ETIKA(2).docx

15
FAKTOR SEJARAH DAN BUDAYA DALAM ETIKA BISNIS Makalah oleh : 1. Natalia Christina   2010620011 2. Karina Sutanto Silvan   2010620043 3. Henrietta   2010620125 4. Fahrizal -2010620132 PUSAT KAJIAN HUMANIORA UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG 2011

Transcript of ETIKA(2).docx

FAKTOR SEJARAH DAN BUDAYA DALAM ETIKA BISNIS

Makalah

oleh :1. Natalia Christina 20106200112. Karina Sutanto Silvan 20106200433. Henrietta 20106201254. Fahrizal -2010620132

PUSAT KAJIAN HUMANIORAUNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGANBANDUNG2011FAKTOR SEJARAH DAN BUDAYA DALAM ETIKA BISNIS

Pengertian Etika Bisnis Kata etika dan etis tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula etika bisnis bisa berbeda arti. Suatu uraian sistematis tentang etika binis sebaiknya dimulai dengan menyelidiki dan menjernihkan cara kata seperti etika dan etis dipakai. Perlu diakui, ada beberapa kemungkinan yang tidak seratus persen sama, walaupun perbedaannya tidak seberapa untuk menjalankan penyeledikkan ini. Ada dua cara untuk menganalisis arti- arti etika adalah membedakan antara etika sebagai praksis dan etika sebagai refleksi. Yang disebut dengan etika praksis yaitu suatu nilai nilai dan norma norma moral yang dapat diperaktekkan maupun tidak dipraktekkan. Sedangkan pada etika sebagai refleksi yaitu pemikiran moral yang artinya berpikir tentang apa yang akan dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan ataupun tidak boleh dilakukan.Orang yang terjun dalam kegiatan bisnis, menurut penilaian sekarang menyibukkan diri dengan suatu pekerjaan terhormat, apalagi jika ia berhasil menjadi pebisnis yang sukses. Dewasa ini orang akan merasa bangga, bila dapat menunjukkan kartu nama yang menyingkapkan identitasnya sebagai direktur atau manajer sebuah perusahaan ternama. Dalam keluarga-keluarga terkemuka pun kini tidak dirasakan keberatan, jika anak-anak memilih kegiatan bisnis sebagai profesi tetap. Bisnis sebagai pekerjaan tidak dinilai kurang dari profesi lain, terutama jika menghasilkan pendapatan tinggi. Jika kita mempelajari sejarah, dan khususnya sejarah dunia Barat, sikap positif ini tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, berabad-abad lamanya terdapat tendensi cukup kuat yang memandang bisnis dan perdagangan sebagai kegiatan yang tidak pantas bagi manusia beradab. Pedagang tidak mempunyai nama baik dalam masyarakat Barat di masa lampau. Orang seperti pedagang jelas-jelas dicurigakan kualitas etisnya. Sikap negatif terhadap bisnis ini berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu industrialisasi.

