Fix Propen

download Fix Propen

of 43

description

wwwwwwww

Transcript of Fix Propen

42

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Populasi jalak bali (Leucopsar rothchildi) tidak lagi ditemukan di alam pada Desember 2005 (Widodo et al. 2010). Menurut Rianto (2006), penyebab pengurangan populasi jalak bali adalah pengurangan daerah jelajah dan penangkapan liar (perdagangan dan burung peliharaan). Pengurangan daerah sebaran jalak bali dapat pula menurunkan jumlah populasi liarnya di alam sampai batas kritis terendah. Populasi jalak bali yang hidup liar di TN. Bali Barat pada tahun 2012 hanya 4 ekor. Usaha konservasi burung tersebut telah dilakukan oleh Kementrian Kehutanan, BirdLife Indonesia Programme dan Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) di TN. Bali Barat. Bahkan, sampai tahun 2009 telah dilepasliarkan kira-kira 95 ekor Jalak Bali (Sudaryanto et al. 2003). Upaya pelestarian jalak bali yang sudah tertuang dalam rencana jangka panjang Balai Taman Nasional Bali Barat yang dilakukan secara kontinyu melalui pembinaan populasi jalak bali di habitat alaminya melalui pelepasliaran jalak bali hasil penangkaran (Grand Design Balai Taman Nasional Bali Barat).

Dugaan bahwa tidak adanya pertumbuhan populasi jalak bali di alam liar disebabkan rendahnya tingkat bertahan hidup jalak bali terhadap lingkungan baru. Pembinaan populasi jalak bali yang sukses menjadi gagasan untuk diadalakannya kegiatan pelepasliaran jalak bali. Pelepasliaran yang dilakukan merupakan upaya pengembalian populasi jalak bali ke habitat alaminya guna menghindari hilangnya sifat liar jalak bali. Pelepasliaran jalak bali pada Desember 2013 sebanyak 14 ekor di Pos Lampu Merah dan Desember 2014 sebanyak 8 ekor dilepasliarkan di Teluk Brumbun dan 12 ekor dilepasliarkan di Resort Wilayah Gilimanuk (Balai Taman Nasional Bali Barat).

Kajian mengenai evaluasi pelepasan jalak bali dapat ditinjau melalui aspek keamanan hukum (peraturan perundangan dan kebijakan), keamanan sosial (pengamanan dari manusia) dan keamanan secara ekologi (faktor habitat dan perilaku alam). Untuk mengetahui adanya keberhasilan dan permasalahan yang ada maka perlu dilakukan kegiatan evaluasi secara kualitatif maupun kuantitatif sehingga dapat meminimalisir kesalahan pada kegiatan pelepasliaran sebelumnya dan dapat menyempurnakan kegiatan pelepasliaran jalak bali di habitat alaminya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengevaluasi populasi jalak bali di penangkaran dan hasil pelepasliaran di Teluk Brumbun, Teluk Kotal, Tanjung Gelap dan Pos Lampu Merah Taman Nasional Bali Barat,2. Mengevaluasi perkembangan populasi jalak bali hasil pelepasliaran,

3. Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah populasi dan habitat jalak bali hasil pelepasliaran,

4. Mengevaluasi faktor keamanan dalam pengelolaan jalak bali hasil pelepasliaran.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan informasi dan data hasil evaluasi pelepasliaran jalak bali terbaru di Taman Nasional Bali Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Bali Barat melaksanakan Program Pemulihan populasi Liar jalak Bali dalam empat lingkup kegiatan, diantaranya adalah penangkaran, pelepasliaran, pembinaan habitat dan pengamanan. Lingkup kegiatan penangkaran meliputi pengkayaan individu melalui program pembiakan di penangkaran, peningkatan produktivitas biak melalui perbanyakan pasangan induk, pemeliharaan kualitas induk, pembesaran dan perawatan piyik, penyapihan anak, sampai dengan aktivitas pengelompokan individu untuk populasi bentukan. Kegiatan pelepasliaran meliputi pelatihan pralepasliaran, peliaran ke habitat, dan monitoring paska pelepasan (Dartosoewarno 2004).

Penangkaran

Penangkaran jalak bali (Leucopsar rothschildi) dilaksanakan di lokasi Tegal Bunder, Taman Nasional Bali Barat, terletak antara 1142600 sampai 1145630 Bujur Timur dan 80 0520 sampai 801720 Lintang Selatan. Berdasarkan pembagian wilayah administratif lokasi tersebut berada di wilayah desa Sumber Klampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali.

Pelaksanaan kegiatan penangkaran jalak bali di Taman Nasional Bali Barat dimulai pada bulan April tahun 1995 setelah berakhirnya proyek penyelamatan jalak bali oleh ICBP yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. Kegiatan penangkaran tersebut setiap tahun memenuhi kebutuhan bakal burung pelepasliaran dalam rangka pemulihan populasi liar jalak bali, serta penangkaran tersebut juga dapat melayani kebutuhan masyarakat peminat penangkar dan peneliti. Induk yang digunakan dalam penangkaran jalak bali di Pusat Penangkaran Jalak Bali pada awalnya berasal dari indukan peninggalan proyek penyelamatan jalak bali oleh ICBP sebanyak 3 ekor, dan selanjutnya indukan jalak bali diperoleh secara kerjasama pelestarian dengan Taman Burung Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Safari Indonesia, PPJB Surabaya, BKSDA DKI Jakarta, hasil pertukaran dengan penangkar jalak bali di Bandung dan Denpasar, serta berasal dari hasil sitaan.

Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB mempunyai 3 jenis kandang yaitu kandang biak, kandang sapihan (kandang sapihan terdiri dari kandang kecil dan kandang/kubah besar, kubah besar juga berfungsi untuk menempatkan burung jalak bali untuk pelepasliaran), dan kandang karantina. Kandang sebagian besar terbuat dari bahan tembok dan teralis. Kandang mempunyai lantai tanah dan atap terbuat dari teralis dengan sebagian terbuka dan sebagian tertutup.

Menurut Setio dan Takandjandji (2007), bentuk dan ukuran kandang/sangkar disesuaikan dengan jenis yang akan dipelihara atau ditangkarkan. Kandang/sangkar sebaiknya dibuat lebih terlindung atau tertutup, antara lain dilakukan dengan cara melapisi setiap sisi kandang dengan shading net. Hal ini dimaksudkan supaya burung tidak terpengaruh lingkungan luar yang dapat menghambat proses perkembangbiakan burung. Seluruh model kandang/sangkar sebaiknya mempunyai atap lengkung atau atap miring (satu arah atau dua arah). Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi akumulasi serasah daun dari luar kandang yang dapat menyebabkan kawat teralis/kawat ram menjadi berkarat dan robek. Di dalam kandang/sangkar harus disediakan tempat bertengger, tempat pakan yang terlindung, dan sumber air untuk minum dan mandi (dapat berupa wadah, kolam, atau air yang mengalir). Kandang yang berukuran besar dapat ditanam pohon peneduh (terutama penghasil pakan buah). Kandang/sangkar juga harus dibuatkan pintu berlapis untuk menghindari burung lepas apabila perawat burung masuk ke dalam kandang. Tindakan untuk memacu perkembangbiakan burung dapat dilakukan dengan menyediakan bahan sarang atau kotak sarang yang akan dipilih oleh burung untuk bersarang.

