10 jam dilahirkan, bayi dilahirkan secara normal per vaginam, aktif, dan kuat menangis. Sampai saat ini, bayi hanya menerima ASI eksklusif, dan kuat menyusu. Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan, setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.2Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada neonatus secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut, dan lain lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital.Pemeriksaan Penunjang Golongan darah dan Coombs test.Pelacakan adanya proses hemolisis ditandai dengan adanya anemia, kadar hemoglobin kurang dari normal (sesuai umur), peningkatan retikulosit, dimana pada bayi cukup bulan jumlah normal retikulosit 4-5%, bayi kurang bulan 6-10%. Pada gambaran darah tepi didapatkan eritrosit mikrositik hipokromik, mikrosferosit, polikromasia, normoblas dan adanya eritrosit berinti.3Penegakan diagnosis isoimunisasi berdasarkan deteksi antibodi pada serum ibu dengan tes Coombs. Ada 2 metode tes Coombs yang sering digunakan, yakni metode langsung dan tak langsung. Metode langsung yakni eritrosit yang akan diperiksa dicuci lebih dahulu kemudian dicampur dengan serum Coombs, yaitu serum hewan yang mengandung anti zat spesifik terhadap human globulin. Terjadinya aglutinasi pada tes ini membuktikan adanya antizat yang melapisi eritrosit. Metode tak langsung, merupakan tes untuk menunjukkan adanya antibodi dalam serum yang diperiksa, dalam hal ini bayi. Tes ini bergantung pada kemampuan anti IgG (Coombs) serum untuk mengaglutinasi eritrosit yang dilapisi dengan IgG. Untuk melakukan uji ini, serum darah pasien dicampur dengan eritrosit yang diketahui mengandung mengandung antigen eritrosit tertentu, diinkubasi, kemudian dilakukan pencucian. Suatu substansi lalu ditambahkan untuk menurunkan potensi listrik dari membran eritrosit, yang penting untuk membantu terjadinya aglutinasi eritrosit, kemudian serum Coombs ditambahkan. Adanya aglutinasi menunjukkan bahwa serum yang diperiksa berisi antizat yang melapisi eritrosit.3

Diagnosis Banding Inkompatibilitas ABOInkompatibilitas ABO adalah kondisi dimana golongan darah ibu dan bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Inkompatibilitas golongan darah utama antara ibu dan janin biasanya mengakibatkan penyakit yang lebih ringan dari penyakit inkompatibilitas rhesus. Antibodi ibu akan dibentuk melawan sel B jika ibu adalah golongan A atau melawan sel A jika ibu adalah golongan B. Namun biasanya ibu adalah golongan O dan bayi adalah golongan A atau B.4 Walaupun demikian hanya sebagian kecil tampak pengaruh hemolitik pada bayi baru lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoaglutinin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam serum ibu sebagian besar berbentuk 19-S yaitu gamaglobulin yang tidak dapat melalui plasenta karena merupakan makroglubulin dan disebut juga isoaglutinin natural. Hanya sebagian kecil dari ibu yang mempunyai golongan darah O mempunyai antibodi 7-S yaitu gamaglobulin G ( isoaglutinin imun ) yang tinggi dan dapat melalui plasenta sehingga mengakibatkan hemolisis pada bayi.4Derajat hemolisis yang disebabkan oleh inkompatibilitas ABO lebih ringan dibandingkan dengan hemolisis inkompatibilitas rhesus. Hal ini disebabkan karena antigen A dan antigen B tidak hanya terdapat pada eritrosit tetapi juga pada sel jaringan tubuh lain. Sebagai akibatnya, antibodi imun yang melalui plasenta akan diabsorsi juga oleh sel jaringan, sehingga hanya sebagian yang tersisa dalam sirkulasi. Oleh karena itu umumnya hiperbilirubinemia yang terjadi jarang memerlukan transfusi ganti. Biasanya pada bayi akan tampak ikterus terjadi pada hari kedua atau ketiga, tetapi dapat juga timbul setiap saat postnatal. Anemia yang terjadiumumnya ringan sehingga bayi tidak tampak pucat. Uji laboratorium menunjukkan penurunan Hb dan kenaikan bilirubin indirek yang ringan, sferosit pada darah tepi, uji coombs direk negatif dan indirek positif.5Penatalaksanaan pada bayi inkompetibilitas ABO adalah dengan menentukan golongan darah bayi dari ibu golongan O. Kemudian melakukan uji antiglobulin direk atau uji antiglobulin indirek untuk anti-A atau anti-B pada setiap bayi A atau B. Semua yang positif dapat diikuti dengan hiperbilirubinemia. Mereka dengan uji antiglobulin direk yang reaktif lebih kuat, anemia, atau bilirubin darah tali pusat lebih besar dari 4mg/dL beresiko ikterus lebih besar. Pedoman untuk memulai fototerapi dini atas dasar kadar bilirubin 10mg/dL atau lebih dari antara 12-18 jam, dan 14mg/dL atau lebih dari 18-24 jam. Selain fototerapi, pengobatan dapat diarahkan pada koreksi tingkat anemia dan hiperbilirubinemianya dengan jalan melakukan transfusi tukar memakai darah yang golongannya sama dengan golongan darah ibu.3 Inkompatibilitas RhesusHemolitik biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus positif. Bila sel darah janin masuk ke peredaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk antibodi terhadap Rh. Zat antibodi Rh ini dapat masuk ke dalam peredaran darah janin melalui plasenta dan selanjutnya menghancurkan sel darah merah janin (hemolisis). Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukkan sel darah merah janin secara berlebihan sehingga akan didapat sel darah merah berinti banyak. Penyakit inkompatibilitas rhesus jarang terjadi pada kehamilan pertama, tetapi resikonya menjadi lebih tinggi pada kehamilan berikutnya.6Respon maternal awal biasanya berupa Ig M yang tidak dapat melalui plasenta tetapi respons selanjutnya berupa pembentukkan Ig G yang dapat melalui plasenta. Jadi yang penting untuk terjadinya hemolisis adalah Ig G dan derajat hemolisis ditentukan oleh banyaknya antibodi Ig G yang melekat pada eritrosit fetus. Secara klinis derajat hemolisis dinyatakan dalam bentuk ringan, sedang dan berat. Bentuk ringan umumnya terjadi tanpa anemia ( kadar Hb darah tali pusat lebih dari 14mg/dL), kadar bilirubin kurang dari 4mg/dl dan tidak memerlukan pengobatan spesifik kecuali bila terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang bermanifestasi anemia ringan, kadar bilirubin lebih dari 4mg/dl, kadang-kadang disertai dengan trombositopenia yang belom diketahui penyebabnya, dan timbul kern ikterus bila tidak ditangani dengan tepat. Bentuk berat selain disertai dengan hepatosplenomegali, ditandai pula dengan terjadinya hidrops fetalis atau lahir mati. Pada gambaran hematologinya tampak adanya eritrosit berinti dalam darah tepi, hiperbilirubinemia dan uji Coombs direk maupun indirek yang positif.5Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan golongan darah rhesus ibu dan bayi/janin, uji Coombs, riwayat mengenai bayi yang dilahirkan sebelumnya, ikterus yang timbul dalam waktu 24 jam sesudah lahir, kadar hemoglobin darah tali pusat kurang dari 15g%, kadar bilirubin dalam darah tali pusat lebih dari 5mg%, hati, dan limpa membesar.6Penatalaksanaan pada bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali terjadi kenaikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang biasanya memerlukan transfusi ganti yang umumnya dilakukan dengan darah yang kompatibel dengan darah ibu, baik mengenai golongan rhesus maupun golongan ABO-nya. Bila tidak ada donor rhesus negatif, transfusi ganti dapat dilakukan dengan darah rhesus positif, yang biasanya dikerjakan lebih sering sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh bayi. Bentuk berat akan berwujud sebagai hidrops atau lahir mati, yang disebabkan oleh anemia berat dan kemudian diikuti oleh gagal jantung.5 Kern ikterusKern ikterus adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV.6 Tingginya kadar bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologik tersebut tidak selalu sama pada tiap bayi tergantung usia gestasi, berat badan bayi dan usia bayi saat terlihat kuning. Bilirubin inderek akan lebih mudah melalui sawar darah otak pada bayi berat lahir rendah, immaturitas, hipoksia, hipoglikemia dan infeksi. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus.Gejala klinik pada permulaannya tidak jelas tetapi dapat disebutkan mata yang berputar, letargi,kejang, tak mau menghisap, tomus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya terjadi opistotonus. Jika sembuh biasanya terdapat gajala sisa akibat kerusakan otak, sering disertai dengan koreoatetosis dan cacat mental. Tuli terhadap suara nada tinggi sering terjadi setelah hiperbilirubinemia.6Bayi dianggap hiperbilirubinemia apabila :61. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5mg% atau lebih setiap 24 jam3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5mg% pada neonatus cukup bulan4. Ikterus yang disertai proses hemolisis ( inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis )5. Ikterus yang disertai keadaan sebagai berikut :a. Berat lahir kurang dari 2000gramb. Masa getasi kurang dari 36 mingguc. Asfiksi, hipoksia, sindrom gangguan pernafasand. Infeksie. Trauma lahir pada kepalaf. Hipoglikemiag. Hiperosmolalitas darahKetika bilirubin serum tinggi, perawatan dengan fototerapi dapat dimulai. Fototerapi menggunakan cahaya pada panjang gelombang tertentu yang mengubah bilirubin tak terkonjungasi menjadi isomer non toksis yang dapat diekskresikan tanpa konjungasi. Selain fototerapi, dapat juga dilakukan transfusi tukar. Transfusi tukar dapat mengendalikan kadar bilirubin tak terkonjungasi dengan membuang bilirubin dan sel-sel terselubung antibodi Rh positif sebelum mereka terhemolisis. Transfusi tukar terindikasi jika bilirubin naik pada batas atas keamanan atau jika bilirubin naik pada kecepatan yang demikian cepat sehingga dapat mendekati batas tersebut dalam beberapa jam. Kecepatan yang lebih besar dari 1 mg/dl/jam biasanya menunjukkan kenaikan cepat yang berbahaya yang memerlukan transfusi tukar dini. Indikasi transfusi tukar untuk mencegah ikterus dengan membuang sel yang berselimut antibodi tidak jelas.3KesimpulanKuning yang terjadi pada bayi dapat disebabkan oleh penyakit hemolitik kongenital seperti inkompatibilitas ABO dan inkompatibilitas rhesus. Selain itu bisa juga terjadi karena kern ikterus. Untuk memastikan diagnosa yang tepat harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat. Lalu dilakukan pengobatan yang sesuai dengan diagnosa.

Daftar Pustaka1. Subekti NB, alih bahasa. Buku saku patofisologi corwin. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.h.421-3.2. Swartz M, editor. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC; 2000.h. 128-30.3. Abraham MR, Julien IE, Hoffman CD, Rudolph. Buku ajar pediatri Rudolph. Jakarta: EGC; 2006.h.1314-21.4. Nelson. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: EGC;19999.h.6225. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1991.h.333-4.6. Staf pengajar ilmu kesehatan anak FKUI. Buku kuliah ilmu kesehatan anak 3. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 1985: h.1096.