DR. Dr. Andi Makbul Aman, SpPD, K-EMD,...
Transcript of DR. Dr. Andi Makbul Aman, SpPD, K-EMD,...
i
ii
DR. Dr. Andi Makbul Aman, SpPD, K-EMD, FINASIM
HIPOGLIKEMIA
DALAM PRAKTIK SEHARI-HARI
iii
HIPOGLIKEMIA
DALAM PRAKTIK SEHARI-HARI
Penulis :
Andi Makbul Aman Mansyur
ISBN : 978-602-61363-4-3
Diterbitkan Oleh :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang :
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit
iv
Pengantar dari Penulis
Hipoglikemia merupakan kondisi klinis yang ditandai oleh penurunan kadar
glukosa darah melewati ambang batas yang bisa ditoleransi oleh tubuh.
Hipoglikemia sering dijumpai dalam praktek sehari-hari, baik pada pasien rawat
jalan maupun pasien rawat inap di rumah sakit. Bila tidak terdeteksi dan tidak
mendapat terapi dengan cepat akan menimbulkan konsekwensi dan komplikasi
yang serius. Kualitas hidup pasien hipoglikemia terutama yang berulang akan
menurun, menyebabkan kerusakan otak ringan hingga permanen bahkan
dapat menjadi pemicu terjadinya penyakit jantung koroner dan kematian secara
mendadak.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk memberikan informasi lengkap tentang
definisi, prevalensi, jenis dan klasifikasi serta dampak dari hipoglikemia, baik
untuk pasien diabetes melitus maupun untuk pasien non-diabetes. Dipaparkan
pula tentang tatacara diagnosis dan terapi dari hipoglikemia.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu mulai saat merancang hingga tahap penulisan buku ini selesai.
Ucapan terima kasih terutama penulis haturkan kepada Bapak Prof. Dr. dr.
Ahmad Rudijanto, SpPD, K-EMD, FINASIM selaku ketua umum PB. PERKENI
periode tahun 2012-2015 dan 2015-2018 atas dukungan serta kesediannya
untuk memberikan kata sambutan pada buku ini. Demikian pula kepada Bapak
Prof. Dr.dr. H. Syakib Bakri, SpPD, K-GH, FINASIM yang senantiasa
memberikan gagasan, semangat, bantuan literatur serta saran dan koreksi
sehingga buku ini berhasil diterbitkan.
v
Buku ini masih jauh dari kesempurnaan, namun diharapkan akan menjadi salah
satu bahan referensi dan acuan bagi para mahasiswa fakultas kedokteran,
peneliti, dokter umum dan dokter spesialis serta praktisi kesehatan lainnya
sehingga turut berkonstribusi dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan masyarakat.
Makassar, Februari 2018
Penulis,
A. Makbul Aman Mansyur
vi
KATA SAMBUTAN
Ketua Umum Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia (PB.PERKENI) Periode 2012-2015 dan 2015-2018
Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang dapat bersifat emergensi
dan memerlukan penanganan yang cepat dan tepat sehingga dampak dari
hipoglikemia itu dapat diminimalisir. Hipoglikemia yang tidak tertangani dengan
baik akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti: penurunan
kualitas hidup, gangguan fungsi kognitif, penurunan kesadaran, bahakan dapat
menjadi pemicu penyakit kardiovaskuler yang dapat menjadi penyebab
kematian.
Hipoglikemia sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, terutama dialami
oleh pasien diabetes mellitus (DM) yang mendapat terapi obat anti diabetes,
khusunya insulin atau obat oral yang meningkatkan pelepasan insulin dari sel-
beta (sulfonylurea atau glinid). Kekhawatiran terhadap risiko hipoglikemia
merupakan hambatan utama bagi para klinisi dan pasien dalam upaya
pencapaian target glikemik yang diinginkan pada pasien DM.
Hipoglikemia juga dapat dialami oleh pasien non-diabetes, terutama pada
beberapa kelainan endokrin dan juga pada kondisi klinis tertentu. Hipoglikemia
bahkan dapat dialami oleh individu dengan kondisi kesehatannya normal.
Dalam buku ini dijelaskan dengan cukup lengkap tentang kondisi hipoglikemia,
mulai dari homeostasis glukosa darah yang normal, prevalensi, jenis,
penyebab, patogenesis, komplikasi serta pentalaksanaannya.
vii
Atas nama PB. PERKENI perkenankan saya mengucapkan selamat dan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berhasil menyusun buku tersebut.
Semoga buku ini dapat menjadi bahan referensi bagi pembacanya dan
bermanfaat untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya
dalam bidang endokrin dan metabolisme.
Jakarta, 10 Februari 2018
PB PERKENI
Prof. Dr. dr. Achmad Rudijanto SpPD-KEMD
Ketua Umum
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................... i
PENGANTAR PENULIS .............................................................. iii
KATA SAMBUTAN KETUA PB. PERKENI ................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................. vii
DAFTAR TABEL .......................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................... xiii
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Homeostasis Glukosa Darah
A Pankreas sebagai regulator utama metaboliksme glukosa...... 3
B Intraksi pancreas dengan berbagai organ lain dalam
pengaturan kadar glukosa darah ............................................. 9
C Respon tubuh bila terjadi hipoglikemia ................................... 13
Daftar Pustaka ............................................................................. 16
BAB III
Definisi, Etiopatogensis, Kriteria Diagnostik dan Klasifikasi
Hipoglikemia ..............................................................................
A Definisi.................................................................................... 20
B Gejala dan keluhan hipoglikemia ........................................... 22
C Akibat hipoglikemia ................................................................ 24
ix
D Mekanisme pertahanan tubuh terhadap hipoglikemia ............. 27
E Perubahan hemodinamik pada hipoglikemia ........................... 29
F Klasifikasi hipoglikemia ........................................................... 31
Daftar Pustaka ............................................................................. 35
BAB IV
Hipoglikemia pada Pasien Diabetes Melitus
A Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 ....................................... 44
B Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 ....................................... 48
C Terapi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus .................. 54
D Variasi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus ................ 57
Daftar Pustaka ............................................................................. 70
BAB V
Hipoglikemia pada Pasien Non-Diabetes
A Hipoglikemia reaktif ............................................................... 80
B Hipoglikemia puasa ............................................................... 81
C Penyakit dan kelainan yang berkaitan dengan kejadian
hipoglikemia pada pasien non-diabetes ................................. 82
D Diagnosis hipoglikemia pada pasien non-diabetes ................. 99
Daftar Pustaka ............................................................................. 101
x
BAB VI
Hipoglikemia Imbas Obat
A Hipoglikemia imbas obat anti diabetes ................................... 107
B Hipoglikemia imbas obat non-diabetes .................................. 118
Daftar Pustaka ............................................................................. 132
BAB VII
Hipoglikemia pada Pasien yang dirawat di Rumah Sakit
A Hipoglikemia pada pasien non-diabetes yang dirawat
dirumah sakit.......................................................................... 140
B Hipoglikemia pada pasien diabetes yang dirawat dirumah
sakit ....................................................................................... 143
C Pencegahan hipoglikemia pada pasien yang dirawat dirumah
sakit ...................................................................................... 147
D Target glikemik pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit 148
E Hipoglikemia pada pasien yang dirawat di ruang perawatan
umum ..................................................................................... 149
F Terapi hipoglikemia pada pasien yang dirawat inap di ruang
perawatan umum ................................................................... 151
G Hipoglikemia pada pasien yang dirawat di ruang perawatan
Intensif ................................................................................... 154
H Target glikemik pada pasien yang dirawat diruang perawatan
Intensif ................................................................................... 155
Daftar Pustaka ............................................................................. 157
xi
BAB VIII
Hipoglikemia dan Penyakit Kardiovaskuler
A Dampak Kardiovaskuler pada Hipoglikemia ........................... 170
Daftar Pustaka ............................................................................. 177
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Hormon yang berperan pada mekanisme counter
of regulatory respons (CRR) ................................... 15
Tabel 3.1 Penyebab hipoglikemia .......................................... 21
Tabel 3.2. The Wipple’s triad ................................................... 22
Tabel 3.3 Gejala dan tanda hipoglikemia pada orang dewasa 24
Tabel 3.4 Perubahan hemodinamik dan aliran darah regional
pada hipoglikemia .................................................. 30
Tabel 3.5 Klasifikasi hipoglikemia berdasarkan manifestasi
klinik, kadar glukosa darah dan kemampuan untuk
menolong diri sendiri .............................................. 33
Tabel 4.1 Penyebab terjadinya hipoglikemia pada pasien
diabetes melitus ..................................................... 41
Tabel 4.2 Klasifikasi hipoglikemia pada pasien diabetes
melitus menurut ADA workgroup 2013 ................... 43
Tabel 4.3 Angka kejadian hipoglikemia pada penelitian
ACCORD ADVANCE dan VADT ............................ 50
Tabel 4.4 Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya
hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 ....................... 53
Tabel 5.1 Hipoglikemia pada pasien non-diabetes ................. 79
Tabel 5.2 Faktor risiko dan mekanisme terjadinya hipoglikemia
akibat pemberian obat ............................................ 91
Tabel 6.1 Jenis dan farmakokinetik insulin injeksi .................. 117
Tabel 7.1 Faktor-faktor berkonstribusi terhadap kejadian
hipoglikemia di rumah sakit .................................... 146
xiii
Tabel 7.2 Pencegahan hipoglikemia pada pasien yang dirawat
inap di rumah sakit ................................................. 148
Tabel 7.3 Target glikemik pada pasien yang dirawat inap
dirumah sakit ......................................................... 149
Tabel 8.1 Efek hipoglikemia terhadap vaskuler ..................... 166
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Skema peranan insulin dan glukagon dalam proses
pengaturan kadar glukosa darah yang normal ........ 6
Gambar 2.2. Interaksi antara pankreas dengan saluran cerna, hati,
otak, jaringan lemak dan otot dalam pengaturan kadar
glukosa darah. ........................................................ 12
Gambar 3.1. Kelainan multi organ pada keadaan hipoglikemia ... 26
Gambar 3.2. Ambang kadar glukosa darah untuk aktivasi CRR,
gejala neurogenik dan neuroglikopenik .................. 29
Gambar 4.1. Konsep terjadinya hypoglycemic-associated
autonomic failure (HAAF) pada pasien DM tipe 1 .. 47
Gambar 5.1. Patomekanisme hipoglikemia pada berbagai keadaan 82
Gambar 5.2. Pendekatan diagnostik pada pasien hipoglikemia
non-diabetes.......................................................... 100
Gambar 6.1. Obat-obat anti diabetes ......................................... 108
Gambar 7.1. Algoritme terapi hipoglikemia pada pasien yang
dirawat di rumah sakit ........................................... 153
Gambar 7.2. Target glikemik berdasarkan kadar HbA1C pada
saat pasien dirawat ruang intensif ......................... 156
Gambar 8.1. Efek kardiovaskuler dari hipoglikemia .................... 165
Gambar 8.2 Hubungan yang kompleks antara hipoglikemia dengan
penyakit kardiovaskuler .......................................... 168
Gambar 8.3 Mekanisme sudden cardiac death pasien hipoglikemi
yang diinduksi oleh insulin ..................................... 176
xv
1
Hipoglikemia merupakan suatu kondisi klinik yang bersifat emergensi dengan
gejala dan keluhan yang tidak spesifik. Bila tidak mendapat penanganan
dengan cepat akan menimbulkan konsekwensi klinis yang berat, bahkan dapat
menyebabkan kematian.
Kejadian hipoglikemia sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, dapat
terjadi pada pasien rawat jalan maupun pada pasien yang sedang menjalani
rawat inap di rumah sakit. Terutama dialami oleh pasien diabetes melitus yang
mendapat terapi obat anti diabetes seperti insulin dan sulfonilurea.
Hipoglikemia juga dapat ditemukan pada pasien non-diabetes yang mempunyai
penyakit dasar tertentu atau mendapat terapi obat yang bukan tergolong obat
anti diabetes namun dapat mempengaruhi regulasi glukosa darah normal.
Hipoglikemia bahkan dapat dialami oleh pasien yang dalam kondisi kesehatan
normal.
Hipoglikemia yang terjadi pada pasien diabetes disebut iatrogenic
hypoglycemia, sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada pasien non-diabetes
disebut hipoglikemia spontan.
Hipoglikemia akan berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari individu
yang mengalaminya. Hipoglikemia dihubungkan dengan penurunan kualitas
hidup dan akan berdampak dalam kehidupan sosial ekonomi penderitanya.
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan darurat yang dapat membahayakan
pasiennya maupun lingkungan sekitarnya.
Risiko untuk terjatuh tinggi, kehilangan daya konsentrasi dan sering
menimbulkan kecelakaan pada waktu pasien mengemudikan kendaraan
bermotor ataupun saat pasien mengoperasikan mesin.
2
Apabila hipoglikemia tidak teratasi dengan cepat maka gejala dan keluhan
akan berlangsung progresif, mulai gejala yang ringan dan tidak khas seperti
penglihatan kabur, penurunan konsentrasi, perasaan lemas, pusing dan sakit
kepala, berkeringat sampai terjadinya kejang-kejang, penurunan kesadaran,
strok, penyakit kardiovaskuler dan bahkan kematian.
Suplai glukosa ke otak yang mengalami penurunan secara mendadak, akan
menyebabkan penurunan fungsi kognitif, kegagalan fungsi otak, dan
penurunan kesadaran. Hipoglikemia berat yang terjadi pada pasien usia lanjut
akan menyebabkan peningkatan risiko dimensia dan ataksia cerebellum.