1. Kandang Biak (Breeding Cage)

Kandang biak di Pusat Penangkaran berisi fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung reproduksi burung jalak bali. Kandang biak disesuaikan dengan kebiasaan hidup jalak bali. Fasilitas yang terdapat berupa gowok (sarang biak) yang disesuaikan dengan sarang biak di alam. Jalak bali hasil pelepasliaran biasanya menggunakan media biak pada batang pohon yang berlubang, jenis pohon yang umum digunakan antara lain pohon Talok (Grewia koordersiana), Walikukun (Shoutenia ovata), Laban (Vitex pubescens), dan Pilang (Acacia leucophlopea). Media biak di Pusat Pembinaan/Penangkaran Jalak Bali TNBB terbuat dari bahan kayu berbentuk silindris, dengan ukuran diameter 15 cm, panjang/tinggi 50 cm, dibuat sedemikian rupa dengan bagian dalam membentuk suatu ruangan. Untuk keperluan keluar masuk burung di salah satu bagian depan dibuat lubang berbentuk lingkaran dengan diameter 7 cm 8 cm. Media biak (gowok) ini ditempatkan dengan posisi tegak, ditempelkan pada dinding atau penyangga tertentu yang dipersiapkan.

Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB memiliki 30 buah kandang biak dengan ukuran kandang yaitu 4 m x 3 m x 2,5 m dan 3 m x 2,5 m x 2,25 m. Kandang indukan mempunyai alas kandang yang terbuat dari tanah, tempat pakan, tempat minum, media enrichment berupa batang kayu atau tanaman, dan gowok sebagai sarang. Kandang sapihan mempunyai alas kandang yang juga terbuat dari tanah, 1 buah tempat pakan, 1 buah tempat minum, dan enrichment berupa batang kayu atau tanaman. Kubah besar mempunyai alas kandang yang terbuat dari tanah, tempat pakan, tempat minum, dan enrichmnet berupa tempat bertengger serta tanaman/pohon dan rumput. Menurut Setio dan Takandjandji (2007), kandang perkembagbiakan berfungsi sebagai tempat burung untuk bertelur, mengeram, menetaskan, dan mengasuh anakan burung.

2. Kandang Sapihan

Kandang sapihan di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB berjumlah 4 buah kandang. Terdiri dari kandang kecil dan kandang besar (kubah besar). Sangkar sapihan digunakan untuk menampung anakan usia sapih, yaitu individu anakan yang berumur di atas 35 hari. Kandang/kubah besar juga berfungsi untuk menampung individu yang akan dilepasliarkan (individu calon pelepasliaran). Kandang sapihan berukuran lebih lebar dari kandang biak (breeding cage), dan kandang sapihan dapat digunakan untuk menampung sekitar 10 ekor burung jalak bali. Kandang sapihan yang berjumlah 4 buah masing-masing berukuran 4 m x 4 m x 2,5 m dan 4 m x 3 m x 2,5 m untuk kandang/kubah besar, serta kandang sapihan kecil berukuran 3 m x 3 m x 2,5 m. Kandang sapihan mempunyai alas kandang yang juga terbuat dari tanah, tempat pakan, tempat minum, dan enrichment berupa batang kayu atau tanaman. Kubah besar mempunyai alas kandang yang terbuat dari tanah, tempat pakan, tempat minum, dan enrichmnet berupa tanaman/pohon dan rumput.

3.Kandang Karantina

Kandang karantina di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB memiliki ukuran kandang 4 m x 1 m x 2,25 m. Kandang ini digunakan untuk menempatkan burung-burung jalak bali yang baru datang atau burung-burung yang sakit dari kandang biak (breeding cage) dan kandang sapihan. Selama bulan Juni 2010 terdapat 5 ekor burung jalak bali yang terdapat di kandang karantina. Kelima ekor burung tersebut pada awalnya mengalami tanda-tanda sakit, yaitu terjadi perubahan konsistensi feses dari feses yang semi padat dan berwarna coklat berubah menjadi feses encer berwarna putih, serta tanda lainnya berupa penampakan bulu burung yang terlihat kusam dan burung terlihat kurang agresif. Penanganan terhadap kelima ekor tersebut adalah dengan pemberian treatmen berupa anthelmintika. Berikut ini adalah ukuran-ukuran dari beberapa jenis kandang (kandang pembiakan, kandang sapihan, kandang calon induk, kandang karantina, kandang angkut, dan kandang prapeliaran) untuk tujuan penangkaran jalak bali menurut Masyud (2010).

Tabel 1 Jenis dan Ukuran Kandang Penangkaran Jalak Bali

No.Jenis KandangUkuran Kandang

1.Kandang Pembiakan4 m x 3 m x 2,5 m atau 3 m x 2,5 m x 2,25 m

2.Kandang Sapihan4 m x 4 m x 2,5 m atau 3 m x 3 m x 2,5 m

3.Kandang Calon Induk6 m x 3 m x 2 m

4.Kandang Karantina4 m x 1 m x 2,25 m

5.Kandang Angkut80 cm x 30 cm x 20 cm

6.Kandang (Kubah) PrapeliaranTinggi 17,5 m dan diameter 17,5 m

Sumber : Masyud (2010)

Pusat Pembinaan/Penangkaran Jalak Bali TNBB juga mempunyai sarana pendukung yang lain selain tiga jenis kandang. Sarana pendukung tersebut meliputi gudang pakan dan obat, tetapi Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB belum mempunyai sarana berupa laboratorium dan klinik. Sarana pendukung tersebut (gudang obat dan pakan) terletak di dalam areal penangkaran sehingga memudahkan distribusi pakan atau obat. Selain itu, lokasi Pusat Penangkaran jauh dari pemukiman umum sehingga penyebaran penyakit yang sering terjadi pada unggas domestik tidak dapat mempengaruhi burung jalak bali di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB. Hal ini dapat dilihat dari laporan kesehatan burung jalak bali di Pusat Penangkaran yang tidak menunjukkan terjadinya penyakit yang sering terjadi pada unggas domestik (misalnya flu burung dan New Castle Disease/ND). Menurut Setio dan Takandjandji (2007), selain kandang/sangkar burung, sarana pendukung lain yang perlu dipersiapkan adalah laboratorium dan klinik, gudang pakan dan gudang obat-obatan, serta gudang perlengkapan penangkaran. Sarana pendukung ini dapat dibangun di dekat areal kandang/sangkar utama, ataupun dibangun di luar areal tersebut. Namun, penempatan kandang dan sarana pendukung sebaiknya tidak dekat dengan kawasan pemukiman atau tempat yang sering dikunjungi oleh manusia. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya stress pada burung dan mencegah terjadinya kontaminasi atau penyebaran penyakit dari lingkungan.a. Perawatan Kandang dan Burung Jalak Bali

Perawatan kandang dilakukan dengan cara pembersihan kandang dan area sekitar kandang. Pembersihan kandang dilakukan 2 kali dalam 1 minggu. Pemberisihan kandang ini dilakukan dengan cara membersihakan feses burung dan sisa pakan yang ada dilantai kandang. Pemberian kapur dilakukan setiap 6 bulan sekali. Pemberian kapur bertujuan untuk memutus siklus hidup cacing. Menurut Santoso dan Sudaryani (2010), tujuan pengapuran kandang adalah untuk memperkuat sanitasi kandang. Cara pengapuran kandang adalah dengan pencampuran kapur tohor sebanyak 0,5 kg/m2 dengan air, kemudian dilakukan pengapuran ke semua lantai dan bagian kandang.

