ggk n anemia
-
Upload
vesta-anjani-antares -
Category
Documents
-
view
718 -
download
4
Transcript of ggk n anemia
BAB I PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (CKD), biasanya mulai
terjadi bila LFG (laju filtrasi glomerulus) turun sampai 35ml/menit. Walaupun penyebab anemia pada
CKD terjadi karena defisiensi eritropoietin (EPO) tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempermudah
terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang
terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.anemia pada
CKD mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas dan
mortalitas. Penatalaksanaan anemia meliputi beberapa hal, yaitu terapi EPO, pemberian transfusi darah,
serta mengidentifikasi dan mencari etiologinya
Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya anemia pada pasien CKD yang menjalani hemodialisis
kronik, dan tak jarang ditemukan beberapa faktor sekaligus pada seorang pasien di antaranya:
1. Defisiensi EPO (penyebab utama)
2. Defisiensi besi (sering terjadi & perlu perhatian khusus)
3. Kehilangan darah (phlebotomy berulang untuk pemeriksaan laboraturium, retensi darah pada dialiser
atau tubing, perdarahan GI)
4. Hiperparatiroid berat
5. Inflamasi akut atau kronik
6. Infeksi
7. Masa hidup sel darah merah pendek
8. Toksisitas aluminium
9. Defisiensi asam folat
10. Hemoglobinopati
11. Hipotiroid
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
GINJAL
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang. Sebagai bagian dari sistem
urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah dan membuangnya bersama dengan
air dalam bentuk urin.
Ginjal merupakan organ vital yang berperan sangat penting sangat penting dalam mempertahankan
kestabilan dalam tubuh serta mengatur keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit dan asam basa dengan
cara menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorbsi selektif air, elektrolit dan non-elektrolit, serta
mengekskresi kelebihannya sebagai kemih.
Fungsi ginjal adalah
1. Membuang racun dan produk buangan/limbah dari darah. Racun di dalam darah diantaranya urea
dan uric acid. Jika kandungan kedua racun ini terlalu berlebihan, akan mengganggu metabolisme
tubuh.
2. Menjaga kebersihan darah dengan meregulasi seluruh cairan (aira dan garam) di dalam tubuh
3. Meregulasi tekanan darah. Ginjal menghasilkan enzim renin yang bertugas mengontrol tekanan
darah dan keseimbangan elektrolisis. Renin mengubah protein dalam darah menjadi hormon
angiotensis. Selanjutnya angiotensis akan diubah menjadi aldosterone yang mengabsorbsi sodium
dan air ke dalam darah.
4. Mengatur keseimbangan pH darah.
5. Memproses vitamin D sehingga dapat distimulasi oleh tulang
6. Memproduksi hormon erythropoiethin yang bertugas memproduksi sel darah merah di tulang
Ginjal dilalui oleh sekitar 1.200 ml darah per menit, suatu volume yang sama dengan 20 sampai 25 persen
curah jantung (5.000 ml per menit). Lebih 90% darah yang masuk ke ginjal berada pada korteks,
sedangkan sisanya dialirkan ke medulla.
GAGAL GINJAL KRONIK
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progesif dan lambat, biasanya
berlangsung beberapa tahun. Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak
nefron ginjal. Gambaran umum perjalanan ginjal kronik dapat diperoleh dengan melihat hubungahn
antara bersihan kreatinin dan kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) sebagai presentasi dari keadaan normal,
terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen urea darah (BUN) dengan rusaknya messa nefron secara
progressif oleh penyakit ginjal kronik.
Etiologi
Glomerulonefritis, nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati diabetik, penyebab
lain seperti hipertensi, obstruksi, gout, dan tidak diketahui.
