EKLAMPSIA

12
EKLAMPSIA Dr. Iwan Prasetiyo Sp OG SMF Obstetri & Ginekologi RSUD. RAA Soewondo Pati Etiologi / Patogenesis Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ. Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau

description

eklampsia

Transcript of EKLAMPSIA

Page 1: EKLAMPSIA

EKLAMPSIA

Dr. Iwan Prasetiyo Sp OG

SMF Obstetri & Ginekologi RSUD. RAA Soewondo Pati

Etiologi / Patogenesis

Etiologi dan patogenesis preeklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih belum

sepenuhnya difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini

sering disebut “the disease of theories”. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima

untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik, penyakit

pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan dan dapat

mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis pada awal trimester

satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis tidak dapat berdilatasi

dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di plasenta. Berikutnya akan

terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi endotel, agregasi dan

penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.

Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia dan Eklampsia

Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola

hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita preeklampsia atau

eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau eklamsia, lebih sering

dijumpai pada penderita preeklampsia dan eklampsia.

Terminologi

Dahulu, disebut pre eklampsia jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah ≥ 140/90

mmHg, proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam kriteria

diagnostik, karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal. Pengukuran tekanan darah

harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah diastol ≥ 90 mmHg digunakan sebagai

pedoman.

Eklampsia adalah pre eklampsia yang mengalami komplikasi kejang tonik klonik yang

bersifat umum. Koma yang fatal tanpa disertai kejang pada penderita pre eklampsia juga

disebut eklampsia. Namun kita harus membatasi definisi diagnosis tersebut pada wanita yang

Page 2: EKLAMPSIA

mengalami kejang dan kematian pada kasus tanpa kejang yang berhubungan dengan pre

eklampsia berat. Mattar dan Sibai (2000) melaporkan komplikasi – komplikasi yang terjadi

pada kasus persalinan dengan eklampsia antara tahun 1978 – 1998 di sebuah rumah sakit di

Memphis, adalah solutio plasentae (10 %), defisit neurologis (7 %), pneumonia aspirasi

(7 %), edema pulmo (5 %), cardiac arrest (4 %), acute renal failure (4 %) dan kematian

maternal (1 %)

Gambaran Klinis Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan pre eklampsia. Eklampsia digolongkan menjadi

kasus antepartum, intrapartum atau postpartum tergantung saat kejadiannya sebelum

persalinan, pada saat persalinan atau sesudah persalinan. Tanpa memandang waktu dari onset

kejang, gerakan kejang biasanya dimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah

wajah. Beberapa saat kemudian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang

menyeluruh, fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang bersamaan rahang

akan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini akan terjadi pada kelopak mata,

otot – otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh otot mengalami kontraksi dan relaksasi

secara bergantian dalam waktu yang cepat. Keadaan ini kadang – kadang begitu hebatnya

sehingga dapat mengakibatkan penderita terlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga.

Lidah penderita dapat tergigit oleh karena kejang otot – otot rahang. Fase ini dapat

berlangsung sampai 1 menit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin

lemah dan jarang dan pada akhirnya penderita tidak bergerak.

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernafasan berhenti. Selama beberapa detik

penderita sepertinya meninggal karena henti nafas, namun kemudian penderita bernafas

panjang, dalam dan selanjutnya pernafasan kembali normal. Apabila tidak ditangani dengan

baik, kejang pertama ini akan diikuti dengan kejang – kejang berikutnya yang bervariasi dari

kejang yang ringan sampai kejang yang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.

Setelah kejang berhenti penderita mengalami koma selama beberapa saat. Lamanya koma

setelah kejang eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya

segera pulih kesadarannya segera setelah kejang. Namun pada kasus – kasus yang berat,

keadaan koma berlangsung lama, bahkan penderita dapat mengalami kematian tanpa sempat

pulih kesadarannya. Pada kasus yang jarang, kejang yang terjadi hanya sekali namun dapat

diikuti dengan koma yang lama bahkan kematian.

Page 3: EKLAMPSIA

Frekuensi pernafasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia dan dapat mencapai 50

kali/menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia sampai asidosis laktat, tergantung derajat

hipoksianya. Pada kasus yang berat dapat ditemukan sianosis. Demam tinggi merupakan

keadaan yang jarang terjadi, apabila hal tersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan

pada susunan saraf pusat.

