Human Resource Managenent Daya Saing Masyarakat Bali
description
Transcript of Human Resource Managenent Daya Saing Masyarakat Bali
TANTANGAN DAYA SAING SUMBER DAYA MANUSIA MASYARAKAT BALI DALAM MENDUDUKI JABATAN
TOP MANAGEMENT DI SEKTOR PARIWISATA
OLEH :
1. I PUTU ANDHIKA PUTRA NIM. 1391061025
2. NI LUH AYU NUSANTINI NIM. 1391061026
3. RUSMA PRIMAYANTHI NIM. 1391061040
PROGRAM PASCA SARJANA KAJIAN PARIWISATAUNIVERSITAS UDAYANA
2013
Pendahuluan
Dunia pariwisata di Bali berkembang dengan pesat. Hal ini menjadi magnet bagi
pencari kerja tidak saja dari dalam negeri, tenaga kerja dari luar negeri banyak mengincar
posisi strategis. Negara memang membuka keran bagi tenaga kerja asing untuk bekerja di
Indonesia, dengan beberapa ketentuan tentunya. Tujuannya, selain karena kebutuhan pasar,
diharapkan adanya alih pengetahuan dan teknologi kepada tenaga kerja dalam negeri.
Dalam prakteknya, tenaga kerja asing telah mendominasi jabatan strategis dalam
industri pariwisata Bali. Pemerintah pusat kesulitan mendata dan mengatur tenaga kerja
asing. Tantangan yang lebih besar dan sudah berada di depan mata adalah AFTA 2015.
AFTA (ASEAN Free Trade Area ) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara
ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis
produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. Dengan
diberlakukannya AFTA maka arus barang, jasa, dan tenaga kerja akan mudah keluar masuk
Indonesia. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya dan Ekonomi Kreatif, Prof Dr I Gede
Pitana mengatakan, “Pada 2015, akan ada kebebasan pergerakan sumber daya manusia di
industri pariwisata ASEAN” (www.suaramerdeka, 2013). Jika hal ini tidak segera
diantisipasi, pekerja pariwisata Bali hanya akan menjadi penonton di negeri sendiri.
Data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali, pada tahun 2010
terdapat 1.420 tenaga kerja asing, dan meningkat menjadi 1.455 di tahun 2011
(www.lensaindonesia.com, 2012). Sebagian besar tenaga kerja asing tersebut berasal dari
Australia, Jepang, dan Perancis, tersebebar di Denpasar dan Badung. Data tersebut adalah
data yang secara legal tercatat oleh Pemerintah Provinsi Bali. Pada kenyataannya banyak
tenaga kerja asing yang secara ilegal mencari sumber penghidupan di Bali. Modusnya adalah
dengan memperpanjang visa holiday.
Hal ini tentu menjadi ironi bagi pariwisata Bali. Ditengah timpangnya perkembangan
pariwisata antara Bali Utara dan Bali Selatan, sektor Pariwisata dihadapkan dengan
permasalah memperebutkan pekerjaan dengan tenaga kerja asing. Tenaga kerja asing
sebagian besar menempati posisi top management, sedangkan masyarakat Bali sendiri lebih
banyak menempati posisi pekerja kasar dan beberapa berhasil menduduki posisi middle
management, itupun masih harus bersaing dengan tenaga kerja dari luar Bali.
Berdasarkan penjelasan diatas, apa saja yang menjadi penyebab mengapa masyarakat
lokal jarang/tidak mampu menduduki top management? Usaha apa yang perlu dilakukan agar
masyarakat lokal mampu menduduki jabatan top management?
Pembahasan
Menurut laporan Bank Dunia, tantangan SDM Indonesia terbesar adalah penggunaan
bahasa Inggris (44%), diikuti oleh penggunaan komputer (36%). Sedangkan untuk
keterampilan, keterampilan perilaku (30%), keterampilan berpikir kritis (33%), dan
keterampilan dasar (13%) (www.detik.com, 2013). Tantangan ini tentunya hanya dapat
diselesaikan jika SDM Bali mau meningkatkan kompetensi. Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata
(STP) Nusa Dua Bali Dr. I Nyoman Madiun mengatakan, ''Satu-satunya cara untuk bisa eksis
di tengah-tengah persaingan pasar bebas yang sangat ketat, masyarakat Bali mau tidak mau
harus terus memacu diri guna meningkatkan kompetensi diri. Tanpa berbekal kompetensi,
eksistensi masyarakat Bali di sektor pariwisata akan makin terpuruk untuk selanjutnya harus
pasrah hanya jadi penonton di tengah gemerlap pariwisata yang berlangsung di tanah
kelahirannya sendiri''.
Faktor kompetensi adalah faktor penting agar masyarakat lokal mampu bersaing
memperebutkan posisi top management. Seperti kasus Warga Sengkidu Desa Sengkidu,
Manggis Karangasem memblokir akses jalan masuk ke Hotel Candi Beach Cottage, Juni
2013, yang menganggap manajemen hotel ingkar janji untuk memanfaatkan 40% tenaga kerja
hotel berasal dari masyarakat lokal. Namun dengan pendidikan yang rata-rata SD, SMP, dan
SMA, serta kurangnya kompetensi, tentu tidak akan memungkinkan mempekerjakan warga
sekitar.
Sertifikasi profesi merupakan langkah tepat pembenahan sumber daya manusia
bidang pariwisata. Pemegang sertifikasi akan mempermudah bersaing di dunia pariwisata
baik dalam maupun luar negeri, karena telah mengantongi kompetensi di bidang yang
ditekuni.
Sertifikasi profesi dapat membendung datangnya tenaga luar negeri ke Indonesia, khususnya
Bali. Saat ini sertifikasi yang dimiliki tenaga kerja pariwisata berlaku di negara ASEAN,
2015 sertifikasi ini akan berlaku di seluruh dunia. Dalam rangka menghadapi ASEAN
Framework Agreement on Services (AFAS) yang bertujuan untuk menghilangkan
pembatasan substansial untuk perdagangan jasa di antara negara-negara ASEAN, SDM
pariwisata Indonesia, khususnya Bali juga harus mengubah pola pikir instan menjadi pola
pikir dan bertindak yang holistik. Menurut Ketua Lembaga Profesional Pariwisata, I Gusti
Putu Laksaguna, “jumlah tenaga kerja bidang pariwisata bersertifikat sejak 2007 hingga 2012
mengalami peningkatan. Jika 2007 lalu hanya ada 925 tenaga kerja bersertifikat, 2011
menjadi 15.515 orang. Angka ini meningkat jadi 21.500 pada 2012” (www.detik.com, 2013).
Angka ini kecil dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang berkecimpung di dunia
pariwisata sekitar 10 juta orang.
Komitmen yang kurang dari tenaga kerja lokal di Bali juga disebabkan oleh ketatnya
adat istiadat yang mengikat orang Bali, sedangkan industri pariwisata membutuhkan tenaga
kerja berbudaya industri. Kedua hal yang ini membuat tenaga kerja lokal Bali tidak mampu
memberikan komitmen, apalagi untuk meraih jabatan top management. Sebagai masyarakat
Bali tentu tidak bisa menutup mata jika ada kegiatan yang berkaitan dengan adat di tempat
tinggalnya. Memang di desa adat ada aturan memperbolehkan untuk membeli “ayahan”
maupun denda jika tidak bisa datang, namun untuk beberapa kegiatan adat kehadiran mutlak
diperlukan. Wayan Budi Utama, dosen UNHI Denpasar mengatakan bahwa orang Bali
mengenal konsep desa, kala dan patra. Oleh karena itu adat juga tak boleh kaku. Dia harus
selalu didekonstruksi, konstruksi dan rekonstruksi sesuai dengan kondisi dan situasi sehingga
menjadi fungsional dalam memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat atau krama
desa (www.balipost.co.id, 2009).
