Perdarahan Fraktur Pelvis
-
Upload
lalabahagia -
Category
Documents
-
view
32 -
download
0
description
Transcript of Perdarahan Fraktur Pelvis
catatan kecilDecember 16, 2009
Manajemen Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam-Jiwa
Filed under: Bedah,med papers — ningrum @ 7:29 pm
Manajemen Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang Mengancam-Jiwa
David J. Hak, MD, MBA , Wade R. Smith, MD , Takashi Suzuki, MD
ABSTRAK
Pengobatan penyelamatan-hidup darurat dibutuhkan untuk fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi dengan perdarahan dan instabilitas hemodinamik yang
menyertainya. Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan
perawatan krisis telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan
hidup. Pengikat pelvis secara luas telah menggantikan celana anti-syok militer
(military antishock trousers). Ketersediaan dan ketelitian intervensi angiografi telah
dikembangkan secara luas. Fiksasi pelvis eksternal dapat diterapkan dengan cepat,
seringkali mengurangi volume pelvis, dan memberikan stabilisasi fraktur
sementara. Balutan pelvis, dipopulerkan di Eropa, saat ini digunakan pada pusat-
pusat tertentu di Amerika Utara. Penggunaan algoritma pengobatan yang telah
dibakukan mungkin memperbaiki pengambilan keputusan dan angka ketahanan
hidup pasien. Keterlibatan aktif seorang ahli bedah ortopedi yang berpengalaman
penting dalam evaluasi dan perawatan pasien-pasien yang terluka secara serius.
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan
jiwa. Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum namun
terutama lazim dengan fraktur berkekuatan-tinggi. Kira-kira 15–30% pasien dengan
cedera pelvis berkekuatan-tinggi tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin
secara langsung dihubungkan dengan hilangnya darah dari cedera pelvis.
Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur
pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis
berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
Perdarahan sehubungan fraktur pelvis menuntut evaluasi yang efisien dan
intervensi yang cepat. Evaluasi dan perawatan pasien dengan fraktur pelvis
membutuhkan sebuah pendekatan multidisiplin. Meskipun ahli trauma bedah umum
pada akhirnya mengarahkan pengobatan seseorang dengan cedera multipel,
penting bagi pasien dengan fraktur pelvis agar ahli bedah ortopedi ikut terlibat
dalam setiap fase pengobatan, termasuk resusitasi primer. Penilaian dini oleh ahli
bedah ortopedi yang mengenal pola fraktur pelvis memudahkan tim pengobatan
untuk membangun diagnosa dan prioritas pengobatan, dan mempercepat
pembentukan manuver penyelamatan-hidup. Sebuah pemahaman seksama
terhadap sumber perdarahan potensial dan kesadaran akan pilihan pengobatan
adalah penting bagi semua dokter yang terlibat.
ANATOMI
Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang:
sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium
dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior
pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada
simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat
badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.
Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh
struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat
oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat
longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca
posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale.
Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan
ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan
kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca
posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan
ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis.
Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus
sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum
iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima
sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari
processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).
Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.
Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada
pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran
pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi
sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri
glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke
sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas
tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri
umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan
arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan
dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur
ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera
selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis
akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih
mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan
mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.
Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak
pada dinding dalam pelvis
EVALUASI PASIEN
Evaluasi lengkap penting pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-
tinggi karena kejadian ini jarang terjadi sebagai cedera tersendiri. Daya yang sama
yang menyebabkan disrupsi cincin pelvis sering dihubungkan dengan cedera
abdomen, kepala, dan toraks. Sebagai tambahan terhadap cedera-cedera ini, 60-
80% pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain
dengan cedera muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera urogenital dan
8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.
Dibutuhkan sebuah rencana untuk penilaian dan pengobatan berkelanjutan
pada pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Tim antar cabang ilmu,
termasuk ahli bedah umum, ahli bedah ortopedi, wakil dari penyimpanan darah,
seorang ahli intervensi radiologi, diperlengkap untuk menilai dan mengelola
gambaran cedera sehubungan dengan fraktur pelvis. Prioritas harus diberikan pada
evaluasi dan perawatan masalah jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Evaluasi dan
manajemen syok hipovolemik adalah wajib sambil menstabilkan jalan nafas dan
pernafasan.
