Etika Dlm Prktk Akmen n AK (9)

download Etika Dlm Prktk Akmen n AK (9)

of 13

Transcript of Etika Dlm Prktk Akmen n AK (9)

ETIKA BISNIS DAN PROFESI

ETIKA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI KEUANGAN dan AKUNTANSI MANAJEMEN

Disusun oleh : Defita Unaitrah Thalib Ilhamdhani W Sigit Kurnianto

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

ETIKA DALAM PRAKTIK AKUNTANSI KEUANGAN DAN AKUNTANSI MANAJEMEN

A. Etika dalam Praktik Akuntansi Keuangan Akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan harus sesuai dengan PSAK yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan praktik akuntansi lainnya yang lazim berlaku di Pasar Modal, apabila perusahaan tersebut go public. Manajemen Emiten atau Perusahaan Publik bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Laporan keuangan dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan pengertian laporan keuangan yang termuat dalam PSAK yang diterbitkan oleh IAI, yaitu meliputi Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Seluruh data yang disajikan dalam laporan keuangan untuk perusahaan go public bersifat terbuka dan tersedia untuk publik. Penerapan akuntansi sesuai dengan SAK terkadang sering terjadi pelanggaran terhadap SAK tersebut, sehingga dengan kata lain kebanyakan dari perusahaan-perusahaan di Indonesia masih melakukan kecurangankecurangan ekonomi. Berkaitan dengan itu Association of Certified Fraud Examinations (ACFE-2000), salah satu asosiasi di USA yang mendarmabaktikan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan kecurangan, mengkategorikan kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut: a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud), Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial. b. Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam Kecurangan Kas dan Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement). c. Korupsi (Corruption), Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).

Dari hasil survey/penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa sebagian besar kecurangan-kecurangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah penyalahgunaan asset. Berdasarkan laporan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pada tahun 2009 kerugian yang diakibatkan oleh kecurangan di Indonesia adalah sekitar 6% dari pendapatan atau Rp 600 milyar dan secara persentase tingkat kerugian ini tidak banyak berubah dari tahun 1998. Dari 200 kasus yang ditangani Bapepam, diantara kasus-kasus kecurangan tersebut, jenis kecurangan yang paling banyak terjadi adalah asset misappropriations (85%), kemudian disusul dengan korupsi (30%), (15%) adalah kecurangan perpajakan, dan (5%) jumlah yang paling sedikit adalah kecurangan laporan keuangan (fraudulent statements). Walaupun demikian kecurangan laporan keuangan membawa kerugian paling besar yaitu median kerugian sekitar Rp 425 juta (Bapepam 2009). 1. Kecurangan Laporan Keuangan Terdapat lima klasifikasi dalam kecurangan laporan keuangan, yaitu: 1. Pendapatan fiktif (Fictitious Revenue). Mencatat penjualan barang atau jasa yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Biasanya merupakan penjualan kepada konsumen fiktif (ghost customers), atau penjualan fiktif kepada konsumen yang sebenarnya ada, namun tidak pernah ada pengiriman barang atau penyediaan jasanya. 2. Perbedaan waktu (Timing Difference). Kecurangan ini berkaitan dengan pencatatan penjualan atau biaya pada periode waktu yang salah, sehingga prinsip matching cost againts revenue tidak ditaati. Akibatnya terjadi pelaporan net income yang terlalu tinggi dalam periode akuntansi, sedangkan dalam periode lainnya net income menjadi terlalu rendah dilaporkan, atau sebaliknya Dorongan fraud ini biasanya menyangkut performance dan bonus tahunan pengelola perusahaan. 3. Menyembunyikan kewajiban dan biaya. Kecurangan ini dilakukan dengan cara tidak mengungkap adanya kewajiban dan biaya dalam laporan keuangan. Terdapat tiga metode umum yang digunakan, yaitu: a) Menghilangkan kewajiban. b) Mengkapitalisasi biaya. c) Membiayakan pengeluaran modal. d) Tidak mengungkap kewajiban atas penjaminan produk atau kontinjensi lain. 4. Pengungkapan yang tidak tepat. Manajemen tidak mengungkapkan kejadian

kejadian penting, misalnya transaksi-transaksi dengan hubungan istimewa, penjualan produk baru yang biasanya high risk, penggunaan teknologi atau metode baru, serta tidak mengungkap penghitungan estimasi. 5. Cara penilaian aktiva tidak tepat. Penilaian aset yang dilakukan tidak sesuai standar akuntansi yang berlaku. Pada penelitian terbaru yang dilakukan oleh The Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO), kecurangan (fraud) dalam pelaporan keuangan oleh perusahaan-perusahaan publik di Amerika Serikat memberikan konsekuensi negatif yang signifikan terhadap para investor dan eksekutif. Penelitian COSO tersebut, dengan menelaah tuduhan kecurangan laporan keuangan yang diselidiki oleh Securities and Exchange Commission (SEC) dalam kurun waktu sepuluh tahun antara tahun 2000 2009, menemukan fakta bahwa berita dugaan kecurangan telah mengakibatkan penurunan abnormal harga saham rata-rata 16,7% dalam dua hari setelah diumumkan. Perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kecurangan seringkali mengalami kebangkrutan, delisting dari bursa efek, atau harus menjual aset, dan sembilan dari sepuluh kasus-kasus SEC tersebut menyebutkan CEO dan/atau CFO perusahaan yang bersangkutan diduga terlibat dalam kecurangan. Penelitian COSO di atas menelaah hampir 350 kasus dugaan kecurangan pelaporan keuangan yang diselidiki oleh SEC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Kecurangan keuangan memengaruhi perusahaan dari semua ukuran, dengan median perusahaan memiliki aktiva dan pendapatan hanya di bawah $100juta. Median kecurangan adalah $12,1 juta . Lebih dari 30 kasus dengan masingmasing kasus melibatkan jumlah lebih dari $500 juta. SEC menyebutkan CEO dan/atau CFO terindikasi terlibat pada 89% dari kasus kecurangan. Dalam waktu dua tahun penyelesaian penyelidikan SEC, sekitar 20% dari para CEO / CFO berlanjut pada dakwaan serta lebih dari 60% di antaranya divonis bersalah. Kecurangan mengenai pendapatan tercatat lebih 60% dari kasus.

KASUS: PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat- obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementerian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar. Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan. PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit- unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut. Berdasarkan hasil pemeriksaan Bapepam, diperoleh bukti sebagai berikut : a) terdapat kesalahan penyajian dalam laporan keuangan PT KAEF, adapun dampak kesalahan tersebut mengakibatkan overstated laba pada laba bersih untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2001 sebesar Rp 32,7 miliar yang merupakan 2,3% dari penjualan dan 24,7% dari laba bersih PT Kimia Farma Tbk. b) Kesalahan tersebut terdapat pada unit- unit sebagai berikut:

Unit Industri Bahan Baku: Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 2,7 miliar. Unit Logistik Sentral: Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar Unit Pedagang Besar Farmasi (PBF): Kesalahan berupa overstated pada persediaan barang sebesar Rp 8,1 miliar, Kesalahan berupa overstated pada penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. c) Bahwa kesalahan penyajian tersebut, dilakukan oleh Direksi periode 1998- Juni 2002 dengan cara: 1. Membuat 2 (dua) daftar harga persedian (master prices) yang berbeda masing- masing diterbitkan pada tanggal 1 Pebruari 2002 dan 3 Februari 2002, dimana keduanya merupakan master prices yang telah diotorisasi oleh pihak yang berwenang yaitu Direktur Produksi PT KAEF. Master prices per 3 Pebruari 2002 merupakan master prices yang telah disesuaikan nilainya (penggelembungan) dan dijadikan dasar sebagai penentuan nilai persediaan pada unit distribusi PT KAEF per 31 Desember 2001. 2. Melakukan pencatatan ganda atas penjualan pada unit PBF dan unit Bahan Baku. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit- unit yang tidak disampling oleh Akuntan. d) Berdasarkan uraian tersebut di atas, tindakan yang dilakukan oleh PT KAEF terbukti melanggar: Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7 tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan.

ANALISIS KASUS: Dari kasus PT. Kimia Farma diatas menunjukkan bahwa terjadi pelanggaran etika dalam praktik akuntansi keuangan. Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan.

Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publik. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak- pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi. Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporan keuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham Kimia Farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik. Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika profesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik. Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan. Kasus yang menimpa KAP HTM

ini adalah resiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada resiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Resiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun public, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekwensi resiko seperti hilangnya kepercayaan public dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya kantor Akuntan tersebut. Diluar resiko bisnis, resiko lain yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan.

B. Etika dalam Praktik Akuntansi Manajemen Praktik akuntansi manajemen juga dalam praktiknya seringkali juga sering tidak sesuai dengan aturan akuntansi yang berlaku. Misalnya saja mengenai transfer pricing. Transfer pricing adalah hal yang wajar dalam dunia usaha (definisi netral), karena dengan adanya transfer pricing, suatu perusahaan dapat meningkatkan kinerja masing-masing divisinya. Namun, saat ini praktik transfer pricing sering disalah gunakan untuk menghindari pajak. Apalagi saat ini perusahaan multinasional sudah telah banyak berkembang di Indonesia. Perusahaan multinasional cenderung memanfaatkan transfer pricing dalam hal penghindaran pajak. Hal ini dibuktikan dengan adanya data yang dimiliki Dirjen Pajak, dinyatakan bahwa negara berpotensi telah kehilangan 1.300 Triliun Rupiah akibat dari praktik tranfer pricing. Hal ini diperkuat juga dengan hasil survey yang dilakukan KAP Ernt & Young, yang menyatakan bahwa isu yang paling dianggap penting adalah Transfer Pricing 39%, Tax Planning 32%, Double Taxation 9%, Value Added Tax 8%, Tax Controversy 6%, Customs Duties 3%, dan Foreign Tax Credit 3%

Isu Etika dalam Akuntansi Manajemen 1. Definisi Transfer Pricing Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing didefinisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi pembeli (buying divison). Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk- produk antara (intermediate product) yang merupakan barang- barang dan jasa- jasa yang dipasok okeh divisi penjual kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara. Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan besar yang multi unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cpst-

reveneu atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit- unit perusahaan multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping itu, masalah ketat/ tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan informasi, merupakan hal yang akan mendorong; pelaksanaan transfer pricing, sehingga secara keseluruhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer pricing tersebut adalah: 1. Pergeseran menuju desentralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep corporate profit center 2. Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional. 3. Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa negara. 4. Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar- unit dalam group perusahaan. 2. Tujuan Transfer Pricing Secara umum, tujuan penetapan harga transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen- departemen atau divisi- divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan barang dan jasa satu sama lain (Henry Simamora, 1999:273). Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju keputusan- keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Sedangkan dalam lingkup perusahaan multinasional, transfer pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh dunia. (Hansen and Mowen, 1996:496).

KASUS: Terdakwa VINCENTIUS AMIN SUTANTO alias VICTOR SETIAWAN alias VICTOR SUSANTO bekerja di PT. Indosawit Subur (Asian Agri Group) sejak tahun 1999 dan menjabat sebagai Group Financial Controller. Asian Agri Group bergerak dalam bidang minyak mentah kelapa sawit (CPO), perkebunan, dan lain-lain, membawahi beberapa perusahaan di dalam negeri (Indonesia) dan beberapa perusahaan di luar negeri, diantaranya Asian Agri Oils & Fats Ltd. yang berkedudukan di Singapura. Terdakwa menyuruh Ricky Bunjaya untuk membuat Kartu Tanda Penduduk dengan nama Hendri Susilo, dengan tujuan untuk mendirikan dua perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas berkedudukan di Jakarta masing- masing dengan nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama, selanjutnya Hendri Susilo menyerahkan nomor rekening atas nama PT. Asian Agri Jaya dan PT. Asian Agri Utama berikut Swift Code Pin serta 3 (tiga) buah stempel/ cap perusahaan kepada Terdakwa. Terdakwa memberitahukan kepada Hendri Susilo dan Agustinus Ferry Susanto bahwa uang dalam waktu dekat akan masuk ke rekening dan menugaskan orang tersebut untuk mencairkan dana yang sudah masuk rekening. Selanjutnya Terdakwa membuat 2 (dua) lembar perintah aplikasi transfer menggunakan formulir Fortis Bank SA/NV Singapore, menandatanganinya dengan meniru tanda tangan Kueh Chin Poh dan Ong Chan Hwa dan mengirimkan perintah aplikasi transfer tersebut ke Singapore melalui jasa pengiriman DHL di Bandara Polonia Medan. Atas pengiriman 2 (dua) aplikasi transfer tersebut pada tanggal 15 Nopember 2006 dana masuk dari Fortis Bank SA/NV Singapore ke rekening PT. Asian Agri Jaya sebesar USD 1.906.215.60 dan ke rekening PT. Asian Agri Utama sebesar USD 1.203.872.47. Dari hasil penyelidikan petugas diketahui bahwa kapal induk bisnis terbesar kedua dalam kelompok usaha Raja Garuda Mas itu memanipulasi isi Surat Pemeberitahuan (SPT) Tahunan pajak selama tiga tahun, yakni sejak tahun 2002 hingga 2005. Modus yang dilakukan oleh PT Asian Agri adalah dengan mennggelembungkan biaya, memperbesar kerugian transaksi ekspor, dan menciutkan hasil penjualan. Tujuannya adalam meminimalkan profit untuk menekan beban pajak. direktorat Jenderal Pajak telah menemukan bukti kuat Asian Agri menggelapkan pajak. perusahaan ini terbukti menggelembungkan biaya perusahaan sebesar Rp 1,5 Triliuun, membesarkan kerugian transaksi ekspor sebesar Rp 232 Miliar, dan mengecilkan hasil penjualan sebesar Rp 899 Miliar.