1. Kebudayaan Yunani KunoMasyarakat Yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatan dagang dan kekayaan. Warga negara bebas seharusnya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), di samping tentu memberi sumbangsih kepada pengurusan negara dan -kalau dalam keadaan mendesak- turut membela negara. Perdagangan sebaiknya diserahkan kepada orang asing dan pendatang. Pandangan negatif ini ditemukan juga dalam filsafat Yunani kuno. Pada filsuf Plato (427-347 SM) hal itu tampak dengan jelas dalam karya terakhirnya yang berjudul Undang-Undang. Di sini digambarkan bagaimana sebaiknya perundang-undangan dalam negara yang dianggap ideal. Letaknya negara ideal itu seharusnya cukup jauh dari pantai laut, paling sedikit 80 stadia (kira-kira 14.5 kilometer). Maksudnya tentu supaya tidak menjadi pusat perdagangan dan kekuatan maritime. Laut adalah seorang kawan keseharian yang cukup menyenangkan, namun memiliki juga ciri yang payau dan pahit. Dekatnya laut mengakibatkan jalan-jalan dibanjiri dengan pedagang serta pemilik toko dan menanamkan dalam jiwa orang kebiasaan seperti ketidaksetiaan dan penipuan, sehingga negara menjadi tidak setia dan kurang ramah baik terhadap para warganya sendiri maupun terhadap dunia luar. Menurut Plato, negara yang ideal adalah negara agraris yang sedapat mungkin berdikari, sehingga perdagangan hampir tidak perlu. Perdagangan mempertebal keserakahan manusia. Yang paling berharga bagi manusia adalah keutamaandan bukan kekayaan duniawi. Orang yang dihantui nafsu untuk memperoleh uang dengan cara tidak benar dan tidak merasa jijik karena perolehan itu, akan mendapatkan bahwa jiwanya tidak diperindah dengan harta itu.Semua emas di atas bumi dan semua emas di bawahnya tidak dapat mengimbangi kekurangan keutamaan.Penolakan terhadap perdagangan dan kekayaan diberi dasar lebih teoritis oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam karyanya Politica ia menilai sebagai tidak etis sebagai kegiatan menambah kekayaan. Kalau kita sepakat bahwa bisnis selalu mengandung unsur mencari keuntungan, Aristoteles menolak bisnis dalam arti modern itu sebagai tidak etis. Ia membedakan antara oikonomike tekhne dan khrematistike telme: kegiatan ekonomi dan kegiatan krematistik. Orang modern akan mengalami kesulitan untuk menerima pembedaan ini. Dan Aristoteles sendiri mengakui bahwa banyak orang pada waktu itu pun tidak dapat membedakan dua hal itu, tetapi bagi dirinya sendiri pembedaan ini sangat hakiki. Yang satu itu dinilai etis, sedangkan yang lain ditolak karena menyalahi batas etika. Ekonomi (oikonomia berarti: pengaturan rumah tangga; oikos = rumah, rumah tangga; nomos = pengaturan, aturan, hukum) adalah tukar-menukar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Misalnya, satu rumah tangga memiliki sepatu yang tidak dibutukandan ditukar dengan barang lain. Pertukaran ini bisa berupa barang dengan barang (barter) atau bisa dengan memakai uang. Misalnya, satu keluarga menjual kelebihan anggurnya kepada keluarga kedua dan dengan uang yang diperoleh keluarga ini membeli gandum dari keluarga lain lagi, karena kebetulan mereka membutuhkan gandum. Kalau begitu, uang dipakai menurut kodratnya (nature), yaitu sebagai alat tukar. Karena itu, pertukaran dalam ini oleh Aristoteles disebut wajar atau kodrati (natural). Ia mengatakan juga bahwa ekonomi itu dalam batas.Krematistik (khremata = harta benda, kekayaan) adalah menukar barang dengan uang hanya untuk menambah kekayaan. Misalnya, suatu keluarga membeli gandum dan jika sudah beberapa waktu terjadi kekurangan gandum, mereka menjualnya lagi dengan harga tiga kali lipat. Cara pertukaran terakhir ini dinilai tidak wajar oleh Aristoteles atau bertentangan dengan kodrat (unnatural). Uang di sini dipakai bertentangan dengan kodratnya sebagai alat tukar. Dengan demikian uang menjadi suatu tujuan sendiri. Kekayaan sering dipandang sebagai terdiri atas setumpuk uang, karena tujuan krematistik atau perdagangan adalah membentuk tumpuk macam itu. Aristoteles mengatakan juga bahwa krematistik itu tak terbatas, karena selalu terarah pada uang lebih banyak lagi.Tidak mengherankan, bila riba atau bunga uang oleh Aristoteles dimasukkan juga dalam krematistik. Bahkan ia menilai bunga uang sebagai bentuk krematistik yang paling jelek, karena di sini uang dipakai paling bertentangan dengan kodratnya. Uang adalah alat tukar belaka. Kira-kira seperti nomor yang kita orang modern- dapat, bila menitip tas atau barang lain di toko swalayan atau perpustakaan. Sedangkan orang yang meminta bunga dari pinjaman uang, memperlakukan uang itu sama seperti sapi yang memperoleh anak sapi atau pohon apel yang menghasilkan apel. Uang dimaksudkan semata-mata sebagai alat tukar, sedangkan bunga berusaha untuk memperbanyak uang Karena itu, dari segala cara untuk memperoleh kekayaan inilah adalah cara yang paling bertentangan denga kodrat. Pandangan negatif Aristoteles terhadap bunga ini berpengaruh besar di kemudian hari. Bukti lain yang kerapkali dikemukakan untuk nama buruk dari perdagangan dalam masyarakat Yunani kuno adalah kenyataan bahwa Yunani Hermes dihormati sebagai pelindung baik bagi pedagang maupun bagi pencuri. Memang benar, Hermes menjadi dewa pelindung untuk dua golongan orang itu. Tetapi rupanya dengan itu tidak dimaksudkan suatu kualifikasi etis, yaitu bahwa pedagang dapat disetarafkan dengan pencuri. Menurut para pakar kebudayaan Yunani kuno, Hermes adalah dewa pelindung semua orang yang mempergunakan jalan. Pedagang dan pencuri terutama termasuk dalam orang yang banyak bepergian dari tempat satu ke tempat lain dan karena itu mempergunakan jalan. Namun demikian, bagi orang modern tetap bisa timbul keheranan, karena pedagang dan pencuri tanpa merasa keberatan dapat disebut dalam satu tarikan napas.

