Fraktur Pelvis Et Causa Osteoporosis

40
Fraktur Pelvis et causa Osteoporosis Theofilio Leunufna 102012065 B2 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta – 11510 [email protected] Pendahuluan Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan defenisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survei kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survei tahun 1970. Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat. 1 1

description

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.

Transcript of Fraktur Pelvis Et Causa Osteoporosis

Fraktur Pelvis et causa Osteoporosis

Theofilio Leunufna102012065B2Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaAlamat Korespondensi: Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta [email protected]

PendahuluanOsteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan defenisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah.Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survei kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%, meningkat 50% dibandingkan survei tahun 1970. Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat.1Sementara ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari 12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis. Ini menambah kejadian jutaan fraktur lainnya pertahunnya yang sebagian besar melibatkan lumbal vertebra, panggul dan pergelangan tangan (wrist). Fragility fracture dari tulang rusuk juga umum terjadi pada pria. Fraktur panggul paling sering terjadi akibat osteoporosis. Di AS, lebih dari 250.000 fraktur panggul pertahunnya merupakan akibat dari osteoporosis.2 Ini diperkirakan bahwa seorang wanita kulit putih usia 50 tahun mempunyai waktu hidup 17,5% berisiko fraktur femur proksimal. Insidensi fraktur panggul meningkat setiap dekade dari urutan ke 6 menjadi urutan ke 9 baik untuk wanita maupun pria pada semua populasi. Insidensi tertingi ditemukan pada pria dan wanita usia 80 tahun ke atas.3PembahasanUntuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.1Anamnesis1 Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik.Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-bearing.Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid, anti konvulsan, heparin, antasid yang mengandung aluminium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidronat.Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.Pemeriksaan Fisik1Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis. Demikian juga gaya berjalan penderita, deformitas tulang, leg-length inequality dan nyeri spinal.Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowages hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey).Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan Biokimia Tulang1Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam serum, ion kalsium, kadar fosfat di dalam serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin dan bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D.Kalsium serum terdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang terikat pada albumin (40%), kalsium ion (48%) dan kalsium kompleks (12%). Kalsium yang terikat pada albumin tidak dapat difiltrasi di glomerulus. Keadaan-keadaan yang mempengaruhi kadar albumin serum, seperti sirosis hepatik dan sindrom nefrotik akan mempengaruhi kadar kalsium total serum. Ikatan kalsium pada albumin sangat baik terjadi pada pH 7-8.Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang penting pada proses-proses fisiologik, seperti kontraksi otot, pembekuan darah, konduksi saraf, sekresi hormon PTH dan mineralisasi tulang. Pengukuran kadar ion kalsium jauh lebih bermakna daripada pengukuran kadar kalsium total.Ekskresi kalsium urin 24 jam juga harus diperhatikan walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan metabolisme tulang. Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium 100-250 mg/hari. Bila ekskresi kalsium kurang dari 100 mg/hari, harus dipikirkan kemungkinan adanya malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi kalsium oleh ginjal. Peningkatan ekskresi kalsium urin yang disertai asidosi hiperkloremik menunjukkan adanya asidosis tubular renal (RTA).Beberapa hal yang harus dipertimbangkan pada pemeriksaan petanda biokimia tulang adalah:1. Karena petanda biokimia tulang hanya dapat diukur dari urin, maka harus diperhatikan kadar kreatinin di dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi hasil pemeriksaan.2. Pada umumnya petanda formasi dan resorpsi tulang memiliki ritme sirkadian, sehingga sebaiknya