ANALISIS KASUS: Dalam kasus PT. Asian Agri diatas merupakan salah satu contoh kasus pelanggaran dari praktik akuntansi manajemen. Transfer Pricing dalam bisnis diperbolehkan karena tujuan transfer pricing sebenarnya adalah untuk meningkatkan kinerja divisi- divisi dalam satu perusahaan tertentu. Kasus PT. Asian Agri terbukti bersalah telah menggelapkan uang pajak yaitu dengan beberapa modus yang dilakukan. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan Transfer pricing, yaitu dari perusahaan- perusahaan Asian Agri di

Indonesia kemudian dijual dengan harga murah (dibawah harga pasar) kepada perusahaan- perusahaan di Hongkong dan kemudian perusahaan- perusahaan Hongkong tersebut akan menjual kepada Global Advance Oil and Fats dan Asia Agri Abadi Oil and Fats dengan harga yang sedikit lebih tinggi. Kedua perusahaan tersebut barulah menjual kepada riil buyer dengan harga pasar, sehingga perusahaan di Indonesia mengalami kerugian sehingga penghindaran pajak dapat terjadi. Setelah transfer pricing terjadi, keuntungan dari perusahaan Global Advance Oil and Fats dan Asia Agri Abadi Oil and Fats akan ditransfer ke Asian Agri Abadi International Ltd. Hal tersebut belum selesai, modus ini memanfaatkan offshore company (First Island Trust dan Treston International) sebagai alat pencucian uang. Offshore company adalah perusahaan yang mempunuyai kegiatan pembiayaan sehingga terdapat pihak investor dan peminjam, dimana pinjaman biasanya diberikan dengan bunga yang tinggi. Pihak investor disini adalah Sukamto Tanoto dan keluarga sebagai Beneficial Owner dan Asian Agri Abadi International Ltd sebagai peminjam melalui Goaled, Headcorp, Good Fortune, dan lain- lain, sehingga dengan modus tersebut, Sukamto Tanoto dapat memanfaatkan uang hasil dari tindak pidana perpajakan. Asian Agri ingin memperoleh keuntungan tertentu melalui berbagai macam cara. Meskipun hal tersebut dapat merugikan pihak tertentu khususnya dalam hal ini, yang dirugikan yaitu negara. Sebenarnya jalan yang diambil dengan melakukan penggelapan pajak, meskipun jumlah keuntungannya besar, tetapi resiko yang diperoleh juga besar. Meskipun hal tersebut dapat ditutup- tutupi pihak perusahaan, cepat atau lambat hal tersebut dapat terungkap. Selain itu dapat disebabkan kurangnya kesadaran para karyawan maupun pihak manajemen Asian Agri untuk mempertahankan sikap dan pengambilan keputusan. Dimana masih kurang adanya etika professional yang dimiliki, khususnya dalam etika bisnis dimana nilai- nilai dan norma- norma dipraktekkan dalam dunia bisnis. Tentunya

dengan melakukan berbagai hal yang tidak menyimpang dari tata aturan dan kode etik yang berlaku. Sehingga disisi lain tidak ada pihak yang menjadi korban yang dirugikan. Agar terciptanya suatu kerja sama yang baik antara pihak- pihak yang berkepentingan. Sehingga bisnis dapat berjalan dan berkembang dengan sehat. Dengan memperhatikan kode etik, dapat mengurangi segala tingkah laku yang negatif.