Komplikasi

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang, bahkan kadang – kadang

sampai anuria dan pada umumnya terdapat hemoglobinuria. Setelah persalinan urin output

akan meningkat dan ini merupakan tanda awal perbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan

edema menghilang dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu setelah persalinan. Apabila

keadaan hipertensi menetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit

vaskuler kronis.

Edema pulmo dapat terjadi setelah kejang eklampsia. Hal ini dapat terjadi karena pneumonia

aspirasi dari isi lambung yang masuk ke dalam saluran nafas yang disebabkan penderita

muntah saat kejang. Selain itu dapat pula karena penderita mengalami dekompensasio kordis,

sebagai akibat hipertensi berat dan pemberian cairan yang berlebihan.

Pada beberapa kasus eklampsia, kematian mendadak dapat terjadi bersamaan atau beberapa

saat setelah kejang sebagai akibat perdarahan otak yang masiv. Apabila perdarahan otak

tersebut tidak fatal maka penderita dapat mengalami hemiplegia. Perdarahan otak lebih

sering didapatkan pada wanita usia lebih tua dengan riwayat hipertensi kronis. Pada kasus

yang jarang perdarahan otak dapat disebabkan pecahnya aneurisma Berry atau arterio venous

malformation.

Pada kira – kira10 % kasus, kejang eklampsia dapat diikuti dengan kebutaan dengan variasi

tingkatannya. Kebutaan jarang terjadi pada pre eklampsia. Penyebab kebutaan ini adalah

terlepasnya perlekatan retina atau terjadinya iskemia atau edema pada lobus oksipitalis.

Prognosis penderita untuk dapat melihat kembali adalah baik dan biasanya pengelihatan akan

pulih dalam waktu 1 minggu.

Pada kira- kira 5 % kasus kejang eklampsia terjadi penurunan kesadaran yang berat bahkan

koma yang menetap setelah kejang. Hal ini sebagai akibat edema serebri yang luas.

Sedangkan kematian pada kasus eklampsia dapat pula terjadi akibat herniasi uncus trans

tentorial.

Page 4: EKLAMPSIA

Pada kasus yang jarang kejang eklampsia dapat diikuti dengan psikosis, penderita berubah

menjadi agresif. Hal ini biasanya berlangsung beberapa hari sampai sampai 2 minggu namun

prognosis penderita untuk kembali normal baik asalkan tidak terdapat kelainan psikosis

sebelumnya. Pemberian obat – obat antipsikosis dengan dosis yang tepat dan diturunkan

secara bertahap terbukti efektif dalam mengatasi masalah ini.

Diagnosis Diferensial

Secara umum seorang wanita hamil aterm yang mengalami kejang selalu didiagnosis sebagai

eklampsia. Hal ini karena diagnosis diferensial keadaan ini seperti, epilepsi, ensefalitis,

meningitis, tumor otak serta pecahnya aneurisma otak memberikan gambaran serupa dengan

eklampsia. Prinsip : setiap wanita hamil yang mengalami kejang harus didiagnosis sebagai

eklampsia sampai terbukti bukan

Prognosis

Eklampsia selalu menjadi masalah yang serius, bahkan merupakan salah satu keadaan paling

berbahaya dalam kehamilan. Statistik menunjukkan di Amerika Serikat kematian akibat

eklampsia mempunyai kecenderungan menurun dalam 40 tahun terakhir, dengan persentase

10 % - 15 %. Antara tahun 1991 – 1997 kira – kira 6% dari seluruh kematian ibu di Amerika

Serikat adalah akibat eklampsia, jumlahnya mencapai 207 kematian. Kenyataan ini

mengindikasikan bahwa eklampsia dan pre eklamsia berat harus selalu dianggap sebagai

keadaan yang mengancam jiwa ibu hamil.