di ambil sampel urin 24 jam atau bila tidak mungkin dapat digunakan urin pagi yang kedua, karena kadar tertinggi petanda biokimia tulang didalam urin adalah antara jam 4.00-8.00 pagi. Kadar OC dan PICP juga mencapai kadar tertinggi didalam serum antara jam 04.00-08.00.3. Petanda biokimia tulang juga sangat dipengaruhi oleh umur, karena pada usia muda juga terjadi peningkatan bone turnover.4. Terdapat perbedaan hasil pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya pada penyakit paget, BSAP lebih tinggi peningkatannya dibanding OC, terapi bifosfonat akan menurunkan Pyd dan Dpd yang terikat protein tanpa perubahan ekskresi Pyd dan Dpd bebas, sedangkan terapi estrogen akan menurunkan ekskresi Pyd dan Dpd urin, baik yang bebas maupun yang terikat protein.Manfaat pemeriksaan petanda biokimia tulang :1. Prediksi kehilanga massa tulang,2. Prediksi risiko fraktur,3. Seleksi pasien yang membutuhkan anti resorptif,4. Evaluasi efektifitas terapi.Pemeriksaan Radiologik1Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari 50% belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu, teknik dan tingginya kilovoltage juga mempengaruhi hasil pemeriksaan radiologik tulang.Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.Pemeriksaan Densitas Massa Tulang (Densitometri)1Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur pada densitas massa tulang yang menurun secara progresif dan terus menerus.Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan persis untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai densitas massa tulang adalah single-photon absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray absorptiometry (SPX) lengan bawah dan tumit; dual photon absorptiometry (DPA) dan dual-energy X-ray absorptiometry (DPX) lumbal dan proksimal femur; dan quantitative computed tomography (QCT).Magnetic Resonance Imaging (MRI)1MRI mempunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kelebihan berupa tidak adanya radiasi. Metode ini sedang banyak diteliti.Elemen mineral tulang dapat dinilai melalui gambaran karakteristik T2 decay berupa inhomogenitas yang disebabkan oleh pengaruh perbedaan sumsum tulangnya. Aplikasi MRI dalam menilai tulang trabekula melalui 2 langkah yaitu pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula. Pengaruh perbedaan medan magnet antara trabekula tulang dan sumsum tulang akan menghasilkan inhomogenitas spatial dalam medan magnet.Biopsi Tulang dan Histomorfometri1Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme tulang. Biopsi biasanya dilakukan didaerah transiliakal, yaitu 2 cm posterior SIAS dan sedikit inferior krista iliakal. Alat yang digunakan adalah jarum Bordier-Meunier.Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan metabolik tulang seperti osteoporosis pasca menopause, osteodistrofi renal, osteomalasia, rikets, hiperparatiroidisme primer, penyakit tulang akibat kelainan gastrointestinal kronik atau pasca operasi gastrointestinal.Diagnosis Kerja1Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya fraktur osteoporotik.Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur. Insiden fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur vertebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah umur 70-an. Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan akan menjadi jauh lebih tinggi daripada laki-laki.Densitas massa tulang juga berhubungan dengan risiko fraktur. Setiap penurunan densitas massa tulang 1 SD berhubungan dengan peningkatan risiko fraktur 1,5-3,0. Walaupun demikian, pengukuran densitas tulang tanpa memperhatikan umur pasien juga tidak ada manfaatnya. Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score 1 akan memiliki risiko fraktur lebih tinggi dibandingkan dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan terapi pada wanita yang berumur 80 tahun. Selain itu kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80 tahun yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih diprioritaskan untuk diterapi dari pada wanita yang berumur sama, tetapi aktivitas fisiknya sudah minimal.Perbedaan ras dan geografik juga berhubungan dengan risiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tinggi insidennya pada orang kulit putih dan lebih rendah pada orang kulit hitam di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan; demikian juga pada orang Jepang baik yang di tinggal di Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.Tabel 1. Faktor Risiko Osteoporosis.1UmurSetiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan risiko 1,4-1,8

GenetikEtnis (Kaukasus/Oriental > orang hitam/Polinesia)Gender (Perempuan > Laki-laki)Riwayat keluarga

LingkunganMakanan, defisiensi kalsiumAktifitas fisik dan pembebanan mekanikObat-obatan, misalnya kortikosteroid, anti konvulsan, heparinMerokokAlkoholJatuh (trauma)

Hormon endogen dan penyakit kronikDefisiensi estrogenDefisiensi androgenGastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

Sifat fisik tulangDensitas massa tulangUkuran dan geometri tulangMikroarsitektur tulangKomposisi tulang

Faktor risiko klinis1Sampai saat ini, telah diketahui berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang. Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur. Misalnya risiko terjatuh pada gangguan penglihatan, imobilisasi dan penggunaan sedatif akan menjadi risiko fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul, walaupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak menyadarinya. Penelitian meta-analisis yang berbasis populasi secara kohort mendapatkan berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik yang tidak tergantung pada BMD, yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur, riwayat fraktur panggul dalam keluarga, perokok, peminum alkohol yang berat dan artritis rheumatoid.Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporotik sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukorkotikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resoprsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai -1 dan BMD serial harus dilakukan tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada osteoporosis primer.Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya fraktur osteoporotik dikemudian hari dengan risiko 2 kali. Risiko ini terutama tampak pada fraktur vertebra. Penderita dengan 2 fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko untuk fraktur vertebra berikutnya sampai 12 kali lipat pada tingkat BMD manapun.Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya osteoporotik fraktur. Risiko ini tampak nyata pada orang dengan indeks massa tubuh < 20 kg/m2. Risiko fraktur pada orang kurus tidak bergantung pada BMD.Fraktur osteoporotik merupakan risiko yang penting terhadap kejadian fraktur pada masa yang akan datang, yaitu 2 kali dibandingkan orang yang tidak pernah mengalami fraktur. Risiko ini tampak nyata pada fraktur vertebra dengan tidak tergantung pada nilai BMD. Demikian juga riwayat fraktur osteoporotik dalam keluarga, merupakan risiko fraktur yang juga independen terhadap nilai BMD, terutama riwayat fraktur panggul dalam keluarga.Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan faktor risiko terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat dose-dependent. Demikian juga merokok yang merupakan faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen terhadap nilai BMD.Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi dengan glukokortikoid jangka panjang. Pada artritis rheumatoid, risiko fraktur osteoporotik tidak tergantung pada penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD.Osteoporosis Tipe I dan II1Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada pathogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipa II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.Peran estrogen pada tulang1Estogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid (PTH).Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera pada Tabel 2. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.Tabel 2. Faktor Risiko Fraktur Panggul.1Terjatuh

Penurunan respon koletifKelainan neuromuskularGangguan penglihatanGangguan keseimbangan

Gangguan penyediaan energiMalabsorpsi

Peningkatan fragilitas tulangDensitas massa tulang rendahHiperparatiroidisme

Diagnosis BandingOsteopeniaOsteopenia adalah suatu kondisi dimana kepadatan mineral tulang (BMD/Bone Mineral Density) anda lebih rendah dari puncak BMD normal tetapi tidak cukup rendah untuk diklasifikasikan sebagai osteoporosis. Kepadatan mineral tulang adalah pengukuran tingkat mineral dalam tulang yang menunjukkan kepadatan dan kekuatannya. Jika BMD anda lebih rendah dibandingkan dengan BMD puncak normal, anda dikatakan mempunyai osteopenia.Osteomalasia4Osteomalasia merupakan kelainan generalisata pada tulang orang dewasa yang ditandai oleh kegagalan deposisi garam kalsium ke dalam matriks osteoid yang baru terbentuk. Pada osteomalasia tidak terlihat perubahan lempeng pertumbuhan karena tulang orang dewasa sudah tidak bertumbuh. Penyakit ini ditandai oleh kurangnya mineral dari tulang pada orang dewasa (menyerupai penyakit ricketsia pada anak-anak), berlangsung kronis dan dapat terjadi deformitas skeletal yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D.Patogenesis Osteoporosis Tipe I1Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petandan resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6 dan TNF- yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat.Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa 1,25(OH)2D, sehingga pemberian estrogen akan meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)2D didalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D.Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penurunan rangsangan respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin dan kalsium yang terikat garam kompleks, kadar ion kalsium tetap sama dengan keadaan premenopausal.Gambar 1. Patogenesis Osteoporosis Tipe I.1

Gambar 1. Patogenesis Osteoporosis Pasca Menopause.1

Patogenesis Osteoporosis Tipe II1Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinal sebesar 42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke delapan dan sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang independen terhadap BMD. Peningkatan osteoklasin seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih menunjukkan peningkatan turnover tulang dan bukan peningkatan formasi tulang.Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi osteoblas pada orangtua, diduga karena penurunan kadar estrogen dan IGF-1.Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsoprsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein. Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama).Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. Demikian jug kadar testosterone pada laki-laki. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak akan pernah mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang terbekular pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan menigkatkan risiko fraktur tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada laki-laki tua, peningkatan resorpsi tulang panjjang akan diikuti peningkatan formasi periosteal, sehinga diameter tulang panjang akan meningkat dan menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab tunggal.Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis Tipe II dan Fraktur.1

Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis Tipe II dan Fraktur.1

Osteoporosis Akibat Glukokortikoid1Glukokortikoid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun. Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak. Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbs kalsium di usus dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid juga akan menekan produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun. Dengan adanya peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali, Oleh sebab itu terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai 1 dan BMD serial harus dilakukan tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti pada osteoporosis primer.Efek glukokortikoid pada tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun.Insidens yang pasti fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednisone lebih dari 7,5 mg/hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.Efek Glukokortikoid pada Tulang11. HistomorfometriSecara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, penginkatan berbagai parameter resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.2. Efek pada osteoblas dan formasi tulangPenggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen. Replikasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.3. Efek pada resorpsi tulangIn vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh glukokortikoid.4. Efek pada hormon seksGlukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosterone oleh testis. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada pemberian steroid.5. Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjalPenggunaan glukortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transpor aktif transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal menurun secara bermakna pada penggunaan glukokortikoid. Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH) akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang menggunakan glukokortikoid. Gangguan transpor ini akan makin memburuk pada asupan natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan asupan natirum dan pemberian diuretik tiazid.6. Efek pada metabolisme hormon paratiroid dan vitamin DKadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH)2D) didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transpor kalsium. Glukokortikoid meningkatkan sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan menghambat sintesis kolagen.Efek 1,25(OH)2D juga dihambat oleh glukokortikoid, walaupun kadar 1,25(OH)2D meningkat didalam darah. Hal ini diduga akibat perubahan responns membran sel dan perubahan reseptor. Ekspresi osteoklasin oleh osteoklas yang dirangsan oleh 1,25(OH)2D, juga dihambat oleh glukokortikoid.7. Efek pada sitokinInterleukin-1 (IL-1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan resorpsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6 oleh limfosit T. Pada penderita artritis rheumatoid, pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.8. OsteonekrosisOsteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humer dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.Fraktur4Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskerpansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskular. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum dapat ditentukan.Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan jenis dan kedudukan fragmen fraktur. Foto Roentgen harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah tuang harus diletakkan di pertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus. Bila sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar kurang jelas, dan berbeda dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang tegak lurus. Persendian proksimal maupun distal harus tercakup dalam foto. Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang, sebaiknya dibuat foto yang sama dari ekstremitas kontralateral yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian tentang adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu; retak akan menjadi nyata karena hiperemia setempat disekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai dekalsifikasi.Pemeriksaan khusus seperti CT-scan atau MRI kadang diperlukan, misalnya pada kasus fraktur vertebra yang disertai gejala neurologis.Klasifikasi fraktur4Secara klinis, fraktur dibagi menurut ada-tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka memungkinkan masuknya kuman dari luar ke dalam luka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi. (lihat Tabel 3 dan Gambar 3)Tabel 3. Derajat Fraktur Terbuka.4DerajatLukaFraktur

ILaserasi < 1cm,kerusakan jaringan tidak berarti,relatif bersih.Sederhana, dislokasi fragmen minimal.

IILaserasi > 1cm,tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi,ada kontaminasi.Dislokasi fragmen jelas.

IIILuka lebar dan rusak hebat atau hilangnya jaringan disekitarnya,kontaminasi hebat.Komunitif, segmental, fragmen tulang ada yang hilang.

A

B

C

Gambar 3. Fraktur Terbuka. (A) Derajat I, (B) Derajat II, (C) Derajat III.4

Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplet atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa, oblik, spiral, kompresi, simple, kominutif, segmental, kupu-kupu, dan impaksi (termasuk impresi dan inklavasi) (lihat Gambar 4). Menurut lokasi patahan di tulang, fraktur dibagi menjadi fraktur epifisis, metafisis, dan diafisis (lihat Gambar 5).Sedangkan dislokasi atau berpindahnya ujung tulang patah disebabkan oleh berbagai kekuatan, seperti cedera, tonus atau kontraksi otot, dan tarikan.

Gambar 4. Jenis-Jenis Patah Tulang.4

Gambar 5. Klasifikasi Fraktur Menurut Lokalisasi. (1) Fraktur Metafisis, (2) Fraktur Diafisis, (3) Fraktur Epifisis.4

Karena pada anak-anak masih ada lempeng pertumbuhan (lempeng epifisis), dapat terjadi fraktur pada lempeng epifisis yang oleh Salter-Harris dibagi menjadi lima tipe (lihat Gambar 6). Pada tipe I, terjadi pemisahan total lempeng epifisis tanpa adanya patah tulang. Sel-sel pertumbuhan lempeng epifisis masih melekat pada epifisis. Fraktur ini terjadi akibat adanya gaya potong (shearing force) pada bayi baru lahir atau anak-anak kecil. Fraktur ini cukup diatasi dengan reduksi tertutup karena masih ada perlekatan periosteum yang intak. Prognosis biasanya baik bila direposisi dengan cepat.Fraktur epifisis tipe II merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan. Pada tipe ini, garis fraktur berjalan di sepanjang lempeng epifisis dan membelok ke metafisis sehingga membentuk suatu fragmen metafisis seperti segitiga yang disebut tanda Thurston-Holland. Sel-sel pertumbuhan pada lempeng epifisis juga masih melekat. Trauma yang menghasilkan jenis fraktur ini biasanya adalah trauma bergaya potong dan bengkok pada anak-anak yang lebih tua. Periosteum mengalami robekan pada daerah konveks tetapi tetap utuh pada daerah konkaf. Reposisi secepatnya tidak begitu sulit dilakukan. Bila reposisi terlambat, harus dilakukan pembedahan. Prognosis fraktur epifisis tipe II baik, kecuali jika terjadi kerusakan pembuluh darah.Fraktur lempeng epifisis tipe III merupakan fraktur intra-artikuler. Garis fraktur berjalan dari sendi menerobos lempeng epifisis lalu memotong sepanjang garis lempeng epifisis. Jenis fraktur intra-artikuler ini biasanya ditemukan pada epifisis os tibia bagian distal. Karena intra-artikuler, fraktur ini harus direduksi secara akurat. Sebaiknya dilakukan operasi terbuka dan fiksasi interna dengan pin.Fraktur lempeng epifisis tipe IV juga merupkan fraktur inter-artikuler yang garis frakturnya menerobos permukaan sendi ke epifisis, ke lapisan paling lempeng epifisis, hingga ke sebagian metafisis. Contoh tersering fraktur jenis ini adalah fraktur kondilus lateralis humeri pada anak-anak. Pengobatannya adalah reduksi terbuka dan fiksasi interna karena fraktur tidak stabil akibat tarikan otot. Prognosisnnya jelek bila reduksi tidak dilakukan dengan baik.Fraktur lempeng epifisis tipe V merupakan fraktur akibat hancurnya epifisis yang diteruskan ke lempeng epifisis. Biasanya terjadi pada daerah sendi penopang badan, yaitu sendi pergelangan kaki dan sendi lutut. Diagnosis fraktur jenis ini sulit karena secara radiologik tidak tampak kelainan. Prognosis jelek karena dapat terjadi kerusakan sebagian atau seluruh lempeng pertumbuhan.Karena anak-anak masih mengalami pertumbuhan, penyembuhan fraktur pada anak masih memungkinan terjadinya remodeling yang dapat memperbaiki angulasi dan diskrepansi, tetapi tidak ada perbaikan deformitas rotasi. Pada anak dapat terjadi raktur inkomplet yang menimbulkan pembengkokan (seperti ranting yang masih hijau) disebut greenstick fracture.Gambar 6. Klasifikasi Fraktur Lempeng Epifisis Menurut Salter-Harris.4

Fraktur Tulang Panggul4Gambar 7. Pelvis.5

Fraktur pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut (degloving), memar, atau hematom di daerah pinggang, sakrum, pubis, atau perineum.Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan gerakan abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara hati-hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke belakang simfisis pubis dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul (lihat Gambar 8). Kemudian dicari adanya gangguan penyerta lain seperti retensi urin hematuria, dan dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk menilai tulang sakrum dan tulang pubis.

Gambar 8. Pemeriksaan Nyeri Secara Tidak Langsung pada Kecurigaan Adanya Patah Tulang Panggul.4

Umumnya pemeriksaan radiologi diperlukan. Pada patah tualng yang melibatkan asetabulum, CT-scan amat berguna untuk melihat dengan tepat posisi fraktur dan hubungan antar fragmen. Perlu diketahui apakah fraktur pelvis tersebut disertai kerusakan kontinuitas kolom penunjang berat badan, yaitu kolom mulai dari vertebra ke sendri sakroiliaka, tulang ilium, asetabulum, dan sendi panggul sampai tulang femur. Penilaian ini penting untuk menentukan kapan penderita boleh menyangga berat badannya (lihat Gambar 9). Ada dua jenis fraktur pelvis, yaitu fraktur yang tidak merusak gelang pelvis dan fraktur yang merusak gelang pelvis.Gambar 9. Berbagai Jenis Patah Tulang Panggul. (A-C) Kompresi AP, (D-E) Kompresi Lateral, (F) Vertikal.4

Penanganan darurat yang pelu dilakukan terutama adalah terhadap perdarahan dalam dan ekstravasasi urin. Fraktur yang merobek pembuluh darah, seperti a. gluteus superior, dapat menyebabkan syok yang harus segera diatasi. Selanjutnya dicari kemungkinan trauma ikutan pada kandung kemih atau uretra. Bila terdapat trauma kandung atau trauma multiple, tindakan efektif untuk fraktur pelvis yang tidak stabil adalah ORIF (open reduction internal fixation) atau OREF (open reduction external fixation). Patah tulang pelvis terisolasi yang tidak merusak gelang pelvis dan tidak merusak kolom penunjang berat badan tidak mengganggu stabilitas pelvis dalam fungsinya sebagai penyangga dan mobilisasi, sehingga tidak diperlukan reposisi. Fraktur os ilium akibat trauma-langsung menimbulkan nyeri hebat. Analgesik diberikan sampai nyeri hilang. Umumnya, penderita dapat kembali berjalan tanpa nyeri setelah beberapa minggu sampai dua bulan. Untuk fraktur yang merusak gelang pelvis tanpa pergeseran hebat fragmen patah tulang dan yang tidak merusak kontinuitas kolom penunjang berat badan, pasien dianjurkan beristirahat sampai nyeri dapat ditolerir. Fraktur ramus pubis akibat jatuh atau trauma kangkang masuk dalam kategori ini. Fraktur ramus pubis ini bisa disertai robekan uretra atau ruptur kandung kemih. Fraktur yang merusak gelang pelvis dibedakan atas tiga jenis yaitu (1) fraktur akibat trauma kompresi anteroposterior, (2) fraktur akibat kompresi lateral dengan atau tanpa kombinasi rotasi pada salah satu sisi pelvis, dan (3) fraktur akibat trauma vertikal.Patah tulang kompresi anteroposterior akibat benturan keras dari arah depan membuat kedua sendi sakroiliaka merekah. Keadaan ini sulit terlihat dengan pemeriksaan Roentgen. Jarak antara simfisis pubis dapat ditutup dengan rotasi interna penuh pada kedua tulang inominata. Umumnya, perawatan dengan ayunan pelvis di dalam kain ambin memenuhi syarat imobilisasi secara memadai.Fraktur kompresi lateral sebagai akibat pukulan atau cedera keras pada satu sisi pelvis dapat menyebabkan fraktur ramus pubis sehingga bergeser dan merusak sakrum, sendi sakroiliaka, atau ala os ilium pada sisi trauma. Dapat terjadi reposisi spontan saat pasien berbaring pada permukaan keras. Kadang diperlukan traksi kontinu tungkai bawah dengan posisi abduksi dan pemasangan ayunan pelvis untuk mendapatkan dan mempertahankan reposisi. Jika garis fraktur terus berlanjut ke sakrum, pleksus sakralis dapat terobek.Fraktur akibat trauma vertikal timbul pada pembebanan vertikal yang mendadak, misalnya jatuh dari ketinggian. Biasanya fraktur ini tidak stabil dan memerlukan traksi skelet kontinu dengan pin pada femur untuk mereposisi dan mempertahankan posisi. Bila fragmen bawah terputar ke ventral, traksi dilakukan pada posisi panggul ekstensi, sedangkan bila fragmen distal terputar ke belakang, traksi dilakukan pada posisi panggul fleksi. Karena terdapat risiko pergeseran kembali segmen fraktur yang bebas, traksi harus dipertahankan selama tiga bulan.PenatalaksanaanFarmako1Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerjas osteoklas (anti resorptif) dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bifosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek anti resorptif maupun simulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis menjadi tidak efektif.Tabel 3. Daftar Obat Osteoporosis yang ada di Indonesia.1KelompokNama GenerikKemasanDosis

BifosfonatRisedronat

Alendronat

IbandronatZoledronatTablet 35 mg, 5 mg

Tablet 70 mg, 10 mg

Tablet 150 mgVial 4mgOsteoporosis : 35 mg, seminggu sekali atau 5 mg/hariOsteoporosis : 70 mg, seminggu seklai atau 10 mg/hariOsteoporosis : 150 mg sebulan sekaliOsteoporosis : 5 mg per-drip selama 15 menit, diberikan setahun sekali