2. Agama Kristen Dalam Kitab Suci Kristen terdapat cukup banyak teks yang bernada kritis terhadap kekayaan dan uang, dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru. Dalam seluruh Alkitab, orang kaya diminta membuka hatinya untuk kaum miskin, untuk janda dan yatim piatu, untung mereka yang kurang beruntung dalam perjuangan hidup di dunia ini. Diberi peringatan bahwa hartawan tidak bisa membawa kekayaan ke dalam kubur (Mazmur 49:17-18). Orang miskin dinyatakan berbahagia dan orang kaya dinyatakan terkutuk (Lukas 6:20,24). Lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk dalam Kerajaan Surga (Matius 19:24). Harta benda dan kekayaan disebut Mamon yang dianggap personifikasi dari yang jahat (Matius 6:24; Lukas 16:9). Akar segala kejahatan adalah cinta uang (phylargyria) (1 Timotius 6:10). Karena itu umat dianjurkan: Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu (Ibrani 13:15). Dalam Alkitab itu sendiri perdagangan tidak ditolak sebagai kurang etis. Akan tetapi, karena perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaan, dapat dimengerti juga jika pada permulaan sejarah Gereja Kristen perdagangan dipandang dengan syak wasangka. Dalam kalangan Kristiani pada zaman kuno dan Abad Pertengahan, profesi pedagang sering dinilai kurang pantas. Dan karena itu urusan niaga sering diserahkan kepada orang Yahudi, satu-satunya golongan bukan Kristen dalam masyarakat Barat Abad Pertengahan. Agustinus (354-430 SM) sudah menegaskan: seorang pedagang barangkali dapat berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin ia berkenan di hati Tuhan. Dengan kata lain, pekerjaan seorang pedagang paling-paling netral saja dari sudut pandang moral, tapi tidak pernah bisa menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh baik. Seorang teolog dari abad 5 atau 6, yang tidak kita kenal namanya, memperluas perkataan Agustinus ini menjadi penolakan paling tajam dan ekstrem terhadap perdagangan dalam literature Kristen zaman kuno. Ia mulai menunjuk kepada adegan terkenal dari Injil dimana Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari bait Allah di Yerusalem. Biasanya adegan itu dipahami sebagai protes Yesus terhadap profanasi tempat suci. Tetapi teolog tersebut mempunyai penafsiran lain dengan melihat adegan itu sebagai penolakan Yesus terhadap perdagangan pada umumnya. Teksnya berbunyi sebagai berikut: Bahwa Tuhan Yesus mengusir para penjual dan pembeli dari Bait Allah, berarti bahwa seorang pedagang hampir tidak atau malah tidak pernah berkenan di hati Tuhan. Dan karena itu tak seorang Kristen pun boleh menjadi pedagang, atau, seandainya nekad, ia harus dikeluarkan dari Gereja Allah. Jadi, di sini dinyatakan dengan tegas bahwa profesi sebagai pedagang tidak pantas bagi orang Kristen. Seorang Kristen harus memilih: menjadi pedagang atau tetap hidup sebagai Kristen. Kedua status itu tidak bisa dikombinasikan dalam orang yang sama. Teks dari abad 5 atau 6 ini kemudian dimuat dalam Decretum Gratiani (akhir abad 12), sebuah dokumen sangat penting dalam bidang hukum Gereja dalam Abad Pertengahan. Dari riwayat ini dapat disimpulkan bahwa suara yang begitu negatif terhadap perdagangan ini mendapat kedudukan terpandang selama berabad-abad. Dalam tahun pertama dari majalah Business Ethics Quarterly berlangsung polemic antara David Vogel dan Thomas McMahon tentang pandangan Kristen zaman kuno dan Abad Pertengahan mengenai perdagangan. Vogel berpendapat bahwa dalam periode Kristiani sebelum Reformasi bisnis dianggap tidak etis atau sekurang-kurangnya sangat dicurigakan. Pada waktu itu pebisnis yang bermoral sebetulnya sama dengan kontradiksi dalam sebutan. Mengambil profit dari kegiatan dagang dinilai sama dengan profiteering (pencatutan atau pengambilan keuntungan berlebihan). Kita harus menunggu sampai zaman Protestantisme, hingga muncul pandangan lebih positif tentang bisnis. Dan etika bisnis baru mulai di situ. Sebab, selama bisnis dipandang negatif belaka tidak mungkin juga menyusun kerangka normatif yang menghalalkan kegiatan bisnis. McMahon menganggap pendapat itu terlalu berat sebelah dan mengemukakan banyak teks dari periode pra-Reformasi di mana tampak sikap lebih konstruktif terhadap kegiatan bisnis. Menilai hasil diskusi ini, rupanya harus kita simpulkan bahwa masalah pandangan Kristen pra-Reformasi tentang perdagangan perlu didekati dengan nuansa yang seperlunya. Pada waktu itu memang ada teks-teks yang sangat negatif terhadap moralitas perdagangan, seperti teks yang dikutip tadi. Namun demikian, tidak bisa dikatakan juga bahwa teks seperti itu mencerminkan seluruh pandangan Kristen pada waktu itu. Ada juga cukup banyak pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara lebih positif. Mereka melihat bisnis sebagai suatu usaha yang secara moral sekurang-kurangnya netral. Kualitas moralnya tergantung pada apa yang dilakukan manusia dalam usaha itu. Bisnis itu sendiri tidak dianggap sebagai secara intrinsik moral. Sebagai contoh dapat disebut Thomas Aquinas, filsuf dan teolog besar dari abad 13. Tentu saja, ia menolak penipuan dan praktek curang lainnya dalam bisnis dan secara implicit ia mengakui bahwa bisnis cukup rawan terhadap praktek semacam itu. Tetapi kesadaran itu tidak menjadi alasan untuk menolak bisnis itu sendiri yang memang dipahaminya sebagai usaha mencari untung. Di satu tempat ia menulis: Namun demikian, keuntungan itu sendiri yang merupakan tujuan perdagangan tidak mengandung sesuatu yang berdosa atau bertentangan dengan keutamaan, sehingga tidak ada keberatan untuk mencari keuntungan demi suatu tujuan yang perlu atau malah demi suatu tujuan berkeutamaan, dan dengan demikian perdagangan menjadi sesuatu yang sah. Perlu diakui kepada Vogel, dengan adanya Reformasi timbul juga suatu sikap lebih positif terhadap perdagangan. Dalam pandangan Protestan, memperoleh untung dengan berdagang dinilai sebagai pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman. Dalam perspektif serupa itu kecurigaan terhadap bisnis (yang memang menandai pandangan Katolik sebelum Reformasi) mudah menghilang. Tidak ada halangan lagi pedagang bisa menjadi orang yang berkeutamaan. Perubahan pandangan itu tentu berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai tesis Weber. Dalam sebuah studi yang termasyur, sosiolog Jerman, Max Weber (1864-1920), menjelaskan bahwa timbulnya kapitalisme dipengaruhi dan didorong oleh etos kerja Protestantisme, khususnya Calvinisme. Etika Calvinisme ditandai oleh sifat-sifat yang kondusif untuk kegiatan bisnis, misalnya sangat diutamakan nilai-nilai seperti bekerja keras dan hidup asketis. Modal yang dihemat dengan demikian bisa diinvestasi lagi dalam usaha yang produktif. Dan sukses dalam usaha dilihat sebagai pahala dari Tuhan. Salah satu implikasi dari tesis Weber ini adalah sikap yang sangat positif terhadap kegiatan bisnis. Dalam kesusastraan Barat dari masa lampau terlepas dari konteks agama- kadang-kadang dapat ditunjukkan juga suatu sikap negatif terhadap bisnis. Contoh terkenal adalah drama The Merchant of Venice, karya William Shakespeare (1564-1616) di mana ditampilkan figur Shylock yang mewakili tipe saudagar yang tidak segan-segan memeras orang lain. Shylock ini digambarkan sebagai orang Yahudi.