Sanitasi kandang dengan desinfektan juga dilakukan sebagai perawatan kandang. Sanitasi ini dilakukan dengan cara menyemprotkan desinfektan ke kandang dan lingkungan kandang sebanyak 2 kali dalam 1 minggu. Menurut Setio dan Takandjandji (2007), kebersihan kandang beserta kelengkapannya perlu diperhatikan karena akan berhubungan dengan kesehatan burung. Kotoran pada kandang burung berasal dari sisa pakan, feses burung, sampah, dan debu. Kotoran ini sering menumpuk pada alas kandang, lantai kandang, dan melekat pada tempat bertengger burung. Tindakan yang diperlukan untuk menjaga kebersihan kandang antara lain berupa pengambilan kotoran yang melekat pada bagian-bagian kandang untuk dibuang pada tempat yang telah dipersiapkan, penyemprotan atau penyiraman kandang dengan air pada bagian kandang yang telah dibersihkan secara rutin dua kali sehari, serta penyemprotan kandang dengan menggunakan desinfektan secara reguler satu bulan sekali.

b. Pengelolaan Penangkaran Burung Jalak Bali

Tatacara dan peraturan dalam pengelolaan penangkaran jalak bali dibuat dalam bentuk SOP (Standar Operational Procedure) yang dapat dikeluarkan oleh institusi lain yang berwenang atau institusi pengelola dengan mempertimbangkan peraturan yang ada dan saran-saran dari para ahli, misalnya Dinas Peternakan, dokter hewan, ahli burung (ornithologist), dan ahli ekologi. Menurut Setio dan Takandjandji (2007), penerapan SOP dalam kegiatan pemeliharaan jalak bali dimaksudkan agar dapat hidup dan berkembang biak dengan baik. Selain itu, manfaat lainnya adalah terciptanya lingkungan hidup yang sehat dan bersih dari sumber penyakit (terutama zoonosis). SOP yang dibuat dapat meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan/sanitasi kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan reproduksi dan pembesaran anak, serta pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan burung (recording).

Pengelolaan penangkaran jalak bali di Pusat Pembinaan/Penangkaran Jalak Bali TNBB sudah diterapkan sesuai dengan SOP yang telah disusun, misalnya adalah peraturan tentang pengadaan dan pengiriman burung, karantina burung jalak bali, adaptasi dan penempatan burung, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan/sanitasi kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan reproduksi dan pembesaran anak, pengelolaan sistem pencatatan kejadian dan perkembangan jalak bali (recording), serta pedoman pelepasliaran jalak bali hasil penangkaran di habitat alaminya. Namun, masih terdapat kekurangan dalam penerapan pengelolaan kesehatan burung jalak bali di pusat Pembinaan Jalak Bali TNBB, diantaranya adalah belum terdapatnya klinik dan laboratorium yang dapat menunjang pengelolaan penangkaran burung jalak bali (pengelolaan kesehatan).

c. Pemberian Pakan di Penangkaran

Sistem pemberian pakan di Pusat Penagkaran Jalak Bali TNBB dilakukan dengan cara pemberian pakan setiap hari yaitu satu kali setiap hari pada waktu pagi hari. Pakan yang diberikan di penangkaran disesuaikan dengan kebiasaan burung jalak bali di alam. Pakan yang diberikan di pusat penangkaran berupa pakan nabati dan pakan hewani. Pakan nabati yang diberikan adalah berupa pisang dan pepaya. Pakan hewani yang diberikan berupa ulat hongkong, jangkrik, kroto, dan belalang. Selain itu, burung jalak bali di pusat penangkaran juga diberikan pelet (voer) burung. Penyajian pakan pisang adalah 2 buah/ekor/hari, pakan pepaya adalah sebanyak 2 iris/ekor/hari, pakan ulat hongkong atau kroto sebanyak 8 gram/ekor/hari, serta pemberian pakan berupa serangga seperti jangkrik diberikan sebanyak 2 4 ekor/hari/ekor burung. Pemberian pakan serangga iberikan serangga hidup, hal ini bertujuan untuk melatih keterampilan burung dalam menangkap pakan alam ketika dilepasliarkan. Pemberian pakan seperti jenis pakan di penangkaran juga dilakukan di feeder place di kawasan pelepasliaran di Taman Nasional Bali Barat. Menurut Pusat Pembinaan Jalak Bali, pakan burung jalak bali di habitat alaminya berupa semut, telor semut, belalang, jangkrik, ulat, kupu-kupu, rayap, dan serangga tanah. Selain itu, burung jalak bali juga mempunyai pakan nabati alami yang berupa kerasi (Lantana camara), bekul (Zyzyphus mauritiana), intaran (Azadirachta indica), daging buah kepuh (Sterculuia foetida), talok (Grewia koordersiana), trenggulun, buni (Antidesma bunius), kalak, ciplukan, kelayu.3. Pengaturan Reproduksi

Menurut Setio dan Takandjandji (2007), reproduksi merupakan kunci keberhasilan dalam penangkaran untuk meningkatkan populasi dan produktivitas. Pengetahuan tentang biologi dan perilaku reproduksi jenis satwa yang ditangkarkan sangat penting karena dapat memberikan arah pada tindakan manajemen yang diperlukan untuk menghasilkan produksi satwa yang ditangkarkan sesuai dengan harapan. Beberapa parameter reproduksi burung di penangkaran diantaranya adalah waktu pertama kali mulai bertelur, jumlah telur dan interval peneluran, masa pengeraman telur, interval penetasan, berat telur, berat lahir piyik dan berat piyik tiap bulan. Beberapa aspek reproduksi yang penting untuk diperhatikan dalam penangkaran antara lain adalah penentuan jenis kelamin, pemilihan indukan, penjodohan, perlakuan terhadap proses peneluran, pengeraman dan penetasan, serta pembesaran piyik.

Populasi jalak bali di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB adalah sebanyak sekitar 80 ekor burung. Pengkayaan individu melalui pembiakan secara penangkaran adalah merupakan aktifitas kegiatan prioritas terdepan dari seluruh mata rantai kegiatan yang dicanangkan di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB, hal ini disebabkan oleh produktifitas anakan yang dihasilkan secara keseluruhan digunakan untuk mendukung pemulihan populasi liar di habitatnya. Distribusi anakan jalak bali di Pusat Penangkaran Jalak Bali TNBB pada setiap tahunnya diatur untuk memenuhi tiga kepentingan yaitu satu bagian dipersiapkan sebagai calon burung pelepasliaran dan satu bagian lain dipersiapkan sebagai calon indukan.Tabel 2 Produktivitas anakan jalak bali

NoTahunProduktivitasJumlahPembinaan HabitatMatiTukarLainnyaTotal

11996111111

21997425315236

319984177122045

419992772433728

52000285636344

620013882101359

7200230892010257

82003248117658

920042179107854

10200529831086**59

112006168254**72

122007209242++54**45

132008186364**57

1420093087304453

15201016697***1066

Sumber : Pelaksana Harian Pusat Pembinaan Jalak Bali, Statistka TNBB (2011)

4. Pemeliharaan Kesehatan

Kesehatan jalak bali di habitat asal dan di penangkaran dipengaruhi oleh faktor-faktor alam dan penyakit burung. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan burung jalak bali di kawasan Taman Nasional Bali Barat dilakukan oleh pihak Balai Taman Nasional Bali Barat dengan dibantu oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Veteriner (BPPV) Denpasar. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan burung di habitat asal (kawasan TNBB) dilakukan pada saat pemantauan burung jalak bali untuk tujuan pengukuran populasi di habitat alaminya. Selain itu, pengawasan juga dilakukan oleh bagian pengendali ekosistem hutan (PEH) Balai TNBB.