Manifestasi Klinis
Umum :
fatiq, malaise, gagal tumbuh, debil
Kulit pucat, mudah lecet, rapuh, leukonikia
Kepala & leher fetor uremik. Lidah kering dan berselaput
Mata fundus hipertensif, mata merah
Kardiovaskular hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, uremik, diare yang
disebabkan antibiotic
Kemih Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, penyakit ginjal yang mendasari
Reproduksi Penurunan libido, impotensi, amenore, infertilitas, ginekomastia, galaktore
Saraf letargi, malaise, anoreksia, termor, mengantuk, kebingungan, flap, mioklonus, kejang, koma
Tulang hipertiroidisme, deefisiensi vitamin D
Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi ekstra tulang
Hematologi Anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan
Endokrin multiple
Farmakologi Obat-obat yang diekskresi oleh ginjal
Pemeriksaan Penunjang
Kreatinin plasma akan meningkat seiring dengan penurunan laju filtrasi glomerulus, dimulai bila lajunya
kurang dari 60 ml/menit. pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat
sel Burr pada anemia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal.
ANEMIA AKIBAT GAGAL GINJAL KRONIK
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) seringkali menyertai penderita Penyakit Ginjal Kronik
(PGK) yang bila tidak diatasi sedini mungkin, dapat mempengaruhi kualitas hidup. Komplikasi dari
anemia ini sendiri cukup banyak salah satunya komplikasi ke jantung yang dikenal dengan nama
Sindroma Kardiorenal (SKR). SKR terjadi karena peningkatan beban kerja jantung untuk
mengkompensasi anemia yang berlangsung terus menerus.
Berikut gambar hubungan antara PGK-Anemia-SKR
Berat ringannya anemia yang akan dialami PGK tentu berbeda, berkaitan dengan penyebab kerusakan
fungsi ginjalnya. Anemia pada PGK yang mengalami kerusakan di bagian interstitial ginjal, akan lebih
berat dibandingkan dengan PGK yang mengalami kerusakan pada bagian glomerulusnya. Sedangkan
PGK dengan kelainan polikistik, anemia yang menyertainya dapat lebih ringan bahkan bisa tidak disertai
anemia.
Penyebab utama anemia pada PGK adalah berkurangnya produksi hormon eritropoietin (EPO). Padahal
EPO ini diperlukan untuk merangsang sumsum tulang untuk membentuk sel-sel darah merah dalam
jumlah yang cukup. Dengan berkurangnya EPO maka berkurang pula jumlah sel-sel darah merah dalam
tubuh yang memicu timbulnya anemia. Selain itu kerusakan bagian glomerulus atau interstitial ginjal,
kurangnya asupan zat besi, asam folat dan vitamin B12 juga dapat sebagai penyumbang penyebab
anemia.
Untuk mendeteksi adanya anemia biasanya dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengukur kadar
Hb, yaitu bagian dari sel darah merah yang mengikat oksigen ke seluruh tubuh. Dari hasil pemeriksaan
tersebut seseorang dikatakan anemia bila kadar Hb < 12,5 g/dL( wanita) atau < 14 g/dL (pria)
Apabila anemia disebabkan karena penurunan kadar hormon EPO, maka terapi yang dianjurkan adalah
dengan memberikan suntikan EPO. EPO yang ada saat ini merupakan hasil teknologi rekombinan DNA
yang biasanya disuntikkan di bawah kulit (subkutan) atau pembuluh darah balik (vena), 1-2 kali
seminggu.
Dari hasil beberapa uji klinik pemberian suntikan EPO pada penderita PGK dengan hemodialisis
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar hemoglobin (Hb) dan peningkatan kualitas hidup yang
bermakna.
Efek samping yang dapat muncul dari suntikan EPO adalah peningkatan tekanan darah sehingga
pemberian dan dosisnya harus diperhatikan bagi mereka yang memiliki tekanan darah tinggi. Jadi
penggunaan EPO ini perlu pengawasan dan konsultasi dengan dokter yang berkompeten.
ETIOLOGI
Etiologi anemia pada gagal ginjal kronik terdiri dari:
1. Produksi eritropoeitin berkurang
2. Adanya faktor penghambatan eritropoetin
3. Hemolisis
Faktor-faktor pemberat:
1. Produksi eritropoetin menurun oleh
Infeksi
Malnutrisi
Nefrektomi
2. Hemolisis meningkat oleh
Obat-obatan
Hipofosfatemia
Mikrongiopati
Hiperslenisme
Hiperkupremia
3. Defisiensi
Besi
asam folat
4. Hipertirodisme
Pada penderita GGK terjadi kelainan dinding eritrosit karena perubahan dalam komposisi plasma.
