Epista Ks Is

download Epista Ks Is

of 14

description

ooo

Transcript of Epista Ks Is

DiagnosisAnamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab-sebab perdarahan serta sumber perdarahan. Keadaan umum, tensi, dan nadi perlu diperiksa. Dan untuk pemeriksaan, alat-alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.6Pada anamnesis perlu digali faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya epistaksis. Riwayat trauma pada hidung dan riwayat-riwayat penyakit sistemik pada pasien perlu ditelusuri untuk penatalaksanaan pasien secara komprehensif agar tidak terjadi perdarahan berulang. Pada pasien dengan riwayat perdarahan berulang perlu ditanyakan apakah pasien atau keluarga pernah menderita kelainan darah, riwayat perdarahan yang berlebihan setelah pencabutan gigi atau sirkumsisi, atau ada riwayat menstruasi berlebihan pada pasien atau keluarga yang perempuan.1Pada pasien epistaksis juga untuk penting mengetahui riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari.Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan.Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan.Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi pembekuan secara bermakna.7Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan ditujukan untuk melacak sumber perdarahan pasien. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan.Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.1Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.1Pemeriksaan yang diperlukan berupa:1a. Pengukuran tekanan darah Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang. Selain itu pemeriksaan ini juga penting untuk menilai tanda-tanda vital pasien.b. Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. c. Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma. d. Rontgen sinus Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi. e. Skrining terhadap koagulopati Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. f. Riwayat penyakit Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari epistaksis.

Pemeriksaan Penunjang Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis. Tes diagnostik seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik, maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini abnormal, maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada pemeriksaan, maka harus dilakukan CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.7

PenatalaksanaanPrinsip penatalaksanaan epistaksis ialah memperbaiki keadaan umum, mencari sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.1Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernafasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu, misalnya dengan memasang infus. Jalan nafas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.1Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :2 A (airway): pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk B (breathing): pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan C (circulation): pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya. Cavum nasi diinspeksi dengan pemeriksaan rinoskopi anterior atau nasoendoskopi`dengan diikuti dengan pemberian dekongestan dan anestesi lokal pada mukosa. Pada kebanyakan kasus sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach. Kasus epistaksis menjadi sulit ketika sumber perdarahan berasal dari posterior cavum nasi.1,3Alat-alat yang perlu disiapkan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung, dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab perdarahan.1Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Posisi pasien dipertahankan dalam keadaan duduk dan postur tegak lurus untuk mengurangi aliran darah ke kepala dan mencegah tertelannya darah. Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya posisi pasien setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.1,3,4Pasien anak duduk dipangku. Badan dan tangan anak dipeluk, kepala dipegangi agar tetap tegak dan tidak bergerak-gerak.1Menghentikan PerdarahanSumber perdarahan dicari dengan membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Setelah itu dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan serta mengurangi rasa nyeri pada saat tindakan selanjutnya. Pastikan apakah pasien mempunyai riwayat hipertensi atau tidak. Jika pasien mempunyai riwayat hipertensi penggunaan adrenalin tidak dianjurkan. Tampon itu dibiarkan 10-15 menit. Setelah itu terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari anterior atau posterior hidung. Peanempatan ice bag pada punggung leher dinilai mampu memberikan reflek vasokonstriksi.1, 3,4Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya.1Pasien sendiri dapat menghentikan perdarahan bagian depan hidungnya dengan menjepit bagian itu dengan sebuah jari tangan dan ibu jari serta meletakkan sebuah cawan untuk menampung tetesan darah dari hidungnya. Pasien dilarang menelan karena dapat menggeser bekuan darah yang terbentuk. Menelan dapat dicegah dengan menempatkan sebuah gabus diantara kedua barisan gigi depan (metode Trotter).5

Perdarahan anteriorPerdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior terutama pada anak dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit dan seringkali berhasil.1Semprotan dekongestif dan aplikasi topikal gulungan kapas yang dibasahi kokain biasanya akan cukup menimbulkan efek anestesi dan vasokonstriksi. Sekarang bekuan darah dapat di aspirasi. Bila sumbernya terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 25-30% atau dengan Asam Trikolasetat 10% atau dapat juga dengan elektrokauter.Jika pembuluh menonjol pada kedua sisi septum diusahakan agar tidak mengkauter daerah yang sama pada kedua sisi. Sekalipun menggunakan zat kauterisasi dengan penetrasi rendah, namun daerah yang dicakup kauterisasi harus dibatasi. Sebaliknya, maka dengan rusaknya silia dan pembentukan epitel gepeng diatas jaringan parut sebagai jaringan pengganti mukosa saluran nafas normal, akan terbentuk titik-titik akumulasi dalam aliran lapisan mucus. Dengan melambatnya atau terhentinya aliran mukus pada daerah-daerah yang sebelumnya mengalami kauterisasi, akan terbentuk krusta pada septum. Pasien kemudian akan mengorek hidungnya dengan megelupaskan krusta, mencederai lapisan permukaan dan menyebabkan perdarahan baru. Menentukan lokasi perdarahan mungkin semakin sulit pada pasien dengan deviasi septum yang nyata dan perforasi septum.6

