HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN …/Hubungan...hidup), sedangkan lainnya penyebabnya...

27
1 HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN Diajukan Oleh : ABDUL HAKIM NIM : S 5804001 PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2009

Transcript of HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN DENGAN …/Hubungan...hidup), sedangkan lainnya penyebabnya...

1

HUBUNGAN ANTARA STRATA PENDIDIKAN BIDAN

DENGAN PENGETAHUAN TENTANG MANAJEMEN

AKTIF KALA III DARI HASIL PELATIHAN APN

Diajukan Oleh :

ABDUL HAKIM NIM : S 5804001

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I OBSTETRI GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

2009

2

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kasus-kasus perdarahan di Indonesia cukup tinggi. Diperkirakan

terdapat 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya, paling

sedikit 128.000 perempuan mengalami perdarahan sampai meninggal (WHO,

1998). Begitu juga di Kabupaten Sukoharjo kematian akibat perdarahan post

partum paling tinggi dibanding preeklampsia dan infeksi (profil DINKESSOS

Kab Sukoharjo). Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam

setelah melahirkan dan merupakan akibat dari masalah yang timbul selama

kala III. Pemerintah mengadakan pelatihan APN yang salah satunya di

Kabupaten Sukoharjo. Pelatihan tersebut diikuti oleh bidan DI dan DIII. Bidan

DIII berasal dari SMA akan memperoleh kesempatan pendidikan lebih banyak

dari DI yang bersal dari SMP. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka

semakin baik kualitas pemahamanya ( Tirta Raharja, 2005). Bidan DIII akan

lebih baik pemahamanya dibandingkan dengan Bidan DI dalam mengikuti

pelatihan APN yang dilakukan dalam rentang waktu yang sama yaitu 2

minggu, padahal bidan DI lebih banyak jumlahnya yang ikut APN dari pada

DIII kemungkinan hal inilah yang berakibat tidak berhasilnya program

pemerintah untuk menangani permasalahan.

Di Indonesia perdarahan postpartum merupakan penyebab kematian

ibu yang paling sering, sehingga masih menjadi masalah utama. Sampai saat

ini kematian ibu di Indonesia merupakan kematian tertinggi di Asia Tenggara

(Manuba, 1998). Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada

tahun 1985 angka kematian ibu sebesar 450 per 100.000 kelahiran hidup

(Djadja & Suwandono,2001). Meskipun telah dilakukan upaya yang intensif

dengan dibarengi dengan menurunnya angka kematian ibu di setiap rumah

sakit, praktek bidan swasta dan di masyarakat, namun sampai saat ini

kematian ibu di Indonesia masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup

(SDKI, 2003). Angka ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka

kematian ibu di negara-negara Asia Tenggara pada tahun 1998 ( Depkes RI,

1998, Manuaba, 1998).

3

Perbandingan angka kematian ibu di Indonesia dan negara Asia

Tenggara dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Manuaba, 1998).

Tabel 1. Perbandingan angka kematian ibu di beberapa negara Asia

Tenggara tahun 1998.

Negara Kematian ibu/100.000 kelahiran hidup

Singapura 5

Malaysia 69

Thailand 100

Myanmar 120

Philipina 142

Indonesia 390

Waspodo, dkk (1999) mengemukakan ada tiga penyebab utama kematian ibu

di Indonesia yakni : perdarahan 40 persen, infeksi 30 persen, dan eklampsia

20 persen. Prendivile, dkk (2000) mengatakan bahwa penyebab kematian ibu

dari kasus obstetrik di Afrika Barat adalah perdarahan (3,05 per 100 kelahiran

hidup), sedangkan lainnya penyebabnya adalah ruptur uteri, hipertensi dalam

kehamilan, eklampsia dan sepsis. Kasus perdarahan umumnya terjadi karena

atonia uteri, retensio plasenta, kasus ini sebenarnya dapat dicegah dan

dihindari sedini mungkin.

Sampai saat ini ada berbagai upaya untuk mencegah perdarahan

postpartum diantaranya peningkatan kualitas pelayanan antenatal,

peningkatan kualitas pertolongan persalinan, peningkatan penanganan

komplikasi persalinan, peningkatan mutu pendidikan dokter, bidan dan tenaga

kesehatan lainnya, penerapan standar pelayanan kesehatan dan penggunaan

obat-obatan untuk pencegahan perdarahan postpartum. Salah satu upaya untuk

mencegah perdarahan postpartum dengan menerapkan manajemen aktif kala

III dalam pertolongan persalinan. Sesuai dengan obstetrik modern, pimpinan

kala III persalinan tidak lagi menunggu, tetapi dilakukan secara aktif

(Prendivile, 2000). Upaya-upaya tersebut telah dilakukan oleh Dinas

Kesehatan dan sosial Kabupaten Sukoharjo dalam memasyarakatkan

penerapan pertolongan persalinan menurut DEPKES RI tahun 2000 kepada

4

setiap bidan yang melakukan pertolongan persalinan khususnya penerapan

managemen aktif kala III. Upaya lain yaitu dilakukan pelatihan APN yang

didalamnya terdapat pengetahuan tentang manajement aktif kala III.

Berdasarkan data profil kesehatan di Kabupaten Sukoharjo pada

tahun 2008 kasus-kasus perdarahan post partum cukup tinggi bahkan kasus

kematian maternal akibat perdarahan post partum paling tinggi dibandingkan

dengan preeclampsia dan infeksi. Kematian ibu selama bulan Januari 2008

sampai Desember 2008 sejumlah 9 kasus, 5 diantaranya meninggal akibat

perdarahan post partum. Hal ini tidak jauh berbeda dengan profil 2007.

