Eka Sri Hilayati-fsh

download Eka Sri Hilayati-fsh

of 82

description

n

Transcript of Eka Sri Hilayati-fsh

  • POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT KEC PABUARAN KAB. SUBANG)

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh

    EKA SRI HILAYATI

    104044101395

    K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

    PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A 1430 H /2009 M

  • POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT KEC PABUARAN KAB. SUBANG)

    Skripsi

    Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

    Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

    Oleh :

    EKA SRI HILAYATI

    104044101395

    Di bawah Bimbingan

    Pembimbing :

    Drs.H.A. Basiq Djalil, S.H. M.A.

    NIP : 150 169 102

    K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

    PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A 1429 H /2008 M

  • PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    Skripsi berjudul POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG) TELAH DIUJIKAN DALAM Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta pada 24 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Jakarta, 10 Maret 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof.DR.H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 150 210 442 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA ( ) NIP. 150 169 102 2. Sekretaris : Kamarusdiana, S. Ag., MH ( ) NIP. 150 285 972 3. Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA ( ) NIP. 150 169 102 4. Penguji I : Afwan Faizin, MA ( ) NIP. 150 326 896 5. Penguji II : Dr. Euis Nurlaelawati, M. Ag ( ) NIP. 150 277 992

  • LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa :

    1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

    satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

    Syarif Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

    sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya

    atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

    menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    Jakarta, 10 Februari 2008

    Eka Sri Hilayati

  • KATA PENGANTAR

    m 9 $# uq 9 $# !$# 0

    Alhamdulillah, Tidak ada kata yang pantas untuk diucapkan mengawali karya tulis ini

    selain puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kekuatan dan

    kemudahan. Solawat serta salam tak lupa penulis panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW

    sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis yang berjudul:

    POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA MASYARAKAT

    KEC. PABUARAN KAB. SUBANG).

    Selama penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    banyak pengalaman baik suka maupun duka yang penulis alami dan juga banyak pelajaran yang

    dapat penulis ambil. Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada

    mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam proses penulisan karya

    tulis ini, antara lain:

    1. Prof. Dr. H. Amin Suma, MA., SH., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

    2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama

    3. Kamarusdiana, S.Ag., MH., selaku Sekretaris Jurusan Peradilan Agama

    4. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Pembimbing skripsi yang telah banyak

    memberikan banyak masukan kepada penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

    5. Seluruh Dosen Pengampu Mata Kuliah Jurusan Peradilan Agama yang tidak bisa

    disebutkan satu persatu

    v

  • 6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Perpustakaan Umum UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta, tempat penulis mencari data-data.

    7. Deni Setiawan, BA., selaku Sekretaris Camat yang telah banyak memberikan data dan

    informasinya kepada penulis.

    8. Thoyyib Sihabudin, selaku Ketua RT. 15 yang telah banyak memberikan data dan

    informasinya dan juga telah berkenan menjadi salah seorang responden penulis.

    9. Muhammad Irfannuddin, selaku Ketua KUA Pabuaran yang telah banyak memberikan

    data dan informasinya kepada penulis.

    10. Orang tua tercinta, Ibunda Hj. Maryati dan Ayahanda H. Abdul Mujib yang sejak awal

    proses perkuliahan sampai detik ini, senantiasa memberikan motifasi dan dukungan tak

    terhingga kepada penulis, baik materil maupun moril. Tanpa dukungan keduanya, penulis

    tidak akan bisa menjadi seperti saat ini (semoga Yang Maha Kuasa membalas jasa

    keduanya).

    11. Kanda Tresna Agustian Suryana, BA., Ananda M. Adzkiya Ikhwan el-Shoffa dan

    Muhammad Ziyad Mubarok yang telah banyak mengingatkan dan memberikan motivasi

    serta inspirasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.

    12. Teman-teman tersayang (Ani, Ee, Lya, Tya, Nana, Uci, Dinar, Utet, Aris, Iful, Afidz,

    Mulya, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu) yang telah

    memberikan motivasi kepada penulis muntuk menyelesaikan karya tulis ini.

    13. Zainal Abidin, Ibu-ibu Majlis Talim Raudhotul Irfan, dan semua informan serta

    responden yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, dikarenakan untuk menjaga

    kerahasiaan segala data dan informasi yang telah diberikan kepada penulis.

    vi

  • 14. Safrina Ariani, S. Ag., penulis mengucapkan banyak terima kasih atas masukan dan

    bahan-bahan yang telah diberikan kepada penulis.

    15. Dr. Ismail Muhammad, terima kasih atas dukungan dan pinjaman buku-bukunya.

    16. Farihin el-Firdaus, yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan moril dalam

    proses penyelesaian karya tulis ini. Terima kasih juga karena telah meluangkan waktu

    untuk berdiskusi dengan penulis.

    17. Forum Mahasiswa Basement (FORMABES), tempat penulis berdiskusi sekaligus sebagai

    tempat melepaskan kepenatan. Kepada Kamelia, Laila Rifaatul Mahmudah, Mutia

    Rahmadany, SHI., Siti Niayah, SHI., Trisna Laila Yunita, SHI., Yusi Alawiyah, SHI.,

    Hiton Bazawi, Jabal Arfa Shiddiq, Viqi, Onay, dan teman-teman Formabes lainnya yang

    tidak bisa disebutkan satu persatu namanya di sini, penulis mengucapkan terima kasih

    banyak atas persahabatannya yang indah dan menyenangkan selama ini.

    Terakhir, semoga segala dorongan, dukungan, dan bantuan mereka baik moril maupun

    materil mendapat imbalan di sisi-Nya. Mudah-mudahan karya tulis ini bermanfaat. Amiiin...

    Jakarta, Shafar 1430 H Februari 2009 M Penulis

    vii

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL................................................................................................. i

    HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii

    HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................................... iii

    PEDOMAN TRANSLITRASI................................................................................. iv

    KATA PENGANTAR............................................................................................... v DAFTAR ISI........................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah................................................... 1

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................... 8

    C. Tujuan dan Manfaat penelitian......................................... 9

    D. Metode Penelitian............................................................. 10

    E. Review Studi Terdahulu................................................... 12

    F. Sistematika Penulisan...................................................... 15

    BAB II SEJARAH DAN HUKUM POLIGAMI

    A. Pengertian Poligami.......................................................... 18

    B. Sejarah Singkat Poligami.................................................. 19

    C. Poligami Dalam Hukum Islam......................................... 24

    viii

  • BAB III POLIGAMI DALAM BERBAGAI TEORI

    A. Poligami Menurut Teori Gender...................................... 28

    B. Poligami Menurut Teori Keadilan.................................... 31

    C. Poligami Menurut Teori Hak-Hak anak dan Istri............ 38

    BAB IV FENOMENA PERNIKAHAN POLIGAMI DI

    KECAMATAN PABUARAN KABUPATEN SUBANG

    A. Gambaran Umum Masyarakat Kecamatan Pabuaran

    Kabupaten Subang........................................................... 48

    B. Deskripsi Pengalaman Pasangan Pernikahan Poligami.... 55

    C. Respon Masyarakat Terhadap Pernikahan Poligami........ 62

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan....................................................................... 65

    B. Saran................................................................................. 67

    DAFTAR PUSTAKA

    ix

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Maraknya poligami saat ini sesungguhnya merupakan akumulasi yang didapat

    minimal dari tiga faktor: Pertama, lumpuhnya sistem hukum kita, khususnya Undang-

    undang Perkawinan. Kedua, masih kentalnya budaya patriarki; dan ketiga, kuatnya

    interpretasi agama yang bias jender. Realitas sosiologis di masyarakat menjelaskan

    bahwa poligami selalu dikaitkan dengan ajaran Islam. Untuk ini, Apakah betul Islam

    mengajarkan poligami? Apakah benar Rasul mempraktekkan poligami? Dan

    bagaimana seharusnya membaca teks-teks agama tentang poligami?

    Di Indonesia, persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru. Ini dapat

    dilihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari

    waktu ke waktu meskipun seringkali menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak

    dengan alasan merugikan kaum perempuan.

    Pada pertengahan tahun 2007, masalah poligami kembali mengemuka,

    karena salah seorang tokoh agama yang sangat diidolakan masyarakat Indonesia,

    melakukan poligami. Alasan yang dikemukakan tokoh tersebut adalah agar tidak

    terjerumus dalam perbuatan zina dan mengikuti sunnah Rasul Saw. Masalah ini

    menyentak semua orang, dari rakyat jelata, sampai kepada Presiden Republik

    indonesia. Banyak dialog yang dilakukan disana sini.

    1

  • 2

    Namun penulis melihat, praktik poligami bukan monopoli tokoh tersohor saja,

    poligami justru kerap dilakukan segala kalangan. Namun, yang penting perilaku

    mereka ternyata acapkali melanggar hukum. Hal itu bisa disimak dari data Kantor

    Urusan Agama (KUA) maupun Kantor Catatan Sipil ( KCS ) Subang berdasarkan

    laporan tahun 2004, modus pelaku poligami cukup beragam, namun hampir

    seluruhnya tak mengindahkan Peraturan yang ada.

    Modus Pelaku Poligami

    Jenis Modus Jumlah

    Menikah di bawah tangan 12

    Pemalsuan Identitas di KUA -

    Nikah tanpa izin istri pertama 3

    Memaksa mendapatkan izin 1

    Tidak diketahui modus 2

    18

    Sumber: KUA Subang

    Syarat berpoligami tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan dan khusus buat Pegawai Negeri Sipil (PNS) harus juga

    mempertimbangkan PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

    bagi PNS.

    Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha untuk mencerdaskan perempuan dan

    menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang selalu

  • 3

    dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib

    menerima/ mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi, dengan alasan

    menjalankan syari'at Islam, tunduk kepada perintah Allah dan lain-lain.1

    Disini perempuan sangat dirugikan. Mereka seringkali tidak diberi

    kesempatan untuk berpendapat, menyatakan apa yang mereka rasakan. Padahal pada

    pasal 11 Deklarasi PBB Tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan

    menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan

    perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau

    penderitaan perempuan baik secara fisik, seksual atau psikologis. Termasuk ancaman

    dan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik di

    depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.