Khusus di sektor perhotelan di Bali, Parining dalam balisustain.blogspot.com (2010)
menyatakan bahwa, “walaupun tenaga kerja yang bekerja di hotel sebagian besar berasal dari
Bali, namun manajemen hotel juga memerlukan karyawan dari luar daerah Bali. Alasan yang
dikemukakan antara lain: (1) umumnya karyawan dari luar Bali beragama Non Hindu,
sehingga pada saat hari raya Hindu hotel tidak tutup karena karyawan Hindu banyak yang
libur; (2) kebetulan tenaga yang berasal dari luar Bali melamar dan memenuhi persyaratan;
(3) nasionalisme dan Indonesia adalah Negara kesatuan sehingga tidak tidak ada pengkotkan
SARA sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928, (4) Bali kekurangan tenaga terampil, sehingga
diperlukan tenaga dari luar Bali yang cukup terampil, dimana pendidikan di bidang
pariwisata di Bali relatip baru; (5) bukan perusahaan daerah; (6) bisa saling tukar keahlian;
(7) ownernya dari luar Bali; dan (8) karena pada saat pertama kali hotel dibuka, diperlukan
karyawan cukup banyak, sehingga beberapa karyawan dari luar Bali diserap “.
Pucuk pimpinan (General Manager) pada hotel berbintang tinggi sebagian besar
berasal dari luar negeri, sementara untuk hotel yang berbintang menengah dan rendah,
sebagian besar General Managernya berasal dari Bali. Selengkapnya dapat dilihat pada tabel
1.
Tabel 1
Jenis dan Asal Pimpinan Hotel dan Kelas Hotel di Bali
No Jenis Pimpinan Hotel
Asal Karyawan
Hotel kelas TinggiHotel kelas Menengah
Hotel kelas Rendah
Bali Luar Bali
Luar Negeri
Bali Luar Bali
Luar Negeri
Bali Luar Bali
Luar Negeri
1 General Manager 4 7 9 14 3 3 15 5 0 2 Director of Sales 3 0 0 8 10 2 0 0 0 3 Sales Manager 6 28 9 19 9 10 13 0 0 4 F & B Manager 1 10 9 6 0 0 0 0 0 5 Acct Manager 15 5 0 9 0 0 6 0 0 6 Chief Security
Manager13 7 0 3 0 0 0 0 0
7 Personal Manager 0 0 3 16 0 0 9 6 0 8 Executive Chief 3 0 6 3 0 0 3 0 0 9 Director of Human
Resources 13 0 0 0 3 0 6 0 0 10 Director of
Engineering 0 6 3 0 10 0 0 0 0 11 Director of Finance 6 0 0 3 17 0 6 0 0 12 Purchasing Manager 6 8 0 6 3 0 0 1 0 13 Gm Support 0 0 0 0 4 0 0 0 0 14 Resident Manager 6 0 0 3 0 0 0 0 0 15 Dir of Convention 3 0 0 0 0 0 0 0 0 16 Room Division 9 11 5 6 0 0 0 0 0 17 Front Office Manager 3 0 0 0 0 0 0 0 0 18 Material Manager 3 0 0 0 0 0 0 0 0 19 Controller 0 3 0 0 0 0 0 0 0
Total 94 85 44 96 59 15 58 12 0
Posisi Pimpinan juga diisi oleh tenaga kerja dari luar Bali, bahkan dari luar negeri.