Aktivasi sistim simpato-adrenal yang terjadi pada saat hipoglikemia akan
merangsang sekresi epinefrin yang dapat memicu perubahan hemodinamik
dan peningkatan beban jantung dengan akibat terjadinya iskemia dan
gangguan perfusi jantung. Epinefrin juga dihubungkan dengan terjadinya
gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval QT yang dapat
menyebabkan tahikardia, fibrilasi dan kematian kardiovaskuler secara
mendadak.
Secara lengkap dalam buku ini akan dibahas tentang regulasi glukosa darah
secara normal dan hipoglikemia dari berbagai aspek, konsekwensi klinis dan
upaya pencegahan serta penanganan pasien hipoglikemia baik yang terjadi
pada pasien rawat jalan maupun pada pasien yang menjalani rawat inap di
rumah sakit.
3
Dalam keadaan normal regulasi glukosa darah diatur oleh dua hormon utama
yang terdapat dalam tubuh yaitu insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas
dan glukagon yang diproduksi oleh sel alfa pankreas. Pengaturan glukosa
darah oleh kedua hormon tersebut ditentukan oleh banyak organ tubuh yang
membentuk berbagai axis yang bekerja saling mempengaruhi satu sama lain.
Bila kadar glukosa darah mengalami penurunan melewati kadar fisiologis,
maka tubuh akan segera mengaktifkan mekanisme pertahanan tubuh yang
disebut counter of regulatory respons (CRR) sebagai upaya mengembalikan
kadar glukosa darah menjadi normal kembali.
Respon CRR dimulai dengan penurunan sekresi insulin dan diikuti oleh
peningkatan sekresi glukagon. Bila respon awal gagal dan kadar glukosa darah
tetap mengalami penurunan, maka hormon-hormon anti insulin segera
disekresikan terutama katekolamin (epinefrin dan nor-epinefrin) dan diikuti oleh
pengeluaran hormon kortisol dan growth hormone.
A. Pankreas sebagai regulator utama metabolisme glukosa
Glukosa adalah sumber energi utama tubuh, oleh karena itu dalam
menjalankan fungsi fisiologis dari organ-organ tubuh, maka tubuh harus
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas-batas normal. Glukosa
darah berasal dari karbohidrat yang dimakan dan produksi glukosa
endogen. Jenis-jenis makanan yang mengandung banyak karbohidrat
diantaranya: nasi, kentang, roti, tepung, susu, cokelat, buah-buahan dan
berbagai jenis makanan manis lainnya.
4
Pengaturan kadar glukosa darah akan melibatkan berbagai hormon dan
neuropeptida yang pada umumnya dihasilkan oleh otak, pankreas, saluran
cerna dan juga jaringan lemak serta otot (1). Organ utama yang mengatur
regulasi glukosa darah adalah pankreas yang terletak dibelakang lambung
pada bagian kiri atas dari kavum abdominalis. Pankreas mempunyai fungsi
eksokrin dan endokrin. Fungsi eksokrin pankreas dilakukan oleh sel acinar
yang melepaskan ensim-ensim pencernaan seperti amilase, lipase dan
tripsinogen kedalam duktus pankreatikus dan selanjutnya ke duodenum (2).
Sedangkan fungsi endokrin dilakukan oleh pulau–pulau Langerhans, suatu
struktur yang berbentuk pulau-pulau kecil dan terletak didalam sel-sel
eksokrin dan jumlahnya hanya sekitar 1-2% dari volume total pankreas
dengan melepaskan hormon-hormon secara langsung ke dalam darah.
Terdapat lima jenis hormon yang dihasilkan oleh pankreas yaitu: sel α yang
mengsekresikan glukagon, sel β menghasilkan insulin dan C-peptida, sel γ
menghasilkan polipeptida, sel δ menghasilkan somatostatin dan hormon
ghrelin dihasilkan oleh sel ε (3,4).
Diantara hormon-hormon yang dihasilkan oleh pankreas, maka insulin dan
glukagon merupakan regulator utama yang mengatur dan mempertahankan
kadar glukosa darah dalam batas-batas normal yaitu sekitar 4-6 mmol/dl
atau sekitar 72-108 mg/dl. Kedua hormon ini bekerja saling berlawanan.
Insulin berfungsi menurunkan kadar glukosa darah sebaliknya glukagon
akan meningkatkan kadar glukosa darah . Insulin suatu hormon anabolik,
menekan produksi glukosa hati, meningkatkan ambilan (uptake) glukosa
pada otot dan jaringan lemak serta meningkatkan pembentukan protein
dan lemak, sedangkan glukagon adalah hormon katabolik dan
5
berfungsi untuk meningkatkan produksi glukosa pada hati (1,5). (Gambar
2.1)
Fungsi utama dari kedua hormon tersebut adalah: (5)
1. Glikogenolisis. Adalah proses sintesis dan pemecahan glikogen.
Glikogen, suatu cadangan karbohidrat tubuh siap pakai. Glikogen
umumnya terdapat pada hati dan jaringan otot. Proses pemecahan
glikogen dihati akan dapat memenuhi kebutuhan glukosa seluruh
jaringan tubuh, sebaliknya proses pemecahan glikogen di otot akan
menyebabkan pembentukan asam laktat.
2. Glukoneogenesis. Adalah proses pembentukan glukosa pada hati.
Prekusor dari proses glukoneogenesis tersebut adalah gliserol, asam
laktat dan asam amino (terutama alanin). Glukoneogenesis juga dapat
terjadi pada organ ginjal, namun glukoneogenesis yang terjadi pada
ginjal tersebut tidak memegang peranan penting pada kondisi fisiologis.
3. Glikolisis. Adalah proses uptake (ambilan) dan metabolisme glukosa oleh
otot dan jaringan lemak.
Efek metabolik dari insulin dan glukagon inilah yang dapat menjelaskan kenapa
kadar glukosa darah seseorang tetap stabil dalam kisaran yang normal dan
tidak terjadi hipoglikemia walaupun orang itu dalam keadaan puasa serta tidak
terjadi lonjakan glukosa darah (hiperglikemia) setelah makan.
6
Oleh karena selmenggunakan glukosamaka kadar glukosadlm darah akan turun.
Glukosa darah ygrendah akanmerangsang pankreasmegeluarkan glukagon
Insulin merangsangambilan glukosakedalam sel dandisimpan dlm bentukglycogen dihati & otot . Insulin juga merangsangconversikelebihan glukosa kejaringan lemak sebagaicadangan energi.
Kadar glukosa darah ygtinggi akanmerangsang pankreasmengeluarkan insulin .
Usus
Bila seseorang makan, Kadar glukosa darahakan meningkat.
Pankreas
Hati
Sel lemak
Glucagon
Pembuluh Darah
Glukagon kemudianmerangsang hatimerubah glikogenmenjadi glukosa dandikeluarkan ke dalampembuluh darah.
Glukosa darah akanmeningkat .
Insulin
otot
2 2
3 3
3
4 4
55
6 6
7
7
11
Pengaturan Glukosa Darah
Glukosa
Insulin
Glukagon
Glikogen
Gambar 2.1. Skema peranan insulin dan glukagon dalam proses
pengaturan kadar glukosa darah yang normal.
Dalam keadaan puasa/tidak makan, maka kadar insulin akan menurun dan
kadar glukagon akan mengalami peningkatan, akibatnya akan terjadi
penurunan ambilan glukosa pada jaringan perifer (otot dan jaringan lemak)
dan peningkatan glikogenolisis di jaringan perifer serta peningkatan produksi
glukosa di hati. Pemenuhan kebutuhan glukosa darah yang normal akan
dilakukan melalui proses glikogenolisis dan glukoneogenesis sehingga
kebutuhan energi tidak diperoleh dari asupan glukosa dari luar tubuh, namun
7
melalui produksi glukosa endogen. Bila seseorang berpuasa dalam waktu
singkat (misalnya puasa semalaman), maka untuk menjaga agar kadar glukosa
darah tetap berada pada kisaran nilai normal dibutuhkan produksi glukosa
endogen sebesar 5-6 gram/jam yang diperoleh melalui proses glikogenolisis
sebesar 60-80% dan 20-40% sisanya diperoleh melalui proses
glukoneogenesis. Bila seseorang berpuasa dalam jangka waktu yang lama,
maka jumlah glikogen tubuh akan mengalami penurunan dan kebutuhan
produksi glukosa endogen sebagian besar akan diperoleh melalui proses
glukoneogenesis di hati. Dalam keadaan puasa yang ekstrim dan
berkepanjangan proses, glukoneogenesis pada ginjal dapat membantu
pemenuhan produksi glukosa endogen hingga 45% (5).
Dengan demikian proses glikogenolisis akan berperan dalam pemenuhan
kebutuhan energi untuk jangka waktu singkat (emergency), sedangkan proses
glukoneogenesis akan berperan untuk pemenuhan kebutuhan energi dalam
keadaan puasa yang berkepanjangan.
Bila seseorang makan, maka akan terjadi peningkatan kadar glukosa dalam
darah yang selanjutnya akan merangsang peningkatan sekresi insulin dan
menekan produksi glukagon pankreas. Perubahan keseimbangan hormon
insulin dan glukagon yang terjadi setelah makan ini akan menyebabkan
terjadinya peningkatan ambilan glukosa pada jaringan perifer, penurunan
produksi glukosa endogen dan peningkatan cadangan glikogen. Bila jumlah
makanan yang dikonsumsi berlebih, maka kelebihan tersebut akan disimpan
dalam bentuk glikogen, protein dan jaringan lemak sebagai cadangan energi
(5).
8
Disamping insulin dan glukagon yang berperan sebagai regulator utama
dalam hoemostasis glukosa darah pada saat puasa dan saat makan, juga
terdapat beberapa hormon lain yang juga disekresikan guna membantu
pengaturan kadar glukosa darah tersebut.
Hormon-hormon seperti Gastic Inhibitory Peptide (GIP), Glucagon-Like
Peptide 1 (GLP-1) dan Ghrelin serta Cholecystokinin Peptide Y akan
disekresikan untuk merespon beban glukosa yang dimakan (6,7).
Saat ini hormon-hormon tersebut sudah mendapat perhatian para ahli dan
telah digunakan sebagai salah satu modalitas terapi dalam penanganan
penderita diabetes melitus. Contohnya GLP-1 yang disekresikan oleh sel L
yang terdapat pada saluran cerna bagian distal sebagai respon terhadap
karbohidrat (glukosa) yang dimakan. GLP-1 selanjutnya akan merangsang
sel beta pankreas untuk mengsekresikan insulin dan menekan sel alfa
sehingga produksi glukagon akan menurun. GLP-1 juga mempunyai
beberapa efek yang menguntungkan pada penderita diabetes melitus
yaitu menghambat pengosongan lambung dan menimbulkan perasaan
kenyang serta dapat menurunkan berat badan. Beberapa golongan obat
anti diabetes yang baru telah digunakan dengan mekanisme kerja yang
berkaitan dengan hormon GLP-1 ini, baik yang bekerja secara langsung
meningkatkan efek GLP-1 (GLP-1 agonist) maupun melalui pencegahan
degradasi hormon ini oleh ensim Dypeptidyl Peptidase 4 (DPP 4)
Inhibitors.
9
B. Interaksi pankreas dengan berbagai organ lain dalam pengaturan
kadar glukosa darah
Keadaan normoglikemia (euglycemia) akan terjadi bila terdapat
keseimbangan dari berbagai hormon yang berperan dalam pengaturan
kadar glukosa darah yaitu insulin, glukagon, epinefrin, kortisol dan growth
hormone .
Keseimbangan hormon-hormon tersebut akan tercapai oleh adanya
interaksi berbagai organ dan jaringan tubuh yang dapat merangsang dan
menghambat sekresinya. Organ dan jaringan tubuh tersebut diantaranya
adalah saluran cerna, hati, otak, jaringan lemak dan otot. (Gambar 2.2)
1. Saluran Cerna (The Gut-Islets Axis)
Saluran cerna akan mengsekresikan berbagai jenis hormon guna merespon
karbohidrat yang dimakan, salah satunya adalah hormon incretin (Gastic
Inhibitory Peptide/GIP dan GLP-1). Kedua hormon ini berperanan dalam
regulasi glukosa darah melalui efek langsung terhadap pankreas yaitu
merangsang sekresi insulin dari sel beta dan menekan produksi glukagon
dari sel alfa, selanjutnya hormon incretin telah dibuktikan dapat
memperbaiki fungsi sel beta pankreas melalui proses neogenesis,
proliferasi serta pencegahan kerusakan dan apoptosis sel beta.
Incretin juga mempunyai efek ekstra pankreas yang menguntungkan seperti
hambatan terhadap pengosongan lambung, menimbulkan perasaan
kenyang dan menekan nafsu makan, menurunkan berat badan,
memperbaiki profil lipid dan meningkatkan sensitivitas insulin di jaringan
perifer (1,6,7).
10
Dalam keadaan puasa, saluran cerna juga akan mengsekresikan hormon
decretin yaitu limostatin dan neuromedin U (NmU) yang berfungsi untuk
menekan sekresi insulin pankreas (8,9).
Hormon lain yang disekresikan oleh saluran cerna yang berperan dalam
regulasi glukosa darah adalah gastrin dan cholecystokinin (CCK). Gastrin
yang disekresikan oleh sel G yang terdapat pada lambung dan duodenum
berfungsi sebagai faktor pertumbuhan dari sel islet dan akan merangsang
neogenesis dari sel beta pankreas. Gastrin juga dapat menginduksi
ekspresi gen glukagon pada sel alfa. Melalui mekanisme yang sama CCK
yang disintesis dan disekresikan oleh sel I dari duodenum akan menambah
kekuatan dari glukosa dan asam amino dalam merangsang sekresi insulin
dan juga dapat meningkatkan sekresi glukagon (1,10,11).