Dinkessos Kabupaten Sukoharjo sejak tahun sebelumnya sampai dengan 2006

telah mengadakan pelatihan APN. Setiap bidan dianjurkan mengikuti APN

yang didalamnya diajarkan cara penerapan manajemen aktif kala III. Bidan

yang mengikuti pelatihan APN mempunyai perbedaan strata yaitu DI dan

DIII. Kemungkinan strata pendidikan bidan akan berpengaruh terhadap

pemahaman manajement aktif kala III hasil pelatihan APN. Menurut Simon

dan Morton (1995) semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan

semakin tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam memahami

pengetahuan. hal tersebut dapat berpengaruh terhadap pengetahuan bidan

tentang manajaemen aktif kala III sebagai hasil dari APN yang telah

difasilitasi oleh Dinkessos kabupaten Sukoharjo. Bidan DI kompetensinya

ditekankan pada obstetri fisiologis yang nantinya akan menggantikan posisi

dukun. Sedangkan bidan DIII kompetensinya adalah mempelajari keseluruhan

obstetri ginekologi dan bertindak sebagai pelaksana asuhan kebidanan atas

instruksi dokter. Bidan DI adalah berasal dari SMP atau SPK sedangkan DIII

bersal dari SMA. Sehingga kesempatan untuk memperoleh pendidikan lebih

banyak dan lama pada DIII. Jumlah bidan keseluruhan di Kabupaten

Sukoharjo adalah 300 bidan, tetapi yang telah mengikuti APN dan belum DIII

adalah 102 bidan. Sedangkan yang sudah DIII dan telah mengikuti APN

adalah 60 bidan. Jumlah bidan yang telah ikut D III adalah 114 bidan

sedangkan yang belum D III adalah 186 bidan tersebar di wilayah Sukoharjo.

Dengan banyaknya bidan DI dibanding DIII yang ikut APN, maka program

5

pemerintah berupa APN kurang berhasil karena kualitas pemahaman bidan

DIII lebih baik dari pada bidan DI.

1.2 Perumusan Masalah

“Apakah strata pendidikan bidan berpengaruh terhadap

pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil pelayanan APN di

kabupaten Sukoharjo?”

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pemahaman tentang manajemen aktif kala III

hasil pelatihan APN dan mengetahui hubungan strata pendidikan bidan

dengan pengetahuan tentang manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk mengetahui

peran tingkat pendidikan terhadap pengetahuan manajemen aktif kala III dari

hasil pelatihan APN oleh bidan dalam pertolongan persalinan.

1.5 Keaslian Penelitian

Menurut penelurusan kepustakaan bahwa penelitian yang pernah

dilakukan adalah sebagai berikut :

Penelitian Sumali, AM (2004) di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah

tentang hubungan tingkat pengetahuan bidan desa dengan cakupan

penanganan persalinan. Hasil penelitian tersebut tingkat pengetahuan bidan

mempunyai hubungan bermakna dengan cakupan penanganan persalinan.

Penelitian ini berfokus untuk mengetahui hubungan strata

pendidikan bidan dengan pengetahuan manajemen aktif kala III. Dengan

variabel bebas pendidikan bidan dengan lokasi penelitian di Kabupaten

Sukoharjo serta waktu penelitiannya Tahun 2009.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.2.1 Manajemen Aktif Kala III

Untuk membantu proses kelahiran plasenta memerlukan

tindakan manajemen aktif kala III, hal ini akan mencegah kejadian

perdarahan postpartum. Mengingat kematian ibu bersalin yang terjadi

sebagian besar adalah perdarahan postpartum, utamanya disebabkan

karena atonia uteri dan retensio plasenta, maka upaya yang dianjurkan

bagi penolong persalinan adalah dengan menerapkan manajemen aktif

kala III.

Manajemen aktif kala III, yaitu dengan penggunaan oksitosin

profilaksis, penjepitan tali pusat segera dan melahirkan plasenta dengan

traksi terkontrol, telah dipergunakan secara luas dengan tujuan untuk

pencegahan perdarahan postpartum dan retensi plasenta (McDonald, dkk,

1993). Uterotonika profilaksis menurunkan resiko perdarahan postpartum

sekitar 60 persen dan menurunkan kebutuhan uterotonika tambahan

sekitar 70 persen dihubungkan dengan efek samping obat seperti nausea

dan nyeri kepala. (Khan dkk, 1995).

Telah diterangkan bahwa pendekatan yang dipilih harus

berdasarkan keuntungan dan kerugian yang sesuai dengan masing-masing

daerah. Manajemen pasif dapat dikerjakan pada ibu hamil dengan resiko

rendah yang melahirkan di rumah sakit atau yang melahirkan di rumah

bidan/klinik serta mudah dirujuk ke rumah sakit dalam waktu singkat bila

ada kedaruratan. Hal ini biasanya berlaku di negara industrialis. Di negara

berkembang bagaimanapun ada beberapa faktor resiko yang perlu

dipertimbangkan :

1. Di daerah pedesaan kurangnya tenaga penolong persalinan terlatih

untuk memberikan suntikan dan mengirim ke klinik/rumah sakit bila

ada kedaruratan.

7

2. Tingginya insidensi anemia dalam kehamilan pada sebagian besar

negara berkembang mendorong upaya-upaya untuk mencegah

kehilangan darah yang tidak diinginkan.

3. Almari pendingin untuk obat-obatan dan pelayanan tranfusi darah

yang tidak adekuat (McDonald dkk, 1993).

Manajemen aktif kala III tidak hanya pemberian oksitosin saja

tetapi komponen yang lain harus dilaksanakan. Komponen manajemen

aktif kala III terdiri dari :

a. Pemberian Oksitosin

Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi uterus yang

adekuat. Ada dua jenis uterotonika yang dapat dipakai, yaitu oksitosin

dan ergometrin, tetapi yang dianjurkan adalah oksitosin 10 IU

intramuskuler. Penelitian yang dilakukan Prendiville (2000), oksitosin

10 IU intramuskuler yang digunakan pada manajemen aktif kala III

lebih efektif dapat mencegah perdarahan postpartum jika

dibandingkan dengan manajemen fisiologi. Perdarahan yang terjadi

pada paska persalinan pada persalinan yang dilakukan manajemen

aktif kala III relatif menurun (Prendeville, 2000).

Ketepatan dosis, waktu pemberian dan penyimpanan oksitosin

menentukan pengaruh rangsangan kontraksi pada uterus. Pemberian

oksitosin yang tepat adalah dosisnya 10 IU intramuskuler, waktunya

segera setelah bayi lahir. Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa

potensi obat oksitosin menurun karena tidak disimpan dengan cara yang

benar ( Mario dkk, 2003 ).

b. Penegangan Tali Pusat Terkendali atau Controled Cord Traction

Penegangan tali pusat terkendali adalah tindakan yang dilakukan

untuk membantu proses kelahiran plasenta. Hasil penelitian, bahwa

penegangan tali pusat terkendali tidak mencegah perdarahan

postpartum tetapi bersama-sama oksitosin membantu proses kelahiran

plasenta.

8

Langkah-langkah tindakan penegangan tali pusat terkendali, adalah

sebagai berikut: a) satu tangan penolong diletakkan pada korpus uteri

tepat di atas simpisis pubis. Selama ada kontraksi tangan penolong

mendorong korpus uteri dengan gerakan dorso cranial ke arah

belakang dan ke arah kepala ibu, b) tangan yang satu memegang tali

pusat dekat dengan pembukaan vagina dan melakukan penarikan tali

pusat terus menerus dalam tegangan yang sama dengan tekanan ke

uterus selama ada konstraksi. Langkah-langkah ini diulangi setiap ada

kontraksi sampai plasenta lahir.

c. Massase Fundus Uteri Setelah Plasenta Lahir

Setelah plasenta lahir, maka kala III berakhir, tetapi tugas penolong

persalinan belum selesai, karena masih ada resiko perdarahan.

Penyebab terbesar kejadian perdarahan postpartum adalah atonia

uteri. Untuk mengurangi kemungkinan atonia uteri dilakukan masase

fundus uteri secara aktif untuk menunjang kontraksi uterus yang baik.

2.2.2 Bidan

Bidan (DI) adalah seseorang yang telah mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan bidan yang diakui oleh pemerintah dan lulus

ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku (IBI, 1999). Menurut Zapata

dan Godue (1997), bidan adalah seorang wanita yang telah mendapatkan

pendidikan kesehatan, untuk memberikan perawatan pada wanita,

perawatan kehamilan dan persalinan yang beresiko rendah. Bidan (DIII)

adalah pelaksana asuhan kebidanan berdasarkan atas instruksi dokter

(Depkes RI 2002).

Tahun 1989/1990 pendidikan bidan mulai digalakkan,

pendidikan bidan diselenggarakan agar menghasilkan bidan dalam jumlah

yang cukup untuk ditempatkan di desa. Lama pendidikan 1 tahun untuk

lulusan SPK dan 3 tahun untuk lulusan SMP. Setelah lulus mereka

ditempatkan di desa sebagai upaya untuk menggantikan peranan dukun

dalam pelayanan kesehatan ibu yang dianggap sebagai penyebab tingginya

angka kematian ibu. Setelah jumlah bidan terpenuhi, angka kematian

9

belum menunjukkan penurunan yang berarti. Upaya pemerintah yang

ditempuh salah satunya meningkatkan pendidikan bidan lebih tinggi yaitu

DIII Kebidanan.

Sampai proposal ini disusun (2009) lama kerja bidan antara 3

tahun sampai 30 tahun. Menurut Muchlas (1998) pengalaman bidan dalam

bidang tertentu belum menjamin bahwa mereka lebih produktif dan

bijaksana dalam mengambil keputusan dibandingkan dengan mereka yang

belum lama bekerja. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Robbin

(1996), masa kerja tidak berhubungan dengan pengetahuan kinerja,

semakin senior seorang pekerja belum berarti akan lebih baik pengetahuan

kinerjanya dibandingkan dengan pekerja yang senioritasnya lebih rendah.

Selain lama kerja, status kepegawaian ternyata tidak mempengaruhi

pengetahuan dan kinerja bidan, baik pegawai negeri sipil atau pegawai

tidak tetap. Hal ini sesuai dengan temuan Syah dan Prawitasari (1998),

bahwa kinerja dan pengetahuan bidan yang berstatus PNS tidak jauh

berbeda dengan bidan dengan status pegawai tidak tetap.

Lulusan program pendidikan bidan saat ini relatif masih muda

umurnya dan waktu pendidikannya sangat singkat. Disisi lain mereka

dihadapkan dengan luasnya cakupan kemampuan yang harus dimiliki dan

kekurangsesuaian antara masalah di lapangan dengan materi pendidikan

yang mereka peroleh di bangku pendidikan. Banyak kendala yang

dihadapi bidan di desa dan dianggap program ini belum berhasil

menurunkan AKI, sehingga bidan memerlukan pendidikan yang

berkelanjutan (continuing education) (Mukti, 1998).

Temuan Suhadi dan Hakimi (2000), bidan yang telah mengikuti

pendidikan ternyata penanganan kasus rujukannya meningkat dari 19

kasus (6,2%) menjadi 34 kasus (7,2%). Kajian lain ditemukan oleh

Muchlas (1997) yang mengatakan bahwa produk dan jasa yang dihasilkan

sangat tergantung pada karyawan yang diberdayakan, dilatih dan diakui

kerjanya.

Bidan dengan usia yang relatif muda dan kurangnya pengalaman

dalam menolong persalinan membutuhkan supervisi dan pengawasan dari

10

mereka yang berkompeten. Hal ini sesuai dengan pendapat Syah dan

Prawitasari (1998), bahwa semakin efektif pimpinan atau pengawas

melakukan supervisi terhadap bidan akan meningkatkan pengetahuan

yang berpengaruh terhadap kinerja bidan.