Hipotensi dihubungkan dengan meningkatnya resiko kematian, Adult
Respiratory Distress Sybdrome, dan kegagalan organ multipel. Hipotensi terkait
dengan trauma tumpul mungkin disebabkan sejumlah penyebab, termasuk
kompromi hipovolemik, septik, kardiak atau neurologis. Pencarian yang cepat dan
sistematik terhadap sumber hipotensi harus dilakukan. Syok hemoragik merupakan
penyebab tersering hipotensi pada pasien trauma tumpul. Seorang pasien dapat
menjadi hipotensif akibat kehilangan darah terkait dengan satu lokasi perdarahan
atau kombinasi dari banyaknya lokasi perdarahan. Pemeriksaan fisik, radiografi
dada, dan tube torakostomi akan mendeteksi kemunculan dan beratnya kehilangan
darah intratorakal. Pemeriksaan fisik abdomen mungkin tidak terlalu jelas pada
pasien yang tidak responsif. Namun, rongga intraabdomen harus dikecualikan
sebagai kemungkinan sumber perdarahan pada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik. Evaluasi emergensi paling sering dibuat dengan pemeriksaan
sonografi abdominal terfokus untuk trauma atau focusedabdominal sonography for
trauma/FAST.
Perdarahan dari lokasi fraktur pelvis jarang sebagai satu-satunya penyebab
kehilangan darah pada pasien dengan cedera multipel, dan perdarahan masif dari
fraktur pelvis itu sendiri luar biasa. Pada satu seri besar pasien dengan fraktur
pelvis, perdarahan mayor muncul pada lokasi non-pelvis. Meskipun demikian,
fraktur pelvis harus dipertimbangkan diantara berbagai lokasi paling mencolok
perdarahan yang signifikan pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik,
terutama sekali ketika usaha awal untuk mengontrol perdarahan dari sumber lain
gagal menstabilkan pasien. Pada kasus-kasus dugaan perdarahan fraktur pelvis,
stabilisasi pelvis sementara harus segera terjadi selama evaluasi dan resusitasi
awal. Stabilisasi sementara dapat terdiri atas pengikat pelvis atau lembaran
sederhana yang dibungkuskan dengan aman disekeliling pelvis dan diamankan
dengan pengapit kokoh.
Hebatnya kehilangan darah dapat ditentukan pada evaluasi awal dengan
menilai pulsasi, tekanan darah, dan pengisian kembali kapiler. Sistem klasifikasi
ATLS dari American College of Surgeons berguna untuk memahami manifestasi sehubungan
dengan syok hemoragik pada orang dewasa (tabel 1). Volume darah diperkirakan 7% dari berat badan
ideal, atau kira-kira 4900 ml pada pasien dengan berat badan 70 kg (155 lb).
Tabel 1. Klasifikasi Perdarahan ATLS
Kelas Rata-rata
Kehilangan
Darah
(mL)
Volume
Darah
(%)
Tanda dan Gejala
Umum
Kebutuhan
Resusitasi
I < 750 < 15 Tidak ada perubahan
denyut jantung,
pernafasan dan tekanan
darah
Tidak ada
II 750 – 1500 15 – 30 Takikardi dan takipnoe;
tekanan darah sistolik
mungkin hanya menurun
sedikit; sedikit pnoe;
tekanan darah sistolik
mungkin hanya menurun
sedikit; pengurangan
pengurangan output urin
(20-30 mL/jam)
Biasanya larutan
kristaloid
tunggal, namun
beberapa pasien
mungkin
membutuhkan
transfusi darah
III 1500 – 200030 – 40 Takikardi dan takipnoe
yang jelas, ekstremitas
dingin dengan pengisian-
kembali kapiler
terlambat secara
signifikan,menurunnya
tekanan darah sistolik,
menurunnya status
mental,
menurunnyaoutput urin
(5-15 mL/jam)
Seringnya
membutuhkan
transfusi darah
IV > 2000 > 40 Takikardia jelas, tekanan
darah sistolik yang
Perdarahan yang
membahayakan-
menurun secara
signifikan, kulit dingin
dan pucat, mental status
yang menurun dengan
hebat,output urin yang
tak berarti
jiwa
membutuhkan
transfusi segera
Perdarahan kelas 1, didefinisikan sebagai kehilangan darah <15% dari total
volume darah, mendorong pada tidak adanya perubahan terukur pada kecepatan
jantung atau pernafasan, tekanan darah, atau tekanan nadi dan membutuhkan
sedikit atau tidak adanya perawatan sama sekali. Perdarahan kelas 2 didefinisikan
sebagai kehilangan darah 15-30% volume darah (750-1500 ml), dengan tanda-
tanda klinis termasuk takikardia dan takipnoe. Tekanan darah sistolik mungkin
hanya sedikit menurun, khususnya ketika pasien berada pada posisi supinasi, akan
tetapi tekanan nadi menyempit. Urin output hanya menurun sedikit (yaitu, 20-30
ml/jam). Pasien dengan perdarahan kelas 2 biasanya dapat diresusitasi dengan
larutan kristaloid saja, namun beberapa pasien mungkin membutuhkan transfusi
darah.
Perdarahan kelas 3 didefinisikan sebagai kehilangan 30-40% (1500-2000 ml)
volume darah. Perfusi yang tidak adekuat pada pasien dengan perdarahan kelas 3
mengakibatkan tanda takikardia dan takipnoe, ekstremitas dingin dengan pengisian
kembali kapiler yang terhambat secara signifikan, hipotensi, dan perubahan negatif
status mental yang signifikan. Perdarahan kelas 3 menghadirkan volume kehilangan
darah terkecil yang secara konsisten menghasilkan penurunan pada tekanan darah
sistemik. Resusitasi pasien-pasien ini seringnya membutuhkan transfusi darah
sebagi tambahan terhadap pemberian larutan kristaloid. Akhirnya, perdarahan
kelas 4 didefinisikan sebagai kehilangan darah > 40% volume darah (> 2000 ml)
mewakili perdarahan yang mengancam-jiwa. Tanda-tandanya termasuk takikardia,
tekanan darah sistolik yang tertekan secara signifikan, dan tekanan nadi yang
menyempit atau tekanan darah diastolik yang tidak dapat diperoleh. Kulit menjadi
dingin dan pucat, dan status mental sangat tertekan. Urin output sedikit. Pasien-
pasien ini membutuhkan transfusi segera untuk resusitasi dan seringkali
membutuhkan intervensi bedah segera.
Praktek menggenggam crista iliaca dalam mencari instabilitas teraba, kurang
sensitivitas dan spesifitasnya dan jarang memberikan informasi yang tidak dapat
diperoleh dari radiografi pelvis anteroposterior tunggal. Disrupsi posterior mencolok
pada pelvis biasanya jelas pada posisi pandangan ini ketika pelvis mengalami
fraktur. Pandangan dalam dan luar terhadap pelvis, yang dapat memberikan
informasi lebih tentang kemunculan dan lokasi cedera cincin posterior, harus
diperoleh hanya setelah pasien mencapai stabilitas hemodinamik. CT sangat
berharga untuk menjelaskan instabilitas cincin posterior. Protokol CT cepat untuk
evaluasi trauma abdomen bisa meliputi potongan scan melewati sacrum dan
persendian sacroiliaca. Informasi dari studi ini sering membantu manajemen awal
langsung karena hal tersebut dapat membantu dalam menjelaskan besarnya
cedera cincin posterior. Bagaimanapun, CT-scan berkepanjangan pada pasien
hipotensif akut harus dihindari. Tambahan CT-scan potongan-tipis mungkin
diindikasikan untuk evaluasi lebih lanjut fraktur pelvis atau acetabulum, namun
hanya setelah pasien distabilkan.
Pencitraan CT pelvis dipertinggi-kontras, yang sering dilakukan pada pasien
trauma yang stabil secara hemodinamik, adalah sebuah teknik non-invasif yang
telah terbukti cukup akurat dalam menentukan munculnya atau hilangnya
perdarahan pelvis yang berkelanjutan. Dalam sebuah studi yang membandingkan
metodologi ini dengan temuan angiografi pelvis, CT mendeteksi perdarahan pada
16 dari 19 pasien yang mengalami cedera vaskuler atau ekstravasasi yang
diperlihatkan oleh angiografi, untuk sensitivitas sebesar 84%. Hasil angiografi pelvis
adalah negatif pada 11 pasien, dan tidak ada pasien yang memiliki bukti
perdarahan pada CT-scan preangiografi. Dua lokasi ekstravasasi agen-kontras
diidentifikasi oleh pencitraan CT pada dua pasien yang tidak menunjukkan
perdarahan pada angiografi, dengan spesifitas 85% untuk deteksi perdarahan.
Keakuratan CT secara keseluruhan untuk menentukan adanya atau hilangnya
perdarahan pada studi ini adalah 90%.
SISTEM KLASIFIKASI DAN NILAI PROGNOSTIK
Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera
pelvis berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar
dan arah tekanan yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah
dikembangkan untuk memberikan tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi
tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan manajemen yang mungkin
dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi fraktur pelvis ini,
salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya
dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini
berdasarkan pada seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar,
sebagaimana dijelaskan oleh Pennal dkk.
Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera
kompresi anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan
mekanisme kombinasi (CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut
disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan pada meningkatnya perburukan cedera
yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera APC disebabkan oleh
tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis
pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior
seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale.
Cedera APC dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-
cabang pembuluh darah iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan
persendian sacroiliaca anterior.
Gambar 3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B,
kompresi anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe
I. E, kompresi lateral tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada
masing-masing panel mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.
Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis
pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum
sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena
gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah besar bernama (misal, arteri iliaca interna,
arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera LC; ketika hal ini terjadi,
diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.
Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan
hemipelvis mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola
cedera CM meliputi fraktur pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh
kombinasi dua vektor tekanan terpisah.
Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah
menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi,
dan mortalitas. Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti
sebagaimana meningkatnya angka APC. Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC
tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-jam terbesar. Pada sebuah
seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk menemukan
bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,
dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri
yang sama, pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera
CM memiliki kebutuhan transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas
keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%. Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada
pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan pada pola LC (7%) dan pola VS
(0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis yang dihasilkan dari
kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada pasien
dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi
paling umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala
tertutup. Pada kontras, penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan
cedera APC merupakan kombinasi cedera pelvis dan viseral. Temuan ini
mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola fraktur pelvis dan arah
tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi
kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk
penilaian dan pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior
lengkap dapat diantisipasi agar tidak menjadi perdarahan yang berat.
METODE PENATALAKSANAAN
Military Antishock Trousers
Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat
memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan
ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an,
penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan
meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan
MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma
kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun
masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas
telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.
Pengikat dan Sheet Pelvis
Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan
pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan
resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis
efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis
komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya
memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis
mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas
pada pasien dengan cedera APC (gambar 4).
Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat
pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan
Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan
fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin
berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah
dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat
memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.
Fiksasi Eksternal
Fiksasi Eksternal Anterior Standar
Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis
emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan
fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis
bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis
selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi
bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin
dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan
bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan
retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan
fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan
dari permukaan tulang kasar.
C-Clamp
Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior
yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan
disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium
mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah
dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya
tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar
harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur
umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada
regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior
standar untuk fiksasi sementara cedera APC.
Angiografi
Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan
darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan
infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang
membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi
dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih
tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami
angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis
membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC,
cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC.
Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan
fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC
III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa
19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada
fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika
angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis
pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-
dulu”, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi
transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko
perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis
lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk
mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang
disebabkan oleh vasospasme.
Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk
memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam
3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar
secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan
dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun,
penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik.
Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera
vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber
perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu
yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera
arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.