Beberapa alasan yang dikemukakan kenapa hotel mempergunakan bukan orang lokal antara
lain: (1) karena pertimbangan kemampuan; (2) keseimbangan operasional, terutama untuk
mengisi kekosongan pada saat orang lokal (pimpinan yang beragama Hindu) berhari raya; (3)
orang lokal kurang disiplin dan kurang mantap dalam berbisnis, karena masih terikat dalam
kegiatan kekeluargaan sehingga orang lokal masih terkesan masih lemah dalam menjalankan
roda bisnis; (4) karena memakai modal asing, sehingga pimpinanya dipegang oleh orang
asing; (5) merupakan cabang perusahaan internasional, sehingga keputusan untuk
menentukan posisi pimpinan ditentukan oleh pusat; (6) karena pimpinan seperti sale manager
banyak yang ada di luar Bali; (7) stock untuk tingkat pimpinan sangat terbatas di Bali (8)
dunia perhotelan lebih dulu ada di luar negeri, sehingga untuk pengembangan hotel masih
memerlukan pimpinan di bidang tertentu seperti F&B manager; dan (9) transfer keahlian, dari
tenaga yang terampil di luar orang lokal kepada tenaga kerja lokal dalam pengembangan
perhotelan.
Sebagian karyawan yang bekerja di hotel adalah berasal dari Bali, namun hanya
sebagian kecil (1,79%) saja dari seluruh karyawan yang berasal dari Bali yang menduduki
jabatan pimpinan hotel. Sebaliknya, karyawan yang dari luar Bali dalam negeri Indonesia,
persentase karyawan yang menduduki jabatan lebih tinggi jika dibandingkan dengan
karyawan yang berasal dari Bali. Apalagi kalau dibandingkan dengan karyawan yang berasal
dari luar negeri. Dari seluruh karyawan luar negeri yang bekerja di hotel, 70% menduduki
jabatan yang cukup penting di industri pariwisata Bali ini. Selengkapnya akan ditampilkan
pada tabel 2.
Tabel 2 Asal Karyawan dan Perbandingan yang Menduduki Pimpinan Hotel di Bali.
No Jenis Tenaga Kerja Asal Karyawan
Bali Luar Bali Luar Negeri1 Jumlah karyawan 13.844 1.693 802 Pimpinan 248 156 56
Pimpinan/jumlah karyawan 1,79% 9,21% 70,00%
Hal ini berarti bahwa orang Bali baik yang beragama Hindu maupun non Hindu hanya
sebagian kecil saja dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan arah dari
pembangunan pariwisata di Bali. Hal ini perlu disikapi dengan baik, mengingat orang lokal
hanya sebagai buruh rendahan saja di daerahnya sendiri.
Kalau dilihat berdasarkan kelas hotel, semakin rendah kelas hotel, maka persentase
dari perbandingan antara karyawan dan pimpinan yang berasal dari Bali semakin tinggi,
walaupun persentasenya masih jauh lebih kecil dari tenaga kerja yang berasal dari luar Bali
dan luar negeri. Ini berarti bahwa semakin kecil skala bisnis yang ditekuni, maka semakin
besar jumlah masyarakat lokal yang memegang posisi strategis (sebagai pimpinan hotel).
Kesimpulan dan Saran
Masyarakat Bali harus melakukan perubahan pola pikir dan meningkatkan
kompetensi menanggapi semakin banyaknya tenaga kerja asing yang menduduki posisi-posisi
strategis dalam industri pariwisata di Bali. Masyarakat Bali tidak hanya boleh berbangga
dengan pamor pariwisata budaya yang terkenal ke seluruh dunia. Masyarakat Bali harus lebih
berbangga jika bisa ikut serta dalam membangun pariwisata Bali dari dalam. Ikut mengambil
keputusan-keputusan penting dalam bisnis pariwisata, serta tidak tuntuk kepada masyarakat
asing, khususnya tenaga kerja asing.
Ketua Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Nusa Dua Bali Dr. I Nyoman Madiun
menyebutkan bahwa keterlibatan atau partisipasi masyarakat Bali dalam gemerlap
kepariwisataan Bali bisa dikategorikan dalam tiga kelompok yakni kelompok masyarakat
yang melakoni partisipasi secara semu, partisipasi yang dipaksakan dan partisipasi aktif. Dari
ketiga kelompok itu, hanya kelompok ketiga yang mampu menangguk manfaat secara
maksimal dari sektor pariwisata, mengingat mereka memiliki kompetensi yang
dipersyaratkan oleh dunia kepariwisataan, sehingga mampu bersaing dengan kompetitor dari
luar Bali yang umumnya didukung dengan permodalan yang kuat. Sedangkan dua kelompok
lainnya yang tidak didukung dengan kompetensi yang memadai sangat potensial tersingkir
dari persaingan. Meskipun mereka ikut berpartisipasi di sektor pariwisata, mereka akan
sangat kesulitan untuk mendapatkan manfaat yang maksimal dari sektor pariwisata tersebut
(Balipost, 2011).
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Penyebab masyarakat Bali jarang menduduki jabatan top management, antara lain :
a. Kurangnya kompetensi masyarakat Bali,baik dari kemampuan (skill), pengetahuan
(knowledge), serta sikap perilaku (attitude).
b. Tenaga kerja lokal tidak mampu memberikan komitmen kepada perusahaan, jika jika
dibandingkan dengan komitmen yang diperoleh dari tenaga asing. Salah satunya
dikarenakan kegiatan adat terkadang menyita waktu.
c. Investasi bermodal besar di sektor pariwisata sebagian besar merupakan investasi
asing, sehingga mereka mempunyai kekuasaan untuk menempatkan tenaga kerja yang
mereka percayai untuk menduduki jabatan top management.
d. Tidak adanya transfer keahlian dari tenaga asing kepada tenaga kerja lokal, sesuai
peraturan perundang-undangan.
Solusi yang dapat dilakukan antara lain :
a. Meningkatkan jumlah tenaga kerja pariwisata untuk mengikuti sertifikasi.
b. Pemerintah mempermudah tenaga kerja untuk mengikuti sertifikasi, jika perlu proses
sertifikasi dilakukan tanpa dipungut biaya.
c. Tenaga kerja lokal Bali diharapkan harus menyesuaikan diri dengan kondisi aturan
adat di daerah masing-masing. Dan desa adat juga harus mau membuka diri terhadap
perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini untuk memberikan kepecayaan kepada
pengusaha bahwa tenaga kerja lokal mempunyai komitmen untuk bekerja.
d. Tenaga kerja lokal harus mau mengubah pola pikir bahwa persaingan di bidang tenaga
kerja semakin melebar. Tidak hanya persaingan dengan tenaga kerja luar Bali namun
tenaga kerja asing akan semakin mudah terlibat dalam sektor pariwisata menjelang
AFTA 2015.
Saran :
1. Memperkuat koordinasi antara Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali dengan Imigrasi
Bandara untuk memperketat prosedur imigrasi serta pengawasan terhadap keberadaan
wisatawan yang berkunjung ke Bali, khususnya wisatawan yang bekerja di Bali.
2. Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi dan
badan pendidikan dan pelatihan yang bergerak di sektor pariwisata untuk melakukan
sosialisasi dan motivasi untuk meningkatkan kompetensi. Organisasi pendidikan tersebut
juga harus dipandu untuk meningkatkan kompetensi tenaga pendidik sesuai tuntutan
jaman.
3. Pemerintah Daerah perlu berdialog dengan desa adat di Bali untuk mencari solusi
bersama agar keinginan dari tenaga kerja Bali untuk bekerja dan tuntutan adat dapat
sama-sama berjalan.
4. Pemerintah Provinsi Bali mendorong pengusaha yang berinvestasi di Bali untuk
memprioritaskan mempekerjakan tenaga kerja lokal.
5. Pemerintah Pusat dan Daerah memperketat pengawasan terhadap jabatan-jabatan yang
dilarang ditempati oleh tenaga kerja asing sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2012 tentang Jabatan-
Jabatan Tertentu yang Dilarang Diduduki Tenaga Kerja Asing.