Ely Rahmayani Sirait-Adiksi & Delirium Alkohol

14
ADIKSI/ KETERGANTUNGAN NARKOBA Gol Penyakit SKDI : 3A Ely Rahmayani Sirait 0907101010166 1. DEFENISI Adiksi/ Ketergantungan narkoba adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika atau psikotropika secara terus-menerus, memerlukan jumlah yang semakain bertambah (toleransi) dan menimbulkan gejala putus zat (withdrawl) jika pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan (Kemenkes RI, 2002). Adiksi adalah ketergantungan terhadap NAPZA, yaitu suatu pola maladaptif dari penggunaan NAPZA, menimbulkan hendaya atau kesukaran yang berarti secara klinis, seperti misalnya timbulnya toleransi, gejala putus NAPZA, sulit untuk menghentikan penggunaan, hambatan pada dunia akademik atau pekerjaan (Peraturan Gubernur Jakarta, 2012). Ketergantungan obat dibedakan atas ketergantungan fisik dan ketergantungan psikis. Sementara itu, arti adiksi dipersempit menjadi ketergantungan fisik, sedangkan ketergantungan psikis juga disebut habituasi. Beberapa ahli memberi arti adiksi sebagai bentuk ketergantungan yang berat pada hard drug (heroin, morfin), sedangkan habituasi sebagai bentuk ketergantungan yang ringan, yaitu pada soft drug (ganja, sedativa, dan hipnotika). Ada pula yang mengganti ketergantungan obat menjadi ketergantungan zat kimia atau chemical dependence. Dalam buku ini digunakan istilah "gangguan penggunaan zat " (substance use disorders) yang dibedakan menjadi penyalahgunaan zat (substance abuse) dan ketergantungan zat

description

tulisan

Transcript of Ely Rahmayani Sirait-Adiksi & Delirium Alkohol

ADIKSI/ KETERGANTUNGAN NARKOBAGol Penyakit SKDI : 3AEly Rahmayani Sirait0907101010166