Balutan Pelvis
Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai
hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan
fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah
menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini
diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa
pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani
menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal
juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri.
Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal –
telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan
retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak
dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan
efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan
kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan
beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi
angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian
sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang
bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan
penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan
mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.
Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat
sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons
tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang
pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua
ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran
pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih.
Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya, dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang
mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.
Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan
untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge)
kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang
penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih
cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang
cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus
atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk
tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti
itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara
keseluruhan memiliki tipe dan crossmatchmembawa resiko lebih sedikit bagi reaksi
transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata
60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah
gagal merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-
khusus atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif)
diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan
terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol
perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.
Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa
Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan
sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis.
Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan
trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit
trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume.
Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek
inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif
produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan,
jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-
organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma
koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif,
dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk
mencegah kemajuan koagulopati dini.
Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi
akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping
pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk
melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima 6
unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau
plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan
berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat
kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.
EVALUASI STATUS RESUSITASI
Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium
dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat
selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan
termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urinoutput yang
cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan
setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak
memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan
laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa
digunakan bergantian, satu-satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa
diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai
nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur
melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan
resusitasi yang tidak mencukupi.
ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP
Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan
secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol
tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60%
kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari
fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai
penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis
hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur
pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.
Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan
fraktur pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan
hidup yang cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada
pusat trauma mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur
pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa
jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di
departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp agresif
berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31%
mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman institusional evidence-
based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit,
angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24 jam.
Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 ± 2 U
menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7% (P <
0,05).
Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk
diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai
penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur
pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan
lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan
kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-
protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk memodifikasi algoritma-
algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan staf ahli pada masing-
masing institusi.
Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi
kami dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid
(gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis
dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber
kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang,
dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus untuk trauma
(focused abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif,
pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator
eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara
hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke
ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU,
pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan; berbagai usaha
dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan transfusi
berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan, maka
harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua
intervensi lainnya.
Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat.
Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua,
pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis.
Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis
sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan
langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien
membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi, jika
sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.
Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan
instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CT-scan
abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan
dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus
dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused
abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells
KESIMPULAN
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dengan instabilitas hemodinamik ada
diantara cedera traumatik yang paling berat. Pengobatan dan penilaian
terkoordinasi yang efisien penting untuk memastikan kesempatan terbaik untuk
bertahan hidup. Evaluasi hemodinamik dan pengenalan pola fraktur merupakan
langkah pertama dalam manajemen. Pada kebanyakan pusat trauma, paradigma
pengobatan terdiri atas embolisasi angiografi bersama dengan stabilisasi pelvis
mekanik dini. Balutan pelvis emergensi juga bisa menjadi sebuah pengobatan yang
efektif. Resusitasi agresif, termasuk penggunaan FFP dan trombosit, harus
dipertimbangkan, sebagaimana harusnya penggunaan rFVIIa jika pasien yang
mengalami perdarahan tidak mengalami perubahan terhadap semua metode lain.
Manajemen yang sukses pada perdarahan fraktur pelvis paling baik
dikerjakan oleh sebuah pendekatan tim yang melibatkan profesional dari berbagai
macam spesialisasi. Ahli bedah ortopedi yang berpengalaman dapat menyediakan
pengenalan yang tepat terhadap pola fraktur, mencapai stabilisasi pelvis dengan
segera, dan membantu dengan pembuatan keputusan yang tepat untuk
memaksimalkan ketahanan hidup pasien.
sumber : Jurnal Ortopedi
Like
Be the first to like this post.
Comments (39)
39 Comments »
1.
Ilmunya tinggi banget yaaa.
Saya baru tahu ada istilah celana anti syok militer he he he-kayak apa ya
bentuknya. Saya sih hanya punya T-Shirt loreng.
Salam hangat dari Surabaya
—widget pengunjung online bisa langsung di klik di sidebar kanan blogex
atau Kluwung saya,pasti lebih mudah—
Comment by BlogCamp — December 17, 2009 @ 3:46 am | Reply
o
huhehe mungkin cuma sebutan aja dhe, bentuknya mirip2 sama
celana militer kali
saya sendiri ndak tau siapa yang memberi nama hehehe
*atau malah saya yg salah mengartikannya??
saya dulu waktu SMA punya dompet loreng dhe
–terima kasih infonya dhe, nanti saya coba lagi–
Comment by ningrum — December 17, 2009 @ 8:54 pm | Reply
2.
bener sekali kak ningrum… perdarahan akibat fraktur pelvis sampai 2L
ya…yang akhirnya menyebabkan syok sampai kematian. eh kak,
semalam liza baru saja mimpi tentang fraktur pelvis
Comment by liza — December 17, 2009 @ 1:30 pm | Reply
o
serius za? masak sampe dibawa mimpi hehe
fraktur pelvis kelihatannya sering menyebabkan syok dan
kematian. mungkin dikarenakan terlambat mengetahui letak
perdarahan. kami dulu di IGD sering disuruh para residen ngecek
“open book fracture”
Comment by ningrum — December 17, 2009 @ 8:57 pm | Reply
3.
slamat taon baru..
apa yang akan dijalani semoga menjadi lebih baik
dan apa yang telah dijalani menjadi inspirasi untuk lebih baik
Comment by elmoudy — December 19, 2009 @ 10:50 am | Reply
o
selamat tahun baru hijriyah juga
Comment by ningrum — December 19, 2009 @ 4:12 pm | Reply
4.
Selamat Tahun Baru 1431 H, Mbak Ningrum.
Wah, bunda cuma bisa manggut2 ,pinter banget sih Mbak……..( ya
iyalah, dokter gitu lho………..he…..he………).
salam.
Comment by bundadontworry — December 20, 2009 @ 6:48 am | Reply
o
hihihi Bunda bisa aja.. saya mah ngutip dari jurnal n buku nih
Bun
selamat tahun baru Hijriyah juga ya Bunda
Comment by ningrum — December 20, 2009 @ 7:12 am | Reply
5.
Bundo ikutan bunda lily manggut-manggut, hehhheehhh
sibuk ningrum? jaga kesehatan yaaa **halah nyuruh ko-ass jaga
kesehatan
Comment by nakjaDimande — December 20, 2009 @ 8:11 am | Reply
o
lumayan sibuk Bundo.. hehe
duh, so sweet, Bundo udah perhatian. baiklah Bundo, ningrum
akan menjaga kesehatan dengan baik dan benar.. makasih Bundo-
cay
Comment by ningrum — December 20, 2009 @ 8:36 am | Reply
6.
tuingggg….susah…. g bisa ngikuti..maklum bodoh nich..hehehe
but its a great posting
Comment by alfarolamablawa — December 20, 2009 @ 8:36 am | Reply
o
saya juga ndak gitu paham kok, ini jurnal ortopedi luar negeri hehe
thanks yah udah mampir
Comment by ningrum — December 20, 2009 @ 4:26 pm | Reply
7.
*mumet mode:on* hehehh…
kalo ga salah terawang,, ni maksudnya cerita bahaya patah tulang
belakang ya mba?? :p
hwaah,, mba ningrum ketik ulang artikel sebanyak inih… *0*
hupff.. diriqu juga jika sedang belajar akan lebih mudah paham dan
hapal klo ditulis ulang,, ya ga bu dokter…heheee..
Comment by rayya — December 20, 2009 @ 11:56 am | Reply
o
itu tulang pelvis rayya, tulang panggul
(ssstt… ini permintaan teman coass, minta tolong terjemahkan
artikel untuk tugas coass-nya hehe)
bener banget rayya, kita akan mudah paham dan hapal kalo ditulis
ulang hehe
Comment by ningrum — December 20, 2009 @ 4:39 pm | Reply
8.
hehehhehe…** cen9ar cen9ir nda n9erti…
cuma bisa baca duanks,sambil bayan9in tapi susah tenan
hebat bu dokter ini..