Kelainan eritrosit lain yang dapat dijumpai pada GGK adalah akantosit, sel target, sferoit dan
ditemukannya Hein’s Bodies.
Sebab-sebab pemendekan masa hidup eritrosit:
1. Kelainan membran eritrosit oleh bahan yang dialisabel, berupa defek dalam kemampuan untuk
memompa ion natrium secara efektif keluar sel eritrosit.
2. Hemolisis mikroangiopati.
3. Menurunnya shunt pentosa-fosfat yang sebabnya belum bisa dijelaskan.
4. Hiperslenisme.
5. Hiperkupremia.
6. Hipofosfatemia.
PATOGENESIS
Pada dasarnya anemia pada GGK adalah akibat adanya defek eritropoesis terhadap rangsangan hipoksia.
Di samping itu sumsum tulang tidak bereaksi terhadap umur eritrosit yang memendek (sumsum yang
nongeneratif).
Ada 3 mekanisme yang berperan dalam defek eritropoesis pada GGK:
1. menurunnya produksi eritropoetin akibat kerusakan ginjal.
2. adanya perubahan afinitas hemoglobin tehadap oksigen ang berakibat meningginya efisiensi
pembebasan pembebasan oksigen jaringan secara relatif terhadap beratnya anemia.
3. adanya toksin dalam darah yang menghambat respon eritrosit terhadap eritropoesis.
Pada orang normal, kira-kira 90% dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam ginjal,sisanya terutama
dibentuk dalam hati. Namun sampai sekarang belum diketahui dengan pasti di bagian ginjal apa
eritropoetin dibentuk. Ada suatu kemungkinan yang cukup kuat bahwa sel-sel epitel tubulus ginjal lah
yang menyekresi eritropoetin, karena darah yang anemik tidak dapat mengirim cukup banyak oksigen
dari kapilar peritubular ke sel-sel tubular yang memakai banyak sekali oksigen, dengan demikian akan
merangsang produksi eritropoetin.
Manifestasi Klinis Anemia
Kadar Hb dan Ht merefleksikan massa sel darah yang beredar di sirkulasi, fungsi
utamanya untuk memenuhi kebutuhan oksigen jaringan. Defisiensi anemia menurut WHO adalah
apabila kadar Hb <12g%,>
Evaluasi Anemia pada Pasien Gagal Ginjal Kronik
Evaluasi anemia dimulai bila kadar Hb <10g%,>
§ Hb, Ht, trombosit
§ Morfologi eritrosit: MCV, MCH, sediaan apus
§ Hitung retikulosit
§ Analisis status besi
§ Pemeriksaan feses darah samar
Pengajian status besi meliputi:
§ Saturasi transferin
ST = (SI/TIBC)*100%
SI = Serum Iron
TIBC = Total Iron Binding Capacity
§ Ferritin serum
Anemia pada CKD dibedakan 2 macam:
§ Anemia dengan status besi cukup
Status besi cukup bila: Ferritin Serum > 100 µg/L dan Saturasi Transferin > 20%
§ Anemia dengan status besi kurang ada 2 macam:
Anemia defisiensi besi absolut: FS <>L dan ST <>
Anemia defisiensi besi fungsional: FS > 100 µg/L dan ST <>
Kadar ferritin serum menggambarkan jumlah cadangan besi tubuh, sedangkan saturasi transferin
menunjukkan jumlah besi yang beredar dalam sirkulasi.
PENGOBATAN UMUM
Transplantasi ginjal. Biasanya pada hari kelima sampai hari 20 setelah transplantasi,
eritropoesis mulai aktif.
Memperbaiki kondisi pasien infeksi, hemolisis, dehidrasi (dengan pengobatan dan
pemantauan lanjut).
Memperbaiki gizi
Medikamentosa dengan pemberian steroid androgen dan preparat kobalt.
Transfusi darah.