2.2.3 Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik

seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau

tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan

pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang

lebih banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk

mengolah, memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi

pengetahuan yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005).

Pendidikan menurut sifatnya dibedakan menjadi (Ahmadi A.,

Uhbiyati N, 1991) :

1) Pendidikan informal, adalah pendidikan yang diperoleh seseorang dari

pengalaman sehari-hari dengan sadar maupun tidak sadar sepanjang hayat.

Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga, dalam pergaulan sehari-

hari, maupun dalam pekerjaan.

2) Pendidikan formal adalah pendidikan yang berlangsung secara teratur,

bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan

ini berlangsung di sekolah.

Dapat dikatakan bahwa semua manusia dalam aspek

kehidupannya agar tidak dikatakan ketinggalan dari yang lainnya mereka

memerlukan suatu pendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan

nantinya memiliki pengetahuan yang lebih rasional dalam aspek

kehidupan. Semua manusia yang telah memperoleh pendidikan tentunya

mempunyai tingkatan pendidikan yang mereka peroleh juga berbeda-beda.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan semakin

berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan daya nalar dalam menghadapi

suatu masalah. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih

tinggi yang terlatih pola pikirnya dan daya nalarnya tentu akan lebih

11

mudah menerima informasi tentang suatu hal dan menganalisanya, dan

menerapkan makna dan segi-segi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari

(Mardiatmadja, 1996). Frekuensi informasi yang sering diterima dan

berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat dan akan menimbulkan

sikap terhadap informasi tersebut (Ahmadi, 1991).

Menurut Azwar (1995) lembaga pendidikan mempunyai

pengaruh dalam pembentukan sikap karena lembaga pendidikan

meletakkan dasar pengertian dan konsep moral. Pemahaman akan baik

dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan tidak boleh

dilakukan yang diperoleh dari pendidikan dan ajaran-ajarannya.

Menurut pemahaman perubahan perilaku, pendidikan dapat

menjadi faktor internal sebagai penentu perubahan perilaku sehat.

Pendidikan dapat juga menjadi faktor eksternal yang memudahkan

seseorang melakukan perilaku sehat. Lingkungan pendidikan seperti

teman, guru dan orang lain dapat menjadi pendorong peningkatan perilaku

(dalam Simon Morton, 1995).

Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat

pendidikan formal dapat mempengaruhi sikap seseorang. Tingkat

pendidikan formal memungkinkan seseorang lebih tinggi tingkat

pengetahuannya.

2.2.4 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek atau informasi

tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Untuk

memperoleh pengetahuan dbutuhkan proses kognitif yang merupakan hal

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.

Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan

mengenai suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan,

maka dapat dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban

12

verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge)

(Notoatmodjo, 2003).

Petanyaan dapat dipergunakan untuk mengukur pengetahuan dan dapat

dikelompokan jadi 2 jenis yaitu :

1. Pertanyaan subyektif misalnya jenis pertanyaan essay

2. Pertanyaan obyektif, misalnya pertanyaan pilihan berganda, benar-

salah dan pertanyaan menjodohkan.

Dari kedua jenis pertanyaan tersebut, pertanyaan obyektif terutama pilihan

berganda lebih disukai untuk dijadikan sebagai alat pengukuran karena

lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur serta lebih

cepat dinilai

Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang

diperhatikan, dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai

bentuk termasuk pendidikan formal maupun informal, percakapan harian,

membaca, mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman

hidup (Simon-Morton, 1995).

Pengetahuan dapat diukur melalui beberapa metode yaitu :

wawancara, observasi dan uji tertulis (Elwes dan Simnet, 1995).

2.2.5 Pelatihan

Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu

pelatihan, sebagaimana kita ketahui pelatihan yang diberikan pada para

Bidan dapat dikategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah

berbeda dengan pelatihan – pelatihan di bidang yang lain yang penuh

dengan unsur pendidikan, informasi dan penularan

pengetahuan/ketrampilan yang semuanya diperlukan waktu dan sistem

yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk menumbuhkan

motifasi pada diri sendiri (Widyawati S, 2003)

Komunikasi pada pelayanan kesehatan dapat dimasukkan dalam

bentuk komunikasi pribadi (interpersonal communication) yaitu

merupakan komunikasi yang berlangsung dalam situasi tatap muka 2

orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun kerumunan orang.

13

Untuk melaksanakan komunikasi pribadi yang efektif baik pemberi

maupun penerima informasi harus memiliki ciri : keterbukaan, empati,

dukungan, rasa positif dan kesetaraan. Sedangkan penilaian akan

keberhasilannya adalah terjadinya sikap perilaku dari penerima informasi

(Wiryanto, 2006). Maka selain dari pada itu dalam unsur pendidikan

mengandung pokok – pokok penting yang mengait proses pembelajaran,

proses sosial, memanusiakan manusia dan berusaha mengubah atau

mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif.

Sehubungan dengan banyaknya pesan yang harus disampaikan

pada pelatihan APN, kondisi sarana dan prasarana yang belum mencukupi

serta masih majemuknya bidan di bidang pendidikan dan banyaknya

faktor yang menghadang, maka pemahaman terhadap materi pelatihan

tidak menjamin pemahaman mengenai hasil pelatihan (James D, 1996).

Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan

adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya

pertukaran informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat

medis yang cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang

bersih dan pelatih yang ramah adalah modal utama dalam

penyelenggaraan pelatihan agar selalu dapat memahami

pelatihan/pengetahuan yang diberikan pelatih. Penyelenggaraan pelatihan

yang penuh dengan informasi harus disampaikan oleh pelatih dengan

lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para bidan. Oleh karenanya

penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus melakukan

tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat lancar dan

mudah (Lubis H, 2008).

14

2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Bidan mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ibu bersalin

dalam mencegah perdarahan postpartum dengan mengacu pada standar

pelayanan yang telah ditetapkan. Manajemen aktif kala III sesuai standar

pelayanan yaitu pemberian oksitosin 10 IU, penegangan tali pusat terkendali

dan masase fundus uteri setelah plasenta lahir akan dapat mencegah ibu hamil

bersalin dari perdarahan postpartum.

Perdarahan postpartum merupakan salah satu penyebab kematian

ibu, apabila tidak ditangani dengan manajemen aktif kala III yang benar akan

berdampak meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu bersalin. Pengetahuan

manajemen aktif kala III dalam pertolongan persalinan oleh bidan dipengaruhi

oleh faktor pendidikan.

2.3 Hipotesis

Tingkat pengetahuan tentang manajemen aktif kala III dari hasil

pelatihan APN pada bidan dengan srata pendidikan DIII lebih baik dari pada

bidan dengan strata pendidikan DI.

D I (SMP + 3Th)

D III (SMA + 3Th)

Pola Pikir

Daya Nalar

Daya Ingat

APN

Pengetahuaan bidan tentang manajemen aktif kala III

Strata Pendidikan Bidan

15

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian observasional analitik,

dengan rancangan penelitian cross sectional, yaitu penelitian epidemiologi

yang mempelajari hubungan antara varibel bebas dengan variabel terikat

dengan melakukan pengukuran sesaat dan bersamaan.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah kabupaten Sukoharjo.

3.3 Subyek Penelitian

A. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua bidan yang telah ikut APN di

Kabupaten Sukoharjo baik yang sudah D3 maupun yang belum D3.

B. Sampel Penelitian

Dalam pelaksanaan pengambilan sampel dilakukan secara total sampling

yaitu sejumlah 162 bidan desa yang menolong persalinan di 12 kecamatan

wilayah kabupaten Sukoharjo. Dengan pertimbangan bidan-bidan tersebut

telah ikut APN.

3.4 Kriteria Subjek

A. Inklusi

- Bidan tersebut telah mengikuti APN

- Berdomisili di wilayah Kabupaten Sukoharjo

B. Eksklusi

- Tidak bersedia menjadi subjek penelitian

16

3.5 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

Variabel bebas meliputi : Strata pendidikan bidan

Variabel terikat : Pengetahuan tentang manajemen aktif kala III oleh

bidan setelah pelatihan APN.

3.6 Instrumen Penelitian

Pengumpulan data dilakukan secara kuantitatif menggunakan

kuesioner yang pernah dilakukan dalam penelitian milik AM Sumali, jadi

tidak perlu lagi dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Menurut Ernest dan

Young (1993), kuesioner adalah kelompok atau urutan pertanyaan yang dibuat

untuk memperoleh informasi dari sumber-sumber informasi atau responden

yang ditanyakan oleh pewawancara.

3.7 Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang

dikumpulkan langsung dari bidan di wilayah Kabupaten Sukoharjo pada tahun

2008.

3.8 Definisi Operasional

Tabel 3. 1. Definisi Operasional

No Variabel Definis Operasional Skala

Pengukuran

1 Variabel bebas adalah

1.Pendidikan

Pendidikan adalah pendidikan profesi

bidan tertinggi yang dimiliki.

D I Kebidanan

D III Kebidanan

Ordinal

(Menggunakan

wawancara)

2 Variabel terikat

pengetahuan

manajemen aktif kala

Tindakan membatu melahirkan

plasenta dengan manajemen aktif kala

III yang diberikan melalui APN.

Ordinal

(menggunakan

kuesioner)

17

III setelah pelatihan

APN

Strata pengetahuan bidan tentang

manajemen aktif kala III

dikategorikan :

Baik Score diatas Means

Kurang baik Score

dibawah Means

3.9 Analisis Data

Analisa data dengan menggunakan parameter rasio prevalensi

dilanjutkan dengan uji bermaknasi menggunakan uji statistik chi-square.

18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Subjek penelitian ini adalah bidan yang berdomisili di kabupaten

Sukoharjo. Responden di bagi menjadi 2 kategori yaitu bidan yang telah

memiliki ijasah DIII kebidanan dan yang belum memiliki ijasah DIII

kebidanan (DI). Serta ke dua kategori responden tersebut telah mengikuti

pelatihan APN untuk disamakan standar pelayanan kebidanan khususnya

manajemen aktif kala III. Kategori ini dibuat dengan dasar pertimbangan

bahwa bidan dikatakan sesuai standard profesi dengan syarat pendidikan

profesi minimal DIII kebidanan. Bidan yang belum memiliki ijasah D III (DI)

dan telah ikut APN sejumlah 102 orang atau 63%. Sedangkan bidan yang

telah memiliki ijasah DIII dan ikut APN sejumlah 60 orang atau 37%. Jumlah

keseluruhan bidan yang ikut APN 162 bidan (54%), sedangkan yang belum

ikut APN 138 bidan ( 46%). Jumlah bidan yang belum D III sejumlah 186

bidan ( 62%) sedangkan yang sudah D III sejumlah 114 bidan (38%). Jumlah

bidan D III yang belum ikut APN sejumlah 54 bidan (18 %). Jumlah bidan

yang belum DIII dan belum ikut APN sejumlah 84 bidan (28%). Hal tersebut

diatas dibandingkan dengan keseluruhan jumlah bidan yang ada di Kabupaten

Sukoharjo sebanyak 300 bidan.