3. Etika Bisnis IslamiJika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang, dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al-Quran terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2: 275)Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat pada sabda Rasulullah SAW: Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran (QS: Al Ahzab: 70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya. Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada agama bagi orang yang tidak menepati janji, pedagang yang jujur dan amanah (tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada (Hadits).Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic caf tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak, suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-Araf;32. QS: Al-Maidah: 100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah: 275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al araf: 31)3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al Baqarah: 18. Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela perbuatan tersebut. Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah, Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda : Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS: Al-Isra: 35. Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar. Nabi bersabda Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut :a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu. Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupunc) produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.Etika PemasaranDalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam Al-Quran. Al-Quran memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah menyebutkan Kitab (Al-Quran) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam etika marketing:1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Quran, sebagai reability product guarantee.2. Allah menjelaskan manfaat Al-Quran sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan (petunjuk).3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan. Mengambil petunjuk dari kalimat jaminan yang dijelaskan Allah dalam Al-Quran, maka dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek: Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian. Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman dalam penyajian.Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari jaminan.Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah. Beritahukanlah kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar(QS:Al-Anam:143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan, data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh disbanding penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang akan dibelinya.Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki. Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus memenuhi tiga unsur :1. Materi yang halal2. Proses pengolahan yang bersih (Higienis)3. Penyajian yang IslamiDengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya. Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak barang dan lain-lain.Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor syariah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil syari. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda : La dlaraara wala dliraara 4. Kebudayaan JawaPada pandangan jawa etika bisnis yaitu suatu pandangan yang sifatnya kondunsif yaitu sesuatu kekayaan atau usaha tidak akan berarti jika melenceng keluar dari aturan etika yang berlaku. Berbeda dengan orang Minang yang tekun dalam usaha dagang. Dalam kebudayaan Jawa terdapat perbedaan yang menarik. Clifford Geertz menemukan empat golongan masyarakat: 1. Priyayi (pegawai pemerintah dan pekerja kerah putihdi pabrik-pabrik kecil).Golongan priyayi membentuk elite politik dan cultural yang menjauhkan diri dari perdagangan. Minat mereka terarah pada kesenian dan intelektual.2. Para pedagang pribumi.Mereka menjamin perputaran ekonomi bersama dengan wong Cina. Mereka adalah muslim yang saleh dan punya pertalian darah dengan bangsa Arab. Sikap positif agama Islam dalam perdagangan ini tampak pada golongan ini. Golongan ini juga merupakan golongan yang paling dinamis. 3. Buruh tani atau tukang (wong cilik)4. Orang Cina (wong Tionghoa)Geertz menjelaskan dalam masyarakat Jawa memiliki kekayaan terutama secara mendadak sering dikaitkan dengan tuyul, roh halus. Tuyul dipercaya adalah roh halus yang dapat mencuri uang. Terutama bila orang tersebut dalam stratikasi social yang rendah. Dalam tradisi Jawa, kekayaan sangat dicurigai dan dianggap bukan hasil jerih payah seseorang atau hasil dari beusaha. Pandangan tersebut akan berdampak pada kemajuan kewiraswastaan. 5. Sikap modern dewasa iniDilihat dari pandangan zaman sekarang ini adanya saling merebut kekuasaan satu sama lain yang tidak memperhatikan suatu etika dan peraturan pemerintahan yang berlaku. Dimasa silam, bisnis mempunyai nama jelek karena tujuan bisnis, yaitu pencarian laba. hal ini ditegaskan oleh ekonom Amerika, Robert Heilbroner: Kalau pencarian untung menjadi motif utama bagi bisnis, dengan sendirinya diakibatkan juga bahwa bisnis mengejar kepentingan diri. Kepentingan diri disamakan dengan egoisme. Sikap egois ditolak oleh pihak agama dan lebih menunjuk kepada altruism (sifat watak yang memperhatikan dan mengutamakan kepentingan orang lain).