Manajemen

Pritchard (1955) memulai standardisasi rejimen terapi eklampsia di Parkland Hospital dan

rejimen ini sampai sekarang masih digunakan. Pada tahun 1984 Pritchard dkk melaporkan

hasil penelitiannya dengan rejimen terapi eklampsia pada 245 kasus eklampsia. Prinsip –

prinsip dasar pengelolaan eklampsia adalah sebagai berikut :

1. Terapi suportif untuk stabilisasi pada penderita

2. Selalu diingat mengatasi masalah – masalah Airway, Breathing, Circulation

3. Kontrol kejang dengan pemberian loading dose MgSO4 intravena, selanjutnya dapat

diikuti dengan pemberian MgSO4 per infus atau MgSO4 intramuskuler secara loading

dose didikuti MgSO4 intramuskuler secara periodik.

Page 5: EKLAMPSIA

4. Pemberian obat antihipertensi secara intermiten intra vena atau oral untuk

menurunkan tekanan darah, saat tekanan darah diastolik dianggap berbahaya. Batasan

yang digunakan para ahli berbeda – beda, ada yang mengatakan 100 mmHg, 105

mmHg dan beberapa ahli mengatakan 110 mmHg.

5. Koreksi hipoksemia dan asidosis

6. Hindari penggunaan diuretik dan batasi pemberian cairan intra vena kecuali pada

kasus kehilangan cairan yang berat seperti muntah ataupun diare yang berlebihan.

Hindari penggunaan cairan hiperosmotik.

7. Terminasi kehamilan

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI telah membuat pedoman pengelolaan eklampsia

yang terdapat dalam Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan di Indonesia,

berikut ini kami kutipkan pedoman tersebut.

A. Pengobatan Medisinal

1. MgSO4 :

Initial dose :

- Loading dose : 4 gr MgSO4 20% IV (4-5 menit)

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurang - kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan Sodium Amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV perlahan-lahan.

- Maintenace dose : MgSO4 1 g / jam intra vena

2. Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg. Dapat diberikan

nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih tinggi dapat diberikan

nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam

sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah

diastolik jangan kurang dari 90 mmHg, penurunan tekanan darah maksimal 30%.

Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah didapat dan

mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.

3. Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .

Page 6: EKLAMPSIA

4. Perawatan pada serangan kejang :

Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.

Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.

Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.

Fiksasi badan pada tempat tidur harus aman namun cukup longgar guna menghindari fraktur.

Pemberian oksigen.

Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).

5. Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai “Glasgow – Pittsburg Coma Scale “.

Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.

Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).

6. Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :

- Edema paru

- Gagal jantung kongestif

- Edema anasarka

7. Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.

8. Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio sesarea.

Catatan:

Syarat pemberian Magnesium Sulfat:

Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%, diberikan

iv secara perlahan, apabila terdapat tanda – tanda intoksikasi MgSO4.

Refleks patella (+)

Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.

Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam ). Pemberian

Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese

Page 7: EKLAMPSIA

B. Pengobatan Obstetrik :

1. Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan

keadaan janin.

2. Terminasi kehamilan

Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan metabolisme ibu,

yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah ini :

Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.

Setelah kejang terakhir.

Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.

Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).

3. Bila anak hidup dapat dipertimbangkan bedah Cesar.

Perawatan Pasca Persalinan

Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya.

Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan.

Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 - 48 jam pasca persalinan.

KEPUSTAKAAN

Page 8: EKLAMPSIA

1. Cuningham FG, Mac Donald PC, Gant NF, et al. Hypertensive Disorders in Pregnancy.

In : William Obstetrics. 22th ed. Conecticut : Appleton and Lange, 2007 : 443 – 452.

2. Dekker GA, Sibai BM. Ethiology and Pathogenesis of Preeclampsia : Current Concept.

AmJ Obstet Gynecol 1998 ; 179 : 1359 – 75.

3. Lockwood CJ dan Paidas MJ. Preeclampsia and Hypertensive Disorders In Wayne R.

Cohen

4. Complications of Pregnancy. 5th ed. Philadelphia : Lippicott Williams dan Wilkins, 2000

: 207 -26.

5. Sibai BM. Hypertension in pregnancy. In : Obstetrics normal and problem pregnancies.

4th edition, Churchill Livingstone USA, 2002 : 573-96.

6. Report of the National High Blood Pressure Education Program Working Group on High

Blood Pressure in Pregnancy. AmJ. Obstet Gynecol, 2000 ; 183 : S1 – S22.

7. Angsar MD dkk. Pedoman Pengelolaan Hipertensi Dalam Kehamilan Di Indonesia.

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI