hipertensi
-
Upload
siraahh-rahmaakbar -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
Transcript of hipertensi
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang paling lazim.
Nasional health and nutrition examination survery (NHANES III) yang
dilaksanakan dari 1988 sampai 1991, membuktikan bahwa 24% populasi
orang dewasa Amerika Serikat mengalami hipertensi. Prevalensinya
bervariasi menurut umur, ras, pendidikan dan banyak variabel lain.
Hipertensi arteri berkepanjangan dapat merusak pembuluh-pembuluh
darah di dalam ginjal, jantung dan otak, serta dapat mengakibatkan
peningkatan insiden gagal ginjal, penyakit koroner, gagal jantung, dam
stroke. Penurunan tekanan darah secara farmakologis yang efektif dapat
mencegah kerusakan pembuluh-pembuluh darah dan terbukti
menurunkan tingkat morbiditas dan mortilitas. Telah banyak tersedia obat
yang efektif. Pengetahuan tentang mekanisme dan titik tangkap kerja
antihipertensi, memungkinkan prediksi efektivitas dan toksisitasnya secara
akurat. Sebagai akibatnya, penggunaan obat secara rasional, secar
tunggal, atau kombinasi, dapat menurunkan tekanan darah dengan resiko
minimal terjadinya toksisitas yang serius pada sebagian besar pasien.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. ETIOLOGI
Penyebab kasus hipertensi hanya bisa ditetapkan pada sekitar 10-
15% pasien. Penting untuk mempertimbangkan penyebab khusus pada
setiap kasus karena beberapa di antara mereka perlu dilakukan
pembedahan secara definitif : kontriksi arteri ginjal, kontraksi aorta,
feokromositoma, penyakit Chusing dan aldoeteronisme primer. (1)
Pasien-pasien yang tidak memiliki penyebab khusus terjadinya
hipertensi dapat disebut dengan hipertensi esensial. Pada sebagian
besar kasus, peningkatan tekanan darah diasosiasikan dengan
peningkatan keseluruhan tahanan aliran darah arteiol, sedang curah
jantung biasanya normal. Investigasi seksama pada fungsi sistem saraf
otonom, refleks-refleks baroreseptor, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
dan ginjal tidak dapat mengidentifikasi kelainan primer penyebab
terjadinya peningkatan tahanan vaskular perifer pada hipertensi esensial
(1).
Peningkatan tekanan darah biasanya disebabkan oleh kombinasi
beberapa kelainan (multifaktor). Bukti epidemiologis menunjuk pada faktor
genetik, stres psikologis, serta faktor lingkungan dan diet (peningkatan
penggunaan garam dan berkurangnya asupan kalium atau kalsium) yang
diduga sebagai penyebab terjadinya hipertensi. Peningkatan tekanan
darah bersamaan dengan umur tidak terjadi pada populasi dengan
asupan natrium hati rendah. Pasien yang memiliki hipertensi labil
cenderung tekanan darahnya naik setelah mengkonsumsi makanan
dengan garam yang berlebihan dibandingkan dengan orang normal.
Faktor keturunan pada hipertensi esensial diperkirakan sekitar 30%.
Mutasi-mutasi pada beberapa gen dikaitkan dengan berbagai penyebab
langka hipertensi. Berbagai variasi fungsional gen angiotensinogen diduga
berperan pada terjadinya beberapa hipertensi esensial.
Hipertensi sekunder. Prevalensi hipertensi sekunder ini hanya
sekitar 5-8% dari seluruh penderita hipertensi. Hipertensi sekunder dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin
(hipertensi endokrin), obat dan lain-lain (4).
a.Hipertensi renal dapat berupa (1) hipertensi renovaskular, yakni
hipertensi akibat lesi pada arteri ginjal sehingga menyebabkan
hipoperfusi ginjal, misalnya stenosis arteri ginjal dan vaskulitis
intrarenal; atau (2) hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal yang
menimbulkan gangguan fungsi ginjal polikistik, nefropati diabetik, dan
lain-lain.
b.Hipertensi endokrin terjadi misalnya akbiat kelainan korteks adrenal
(aldosteronisme primer, sindrom Cushing), tumor di medula adrenl
(feokromositoma), akromegali, hipotiroidisme, hipertiroidisme,
hiperparatiroidisme, dll.
c.Penyakit lain yang dapat menyebabkan hipertensi adalah koarktasio
aorta, kelainan neurologik (tumor otak, ensefalitis, dsb), stress akut
(luka bakar, bedah, dsb), polisitemia dll.
d.Beberapa obat, misalnya kontrasepsi hormonal (paling sering),
hormon adrenokortikotropik, kortikosteroid, simpatomimetik amin
(efeddrin, fenilefrin, fenilpropanolamin, amfetamin), kokain,
siklosporin, dan eritropoletin, juga dapat menyebabkan hipertensi.
Faktor yang dapat meningkatkan Tekanan Darah (2) :
1.Garam. Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga volume
darah bertambah dan menyebabkan daya tahan pembuluh
meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin.
Secara statistis, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang
mengkonsumsi terlalu banyak garam terdapat lebih banyak
hipertensi daripada orang-orang yang memakan hanya sedikit
2.Drop (liquoruce). Sejenis gula-gula yang dibuat dari succus
liquiritiae mengandung asam glizirinat dengan khasiat retensi air
pula, yang dapat meningkatkan TD bila dimakan dalam jumlah
besar.
3.Stres (ketegangan emosional) dapat meningkatkan TD untuk
sementara akibat pelepasan adrenalin dan noradrenalin (hormon
stres), yang bersifat vasokontriktif. TD meningkat pula pada waktu
ketegangan fisik (pengeluaran tenaga, olahraga). Bila stress hilang,
TD turun lagi.
4.Merokok. Nikotin dalam rokok berkhasiat vasokontriksi dan
meningkatkan TD. Merokok memperkuat efek buruk hipertensi
terhadap sistem pembuluh.
5.Pil Antihamil/KB. Mengandung hormon wanita estrogen, yang juga
bersifat retensi garam dan air. Wanita yang peka sebaiknya
menerapkan suatu cara pembatasan kelahiran lain.
6.Hormon pria dan kortikosteroida. Ini juga berkhasiat retensi air.
Setelah penggunaan hormon ini atau pil dihentikan, atau pemakain
garam sangat dikurangi, pada umumnya TD menurun dan menjadi
normal kembali.
7.Kehamilan. Yang terkenal adalah kenaikan TD yang dapat terjadi
selama kehamilan. Mekanisme hipertensi ini seupa dengan proses
di ginjal : bila uterus diregangkan terlampau banyak (oleh janin) dan
menerima kurang darah, maka dilepaskannya zat-zat yang
meningkatkan TD
2. PATOFISIOLOGI
Penelitian menunjukkan bahwa faktor yang bertanggung jawab
terhadap mekanisme terjadinya hipertensi bukanlah faktor tunggal.
Berbagai faktor ikut berperan baik faktor genetik maupun faktor
lingkungan. Mekanisme terjadinya hipertensi esensial atau primer yang
meliputi 95% jumlah kasus merupakan kombinasi ekspresi gen major
pada individu (individual major genes) yang mempunyai pengaruh luas
pada tekanan darah dengan poligen yang mempunyai kontribusi kecil dan
interaksi dengan faktor lingkungan. Pada beberapa individu, hipertensi
dapat terjadi dengan adanya satu faktor lingkungan ditambah faktor
predisposisi genetik, sedangkan pada individu yang lain membutuhkan
akumulasi dari pengaruh beberapa faktor lingkungan untuk dapat menjadi
hipertensi. Tekanan darah merupakan hasil perkalian antara curah jantung
dan resistensi perifer, sehingga semua faktor yang mempengaruhi curah
jantung dan resistensi perifer dapat meningkatkan tekanan darah.