Terdapat pandangan yang merupakan jalan tengah antara egoisme dan altruism yang dikemukakan Adam Smith (1723-1790). Orang yang terlibat dalam kegiatan bisnis memang mencari kepentingan diri, tapi tidak perlu sampai merugikan kepentingan orang lain. Sebaliknya relasi ekonomis justru menguntungkan untuk kedua belah pihak sekaligus. tampak disini bisnis membutuhkan etika, dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang harus dipegang dalam kegiatan berbisnis. Nilai dan norma yang terpenting adalah jangan merugikan orang lain.

Di kawasan dunia dewasa ini, kekayaan perusahaan-perusahaan swasta lebih besar dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan negara. Sehingga bisnis mencapai posisi kekuasaan ekonomi yang besar. Keprihatinan dengan kekuasaan ekonomis tampak di negara-negara berkembang dan kuasa menjadi masalah terbesar saat ini. Bisnis sekarang mewujudkan kuasa ekonomis yang luar biasa besar. Kuasa yang tak terkontrol akan menyimpang atau menjadi korup. Kuasa ekonomis condong untuk disalahgunakan (demi keuntungan sebesar-besarnya) sehingga diperlukan cara tepat untuk mengontrol dan membatasi kuasa. Jika kuasa ekonomi merajalela akan mengorbankan ekonomi yang lemah. Yang kuat pasti akan menindih yang lemah. Jadi dapat simpulkan, masalah dan tantangan terbesar etika bisnis dewasa in adalah menyangkut kekuasaan dan bagaimana dapat dibatasi tanpa mengurangi efisiensi agar tidak terjadi penyalahgunaan.

DAFTAR PUSTAKA

http://books.google.co.id/ http://yunimbum.wordpress.com/2011/01/08/etika-bisnis/