2. Hati (The Liver-Islet Axis)
Hati memegang peranan penting dalam homeostasis glukosa darah melalui
proses penyimpanan (glikogenesis) maupun pelepasan (glikogenolisis/
glukoneogenesis) glukosa endogen yang dipengaruhi oleh kadar insulin dan
glukagon dari pankreas.
Glukagon akan mengaktivasi protein kinase A (PKA) yang selanjutnya akan
menstimulasi proses glikogenolisis/glukoneogenesis, disisi lain aktivasi dari
PKA tersebut akan menghambat proses glikolisis. Pada akhirnya aktivasi
dari PKA akan menurunkan sintesis glikogen dan pada saat yang sama
akan meningkatkan cadangan glukosa hati (12,13). Hormon insulin dengan
mekanisme kerja yang berlawanan dengan glukagon akan merangsang
terjadinya proses glikolisis melalui peningkatan ekspesi dari gen
11
glukokinase hati, suatu ensim utama yang akan merubah glukosa menjadi
glucose 6 phosphate (G-6-P). Insulin juga dapat menginaktivasi glycogen
phosphorylase dan glycogen synthase kinase (GSK)-3 yang selanjutnya
akan mengaktivasi glycogen synthase (14,15,16).
3. Otak (The Brain-Islet Axis)
Selain saluran cerna dan hati, organ lain yang berinteraksi dengan pankreas
sehingga berperan terhadap regulasi glukosa darah adalah otak. Interaksi
antara otak dengan pankreas dikenal dengan istilah the Brain-Islet Axis.
Pankreas dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis. Dilain fihak,
reseptor insulin tersebar pada jaringan otak termasuk pada daerah
hipotalamus, kortex cerebral, cerebellum dan hipokampus (1). Kerusakan
dari berbagai regio otak pada daerah tersebut akan mempengaruhi sekresi
dari hormon-hormon pankreas. Kerusakan pada daerah ventromedial
hipotalamus tidak hanya menyebabkan terjadinya hipersekresi insulin, tetapi
juga akan meningkatkan sekresi glukagon (17,18).
Hipotalamus berperan dalam pengaturan sekresi glukagon melalui serabut
saraf eferen, sedangkan sistim melanokotrin berperan secara langsung
menekan kadar insulin basal dengan merangsang saraf simpatis melalui ά-
adrenoreceptor. Nor-epinefrin juga akan menekan sekresi insulin melalui ά-
adrenoreceptor (19,20).
4. Otot dan Jaringan lemak (The Adipocytes/Myocytes–Islet Axis)
Peranan dari otot dan jaringan lemak terhadap pengaturan kadar glukosa
darah pada dasarnya dimediasi oleh pengaturan ambilan (uptake) glukosa
pada jaringan perifer melalui glucose transporter 4 (GLUT 4).
12
Roder dkk (2016) merangkum interaksi dari berbagai organ dalam
pengaturan kadar glukosa darah sebagaimana terlihat pada gambar 2.2:
Gambar 2.2. Interaksi antara pankreas dengan saluran cerna, hati, otak,
jaringan lemak dan otot dalam pengaturan kadar glukosa
darah.(1)
BNDF= brain-derived neurotrophic factor; CCK=cholecystokinin;
GIP= glucose-dependent insulino-tropic peptide; GLP-1=
glucagon-like peptide 1; GRP= gastrin-releasing peptide; IL-6=
Interleukin 6; MCH= melanin concentrating hormone; NPY=
neuropeptide Y; PACAP=pituitary adenylate cyclase-activating
polypeptide; POMC= pro-opiomelanocortin; VIP= vasoactive
intestinal peptide.
13
Disisi lain adipokin dan miokin yang disekresikan oleh jaringan lemak dan
otot akan merangsang sekresi insulin. Adipokin yang paling banyak
mendapat perhatian adalah leptin yang berfungsi sebagai hormon yang
menekan asupan makanan melalui kerja pada reseptornya yang terdapat
pada nukleus arcuata hipotalamus. Ekspresi reseptor leptin (Ob-R) juga
ditemukan pada sel-sel islet pankreas yang apabila dirangsang akan
menurunkan sekresi insulin. Interleukin 6 (IL-6) yang dihasilkan oleh
jaringan lemak dan otot (adipokin dan miokin) juga mempengaruhi fungsi
pankreas dengan mengontrol sekresi glukagon. IL-6 juga dapat
meningkatkan produksi GLP-1 di usus yang pada akhirnya akan
meningkatkan sekresi insulin (21,22,23).
C. Respon tubuh bila terjadi hipoglikemia
Pada kondisi normal, glukosa merupakan satu-satunya sumber energi untuk
otak, oleh karena itu untuk menjalankan fungsi-fungsi otak yang normal
maka kadar glukosa darah harus dipertahankan dalam kisaran kadar normal
yang relatif sempit (sekitar 70-100 mg/dl). Bila kadar glukosa darah turun,
maka tubuh akan mengaktifkan CRR (counter of regulatory respons) yang
beperan untuk mencegah dan melakukan koreksi terhadap terjadinya
hipoglikemia. Mekanisme utama dari CRR tersebut adalah penurunan
sekresi insulin, peningkatan sekresi glukagon dan epinefrin. Bila
hipoglikemia berlangsung berkepanjangan maka tubuh akan meningkatkan
sekresi kortisol dan growth hormone (24,25). (Tabel 2.1)
14
Respon tubuh tersebut dalam keadaan normal akan mampu menjaga
glukosa darah pada kadar fisiologik, sehingga fungsi-fungsi organ tubuh
terutama otak akan dapat menjalankan fungsinya secara normal pula (26).
Respon CRR dipengaruhi kemampuan fungsional dari organ-organ yang
memproduksi hormon yang mengalami aktivasi yaitu pankreas, hati dan
ginjal. Hati bertangung jawab terhadap 80% produksi glukosa endogen
melalui proses glukoneogensis dan sekitar 20% sisanya melalui proses
glukoneogenesis yang terjadi pada ginjal.
Apabila kadar glukosa darah turun, maka akan terjadi aktivasi pusat
autonomik di hipotalamus yang selanjutnya akan merangsang sistim
simpato-adrenal pada daerah perifer. Rangsangan terhadap sistim simpato-
adrenal dapat diketahui dengan timbulnya gejala-gejala seperti berkeringat,
peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, serta tremor. Gejala-gejala
tersebut merupakan gambaran klasik reaksi autonom yang akut. Gejala-
gejala yang tidak menyenangkan akibat reaksi autonom tersebut biasanya
menjadi pemicu awal pasien yang mengalami hipoglikemia untuk mencari
pertolongan atau meminum glukosa untuk meredakannya (24,25).
Pada manusia kunci sensor glukosa darah terletak pada otak yaitu daerah
ventromedial thalamus (VMH) yang akan mendeteksi terjadinya
hipoglikemia dan akan mengaktifkan mekanisme CRR untuk memproteksi
dan mencegah kerusakan otak dari efek neuroglikopenia.
Sensor glukosa juga terdapat pada daerah-daerah diluar otak yaitu pada
vena porta, usus, karotis dan sel beta pankreas, namun peranan dari sensor
15
glukosa yang terletak diluar otak tersebut terhadap mekanisme CRR masih
belum diketahui (27).
Tabel 2.1. Hormon yang berperan pada mekanisme counter of regulatory
respons (CRR) (26)
Hormon Di produksi oleh Mekanisme kerja
Insulin Sel beta pankreas Menekan glikogenolisis hati
Menekan gluconeogenesis hati
Menekan produksi glukosa endogen
Glukagon Sel alfa pankreas Merangsang glikogenolisis hati
Merangsang glukoneogenesis hati
Epinefrin Medulla adrenal
(chromaffin cells)
Menekan glikogenolisis hati
Menekan gluconeogenesis hati
Merangsang glukoneogenesis pada
ginjal
Menekan sekresi insulin pankreas
Membatasi penggunaan glukosa
pada jaringan perifer
Kortisol &
GH
(growth
hormone)
Korteks adrenal &
hipofisis anterior
(somatotropic
cells)
Meningkatkan produksi glukosa
endogen
Menurunkan klirens glukosa
16
Daftar Pustaka
1. Roder PV, Wu B, Liu Y, Han W. Pancreatic regulation of glucose
hoemostasis. Exp Mol. Med 2016; 46:e219
2. Chandra R, Liddle AR. Neural and hormonal regulation of pancreatic
secretion. Curr Opin Gastroenterol 2009; 25 (5): 441–446.
3. Brissova M, Fowler MJ, Nicholson WE, Chu A et al. Assessment of
human pancreatic islet architecture and composition by laser scanning
confocal microscopy. J Histochem Cytochem 2005; 53:1087–1097.
4. Wierup N, Svensson H, Mulder H, Sundler F. The ghrelin cell: a novel
developmentally regulated islet cell in the human pancreas. Regul Pept
2002; 107: 63–69.
5. Macdonald IA, King P. Normal Glucose metabolism and responses to
hypoglycaemia. In Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier MB,Heller
RS, McCrimmon JR (eds). 3rd Ed. 1-22, 2014.
6. Drucker DJ. The role of gut hormone in glucose hoemostasis. J Clin
Invest 2007;117: 24-32.
7. Heijboer AC, Pijl H, Van den Hoek AM, Havekes LM, Romijn JA,
Corssmit EPM. Gut-Brain axis: regulation of glucose metabolism. J
Neuroendocrinol 2006;18: 883-894
8. Alfa RW, Park S, Skelly KR, Poffenberger G, Jain N, Gu X et al.
Suppression of insulin production and secretion by a decretin
hormone.Cell Metab 2015; 21: 323–333.
17
9. Austin C, Lo G, Nandha KA, Meleagros L, Bloom SR. Cloning and
characterization of the cDNA encoding the human neuromedin U
(NmU) precursor: NmU expression in the human gastrointestinal tract.
J Mol Endocrinol 1995; 14: 157–169.
10. Rooman I, Lardon J, Bouwens L. Gastrin stimulates beta-cell
neogenesis and increases islet mass from transdifferentiated but not
from normal exocrine pancreas tissue. Diabetes 2002; 51: 686–690.
11. Rushakoff RJ, Goldfine ID, Carter JD, Liddle RA. Physiological
concentrations of cholecystokinin stimulate amino acid-induced insulin
release in humans. J Clin Endocrinol Metab 1987; 65: 395–401.
12. Jiang G, Zhang BB. Glucagon and regulation of glucose metabolism.
Am J Physiol Endocrinol Metab 2003; 284: E671–E678.
13. Aiston S, Coghlan MP, Agius L. Inactivation of phosphorylase is a
major component of the mechanism by which insulin stimulates hepatic
glycogen synthesis. Eur J Biochem 2003; 270: 2773–2781.
14. Miller TB Jr, Larner J. Mechanism of control of hepatic glycogenesis by
insulin. J Biol Chemist 1973; 248: 3483–3488.
15. Aiston S, Hampson LJ, Arden C, Iynedjian PB, Agius L. The role of
protein kinase B/Akt in insulin-induced inactivation of phosphorylase in
rat hepatocytes. Diabetologia 2006; 49: 174–182.
16. Syed NA, Khandelwal RL. Reciprocal regulation of glycogen
phosphorylase and glycogen synthase by insulin involving
phosphatidylinositol-3 kinase and protein phosphatase-1 in HepG2
cells. Mol Cell Biochemist 2000; 211: 123–136.
18
17. Rohner-Jeanrenaud F, Jeanrenaud B. Consequences of ventromedial
hypothalamic lesions upon insulin and glucagon secretion by
subsequently isolated perfused pancreases in the rat. J Clin Invest
1980; 65: 902–910.
18. Goto Y, Carpenter RG, Berelowitz M, Frohman LA. Effect of
ventromedial hypothalamic lesions on the secretion of somatostatin,
insulin, and glucagon by the perfused rat pancreas. Metabolism 1980;
29: 986–990.
19. Hanyu O, Yamatani K, Ikarashi T, Soda S, Maruyama S, Kamimura T
et al. Brain-derived neurotrophic factor modulates glucagon secretion
from pancreatic alpha cells: its contribution to glucose metabolism.
Diabetes Obes Metab 2003; 5: 27–37.
20. Gotoh K, Masaki T, Chiba S, Ando H, Fujiwara K, Shimasaki T et al.
Hypothalamic brain-derived neurotrophic factor regulates glucagon
secretion mediated by pancreatic efferent nerves. J Neuroendocrinol
2013; 25: 302–311.
21. Khan AH, Pessin JE. Insulin regulation of glucose uptake: a complex
interplay of intracellular signalling pathways. Diabetologia 2002; 45:
1475–1483.
22. Kohn AD, Summers SA, Birnbaum MJ, Roth RA. Expression of a
constitutively active Akt Ser/Thr kinase in 3T3-L1 adipocytes stimulates
glucose uptake and glucose transporter 4 translocation. J Biol Chemist
1996; 271: 31372–31378.
19
23. Zisman A, Peroni OD, Abel ED et al. Targeted disruption of the glucose
transporter 4 selectively in muscle causes insulin resistance and
glucose intolerance. Nat Med 2000; 6: 924–928.
24. Nirantharakumar K, Marshall T, Hodson J et al. Hypoglycemia in non-
diabetic in-patients: clinical or criminal? PLoS One 2012; 7:e40384.
25. Owen O, Morgan A, Kemp H et al. Brain metabolism during fasting. J
Clin Invest 1967; 46:1589-1595.
26. Kreider EK, Pereira K, Padilla IB. Practical Approaches to Diagnosing,
Treating and Preventing Hypoglycemia in Diabetes. Diab Ther 2017; 8:
1427–1435.
27. McCrimmon R. Glucose sensing during hypoglycemia: Lesson from the
lab. Diab Care 2009; 52: 1357-1363.