Pengobatan Anemia pada Pasien Hemodialisis Kronik
I. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu
sebelum diberikan terapi EPO
1. Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan
suntikan IM maupun oral, terutama pada pasien yang mendapat
EPO. Stimulasi eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO
menyebabkan kebutuhan besi meningkat dengan cepat yang
tidak tercukupi oleh asupan besi oral. Contoh preparat besi untuk
suntikan intravena : iron Dextran, Sodium ferric gluconate
complex, iron hydroxysaccharate.
a. Dosis uji coba (test dose) : dilakukan sebelum mulai terapi besi.
o 25 mg iron dextran di dalam 50 ml NaCl 0,9%, diberikan
intravena selama 30 menit. Bila tidak ada reaksi alergi,
lanjutkan dengan terapi induksi besi.
b. Terapi induksi besi :
Tujuannya adalah untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi
absolute dan fungsional, sampai kadar feritin serum mencapai >
100 µg/L dan ST >20%. Iron dextran 100 mg diencerkan dengan
50 ml NaCl 0.9 % diberikan IV selama 1-2 jam pertama
hemodialisis melalui venous blood line. Dosis ini diulang tiap
hemodialisis sampai 10x (dosis mencapai 1000 mg). Evaluasi
status besi dilakukan 2 minggu pasca terapi induksi besi. Bila
target status besi sudah tercapai (FS>100 µg/L dan ST >20%),
lanjutkan dengan terapi pemeliharaan besi. Bila target belum
tercapai, ulangi terapi induksi besi.
c. Terapi pemeliharaan besi
Efek samping terapi besi intravena adalah reaksi alergi dan
shock anafilaktik. Kontraindikasi terapi besi, antara lain bila
terdapat reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat, dan
kandungan besi tubuh berlebih.
2. Terapi besi intramuskuler
Merupakan terapi besi alternative bila preparat IV tak tersedia.
Jenis preparat yang tersedia adalah iron dextran. Suntikan pada
regio gluteus kuadran luar atas dengan teknik Z track injection.
Dosis ujicoba (0.5ml IM)
Dosis terapi induksi besi:
o Jika FS < 30 µg/L diberikan 6 x 100 mg dalam 4 minggu
o Jika FS 31 µg/L sampai <100>L diberikan 4 x 10mg dalam
4 minggu
Suntikan besi IM selain terasa sakit, juga dapat menyebabkan
komplikasi abses, perdarahan, dan kemungkinan terjadi
myosarkoma pada daerah suntikan.
3. Terapi besi oral
Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia
defisiensi besi yang tidak mendapat terapi EPO. Akan tetapi
sering hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena berbagai
hal seperti absorpsi besi yang tidak adekwat pada pasien
hemodialisis dan kurangnya kepatuhan minum obat akibat rasa
mual. Banyak penelitian yang menunjukan bahwa terapi besi oral
tidak memadai pada pasien yang mendapat EPO, namun
demikian tetap saja dapat diberikan bila preparat IV dan IM tidak
tersedia. Dosis minimal 200mg besi elemental perhari, dalam
dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah
reaksi alergi dan syok anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk
mengatasi keadaan ini harus disediakan sebelum terapi dimulai.
Kontraindikasi terapi besi antara lain bila terdapat
hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi
tubuh berlebih (iron overload).
II. Terapi Eritropoietin
Indikasi terapi EPO bila Hb <>> 100 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada
infeksi berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas
terhadap EPO dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan
hipertensi yang tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload
cairan.
1. Terapi induksi EPO.
Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4
minggu, Target respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4%
dalam 2-4 minggu atau Hb naik 1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar
Hb dan Ht dipantau setiap 4 minggu. Bila target respons
tercapai, pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10
g/dL). Bila target belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun
bila Hb naik terlalu cepat, 8 g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis
EPO 25 %. Selama terapi induksi EPO ini status besi di pantau
setiap bulan.
2. Terapi pemeliharaan EPO.
Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL atau Ht >
30%. Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis
Outcomes Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL
dan Ht 3336%. Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali
2000 IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa
setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.
3. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis
EPO diturunkan sebanyak 25%.
4. Terapi pemeliharaan besi
Bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eriptropoiesis selama pemberian terapi EPO, Target terapi
menjaga nilai Feritin serum dalam batas >100 ug/L - <500>20%
- <40%.>
Dosis terapi pemeliharaan besi:
o - IV : Iron Dextran 50 mg/minggu
o Sodium Ferric Gluconate Complex 62,5 mg 2x /minggu
o - IM : Iron Dextran 80 mg setiap 2 minggu
Selama terapi pemeliharaan besi, status besi diperiksa setiap 3
bulan. Bila ditemukan:
o - Status besi sesuai target: lanjutkan dosis terapi
pemeliharaan besi
o - FS > 500ug/L atau ST >40%, suplementasi besi di stop
selama 3 bulan.
o Bila setelah 3 bulan pemeriksaan ulang FS <500>
Respons Terapi EPO Tidak Adekuat:
Pada sebagian kecil pasien yang mendapat terapi EPO gagal mencapai
kenaikan Hb atau Ht yang dikehendaki. Ada banyak faktor yang
mempengaruhi respons EPO. Sebab yang paling sering dijumpai adalah
defisiensi besi fungsional. Disamping itu keadaan hiperparatiroid sekunder
dapat menurunkan respons EPO karena hormon ini mengganggu
eritropoeisis pada sumsum tulang. Sebab lain misalnya intoksikasi
Aluminium yang mengganggu absorbsi besi dan menurunkan respons seluler
besi. Adanya inflamasi, infeksi atau penyakit keganasan akan menurunkan
respons terapi EPO. Berbagai sebab lainnya adalah perdarahan kronik,
dialisis tidak adekuat, malnutrisi, defisiensi folat, hemoglobinopati, hemolisis
dan penyakit mielodisplasia.
Efek samping terapi EPO berhubungan dengan hipertensi, kejang dan
hipersensitivitas. Hipertensi dan kejang lebih sering terjadi pada saat terapi
induksi EPO, biasanya bila kenaikan Hb terlalu cepat.
III. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan
penularan penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV
dan potensi terjadinya kelebihan cairan (overload). Disamping itu
transfusi yang dilakukan berulangkali menyebabkan penimbunan
besi pada organ tubuh. Karena itu transfusi hanya diberikan
pada keadaan khusus, yaitu:
o Hb <>
o Hb <>
o Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik
o Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi
EPO atau yang telah dapat terapi EPO tapi respons belum
adekuat, sementara preparat besi IV/IM belum tersedia.
Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai
syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan
hati-hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama
dengan target pencapaian Hb pada terapi EPO. Transfusi
diberikan dalam bentuk Packed Red Cell, untuk menghindari
kelebihan cairan diberikan secara bertahap bersamaan dengan
waktu hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian
transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan
menimbulkan peningkatan mortalitas.
Terapi Adjuvan yang dapat Meningkatkan Optimalisasi Terapi EPO
Beberapa obat di bawah ini dapat meningkatkan optimalisasi terapi EPO,
yaitu:
Asam folat
Vitamin B6 dan Vitamin B12
Vitamin C, terutama bermanfaat pada anemia defisiensi besi
fungsional yang mendapat terapi EPO
Vitamin D, mempunyai efek langsung terhadap prekursor
eritroid
Vitamin E, mencegah induksi stres oksidatif yang diakibatkan
terapi besi intra vena.
Preparat androgen: bersifat hepatotoksik, karena itu harus
digunakan dengan hatihati,
KESIMPULAN
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya anemia pada pasien CKD yang menjalani Hemodialisis
kronik. Defisiensi eritropoietin merupakan penyebab utama, selain itu adanya defisiensi besi, kehilangan
darah kronik, dll turut berperan dalam kejadian anemia. Pengelolaan anemia hendaknya bersifat terpadu
dengan memperhatikan berbagai aspek seperti mencari faktor penyebab anemia, mengatasi defisiensi
besi, terapi EPO yang optimal disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia, Pemberian transfusi
darah dibatasi pada keadaan tertentu saja, Petugas medis harus waspada terhadap segala kemungkinan
yang potensial timbul akibat efek samping obat-obat yang diberikan, Berbagai bukti klinis menunjukkan
bahwa pengeloaan anemia yang optimal akan meningkatkan kualitas hidup dan menurunkankan
morbiditas dan mortalitas pasien.