    Merujuk pada definisi tersebut, Dewita Hayu Shinta, seorang aktivis APIK

    Jakarta, secara tegas menyatakan Poligami adalah bentuk kekerasan yang cukup

    beragam, dari yang tidak ketara sampai yang vulgar. Bagi Dewi Kalau istri terpaksa

    memberi izin kepada suami untuk menikah lagi, itu saja sudah dinamakan kekerasan

    terhadap perempuan.2

    Penulis melihat bahwa tidak selamanya poligami itu dipandang negatif. Ada

    pula dampak positifnya seperti yang terjadi pada masyarakat Subang, yaitu bahwa

    1 Seperti "Poligami Itu Indah", "Poligami Itu Sunnah", "Indahnya Poligami", Poligami

    Membawa Berkah", "Membangun Rumah di Surga dengan Poligami", "Beribu Hikmah Dalam Poligami", "Kalau Nabi Saja Berpoligami, Mengapa Kita Tidak", "Poligami Itu Cara Allah Membebaskan Perempuan Dari Keterpurukkan", "Satu-satunya cara laki-laki menghindar dari zina, ya poligami","Laki-laki yang tidak berpoligami itu hanya tiga kemungkinan; selingkuh, impoten atau bukan laki-laki" dan sejumlah slogan lainnya.

    2 http;//www.hukumonline.com/detail.asp?id=15941&cl=fokus diakses tanggal 30-5-2006.

  • 4

    istri kedua akan dapat menjadi kawan yang saling terbuka dalam meniti hidup.

    Seolah-olah itu memang menjadi syariat Islam.

    Dalam Islam, perdebatan ulama seputar permasalahan pernikahan poligami

    telah ada sejak lama. Di antara mereka ada yang membolehkan dan ada juga yang

    melarang. Hal ini terkait erat pada penafsiran ayat al-Quran yang berkenaan dengan

    syarat adil dan batasan istri yang mau dinikahi. Kalau kita mengkaji penafsiran

    ulama-ulama modern, yang sudah mulai memperhatikan aspek kepentingan

    perempuan, dan menghindarkan diri dari penafsiran bias jender, kita dapati penafsiran

    yang lebih moderat dan memperhatikan perempuan. Pada masa Islam datang, kaum

    lelaki telah memiliki sepuluh istri, lebih sedikit, ataupun lebih banyak dari itu, tanpa

    pembatasan dan persyaratan. Islam kemudian memberikan batasan yang tidak boleh

    dilanggar, yaitu empat. Dan juga ada syaratnya, yaitu harus bisa berbuat adil, bila

    tidak bisa, maka monogami adalah mutlak dan tidak boleh melampauinya.3

    Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa

    Nabi berpoligami pada masa itu, hanya sepuluh tahun di akhir usianya. Sementara

    dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama

    Khadijah binti Khuwailid sampai Khadijah wafat dan Nabi saat itu telah berumur 50

    tahun. Tiga tahun setelah itu barulah Nabi menjalani poligami.4 Wanita yang dinikahi

    Rasul adalah semuanya janda, kecuali Aisyah r.a, dan semuanya untuk tujuan

    3 Sayyid Qutb,. Tafsir Fi Zhilal al-Quran, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani

    Press, 2001), Jilid 2, hal. 599. 4 Siti Habiba (30 Agustus 2005), Poligami Dalam Perspektif Al-Qur'an & Sunnah, diakses

    tgl. 30-5-06, http://www.selayar.com/islam/islam001.html.

  • 5

    menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan

    suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik

    memikat.5 Satu hal yang menarik, Nabi menolak ketika putri kesayangannya Fatimah

    az- Zahra akan dimadu oleh suaminya Ali bin Abi Thalib. 6 Dalam sebuah hadist

    yang diriwayatkan dari Miswar bin Makhramah ia berkata: Saya mendengar

    Rasulullah saw bersabda ketika ia berada di atas mimbar:

    "Sesungguhnya Bani Hasyim bin al Mighirah minta izin untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kemudian saya tidak mengizinkan, kecuali jika putra Abi Thalib menceraikan putriku dan menikahi putri mereka. Karena sesungguhnya dia (Fatimah) adalah bagian dari diriku, mencemaskanku apa yang mencemaskannya dan menyakitiku apa yang menyakitinya."(HR. Bukhari). Dari hadist di atas, kita dapat menafsirkan bahwa sebenarnya Rasul Saw. lebih

    menyukai monogami. Hal ini dapat kita lihat dari sikap Beliau yang tidak

    mengizinkan anaknya dimadu. Namun, dalam perjalanan menyampaikan Risalah dari

    Allah Swt., mengharuskan Nabi melakukan sesuatu yang dituntut oleh syiar

    risalahnya, salah satunya adalah melakukan poligami.7

    Terlepas dari kontroversi tersebut, poligami tetap terjadi di masyarakat.

    Apakah ini merupakan imbas dari dari perubahan sosial yang begitu cepat sehingga

    menyebabkan terjadinya pergeseran nilai kemudian mempengaruhi setiap tindakan

    individu atau mungkin juga dikarenakan kontrol sosial yang ada di masyarakat

    5M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, (Jakarta:

    Lentera Hati, 2000), Vol. 2, Cet. I, hal. 322. 6 Siti Habiba, Loc. Cit. 7 Karam Hilmi Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan Munirul

    Abidin, (Malang: Al-Qayyim, 2004), Cet.1, hal.4.

  • 6

    melemah?

    Kontrol sosial senantiasa diperlukan dalam sebuah masyarakat untuk

    mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam

    masyarakat. Kontrol soaial memiliki arti luas yang begitu luas, bukan hanya

    pengawasan masyarakat terhadap pemerintah, tetapi juga kontrol sosial individu

    terhadap individu lainnya. Semuanya itu merupakan proses pengendalian soaial yang

    dapat terjadi dalam kehidupan sehari-hari, walau seringkali manusia tidak

    menyadarinya.8 Banyak faktor yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan

    menyimpang atau deviation. Salah satunya karena melemajnya kontrol sosial atau

    karena adanya pergeseran nilai yang kemudian menyebabkan perubahan cara

    pandang seseorang terhadap norma-norma yang ada di masyarakat. Dalam hal ini,

    orang yang berpoligami memiliki cara pandang atau pola fikir yang berbeda dengan

    masyarakat pada umumnya tentang norma agama atau norma lainnya yang berkaitan

    dengan masalah poligami tersebut. Ada beberapa faktor yang dimungkinkan

    mempengaruhi pola fikir atau cara pandang seseorang, di antaranya faktor

    pendidikan, sosial budaya dan ekonomi.9

    Untuk mengetahui lebih jelas tentang permasalahan ini, paling tidak ada satu

    hal yang cenderung luput dari perhatian kita, yakni mengajak bicara secara terbuka

    para pelaku poligami (suami,istri pertama/ke dua/ke tiga atau seterusnya dan anak-

    anak pasangan poligami) dalam hal ini. Selama ini mereka cenderung diabaikan

    8 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), cet. Ke-4. 9 Muhammad Syahrur, MetodologiIslam Kontemporer, (Yogyakarta: Elsaq, 2004), cet. Ke-2.

  • 7

    sehingga suara-suara dan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mereka tidak

    mengemuka, dan sebagai konsekuensinya adalah para pelaku poligami cenderung

    hanya dihakimi, dicaca dan di hujat. Hal tersebut dikarenakan selama ini pendekatan

    yang sering kali digunakan terhadap persoalan poligami lebih banyak bersifat

    normatif. Ada beberapa alasan, mengapa isu pernikahan poligami mendapat sorotan

    tajam terutama dari aspek normatif. Pertama, di dalam masyarakat yang masih kuat

    memegang tradisi dan doktrin keagamaan, pernikahan poligami seringkali dianggap

    sebagai perilaku mengikuti sunnah Rasul yang menyimpang. Kedua, pernikahan

    poligami dipandang akan banyak menimbulkan konflik dan dampak negatif bagi

    masa depan anak dan istri. Ketiga, pernikahan poligami yang terselubung cenderung

    berkorelasi dengan tingginya kasus perceraian yang kemudian dinilai sebagai akibat

    ketidakmampuan suami berlaku adil.

    Dengan latar belakang yang telah penulis gambarkan, penulis mencoba untuk

    mengungkapkan batasan tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul

    PERNIKAHAN POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF PELAKU (STUDI PADA

    MASYARAKAT KEC. PABUARAN KAB. SUBANG)

    Adapun yang menjadikan alasan penulis memilih judul ini, adalah:

    1. Karena ingin menyerap informasi dari mereka yang melakukan pernikahan

    poligami, sehingga isu ini menjadi sangat penting.

    2. Karena tidak selamanya poligami membawa dampak negatif terhadap

    keluarga

  • 8

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1. Pembatasan Masalah

    Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini yang dijadikan

    sebagai informan, terbatas pada para pelaku poligami yang ada di Kec. Pabuaran Kab.

    Subang.

    2. Perumusan Masalah

    Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus pada:

    pertama, bagaimana poligami ini dimaknai oleh para pelakunya, apa motif dan faktor

    yang mempengaruhinya, misalkan faktor sosial, ekonomi, pendidikan dan lain-lain.

    Kedua, dalam konteks masyarakat di Kec. Pabuaran Kab. Subang, pelaku poligami

    akan dilihat bagaimana realitas yang mereka jalani dalam kehidupan rumah

    tangganya.

    Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan ke

    dalam bentuk beberapa pertanyaan :

    1. Bagaimana persepsi para pelaku pernikahan poligami tentang poligami itu

    sendiri?

    2. Apakah motif yang mendukung terjadinya poligami pada masyarakat

    muslim Kec. Pabuaran, Kab. Subang?

    3. Apakah faktor pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi turut

    mempengaruhi persepsi para pelaku poligami dalam bertindak?

    4. Bagaimana aspek empiris pasangan poligami dikaitkan dengan anggapan

    orang pada umumnya poligami rawan konflik, pertentangan, dan

  • 9

    perselisihan di dalam rumah tangga?

    5. Bagaimana pasangan pernikahan poligami menjalani kehidupan rumah

    tangganya, yakni dalam hal pendidikan anak dan hubungan dengan

    keluarga (orang tua pasangannya)?