**aku aprno nin9s sama darah,asli.. hiiiiii
Comment by wi3nd — December 21, 2009 @ 10:47 am | Reply
o
hehe… ini cuma jurnal terjemahan wi3nd, salah satu job yg sedang
dijalani hohohoho
*kalo daku ndak boleh parno sama darah wi3nd hehehe, padahal
kalo darahnya udah banyak banget ya agak panikan juga sih
Comment by ningrum — December 21, 2009 @ 11:53 am | Reply
9.
..
waduh..!!
nyasar nih…
..
semoga artikelnya bermanfaat buat tenaga medis..
salam
..
Comment by septarius — December 22, 2009 @ 12:28 pm | Reply
o
nyasar ya? hehe mang mau kemana?
ya, saya pun berharap artikel ini bisa bermanfaat untuk siapa
saja
Comment by ningrum — December 24, 2009 @ 6:05 am | Reply
10.
Salam,
Selamat hari Ibu ya Ning, tetap semangat, duh tapi aku ndak terlalu
mudeng
Comment by nenyok — December 22, 2009 @ 9:34 pm | Reply
o
duh Ney, selamat hari Ibu juga (hehehe telat nih reply-nya )
ini artikel selingan disaat daku tak punya inspirasi menuangkan
pemikiranku disini Ney hehehe
Comment by ningrum — December 24, 2009 @ 6:06 am | Reply
11.
Komplit banget pembahasannya. Di save dulu, ah…
Comment by alamendah — December 24, 2009 @ 12:11 am | Reply
o
hehe silahkan mas alam, semoga bermanfaat
Comment by ningrum — December 24, 2009 @ 6:07 am | Reply
12.
subhanallah.. seru banget pembahasannya.. saya jadi membayangkan,
gimana manajemen shoknya seandainya kita ketemu kecelakaan di
jalan, dan si korban ternyata mengalami fraktur pelvic (kecurigaan
berdasarkan mode of injury)?
sungguh, makasih banget ilmunya, kak..
Comment by Hafid Algristian — December 24, 2009 @ 9:25 am | Reply
o
kalo ketemu dijalan ya tetap ABC dulu hehe..
segera bawa ke RS terdekat ya
Comment by ningrum — December 25, 2009 @ 5:56 am | Reply
13.
Subhanallah… mba, bahasa tingkat tinggi niii…
walopun aku gag sepenuhnya mengerti tapi tengkyu bgt udah sharing
hal bermanfaat ini, siapa tahu suatu saat dapat bermanfaat bagi aku n
kerabatku…
Comment by funky fun-T mimi allegra — December 25, 2009 @ 9:50
pm | Reply
o
sama-sama mbak fanty…
semoga bisa bermanfaat buat banyak orang
Comment by ningrum — December 26, 2009 @ 4:56 am | Reply
14.
hepi nu yer
Comment by haris ahmad — January 2, 2010 @ 12:46 pm | Reply
o
* respon telat
Comment by ningrum — January 6, 2010 @ 9:20 am | Reply
15.
nais posting.
Comment by Pai — January 5, 2010 @ 6:56 am | Reply
o
thank you
Comment by ningrum — January 6, 2010 @ 9:20 am | Reply
16.
[ ooT ]
cuma mu bilan9 ” hepPy beLateD new yeaR 2010.
Comment by wi3nd — January 5, 2010 @ 8:56 am | Reply
o
hehe.. thx wi3nd.. udah telat banget yah hehehe
diriku juga agak sibuk belakangan ini
Comment by ningrum — January 6, 2010 @ 9:22 am | Reply
17.
thx berat ya atas infonya….
Comment by nR — February 16, 2010 @ 11:01 am | Reply
o
sama sama
Comment by ningrum — February 16, 2010 @ 12:39 pm | Reply
18.
nice posting mbak,, sangat membantu..
- salam rekan sejawat -
Comment by fiqna — April 29, 2010 @ 7:00 am | Reply
o
alhamdulillah kalau bermanfaat
- salam kembali -
Comment by ningrum — April 29, 2010 @ 12:08 pm | Reply
19.