Tabel 4. 1. Sebaran bidan di Kabupaten Sukoharjo

BIDAN

Ikut APN Belum Ikut APN BIDAN

Jumlah % Jumlah % Jumlah % D I 102 34 84 28 186 62 D III 60 20 54 18 114 38

Jumlah total 162 54 138 46 300 100

19

Berdasarkan hasil analisis untuk mengetahui hubungan antara

variabel pendidikan dan variabel pengetahuan tentang manajemen aktif kala

III dengan menggunakan uji statistik Chi-square secara terinci hasil analisis

ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. 2. Hasil Penelitian

Melihat tabel tersebut diatas dari keseluruhan bidan yang ikut APN

dan mendapat nilai baik = 63 bidan (39%), yang dapat nilai kurang= 99 bidan

( 61%). Jumlah bidan DIII yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai baik

adalah 43 bidan (71,6%) dan yang mendapat nilai kurang baik adalah 17 bidan

(28,4%), sedangkan bidan D I yang telah mengikuti APN dan mendapat nilai

baik sejumlah 20 orang (19,6%). Sedangkan yang mendapat nilai kurang baik

sejumlah 82 orang (80,4%). Hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

pendidikan bidan ada hubungan bermakna dengan pengetahuan bidan dalam

hal manajemen aktif kala III ( p=0,000 dan RR=10,37 ). Bidan yang

pendidikannya belum D I cenderung kurang baik dalam pengetahuan tentang

manajemen aktif kala III hasil pelatihan APN sebesar 10,37 X dibandingkan

dengan bidan yang telah berpendidikan D III, dimana 95 % CI : 4,926 –

21,833.

Variabel

Pengetahuan Manajement Aktif Kala III

Baik Kurang Baik X2 95% CI P RR

N % N %

Pendidikan

43,08 4,926 s.d 21,833 0,000 10,37 D3 Kebidanan 43 71,6 17 28,4

D1 Kebidanan 20 19,6 82 80,4

20

4.2 Pembahasan

Dari latar belakang penelitian ini bahwa upaya dari DINKESSOS

kabupaten Sukoharjo untuk melaksanakan APN yang didalamnya terdapat

manajement aktif kala III tidak memperoleh hasil yang bermakna. Hal ini

dikarenakan apanya perbedaan strata pada bidan yang mengikuti APN

sehingga akan mempengaruhi pemahaman tentang pengetahuan manajament

aktif kala III.

Dari hasil pelatihan seluruh bidan yang ikut APN sejumlah 162

orang yang memahami dengan baik yaitu 63 bidan (39%) yang kurang baik

adalah 99 bidan (61%). Bidan D III lebih banyak yang mendapat nilai diatas

mean (71,6%) dibanding dengan yang dibawah mean (28,4%). Sedangkan

bidan DI lebih banyak yang mendapat nilai dibawah mean (80,4%)

dibandingkan dengan yang mendapat nilai diatas mean (19,6%).

Dengan melihat hasil penelitian tersebut diatas berarti strata bidan

mempunyai hubungan yang bermakna terhadap pengetahuan tentang

manajemen aktif kala III. Bidan yang pendidikannya belum D III cenderung

mempunyai pengetahuan tentang manajemen kala III yang kurang baik

dibandingkan dengan bidan yang pendidikannya lebih D III setelah

mendapatkan pelatihan APN.

Pengetahuan merupakan hasil stimulasi informasi yang diperhatikan,

dipahami dan diingat. Informasi dapat berasal dari berbagai bentuk termasuk

pendidikan formal maupun informal, percakapan harian, membaca,

mendengar radio, menonton televisi, dan dari pengalaman hidup (Simon-

Morton, 1995).

Bila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai

suatu bidang tertentu dengan baik secara lisan atau tulisan, maka dapat

dikatakan ia mengetahui bidang itu. Sekumpulan jawaban verbal yang

diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan (knowledge) (Notoatmodjo,

2003).

Tingkat pendidikan merupakan salah satu unsur karakteristik

seseorang. Tingkat pendidikan formal menunjukkan strata intelektual atau

tingkat pengetahuan seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa dengan

21

pendidikan yang lebih tinggi seseorang mempunyai kesempatan yang lebih

banyak untuk mendapatkan informasi dan ia lebih terlatih untuk mengolah,

memahami, mengevaluasi, mengingat, yang kemudian menjadi pengetahuan

yang dimilikinya (Tirtaraharja., 2005).

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin

tinggi pula tingkat perkembangan dan kemampuan dalam mengetahui atau

memahami pengetahuan ( Simon-Morton 1995 ). Berdasarkan hasil penelitian

ini upaya – upaya untuk meningkatkan pengetahuan bidan perlu

mempertimbangkan faktor pendidikan.

Pendidikan mengandung pokok-pokok penting yang mengait proses

pembelajaran, proses sosial memanuasiakan manusia dan berusaha mengubah

atau mengembangkan kemampuan, sikap dan perilaku yang positif ( Sukanto

S, 1992 ). Faktor pendidikan adalah merupakan faktor yang terpenting untuk

memahami informasi, seorang yang berpendidikan tinggi akan memberikan

respon yang lebih rasional dari pada mereka yang berpendidikan kurang.

Selain itu mereka juga akan lebih terbuka dan dapat juga lebih menyesuaikan

diri terhadap segala sesuatunya yang berhubungan dengan hal-hal atau

informasi yang baru ( Istiarti, 2000 ). Perbedaan tingkat pendidikan akan

menyebabkan perbedaan pengetahuan. Pendidikan adalah merupakan satu

kebutuhan dasar yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri ( Mardiatmaja,

1996 ). Menurut Basov dan Sulen terdapat korelasi yang positif antara tingkat

pendidikan dan status/ pengetahuan kesehatan. Makin meningkat

pendidikanya maka pengetahuan / status kesehatan seseorang juga meningkat,

sebaliknya tingkat kesehatan seseorang adalah investasi yang cukup tinggi

untuk meningkatkan pendidikan. Menurut Hindun memaparkan persepsi yang

sama dalam penelitianya bahwa pendidikan mempunyai pengaruh yang

bermakna terhadap pengetahuan setelah mendapatkan pelatihan.

Banyak kendala yang akan menghalangi keberhasilan suatu

pelatihan atau penyuluhan, sebagai mana kita ketahui pelatihan yang diberikan

di kategorikan sebagai pelatihan di bidang kesehatan, tidaklah berbeda dengan

pelatihan-pelatihan dibidang yang lainya, yang penuh unsur pendidikan,

informasi dan penularan pengetahuan. Yang semuanya diperlukan waktu,

22

sistem yang baik dan harus dapat dilakukan berulang-ulang untuk

menumbuhkan motivasi pada diri sendiri ( Widiawati S, 2003). Komunikasi

pada pelatihan kesehatan dapat dimasukkan dalam bentuk komunikasi pribadi

( Interpersonal Communication) yaitu komunikasi yang berlangsung dalam

situasi tatap muka dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun

pada kerumunan orang. Untuk melaksanakan komunikasi yang efektif baik

pemberi maupun penerima informasi harus memiliki ciri sebagai mana

berikut: Keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif dan kesetaraan

sedangkan penilaian akan keberhasilanya adalah terjadinya perubahan sikap

prilaku dari penerima informasi ( Wiryanto, 2006 ).

Sisi lain yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan pelatihan

adalah kinerja pelatih, tempat dan suasana di tempat dilakukannya pertukaran

informasi. Tersediannya tempat yang aman dengan alat-alat medis yang

cukup, alat peraga audio visual yang cukup, ruangan yang bersih dan pelatih

yang ramah adalah modal utama dalam penyelenggaraan pelatihan agar selalu

dapat memahami pelatihan/pengetahuan yang diberikan pelatih.

Penyelenggaraan pelatihan yang penuh dengan informasi harus disampaikan

oleh pelatih dengan lugas dan dapat dimengerti/diterima oleh para Bidan.

Oleh karenanya penyampai harus dengan sabar dan tekun. Para pelatih harus

melakukan tugasnya secara efektif dan efisien sehingga transfer ilmu dapat

lancar dan mudah (Lubis H, 2008).

Menurut Mardi Atmaja (1996), semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang maka akan semakin berpengaruh terhadap pola pikir, sikap dan

daya nalar dalam menghadapi suatu masalah. Seseorang yang memiliki

tingkat pendidikan yang tinggi maka akan lebih terlatih pola pikir dan daya

nalarnya sehingga akan lebih mudah menerima informasi tentang suatu hal

dan menganalisanya. Frekuensi informasi yang sering diterima dan

berkesinambungan akan mempengaruhi daya ingat.

Dari penelitian ini terbukti bahwa bidan D III yang berasal dari

SMA lebih baik dalam penerimaan pengetahuan tentang manajemen aktif kala

III dari hasil pelatihan APN dibanding D I yang berasal dari SMP.

23

Di kabupaten Sukoharjo bidan yang pendidikannya belum D III

sejumlah 186 bidan (62%). Hal ini lebih banyak di banding dengan bidan

yang sudah D III sejumlah 114 orang (38%). Hal ini berarti bidan yang belum

berpendidikan diwajibkan mengikuti pendidikan lanjutan agar dapat mencapai

kompetensi maupun standar profesi. Setelah itu mereka diwajibkan untuk ikut

pelatihan APN.

Bidan yang belum pernah mengikuti pelatihan APN berjumlah 138

bidan (46%) dari 300 bidan yang ada di kabupaten Sukoharjo. Padahal

pelatihan ini sangatlah diperlukan bidan untuk meningkatkan pengetahuan

dalam pertolongan persalinan khususnya pelaksanaan manajemen aktif kala

III. Tetapi lebih baik pelatihan APN dilaksanakan setelah pendidikan D III

kebidanan agar mendapat hasil yang optimal.

24

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Dari uraian hasil penelitian yang telah disajikan sebelumnya dapat

ditarik kesimpulan, bahwa :

Bidan yang memahami dengan baik manajement aktif kala III

setelah mendapat pelatihan APN adalah 63 bidan (39%). Dari keseluran

biodan DIII yang ikut APN 71,6% yang mendapat nilai baik, sedangkan DI

sebanyak 19,6%. Hal ini menggambarkan adanya hubungan antara strata

pendidikan bidan dengan pemahaman pengetahuan manajement aktif kala III.

5.2 SARAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan saran

sebagai berikut :

1. Bidan yang mengikuti APN dianjurkan yang telah lulus D III agar

pengetahuan yang didapat lebih baik dan tidak terjadi kesalahan persepsi.

2. Menilai materi dan waktu pelatihan dan meninjau kembali tugas-tugas

dari para bidan.

25

DAFTAR PUSTAKA

AbouZahr, C., (1998). Antepartum And Postpartum Haemorrhage. In Murray, C., J., L., and Lopez, A., D., eds. Health Dimensions Of Sex And Reproduction. Boston : Harvard University Press. Page 17-21

Ahmadi A, 1991. Sosiologi Pendidikan, Edisi ke-2, Jakarta,Rineka cipta, hal : 162-9

Akins, S. (1994). Postpartum Haemorrhage : 90s Approach To An Age-Old Problem. Journal Nurse-Midwifery 39 (2), Supplement : 123S-134S, March/April 1994. page 102-106

Arikunto, S. (1998). Metodologi Penelitian. Rineka Cipta : Jakarta. Hal 31-33

Azwar, S. (1995). Sikap Manusia Teori Dan Pengukurannya. Edisi 2, Liberty Yogyakarta. Hal 22 -27

Basov J, Suren P, 2002. Heterogenous Human Capital in Life, Cycle Invesment, Healthand Education, Australia Univesity of Melbourne, page 124-5

Departemen Kesehatan R.I, (2002), Kurikulum Pendidikan D-III Kebidanan Tahun 2002, Bakti Husada, Jakarta hal 27

Djaja, S., Suwandono, A. (2001). “The Determinat of maternal morbidity in Indonesian”, Regional Health Forum, hal 1-10.