20
A. Definisi
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah
mengalami penurunan dibawah nilai normal dan merupakan kondisi klinik
yang membutuhkan penanganan yang bersifat emergensi (1). Batasan
―kadar glukosa darah rendah‖ untuk menetapkan seseorang mengalami
hipoglikemia sangat bervariasi. American Diabetes Association (ADA
2005) menggunakan batasan 70 mg/dl atau kurang, sedangkan European
Medicine agency (EMA 2010) menggunakan patokan hipoglikemia bila
kadar glukosa darah kurang dari 54 mg/dl.
Penyebab terjadinya hipoglikemia adalah multi faktorial, penyebab utama
adalah iatrogenik (pemberian obat-obatan pada pasien diabetes melitus),
penyakit infeksi yang disertai sepsis, tumor, stres, defisiensi hormon dan
penyakit autoimmun.
Penyebab lain yang sering ditemukan adalah asupan makanan yang tidak
adekuat, konsumsi alkohol yang berkepanjangan, interaksi obat, penyakit
kronik pada hati dan ginjal. Hipoglikemia juga sering ditemukan pada usia
lanjut dan usia neonatus (2,3). (Tabel 3.1)
Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes melitus dan disebut
iatrogenic hypoglycemia, sedangkan hipoglikemia yang terjadi pada
pasien non-diabetes disebut hipoglikemia spontan.
Tata cara diagnosis hipoglikemia spontan relatif sulit dan memerlukan
serangkaian pemeriksaan laboratorium yang rumit untuk menentukan
secara pasti penyebab terjadinya hipoglikemia. Sedangkan pada pasien
21
diabetes melitus penyebab utama terjadinya hipoglikemia adalah
pemberian terapi insulin dan atau obat yang merangsang peningkatan
sekresi insulin pankreas (insulin secretogouge).
Tabel 3.1. Penyebab hipoglikemia (3)
Outpatient setting Inpatient Setting
Factitious hypoglycemia
Insulinoma
Post bariatric hypoglycemia
Prescribing error/dispensing error
Non-insulinoma pancreatogenous
hypoglycemia syndrome
Insulin autoimmune hypoglycemia
syndrome
Hormone deficiencies
Organ failure - liver, kidney
Non-islet cell tumors
Drug-induced
hypoglycemia
Prescribing/dispensing
error
Critical illness/sepsis
Organ failure - liver,
kidney
Hormone deficiencies
Non-islet cell tumors
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan yang berlaku universal tentang
batasan nilai kadar glukosa darah berapa seseorang dikatakan mengalami
hipoglikemia.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) dan American Diabetes
Association (ADA) menggunakan patokan <70 mg/dl pada penderita
diabetes melitus dan pada individu non-diabetes gejala-gejala
hipoglikemia akan timbul bila kadar glukosa darah <55 mg/dl (1,4,5).
Beberapa laporan menyebutkan nilai kadar glukosa darah 40-50 mg/dl
22
sebagai patokan untuk menetapkan seseorang mengalami hipoglikemia
berat (6,7).
Diagnosis hipoglikemia didasarkan atas berbagai kriteria yaitu
berdasarkan pemeriksaan laboratorium (biokemikal), berdasarkan
keluhan dan gejala klinik (jenis dan beratnya) dan berdasarkan waktu
kejadiannya (siang atau malam hari/nokturnal) (8). Oleh karena gejala dan
keluhan dari hipoglikemia tidak spesifik, maka perlu dilakukan
pemeriksaan biokemikal berupa pemeriksaan kadar glukosa darah pada
saat yang bersamaan dengan timbulnya gejala dan keluhan. Untuk
menetapkan apakah seseorang mengalami hipoglikemia, maka diagnosis
harus memenuhi kriteria yang disebut dengan ―The Wipple’s triad” yang
terdiri atas (1,9): (Tabel 3.2)
Tabel 3.2. The Wipple’s triad
1. Gejala- gejala dan keluhan hipoglikemia
2. Pemeriksaan kadar glukosa darah konsisten rendah
3. Gejala dan keluhan akan segera menghilang dengan
pemberian terapi untuk mengoreksi kadar glukosa darah
yang rendah.
B. Gejala dan keluhan hipoglikemia
Hipoglikemia akan menyebabkan gejala dan keluhan yang berlangsung
progresif , mulai gejala yang ringan dan tidak khas seperti penglihatan
kabur, penurunan daya konsentrasi, perasaan lemas, pusing dan sakit
23
kepala sampai terjadinya kejang-kejang, penurunan kesadaran dan bahkan
kematian. Gejala-gejala yang timbul tersebut dipengaruhi oleh berat dan
lamanya hipoglikemia.
Gejala-gejala dan keluhan hipoglikemia dikelompokkan atas gejala
neurogenik/autonomik dan gejala neuroglikopenik.
Gejala neurogenik/autonomik berupa terjadinya perubahan persepsi
psikologis oleh karena keadaan hipoglikemia akan merangsang sistim
simpato-adrenal (aktivasi sistim saraf otonom). Gejala
neurogenik/autonomik akan terjadi bila konsentrasi/kadar glukosa darah
mencapai sekitar 60 mg/dl. Sedangkan gejala neuroglikopenik akan dialami
bila kadar glukosa darah mencapai sekitar 50 mg/dl atau lebih rendah dan
terjadi akibat berkurangnya suplai glukosa keotak (3).
Gejala neurogenik sendiri dikelompokkan dalam dua kelompok:
1. Gejala adrenergik berupa palpitasi, tahikardia, gelisah, kecemasan dan
tremor.
2. Gejala kolinergik berupa keringat yang berlebihan, pucat, teraba hangat,
parastesi, mual perasaan lapar yang berlebihan.
Sedangkan gejala neuroglikopenik bervariasi mulai dari perasaan lemas,
pusing, sakit kepala, perubahan perilaku, kebingungan, penurunan fungsi
kognitif, kejang-kejang sampai penurunan kesadaran dan koma.
Hipoglikemia berat yang berlangsung berkepanjangan dapat menyebabkan
kematian dan kerusakan otak permanen (1,7,10).
24
Konsensus PERKENI tahun 2015 mengelompokkan gejala dan tanda
hipoglikemik sebagai tanda dan gejala autonomik dan neuroglikopenik (5).
(Tabel 3.3)
Tabel 3.3. Gejala dan tanda hipoglikemia pada orang dewasa (5)
Tanda Gejala
Autonomik
Rasa lapar,
berkeringat,
gelisah,
paresthesia,
palpitasi,
Tremulousness
Pucat,
tahikardia,
widened pulse
pressure
Neuroglikopenik Lemah, lesu,
dizziness,
pusing, confusion,
perubahan sikap,
gangguan kognitif,
diplopia,pandangan
kabur.
Cortical-
blindness,
hipotermia,
kejang, koma
C. Akibat hipoglikemia
Hipoglikemia akan berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari individu
yang mengalaminya. Hipoglikemia dihubungkan dengan penurunan
25
kualitas hidup dan akan berdampak dalam kehidupan sosial ekonomi
penderitanya (18).
Dampak hipoglikemia pada berbagai organ tubuh:
1. Otak
Apabila suplai glukosa ke otak mengalami penurunan secara mendadak,
maka dapat menyebabkan penurunan fungsi kognitif, kegagalan fungsi
otak, koma dan kematian.
Hipoglikemia berat yang terjadi pada pasien usia lanjut akan menyebabkan
peningkatan risiko dimensia dan ataksia cerebellum (11,12). (Gambar 3.1)
2. Jantung.
Hipoglikemia akut akan mengaktivasi sistim simpato-adrenal dan
pelepasan epinefrin dengan akibat terjadi perubahan hemodinamik melalui
peningkatan denyut jantung, dan tekanan darah sistolik diperifer,
sebaliknya akan terjadi penurunan tekanan darah sentral dan resistensi
arteri diperifer. Aktivasi dari sistim simpato-adrenal juga akan
meningkatkan kontraktilitas miokardium dan curah jantung (stroke volume
dan cardiac output).
Konsekwensi dari perubahan hemodinamik tersebut adalah peningkatan
beban kerja jantung pada waktu terjadi hipoglikemia. Hal ini dapat memicu
terjadinya serangan iskemia dan gangguan perfusi jantung. Pelepasan
epinefrin juga dihubungkan dengan terjadinya gangguan irama jantung
berupa pemanjangan interval QT yang dapat menyebabkan tahikardia,
fibrilasi dan kematian mendadak (13,14)
26
Gambar 3.1. Kelainan multi organ pada keadaan hipoglikemia (30).
3. Endotel pembuluh darah dan respon inflamasi
Hipoglikemia akan menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan respon
glukagon, mengaktivasi respon simpato-adrenal, meningkatkan sekresi
epinefrin dan glukokortikoid. Hipoglikemia juga akan menginduksi
kerusakan endotel , gangguan koagulasi dan peningkatan marker-marker
inflamasi seperti C-reactive protein, interleukin-6, interleukin-8, TNF alfa
dan endotelin (15).
4. Mata.
Hipoglikemia dapat menyebabkan gangguan visual terutama pada
penderita diabetes melitus. Kelainan mata pada hipoglikemia dapat berupa
27
diplopia, penglihatan kabur, dan kehilangan sensitivitas kontras serta
gangguan pada retina (16).
D. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap hipoglikemia
Pada individu yang sehat, bila terjadi penurunan kadar glukosa darah
dibawah ambang normal maka akan terjadi mekanisme aktivasi CRR yang
akan mempertahankan kadar glukosa darah menjadi normal kembali
(euglikemia) (17). Respon pertahanan tubuh tersebut terutama ditujukan
agar suplai glukosa darah yang cukup dan berkesinambungan kejaringan
otak akan tetap terjamin.
1. Counter Regulatory Respons (CRR)
Otak adalah pengguna utama dari glukosa sebagai sumber energi. Namun
jaringan otak tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesis dan
memproduksi glukosa serta tidak dapat menyimpannya sehingga
kebutuhan glukosa otak sangat bergantung pada kadar glukosa darah.
Oleh karena itu terdapat berbagai mekanisme pertahanan tubuh untuk
mencegah dampak kerusakan otak akibat terjadinya hipoglikemia.
Makanisme tersebut dikenal dengan istilah the counter of regulatory
respons (CRR) terhadap terjadinya hipoglikemia. Aktivasi CRR, diawali
dengan penurunan produksi insulin bila kadar glukosa darah mencapai
82,8 mg/dl. Bila kadar glukosa darah turun hingga mencapai 68,4 mg/dl,
maka akan terjadi pelepasan hormon glukagon dan epinefrin.
Kedua hormon ini akan merangsang produksi glukosa di hati melalui
proses glukoneogenesis dan glikogenolisis serta menghambat
ambilan/uptake pada jaringan perifer, mekanisme CRR yang berlangsung
28
secara fisiologis ini bertujuan untuk menjaga dan menjamin agar suplai
glukosa darah ke jaringan otak tetap terjaga.
2. Aktivasi sistim simpato-adrenal
Bila mekanisme CRR gagal dan kadar glukosa darah tetap mengalami
penurunan, maka akan terjadi aktivasi sistim simpato-adrenal yang
menimbulkan gejala-gejala neurogenik/autonomik. Gejala dan keluhan
neuroglikopenik juga akan terjadi bila kadar glukosa darah mencapai
kisaran < 54 mg/dl. Kerusakan atau kematian otak secara permanen akan
dialami oleh pasien bila kadar glukosa darahnya mencapai < 27 mg/dl
(10,18). (Gambar 3.2)
3. Peningkatan sekresi hormon lainnya
Beberapa hormon lain juga mengalami perubahan pada waktu terjadi
hipoglikemia. Hormon-hormon tersebut adalah growth hormone dan kortisol
yang mempunyai efek meningkatkan kadar glukosa darah melalui
peningkatan lipolisis, ketogenesis dan glukoneogenesis (19).
Pada kasus-kasus hipoglikemia kronik maka Adenocorticotropic hormone
(ACTH), kortisol serta growth hormone (GH) merupakan hormon utama
yang mengalami aktivasi dalam proses aktivasi CRR, namun hormon ini
nampaknya tidak berperanan pada keadaan hipoglikemia akut (3).
Prolaktin, vasopressin dan oxytocin juga terbukti mengalami peningkatan
pada saat terjadi hipoglikemia, namun peranannya terhadap aktivasi
CRR belum jelas dan mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti
(20).
29
Gambar 3.2. Ambang kadar glukosa darah untuk aktivasi CRR, gejala
neurogenik dan neuroglikopenik (18).
E. Perubahan hemodinamik pada hipoglikemia
Perubahan hemodinamik utama pada pasien yang mengalami hipoglikemia
adalah akibat aktivasi dari sistim saraf simpatis dan meningkatnya kadar
adrenalin dalam sirkulasi darah.
Peningkatan denyut jantung (tahikardia) dan kardiak output dimediasi oleh
aktivasi beta1 adreno-reseptor, namun peningkatan tersebut hanya
berlangsung sementara oleh karena adanya aksi yang berlawanan dari
tonus vagal. Sebaliknya akan terjadi penurunan resistensi vaskuler diperifer.
30
Kombinasi antara tahikardia dan peningkatan kardiak output dengan
penurunan resistensi vaskuler perifer akan menyebabkan peningkatan
tekanan darah sistolik dan sebaliknya tekanan darah diastolik akan sedikit
menurun atau dengan kata lain akan terjadi peningkatan tekanan nadi
(pulsus Celler) (20,21).
Pada keadaan hipoglikemia akan terjadi juga perubahan aliran darah yang
bersifat regional diantaranya peningkatan aliran darah ke otak (22),
gastrointestinal (23), otot (20), sebaliknya akan terjadi vasokonstriksi atau
penurunan aliran darah ke kulit (24) dan ginjal (26). (Tabel 3.4)
Perubahan fungsional lainnya yang dapat dijumpai pada kondisi
hipoglikemia adalah aktivasi sistim saraf otonom yang ditandai oleh
pengeluaran keringat yang berlebihan, tremor dan gemetar, penurunan
suhu tubuh, penurunan tekanan intra okuler dan peningkatan motilitas usus
(jejunum) (20).
Tabel 3.4. Perubahan hemodinamik dan aliran darah regional pada
hipoglikemia (17)
Hemodynamic changes Changes regional blood
flow
↑Heart rate
↑Blood pressure (peripheral systolic)
↑Cardiac output
↓Central blood pressure
↓Peripheral vascular resistance
↑Cerebral flow
↑Total splanchnic flow
↑muscle flow
↓Renal flow
↓Splenic flow
↓Skin flow
31
Perubahan hemodinamik pada keadaan hipoglikemia ini secara fisiologis
bertujuan untuk meningkatkan suplai glukosa ke organ-organ vital, terutama
ke jaringan otak, otot (meningkatkan sekresi dan bersihan dari prekusor
glukoneogenesis) dan hati (memaksimalkan produksi glukosa hati) (20).
F. Klasifikasi hipoglikemia
Dalam praktek sehari-hari maka klasifikasi hipoglikemia yang sering
digunakan adalah berdasarkan karakteristik dan kondisi klinis serta
penampilan pasien yaitu pasien yang nampak sehat (healthy appearing
patients), pasien yang nampak sakit (ill appearing patients) dan
hipoglikemia yang terjadi pada pasien rawat jalan (outpatients setting)
ataupun yang dirawat dirumah sakit (hypoglycemia in hospitalized patients).
1. Klasifikasi hipoglikemia pada pasien non-diabetes
Secara klasik hipoglikemia pada pasien non-diabetes dikelompokkan
dalam dua kelompok utama yaitu (1):
a. Post-prandial (reactive) hipoglikemia: hipoglikemia yang terjadi dalam
waktu hingga 4-5 jam setelah makan
b. Fasting (post-absorbtive) hipoglikemia: Menurunnya kadar glukosa darah
<70 mg/dl yang disertai dengan gejala dan keluhan hipoglikemia yang
dialami >4 jam setelah makan.
Beberapa ahli melaporkan temuan adanya pasien yang mengalami
hipoglikemia post prandial dan juga hipoglikemia puasa, bahkan dapat
dijumpai pasien yang mengalami hipoglikemia yang tidak tergantung pada
waktu makan (25)
32
2. Klasifikasi hipoglikemia pada pasien diabetes
Hipoglikemia pada pasien diabetes dapat diklasifikasikan ke dalam
beberapa kelompok, diantaranya: Derajat keparahan, kadar glukosa
darah dan manifestasi klinik dan kemampuan untuk menolong diri sendiri.
Klasifikasi standar untuk hipoglikemia pada pasien diabetes adalah
klasifikasi yang banyak digunakan untuk evaluasi terapi dan outcomes dari
berbagai penelitian klinik yaitu: (26,27,28)
a. Confirmed hypoglycemia adalah kejadian hasil pengukuran kadar glukosa
darah yang rendah.
b. Severe hypoglycemia adalah kejadian dimana pasien membutuhkan
pertolongan orang lain untuk mengatasi hipoglikemianya.
c. Nocturnal hypoglycemia adalah kejadian hipoglikemia yang dialami pada
waktu malam hari. Secara umum periode waktu untuk kejadian nocturnal
hypoglycemia adalah pada saat bed time hingga waktu bangun dipagi
hari.
PERKENI pada tahun 2015 membuat rekomendasi klasifikasi hipoglikemia
yang lebih lengkap dan mempunyai kemiripan dengan klasifikasi dari ADA
yaitu: (5,30,31)
a. Hipoglikemia berat apabila kadar GDS sangat rendah dan pasien tidak sadar
serta membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian karbohidrat,
glukagon, atau tindakan resusitasi lainnya.
b. Hipoglikemia simtomatik apabila kadar GDS <70mg/dl dan disertai keluhan
serta gejala hipoglikemia. Pasien masih dapat menolong dirinya sendiri.
c. Hipoglikemia asimtomatik apabila kadar GDS <70mg/dl, namun tanpa
disertai gejala dan keluhan hipoglikemia.
33
d. Hipoglikemia relatif apabila kadar masih GDS >70 mg/dl, namun terdapat
gejala dan keluhan hipoglikemia.
e. Probable hipoglikemia apabila gejala dan keluhan hipogllikemia, tanpa
disertai pemeriksaan GDS.
Klasifikasi hipoglikemia yang lain adalah berdasarkan kadar glukosa darah
sebagai berikut: Hipoglikemia ringan (mild) bila kadar glukosa darah <70 mg/dl,
hipoglikemia sedang (moderate) bila kadar glukosa darah <55 mg/dl dan
hipoglikemia berat (severe) bila kadar glukosa darah <40 mg/dl (32,33).
Klasifikasi terbaru dari hipoglikemia adalah berdasarkan rekomendasi dari
International Hypoglycemia Study Group dan American Diabetes Association
tahun 2017 yang mengelompokkan hipoglikemia berdasarkan kombinasi
antara manifestasi klinik, kadar glukosa darah dan kemampuan untuk dapat
menolong diri sendiri (4,27,30). (Tabel 3.5)
Tabel 3.5. Klasifikasi hipoglikemia berdasarkan manifestasi klinik, kadar
glukosa darah dan kemampuan untuk menolong diri sendiri (4).
Level 1: Glukosa darah ≤ 70 mg/dl, batas waspada dan peringatan untuk
segera melakukan evaluasi dan pengaturan dosis obat anti diabetes
atau segera memberikan karbohidrat (glukosa) extra.
Level 2: Glukosa darah <54 mg/dl, suatu keadaan serius, pasien sudah
mengalami hipoglikemia dengan segala konsekwensinya
Level 3: Hipoglikemia berat, suatu keadaan dimana sudah terjadi gangguan
kognitif berat dan pasien membutuhkan bantuan orang lain untuk
menolongnya.
34
Daftar Pustaka
1. Cryer EP, Axelrod L, Grossman BA, Heller RS et al. Evaluation and
management of adult hypoglycemic disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab 2009;94: 709–728.
2. Su JY,Liao JC. Hypoglycemia in emergency department. J Acute Dis
2015: 59-62.
3. Kittah EN, Vella A. Management of endocrine disease. Pathogenesis
and management of hypoglycemia. Eur J Endocrinol 2017; 177: R37–
R47.
4. American Diabetes Association (ADA). Standard medical care 2017.
Diab Care 2017;40 (suppl.1): S48-S56.
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus di Indonesia 2015.
6. Arabi YM, Tamim HM, Rishu AH. Hypoglycemia with intensive insulin
therapy in critically ill patients: predisposing factors and association
with mortality. Crit Care Med 2009;37:2536-2544.
7. Zoungas S, Patel A, Chalmers J, de Galan BE, Li Q, Billot L, et al.
Severe hypoglycemia and risks of vascular events and death. N Engl J
Med 2010; 363: 1410-1418.
8. Morales J, Schneider D. Hypoglycemia. Am J Med 2014; 127: S17-
S24
9. Whipple AO. The surgical therapy of hyperinsulinism. J Int Chir 1938;
3: 237-276.
10. Cryer PE. Hypoglycemia, functional brain failure, and brain death. J
Clin Invest 2007; 117: 868–870.
35
11. Whitmer RA, Karter AJ, Yaffe K et al. Hypoglycemia episodes and risk
of dementia in older patients with type 2 diabetes mellitus. JAMA 2009;
301: 1565-1572.
12. Berz JP, Orlander JD. Prolonged cerebellar ataxia: An unusual
complication of hypoglycemia. J Gen Intern Med 2007; 23: 103-105.
13. Frier BM, Schernthaner G, Heller SR. Hypoglycemia and
cardiovascular risks. Diab Care 2011; 34: S132-S137.
14. Wright RJ, Frier BM. Vascular diseases and diabetes: Is hypoglycemia
an aggravating factor? Diab Metab Res Rev 2008; 24: 353-363.
15. Rasavi LN, Kitabchi AE, Stenzs FB et al. Proinflammatory cytokines in
response to insulin induced hypoglycemia stress in healthy subjects.
Metabolism 2009; 58: 443-448.
16. Khan MI, Barlow RB, Weinstock RS. Acute hypoglycemia decreases
central retinal function in the human eye. Vision Res 2011; 51: 1623-
1626.
17. Cryer EP. Seminal Contributions to the Understanding of Hypoglycemia
and Glucose Counterregulation and the Discovery of HAAF (Cryer
Syndrome). Diab Care 2015;38:2193–2199.
18. Lingvay I. Hypoglycemia in Type 2 Diabetes—Consequences and Risk
Assessment. US Endocrinol 2011; 7(2): 95–102.
19. McCrimon JR. Counterregulatory Deficiencies in diabetes. In
Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier MB, Heller RS, McCrimmon
(eds). 3rdEd. 47-62, 2014.
36
20. Macdonald IA, King P. Normal Glucose metabolism and responses to
hypoglycaemia. In Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier MB, Heller
RS, McCrimmon JR(eds). 3rd Ed. 1-22, 2014.
21. Sommerfield AJ, Wilkinson IB, Webb DJ, Fier BM. Vessel wall stiffness
in type 1 diabetes and the central hemodinamyc effects of acute
hypoglycemia. Am J Physiol, Endocrinol and Metab 2007; 293: E1274-
E1279.
22. Page KA, Arora J, Qiu M, Relwani R, Constable RT, Sherwin RS. Small
decrement in systemic glucose provoke increase in hypothalamic blood
flow prior to to the release of counterregulatory hormone. Diabetes
2009; 58: 448-452.
23. Fisher BM, Gillen G, Hepburn DA, Dargie HJ, Barnet E, Fier BM.
Splenic responses to acute insulin induced hypoglycemia in humans.
Clin Science 1990; 78: 469-474.
24. Maggs DG, Macdonald IA, Tattersall RB. Thermo-regulatory responses
to hyperinsunaemic hypoglycemia and euglycemia in insulin dependent
diabetes mellitus. Diabetologia 1994; 37: 689-696.
25. Ng LC. Hypoglicemia in non-diabetic patients. An evidence based
approach. Australian Fam Phys 2010; 39(6): 399-404.
26. Briscoe VJ, Davis SN. Hypoglycemia in type 1 and type2 diabetes:
physiology, pathophysiology, and management. Clin Diabetes 2006;
24: 115–121.
27. Seaquist ER, Anderson J, Childs B et al. Hypoglycemia and diabetes:
a report of a workgroup of the American Diabetes Association and The
Endocrine Society. Diab Care 2013; 36: 1384–1395.
37
28. Wentholt IM, Maran A, Masurel A et al. Nocturnal hypoglycaemia in
type 1 diabetic patients, assessed with continuous glucose monitoring:
frequency, duration and associations. Diab Med 2007; 24: 527–532.
29. Patrick AW, Hepburn DA, Craig KJ, Thomson I, SWainson CP, Frier
BM. The effects of acute insulin induced hypoglycemia on renal
function in normal human subjects. Diab Med 1989; 6: 703-708.
30. American Diabetes Association (ADA) Workgroup on Hypoglycemia
2005. Defining and reporting hypoglycemia in diabetes. Diab Care
2005; 28:1245–1249.
31. Kenny C. When hypoglycemia is not obvious: Diagnosing and treating
under-recognized and undisclosed hypoglycemia. Primary Care Diab
2014; 8: 3-14.
32. Canadian Diabetes Association (CDA). Hypoglycemia. Canadian
Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee.
Can J Diab 2013; 37: S69-S71
33. Kalra S, Mukherjee JJ, Venkataraman S et al. Hypoglycemia: The
neglected complications. IJEM 2013; 17: 820-834.
34. Davis MR, Shamoon H. Counterregulatory adaptation to recurrent
hypo-glycemia in normal humans. J. Clin.Endocrinol. Metab 1991; 73:
995–1001.
39
Diabetes melitus (DM) dihubungkan dengan komplikasi mikrovaskuler
(retinopati, nefropati, neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (strok, penyakit
jantung koroner, penyakit arteri perifer). Walaupun komplikasi mikrovaskuler
dapat menyebabkan peningkatan angka mortalitas dan kematian dini, namun
penyebab utama kematian pada penderita diabetes melitus adalah penyakit
kardiovaskuler (1).
Kontrol glikemik pada pasien diabetes melitus telah terbukti dapat mencegah
dan memperlambat komplikasi mikrovaskuler pada pasien DM tipe 1 dan DM
tipe 2 dan juga dapat menurunkan terjadinya komplikasi makrovaskuler.
Namun pemberian terapi obat untuk menurunkan dan mengontrol kadar
glukosa darah pada pasien diabetes melitus dapat menimbulkan risiko
terjadinya hipoglikemia (iatrogenic hypoglycemia) yang justru akan
menyebabkan terjadinya peningkatan angka morbiditas yang rekuren dan
membahayakan penderita, bahkan dapat bersifat fatal.
Berdasarkan hal ini maka risiko terjadinya hipoglikemia menjadi hambatan
utama dalam terapi dan upaya pencapaian kontrol glikemik yang diinginkan
pada penderita diabetes (2,3,4).
Hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes yang sering ditemukan,
terutama pada pasien DM tipe 1 dan pada populasi pasien DM tipe 2 yang
sudah lama. Kejadiannya tidak dapat diprediksi dan secara potensial
merupakan efek samping yang berbahaya dari terapi diabetes. Hipoglikemia
dapat memicu terjadinya strok, infark miokard akut, gagal jantung dan
gangguan irama jantung (aritmia ventrikel) (5).