    B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Dengan menganalisa latar belakang dan perumusan masalah tersebut maka

    penelitian ini bertujuan untuk:

    a. Mengetahui bagaimana persepsi para pelaku pernikahan poligami tentang

    poligami itu sendiri.

    b. Mengetahui motif apa saja yang mempengaruhi persepsi para pelaku

    poligami.

    c. Mengetahui apakah faktor pendidikan, sosial budaya, dan ekonomi

    mempengaruhi persepsi para pelaku poligami.

    d. Mengetahui bagaimana aspek empiris pasangan poligami dikaitkan

    dengan anggapan orang pada umumnya bahwa poligami rawan konflik,

    pertentangan, dan perselisihan di dalam rumah tangga.

    e. Mengekplorasi bagaimana pasangan pernikahan poligami menjalani

    kehidupan rumah tangganya, yakni dalam hal mendidik anak dan

    hubungan dengan keluarga (orang tua pasangannya).

  • 10

    2. Manfaat Penelitian

    Manfaat dari penelitian ini adalah :

    1. Dapat memberikan informasi dan gambaran yang komprehensif serta

    sistematis seputar pernikahan poligami dan segala bentuk

    permasalahannya terutama yang berkaitan dengan para pelakunya.

    2. Menambah literatur kajian tentang wacana tersebut dalam menyikapi

    pernikahan poligami

    D. Metode Penulisan

    1. Metode Penelitian

    Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian

    deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan

    berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan secara mendalam10. Sementara

    Soerjono Soekanto mendefinisikan penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk

    memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

    lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar

    dapat membantu didalam memperkuat teori-teori. Untuk memperoleh data yang

    akurat, peneliti mengadakan penelitian sebagai suatu metode kualitatif yang

    bertujuan menyajikan pandangan objek yang diteliti. Bahan dan data penelitian ini

    diperoleh dari penelitian lapangan (Field research) yang dimaksudkan untuk

    memperoleh data, dimana peneliti terjun langsung ke lapangan. Oleh karena itu, data

    10 Suharsimi arikunto, Managemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), Cet. Ke-2,

    h.309.

  • 11

    lapangan merupakan data primer, yaitu data utama yang akan diteliti (Beberapa istri

    yang mendapatkan suaminya melakukan praktek poligami) di Kecamatan Pabuaran,

    Kab. Subang. Sedangkan data Sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau

    tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga

    didapatkan dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang berkaitan dengan

    poligami.

    Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang

    dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan data

    dalam penelitian lapangan ini adalah sebagai berikut :

    1. Teknik wawancara mendalam yakni suatu bentuk komunikasi verbal untuk

    memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang dijadikan

    sebagai informasi.

    2. Teknik Dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data

    yang dilakukan dengan cara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di Kantor

    Urusan Agama yang dijadikan objek penelitian.

    2. Teknik Penentuan Responden

    Penentuan responden dalam penelitian ini menggunakan cara Snow-Ball

    System, yakni dengan cara menentukan terlebih dahulu seseorang atau beberapa

    responden, apakah secara kebetulan, lewat kenalan, atau cara lainnya. Kemudian

    meminta sejumlah responden lainnya yang mereka kenal, yang dapat menjadi

    responden peneliti berikutnya. Melalui responden-responden tersebut juga bisa

    ditemukan lebih banyak responden lainnya dan begitu seterusnya sampai data

  • 12

    menjadi jenuh, artinya peneliti tidak menemukan aspek baru dalam fenomena yang

    diteliti.11 Jumlah responden dalam penelitian kualitatif bersifat fleksibel, sangat

    tergantung pada kebutuhan peneliti itu sendiri. Dalam melakukan penelitian,

    metode pembahasan yang digunakan peneliti adalah metode deskriptif-kualitatif

    sebagai upaya eksplorasi dan klarifikasi mengenai efek poligami terhadap

    psikologis wanita dan anak-anak. Sedang pendekatan yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Dalam hal ini, peneliti ingin membahas

    pandangan pribadi orang. Karena masing-masing orang berbeda. Perbedaan

    pandangan ini sangat jelas. Bagaimanapun juga, kadang-kadang pandangan orang

    agak mirip. Untuk mengetahui selisih perbedaan pandangan yang sedikit ini, alasan

    informan dan penjelasan secara rinci perlu digali. Penulis ingin memahami dan

    menggambarkan pandangan informan yang rumit itu secara mendalam, bukan secara

    garis besar saja. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif dianggap paling cocok untuk

    penelitian ini. Adapun skripsi ini ditulis dengan berpedoman pada buku pedoman

    penulisan skripsi yang dikeluarkan di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

    negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

    E. Review Studi Terdahulu

    Dari sekian banyak literatur skripsi Fakultas Syariah dan Hukum yang ada di

    Perpustakaan dan berbagai wacana yang berkaitan dengan poligami. Penulis

    mengambil beberapa skripsi dan wacana tersebut untuk dijadikan sebagai bahan

    11 Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

    2001), Cet. Ke-15, h. 187.

  • 13

    perbandingan. Diantaranya adalah:

    Penulis yang bernama Erlia Mukti, SJAS 2006, dengan judul skripsi

    Pengaruh Poligami Terhadap Kesejahteraan Keluarga (Studi Kasus Di Depok).

    Skripsi ini lebih menekankan kepada hak atas anak dan pengaruh poligami terhadap

    kesejahteraan keluarga. Menurut skripsi ini kesejahteraan keluarga tidak hanya diukur

    dengan banyaknya materi, namun juga diukur dengan immateri yaitu, perasaan kasih

    sayang dan rasa cinta yang mengalir dalam anggota keluarga. Pada umumnya keluaga

    poligami mengalami kekurangan kesejahteraan, khususnnya kesejahteraan dalam hal

    materi, yaitu 50% pelaku poligami berpenghasilan kurang dari 500.000 perbulan

    padahal kebutuhan saat ini semakin mahal sehingga tak jarang isteri harus memenuhi

    kebutuhan keluarganya sendiri. Jangankah untuk biaya pendidikan, urusan dapur pun

    sangat sulit untuk dipenuhi.

    Sedangkan Penulis yang bernama Ely Faizatun Naimah, menulis wacana

    Poligami Dan Perempuan. Penulis menguraikan salah satu faktor yang dianggap

    menyuburkan terjadinya praktik poligami adalah teks-teks keagamaan. Pertama, bagi

    para pelaku yang taat beragama dalam artian memahami dan menjalankan agama

    secara ketat, biasanya mereka melakukan hal itu karena alasan mengikuti Sunnah

    Rasulullah SAW. Kedua, Surat an-Nisa ayat 3, sering sekali dijadikan sebagai teks

    legitimasi bagi pelaku polgami.12

    Sedangkan Desertasi yang dibuat oleh Nina Nurmila, PhD untuk meraih

    12 Ely Faizatun Naimah, Poligami Dan Perempuan, diakses tgl.3-8-07,

    http://www.lingkarpeduliperempuan.blogspot.com/html.

  • 14

    gelar Doktornya tentang Poligami Dalam Perspektif Sosial, Ekonomi Dan

    Budaya. Menurut penelitian penulis, dari pihak perempuan, poligami banyak

    dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi untuk dapat keluar dari kemiskinan. Selain

    mengatasi kemiskinan, perempuan yang mau dimadu, biasanya menganggap poligami

    juga dapat meningkatkan status sosial yang lebih tinggi melalui status sosial

    suaminya. Penyebab lainnya adalah faktor ketertarikan fisik dan mengakhiri masa

    lajang. Penulis mengungkapkan, di lain pihak mayoritas kaum adam berpoligami

    karena berawal dari selingkuh dan adanya asumsi bahwa poligami merupakan fitrah

    laki-laki sehingga mendorongnya untuk mencari pelepasan hasrat seksual pada lebih

    dari satu pasangan. Selain itu, ketidaksetaraan relasi jender antara suami dan istri

    serta kampanye poligami juga dapat turut menjadi penyebab atau pendorong praktik

    poligami. Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia juga bisa menjadi

    faktor pendorong untuk berpoligami pada laki-laki yang merasa mampu memenuhi

    kriteria yang disayaratkan untuk berpoligami.13

    Berbeda dengan skripsi-skripsi terdahulu dan wacana yang ada, skripsi yang

    penulis buat ini membahas tentang bagaimana para pelaku poligami membahas dan

    menjelaskan perilaku poligami mereka yang sangat jarang tersentuh, sehingga sering

    kali poligami itu dianggap sebagai suatu penyimpangan dan mengundang kontroversi

    dari berbagai kalangan serta mencari tahu bagaiman poligami itu dilakukan dengan

    menggunakan beberapa teori yaitu, Teori Gender, Teori Keadilan dan Teori Hak-Hak

    13 Nina Nurmila, Poligami Dalam Perspektif Sosial,Ekonomi Dan Budaya, diakses tgl. 29-8-

    07, http://www.gatra.com/artikel.html.

  • 15

    Anak dan Isteri dengan menggunakan metode snow ball system.

    F. Sistematika Penulisan

    Untuk mempermudah pembahasan, penulis mengklasifikasikan skripsi ini ke

    dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

    Bab Pertama Pendahuluan yang memaparkan latar belakang masalah,

    pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, metode

    penelitian dan sistematika penulisan.

    Bab Kedua Pembahasan Poligami dan Hukum yang meliputi: Pengertian

    Poligami, Sejarah singkat poligami dan Poligami dalam hukum islam.

    Bab Ketiga Mengkaji tentang eksistensi poligami dalam berbagai teori yang

    meliputi: teori gender, teori keadilan dan teori tentang hak-hak anak dan isteri.

    Bab Keempat Mengkaji secara mendalam tentang fenomena pernikahan

    poligami di Kec. Pabuaran, meliputi: Gambaran Umum Kec. Pabuaran Kab. Subang,

    Deskripsi tentang pengalaman pasangan pernikahan poligami serta respon masyarakat

    terhadap pernikahan poligami.

    Bab Kelima adalah bagian penutup yang mencakup kesimpulan pembahasan

    dan permasalahan yang menjadi fokus kajian. Selain kesimpulan, peneliti juga

    menyampaikan saran-saran yang diperlukan, dan mengakhiri proposal ini dengan

    daftar pustaka.

  • BAB II

    SEJARAH DAN HUKUM POLIGAMI

    Poligami tetap merupakan fenomena yang banyak menyedot perhatian publik.

    Pada titik tertentu, sikap publik terhadap fenomena tersebut tereduksi ke dalam dua

    sikap: menolak dan mendukung. Namun demikian, hampir luput dari perhatian adalah

    poligami tidak melulu dilihat dari persoalan sosio-kultural-historis yang melatarinya.