1. DEFENISIAdiksi/ Ketergantungan narkoba adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika atau psikotropika secara terus-menerus, memerlukan jumlah yang semakain bertambah (toleransi) dan menimbulkan gejala putus zat (withdrawl) jika pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan (Kemenkes RI, 2002). Adiksi adalah ketergantungan terhadap NAPZA, yaitu suatu pola maladaptif dari penggunaan NAPZA, menimbulkan hendaya atau kesukaran yang berarti secara klinis, seperti misalnya timbulnya toleransi, gejala putus NAPZA, sulit untuk menghentikan penggunaan, hambatan pada dunia akademik atau pekerjaan (Peraturan Gubernur Jakarta, 2012). Ketergantungan obat dibedakan atas ketergantungan fisik dan ketergantungan psikis. Sementara itu, arti adiksi dipersempit menjadi ketergantungan fisik, sedangkan ketergantungan psikis juga disebut habituasi. Beberapa ahli memberi arti adiksi sebagai bentuk ketergantungan yang berat pada hard drug (heroin, morfin), sedangkan habituasi sebagai bentuk ketergantungan yang ringan, yaitu pada soft drug (ganja, sedativa, dan hipnotika). Ada pula yang mengganti ketergantungan obat menjadi ketergantungan zat kimia atau chemical dependence. Dalam buku ini digunakan istilah "gangguan penggunaan zat " (substance use disorders) yang dibedakan menjadi penyalahgunaan zat (substance abuse) dan ketergantungan zat (substance dependence) sesuai dengan istilah yang dipakai dalam PPDGJ II ( Pedoman Penggolongan Diagnosis Jiwa di Indonesia, Edisi II, 1983 ).2. INSIDENSIMenurut penelitian yang dilakukan Hawari (2003) pada umumnya penyalahgunaan/ketergantungan narkoba mulai memakai antara usia 13-17 tahun, sebagian besar penyalahguna narkoba ini berumur antara 13-21 tahun (97%) dan 90% jenis kelamin laki-laki. Berdasarkan data BNN (Badan Narkotika Nasional) jumlah pengguna narkoba di Indonesia tiap tahun terus meningkat sehingga mengancam masa depan generasi muda. Tercatat pada tahun 2007, 81.702 pelajar di lingkungan SD, SMP dan SMA menggunakan narkoba. Data ini setiap tahun terus meningkat. Terdapat 90 juta kasus penyalahgunaan NAPZA di DUNIA dan 3,2 juta orang di INDONESIA ketergantungan narkoba (Behrman, 2000; Nasution dan Pambudi, 2003).3. PATOFISIOLOGIZat yang mempunyai pengaruh pada susunan saraf pusat sehingga disebut zat psikotropika psikoaktif. Tidak semua zat psikotropik dapat menimbulkan gangguan penggunaan zat. Zat psikotropik dapat menimbulkan adiksi. Oleh karena itu disebut zat adiktif. Contoh zat adiktif adalah :1. Opioida : misalnya morfin, heroin,oetidin,kodein, dan candu.2. Ganja atau kanabis atau marihuana, hashish3. Kokain dan daun koka4. Alkohol ( etil alkohol ) yang terdapat dalam minuman keras5. Amfetamin6. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin, psilosin, dan psilosibin7. Sedativa dan hipnotika8. Solven dan inhalansia9. Nikotin yang terdapat dalam tembakau10. Kafein yang terdapat dalam kopi dan teh (Latif, et al., 2010)Kecanduan (addiction) terjadi ketika tubuh secara fisik mengalami ketergantungan pada obat-obatan. Ketika tubuh seorang remaja yang sudah mengalami kecanduan tidak diberi zat adiktif dalam dosis yang memadai, maka ia dikatakan mengalami putus zat atau withdrawal. Putus zat (withdrawal) adalah rasa sakit yang hebat dan tidak diinginkan dan keinginan untuk memperoleh obat-obatan adiktif. Ketergantungan psikologis adalah kebutuhan psikologis untuk menggunakan obat untuk membantu dirinya menghadapi masalahnya dan tekanan dalam kehidupannya, (Santrock, 2003).Mekanisme terjadinya ketergantungan zat dapat dijelaskan melalui 2 pendekatan. Ketiga pendekatan tersebut tidak dapat berdiri sendiri, melainkan berkaitan saru dengan yang lain.1. Pendekatan OrganobiologikDitinjau dari organobiologik penyalahgunaan obat dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan hal ini ditandai dengan timbulnya toleransi dan gejala putus obat. Di samping itu penyalahgunaan dapat menimbulkan komplikasi medik. Pada umumnya komplikasi medik itu tidak disebabkan oleh obatnya sendiri