Hipoglikemia pada diabetes merupakan akibat dari terjadinya kelebihan insulin
eksogen maupun kelebihan produksi insulin endogen.
40
Penyebab utama terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes adalah obat anti
diabetes itu sendiri, terutama yang mendapat terapi insulin eksogen dan juga
golongan obat-obatan yang mekanisme kerjanya merangsang sekresi insulin
pankreas seperti golongan sulfonilurea dan meglitinide.
Faktor risiko untuk terjadinya hipoglikemia pada penderita diabetes melitus
diantaranya: usia lanjut, lamanya diabetes diderita, cadangan insulin kurang
dan kontrol glikemik yang terlalu ketat (6). (Tabel 4.1)
Faktor risiko utama untuk terjadinya hipoglikemia pada pasien DM tipe 1
diantaranya: pernah mengalami episode hipoglikemia sebelumnya, kadar
glycated hemoglobin (A1C) yang rendah (<6%), hipoglikemia unawareness,
lamanya diabetes diderita, adanya neuropati autonom, usia anak-anak-anak
dan remaja yang belum mampu untuk mendeteksi dan menolong dirinya sendiri
bila terjadi hipoglikemia ringan.
Sedangkan faktor risiko untuk terjadinya hipoglikemia pada pasien DM tipe 2
adalah usia lanjut, gangguan fungsi kognitif berat, tingkat pengetahuan
kesehatan yang rendah, pola makan, hipoglikemia unawareness, kadar
glycated hemoglobin (A1C) yang tinggi, lamanya penggunaan insulin,
penurunan fungsi ginjal dan adanya komplikasi neuropati (8).
Secara umum dilaporkan sekitar 90% dari seluruh penderita diabetes yang
mendapat terapi insulin pernah mengalami episode hipoglikemia (9). Data dari
berbagai penelitian berbasis populasi menunjukkan insiden hipoglikemia lebih
tinggi pada pasien DM tipe 1 bila dibandingkan dengan pasien DM tipe 2 (10).
Kejadian hipoglikemia berat dilaporkan mencapai 62-320 episode per 100
pasien DM tipe 1 dalam satu tahun, sedangkan pada penderita DM tipe 2
41
kejadian hipoglikemia berat mencapai 3-73 episode per 100 pasien dalam
setahun (11,12,13,14).
Tabel 4.1. Penyebab terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes melitus (7).
Penyebab Contoh
Kesalahan pemberian
insulin
Dosis terlalu tinggi atau waktu penyuntikan tidak
sesuai dengan waktu makan atau waktu olah raga,
kesalahan pemberian tipe insulin
Jumlah makanan
(karbohidrat) yang
dikonsumsi tidak cukup
Terlambat makan atau bahkan tidak makan (missed
meals), puasa pada malam hari
Penurunan produksi glukosa
hati (endogen)
Konsumsi alkohol yang berlebihan
Peningkatan penggunaan
energi (karbohidrat) atau
penurunan cadangan
glikogen hati
Olah raga atau upaya penurunan berat badan yang
berlebihan
Pengosongan lambung yang
lambat
Gastroparesis
Penurunan klirens insulin Gagal ginjal yang progresif
Hipoglikemia akibat pemberian obat anti diabetes (iatrogenic hypoglycemia)
sendiri dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu: Asimptomatik, hipoglikemia
ringan sampai sedang (mild to moderate) dan hipoglikemia berat.
Pada berbagai penelitian definisi hipoglikemia berat mengacu pada definisi
yang dibuat pada penelitian DCCT (Diabetes Control and Complication Trial)
42
yaitu episode berat dimana penderita membutuhkan pertolongan orang lain
untuk mengatasi hipoglikemianya (4,15).
Gejala dan keluhan hipoglikemia pada pasien diabetes biasanya tidak khas dan
sangat bervariasi. Gejala fisik yang sering timbul diantaranya: perasaan tidak
nyaman berupa gelisah, palpitasi, tremor, berkeringat banyak, perasaan lapar
dan parastesia. Selanjutnya diikuti oleh gajala-gejala akibat gangguan
neurologis seperti perubahan perilaku, penurunan fungsi kognitif, kejang-kejang
dan penurunan kesadaran (koma). Defisit neurologik yang bersifat fokal kadang
terjadi dan bahkan bila hipoglikemia berat berlangsung untuk jangka panjang
akan menyebabkan kerusakan otak permanen dan kematian (16).
Episode hipoglikemia pada pasien diabetes juga dapat menyebabkan
gangguan psikososial berupa ketakutan yang berlebihan terhadap
hipoglikemia, perasaan bersalah yang tinggi, menjadi irrasional, tingkat
kecemasan tinggi, dan perasaan tidak bahagia dan pada akhirnya dapat
mengucilkan diri dari dari kehidupan sosial (16).
Hingga saat ini belum ada konsensus tentang definisi hipoglikemia pada
penderita diabetes melitus dan terdapat banyak variasi tentang kriteria yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kejadian hipoglikemia pada penderita
diabetes melitus.
Definisi praktis yang sejak dulu digunakan adalah adanya ―Whipple’s triad‖
yaitu kadar glukosa darah yang rendah yang disertai dengan timbulnya gejala
dan keluhan yang berkaitan dengan hipoglikemia dan keluhan tersebut akan
segera menghilang setelah kadar glukosa darah yang rendah tersebut
dikoreksi (6). Pada tahun 2013, American Diabetes Association workgroup,
43
mengajukan proposal tentang cut off untuk menetapkan seseorang pasien
diabetes melitus mengalami hipoglikemia adalah < 70 mg/dl pada pemeriksaan
kadar glukosa darah vena dan membagi jenis hipoglikemia dalam 5 kelompok.
(Tabel 4.2)
Tabel 4.2. Klasifikasi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus menurut
ADA workgroup 2013 (27)
Severe
Documented
symptomatic
Asymptomatic
Documented
Probable
Symptomatic
Pseudo/ relative
Required
assistance of a
third party and
is ameloirated
by normali-
zation of
plasma glucose
Typical symptoms
accompanied by
measured
plasma glucose ≤70
mg/dl
Measured
plasma glucose
≤70 mg/dl but
without typical
symptoms
Typical symptoms
responding to self
treatment but not
confirmed by
biochemical
documentation
but presumably
caused by plasma
glucose ≤70
mg/dl
Typical symptom
but with
A measured plasma
glucose greater
than but
approaching 70
mg/dl
Dalam praktek sehari-hari maka para dokter umumnya melakukan
pemeriksaan darah kapiler dengan menggunakan alat glukosameter oleh
karena lebih praktis dan hasil pemeriksaan dapat diperoleh secara langsung.
Pada keadaan normal maka terdapat perbedaan hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah vena dan kapiler, dimana nilai hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah vena lebih tinggi sekitar 15% dibandingkan dengan nilai glukosa darah
44
kapiler. Hal ini yang menjadikan alasan bagi beberapa peneliti untuk
menggunakan cut off <63 mg/dl pada pemeriksaan kadar glukosa darah
kapiler sebagai batas untuk menetapkan seorang penderita diabetes
mengalami hipoglikemia pada mereka yang tanpa disertai gejala maupun
keluhan (10).
A. Hipoglikemia pada pasien DM tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit yang disebabkan oleh
destruksi sel beta pankreas yang dimediasi oleh proses autoimun.
Kerusakan sel beta pankreas tersebut akan mengakibatkan terjadinya
defisiensi insulin yang absolut. Hingga saat ini pemberian insulin eksogen
merupakan satu-satunya modalitas terapi untuk mengontrol peningkatan
kadar glukosa darah pada pasien DM tipe 1.
Pada umumnya pasien DM tipe 1 akan mendapat terapi suntikan insulin
subkutan secara multipel (multiple dose insulin/MDI) dengan insulin basal
dan insulin prandial atau pemberian infus insulin kontinyu secara subkutan
(continuous subcutaneous insulin infusion/CSII) (11).
Namun pemberian insulin baik dengan metode MDI maupun CSSI justru
dapat menimbulkan reaksi hipoglikemia (insulin reaction). Data dari DCCT
menunjukkan bahwa 65% dari penderita DM tipe 1 yang mendapat terapi
insulin intensif pernah mengalami episode hipoglikemia berat selama
follow up 6,5 tahun (16).
Diperkirakan jumlah kematian akibat hipoglikemia pada penderita DM tipe
1 mencapai 4%-10% dari seluruh penyebab kematian (3,17).
45
Patogenesis hipoglikemia pada pasien DM tipe 1
Mengapa hipoglikemia lebih sering dialami oleh pasien DM tipe 1?.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa sekresi glukagon dan
epineprin merupakan komponen utama dari mekanisme aktivasi CRR
(counterregulatory response) bila terjadi hipoglikemia yang diinduksi oleh
kelebihan insulin.
Gangguan sekresi glukagon secara alami sudah terjadi pada tahap awal
terjadinya DM tipe 1 dan hal ini bersifat irreversibel. Mekanisme gangguan
sekresi glukagon pada pasien DM tipe 1 belum diketahui dengan pasti, namun
diduga hal ini terjadi akibat terjadinya defisiensi insulin yang absolut (18).
Respons epinefrin juga akan mengalami gangguan, khususnya pada pasien
yang sudah menderita DM tipe 1 untuk jangka panjang (15). Kombinasi
gangguan respons glukagon dan epinefrin terhadap kejadian hipoglikemia
berat pada pasien DM tipe 1 telah dibuktikan pada penelitian prospektif dimana
peningkatannya mencapai 25 kali lipat bila dibandingkan dengan pasien yang
hanya mengalami gangguan respons glukagon tetapi respons epinefrin masih
normal (19).
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor lain yang kemungkinan
mengganggu proses autoregulasi glukosa dan berperanan dalam patogenesis
penurunan respons CRR pada pasien DM tipe 1.
Patogenesis terjadinya hipoglikemia pada pasien DM tipe 1 meliputi 3 aspek
utama yang berperan terhadap mekanisme pertahanan tubuh untuk melawan
penurunan kadar glukosa darah yaitu: (20)
46
1. Kadar insulin yang tidak mengalami penurunan
2. Kadar glukagon yang tidak mengalami peningkatan
3. Kemampuan sekresi epinefrin yang mengalami penurunan
Dalam keadaan normal, aktivasi CRR akan dimulai bila kadar glukosa darah
mencapai 68,4 mg/dl, namun pada keadaan dimana tidak terjadi respon insulin
dan glukagon terhadap penurunan kadar glukosa darah, maka akan diikuti oleh
gangguan yang dikenal dengan defective glucose counterregulatory syndrome
yaitu sindroma dimana kadar glukosa darah harus turun ke ambang yang lebih
rendah untuk dapat mengaktifkan CRR.
Suatu keadaan yang disebut hypoglycemia-associated autonomic failure
(HAAF) telah dikemukakan sebagai salah satu mekanisme yang memediasi
terjadinya hipoglikemia pada pasien DM tipe 1, dimana hipoglikemia yang
rekuren akan memprovokasi kegagalan respon sistim simpato-adrenal dengan
akibat gangguan aktivasi CRR dan awareness dari hipoglikemia (17,21).
Konsep dari HAAF yang tejadi pada pasien DM tipe 1 akan membantu
pemahaman kita tentang mekanisme gangguan CRR (penurunan respons
epinefrin terhadap hipoglikemia pada subyek yang memang sudah mengalami
penurunan respons glukagon) dan juga mekanisme terjadinya
hypoglycemia unawareness (penurunan respons autonomik/ gangguan
respons saraf simpatik dan adrenomeduler, sehingga terjadi penurunan
ambang batas kadar glukosa darah untuk timbulnya keluhan klinis dan gejala
peringatan seperti perasaan lapar, keringan dingin dan gemetar (16,22).
(Gambar 4.1)
47
Gambar 4.1. Konsep terjadinya hypoglycemic-associated autonomic
failure (HAAF) pada pasien DM tipe 1 (16).
Sindroma HAAF dapat ditemukan pada individu non-diabetes, pasien DM tipe 1
dan pada mereka yang menderita DM tipe 2 tahap lanjut. Konsep dari HAAF
pada pasien DM tipe 1 dan juga pasien DM tipe 2 yang sudah berlangsung
lama adalah kejadian hipoglikemia yang terjadi saat ini akan mengganggu
sistim defective glucose counterregulation (penurunan respon epinefrin bila
tidak terjadi respon insulin dan glukagon) dan awareness terhadap
hipoglikemia (melalui penurunan respon simpato-adrenal dan simpomatik)
dengan demikian akan lebih mempermudah untuk terjadinya hipoglikemia pada
periode selanjutnya dan akan menyebabkan terjadinya lingkaran setan untuk
terjadinya hipoglikemia yang rekuren (berulang). Konsep HAAF juga dikaitkan
dengan kejadian hipoglikemia pada saat tidur (nocturnal hypoglycemia) dan
hipoglikemia yang diinduksi oleh olah raga (16,22,23).
48
B. Hipoglikemia pada pasien DM tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit kronik yang bersifat progresif
yang ditandai peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) dan
terjadi akibat adanya kelainan yang multipel diantaranya gangguan sekresi
insulin pankreas, peningkatan produksi glukosa hati, hiper-
glukagonemia dan terjadinya resistensi insulin pada jaringan perifer (24,25).
Hingga saat ini terdapat berbagai macam obat yang secara farmakologis
yang dapat digunakan sebagai modalitas terapi untuk mengontrol glukosa
darah pada penderita DM tipe 2 baik yang diberikan secara oral maupun
melalui suntikan.
Golongan obat oral anti diabetes yaitu biguanide (metformin), sulfonilurea,
meglitinide, alfa-glukosidase inhibitor (acarbose), derivat thiozolidindion,
dipeptidil peptidase 4 (DPP4) inhibitor, serum glucosidase co-transporters 2
(SGLT2) inhibitor, colesevelam dan bromokriptin. Sedangkan golongan anti
diabetes yang pemberiannya melalui suntikan adalah insulin, glucagon-like
peptide 1 receptor agonist (GLP-1 RA) dan amylin mimetic (Pramlitides)
(26).
Insulin dan golongan anti diabetes oral dengan mekanisme kerja
merangsang sekresi insulin pankreas dapat menimbulkan risiko
hipoglikemia yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien DM
tipe 2. Risiko hipoglikemia juga meningkat bila dilakukan terapi kombinasi 2
atau tiga macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda, walaupun
obat-obatan tersebut tidak merangsang sekresi insulin pankreas (27).
49
Selama lebih dari 6 tahun follow up pada penelitian U.K. Prospective
Diabetes Study (UKPDS) untuk menilai efek terapi pada penderita DM tipe 2
didapatkan sebanyak 2,4% pasien yang mendapat terapi golongan
metformin, 3,3% yang mendapat terapi sulfonilurea dan 11,2% pasien yang
mendapat terapi insulin mengalami hipoglikemia yang membutuhkan
pertolongan medis atau harus menjalani perawatan dirumah sakit (16).
Pasien DM tipe 2 merupakan subyek yang rentan untuk menglami efek-efek
yang merugikan bila terjadi hipoglikemia. Hal ini telah dibuktikan dari
laporan tiga penelitian skala besar yaitu ACCORD (Action to Control
Cardiovascular Risk in Diabetes), ADVANCE (Action in Diabetes and
Vascular Disease: Preterax and Diamicron MR Controlled Evaluation), dan
VADT (Veterans Affairs Diabetes Trial). Ketiga penelitian tersebut adalah
untuk mengevaluasi pengaruh dari penurunan kadar glukosa darah
terhadap kejadian penyakit kardiovaskuler pada penderita DM tipe 2.
Sebanyak 24.000 subyek yang tergolong berisiko tinggi untuk menderita
penyakit kardiovaskuler selanjutnya dikelompokkan kedalam 2 macam
terapi yaitu kelompok terapi kontrol glikemik yang intensif (ketat) dan
kelompok lainnya terapi kontrol glikemik standar/konvensional.
Didapatkan hasil bahwa pada kelompok yang mendapat terapi kontrol
glikemik yang intensif akan mengalami episode hipoglikemia yang lebih
sering bila dibandingkan dengan kelompok terapi standar/konvensional.
Ketiga penelitian itu juga melaporkan peningkatan risiko kematian
kardiovaskuler pada subyek yang mengalami hipoglikemia berat. ACCORD
Study melaporkan bahwa pada mereka yang mengalami episode
50
hipoglikemia berat sebanyak satu kali atau lebih maka angka kematian akan
mengalami peningkatan sebesar 1.41 (95% CI 1.03–1.93), sepertiga
diantara penyebab kematian tersebut adalah akibat penyakit kardiovaskuler
dan kejadian hipoglikemia dihubungkan dengan tingginya angka kematian
kardiovaskuler tersebut. Laporan dari VADT Study menyebutkan bahwa
kejadian hipoglikemia berat merupakan prediktor yang sangat kuat untuk
terjadinya kematian dalam 90 hari.
Tabel 4.3. Angka kejadian hipoglikemia pada penelitian ACCORD,
ADVANCE dan VADT
Terapi
konvensional
(%)
Terapi
Intensif
(%)
ACCORD
ADVANCE
VADT
5,1
1,5
9,9
16,2
2,7
21,2
Gambaran yang sama juga didapatkan dari hasil penelitan ADVANCE Study
walaupun angka kejadian hipoglikemia pada pada penelitian ini lebih rendah
bila dibandingkan dengan ACCORD dan VADT (27). (Tabel 4.3)
Pham dkk (2013) melaporkan hasil meta analisis dari 20 penelitian berbasis
randomized clinical trials (RCT) untuk menilai efek terapi intensif
dibandingkan dengan terapi kovensional terhadap angka kematian oleh
karena sebab apa saja dan juga kematian akibat penyakit kardiovaskuler,
non-fatal infark miokard, komplikasi mikrovaskuler dan terjadinya
51
hipoglikemia berat pada penderita DM tipe 2. Review terhadap meta
analisis tersebut menyimpulkan bahwa terapi intensif untuk mencapai target
glikemik yang lebih ketat pada penderita DM tipe 2 ternyata tidak
menurunkan angka kematian oleh karena sebab apa saja dan bahkan akan
terjadi peningkatan kejadian hipoglikemia berat dengan risiko relatif hingga
mencapai 30% (28).
Patogenesis hipoglikemia pada pasien DM tipe 2
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, angka kejadian hipoglikemia
pada DM tipe 2 lebih rendah dibandingkan dengan pasien DM tipe 1. Hal ini
disebabkan oleh karena secara umum mekanisme respons CRR pada
tahap awal DM tipe 2 tidak mengalami gangguan.
Gangguan CRR pada DM tipe 2 baru akan terjadi bila kerusakan sel beta
pankreas meningkat secara progresif dan produksi insulin endogen
menurun secara drastis (ditandai dengan hiperglikemia berat dan biasanya
dialami oleh pasien diabetes yang sudah lama).
Penyebab utama hipoglikemia pada penderita DM tipe 2 adalah iatrogenic,
terjadi akibat penggunaan terapi insulin dan obat-obatan dengan
mekanisme kerja merangsang sekresi insulin pankreas (29). Golongan
obat-obatan tersebut dapat mengganggu sistim CRR yang seharusnya
berperan menjaga dan mempertahankan kadar glukosa darah tidak turun
terlalu rendah.
Pada penderita DM tipe 2 yang berat dan telah lama menderita diabetes,
respons glukagon dan beberapa stress hormone yang lain bila terjadi
52
hipoglikemia akan mengalami gangguan. Beberapa golongan obat anti
hiperglikemia akan lebih memperburuk gangguan tersebut.
Contohnya adalah golongan sulfonilurea yang akan tetap memicu
peningkatan sekresi insulin pankreas walaupun hipoglikemia sudah terjadi
dan selanjutnya akan menekan dan mengganggu respons glukagon (6,30).
Faktor lain yang mempresipitasi terjadinya hipoglikemia pada penderita DM
tipe 2 adalah faktor perilaku dan faktor terapeutik. Tidak makan atau pola
makan yang tidak teratur merupakan penyebab utama terjadinya episode
hipoglikemia berat, faktor perilaku yang lain yang juga turut berperan adalah
konsumsi alkohol, olah raga dan ketidaktepatan minum obat (jadwal dan
dosis) (29,30,31). (Tabel 4.4)
Faktor terapeutik yang berperanan terhadap risiko terjadinya hipoglikemia
pada penderita DM tipe 2 adalah usia lanjut, lamanya menderita diabetes,
adanya penyakit ko-morbid, gangguan fungsi ginjal, obat-obatan yang dapat
mengganggu respons CRR dan penurunan awareness dari hipoglikemia.
Penggunaan obat-obatan lain seperti golongan beta bloker juga akan
meningkatkan risiko hipoglikemia (28,32).
Dengan demikian terjadinya hipoglikemia pada penderita DM tipe 2 akan
berdampak terhadap peningkatan mortalitas dan morbiditas dan penurunan
kualitas hidup.
Kejadian hipoglikemia juga akan berimplikasi terhadap beban biaya
perawatan, baik secara langsung melalui peningkatan biaya perawatan
rumah sakit, maupun secara tidak langsung melalui penurunan kemampuan
untuk menjalankan perkerjaan dengan baik.
53
Tabel 4.4. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya hipoglikemia pada
pasien DM tipe 2 (28)
Impaired drug clearance
e.g. renal impairment, hepatic failure, hypothyroidism
Impaired counterregulatory capacity
e.g. Addison’s disease, growth hormone deficiency, hypopituitarism
Increased peripheral glucose uptake
e.g. exercise
Decreased endogenous glucose production
e.g. liver failure, alcohol
Impaired glucose absorption
e.g. malabsorption, anorexia
Concurrent medications
Decreased renal excretion of SUs
e.g. aspirin, allopurinol
Displacement of SUs from albumin
e.g. aspirin, warfarin, sulphonamides, trimethoprim,fibrates
Decreased metabolism of SUs
e.g. warfarin, mono-amine oxidase inhibitors
Insulin secretagogue activity
e.g. non-steroidal anti-inflammatory agents
54
C. Terapi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus
Pencapaian target glikemik tanpa menimbulkan masalah hipoglikemia
merupakan kunci penanganan yang optimum pada perawatan penderita
diabetes melitus.
Tujuan utama terapi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus adalah
identifikasi pasien yang berisiko tinggi dan modifikasi regimen pengobatan
yang sementara dijalani berdasarkan kondisi dan karekteristik individu dari
pasien tersebut.
Strategi penanganan pasien hipoglikemia terdiri atas 3 kelompok utama:
Pencegahan hipoglikemia, pengunaan obat-obatan dengan dosis rendah
sampai optimal atau gunakan golongan obat yang mempunyai risiko
hipoglikemia rendah dan terapi hipoglikemianya
1. Pencegahan hipoglikemia (7,10,33)
Untuk mencegahan atau menurunkan risiko terjadinya hipoglikemia maka
sangat penting dilakukan edukasi untuk memberikan pengertian dan
meningkatkan kepatuhan pasien terhadap perubahan pola hidup dan
regimen pengobatan yang direncanakan. Edukasi kepada pasien dan
keluarganya dan juga pemantauan glukosa darah secara mandiri (self
monitoring blood glucose/ SMBG) merupakan strategi utama dalam upaya
pencegahan terhadap tejadinya hipoglikemia.
Edukasi pasien, materi edukasi pasien diantaranya identifikasi keluhan dan
gejala hipoglikemia secara dini, deteksi penyebab, tata cara mencegah
dan tindakan serta pertolongan pertama. Pasien juga diedukasi tentang tata
55
cara melakukan pemeriksaan SMBG, membuat catatan dan pelaporan serta
dilanjutkan dengan kunjungan ke layanan primer maupun rumah sakit.
Pemantauan glukosa darah secara mandiri secara reguler merupakan cara
yang paling efektif untuk mengetahui kecenderungan kadar glukosa darah
dan mengidentifikasi terjadinya hipoglikemia asimptomatik. Pemantauan
dapat dilakukan secara periodik dengan pemeriksaan kadar glukosa darah
kapiler maupun melalui monitoring glukosa darah secara kontinyu
(continous glucose monitoring/CGM). Pada pasien yang mengunakan
insulin secara MDI maupun CSII, maka ADA standard mecical care 2017
merekomendasikan untuk melakukan pemantauan kadar glukosa darah
setidak-tidaknya 6-8 kali sehari.
2. Pengunaan obat-obatan dengan dosis rendah sampai optimal atau gunakan
golongan obat yang mempunyai risiko hipoglikemia rendah (10,34,35,36).
Terapi farmakologis pada penderita diabetes melitus ditujukan untuk
mempertahankan kontrol glikemik selama mungkin tanpa risiko
hipoglikemia, oleh karena itu pemberian obat-obatan sebaiknya dimulai
dengan dosis rendah dan kemudian dilakukan titrasi secara bertahap
hingga mencapai dosis optimal. Sesuai dengan mekanisme kerjanya maka
golongan obat-obatan anti diabetes dikelompokkan dalam dua kategori
utama yaitu kelompok risiko rendah dan kelompok risiko tinggi sebagai
penyebab hipoglikemia.
Kelompok risiko tinggi diantaranya insulin, golongan sulfonilurea dan
meglitinide. Ketiga golongan obat ini akan meningkatkan kadar insulin tanpa
dipengaruhi kadar glukosa dalam darah (glucose independent manner).
Sedangkan yang termasuk golongan obat dengan risiko hipoglikemia
56
rendah adalah metformin, thiozolidindion, acarbose, DPP4 inhibitor, GLP-1
RA, dan pramlitide oleh karena golongan obat ini berkerja bedasarkan kadar
glukosa dalam darah (glucose dependent manner).
Pemilihan jenis obat juga perlu mempertimbangkan kondisi pasien, seperti
umur, kemampuan kognitif, aktifitas fisik, pekerjaan, sosial ekonomi,
penyakit penyerta dan adanya komplikasi dari diabetesnya.
3. Terapi hipoglikemia (8,26)
Penanganan utama pasien hipoglikemia pada pasien diabetes adalah
deteksi dini dan atasi kadar glukosa darah yang rendah dengan
mengembalikan kadar glukosa darah secepat mungkin ke kadar yang
normal sehingga gejala dan keluhan hipoglikemia juga akan segera
menghilang. Perlu dihindari tindakan yang berlebihan oleh karena dapat
menyebabkan terjadinya rebound hiperglikemia dan peningkatan berat
badan.
Pemberian 15 gram glukosa (monosakarida) secara oral terbukti akan
meningkatkan kadar glukosa darah sekitar 2,1 mmol/l (sekitar 40 mg/dl)
dalam waktu 20 menit dan cukup adekuat untuk menghilangkan keluhan
hipoglikemia dalam waktu singkat. Lima belas gram glukosa dapat diperoleh
dari berbagai sumber seperti 15 gram tablet glukosa, 15 mil (3 sendok teh)
gula yang dilarutkan dalam air minum, 175 ml juice atau soft drink atau 15
ml (1 sendok makan) madu. Pilihan lain seperti susu, namun
kekuatannya dalam meningkatkan kadar glukosa darah lebih rendah dan
efeknya lebih lambat.
57
Berbagai rekomendasi tentang terapi hipoglikemia pada pasien diabetes
telah dikemukakan. Pada umumnya rekomendasi tersebut disesuaikan
dengan kadar glukosa darah dan tingkat kesadaran pasien.