    Pada akhirnya, ada usaha pereduksian bahwa poligami semata merupakan monopoli

    agama, dalam hal ini Islam. Padahal sejatinya, institusi pernikahan lebih dahulu ada

    ketimbang agama. Dengan kata lain poligami merupakan masalah kultural. Dengan

    demikian, poligami harus ditempatkan terlebih dahulu ke dalam ranah sosio-kultural

    sebelum menyikapinya dari berbagai perspektif, terutama normatif agama. Sebelum

    melangkah lebih jauh, di awal BAB II ini, penulis ingin menyoal fenomena poligami

    dalam dunia Islam. Fakta menunjukkan poligami banyak berlangsung dalam dunia

    Islam, pada saat sama alasan berpoligami dikuatkan dengan landasan normatif Islam.

    Karenanya, menyoal poligami dengan menitikberatkan dalam Islam,

    mempertimbangkan bahwa mayoritas pelaku poligami di Indonesia adalah pemeluk

    Islam, lebih memungkinkan mempopulerkan tujuan tulisan, yaitu memerlihatkan

    bahwa poligami bukanlah hal anjuran keberagamaan dan wajib. Bahkan pada titik

    tertentu membawa kemudaratan, dalam perspektif hukum Islam, setiap tindakan yang

    membawa pada kemudaratan pasti berstatus haram.1

    1 Islam dan Poligami http://www.kompas.com/kompascetak/0409/21/swara/1275820.htm,

    diakses 3-5-06.

  • 16

    Ada kecenderungan untuk mengarahkan persoalan poligami sebatas

    monopoli Islam. Karenanya, poligami lebih fenomenal dalam keberislaman. Patut

    disesalkan ketika konteks sosio-kultural-historisnya tak tersentuh samasekali dalam

    perdebatannya. Al-Quran, sebagai sumber normatif selain Sunnah, pada dasarnya

    merupakan cermin budaya Arab Jahiliyah atau memotret kebudayaan zamannya.

    Karenanya al-Quran bisa dianggap sebagai sebuah respon realitas sosial kala itu.

    Hanya saja, ia bertujuan untuk menjadi sebagai rujukan pemercayanya sepanjang

    zaman, maka dalam pemotretannya terjadi filterisasi.2 Untuk menemukan landasan

    universalistik setiap permasalahan. Poligami merupakan hal lumrah dalam

    masyarakat Arab ketika Islam kali pertama bersinggungan dengan tatanan

    masyarakatnya kala itu. Islam berusaha untuk mengakomadasi hal tersebut dengan

    cara pembatasan jumlah istri. Awalnya tidak terhingga, menjadi empat. Tidak boleh

    dilupakan bahwa akomodatif tersebut merupakan upaya untuk menyikapi tendensi

    hasrat manusia dalam urusan nikah atau percintaan. Karenanya, selain memberikan

    batasan, Islam juga memberikan pengetatan dalam pelaksanaannya, yaitu bertumpu

    dalam konsep adil dan kemaslahatan.3

    Pelaku poligami menganggap bahwa poligami merupakan sunnah. Hal

    tersebut bisa dipertanyakan ulang. Masalahnya, sunnah dimaksud hanya mengikuti

    Nabi tanpa mengetahui tujuan atau substansi tindakan tersebut.

    2 Dedi Junaedi, Drs., Bimbingan Perkawinan: Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-Quran

    dan As-Sunnah,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), Cet.1, hal. 6. 3John L. Esposito, Islam Warna Warni, Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus, (Paramadina,

    1991).

  • 17

    Kala itu, poligami dilakukan Nabi lebih sebagai sikap preventif agar para

    janda tersebut tidak mengalami kesulitan lebih hebat pasca kematian suaminya. Juga

    sering dilupakan pelaku poligami, bahwa Nabi menolak ketika putrinya hendak

    dimadu oleh Ali ibn Abu Thalib4. Nabi mengeluarkan opsi kepada Ali, tidak

    memoligami Fatimah binti Muhammad atau menceraikannya.5

    Pada tempat lain, al-Quran mengafirmasi poligami ketika kemampuan untuk

    berlaku adil dimiliki oleh pelakunya. Tanpa ada kemampuan untuk berlaku adil, maka

    dilarang berpoligami. Dengan kata lain al-Quran secara implisit, pada batasan tertentu

    menolak poligami. Di titik ini, yang diabaikan begitu saja oleh pelakunya. Sebagai

    sebuah respon atas semangat zamannya, akomodatif Islam terhadap poligami

    merupakan upaya dinamisasi. Karenanya, konteks masyarakat Arab kala itu harus

    dijadikan pijakan untuk mengkonklusikan sikap Islam terhadap poligami. Pertama,

    wanita di waktu itu diperlakukan tidak seimbang. Kedua, corak patrialkalistik

    mendominasi kehidupan sosial masyarakat Arab. Pada titik tertentu, wanita dianggap

    sebagai simbol kemewahan atau kebesaran. Semakin banyak memiliki istri semakin

    berkuasa atau terpandang.6

    Ketika janda tua memiliki banyak anak berada dalam kehidupan

    bermasyarakat patrialkalistik, tentu akan sangat sulit untuk memerjuangkan atau

    memertahankan roda kehidupan ekonominya. Alasan tersebut harus dilihat mengapa

    4 H.R Bukhori, Muslim dan Ibnu Majah dalam Jmi al-Ushl, juz XII, 162, nomor hadis:

    9026). 5Faqihuddin Abdul Kadir, Benarkah Poligami Sunnah, dalam

    http://www.kompas.com/kesehatan/news/0305/13/061353.htm diakses 3-6-06.

  • 18

    Nabi memilih berpoligami. Karena pada kesempatan lain, Nabi menolak maksud

    menantunya, Ali, untuk berpoligami. Pada sisi lain, upaya Nabi berpoligami bisa

    diterjemahkan sebagai contoh tindakan. Dengan kata lain poligami Nabi merupakan

    meaningfull action. Dengan begitu diharapkan bahwa tendensi berpoligami

    mengalami perubahan tujuan. Semula lebih sebagai simbol kekuasaan, menjadi usaha

    untuk meringankan beban wanita dalam menjalani hidupnya.7

    A. Pengertian Poligami

    Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti

    banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua

    kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang

    banyak atau dengan ungkapan lain adalah perkawinan antara seorang dengan dua

    orang atau lebih namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua

    istri atau lebih.8 Menurut Prof. DR. Hj. Khuzaimah Tahido Yanggo dalam situs

    Muslimat NU, Poligami ialah mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang

    sama. Berpoligami atau menjalankan (melakukan) poligami sama dengan poligini

    yaitu mengawini beberapa wanita dalam waktu yang sama.

    Poligami lawannya adalah poliandri, yaitu perkawinan antara seorang

    perempuan dengan beberapa orang laki-laki. Sebenarnya istilah poligami itu

    mengandung pengertian poligini dan poliandri. Tetapi karena poligami lebih banyak

    6 Ibid., 7 Ibid., 8 Ahmad Maulana, dkk., Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Yogyakarta: Absolut, 2004), Cet.

    Ke-2, hal. 407.

  • 19

    dikenal terutama di Indonesia dan negara-negara yang memakai hukum Islam, maka

    poligami dipahami sebagai poligini saja.9

    Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami

    adalah sama dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita

    dalam jangka waktu yang sama.10 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku

    dimasyarakat. Sedangkan pengertian poligami (taaddud al-jauzat) dalam Islam

    adalah perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai

    empat orang istri, tidak boleh lebih darinya.11

    B. Sejarah Singkat Poligami

    Poligami bukanlah tradisi yang ada dalam agama Islam saja, tetapi telah

    berlaku meluas pada bangsa-bangsa sebelum Islam datang. Di antara bangsa-bangsa

    itu seperi Ibrani, Arab Jahiliyah, dan Slavia.12

    Para ahli sejarah dan ahli sosial menyebutkan bahwa poligami, dalam segala

    bentuknya, telah ada dalam berbagai fase sejarah. Pada awalnya diketahui bahwa

    poligami bertujuan untuk memperbudak wanita. Orang-orang yang kuat dan kaya

    raya mengambil beberapa perempuan untuk kenikmatan dan melayani mereka.

    Terutama bagi raja dan pemimpin, mereka juga memperbudak perempuan dan

    begitulah seterusnya. Terdapat pula percampuran antara free sex dan bersenang-

    9 Prof. DR. Khuzaimah Tahido Yanggo, Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dalam

    http://www.muslimat-nu.or.id/buku/poligami.htm diakses tanggal 16-12-2007. 10 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 169. 11 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, terj. Ahmad Sahal

    Hasan, Lc., (Jakarta: Global Media, 2003), Cet. I, hal. 25. 12 Dedi Junaedi, Drs., Bimbingan Perkawinan: Membina Keluarga Sakinah Menurut Al-

    Quran dan As-Sunnah,(Jakarta: Akademika Pressindo, 2001), Cet. I, hal. 237.

  • 20

    senang dengan para tawanan.13

    Poligami juga sudah dikenal sejak lama oleh orang-orang Mesir, Perancis,

    Asyuriyun, Babilonia dan India, sebagaimana diketahui oleh orang-orang Rusia dan

    Jerman, telah dilakukan oleh sebagian raja-raja Yunani, sebagaimana yang telah

    diberitakan oleh agama Yahudi, dan kitab mereka tidak melarang adanya poligami.14

    Bahkan agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Dan ada keterangan

    dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman As. mempunyai tujuh ratus orang istri yang

    merdeka dan tiga ratus orang istri yang berasal dari budak.15 Dan meskipun dalam

    Taurat tidak melarang adanya poligami dan tidak menghalangi para suami untuk

    menikah dengan berapa saja banyaknya istri, namun pendeta-pendeta Yahudi

    membenci adanya poligami, lalu berusaha mempersempit poligami dengan

    membatasi istri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor-faktor pendorong

    yang sah menurut agama, untuk bolehnya suami menikah dengan istri baru.16

    Sepanjang zaman pertengahan, Yahudi hidup berkelompok dan terbiasa

    dengan poligami, sampai akhirnya pada abad ke-11 M gereja melarang poligami,

    untuk menekan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Ketetapan tersebut

    dipublikasikan oleh Dewan Gereja di kota Warmes, Jerman. Pada mulanya, ketetapan

    ini hanya berlaku bagi orang-orang yahudi di Jerman dan Utara Perancis. Kemudian

    13 Karam Hilmi Farhat Ahmad, Dr., Hikmah Pernikahan Rasulullah, terj. Farhan Munirul

    Abidin, (Malang: Al-Qayyim, 2004), Cet. I, hal 4. 14 Hilmi Farhat Ahmad, Op. Cit., hal. 6. 15 Musthafa As-sibai, Wanita Diantara Hukum Islam dan Perundang-undangan, (Jakarta:

    Bulan Binatang, 1977), Cet. 1, h. 100. 16 Abdul Nasir Taufiq al-Atthar, Poligami Ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang-

    undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet. 1, h.80.

  • 21

    menyebar ke seluruh umat Yahudi di Eropa.17

    Undang-undang perdata Yahudi telah memutuskan untuk melarang poligami,

    dan mengharuskan untuk bersumpah setia ketika mengadakan akad nikah. Apabila

    suami ingin menikah dengan perempuan lain, maka harus menceraikan istri

    pertamanya dan memberikan semua hak-haknya. Kecuali, bila istrinya

    membolehkannya menikah lagi, suami dengan lapang dapat berkeluarga dengan dua

    istri dan berbuat adil antara keduanya.18 Mereka juga dibolehkan berpoligami apabila

    istrinya sakit, mandul, berkhianat dan sebagainya.

    Nabi Isa as. datang untuk menyempurnakan syariat yang telah dibawa oleh

    Nabi Musa as. dalam kitab Injil tidak terdapat nash yang melarang umatnya

    berpoligami. Dalam agama Kristen tidak ada nash yang mengharamkan pengikutnya

    untuk berpoligami, apabila mereka ingin melakukannya, maka hal tersebut

    diperbolehkan.

    Adapun ketetapan yang diterbitkan oleh Dewan Gereja dan jemaat Gereja

    untuk melarang berpoligami adalah ketetapan hukum yang dibuat oleh manusia,

    bukan agama. Ketetapan Pihak Gereja tentang pelarangan poligami muncul pada abad

    pertengahan. Namun, pihak Gereja memberikan keringanan kepada para pembesar

    untuk berpoligami.19 Paus Paulus melarang para uskup dan rahib untuk berpoligami,

    namun sebagian dari mereka terdapa sekte yang menentang larangan ini.

    17 Ibid., dengan merujuk kepada Taufiq Hasan Farj, Ahkam al-Ahwal as-Syahsiyah Lighairi

    al-Muslimin min al-Mishriyyin. 18 Ibid., dengan merujuk kepada Qanun al-Ahwal al-Syahsiyah li Thaifat al-Yahudiyah, hal,

    101.

  • 22

    Raja Irlandia, Daisarmith, memiliki dua istri, begitu juga halnya dengan raja

    Perancis yang menikahi dua istri. Raja Frederik II memiliki dua istri berdasarkan

    kesepakatan dari Gereja. Gereja dalam hal ini membolehkan poligami, sedangkan di

    sisi lain melarangnya.20

    Najuziyah, salah seorang penganut Kristen yang menyetujui poligami

    mengatakan: Larangan poligami tidaklah masuk akal bagi umat Isa as, selama

    mereka berpegang kepada agama Isa as , bahkan tidak mengapa bila mereka teap

    menjadikan Taurat sebagai Kitab suci orang-orang Nashrani menjadi dasar agama

    mereka, memperbolehkan poligami, apalagi Isa as telah menetapkan ketentuan ini

    dengan mengatakan: Saya datang bukan untuk mengurangi Namus ataupun para

    Nabi sebelumnya, tetapi saya datang untuk menyempurnakan ajaran mereka.21

    Selanjutnya secara resmi mereka memberitahukan untuk memperbolehkan poligami

    bagi orang-orang Kristen Afrika tanpa ada batasan-batasan tertentu.22 Martin Luther

    dan Kristen Protestan menganggap poligami sebagai sistem dan undang-undang yang

    tidak terpisah dari ketetapan hukum yang dibawa oleh Al-Masih. Pendeta tersebut

    mengatakan: Sesungguhnya Tuhan memberikan izin bagi setiap pengikut Perjanjian

    Lama dalam segala ihwal, pengikut Al-Masih berhak untuk melakukannya kapanpun

    dia yakin situasinya mendukung. Bagaimanapun juga, poligami lebih baik daripada

    harus bercerai. Mazhab ini banyak terdapat di Jerman dan beberapa negara

    19 Ibid., hal. 10; dengan merujuk Muhammad Abu Zahroh. 20 Ibid. 21 Ibid., dengan merujuk kepada Injil Mata al-Ishlah al-Khamis, Paragraf 17. 22 Sebagaimana dikutip Karam Hilmi Farhat Ahmad, Ibid., hal. 11 dari Nazujiyah, Al-Islam

  • 23

    tetangganya.

    Sekte Anababetist dan Mormoun memperbolehkan dan mengajak kepada

    poligami. Mereka berpendapat bahwa istri pertama lebih utama dari istri-istri yang

    lain, dan dialah yang berhak menyandang gelar suaminya. Sampai kemudian keluar

    larangan dari gereja untuk beristri lebih dari satu, dan suruhan untuk menceraikan

    istri kedua, kecuali bila istri pertama mandul. Gereja saat ini, di bawah kepausan

    Roma, mengharamkan poligami. Kebijakan ini juga diikuti oleh aliran Ortodoks

    Ortodoks Roma dan Orman Ortodoks yang tidak membolehkan seorang suami

    untuk menikah lagi selama istri pertamanya masih hidup.

    Di jazirah arab sendiri, jauh sebelum Islam, masyarakatnyatelah

    mempraktekkan poligami malahan poligami yang tak terbatas. Sejumlah riwayat

    menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri,

    bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai ratusan istri.23

    Karena itu tidaklah benar apabila dikatakan bahwa Islamlah yang mula-mula

    membawa sistem poligami. Islam hanya melestarikan tradisi poligami yang telah ada

    dengan memberikan aturan penyempurnaan dan pembatasan.24 Akan tetapi

    sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia,

    perkembangan poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum

    perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina,

    poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan

    wa al-Nashara wa Awsathu Afriqiy, hal. 92.

    23 Musdah Mulia, Op. Cit., h.3.

  • 24

    perempuan terhormat, poligamipun berkurang.25

    C. Poligami dalam Hukum Islam

    Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus

    dari Allah Swt. Sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati masalah ini

    di awal surat an-nisa', yaitu pada ayat ke 3 :

    ) u z r& (#) ? 4u tGu9 $# (#s3$$s $t z>$s 3s9 zi !$|i9$# 4 o_Wt y]n=O u y t/ u (

    *s F z r& (#9s? ynus r& $t M s3n=t 3 yr& 4 y7 9 s #or& r& (#9s? Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap

    (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S. An-nisa: 3)26

    Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Ayat ini

    diturunkan kepada Nabi saw. pada tahun ke delapan Hijriah, dengan tujuan untuk

    membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja Akan tetapi, sebagian

    mufassir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan

    keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang memiliki anak-

    anak yatim.27

    Inti utama perbedaan penafsiran ayat poligami di kalangan para mufassir

    adalah pandangan tentang keabsolutan institusi poligami. Ayat tentang poligami turun

    24 Dedi Junaedi, Loc. Cit. 25 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan

    Gender, 1999), Cet. 1, h.3. 26 AlQuran al-karim dan terjemahnya, (Bandung: Al- Marif, 1982). 27 Syahrur, Muhammad, Metodologi Islam Kontemporer, (Terj. Sahiron Syamsuddin dan

    Burhanuddin), (Yogyakarta: Elsaq, 2004), Cet. 2, hal. 425.

  • 25

    setelah perang Uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Sejumlah besar

    para wanita dan anak-anak ditinggalkan tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi

    masalah tersebut, Allah swt mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami.

    Namun, meskipun poligami diizinkan, Allah swt membataskan jumlah isteri hanya

    kepada empat orang saja.28

    Ayat ini memungkinkan lelaki Muslim mengawini janda atau anak yatim jika

    dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim tersebut dan

    juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan.29

    Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak kebiasaan-

    kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya Islam di tanah Arab. di

    antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak yatim

    perempuan di dalam kangkangan keluarga, para wali dan penanggung jawab.

    Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan rakus,

    karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya. Anak-anak

    yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oeh para walinya, karena tamak kepada

    harta mereka bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan kepada anak lelaki

    para wali, untuk tujuan yang sama, agar harta tidak keluar dan jatuh ke tangan orang

    lain.30

    28 Sisters in Islam ( 18 Agustus 1990), diakses tgl 17-12-2007, sumber:

    http://www.sistersinislam.org.my/SIS%20Malay%20web2/letterstoeditors/Malay/18081990.htm. 29 Lily Zakiyah Munir, "Wabah Itu Bernama Poligami", Kompas (Jakarta), 14 Desember

    2006, hal. 39.

  • 26

    Kebiasaan ini juga berlangsung di awal Islam, hingga Al-Quran datang

    melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan

    mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4: 129)

    s9u (#tFn@ r& (#9 s? t t/ !$|i9$# s9 u Ftym ( s (#=s? 2 y9 $# $yxtG s

    s)=y9 $$x. 4 ) u (#s=? (#)Gs?u *s !$# t% x. #Y x $Vm Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di

    antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    Secara kategoris menyatakan, tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil

    terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Ayat ini dapat disimpulkan,

    Islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menegaskan

    bahwa, Islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak

    memerintahkan poligami, tetapi hanya memberikan rukhshah dan menentukan syarat

    di dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk

    menghadapi berbagai realitas kehidupan ummat manusia dan berbagai darurat fitrah

    kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka rukhshah yang diberikan, tidak boleh

    dilakukan.31

    Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa

    Nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya. Sementara dua

    30 Sayyid Qutb, Tafsir Fi Zhilal al-Quran, terj. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta:

    Rabbani Press, 2001), Jilid 2, hal. 599.

  • 27

    puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama

    Khadijah binti Khuwailid sampai Khadijah wafat dan Nabi saat itu telah berumur 50

    tahun. Tiga tahun setelah itu barulah Nabi menjalani poligami.32 Wanita yang

    dinikahi Rasul adalah semuanya janda, kecuali Aisyah r.a, dan semuanya untuk

    tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang

    kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki

    daya tarik memikat.33

    31 Sayyid Qutb, Op. Cit., hal. 650-1. 32 Siti Habiba (30 Agustus 2005), Poligami Dalam Perspektif Al-Qur'an & Sunnah, diakses

    tgl. 16-12-2007, http://www.selayar.com/islam/islam001.html. 33 Quraish Shihab, Op. Cit. hal. 326.

  • BAB III

    POLIGAMI DALAM BERBAGAI TEORI

    A. Poligami Menurut Teori Gender

    Poligami adalah salah satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak

    terkecuali feminis Islam. Tradisi menikah lebih dari satu ini (perseliran), selalu saja

    kontroversial, sehingga menuai subur pro dan kontra. Salah satu alasan yang sering

    dilontarkan kelompok feminis untuk menolak poligami adalah praktek buruk pelaku

    poligami. Banyak suami yang berpoligami mentelantarkan istri dan anak-anaknya,

    menjadi alasan untuk mengharamkan poligami1.

    Logika, pengharaman berdasarkan praktek yang keliru jelas berbahaya.

    Jangankan yang berpoligami, yang menikah dengan satu istri juga banyak

    mentelantarkan istri dan anak-anaknya. Apakah kemudian dengan alasan yang sama

    kita kemudian mengharamkan pernikahan sama sekali meskipun dengan satu istri.

    Poligami adalah salah satu hukum Allah, berbuat baik dan adil kepada istri adalah

    hukum yang lain. Keduanya bukanlah syarat. Maksudnya, tidak boleh mensyaratkan

    adil dan berbuat baik kepada istri untuk sebuah pernikahan. Keduanya perkara yang

    berbeda.

    1 Diungkapkan oleh pendiri Kajian Agama dan Jender Musdah Mulia dalam diskusi Trijaya,

    mengenai kontroversi poligami, di Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (9/12/2006. Menurutnya, meski pemerintah membatalkan rencana revisi UU Perkawinan, sebenarnya UU tersebut perlu untuk direvisi dengan mengaitkan pada UU HAM, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan anak.

    28

  • 29

    Namun setelah seseorang menikah suami harus berbuat baik kepada

    istrinya, menyantuninya, dilarang menyakitinya. Baik istrinya satu atau lebih dari

    satu. Dalam Islam menyakiti istri (baik satu ataupun lebih), mentelantarkannya,

    tidak memenuhi kewajiban menafkahinya, adalah tindakan kriminalitas yang

    diharamkan oleh Allah SWT. Negara lewat pengadilan boleh menjatuhkan hukuman

    untuk pelaku kriminalitas ini (yang tidak melakukan keadilan),2 tanpa perduli

    istrinya satu atau lebih. Jadi bukan menikahnya yang salah tapi menyakiti dan

    mentelantarkan istri yang salah.

    Termasuk kita tidak boleh menggeneralisasikan seakan-akan semua praktik

    poligami membuat perempuan menderita. Pada faktanya, kalau poligami dijalankan

    dengan ikhlas dan benar sesuai syariah Islam, banyak istri yang tidak masalah. Dan

    kenapa pula kita hanya melihat kondisi istri yang pertama? Bukankah istri yang

    kedua juga adalah wanita yang merasa bahagia karena dia dinikahi secara sah?

    Masalah poligami dipandang cukup krusial dalam pandangan feminis.

    Menurut kelompok feminisme ini, betapa tidak, bagaimana sakit hatinya perempuan

    yang dikhianati cintanya oleh orang yang disayangi. Belum lagi bila suami bersikap

    tidak adil dan lebih cenderung kepada istri lainnya, menyebabkan perempuan (istri

    pertamanya) ditelantarkan begitupun anak-anaknya. Alasan ini yang digunakan

    untuk menolak hukum kebolehan poligami. Kaum feminis mengingkari kebolehan

    poligami dan mencoba mengharamkannya. Keputusan haram lahir dari fakta yang

    2 Keputusan MK no 12/PUU-V/2007 pada bagian Pendirian Mahkamah, MK berpendapat

    negara bukan hanya berwenang mengatur (bevoeg te regel) tapi justru memiliki kewajiban untuk

  • 30

    menunjukkan bahwa pelaku poligami umumnya berlaku tidak adil dan menyebabkan

    perempuan teraniaya.3 Dengan demikian poligami harus dilarang karena ekses yang

    ditimbulkannya berupa ketidakadilan bagi istri dan anak-anak menjadi terlantar.

    Selanjutnya ketidakadilan poligami dinilai dari tidak etisnya alasan ketidakmampuan

    istri untuk bisa memperoleh keturunan yang sering dijadikan alasan mengajukan

    poligami. Keadaan istri yang mandul harus dibuktikan secara medis bukan hanya

    klaim suami saja. Kalaupun istri terbukti mandul, bukankah akan sangat

    menyakitkan hatinya jika kekurangan fisik yang telah diberikan sang Pencipta itu

    dijadikan dalih agar suami bisa menikah lagi.

    Argumen seperti ini, tentu saja tidak berdasar. Fakta yang mereka ajukan

    boleh jadi memang benar. Ada istri yang ditelantarkan suaminya karena menikah

    lagi. Namun fakta ini tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang poligami.

    Poligami adalah solusi yang diberikan Sang Pencipta manusia untuk mengatasi

    masalah. Perkawinan adalah sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia

    dalam menyalurkan hasrat naluri seksual. Perkawinan juga ditujukan untuk

    melahirkan keturunan dalam rangka pelestarian jenis manusia. Pada saat ada

    pasangan suami istri yang belum diberikan keturunan, sementara mereka segera

    menginginkannya, Allah SWT membolehkan suami menikah kembali dengan

    perempuan lain yang dapat memberi keturunan. Anak yang dilahirkan oleh istri

    mengatur (verplicht te regel) terhadap persoalan yang menyangkut sisi keadilan masyarakat.

    3 Dikatakan oleh Musdah Mulia Musdah dikutip dari survei Pusat Penelitian Kajian Wanita UI memperlihatkan, kalau poligami cenderung terkait dengan kekerasan rumah tangga, child abuse, konflik keluarga dan kesehatan. (detik.com 09/12/2006).

  • 31

    kedua dari suami tadi, juga merupakan anak bagi istri pertamanya.

    Dalam hal ini, fakta lain menunjukkan tidak sedikit seorang istri yang

    mendorong suaminya menikah lagi agar ia mempunyai keturunan dan hal tersebut

    didukung oleh keputusan konstitusional. 4 Fakta menunjukkan ada banyak keluarga

    yang melakukan poligami, mereka hidup rukun dan damai, harmonis dan saling

    membantu. Jadi, masalah yang seringkali muncul sebenarnya bukan karena poligami

    itu sendiri, melainkan karena pelaku poligami - dalam hal ini seorang suami tidak

    menjalankan konsekuensi dari tindakan yang ia ambil. Saat ia memutuskan untuk

    berpoligami, seharusnya ia memahami dan menjalankan konsekuensinya. Ia harus

    mampu menghidupi lebih dari satu keluarga. Orang-orang yang berada dibawah

    tanggungjawabnya telah bertambah dan ia harus siap untuk itu. Ketika ia tidak

    memenuhi konsekuensi dari berpoligami dan berbuat tidak adil seperti menelantarkan

    istri pertama dan anak-anaknya, yang disalahkan bukan hukum kebolehan poligami,

    namun pelaku poligami itu sendiri.

    B. Poligami Menurut Teori Keadilan

    Kata adil berasal dari bahasa Arab (Al-adl) berarti lurus (al-Istiwa) dan

    bengkok (al-iwijaj) sekaligus.

    Adil dalam istilah ulama memiliki dua arti: Pertama berarti istiqamah

    (komitmen dengan agama dalam berprilaku), al-Jurjani berkata: al-Adlu ialah orang

    4 Dalam pasal 4 ayat 2 undang-undang perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan hanya akan

    memberikan izin pada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan .

  • 32

    yang menjauhi dosa-dosa besar, tidak terus menerus melakukan dosa kecil,

    kebaikannya lebih dominan dari kesalahannya, dan menjauhi pekerjaan-pekerjaan

    rendah. Ini definisi adil dalam kesaksian perkara dan periwayatan hadist. Menurut

    istilah fiqh orang yang adil dalam kesaksian adalah orang yang merdeka, telah baligh,

    berakal sehat, seorang muslim, pemilik moralitas tang tinggi, kebenarannya lebih

    banya dari kesalahannya, bukan orang fasiq (pendosa), bukan orang yang dicekal

    karena kasus tertentu, bukan pelaku bidah, bukan pendusta, bukan pelaku dosa besar

    atau dosa kecil yang menghinakan, dan benar-benar bukan kerabat orang yang ia bela

    dalam kesaksiannya, seperti ayah atau anak.5

    Sedangkan makna Adil yang kedua ialah objektif dan seimbang (inshaaf )

    atau lawan dhalim. Inilah makna yang sesuai dengan konteks pembahasan penulisan

    skripsi ini. Al-Adlu: al-Inshaf (objektif, seimbang), yaitu memberikan kepada

    seseorang apa yang menjadi haknya, dan mengambil darinya apa yang bukan haknya.

    Dalam Mujam Lughah al-Fuqaha menyebutkan, al-Adlu ialah pertengahan antara

    sifat ifraath (berlebihan) dan tafriith (ketidak pedulian/ kekurangan).6

    Secara sederhana kemudian dapat dikatakan bahwa adil kepada para istri

    sebagaimana yang dimaksudkan dalam surat an-Nisa 3, yaitu menyamakan para istri

    dalam hal bermalam (menggilir), dan semua nafkah lahir, baik pangan, sandang dan

    papan. Keadilan terhadap para istri adalah sebab kestabilan hidup berumah tangga,

    dan jalan menuju terwujudnya pergaulan dan perlakuan baik yang diperintahkan oleh

    5 Arij Abdurrahman As-Sanan, Op. Cit., hal. 38-9, dengan merujuk pada al-Qamus al-Fiqhi

    Lugal-Fuqaha; Ibid., hal 39-40.

  • 33

    Allah Swt. dalam surat an-Nisa : 19. Oleh sebab itu para ulama telah sepakat bahwa

    berlaku adil terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus syarat

    dihalalkannya poligami. Penulis Kiayah at-Thalib secara tegas menyatakan bahwa:

    seluruh ummat Islam sepakat baha berlaku adil terhadap para istri itu wajib. Barang

    siapa tidak berlaku adil berarti dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan

    tidak boleh menjadi imam, tidak diterima kesaksiannya (dalam perkara pengadilan).

    Dan siapa yang mengingkari kewajiban berlaku adil, harus diminta bertaubat tiga

    kali, jika ia tidak mau berarti kafir.7 Di dalam hadist Nabi Saw. kita dapati sabdanya:

    :

    :

    Diriwayatkan dari Qatadah, dari Nadhr Ibn Anas, dari Basyir Ibn Nuhaik, Abu Hurairah berkata, Nabi Saw. bersabda: Barangsiapa yang punya dua istri dan tidak berlaku adil kepada keduanya, maka pada hari Qiamat ia berjalan dengan pinggang yang miring.

    Keadilan yang diwajibkan adalah keadilan yang dapat dikontrol suami dan

    menjadi kesanggupannya, seperti: perlakuan baik, bermalam, dan nafkah lahir.

    Sedangkan keadilan dalam hal-hal yang berada di luar kontrol suami dan di luar

    kesanggupannya seperti perasaan cinta, kecenderungan hati, dan hubungan seksual,

    semua itu bukanlah kewajiban.

    Mencari keadilan dan keseimbangan adalah manhaj dan sasaran dari perintah

    6 Seperti dikutip oleh Arij Abdurrahman As-Sanan dari al-Mujam al-Wasith dan Mujam 7 Seperti dikutip oleh Arij Abdurrahman As-Sanan, Op. Cit., hal. 53.

  • 34

    Allah Swt dalam surat an-Nisa: 3 . Keadilan lebih pantas diawali di tempat yang

    bernama keluarga. Ia merupakan batu pertama bagi bangunan sosial secara

    keseluruhan, dan titik tolak menuju kehidupan sosial umum. Di dalam keluarga,

    generasi tumbuh secara bertahap dengan lembut, luwes dan bisa beradaptasi. Bila

    tidak tegak di atas keadilan, kasih sayang dan kedamaian, maka tidak akan ada

    keadilan, kasih sayang dan kedamaian di dalam masyarakat secara keseluruhan.8

    Dalam konteks poligami, didalam al-Quran sendiri keadilan mutlak menjadi

    syarat keabsahan poligami sekalipun ada permasalahan penafsiran atas teks disana.

    Dalam al-Quran, ada ayat yang secara eksplisit membolehkan poligami: dua, tiga

    atau empat orang isteri. Ayat inilah yang selalu menjadi senjata pendukung poligami

    untuk membenarkannya menurut optik Islam. Namun yang jarang diperhatikan,

    lanjutan teks Quran di atas juga memuat aturan yang ketat masalah keadilan.

    ( .ynus#9 s? r& Fz*s kalau kamu kuatir tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah)

    seorang perempuan saja, (Qs An-Nisa ; 3)

    Terdapat beberapa penafsiran dari penggalan ayat diatas. Al-Qurthubi,

    mengutip pendapat ad-Dhahhak menafsirkan, keadilan dalam hal kecenderungan (al-

    mailu), cinta, seks, hubungan baik, dan giliran di antara istri-istri, apakah dua istri,

    tiga istri ataupun empat istri. Sedangkan IbnuKatsirmenafsirkan, bila kamu

    takut mempunyai banyak istri (taaddud), tidak dapat berbuat adil kepada

    8 Sayyid Qutb, Ibid., hal. 660-1.

  • 35

    mereka(istriistri)sebagaimanadifirmankanAllahdalamanNisa:127

    (( Ftym t s9 u!$|i9 $# t/ #9s?r tFn@ s9 u

    Sayyid Qutb menegaskan bahwa, Islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi

    hanya membatasinya. Tidak memerintahkan poligami, tetapi hanya memberikan

    rukhshah dan menentukan syarat di dalam pelaksanaannya. Islam memberikan

    rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan ummat

    manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka

    rukhshah yang diberikan, tidak boleh dilakukan.9

    Demikian Tuhan menegaskan. Di sini umat Islam perlu bertanya: mana watak

    perkawinan asli Islam? Potongan pertama ayat poligami di Quran, seakan

    menyusun tangga jumlah keutamaan pernikahan. Di mulai dari dua, tiga, lantas

    empat. Yang paling reflek ditangkap logika biasa: cobalah dua dulu; kalau masih

    berminat, bisa tiga; jika masih ada kemauan dan kemampuan, boleh nambah menjadi

    genap empat. Bahkan, sementara umat Islam, ada yang sampai hati menjumlahkan

    bilangan-bilangan yang disebut Tuhan di al-Quran tersebut. Dua plus tiga, plus

    empat, sehingga menghasilkan jumlah yang fantastis dan menguntungkan

    kecenderungan pernikahan seseorang.10

    Perbedaaan pemahaman ini tidak lepas dari permasalah hermeneutika (cara

    tafsir) atas ayat al-Quran. Masalahnya adalah, apakah penyebutan dua, tiga, empat,

    9 Sayyid Qutb, Op. Cit., hal. 650-1. 10 Majid Khadduri, Teori Keadilan Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999).

  • 36

    lantas kemudian satu, menunjukkan yang disebut pertama lebih utama (afdal) dari

    yang kemudian? Kalau itu dilihat sebagai urutan keutamaan, ya poligami menjadi

    pilihan. Yang sering terlupakan adalah kelanjutan ayat poligami ini. Justru, yang

    terlupakan inilah sebetulnya ruh ayat itu. Yaitu: masalah keadilan. Keadilan atas

    siapa? Tentu yang dimadu (perempuan). Dari sudut pandang siapa keadilan itu? Ya,

    jelas sudut pandang perempuan. Sebab, yang menjadi objek poligami adalah

    perempuan, yang makan hati dan tahu takaran keadilan poligami adalah perempuan

    itu sendiri, utamanya yang dimadu. Dan perlu diingat, bahwa Tuhan juga

    menegaskan, bahwa Engkau tidak akan dapat berlaku adil, walau berusaha keras

    untuk itu.11

    y9 $# 2 (#=s? s ( Ft ym s9 u !$ |i9 $# tt/ (#9 s? r& # tF n@ s9 u

    $V m # Y x t% x. !$# * s #) Gs? u ( #s=? )u 4 s) =y9 $$x. $y xtGs

    Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4: 129)

    Ayat ini terbukti, bahwa Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. manusia yang

    paling dimuliakan Allas Swt walaupun tidak menyatakan secara langsung rasa cinta

    kepada salah seorang istrinya, namun tak seorangpun dari sahabat dan istri-istri Nabi

    Saw. yang tidak mengetahui bahwa Beliau sangat mencintai Aisyah, dan

    11 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2003).

  • 37

    mengutamakannya dengan simpati hati yang khusus, yang tidak didapatkan oleh istri-

    istri yang lain. Karena hati bukanlah milik manusia, tetapi aia berada di antara jemari

    Allah Yang Maha Rahman, dibolak-balikkan-Nya sekehendak-Nya.

    Sebagaimana dapat kita lihat dalam sabda Nabi :

    :

    ( ) Ya Allah, inilah bagianku pada apa yang aku tidak memilikinya,

    maka janganlah Engkau mencelaku pada apa yang Engkau miliki dan tidak aku miliki. (HR. Abu Daud, At-Turmudzi dan Nasai)12

    Setelah dilihat dari segi ayat al-Quran yang menerangkan ketidakmampuan

    untuk berlaku adil diantara istri yang lebih dari satu jumlahnya kita akan mencoba

    terlepas dari konteks keagamaan yang bersifat sensitif dan cenderung emosional.

    Mubahnya hukum pilogami harus dengan syarat dapat berbuat

    adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat

    adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun demikian bila orang tersebut

    melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya tetap sah menurut ijma

    (konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa. Para ulama sepakat,

    sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah SAW, bahwa yang

    dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam pengertian segi

    materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala sesuatu yang

    berhubungan dengan muamalah kepada isteri.13 Sedangan adil yang tidak mungkin

    12 Ahmad Mushthafa Almaraghi, Tafsir Al-Maraghi,terj .(Semarang: PT. Karya Putra,1993). 13 Prof. Abdur Rahman Doi, Ph.,D, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineke Cipta,

    1992). Cet. 1.

  • 38

    terwujud contohnya seperti yang tersebut pada ayat ke dua, adalah adil maknawi

    (abstrak) seperti rasa cinta dan kecendrungan hati. Sebab biasanya bila seorang kawin

    lagi dengan wanita kedua, ia lebih cenderung berpaling dari isteri pertama.

    Namun demikian, adil bersifat materi tetap menjadi syarat kelangsungan

    berpoligami. Oleh karenanya poligami telah lama diterapkan masyarakat dunia,

    termasuk di Indonesia. Masyarakat sebagai suatu sistem yang dinamis selalu berusaha

    mencapai kondisi yang lebih baik dari sebelumnya. Parameter baik dan buruk dapat

    kita analisis dari fenomena yang terjadi pada masyarakat itu sendiri.

    C. Poligami Menurut Teori Hak-hak anak dan Istri

    1. Hak anak

    Hak anak kerap diabaikan dalam kasus poligami, akibatnya proses tumbuh

    kembang anak rentan karena perilaku poligami. Padahal seharusnya anak menjadi

    faktor pertimbangan utama untuk melakukan poligami.14

    Aktivis hak anak, Rachma Fitriati, dalam diskusi Trijaya, mengenai

    kontroversi poligami, di Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (9/12/2006). Mengatakan

    bahwa "Proses tumbuh kembang anak tidak pernah menjadi perhatian dalam

    penyusunan UU Perkawinan, harusnya anak menjadi faktor pertimbangan yang kuat

    dalam proses poligami," Rachma menilai, seharusnya dalam UU Perkawinan dan PP

    10 tahun 1983 tentang poligami, memasukkan hak anak sebagai pertimbangan utama.

    Sementara dalam PP 10 tahun 1983 hanya menyebutkan PNS boleh berpoligami

    asalkan ada izin atasan dan istri pertama, tanpa menyinggung hak anak.

  • 39

    .

    Rachma menilai, sebenarnya masih perlu dilakukan revisi peraturan terkait,

    untuk memperketat peraturan khususnya tentang hak anak. Sehingga pelaku poligami

    yang mengakibatkan anak menjadi terlantar bisa ditindak negara. Namun Rachma

    juga tidak menyangkal, adanya kasus-kasus poligami yang meningkatkan kualitas hak

    anak. Hal yang sama juga diungkapkan oleh pendiri Kajian Agama dan Jender

    Musdah Mulia. Menurutnya, meski pemerintah membatalkan rencana revisi UU

    Perkawinan, sebenarnya UU tersebut perlu untuk direvisi dengan mengaitkan pada

    UU HAM, Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan anak.15

    "Hal ini agar poligami tidak merugikan orang-orang yang rentan terhadap kekerasan

    terutama wanita dan anak-anak," ujar Musdah. Karena dari survei Pusat Penelitian

    Kajian Wanita UI memperlihatkan, kalau poligami cenderung terkait dengan

    kekerasan rumah tangga, child abuse, konflik keluarga dan kesehatan.

    2. Hak istri

    Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga

    hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan

    untuk adil di antara para isteri, sebagaimana pada ayat 3 surah annisa yang artinya:

    Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

    yatim (bilamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita-wanita (lain) yang

    kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat

    14 Ardian Wibisono, Hak Anak Terabaikan, http//www.detik.com. diakses tanggal 09-12-06. 15 Farida, Poligami Dilema Bagi Perempuan, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002).

  • 40

    berlaku adil, maka (kahwinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

    Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. 16

    Berlaku adil dalam bermuamalah dengan isteri-isterinya, yaitu dengan

    memberikan kepada masing-masing isteri hak-haknya. Adil disini lawan dari zalim,

    yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan

    mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan

    persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antara para isteri adalah menyamakan hak

    yang ada pada para isteri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk

    disamakan di dalamnya. Adil adalah memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai

    dengan haknya.17

    Apa saja hak seorang isteri di dalam poligami? Di antara hak setiap isteri

    dalam poligami adalah sebagai berikut:

    a) Memiliki rumah sendiri

    Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri. Allah Subhanahu

    wa Taala berfirman dalam surat Al Ahzab ayat 33:

    ts%u 3?/ Artinya: Menetaplah kalian (wahai isteri-isteri Nabi) di rumah-

    rumah kalian.

    Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla menyebutkan rumah Nabi Shallallahu

    16HakIstriPoligamidalamhttp://www.perpustakaanislam.com/mod.php?mod=publisher&op=vi

    ewarticle&artid=113 diakses tanggal 30-05-06. 17 Ibid.,

  • 41

    Alaihi wa Sallam dalam bentuk jamak, sehingga dapat dipahami bahwa rumah beliau

    tidak hanya satu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Aisyah Radhiyallahu

    Anha menceritakan bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sakit

    menjelang wafatnya, baginda Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya, Dimana aku

    besok? Di rumah siapa? Baginda Shallallahu Alaihi wa Sallam menginginkan di

    tempat Aisyah Radhiyallahu Anha, oleh karena itu isteri-isteri beliau mengizinkan

    beliau untuk dirawat di mana saja baginda menginginkannya, maka baginda dirawat

    di rumah Aisyah sampai baginda wafat di sisi Aisyah. Baginda Shallallahu Alaihi wa

    Sallam wafat pada hari giliran Aisyah. Allah mencabut ruh baginda dalam keadaan

    kepala baginda bersandar di dada Aisyah Radhiyallahu Anha. Ibnu Qudamah

    rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al Mughni bahwasanya tidak pantas seorang

    suami mengumpulkan dua orang isteri dalam satu rumah tanpa redha dari keduanya.

    Hal ini dihawatirkan dapat menjadikan penyebab kecemburuan dan permusuhan di

    antara keduanya. Tidak boleh mengumpulkan para isteri dalam satu rumah kecuali

    dengan rido mereka juga. Ini merupakan pendapat dari Imam Qurthubi di dalam

    tafsirnya dan Imam Nawawi dalam Al Majmu Syarh Muhadzdzab.

    b) Menyamakan para isteri dalam masalah giliran

    Setiap isteri harus mendapat hak giliran yang sama. Imam Muslim

    meriwayatkan hadis yang artinya; Anas bin Malik menyatakan bahwa Nabi

    Shallallahu Alaihi wa Sallam memiliki 9 isteri. Kebiasaan baginda Shallallahu

    Alaihi wa Sallam bila menggilir isteri-isterinya, baginda mengunjungi semua

    isterinya dan baru berhenti (berakhir) di rumah isteri yang mendapat giliran saat itu.

  • 42

    Ketika dalam berpergian, jika seorang suami akan mengajak salah seorang

    isterinya, maka dilakukan undian untuk menentukan siapa yang akan ikut serta dalam

    perjalanan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha

    menyatakan bahwa apabila Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam hendak bermusafir,

    baginda mengundi di antara para isterinya, siapa yang akan baginda Shallallahu

    Alaihi wa Sallam sertakan dalam musafirnya. Baginda Shallallahu Alaihi wa Sallam

    biasa menggilir setiap isterinya pada hari dan malamnya, kecuali Saudah bintu

    Zamah karena hak gilirannya telah diberikan kepada Aisyah Radhiyallahu Anha.

    Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan bahwa seorang suami diperbolehkan untuk masuk

    ke rumah semua isterinya pada hari giliran salah seorang dari mereka, namun suami

    tidak boleh menggauli isterinya yang bukan pada waktu gilirannya. Seorang isteri

    yang sedang sakit maupun haid tetap mendapat hak giliran sebagaimana yang

    dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang

    diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa Aisyah Radhiyallahu Anha

    menyatakan bahwa jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ingin bermesraan

    dengan istrinya namun saat itu isteri Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sedang

    haid, beliau memerintahkan untuk menutupi bagian sekitar kemaluannya. Syaikh

    Abdurrahman Nashir As Sady rahimahullah, ulama besar dari Saudi Arabia, pernah

    ditanya apakah seorang isteri yang haid atau nifas berhak mendapat pembahagian

    giliran atau tidak. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang benar

    adalah bagi isteri yang haid berhak mendapat giliran.18

    18 Ibid.,

  • 43

    c) Tidak boleh keluar dari rumah isteri yang mendapat giliran menuju

    rumah isteri yang lain.

    Seorang suami tidak boleh keluar untuk menuju rumah isteri yang lain yang

    bukan gilirannya pada malam hari kecuali keadaan darurat. Larangan ini disimpulkan

    dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang menceritakan bahwa ketika

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam di rumah Aisyah Radhiyallahu Anha, tidak

    lama setelah baginda berbaring, baginda bangkit dan keluar rumah menuju kuburan

    Baqi sebagaimana diperintahkan oleh Jibril alaihi wa sallam. Aisyah Radhiyallahu

    Anha kemudian mengikuti baginda karena menduga bahwa Rasulullah Shallallahu

    Alaihi wa Sallam akan pergi ke rumah isteri yang lain. Ketika Rasulullah Shallallahu

    Alaihi wa Sallam pulang dan mendapatkan Aisyah Radhiyallahu Anha dalam

    keadaan termengah-mengah, baginda Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya kepada

    Aisyah Radhiyallahu Anha, Apakah Engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan

    berbuat tidak adil kepadamu? Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyatakan tidak

    dibolehkannya masuk rumah istri yang lain di malam hari kecuali darurat, misalnya si

    isteri sedang sakit. Jika suami menginap di rumah isteri yang bukan gilirannya

    tersebut, maka dia harus mengganti hak isteri yang gilirannya diambil malam itu.

    Apabila tidak menginap, maka tidak perlu menggantinya.

  • 44

    d) Batasan Malam Pertama Setelah Pernikahan

    Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu bahwa termasuk

    sunnah bila seseorang menikah dengan gadis, suami menginap selama tujuh hari, jika

    menikah dengan janda, ia menginap selama tiga hari. Setelah itu barulah ia menggilir

    isteri-isteri yang lain.19 Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Ummu

    Salamah Radhiyallahu Anha mengkhabarkan bahwa ketika Nabi Shallallahu Alaihi

    wa Sallam menikahinya, beliau menginap bersamanya selama tiga hari dan beliau

    bersabda kepada Ummu Salamah, Hal ini aku lakukan bukan sebagai penghinaan

    kepada keluargamu. Bila memang engkau mau, aku akan menginap bersamamu

    selama tujuh hari, namun aku pun akan menggilir isteri-isteriku yang lain selama

    tujuh hari. 20

    e) Wajib menyamakan nafkah21

    Setiap isteri memiliki hak untuk mempunyai rumah sendiri-sendiri, hal ini

    berkonsekuensi bahwa mereka makan sendiri-sendiri, namun bila isteri-isteri tersebut

    ingin berkumpul untuk makan bersama dengan keredhaan mereka maka tidak apa-

    apa. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa bersikap adil dalam nafkah dan pakaian

    menurut pendapat yang kuat, merupakan suatu kewajiban bagi seorang suami.

    Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu

    19 Fatwa-Fatwa tentang Wanita Jilid 2, Darul Haq, (Jakarta As Sadani , As Sayyid bin

    Abdul Aziz, 2004). 20 Ibid., dengan merujuk pada Fatwa Tentang Wanita. 21 Nyerobot Bisa Bikin Repot, , (Sukoharjo: Majalah Nikah Vol.3, No.9, Desember 2004).

  • 45

    mengabarkan bahwa Ummu Sulaim mengutusnya menemui Rasulullah Shallallahu

    Alaihi wa Sallam dengan membawa kurma sebagai hadiah untuk baginda Shallallahu

    Alaihi wa Sallam. Kemudian kurma tersebut untuk dibagi-bagikan kepada isteri-

    isteri baginda segenggam-segenggam. Bahkan ada keterangan yang dibawakan oleh

    Jarir bahwa ada seseorang yang berpoligami menyamakan nafkah untuk isteri-

    isterinya sampai-sampai makanan atau gandum yang tidak bisa ditakar / ditimbang

    karena terlalu sedikit, beliau tetap membaginya tangan pertangan. Namun perlu

    diambil kira pembahagian nafkah mengikut keperluan tanggungan suami dalam

    rumahnya.

    f) Undian ketika safar.

    Bila seorang suami hendak melakukan musafir dan tidak membawa semua

    istrinya, maka ia harus mengundi untuk menentukan siapa yang akan menyertainya

    dalam safar tersebut. Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan bahwa kebiasaan

    Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bila hendak musafir, baginda mengundi di

    antara para isterinya, siapa yang akan diajak dalam musafir tersebut. Imam Ibnu

    Qudamah menyatakan bahwa seorang yang bermusafir dan membawa semua istrinya

    atau menginggalkan semua isterinya, maka tidak memerlukan undian. Jika suami

    membawa lebih dari satu isterinya, maka ia harus menyamakan giliran sebagaimana

    ia menyamakan di antara mereka ketika tidak dalam keadaan bermusafir.22

    22 Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Pustaka Imam asy-Syafii,(Bogor Al-Wazan, Amin bin Yahya,

    2004)