melainkan keadaan-keadaan dimana pada saat itu dipakai. Komplikasi infeksi misalnya disebabkan oleh suntikan yang tidak steril dan cara hidup yang tidak higienis. Dari sudut pandang pendekatan ini mekanisme terjadinya adiksi (ketagihan) hingga depensi (ketergantungan) dikenal dengan istilah mental organik akibat narkoba atau sindrom otak organik akibat narkoba, yaitu kegaduhan gelisah dan kekacauan dalam fungsi kognitif (alam pikir), afektif (alam perasaan/ emosi) dan psikomotor (perilaku) yang disebabkan efek langsung zat adiktif terhadap susunan saraf pusat. Apabila NAPZA ditelan dengan cara dihirup, ditela, dihisap dan melalui suntikan,. Maka zat tersebut akan beredar memalui peredaran darah sampai ke susunan saraf pusat yang mengganggu sistem neurotransmitter sel-sel saraf otak. Akibatnya terjadilah gangguan mental dan perilaku. Telah diketahiu bahwa menaknisme narkoba pada susuanan saraf pusat terletak pada reseptor melalui neurotransmitter (Hawari, 2003).2. Pendekatan psiko-edukasionalPenyalahgunaan obat dapat menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan gangguan jiwa, dimana pengguna tidak mampu lagi berfungsi secara wajar dalam masyarakat, menunjukkan perilaku maladatif (Hawari, 2003). 3 golongan besar yang menyalahgunakan narkobaa. Ketergantungan Primer, yakni ditandai dengan kecemasa, deoresi yang umumnya terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil.b. Ketergantungan Reaktif, yakni terhadap remaja karena dorongan ingin tahu, bujukan, rayuan teman, tekanan dan jebakan.c. Ketergantungan Simptomatis, yakni terhadap orang dengan kepribadian antisosial dan dugunakan untuk kesenangan belaka (Hawari, 2003).4. GEJALA KLINIS Siklus energi berlebih, tak bisa diam sulit tidur (kecanduan stimulan), Bengong, bingung, lamban (opiat, penenang) Tiba-tiba kurus atau gemuk Siklus tidur nyenyak berkepanjangan Tiba-tiba senang baju lengan panjang (buat menutup bekas suntikan) Punya alat suntik, pipa-pipa, roach clip, bong Sinusitis, hidung berdarah (NAPZA hirup hidung) Euforia, halusinasi, delusi, pusing, dll. Bronkhitis, batuk sampai batuk lendir dan darah (NAPZA yang dirokok) Gigi rusak (khas metahamphetamine) (Labkesda, 2001).5. PENEGAKAN DIAGNOSAa. Anamnesis, baik allo maupun autoanamnesis seputar riwayat penggunaan zat psikoaktif.b. Pemeriksaan fisik, perhatikan apakah ada bekas suntikan sepanjang vena tangan, serta pemeriksaan neurologis.c. Pemeriksaan psikiatrik yakni derajat kesadaran, gangguan proses pikir (waham, halusinasi, paranoid) dan gangguan psikomotor.d. Pemeriksaan psikologise. Evaluasi sosialf. Pemeriksaan Laboratoriumg. Pemeriksaan Khusus, Tes Nalokson, Tes Nembutalh. Pemeriksaan lain sesuai kondisi klinis (Latif, et al., 2010)6. PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan Laboratorim seperti rapid test seperti metabolit kodein dengan putaw dalam kadar renik, dalam sampel cairan tubuh (Labkesda, 2001). Selain itu dilakukan juga analisa urin untuk mengidentifikasi ada/ tidaknya NAPZA di dalam tubuh.7. DIAGNOSIS BANDING Depresi Intoksikasi Zat Skizofrenia (Hawari, 2003)8. PENGOBATANa. Untuk keadaan Intoksikasi (Kanabis) : ajak pasien untuk berbicara, kemudian tenangkan. Bila perlu beri Diazepam 10-30 mg oralb. Untuk Overdose Perhatikan keadaan Airway, Breathing dan Circulationnya. Bila ada sumbatan jalan nafas, bebaaskan, dan bila diperlukan berikan O2. Infus Cairan RL/ NaCl 0.9 % dengan kecepatan rendah 10 12 tetes/ menit. Observasi kejang Jika terjadi Hipoglikemi berikan Glukosa 50 ml 50% IV.c. Untuk Putus Zat, sebaiknya di rawat inap.d. Setelah dilakukan Terapi, dibutuhkan Rehabilitasi agar pasien tidak memakai kembali obat-obat terlarang tersebut (Wilis dan Sofyan, 2010; Hawari, 2003).9. KOMPLIKASI Hepatisis Syndrom Meth Mouth akibat penggunaan Metamfitamine Dll (Behrman, et al., 2000).10. PROGNOSISPrognosis ketergantungan zat baik, bila diterapi dan direhabilitasi dengan adekuat. Dan dilihat pula berdasarkan kondisi apakah pasien Intoksikasi atau Withdrawl syndrome (Hawari, 2003).