Selective estrogen receptor modulators (SERMs)RaloksifenTablet 60 mgOsteoporosis : 60 mg/hari, setiap hari

KalsitoninKalsitoninAmp 50 mg/ml, 100 mg/mlOsteoporosis : 200 IU/hari nasal spray

Strontium ranelatBubuk, 2 gr/bungkusOsteoporosis : 2 gr.hari, dilarutkan dalam air, diminum pada malam hari, atau 2 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan

Non-FarmakoLatihan dan Program Rehabilitasi1Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang.Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat.Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang terganggu keseimbangannya.Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan tangan, terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan, menggunakan kacamata dan lain sebagainya. Pada umumnya fraktur pada penderita osteoporosis disebabkan oleh terjatuh dan risiko terjatuh yang paling sering justru terjadi di dalam rumah, oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan dengan baik, dan keluarga juga harus dilibatkan dengan tindakan-tindakan pencegahan ini.Pembedahan1Pembedahan pada penderita osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita osteoporosis adalah :1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur bila diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan, sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur yang lebih lanjut2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin3. Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada penderita yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporosis dengan bifosfonat atau raloksifen, atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.Komplikasi dan Prognosis6Mereka yang paling berisiko untuk patah tulang akibat dampak osteoporosis di masa depan adalah mereka yang telah menderita osteoporosis di masa lalu. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bagi wanita postmenopause yang telah mengalami patah tulang belakang dalam 12 bulan sebelumnya juga akan mengalami patah tulang berikutnya dalam 12 bulan mendatang. Hal tersebut adalah statistik yang agak serius dan menjadi alasan bahwa manajemen perawatan dini dan agresif osteoporosis harus dilakukan sesegera mungkin. Dengan pengobatan agresif dan jangka panjang ditujukan agar penderita dapat secara signifikan mengurangi risiko untuk patah tulang yang terkait dengan osteoporosis.Komplikasi osteoporosis sangat terkait dengan morbiditas dan mortalitas kelompok masyarakat. Beberapa orang yang menderita osteoporosis juga menderita nyeri, penurunan kualitas hidup, dan untuk beberapa orang bahkan cacat permanen. Sering kali bagi mereka yang menderita dari fraktur osteoporosis mereka tidak pernah sepenuhnya pulih.Edukasi dan Pencegahan11. Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun suplementasi.3. Hindari merokok dan minum alkohol.4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada wanita.5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis.6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis.7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obatan sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik.8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang-orang yang kurang terpajan sinar matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga ada defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH)2D harus dipertimbangkan.9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi asupan natrium sampai 3 gr/hari untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari)10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin.11. Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat artritis inflamatif yang aktif.KesimpulanDeteksi pasien yang mempunyai risiko fraktur osteoporosis seperti pada wanita menopause usia diatas 50 tahun adalah sangat penting, demi menghindari komplikasi yang akan terjadi seperti fraktur. Osteoporosis dapat dibagi dalam bentuk primer dan bentuk sekunder. Osteoporosis perlu dicurigai pada pasien dengan fraktur tulang akibat trauma ringan, tubuh makin pendek, lordosis dorsal bertambah dan nyeri tulang (terutama nyeri pinggang).Untuk membedakan berbagai jenis osteopenia perlu dilakukan pemeriksaan biokimia, radiologis termasuk densitometri tulang dan bila perlu dilakukan biopsi. Diagnosis yang tepat akan memberikan pula hasil pengobatan yang adekuat.

Daftar Pustaka1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2650-73.2. Riggs BL, Melton LJ. The worldwide problem of osteoporosis: insights afforded by epidemiology. 3rd ed. PMID; 2005. p. 505.3. MerckMedicus Modules. 2008. Osteoporosis-epidemiology. Merck & Co., Inc. Diunduh dari http://www.merckmedicus.com.4. Sjamsuhidajat R, de Jong. Buku ajar ilmu bedah. Ed. 3. Jakarta: EGC; 2010. h. 1000, 1040-3, 1063-4.5. Putz R, Pabst R. Sobotta: atlas anatomi manusia. Ed. 22. Jakarta: EGC, 2006. h. 264.6. Rasjad C. Fraktur vertebrae dalam pengantar ilmu bedah ortopedi. Ed. 2. Makasar: Bintang Lamumpatue; 2005. h. 144-5.

1