Gambar 1. Kauterisasi dengan larutan nitras argenti pada are pleksu Kiessalbach.4Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotika. Tampon mudah dibuat dari lembaran kasa steril bervaselin, berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas hingga keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga hidung. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam dan setelah itu harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan untuk mencari sebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.1

Gambar 2. Tampon pada perdarahan anterior.4

Gambar 3. Pemasangan tampon posterior. Tampak pada bagian leher terpasang ice bag.3

Perdarahan PosteriorPerdarahan pada bagian posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sumber perdarahan sulit dicari dengan rinoskopi anterior. Penting menempatkan pasien dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak, sehingga darah tidak menuju kembali ke tenggoroknya.1Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior dyang disebut tampon bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon Bellocq terbuat dari kassa pada berbentuk bulat atau kubus dengan ukuran 3x2x2 cm. Pada tampon ini terdapat 3 utas benang , yaitu 2 utas pada satu sisi dan seutas benang pada sisi yang lain.1Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui lubang hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior supaya tampon tidak mudah bergerak. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar ke pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2- 3 hari. Hati-hati dalam pencabutan tampon karena dapat terjadi maserasi mukosa.1

Gambar 4. Tampon Bellocq.4

Bila perdarahan berat pada kedua sisi misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing melalui cavum nasi kiri dan kanan dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.1Sebagai pengganti Bellocq dapat digunakan kateter Folley dan balon. Beberapa tahun terakhir telah ada pabrim yang membuat tampon posterior secara khusus.1

Tindakan BedahPembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa prosedur bedah untuk tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat dilakukan untuk mencegah waktu perawatan yang lama sekaligus untuk meningkatkan daya tahan pasien. Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa angka kegagalan tindakan pembedahan lebih rendah ( 14% dibandingkan 26%), menurunkan angka komplikasi (40% dibandingkan 68%) dan waktu perawatan di RS menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien dengan epistaksis posterior.5Setelah memastikan sumber perdarahan pada kasus epistaksis maka diputuskanlah untuk melakukan tindakan pembedahan. Tindakan bedah yang dapat dilakukan yaitu ligasi vascular, embolisasi, atau septoplasti jika ditemukan kelainan yang sebabkan perdarahan seperti perforasi.1Ligasi arteri maksillaris interna biasanya menyebakan penurunan gradien tekanan pada pembuluh darah dan dapat menyebabkan terbentuknya bekuan darah. Rata-rata kejadian berulangnya epistaksis berkisar 5%-13%. Kriteria untuk prosedur ligasi belum ditentukan karena masih terdapatnya perbedaan antara pihak yang mendukung ligasi awal dan ligasi lambat. Posisi Water digunakan untuk mengidentifikasi posisi sinus maxilla untuk melakukan ligasi dengan pendekatan transantral. Dibawah anestesi umum, prosedur Caldwell-luc digunakan untuk mendapatkan akses ke dinding posterior sinus maksila, yang dipindahkan untuk mendapatkan akses ke bagian ketiga (pterygopalatine) yang berlokasi pada ruang pterygopaltine. Mikroskop operasi kemudian digunakan untuk mengidentifikasi pulsasi dari cabang distal, yang kemudian diklem. Penting untuk meletakkan klem bedah pada arteri maksillaris pada bagian proksimal dari asal arteri palatina desenden, pada bagian distal arteri desenden palatina, dan pada bagian distal arteri maksilaris interna. Keuntungan prosedur ini adalah dengan ligasi pada bagian distal pembuluh darah yang mensuplai mukosa nasal dapat meminimalisir perkembangan kolateral pembuluh darah. Kerugian prosedur ini adalah tidak dapat diterapkan pada anak-anak, pasien dengan hipoplasia sinus maksila, atau pada orang-orang dengan fraktur wajah, begitu juga dengan komplikasi sakit pada gigi bagian maksila, gangguan pada ganglion sfenopalatina atau nervus Vidian, kerusakan pada nervus infrsorbita, fistula oro-antral dan sinusitis.5Pendekatan intraoral pada arteri maksillaris menyediakan akses ke bagian pertama dan kedua arteri antara ramus mandibula dan otot temporal. Bagian posterior dari maksilla dicapai melalui insisi gingivobuccal posterior yang bermula dari molar kedua. Blind diseksi dilakukan dengan jari dan lemak buccal di diseksi atau retraksi. Setelah otot temporal diikat dan didiseksi, arteri maksilaris internal terlihat pada dasar luka atau dibawa melalui ikatan saraf kemudian diklem dan dibagi. Keuntungan prosedur ini adalah mudah dikerjakan pada anak-anak, pasien dengan hipoplasia sinus maksillaris, dan fraktur komunikata pada maksilla. Kerugiannya meliputi lokasi ligasi lebih proksimal dibandingkan pendekatan transantral dengan kemungkinan kegagalan yang disebabkan sirkulasi kollateral, sering menyebabkan trismus yang membutuhkan waktu 3 bulan masa penyembuhan disebabkan manipulasi terhadap otot temporal dan dapat menimbulkan kerusakan pada nervus infraorbita.5Ligasi arteri etmoid dilakukan melalui insisi yang dipertimbangkan pada pasien yang mengalami perdarahan ulang setelah ligasi arteri maksillaris interna, dimana terdapat juga epistaksis kavum nasal superior atau pada sambungan ligasi arteri maksilaris interna ketika lokasi perdarahan telah ditemukan. Akses bedah dari standar insisi Lynch turun ke garis sutura fronto-etmoid pada bagian superior dari tulang lakrimal dan pada bagian posterior terletak arteri etmoid anterior pada jarak sekitar 14-18 mm. Jika arteri etmoid posterior harus diligasi, arteri ini terletak 10 mm posterior terhadap arteri etmoid anterior. Area ini harus ditangani dengan hati-hati karena nervus optikus hanya berjarak 5 mm di belakang arteri etmoid posterior. Sekali teridentifikasi, arteri di ligasi dan dipotong.5Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang garis anterior otot sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis eksterna untuk mencegah terligasinya arteri karotis internal, arteri karotis eksternal diligasi. Arteri diligasi dengan penuh kehati-hatian untuk mencegah perlukaan nervus vagus, nervus laringeal superior, nervus hipoglossus, rantai nervus simpatis, atau cabang mandibular nervus facial. Teknik ini sangat mudah dan anatomi daerah ini cukup familiar. Kerugian prosedur ini karena kurang efektif dibandingkan ligasi lainnya yang disebabkan lebih banyaknya aliran darah kolateral.5