DAFTAR PUSTAKABerhman, R.E; Kliegman, R.M; Arvin, A.M. 2000. Ilmu Kesehatan Anaka Nelson. Volume 1. EGC Kedokteran. Jakarta.Hawari, D. 2003. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA (Narkotika, Alkohol dan Zat Aditif). FK UI. Jakarta.Labkesda Jakarta. 2001. Buku Saku: Dont Do Drugs. Provinsi DKI Jakarta.Latif, L; Abdiah, N.A; Hidayat, T; Diputrie, N.I. 2010. Gangguang Zat Psikoaktif. Makara Kesehatan. 7(1).Kemenkes RI. 2002. Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya (NAPZA). Jakarta.Muslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Ganggua Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.Nasution, Y; Prambudi, E.S. 2003. Tingkat Pengetahuan Orang Tua Murid SLTP Tentang Narkotika, Alkohol dan Zat Aditif Lainnya di Kotamadya Depok Tahun 2002. Makara Kesehatan. 7(1): 29-34.Peraturan Gubernur Provinsi Khusus Ibukota Jakarta. 2012. Pemulihan Adiksi Berbasis Masyaraat n0. 183 Tahun 2012. Jakarta.Santrock, J.W. 2003. Adolescence : Perkembangan Remaja. Edisi 6. Erlangga. Jakarta.