Pengawasan kesehatan burung jalak bali di Pusat Penangkaran (Pusat Pembinaan) Jalak Bali TNBB dilakukan setiap hari dengan cara pemantauan aktivitas burung di dalam kandang. Aktivitas yang dipantau antara lain adalah keaktifan burung di dalam kandang yang meliputi keaktifan tingkah laku dan keaktifan berkicau (observasi aktivitas burung), nafsu makan, konsumsi air minum, aspek bulu, feses, dan keadaan sekitar kandang. Apabila terdapat kelainan dari burung jalak bali di kandang biak dan kandang sapih, maka burung tersebut akan dipindahkan ke kandang karantina sampai kondisi burung terlihat membaik. Observasi atau pemantauan terhadap kesehatan burung di kandang dilakukan secara inspeksi. Pemeriksaan palpasi tidak dilakukan karena burung jalak bali masih merupakan burung liar dan semi-liar sehingga mudah terjadi kondisi stress.

Menurut petugas di Pusat Pembinaan Jalak Bali TNBB, aktivitas burung jalak bali yang sehat, diantaranya adalah burung menunjukkan tingkah laku yang lincah dan tidak terlihat kelemahan, apabila burung terlihat diam di salah satu lokasi kandang maka burung tersebut dianggap sakit. pemeriksaan lingkungan di dalam kandang merupakan salah satu pemeriksaan kesehatan burung. Menurut Coles (1987), pemeriksaan fisik terhadap burung dapat dimulai dengan pemeriksaan bulu, regio kepala (mata, telinga, kulit kepala, external nares, paruh, mulut dan oropharynx, dan leher), pemeriksaan regio abdomen (vertebrae dan syncrosacrum, serta abdomen), sayap, serta kaki. Pelepasliaran

Pelepasliaran satwa hasil penangkaran ke habitat alaminya ditujukan untuk meningkatkan populasi sesuai dengan daya dukung habitatnya. Terdapat dua macam teknik pelepasliaran satwa yaitu hard release dan soft release.

a. Hard release

Menurut Hall (2005), hard release merupakan pelepasliaran satwa yang tidak diikuti oleh program yang mendukung lainnya . Dalam pelepasliaran tipe ini satwa yang dilepasliarkan tanpa mengalami proses aklimatisasi terlebih dahulu terhadap lingkungan sekitarnya atau juga disebut pelepasliaran langsung. Hard release dilakukan pada satwa yang tidak terlalu lama berada dalam kandang dan dapat kembali kepada habitat alaminya. Metode ini tidak direkomendasikan pada satwa yang dibesarkan oleh manusia, satwa yang telah dirawat dalam jangka waktu yang lama dan pada kawasan yang tidak familiar terhadap satwa tersebut.b. Soft release

Soft release adalah pelepasliaran satwa yang dilakukan secara bertahap. Sebelum dilepasliarakan satwa dikandangkan dan diberi makan hingga satwa tersebut terbiasa dengan kondisi lingkungannya. Setelah dilepasliarkan satwa tersebut masih diberi dukungan berupa makanan tambahan yang dikurangi secara bertahap (Hall 2005).c. Teknis Pelepasliaran Jalak Bali

Persiapan

Menurut Rianto (2006) kegiatan persiapan pelepasliaran jalak bali di TNBB meliputi seleksi keturunan, seleksi kelamin, pembentukan sub populasi, tes medis, dan pelatihan pra pelepasan. Seleksi keturunan dilakukan untuk memastikan jalak bali yang akan dilatih tidak berasal dari satu pasang induk, untuk menghindari terjadinya inbreeding. Seleksi kelamin dilakukan untuk memilih pasangan dengan komposisi sex ratio sama, satu pasangan adalah satu jantan dan satu betina. Harapannya setelah diliarkan dapat melakukan pertambahan individu melalui perbiakan alamiah. Individu jalak bali hasil seleksi dipersatukan dalam sangkar pra pelatihan untuk pembentukan sub populasi buatan. Pembentukan sub populasi buatan dilakukan sejak usia individu 50-60 hari dengan pertimbangan pada usia tersebut individu telah mandiri dalam mengkonsumsi kebutuhan pakannya. Pengelompokkan dini dimaksudkan agar individu-individu saling mengenal sebagai suatu koloni membangun solidaritas kelompok. Jalak bali dalam hidupan liarnya hidup secara berkelompok dan akan menolak terhadap individu lain yang mencoba memasuki kelompoknya.

Pelatihan pra lepas liar merupakan suatu bentuk pelatihan terhadap sub populasi buatan sebelum diliarkan ke habitatnya untuk program penggemukan populasi liar. Sarana pelatihan yaitu berupa sangkar berukuran tinggi 17 m, diameter 30 m, terbuat dari bahan terali kawat dengan ukuran lubang 1x1 cm, berkerangka besi siku yang terpancang di atas pondasi setinggi 1 m.

Penilaian terhadap kegiatan persiapan pelepasliaran di TNBB sebagai berikut (Rianto 2006) :

Kondisi sangkar pelatihan

Kondisi sangkar pelatihan dideskripsikan sebagai berikut : pohon pilang-sejumlah tujuh pohon, enam pohon intaran; lantai hutan bersemak belukar, kolam persediaan air model tembok yang dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah, serta sarang buatan yang ditempel di pohon pilang untuk pelatihan berbiak. Dengan kondisi seperti disebutkan, memang ada kemiripan dengan kondisi habitat liarnya. Namun untuk dapat memenuhi tujuan pelatihan, ada komponen yang masih kurang. Keadaan yang ada mungkin hanya mensimulasi bagaimana jalak Bali mengenal pohon untuk bertengger, bermain, mengenal genangan air buatan (kolam), ataupun mengenal burung jenis lain meskipun dibatasi pagar. Tetapi tidak untuk berburu pakan alam seperti buah, menurut catatan jalak Bali tidak memakan buah intaran.

Perlakuan pemberian pakan dan jenis pakan

Pakan harian yang diberikan pada jalak bali terdiri dari pakan buatan (semacam pelet - biasa diberikan pada burung-burung budidaya), pakan alami seperti kroto, jangkrik, belalang, ulat hongkong dan buah-buahan (pepaya dan pisang). Model perlakuan pemberian pakan dan jenis pakannya ini masih sama ketika burung masih menjalani proses sebelumnya (penangkaran sampai dengan seleksi pra pelatihan). Kroto, jangkrik dan belalang mungkin masih bisa ditemukan di habitat lepasannya nanti, namun tidak untuk pelet, pisang dan pepaya. Pengkayaan habitat dengan penanaman pepaya atau pisang pun tidak mungkin dilakukan (pjalak baligaran UU no. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pasal 33 (1) : kegiatan merubah zona inti kawasan dengan introduksi spesies asing) . Seharusnya ada saat dimana jalak bali diberi pakan alam yang ada di habitatnya sekarang, karena yang akan mendukung hidupnya nanti hanyalah buah/pakan lain yang tersedia di alam. Dukungan atau bantuan yang diberikan oleh manusia setelah jalak bali dilepasliarkan masih diberikan tapi sifatnya tidak permanen atau dikurangi serta dihilangkan secara bertahap hingga saat satwa yang dilepaskan dapat hidup mandiri di hutan. Apabila masih secara intesif diberikan oleh manusia, maka kemampuan individu jalak bali untuk berburu pakan di habitat alaminya akan kurang, karena dalam memori burung tidak ada pengetahuan tentang jenis pakan yang ada di alam. Kalaupun ada merupakan hasil dari proses trial and error (mencoba sesuatu untuk kemudian tahu dan disimpan dalam memori bahwa sesuatu itu baik atau tidak baik untuknya) ketika dilepas nanti. Menurut Prasetyo (2005) syarat satwa yang dilepaskan selain harus mempunyai kondisi fisik yang layak juga harus sudah memiliki insting liar seperti insting mencari mangsa bila harus mencari makan.

Pelatihan kemampuan individu

Menurut Rianto (2006), kesiapan jalak bali yang akan dilepasliarkan perlu diperhatikan terhadap kondisi lingkungan di kawasan TNBB. Pelatihan kemampuan jalak bali bertujuan untuk pembentukan insting liar. Selama masih dalam tahap pelatihan, dukungan manusia (pihak pengelola) adalah aktif. Jika melihat pada tujuan pelatihan, ada banyak tujuan yang tidak terpenuhi. Penilaian ini didasarkan pada kondisi penangkaran dan waktu pelatihan. Pelatihan dalam cuaca basah, serta tidak untuk pelatihan berbiak (waktu pelatihan yang terbatas, 2-3 bulan sebelum musim hujan).

Adanya anggapan bahwa waktu yang akan menjawab proses adaptif. Proses adaptif terbentuk dengan sendirinya, dan pengetahuan burung tersebut nantinya masih sangat terbatas.. Seandainya yang dicoba adalah sesuatu yang benar, maka hal itu tidak menjadi masalah, tetapi jika sesuatu yang dicoba adalah sesuatu salah, akan fatal akibatnya, mungkin berakhir dengan kematian.

Berdasarkan pedoman pelepasliaran jalak bali (Leucopsar rothschildi) di Taman Nasional Bali Barat, terdapat enam tahapan yang harus dilakukan untuk pelepasliaran burung jalak bali hasil penangkaran, yaitu pemilihan individu anakan, pembentukan kelompok (dilakukan di kandang sapihan pada usia 8 9 bulan), pelatihan pra peliaran pada kandang pelatihan (usia 10 12 bulan), pelatihan adaptasi di kubah pelepasliaran sampai dengan usia kelamin (1,5 tahun), persiapan pelepasan, serta tahap pelepasliaran.

Pemilihan individu anakan sangat menentukan keberhasilan dari pelepasliaran, sehingga individu anakan yang akan dilepas diharapkan dapat memenuhi persyaratan diantaranya adalah usia anakan minimal 7 bulan, sehat secara fisik dan tidak cacat, individu anakan dihasilkan dari indukan yang sehat dan baik, individu anakan tidak berasal dari satu kerabat atau keturunan, sex ratio satu jantan dan satu betina atau jumlah jantan dan betina harus sama, serta individu anakan untuk pelepasliaran harus dinyatakan sehat oleh Balai Penyidikan Penyakit Hewan dan Veteriner.

Tahap kedua sebelum kegiatan pelepasliaran adalah pembentukan kelompok. Pembentukan kelompok dilakukan di kandang sapihan pada usia 8 9 bulan. Pembentukan kelompok ini didasari dari sifat jalak bali yang sering berkelompok sehingga dalam kegiatan pelepasliaran diharapkan individu anakan yang akan dilepas sudah menjadi satu kesatuan kelompok, dan untuk memudahkan dalam pengamatan dan monitoring serta untuk mengetahui identitas setiap individu dipasang cincin warna dan microchip.

Tahap ketiga adalah pelatihan pra peliaran pada kandang pelatihan yang dilakukan pada individu-individu burung jalak bali yang berumur 10 12 bulan. Individu anakan yang akan dilepasliarkan harus dipindahkan dari kandang sapihan ke kubah pelepasliaran, dan kemudian individu anakan yang akan dilepasliarkan harus dilakukan pelatihan supaya individu tersebut terbiasa terbang tinggi dan mengenal pakan alam sehingga ketergantungan terhadap pakan yang sering diberikan dapat berkurang.

Tahap keempat adalah pelatihan adaptasi di kubah pelepasliaran sampai dengan usia kelamin yaitu usia 1,5 tahun. Hal ini bertujuan untuk melatih kemampuan adaptasi terhadap kondisi alam (habitat alaminya), mengurangi ketergantungan terhadap pakan yang biasa diberikan di penangkaran, memberikan pakan alam secara teratur, serta monitoring perilaku dan ketersediaan pakan yang ada. Tahap kelima adalah tahap persiapan pelepasan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipersiapkan sebelum kegiatan pelepasliaran yang berhubungan dengan kondisi burung jalak bali dan habitat alami diantaranya adalah pemasangan radio track (apabila memungkinkan), pembuatan dan pemasangan tempat pasok pakan (feeder place) dan tempat minum bagi burung, serta pembuatan dan pemasangan sarang buatan.

Tahap keenam adalah tahapan pelepasliaran. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan pelepasliaran burung jalak bali di kawasan Taman Nasional Bali Barat adalah pembuatan berita acara, pemberian pasok pakan di sekitar kubah pelepasliaran, serta kegaiatan monitoring. Berita acara pelepasliaran dibuat untuk dokumentasi yang memuat tentang waktu pelepasliaran, identitas burung yang dilepasliarkan, petugas yang melepasliarkan serta saksi-saksi yang menghadiri acara pelepasliaran. Pemberian pasok pakan dan minum dilakukan pada feeder place di sekitar kubah pelepasliaran, kegiatan ini harus dilakukan sebagai pendukung apabila individu jalak bali yang dilepasliarkan tidak dapat memenuhi kebutuhan pakan karena indivdu-indivdu burung yang dilepasliarkan belum secara keseluruhan dapat beradaptasi dengan habitat aslinya. Kegiatan monitoring setelah kegiatan pelepasliaran dilakukan setiap hari dengan mengamati area jelajah, perkembangan, dan tingkat ketergantungan pada pasokan pakan. Kegiatan monitoring dilakukan untuk mengetahui tingkat adaptasi, pemanfaatan habitat, serta ruang edar burung jalak bali yang dilepasliarkan. Monitoring

Monitoring merupakan kegiatan lanjutan paska pelepasan yang dilaksanakan oleh tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH), dimulai sejak peliaran hingga periode peliaran tahun berikutnya. Monitoring dilaksanakan setiap dua hari sekali, sekaligus pemberian pakan di lokasi pelepasan. Dalam kegiatan ini dilakukan pendataan mengenai :

a. kemampuan adaptasi jalak bali dalam pemanfaatan habitat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pakan dan air, vegetasi untuk berlindung dari keadaan cuaca dan predator, vegetasi sebagai tempat untuk beristirahat dan tidur, vegetasi sebagai tempat untuk berkembang biak,

b. kemampuan untuk melakukan aktivitas biaknya secara alamiah dengan memanfaatkan media biak alam maupun buatan,

c. pendataan mengenai faktor-faktor tertentu yang berpengaruh sebagai faktor pembatas kjalak balisungan hidup jalak Bali, seperti predator, komponen habitat, termasuk juga adanya indikasi perburuan liar.

Menurut hasil pengamatan kegiatan yang ada lebih disebut sebagai kegiatan pemberian pakan daripada kegiatan monitoring. Jika perilaku harian jalak bali didefinisikan sebagai perilaku 12 jam maka ada informasi yang kurang. Monitoring yang dilakukan selama ini berlangsung beberapa jam saja. Sisa jam pengamatan selanjutnya dibawah tenaga fungsional Polisi kehutanan (Polhut), akan tetapi sifat observasinya adalah keamanan semata, nilai informasi yang bersifat ekologis tentunya akan lebih bermakna ketika observasi dilakukan oleh tenaga yang sesuai peruntukkannya. Menurut penilaian kami, seperti ada perasaan jenuh, atau telah terbiasa karena kegiatan ini telah berlangsung sejak 1998 sehingga data-data tentang perilaku harian seperti sudah bisa ditebak, sudah terekam seperti keadaan pelepasliaran tahun-tahun sebelumnya.

Pelepasliaran adalah permanen, akan tetapi bantuan atau dukungan manusia masih diberikan dan dikurangi serta dihilangkan secara bertahap. Review Faktor Pembatas Ekologi Pengembalian Populasi Liar Jalak Bali TNBB Bantuan dan dukungan dalam hal ini seperti pakan, air, maupun keamanan habitat. Perlakuan pemberian pakan dan air paska pelepasan dilakukan bersamaan dengan kegiatan monitoring. Hanya saja jenis pakan yang diberikan masih sama dengan ketika menjalani prsoses sebelumnya (penangkaran sampai pelatihan), masih tetap pelat atau kroto kristal, ulat hongkong, pisang dan pepaya. d. Sejarah Pelepasliaran Jalak Bali Sebelum 1935 : Awal Penyebaran dan Penomoran

Menurut Balen (2000), Stresemann (1912, 1913) mengumpulkan Jalak Bali untuk penelitian dekat Bubunan dengan jangkauan ke arah barat (Gambar. 2). Pada tahun 1920, habitat jalak bali digambarkan seperti 'kering savana dan semak dan 'tinggi dan padat (van der Paardt 1926; von Plessen 1926 diacu dalam Balen 2000), secara historis terbatas pada ruang sempit dengan iklim kering (Walker et al. 1980 diacu dalam Balen 2000. Laporan 1914-1926 menyebutkan kepadatan jalak bali bulan Februari - Juli yang rendah di daerah pesisir utara bagian barat Bali, namun jumlah terbanyak yaitu pada bulan September-November, menjjalak bali akhir musim hujan ke kering, sepanjang barat laut Bali, termasuk Gilimanuk di pantai barat.

1940-1974: Ekspor Jalak Bali

Hutan di Bali dan Jawa terus menyusut dengan cepat selama periode ini (Smiet 1992; Whitten et al. 1996 diacu dalam Balen 2000) dan pemukiman manusia mulai muncul dalam kisaran yang Jalak Bali. Perdagangan liar Jalak Bali mencapai puncaknya di awal 1960-an dan 1970-an ketika ratusan burung yang diekspor luar negeri (van Bemmel 1974; Seibels & Bell 1993 diacu dalam Balen 2000).

Tabel 3 Tabel sejarah penemuan jalak bali

WaktuAktivitas

24 Maret 1911Jalak bali (Leucopsar rothschildi) pertama kali ditemukan oelh Dr. Baron Stressman seorang ahli burung berkebangsaan Inggris, ketika terjadi kerusakan kapal Ekspedisi Maluku II yang mengangkut para biologiawan dan rombongan penelitian terpaksa mendarat di Singaraja selama -+ 3 bulan. Di sekitar Bubunan, Dr. Baron Stressman menembak jalak bali untuk kepentingan penelitian.

1925Dr. Baron Victor van Plessenn meninjau pulau Bali dan mengadakan penelitian lebih lanjut atas anjuran Dr. Stressmann, ia menemukan penyebaran jalak bali mulai dari Desa Bubunan sampai Gilimanuk dengan jumlah masih ratusan dan hidup berkelompok

1928Sebanyak lima individu jalak bali dibawa ke Inggris

1931lima individu jalak bali yang dibawa ke Inggris berhasil berkembang biak

1962Kebun binatang Sandiego di Amerika Serikat mengembangkan jalak bali

Banyak jalak bali diekspor bahkan setelah jalak bali masuk dalam spesies Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) pada tahun 1970, dan menerima status dilindungi di bawah hukum Indonesia pada tahun 1971.

1974-1983 : Penurunan Jalak Bali

Perhitungan masyarakat setempat menunjukkan bahwa konversi hutan monsun untuk lahan pertanian memiliki dampak negatif pada jalak bali. Bali Barat menerima status Taman Nasional pada tahun 1982. Perkiraan populasi yang dibuat hampir setiap tahun dan Tabel 3 dan 4 didapatkan perkiraan populasi antara 1974-1983. Distribusi jalak bali dimana sebagian dari perburuan berlangsung jumlahnya menyusut dengan cepat. Wawancara dengan orang-orang lokal membuat jelas bahwa di tahun 1960-an yang jalak bali sebagian besar menghilang dari bagian selatan jangkauan dan pada tahun 1970 dari timur laut.

Tabel 4 Perkiraan populasi jalak bali 1974 - 1983

TahunBulanPreBreedingPostSources

1974October100--Sungkawa et al. 1974

1975February--68144Natawiria 1975

1976September175 (+25)--Suwelo 1976

1976December/January-127-Sieber 1978

1977August/September110--Alikodra et al. 1978

1979March/April--150200de Iongh et al. 1979

1980August207 (+22)--Hayward et al. (Oxford Expedition), unpublished data

1981October254--I M. Sutaadi (BBNP), unpublished data

1983October142--J. Rustandi (PPA Denpasar), unpublished data

1983 1994: Proyek Jalak Bali

Jangkauan jalak bali menyusut ke semak terbuka dan hutan savana, ditemukan di bawah ketinggian 150-175 m di bagian utara-timur Semenanjung Prapat Agung. Hutan terbuka yang didominasi oleh pohon akasia dengan semak-semak, semak-semak Eupatorium Lantana camara dan Imperata cylindrica rumput, dan dipotong oleh lembah-lembah yang lembab dan lebih padat hutan dengan pohon dominan Grewia koordesians, Vitex pubescens, Borassus spp. dan Schoutenia spp. Tipe vegetasi ini mungkin, namun, sub-optimal habitat yang Jalak Bali dan itu mungkin didorong sana oleh perburuan tekanan. Gerakan antara situs bertengger dan mengadoptasi meningkat menjjalak bali akhir musim kemarau ketika sumber makanan berlari pendek. Beberapa burung yang tersebar di Rombongan 20-30 untuk jarak hingga 5 6 km ke hutan campuran terbuka edge dan ooded savannah hutan di bagian selatan Semenanjung Agung Prapat. Pemuliaan (Oktober April) telah dihadkan kepada seluas 500 ha dan lokasi sarang dalam pohon-pohon di lembah-lembah yang dijelaskan di atas. Burung bebas-peternakan dan dewasa juga roosted di daerah ini, tapi dibahas lebih besar jarak (hingga 2-3 km) hijauan. Tabel 5 menyajikan hasil Sensus yang dilakukan tahun 1974-2014. Masing-masing berdasarkan hitungan enam pada hari berturut-turut. Perkiraan asli dari total telah direvisi dengan akun mungkin gerakan antara roosts, dan menghitung ganda. Sensus menunjukkan bahwa Jalak Bali telah menghilang dari daerah-daerah yang mana mereka terjadi hanya 10 tahun sebelum.

Setelah kecelakaan dari populasi Jalak Bali yang dimulai pada awal 1980an dan yang hampir selesai kepunahan spesies di alam liar, populasi pulih sedikit di 1991-1992. Ini adalah karena peningkatan dan efektif perlindungan Park, Selain kondisi cuaca yang menguntungkan, yang sangat meningkatkan keberhasilan penangkaran. Setelah tahun 1992 pembiakan baik, tetapi tidak mengakibatkan peningkatan populasi. Bukti penangkap burung di Taman mengindikasikan bahwa perburuan adalah penyebab utama. 1994 hingga 1998: pasca Proyek Jalak BaliPada tahun 1994, BSP dilanjutkan oleh pengelolaan Taman Nasional Bali Barat (BBNP) sebagai satu-satunya pelaku dari program. Berkurangnya populasi dimonitor terus meskipun sensus di 1994-95 dan 1995-96 dibatasi hanya untuk satu tahun (Suryawan 1996; PHPA/BirdLife International-IP 1997).