Ligasi pada a. etmoidalisLigasi pada a. karotis ekst.Ligasi pada a. maksilarisGambar 5. Ligasi vascular pada epistaksis yang berat.3

Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk mengontrol epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang berulang setelah ligasi arteri, daerah perdarahn sulit untuk dicapai dengan bedah, atau epistaksis yang disebabkan gangguan perdarahan sistemik. Setelah anatominya dikenali, lokasi perdarahan di embolisasi dengan polyvinyl alcohol, partikel gel-foam, atau kawat gulung. Prosedur ini dapat menyumbat pembuluh darah dekat dengan daerah perdarahan sehingga dapat meminimalisasi kolateral. Prosedur in efektif hanya ketika rata-rata perdarahan >0,5 ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90% dengan angka komplikasi sekitar 0,1 %. Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan komplikasi yang berat seperti hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.5Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah teleangiektasis pada mukosa nasal anterior diangkat dari setengah antreior septum, dasar hidung, dan dinding lateral, kemudian diletakkan skin graft. Flap kulit, myokutaneus atau mikrovaskuer dapat digunakan sebagai pengganti skin graft. Telah didapatkan hasil eksperimen yang baik dari penggunaan autograft yang berasal dari epitelial turunan mukosa buccal pasien. Pasien dapat mengalami epistaksis berulang yang disebabkan pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft atau flap, namun keparahan dan frekuensi perdarahan berkurang secara signifikan. Laser Neodymium-yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah digunakan untuk fotokoagulasi lesi epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan kembali biasanya dibutuhkan namun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya meningkat.5Berikut algoritma diagnosis epistaksis dan tatalaksananya.3

Gambar 6. Flow chart diagnosis dan penatalaksanaan epistaksis.3Komplikasi dan PencegahannyaKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.1Pembuluh darah yang terbuka juga dapat berakibat terjadinya infeksi. Hal ini perlu menjadi perhatian dan menjadi indikasi pemberian antibiotik.1Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan berlanjut dapat dipasang tampon baru.1Setelah itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius. Bloody tears (air mata berdarah) dapat juga terjadi sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.1Pemasangan tampon posterior (tampon Ballocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.1Mencegah Perdarahan BerulangSetelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, dan hemostasis. Pemeriksaan foto polos dan CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai kelainan sistemik.1