Ernest & Young. (1993). The Manager’s Self Assesmant Kit. Pustaka Binawan Presisindo, Jakarta. Page 18 - 22

Ewies, L, dan Simnet, Ina, (1994), Promosi Kesehatan, Terjemahan Ova Emilia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Hal 45 – 49

Hindun, 2008, Upaya Meningkatkan Kinerja Bidan di Desa Dalam Pelayanan Antenatal Bedasarkan Prespektif Karakteistik Bidan dan Ibu Hamil di Kabupaten Bangkalan, Surabaya, Airlangga Uniiversity Library.

Istianti, 2000. Menanti Buah Hati Dalam Kaitan Antara Kemiskinan dan Kesehatan . Yogyakarta, Media Presindo, hal 79-83

Ikatan Bidan Indonesia (IBI). (1999). Standard Profesi Kebidanan. Yayasan Buah Delima, Jakarta. Hal 9 -12

James D, 1996., Organization of Prenatal Care and Identification of Risk in James DK, 1 st ed., London, WD Saundesr Company Ltd, page21 -23.

26

Khan. GQ., John, IS., Chan, T., Wani, S., Hughes, AO., Stirat, GM (1995). “ Abu Dhabi Third Stage Of Labour,” Eur J Obtet Gynecol Repro Bio; 58: 147-51.

Lubis H, 2008, Total Motivation , Yogyakarta, POR-YOU , hal 16 - 33

Manuaba, A. B. (1998). Ilmu Kebidanan dan KB Untuk Pendidikan Kebidanan. EGC, Jakarta. Hal 22 - 24

Mardiatmaja P., 1996. Tantangan Dunia Pendidikan, Jakarta, Kanisius, Hal: 21-5

Mario, R., Festin at. Al. (2003): WHO International Survey on Variations in Practice of the Management of the Thirtd Stage of Labour” Bulletin WHO, 2003, 81(4). Page 62 -65

Mayor Polak, 1979. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Penerbit Balai Buku “Ichtiar”, hal: 71-5

McDonald, SJ., Prendivelli, WJ., Blair, E. (1993). “Randomised Controlled Trial of Oxytocin Alone Vs Oxytocin and Ergometrine in Active Management of Third Stage of Labour,” BMJ; 307 :1167-71.

Muchlas, M. (1997). Perilaku Organisasi II. Program Pascasarjana. Magister Rumah Sakit, UGM, Yogyakarta. Hal : 29 - 33

Mukti, A. G (1998). Menjaga Mutu Pelayanan Bidan Desa. Penerapan Metode Belajar Berdasar Masalah. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal 47 - 50

Notoadmojo S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta, hal : 46-55

Prendiville, WJ., Elboume, D., Mcdonal, S. (2000). Active Versus Expectant Management in The Third Stage of Labour. (Chochrane Review). In The Chochrane Library, 1, Oxford : Update Software. Page 124 - 128

Robbins. (1996). Perilaku Organisasi. PT Prenhallindo. Jakarta. Hal 64 - 66

Sarwono, S. (1997). Sosiologi Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Hal 22 -24

Simon-Morton, B., Green, W. H., H. (1995). Introduction to Health Education and Health Promotion. Waveland Press, Inc, USA. Page 134 - 137

Spancer, P. (1962). “Controlled Cord Traction in the Managemant of Third Stage of Labour”. BMJ. 1962: 1728-1732.

27

Sugiono. (1999). Statistik Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung. Hal 47 -49

Suhadi, A., Hakimi, M. (2000). “ Evaluasi Penetalaksanaan Pelatihan Ketrampilan Kegawatdaruratan Obsteri dan Neonatal bagi bidan desa di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah”, Medika No. 3 tahun XXVI.

Sutrisno, Andriani, L. (1999). “Karakteristik Kematian Maternal di Kabupaten, Timor, Tengah”, Utara. Cermin Dunia Kedokteran, No: 125, 36-40.

Sumali, A. M. (2004). “Hubungan Strata Pengetahuan Bidan Desa Dengan Cakupan Penanganan Persalinan di Kabupaten Pemalang”, Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hal 72 - 75

Syah, M., Prawitasari, J.E. (1998). “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan Antenatal di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/1998. Hal. 77-85.

Syah, M., Yohana, M. J. (1998). “Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kinerja Bidan Dalam Pelayanan ANC di Kabupaten Pati”, Jurnal Menejemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 01/none 02/1998. Hal 13 -16

Soekanto S, 1992. Sosiolagi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawaliu, Hal 40-68

Tirtaraharja U., 2005. Pengantar pendidikan , Jakarta, Rineka Cipta, hal : 88 -9.

Wiryanto, 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakata, Grasindo, hal 32-43

Widayati S, 2003. Hubungan berapa Karakteistik Bidan, Kelengkapan Srana dan Kualitas Pelayanan Antenatal dengan Cakupan K4 di Kabupaten Bandung tahun 2002, Skripsi Biostatistik dan kependudukan UGM.

Waspodo, D., Joewono, H. T, Suwardi. (1999). “Perbandingan Aktif Pertolongan Kala III Antara Oksitosin IM Dengan Mesoprostol Perrectal”, Majalah Obstetrik Ginaekologi. Vol. 8. No. 2, hal 15-20.

Wood, J., Rogers, J. (1997). The Stage of Labour. in : Alexander J, Levy V, Roth C (eds) Midwifery Practice : Core Topic 2, London Macullian. Page 21 -25

Zapata, B. C., and Godue, C. J. M. (1997). “International Maternal and Health Child”, In Kotch, J. B. Maternal and Child Health Programs. Problems, Ang Policy in Public Health. Chapter 13. Apsen Publisher Inc., Guiherburg, Maryland, Page 245-248.