Tabel 5 Data Populasi Jalak Bali Menurut Lokasi Penyebaran dari Tahun 1974-2014

NoTahunPopulasi/LokasiJumlah (individu)

12345678910

1197413642021336000112

21975157200180232400107

31976350350002100091

41978250373002200087

51979704225351100084

619803502802877000105

71981

81982

91983

101984

111985

121986

131987

141988

151989

161990

1719910000232740036

18199200000428160048

19199300000416170037

2019940000029180029

2119950000018180027

2219960000001080018

2319970000003110014

2419980000000260026

25199900000011160027

2620000000002130015

27200100000006006

28200200000009009

29200300000006006

3020040000000240024

3120050000000120012

32200600000006006

3320070000000550055

34200800000001416030

3520090000000453232109

3620100000000622634

3720110000000713121

382012000000078015

39201300000140810032

4020140000022079038

Sumber : Kepala Pelaksana Harian Pusat Pembinaan Curik bali di Tegal Bunder, Statistik TNBB, 2011Keterangan Lokasi : 1. Banyuwedang; 2. Teluk Terima; 3. Tegal Bunder/Sumber Klampok; 4. Cekik; 5. Prapat Agung; 6. Lampu Merah; 7. Teluk Kelor; 8.Brumbun, 9. Tanjung Gelap. 10. Kotal.1. Keberhasilan Pelepasliaran Jalak Bali di Kepulauan Nusa PenidaKegiatan pelepasliaran jalak bali yang dilakukan di Kepulauan Nusa Penida, yang berada di wilayah administrasi Kecamatan Nusa Penida dan Kabupaten Klungkung. Kegiatan ini dikembangkan oleh FNPF (Friends of the National Park Foundation) dan Balai KSDA Provinsi Bali sejak tahun 2006. Kegiatan pelepasliaran dengan populasi awal jalak bali sebanyak 76 individu yang dilepasliarkan di tahun 2006 menjadi 105 individu di tahun 2012. Pada tahun 2011 dijumpai jalak bali tanpa cincin yang artinya individu tersebut merupakan turunan dari induk curik bali yang telah dilepasliarkan sebelumnya. Beberapa pasangan jalak bali telah mampu berkembangbiak di habitat semi alaminya. Tak luput keberhasilan perkembangan kegiatan ini sangat didukung dengan peraturan adat (awig-awig) dari masyarakat setempat dan Peraturan Daerah Kabupaten Klungkung (Grand Design TNBB 2012).Menurut Aunurohim (2013), jalak bali mempunyai sifat yang peka tehadap gangguan, mudah mengalami stress dalam keadaan lingkungan yang tidak wajar, sehingga mempengaruhi proses reproduksinya. Jalak bali hanya mau bersarang di dalam lubang-lubang pada batang pohon, padahal mereka tidak mampu membuat lubang tempat sarang tersebut. Padahal lubang pohon tidak mudah dijumpai di alam. Di Desa Ped tidak banyak dijumpai lubang pohon alami, sehingga dimungkinkan Jalak Bali yang sudah berpasangan berpindah ke lokasi lain yang menyediakan tempat untuk bersarang. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan yang dapat mengakibatkan populasi Jalak Bali di Desa Ped mengalami penurunan.

Salah satu tolak ukur yang dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan program pelestarian alam adalah kondisi populasi (densitas) dan penyebaran spesies target. Sehingga kurang adil jika masyarakat menganggap program pelestarian kurang berhasil jika kondisi populasi yang dilestarikan menurun. Untuk mendukung keberhasilan program, ada 4 hal yang perlu diperhatikan yaitu : kondisi bioekologi spesies, keadaan lingkungan fisik kawasan, keadaan tekanan masyarakat, dan dedikasi petugas lapangan. Keempatnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena saling memiliki keterkaitan. Sehingga teknik pengelolaan yang tepat dapat menunjang keberhasilan program pelestarian spesies.

Kondisi Umum Lokasi

Taman Nasional Bali Barat secara administrasi pemerintahan berada di dalam dua Kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Jembrana Propinsi Bali. Secara geografis terletak diantara 08o0530 LS sampai 08o1720 LS dan 114o2600 BT sampai 114o5630 BT dengan hamparan mulai dari laut pesisir sampai ke pegunungan. Keadaan topografinya landai hingga berbukit, dengan ketinggian tempat bervariasi dari 0 698 m dpl. Bagian dengan kemiringan yang landai terdapat di sekitar Gilimanuk, Sumberklampok, Penginuman, Teluk Terima dan Banyuwedang. Daerah-daerah tersebut dengan kemiringan 8-25% dengan arah kemiringan kearah laut. Daerah yang bergunung sebagian besar terdapat di sebelah selatan jalan raya Cekik Seririt dengan kemiringan yang bervariasi dari bergelombang sampai dengan sangat curam. Gunung-gunung yang yang berada di kawasan Taman Nasional Bali Barat seperti Gunung Klatakan dengan ketinggian 698 mdpl, Gunung Penginuman dengan ketinggian 610 mdpl, Gunung Bakungan dengan ketinggian 603 mdpl, Gunung Banyuwedang dengan ketinggian 430 mdpl, Gunung Nyangkrut dengan ketinggian 315 mdpl, Gunung Prapat Agung dengan ketinggian 315 mdpl, Gunung Melaya dengan ketinggian 332 mdpl dan Gunung Teluk Terima dengan ketinggian 342 mdpl, dengan kemiringan 25-45 %. Pulau Menjangan termasuk dalam batas lereng datar (0-8%) dengan keadaan relatif datar.

Satwa liar yang ada di Pulau Bali khususnya di kawasan Taman Nasional Bali Barat tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut.Hubungan yang erat antara Pulau Bali dan Pulau Jawa yang termasuk dalam Sub Wilayah Sunda telah menyebabkan adanya kesamaan jenis antara satwa yang ada di P Jawa dan P Bali.Satwa liar yang mendiami Taman Nasional Bali Barat terdiri atas kelas mamalia, reptilia, amphibia dan aves.Keempat kelas satwa liar tersebut jika dibandingkan dengan daratan yang mendiami P Jawa masih terdapat kesamaan genus maupun spesiesnya. Satwa endemik muncul disebabkan oleh adanya evolusi sebagai akibat adaptasi terhadap lingkungan atau juga terjadinya perkawinan yang terjadi pada jenis-jenis yang menempati lokasi tersebut. Jenis Spesifik (endemik) yang ada di Pulau Bali (Taman Nasional Bali Barat) adalah Curik Bali (Leucopsar rotschildi).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2015 di Taman Nasional Bali Barat (Teluk Brumbun, Teluk Kotal, Tanjung Gelap, Pos Lampu Merah).