DELIRIUM YANG DIINDUKSI OLEH ALKOHOL ATAU ZAT PSOKOAKTIF LAINNYAGol Penyakit SKDI : 3AEly Rahmayani Sirait09071010101661. DEFINISIDelirium adalah diagnosis klinis, gangguan otak difus yang dikarasteristikkan dengan variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasa dan menjadi problem serius di RS dan sering tak diketahui pada pasien usila. Delirium biasanya disebabkan banyak faktor; banyak yang dapat dicegah. Ada hubungan terbalik antara daya tahan penderita dan beratnya serangan yang dibutuhkan untuk menginduksi/mendapatkan delirium. Meskipun sebelumnya delirium dipercaya sebagai kondisi "self limiting" (sembuh sendiri) daya pulih sempurna adalah perkecualian. Prognosis-nya buruk. Delirium (diketahui juga sebagai sindroma otak akut) adalah sebuah diagnosis klinis gangguan otak difus yang dikarakteristikkan sebagai variasi kognitif dan gangguan tingkah laku. Ini biasanyan merupakan sebagian problem umum di antara pasien rawat RS dan insidensinya meningkat dengan umur. Delirium sebelumnya dipercaya sebagai kondisi yang sembuh sendiri (self limiting) (Soejono, 2006; Moran dan Dorevitch, 2001).Adapun tipe delirium adalah :1. Delirium due to general medical condition Delirium akibat kondisi medis umum, termasuk gangguan kesadaran/berkurangnya kesadaran terhadap lingkungan dan perubahan dalam kemampuan kognitif seperti ingatan dan ketrampilan bahasa, yang terjadi dalam jangka waktu pendek dan diakibatkan kondisi medis umum2. Substance induced delirium, yakni Delirium diinduksi substansi.3. Delirium due to multiple etiologies, yakni Delirium akibat etiologi berganda.4. Delirium not otherwise specified, yakni Delirium tak tergolongkan (Soejono, 2006).Delirium adalah suatu kondisi yang dikarakterisasi dengan adanya perubahan kognitif akut (defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa) dan gangguan sistem kesadaran pada manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan penyebab multipel yang terdiri dari berbagai macam pasangan gejala akibat dari suatu penyakit dasar. Delirium didefiniskan sebagai disfungsi serebral yang reversible, akut dan bermanifestasi klinis pada abnormalitas neuropsikiatri (Agustinus, 2009).Sedangkan Delirium yang diinduksi oleh alkohol atau zat aditif lainnya adalah delirium yang diakibatkan karena penggunaan ataupun putus zat alkohol atau zat aditif lainnya. Delirium dapat terjadi setelah periode minum alkohol berat, terutama ketika orang tersebut tidak cukup makan. (Muslim, 2001).2. INSIDENSIDelirium merupakan sebuah sindro yang dicetuskan oleh banyak hal. Diantaranya adalah intoksikasi obat/ racun sebanyak 22-39%, withdrawl alkohol, defisiensi thiamin, ensefalopati metabolik (25%) (Moran dan Dorevicth, 2001).3. PATOFISIOLOGIDelirium tremens pada akibat lepas zat alkohol dapat terjadi pada individu dengan gizi baik yang mendapat sejumlah besar alkohol kemudian diberhentikan mendadak. Delirium tremens relatif jarang terjadi pada abstinensi alkohol (Suwono dan Hartono, 1995). Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sring dihubungkan dengan sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang berperan antara lain meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Ketiga penyebab tersebut akan mengganggu tranduksi sinyal neurotransmitter serta secind messenger system. Pada gilirannya kondisi tadi akan memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada delirium (Soejono, 2006). Alkohol maupun zat lainnya mampu menghambat sinyal di sistem saraf pusat. Selain itu alkohol juga menekan kinerja sistem saraf pusat serta meningkatkan aktivitas asam gamma aminobutyric (GABA) dan melemahkan glutamin (Hendry, et al., 2006). Sehingga alkohol bisa menyebabkan delirium.4. GEJALAN KLINISGejala prodromal khas berupa: insomnia, gemetar dan ketakutan. Onset dapat didahului oleh kejang akibat putus zat. Trias yang klasik dari gejalanya adalah kesadaran berkabut dan kebingungan, halusinasi dan ilusi yang nyata yang mengenai salah satu modalitas sensorik, dan tremor hebat. Biasanya ditemukan waham, agitasi, insomnia atau siklus tidur yang terbalik, demam, pupil dilatasi dan aktivitas otonomik yang berlebihan (Muslim, 2001; Suwono, dan Hartono, 1995).5. PENEGAKAN DIAGNOSADiagnosis gangguan psikotik jangan hanya ditegakkan berdasarkan distorsi persepsi atau pengalaman halusinasi, bila zat yang digunakan ialah halusinogenika primer (misalnya lisergide (LSD), meskalin, kanabis dosis tinggi). Pada kasus demikian dan juga untuk keadaan kebingungan, suatu kemungkinan diagnosis intoksikasi akut harus dipertimbangkan. Perlu diperhatikan untuk menghindari kesalahan diagnosis psikosis sebagai keadaan yang lebih berat (misalnya skizofrenia), padahal diagnosisnya ialah psikosis yang disebabkan oleh zat psikoaktif. Banyak keadaan psikotik yang disebabkan oleh zat psikoaktif berlangsung singkat asal tidak ada lagi obat yang digunakan (seperti pada kasus psikosis akibat amfetamin dan kokain). Diagnosis yang salah pada kasus demikian dapat memberi dampak yang merugikan dan biaya tinggi baik Bagi pasien maupun fasilitas petayanan kesehatan (Muslim, 2001). Kriteria diagnostik juga dituangkan dalam Diagnosis and Statistical Manual III yakni algoritme CAM (Confusion Assessment Methode) untuk menegakkan sindrom delirium. Selain itu dapat juga dikombinasikan dengan pemeriksaan MMSE untuk hasil yang lebih sensitif (Soejono, 2006). 6. PEMERIKSAAN PENUNJANGAdanya bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan penemuan pemeriksaan laboratorium yang mengindikasikan bahwa gangguan ini merupakan konsekuensi fisiologis dari kondisi medis umum (Andri dan Damping, 2007). Selain itu pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, gula darah, ureum, kreatinin, urin lengkap, EKG dan foto thoraks harus dilakukan (Soejono, 2006).7. DIAGNOSIS BANDING Demensia Skizofrenia Histeria (Syamsir)8. PENGOBATAN1. Psikoterapi, mencakup terapi perilaku kognitif yang menekankan pada tujuan, pemantauan diri, pengenalan hal-hal sebelum kebiasaan minum, pembelajaran keterampilan alternatif untuk mengatasi dan keterampilan sosial. Tujuan pengobatan ini adalah untuk mencegah kekambuhan.2. Alkoholik Anomin. Berikan dorongan kepada pasien untuk menghadiri pertemuan AA.3. Detoksifikasi. Mungkin diperlukan jika terdapat toleransi atau putus alkohol. Seperti : Vitamin : seperti folat dan multivitamin Benzodiazepin harus digunakan untuk menurunkan gejala putus alkohol pada pasien dengan riwayat delirium tremens. Pada pasien yang stabil secara medis pengobatan benzodiazepin hanya diperlukan jika timbul 3 dari 7 gejala putus alkohol, seperti : suhu > 38,3C, nadi > 110x/ menit, TD sistolik > 260 mmHg, TD diastolik < 100 mmHg, mual, muntah atau tremor. Dapat digunakan Kloradiazepoksid atau diazepam yang diturunkan bertahap (Mandera, 1997).9. KOMPLIKASIKecelakan yang tidak disengaja akibat penurunan kesadaran dan koordinasi yang terganggu (Andri dan Damping, 2007).10. PROGNOSISWalaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun ternyata dilaporkan adanya beberapa kasus dengan gejala dan tanda yang menetap bahkan sampai bulan ke-12. Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca delirium, serta fungsional serta gejala sisa yang ada. Dari berbagai penelitian yang ada didapatkan pasien-pasien dengan sindrom delirium akan mempunya resiko ematian lebih tinggi jika kormobiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat dan jenis kelamin laki-laki. Episoda delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien dengan demensia dibanding tanpa demensia (Soejono, 2006).

DAFTAR PUSTAKAAgustinus, 2009. Gangguan Mental Organik. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara. Semarang.Andri, Damping, C.E. 2007. Peranan Psikiatri Geiatri Dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri. Maj Kedokt Indon. 17(7): 227-232.Hendry, H; Fakhrurrazy, Yuliaastuti, Sari, D.C; Susilawati, R. 2006. Pemberian Alkohol Peroral Secara Kronis Menurunkan Kepekaan Sel Granular Serebellum Pada Tikus Putih Jantan Dewasa. Jurnal Anatomi Indonesia 1(1): 19-24.Mandera, L.I. 1997. Buku Saku Dokter Keluarga. Edisi III. EGC Kedokteran. Jakarta.Moran, J.A; Dorevitch, M.I. 2001. Delirium in The Hospital Eldelry. The Australian Journal of Hospital Pharmacy. 31(1).Muslim, R. 2001. Buku Saku Diagnosis Ganggua Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. Jakarta.Suwono, W.J; Hartono. 1995. Buku Saku Neurologi. EGC Kedokteran. Jakarta.Soejono, C.H. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Jakarta.