Assww. Salam Kenal. Saya sangat tertarik dengan tulisan Anda ini yang
membahas # Pelvic, bahasan Anda cukup Komplit (dari segi kuratif).:)
Tapi tentu sangat perlu kiranya kita memperhatikan apa yang akan
terjadi post-operatif dari penanganan ini yah.. berupa gangguan gerak
dan keterbatasan sendi, kelemahan otot bahkan sampai keampuan
aktifitas fungsional pasian nantinya?? Jadi penanganan tidak cukup
berhenti sampai di sisni saja tapi membutuhkan Terapi Rehabilitasi yakni
Fisioterapi (Bukan bermaksud menggurui, saya juga hanya senang
baca2 artikel/ journal kesehatan, tapi paling tidak dapat menjadi
pertimbanagn) tRIMs and salam.:: )
Comment by Aldi Wisra — May 14, 2011 @ 11:52 am | Reply
o
mas aldi yang baik, terima kasih atas masukannya… tapi ini
hanyalah sebuah tugas paper… mungkin lain waktu kita
tambahkan tentang rehabilitasi ya…
Comment by ningrum — August 13, 2011 @ 4:07 pm | Reply
20.
hee… gitu ternyata ya
Comment by Wuri Andaru Kurniasih — February 2, 2012 @ 11:02
pm | Reply
RSS feed for comments on this post. TrackBack URI
Leave a Reply
HOME
HALAMAN DEPAN
Pages
Award
ningrum
insan biasa
ningrum
kalender
jam
RT @Hanya2Menit: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (Qs 55:55)45 minutes ago
By: Twitter Buttons
Archives
March 2012 (1)
February 2012 (1)
August 2011 (1)
April 2011 (1)
February 2011 (1)
December 2010 (1)
October 2010 (1)
September 2010 (1)
August 2010 (3)
July 2010 (2)
June 2010 (4)
May 2010 (6)
April 2010 (7)
March 2010 (4)
February 2010 (6)
January 2010 (9)
December 2009 (5)
November 2009 (9)
October 2009 (6)
September 2009 (11)
August 2009 (15)
July 2009 (17)
June 2009 (12)
May 2009 (4)
Recent Posts
kuliah dengan pakar bedah saraf
numpang lewat
from the plane’s window
kacang lupa akan kulitnya
adil
Categories
catatan (53)
dari h@T! (31)
info medis ringan (1)
info ringan (4)
koreksi diri (9)
med papers (61)
Anestesi (3)
Bedah (20)
Forensik (5)
Gigi & Mulut (2)
Interna (2)
Kulit & Kelamin (3)
Mata (5)
Neuro (5)
ObGyn (3)
Pediatri (2)
PH (1)
Psikiatri (1)
Pulmo (2)
THT (7)
Uncategorized (2)
fReNz, bloggerS, referensi, rekreasi, informasi, contekan, penyegaran
1kepinghati
abibakarblog
abuabdirrahman
alamendah
Anoraga
anthi
any
ara
ayoe
ayu
Bening
Bhirawa
Bintang Satu
BlogCamp
bunda lily
bundo
fazs
Gus Kar
hadipunya
hajar
haris
ismi
ivan rusty
kiosTe
liza
marshmallow
mbak dhiena
melvi
mimi allz
nDa
ney
pak guru wandi
pak isro
rayya
ridwan
shafa
sinopi
Tanti
te2h
thia tami
wi3nd
widhieko
yuan
zev
Blog Stats
187,822 hits
Search for:
Recent Comments
ria on PEMBERIAN TABLET Fe PADA IBU H…wulan on bersin-bersin dan rinitis…henry onBronkopneumoniasan on BronkopneumoniaErlin on kista duktus tiroglosus rivan onBronkopneumoniaahmad onBronkopneumoniarivanpari onMyelodysplasia Syndrome Interior Design on kuliah dengan pakar bedah…andayani24 on bersin-bersin dan rinitis…
Theme: Rubric. Blog at WordPress.com.
Follow
Follow “catatan kecil”
Get every new post delivered to your Inbox.
Join 26 other followers
Powered by WordPress.com