Alat dan Objek

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah binokuler, meteran, jam tangan, stopwatch, kamera, dan alat tulis. Objek yang diamati pada penelitian ini adalah burung jalak bali (Leucopsar rothschildii Stresemann, 1912).Jenis Data dan Metode Pengambilan Data

Jenis data jalak bali yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi beberapa aspek kajian, diantaranya penangkaran, pelepasliaran dan pasca pelepasliaran (Tabel 6).Tabel 6 Jenis data jalak bali

Aspek KajianRincian DataMetode

Penangkaran

1. PerkandanganJenis kelamin, jumlah total individu, jumlah individu per kandang, tipe, bahan, ukuran (panjang, lebar, tinggi), komponen habitat kandang (tempat pakan dan minum, tempat bersarang, tempat bertengger dan lain-lain) serta pengelolaan kandang Observasi lapang, wawancara dan penelusuran dokumen

2. Pakan dan airJenis, jumlah, waktu pemberian, cara pemberian dan frekuensi pemberian

3. KesehatanKondisi, frekuensi pemeriksaan, pengontrolan dan pencegahan, ketersediaan tenaga ahli/medis, riwayat kesehatan

4. Pemilihan individu yang siap dilepasliarkanUmur, jenis kelamin, silisilah dan penandaan, jumlah, asal individu

Pra Pelepasliaran

1. Persiapan

Seleksi keturunan, seleksi kelamin, pembentukan sub populasi, tes medis, pelatihan pra pelepasan, pemasangan radio track, pembuatan dan pemasangan feeder place dan tempat minum, pembuatan kubah dan pemasangan sarangWawancara dan penelusuran dokumen

2. PerkandanganJumlah individu, tipe, bahan, ukuran (panjang, lebar, tinggi), komponen habitat kandang (tempat pakan dan minum, tempat bersarang, tempat bertengger dan lain-lain) serta pengelolaan kandang

3. Pakan dan airJenis, jumlah, waktu pemberian, cara pemberian dan frekuensi pemberian

Pelepasliaran

1. Evaluasi kegiatanPembuatan berita acara, lokasi pelepasliaran, teknik pelepasliaran, pemberian pasok pakan sekitar kubah, kegiatan monitoringObservasi lapang, wawancara dan penelusuran dokumen

Pasca Pelepasliaran

1. Perjumpaan di alamUmur, jenis kelamin, riwayat hidup, daerah jelajah, produktivitasObservasi lapang, wawancara dan penelusuran dokumen

2. Tingkat adaptasi di alamHabitat, pakan, predator, kompetitor, aktivitas yang sedang dilakukan, lama waktu pemantauan

3. Pengamatan pada gangguanPemberian pakan, gangguan dari masyarakat dan pemeriksaan kotak sarang (nest box)

Manajemen Kawasan

1. Pengelolaan kawasanStruktur organisasi Taman Nasional Bali Barat, Permasalahan pengelolaan TNBB, kegiatan pengelolaStudi pustaka dan wawancara

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah :

1. Wawancara

Wawancara dilakukan kepada informan kunci (key informan) yang mengetahui manajemen pelepasliaran jalak putih. Informan kunci ini meliputi pihak TNBB, dan masyarakat di desa sekitar lokasi pelepasliaran.2. Penelusuran Dokumen

Penelusuran dokumen dilakukan untuk memperoleh data mengenai manajemen penangkaran dan pelepasliaran jalak bali yang berasal dari dokumen TNBB, skripsi, tesis, jurnal, website dan pustaka lainnya.

3. Observasi Lapangan

Obeservasi lapangan dilakukan untuk mengetahui manajemen pemeliharaan, pelepasliaran dan pemantauan jalak bali. Data pemantauan jalak bali yang diamati meliputi jumlah populasi, habitat dan aktivitas yang dilakukan. Metode yang digunakan adalah Metode terkonsentrasi (Concentration Counts) dan Pengamatan serentak (Cooperative Methode). Metode terkonstrasi dilakukan dengan pengamatan awal mengenai pola pergerakan burung jalak bali kemudian dapat ditetapkan lokasi yang sesuai dengan keadaan pergerakan dan kondisi lingkungan. Pengamatan serentak dilakukan dengan menentukan beberapa titik pengamatan yang mencakup kawasan penelitian dengan area pandang masing-masing stasiun harus berhadapan. Melakukan pengamatan 2/3 hari di tiap titik pengamatan yang dilakukan pada pagi dan sore hari dengan pertimbangan aktivitas jalak bali banyak dilakukan pada jam tersebut. Melakukan pengeplotan aktivitas jalak bali (tempat bertengger, mencari makan dan sarang) dan mencatat waktu perjumpaan dan aktivitas yang teramati.Prosedur Analisis Data

Analisis Data Deskriptif Kualitatif

Data yang diperoleh dianalisis dengan penjelasan secara detail yang dilengkapi dengan bagan, tabel dan gambar untuk mempermudah pemahaman hasil analisis data. Data-data tersebut adalah :

1. Data pemeliharan jalak bali di penangkaran

2. Data pelaksanaan pelepasliaran jalak bali

3. Data pemantauan pascapelepasliaran jalak bali (jalak bali hasil pelepasliaran menjauhi aktivitas manusia, mampu bertahan hidup, beraktivitas normal, mampu bereproduksi)

4. Data manajemen (meliputi faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelepasliaran jalak bali dan faktor yang mempengaruhi keberhasilan paska pelepasliaran jalak bali dianalisis secara deskriptif)

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif yang disajikan dengan tabel, gambar dan bagan sehingga diperoleh hubungan antara kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan teknis perawatan dan rehabilitasi satwa.

Analisis Pengelolaan Satwa

Pengisian kriteria capaian implementasi pengelolaan satwa dilakukan dengan sistem pengisian tabel evaluasi pengelolaan satwa (lampiran 3) dengan memberikan nilai pada setiap variabel yang ditetapkan. Nilai untuk setiap variabel yaitu sangat baik=5, baik=4, cukup= 3, buruk= 2, sangat buruk= 1. Tabel yang berisi berbagai kriteria penilaian di evaluasi dengan rumus:

Pencapaian implementasi pengelolaan= Jumlah rataan

Aspek pengelolaan

Keterangan :

Aspek Pengelolaan : administrasi dan pengelolaan, pengelolaan pakan dan air, pengelolaan kandang, kesehatan satwa dan sumber daya manusiaHasil perhitungan dengan rumus ini akan didapatkan nilai untuk pengelolaan yang dapat dilihat pada Tabel 7.Tabel 7 Klasifikasi penilaian pengelolaan satwa

NoKlasifikasi PenilaianSkor

1Sangat Baik5

2Baik4 - 4,9

3Cukup3-3,9

4Buruk2-2,9

5Sangat Buruk1 - 1,9

Analisis Kesejahteraan Satwa

Pengisian kriteria capaian implementasi kesejahteraan satwa dilakukan dengan sistem pengisian tabel evaluasi kesejahteraan satwa dengan memberikan nilai pada setiap variabel yang ditetapkan. Klasifikasi penilaian kesejahteraan satwa dilakukan dengan nilai terbobot. Skor untuk setiap variabel yang tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal PHKA No.6 Tahun 2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi yaitu memuaskan=5, baik=4, cukup= 3, kurang= 2, buruk= 1. Nilai dari masing-masing variabel pada setiap aspek kesejahteraan dijumlah, dihitung rata-ratanya, dan untuk mendapatkan nilai terbobot menggunakan rumus :

Nilai terbobot = bobot x skoring

Penetapan besar bobot untuk kelima komponen kesejahteraan satwa seperti pada Tabel 8.Tabel 8 Bobot parameter kesejahteraan satwa

NoKomponenBobotSkoring

(total skor)Nilai terbobot

1 Bebas dari rasa lapar dan haus 30

2 Bebas dari rasa sakit, penyakit, dan luka 20

3 Bebas dari ketidaknyamanan 20

4 Bebas berperilaku alami 15

5 Bebas dari rasa takut dan menderita 15

Nilai kesejahteraan satwa (lampiran 2) menggunakan rumus:

Skor penilaian = nilai terbobot

5

Hasil perhitungan dengan rumus ini akan didapatkan nilai untuk pengelolaan kesejahteraan yang mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal PHKA No.6 Tahun 2011 tentang Pedoman Penilaian Lembaga Konservasi dapat dilihat pada Tabel 9.Tabel 9 Klasifikasi penilaian kesejahteraan jalak bali

NoKlasifikasi PenilaianSkor

1Sangat Baik80,00 - 100

2Baik70,00 79,99

3Cukup60,00 69,99

4Kurang