Berbagai keadaan seperti asupan garam yang berlebih, retensi natrium
oleh ginjal, jumlah nefron yang kurang dan faktor yang berasal dari
endotel (endothelium-derived factors) mempunyai peran terhadap
mekanisme terjadinya hipertensi. Aktivitas saraf simpatetik yang berlebih,
sistem vaskuler, dan sistem renin-angiotensin juga berperan terhadap
hipertensi. Sistem renin-angiotensin adalah sistem hormonal enzimatik
yang kompleks, berperan dalam pengaturan tekanan darah sistemik,
keseimbangan cairan dan elektrolit. Renin disintesis oleh aparat Juxta
Glomerulosa di ginjal akibat berbagai rangsangan antara lain kehilangan
natrium. Renin mengubah angiotensin yang diproduksi terutama oleh hati
menjadi angiotensin I (A1), suatu dekapeptidase inaktif. Angiotensin I
dengan bantuan enzim konversi angiotensin I (angiotensin-converting
enzyme, ACE) A1 diubah menjadi angiotensin II (AII), suatu
vasokontriktor kuat. Angiotensin II akan berikatan dengan reseptor yang
terdapat pada membran sel berbagai organ seperti ginjal, kelenjar
adrenal, jantung, pembuluh darah dan otak sehingga menyebabkan
vasokontriksi, retensi natrium dan cairan, hipertrofi jantung dan pembuluh
darah. Keadaan ini merupakan faktor penting pada patogenesis dan
patofisiologi hipertensi, gagal jantung, dan penyakit ginjal progresif (3).
3. DIAGNOSIS
Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali
pengukuran, kecuali bila TD diastolik (TDD) ≥ 120 mmHg dan/atau TD
sistolik (TDS) ≥ 210 mmHg. Pengukuran pertama harus dikonfirmasi pada
sedikitnya 2 kunjungan lagi dalam waktu 1 sampai beberapa minggu
(tergantung dari tingginya TD tersebut). Diagnosis hipertensi ditegakkan
bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai rata-rata TDD
≥ 90 mmHg dan/atau TDS ≥ 140 mmHg (4).
Kasifikasi tekanan darah (TD)* (4)
Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)
Normal < 85 < 130Normal Tinggi 85 – 89 130 – 139Hipertensi
- Tingkat 1 (ringan)- Tingkat 2 (sedang)- Tingkat 3 (berat)- Tingkat 4 (sangat berat)
90 – 99100 – 109110 – 119≥ 120
140 – 159160 – 179180 - 209≥ 210
*Klasifikasi baru baru menurut The Joint National Comminttee on Detection, Avaluation, and Treatmet of High Blood Preassure, Amerika Serikat, dalam laporannya yang ke-5 pada tahun 1992 (JNC-V)
Pengukuran TD harus dilakukan dengan cara berikut. Penderita
harus duduk dengan santai dikamar yang tenang sedikitnya 5 menit
sebelum pengukuran dilakukan. Mereka tidak boleh merokok atau minum
kopi dalam waktu 30 menit sebelumnya. Pengukuran dilakukan dengan
sfigmomanometer air raksa yang cuff-nya cukup panjang sehingga dapat
menutup sedikitnya 80% dari lingkar lengan penderita. Penderita harus
duduk dengan lengan tidak tertutup pakaian dan disangga setinggi
jantung. Cuff dipompa sampai 20-30 mmHg di atas TDS dan kemudian
tekanan diturunkan dengan kecepatan 2-3 mmHg perdetik. Sebagai TDD
diambil Korotkoff fase V. Pengukuran dilakukan minimal 2 kali selang
sedikitnya 15 detik dan diambil nilai rata-ratanya. Bila 2 pengukuran
pertama berbeda lebih dari 5 mmHg, harus dilakukan pengukuran lagi (4).
Pengukuran TD dalam posisi duduk digunakan untuk skrining awal.
Untuk evaluasi lengkap, juga diukur TD dalam posisi berbaring dan berdiri;
yang terakhir ini setelah berdiri dengan tenang s\edikitnya 2 menit (4).
4. MEKANISME HIPERTENSI
Tekanan darah arteri diatur dalam batas-batas tertentu untuk perfusi
jaringan yang cukup tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem
vaskular, terutama intima arterial. TD arterial langsung seimbang dengan
hasil curah jantung dan resistensi vaskular perifer (gambar 1). Pada orang
normal dan hipertensi, curah jantung dan resistensi perifer diatur oleh
suatu mekanisme pengatur yang saling tumpang tindih: barorefleks
disalurkan melalui sistem saraf simpatik, dan sistem renin-angiotensin-
aldosteron (gambar 2). Obat-obat antihipertensi pada umumnya
menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan/atau
menurunkan resistensi perifier (5).
Aktivitas Simpatik
Aktivasi adrenoseptor β1
pada jantung
Aktivasi adrenoseptor α1 pada otot polos
Curah jantung
Resistensi Perifer
Penurunan TD
Aliran Darah Ginjal
Renin Angiotensin II
Aldosteron
Vol. darahRetensi AirNatrium
Laju Filtrasi Glomerular
Gambar 2. Respon sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk menurunkan TD
Kenaikan TD
a. Sistem Baroreseptor dan Sistem Saraf Simpatis
Barorefleks mencakup sistem saraf simpatis yang diperlukan
untuk pengaturan tekanan darah yang cepat dari waktu ke waktu.
Turunnya tekanan darah menyebabkan neuron-neuron yang
sensitif terhadap tekanan (baroreseptor pada arkus aorta dan
sinus karotid) akan mengirimkan impuls yang lebih lemah kepada
pusat-pusat kardiovaskular dalam sambungan sumsum. Ini akan
menimbulkan peningkatan respons refleks puast simpatik dan
penurunan pusat parasimpatik terhadap jantung dan pembuluh
yang mengakibatkan vasokontriksi dan meningkatkan isi sekuncup
jantung. Perubahan ini akan menurunkan kenaikan tekanan darah
kompensasi (5).
b. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
ginjal mengatur tekanan darah jangka panjang dengan mengubah
volume darah. Beroreseptor pada ginjal menyebabkan penurunan
tekanan darah (dan stimulasi reseptor β-adrenergik simpatik)
dengan cara mengeluarkan enzim renin. Peptidase ini mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutnya
dikonversi menjadi angiotensin II oleh enzim pengkonversi
angiotensin (ACE). Angiotensin II adalah vasokontriktor yang
sangat poten dalam sirkulasi, menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Lebih lanjut, angiotensin II ini memacu sekresi aldosteron,
sehingga reabsorbsi natrium ginjal dan volume darah meningkat,
yang seharusnya juga akan meningkatkan TD (5).
5. PENGOBATAN
Hipertensi ringan sampai sedang sering dapat dikendalikan dengan
pengobatan tunggal (biasanya tiazid atau bloker – β), tetapi semakin jelas
terlihat bahwa banyak pasien memerlukan kombinasi dua atau bahkan
tiga macam obat untuk bisa mengendalikan tekanan darah.
a. Diuretik Tiazid
Mekanisme bagaimana diuretik menurunkan tekanan darah
arteri tidak dikethui. Pada awalnya, tekanan darah turun karena
terdapat penuruna volume darah, aliran balik vena, dan curah
jantung. Secara bertahap curah jantung kembali normal, tetapi efek
hipertensi masih ada karena pada saat tersebut resistensi perifer
berkurang. Diuretik tidak mempunyai efek langsung pada otot polos
vaskular, dan vasodilatasi yang ditimbulkan tampaknya berkaitan
dengan penurunan sedikit tapi persisten kadar Na+ tubuh. Salah satu
mekanisme yang mungkin adalah penuruna Na+ di otot polos
menyebabkan penurunan sekunder pada Ca+ intraseluler sehingga
otot polos menjadi kurang responsif. Diuretik Tiazid dapat
menyebabkan hipokalemia, diabetes melitus, gout, dan mengubah
lemak darah secara ‘aterogenik’. Efek samping seperti impotensi dan
penurunan libido dilaporkan lebih sering terjadi pada penggunaan
Tiazid daripada bloker-β, tetapi saat ini diketahui bahwa tiazid
mempunyai kurva dosis-respon yang datar dan akhir-akhir ini tiazid
dosis rendah digunakan untuk menurunkan tekanan darah
menyebabkan efek metabolik yang tidak signifikan.
b. Bloker- β
Awalnya menyebabkan penurunan tekanan darah melalui
penurunan curah jantung. Dengan terapi yang kontinu, curah jantung
kembali normal, tetapi tekanan darah tetap rendah karena resistensi
vaskular perifer ‘berada’ pada tingkat yang lebih rendah dengan
mekanisme yang tidak diketahui. Mekanisme sentral telah dipikirkan,
tetapi tampaknya tidak demikian karen beberapa obat tidak bisa
dengan mudah melewati sawar darah otak. Blokade reseptor β1
dalam juksta glomerulus ginjal mungkin terlibat, tetapi beta bloker
hanya efektif pada pasien dengan kadar renin normal atau bahkan
rendah. Kelemahan beta bloker adalah efek samping yang sering
terjadi, seperti tangan dingin dan fatigue, dan efek yang jarang
terjadi namun serius, seperti provokasi asma, gagal jantung, atau
blok konduktansi. Beta bloker juga cenderung meningkatkan
trigliserida serum dan menurunkan kadar kolesterol lipoprotein
densitas tinggi (high-density lipoprotein, HDL). Semua beta bloker
cenderung menurunkan tekanan darah, tetapi paling tidak beberapa
efek samping dapat dikurangi dengan obat hidrofilik kardioselektif
(yaitu obat yang tidak dimetabolisme di hati dan tidak masuk ke otak)
seperti atenolol.
c. ACE Inhibitor
Angiotensin II adalah vasokontriktor kuat yang ada dalam
sirkulasi dan penghambatan sintesisnya pada pasien hipertensi
menyebabkan penurunan resistensi perifer dan tekanan darah. ACE
Inhibitor tidak mengganggu refleks kardiovaskular dan tidak
mempunyai banyak efek samping seperti diuretik dan beta bloker.
Efek yang tidak diinginkan yang sering terjadi adalah batuk kering
yang bisa disebabkan oleh peningkatan bradikinin (ACE juga
memetabolisme bradikinin). Efek samping dari ACE inhibitor yang
jarang terjadi namun serius adalah angiodema, proteinurea, dan
neutropenia. Dosis pertama bisa menyebabkan penurunan tekanan
darah yang sangat drastis, misalnya pada pasien dengan terapi
diuretik (karena pasien mengalami kekurangan Na+). ACE inhibitor
bisa menyebabkan gagal ginjal pada pasien dengan stenosis arteri
renalis bilateral, karena pada kondisi ini tampaknya angiotensin II
diperlukan untuk kontriksi arteri pascaglomerulus dan
mempertahankan filtrasi glomerulus yang cukup. Inhibisi
pembentukan angiotensin II berkurang, tetapiu tidak terganggu
secara serius, sekresi aldosteron, dan retensi K+ berlebih hanya
terjadi pada pasien yang mengkonsumsi suplemen kalium atau
diuretik hemat kalium (aldosteron meningkatkan reabsorpsi Na+ dan
ekskresi K+).
d. Angiontensin II Receptor Blockers (ARBs)
Obat-obatan ARBs (penyekat reseptor angiotensin II)
melindungi pembuluh darah dari efek angiotensin II, sebuah
hormone yang menyebabkan pembuluh darah menyempit. Banyak
obat ARBs tersedia, tetapi yang terbaik bagi pasien tergantung
pada kesehatan dan kondisi pasien.
Beberapa contoh obat-obatan ARBs adalah candesartan,
irbesartan, losartan, olmesartan, telmisartan, eposartan dan
valsartan.
Dokter memberi resep obat-obatan ini untuk mencegah,
mengobati, atau meredakan gejala-gejala tekanan darah tinggi,
gagal jantung, gagal ginjal pada penderita diabetes, dan penyakit
ginjal kronis.
Adapun efek samping obat-obat tersebut di atas antara lain
sakit kepala, pusing, hidung tersumbat, sakit punggung dan kaki
serta diare. Efek samping yang jarang tetapi serius adalah gagal
ginjal, gagal liver, bengkak jaringan. ARBs juga dapat
mengakibatkan kelahiran cacat sehingga harus dihindari
pemakaiannya selama hamil atau berencana untuk hamil.
e. Antagonis kalsium
Obat-obatan CCBs (antagonis kalsium) membantu agar
pembuluh darah tidak menyempit dengan menghambat kalsium
memasuki sel otot di jantung dan pembuluh darah. Dipembuluh
darah. Antagonis kalsium menimbulkan relaksasi arteri, sedangkan
vena kurang dipengaruhi sehingga tekanan menurun.
Ada dua jenis CCBs yaitu yang bereaksi cepat dan bereaksi
lambat. Pengobatan reaksi cepat bekerja dengan cepat, tetapi
efeknya hanya berlangsung beberapa jam. Sedangkan pengobatan
yang bereaksi lama membutuhkan waktu lebih lama untuk mulai
bekerja, tetapi efeknya juga lebih panjang. Pengobatan yang
terbaik untk pasien tergantung pada kesehatan dan kondisi
penyakit yang akan diobati.
Dokter meresepkan CCBs untuk kondisi-kondisi seperti tekanan
darah tinggi, nyeri dada, migrain, komplikasi aneurysm otak, denyut
jantung tak beraturan, raynaud”s disease, dan pulmonary
hypertention.
Dalam situasi tertentu, dokter mungkin memberikan CCBs
bersama obat antihipertensi lain atau obat penurun kolesterol
seperti statins. Efek samping CCBs adalah konstipasi, denyut
jantung cepat, ruam wajah, mengantuk, mual, dan bengkak pada
kaki.
Ada tiga jenis CCBs. Pertama adalah dihydropyridines, yang
tidak memperlanbat denyut jantung atau menyebabkan denyut
jantung abnormal. Contoh obat-obatan jenis ini adalah amlodipine,
nifedipine, felodipine, dan nisoldipine. Dua jenis lain adalah yang
nondihydropyridines yaitu verapamil dan diltiazem.
Beberapa CCBs bereaksi dengan produk-produk buah anggur.
Jangan mengkomsumsi obat ini bersama dengan buah anggur atau
jus anggur karena dapat mengurangi kemampuan liver untuk
membuang CCBs dari tubuh dan menghalangi efektivitas
pengobatan..
f. Vasodilator.
Vasodilator adalah pengobatan dengan melebarkan pembuluh
darah. Obat ini bekerja langsung pada otot-otot di dinding arteri,
membuat otot rileks, dan mencegah dinding menyempit. Akibatnya,
aliran darah mengalir lebih mudah melalui arteri, sehingga jantung
tidak bekerja keras memompa darah, dan tekanan darah menurun.
Contoh-contoh vasodilator adalah hydralazine dan minoxidil.
Obat ini dipakai untuk mengatasi hipertensi, preeklampsia atau
eklampsia, gagal jantung, dan pulmonary hypertension. Vasodilator
mempunyai efek samping amat keras sehingga biasanya hanya
dipakai sebagai usaha terakhir jika obat ini tidak mampu
mengontrol tekanan darah pasien.
Efek samping antara lain nyeri dada, denyut jantung cepat,
retensi cairan, mual, pusing, sakit kepala, hidung tersumbat, dan
pertumbuhan rambut yang cepat. Vasodilator juga dapat
meningkatkan risiko terserang penyakit lupus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, G., Bertram. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jilid I. Terjemahan Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Penerbit Salemba Medika. 2001. Jakarta.
2. Tjay H tan, Rahardja K. Obat – Obat Penting edisi 5. Gramedia. 2002. Jakarta
3. Prodjsudjadi W. Hipertensi : mekanisme dan penatalaksanaan. Jurnal neurosains vol 1 no 3. 2000. Jakarta. Available as PDF
4. Ganiswarna sulistia. Farmakologi dan terapi ed.IV. Universitas Indonesia, Jakarta. 2003.
5. Mary J. Mycek, Richard A. Harvey, Pamela C. Champe. Farmakologi : Ulasan Bergambar ed. 2. Alih bahasa, azwar agoes ; editor huriawati hartanto. Widya medika. 2001. Jakarta
6. Patrick M.M, Jill M.K, John C.R, Joseph T.D. Pharmacotherapy Principle & Practice. McGrawHill Medicine. 2008. Available as PDF