Rekomendasi terapi hipoglikemia :
1. Hipoglikemia ringan dan sedang
Berikan 15 gram glukosa tablet atau yang telah dilarutkan dalam air
minum. Cek ulang kadar glukosa darah 15 menit kemudian, bila kadar
glukosa darah masih kurang dari 70 mg/dl maka pemberian 15 gram
glukosa dapat diulangi, demikian pula untuk 15 menit berikutnya.
2. Hipoglikemia berat dan pasien masih sadar
Berikan 20 gram glukosa secara oral. Cek ulang 15 menit kemudian, bila
kadar glukosa darah tetap < 70 mg/dl maka ulangi pemberian 20 gram
glukosa, demikian pula untuk 15 menit berikutnya.
3. Hipoglikemia berat dan pasien tidak sadar.
Berikan 10-25 gram glukosa (25-50 ml larutan dextrose 50%) yang
diberikan secara suntikan intravena dan dihabiskan dalam waktu 1-3
menit atau diberikan suntikan 1mg glukagon secara intramuskuler.
4. Bila hipoglikemia sudah teratasi dan pasien sadar, maka dianjurkan untuk
makan atau diberikan snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.
D. Variasi hipoglikemia pada pasien diabetes melitus
1. Hypoglycemia unawareness
Kadang-kadang hipoglikemia ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan kadar glukosa darah secara rutin dan pasien tidak
58
merasakan serta tidak mewaspadai atau tidak disertai gejala yang
mengindentifikasikan bahwa telah terjadi hipoglikemia. Hal ini biasanya
dialami oleh pasien yang penurunan kadar glukosa darahnya
berlangsung secara perlahan-lahan atau respon CRR mengalami
gangguan.
Tingkat kewaspadaan terhadap terjadinya hipoglikemia dikelompokkan
dalam tiga tingkatan utama yaitu: (37)
a. Tingkat kewaspadaan normal (normal awareness), dimana individu
selalu waspada terhadap onset hipoglikemia.
b. Tingkat kewaspadaan parsial (partial awareness) dimana profil
keluhan dan gejala hipoglikemia mengalami perubahan baik dalam
hal intensitas maupun jumlah keluhan.
Individu mungkin dapat merasakan dan mewaspadai beberapa
gejala tertentu dari onset hipoglikemia, namun tidak pada gejala-
gejala yang lain.
c. Kehilangan kewaspadaan (hypoglycemia unawareness). Individu
tidak merasakan dan tidak waspada terhadap terjadinya episode
hipoglikemia.
Hypoglycemia unawareness atau impaired awareness of hypoglycemia
merupakan suatu keadaan dimana onset hipoglikemia sudah terjadi
namun gejala peringatan berupa gejala autonomik tidak timbul.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara fisiologis, apabila
sekresi glukagon tidak mampu mengimbangi penurunan kadar glukosa
darah maka respons CRR yang lain akan segera diaktifkan yaitu
pengeluaran efinefrin dan timbulnya gejala dan keluhan autonomik
59
sebagai gejala peringatan. Namun pada pasien yang sering mengalami
hipoglikemia berulang (termasuk episode hipoglikemia ringan,
asimptomatik maupun nokturnal) mekanisme counterregulatory
tersebut akan mengalami gangguan dan persepsi penderita tehadap
gejala dan keluhan autonomik mengalami penurunan.
Keadaan tersebut mengakibatkan pasien akan mengalami peningkatan
risiko hipoglikemia pada masa-masa selanjutnya, khususnya risiko
untuk terjadinya hipoglikemia berat (severe hypoglycemia).
Disamping episode hipoglikemia yang berulang, maka terdapat
beberapa faktor risiko lain yang menyebabkan terjadinya hypoglycemia
unawareness diantaranya: target glikemik yang diinginkan terlalu
rendah, faktor psikologik (takut gagal mencapai target glikemik),
adanya gangguan fungsi kognitif, kurangnya edukasi dan
pengetahuan tentang regimen terapi dan adanya interaksi obat
(misalnya penggunaan golongan beta bloker non-selektif yang dapat
mengganggu aktivasi sistim simpato-adrenal) (38,39).
Pada pasien DM tipe 1 prevalensi hypoglycemia unawareness berkisar
25%-30%, sering dihubungkan dengan peningkatan prevalensi episode
hipoglikemia berat sebesar 3-6 kali dan akan lebih meningkat sesuai
dengan lamanya terapi insulin. Sebaliknya untuk pasien DM tipe 2 yang
mendapat terapi insulin, prevalensinya <10%, namun risiko untuk
terjadinya episode hipoglikemia berat mencapai 6-7 kali sehingga
pada kelompok pasien DM tipe2 yang mengalami hypoglycemia
unawareness tidak dianjurkan untuk diberikan terapi insulin (40).
60
2. Nocturnal hypoglycemia (NH) (41,42,43).
Kejadian hipoglikemia nokturnal sangat sering dijumpai pada pasien
diabetes, khususnya pasien DM tipe 1. Data dari DCCT menunjukkan
bahwa sekitar 43% dari episode hipoglikemia berat terjadi pada
rentang waktu tengah malam hingga jam 08.00 pagi, 55% diantaranya
akan dialami pada waktu pasien dalam keadaan tidur.
Tingginya angka kejadian hipoglikemia pada malam hari disebabkan
oleh karena respons CRR dan gejala-gejala peringatan akan tertutupi
pada saat pasien tertidur. Dengan demikian pada pasien yang tertidur
akan mengganggu respon fisiologik (CRR) dan respon perilaku
(awareness) bila terjadi hipoglikemia.
Oleh karena gejala dan keluhan NH sering tidak terdeteksi sehingga
dapat menimbulkan hipoglikemia yang berkepanjangan. Hipoglikemia
yang berkepanjangan dapat menimbulkan kejang-kejang dan bahkan
kematian.
Beberapa tanda yang dapat dikenali bila terjadi hipoglikemia pada
malam hari :
1. Sering mengalami mimpi buruk atau sering diliputi perasaat takut
pada malam hari.
2. Kejang-kejang yang berulang pada waktu malam
3. Pakaian tidur atau sperei yang basah oleh keringat yang berlebihan.
4. Merasa lelah, tidak nyaman, tidak segar dan kebingungan pada
saat bangun dipagi hari.
61
5. Kadar glukosa darah sebelum makan pagi (puasa) (prebreakfast)
biasanya rendah.
Pendekatan terapi pada pasien diabetes yang mengalami hipoglikemia
adalah dengan pengaturan dosis insulin dan sebaiknya digunakan insulin
analog baik untuk insulin yang bekerja cepat (rapid acting) maupun insulin
yang kerja panjang (basal insulin) dan menghindari penggunaan insulin
reguler (human). Di Negara-negara maju penggunaan pompa insulin
digunakan sebagai terapi alternatif yang dapat mengurangi risiko NH.
Pasien NH dianjurkan untuk mengkomsumsi makanan tambahan dengan
pemberian snack yang mengandung karbohidrat sebelum tidur.
3. Insulin-induced posthypoglycemic hyperglycemia (44,45,46,47)
Hiperglikemia pada waktu pagi hari merupakan salah satu faktor
terpenting penyebab kontrol glikemik yang buruk pada pasien diabetes
melitus.
Terjadinya hiperglikemia pada waktu pagi hari terutama diakibatkan oleh
dua fenomena yang dapat timbul akibat pemberian terapi diabetes yaitu;
efek Somogy dan Dawn phenomenon. Walaupun keduanya merupakan
penyebab hiperglikemia pada waktu pagi hari, namun patomekanisme dari
kedua fenomena ini tidak sama.
Efek Somogy terutama dialami oleh pasien DM tipe 1 yang mengalami
kelebihan pemberian dosis insulin, sedangkan dawn phenomenon dapat
dialami oleh pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin
atau anti diabetes oral dengan dosis yang kurang atau tidak optimal.
62
a. Somogy Effect pertama kali dikemukakan oleh Michael Somogyi,
seorang ilmuan asal Austria yang tinggal di Amerika Serikat pada
tahun 1949. Dalam presentasinya yang berjudul ―Exacerbation of
diabetes by excess insulin action: actually victims of chronic insulin
poisoning”.
Dikemukakan bahwa pemberian insulin eksogen yang terlalu banyak
akan menimbulkan terjadinya hiperglikemia yang didahului oleh
hipoglikemia.
Hipotesis yang diajukan untuk menjelaskan fenomena ini adalah
terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat terapi insulin
yang berlebihan akan mengaktifkan hypothalamic-pituitary-adrenal axis
(aksis HPA) yang menghasilkan hormon-hormon anti insulin sehingga
akan segera diikuti terjadinya rebound kadar glukosa darah menjadi
hiperglikemia. Fenomena ini terutama akan dialami oleh pasien DM
tipe 1 yang mendapat terapi insulin NPH/lente (neutral protein
Hagendorn). NPH adalah jenis insulin human yang dengan waktu
kerja sedang/intermediate (sekitar 10-16 jam). Insulin NPH
diindikasikan sebagai insulin basal (menekan produksi glukosa darah
puasa) dan biasanya disuntikkan pada waktu malam sebelum tidur
(sekitar jam 22.00). Oleh karena konsentrasi tertinggi dari insulin NPH
dalam darah (peak) akan tercapai sekitar 4-6 jam setelah penyuntikan,
maka apabila diberikan dalam dosis yang terlalu tinggi akan
menyebabkan terjadinya hipoglikemia pada sekitar jam 03.00-05.00,
hal ini sering tidak disadari oleh pasien oleh karena terjadi pada waktu
tidur.
63
Secara bersamaan hipoglikemia yang terjadi pada waktu tengah
malam tersebut akan merangsang dan juga akan mengaktifkan
aksis HPA untuk menghasilkan hormon kortisol, growth hormone dan
epinefrin.
Efek peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) dari hormon-
hormon ini akan terlihat pada waktu pagi hari (sebelum breakfast).
Prevalensi efek Somogi sangat bervariasi yaitu sekitar 12,6%-65%.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan
antara jam 03.00-05.00 dan didapatkan hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah yang rendah.
Untuk mengatasi efek Somogy maka sebaiknya dilakukan modifikasi
dan pengaturan dosis insulin, misalnya dengan menurunkan dosis
insulin NPH atau mengganti NPH dengan insulin analog kerja panjang
(glargine atau determir) dan disuntikkan pada waktu pagi hari sekitar
jam 06.00-09.00 oleh karena insulin jenis ini tidak mempunyai puncak
kerja (peakless) dengan durasi kerja hingga 24 jam. Metode
pemberian insulin dengan pompa insulin (continous subcutaneous
insulin infusion/CSII) juga terbukti efektif untuk mencegah efek
Somogy. Pasien juga dianjurkan untuk meningkatkan porsi karbohidrat
dan protein pada waktu makan malam.
b. Dawn Phenomenon adalah fenomena yang sering dialami oleh pasien
DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mendapat terapi insulin ataupun non
insulin berupa hiperglikemia pada waktu pagi hari akibat kompensasi
dari terjadinya hipoglikemia pada waktu tengah malam (sekitar jam
64
03.00-05.00). Dalam keadaan normal maka sekresi insulin akan
mengalami penurunan pada waktu tengah malam, namun biasanya
kadarnya cukup untuk memblokade pengeluaran hormon-hormon anti
insulin seperti kortisol, growth hormone dan efinefrin.
Pada pasien DM tipe 1 (defisiensi insulin absolut) dan DM tipe 2
(gangguan sekresi insulin) apabila jumlah insulin eksogen ataupun
obat-obatan yang merangsang sekresi insulin yang diberikan
kurang/tidak mencukupi atau durasi kerja obat anti diabetes yang
diberikan terlalu singkat maka akan terjadi peningkatan hormon-
hormon anti insulin tersebut melebihi kadar fisiologis. Kelebihan
hormon anti insulin terutama pada waktu tengah malam selanjutnya
akan mengakibatkan hiperglikemia pada waktu pagi hari. Dengan
demikian maka Dawn phenomenon akan terjadi bila sekresi insulin
endogen kurang atau dosis obat anti diabetes yang diberikan terlalu
rendah dan juga dapat terjadi bila efek kerja obat terlalu singkat.
Diagnosis dawn phenomenon ditegakkan bedasarkan hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah tengah malam dimana akan
didapatkan kadar glukosa darah yang normal atau bahkan tinggi dan
hal inilah yang membedakan dengan efek Somogy yang kadar glukosa
darahnya tengah malamnya biasanya rendah.
Untuk mengatasi terjadinya dawn phenomenon maka dapat dilakukan
beberapa modifikasi terapi seperti meningkatkan dosis insulin dan
obat-obatan anti diabetes oral yang telah diberikan, mengganti insulin
intermediate acting (NPH) dengan insulin analog kerja panjang
(detemir atau glargine), merubah waktu penyuntikan insulin kemalam
65
hari (sekitar jam 18.00 – 22.00) atau mengganti metode pemberian
insulin dengan CSII. Pasien juga dianjurkan untuk meningkatkan
aktivitas fisik pada waktu malam hari, meningkatkan jumlah protein dan
mengurangi jumlah karbohidrat pada waktu makan malam.
4. Factitious hypoglycemia (FH) (48,49,50)
Hipoglikemia faktual (factitious) merupakan kelainan psikiatrik dimana
pasien dengan sengaja memanipulasi kadar glukosa darahnya dengan
penyalahgunaan insulin atau sulfonilurea untuk menginduksi terjadinya
hipoglikemia.
Factitious hypoglycemia dapat ditemukan pada pasien DM tipe 1 ataupun
pasien DM tipe 2 usia lanjut yang melakukan pengaturan sendiri suntikan
insulin maupun obat golongan sulfonilurea secara berlebihan, namun dapat
juga ditemukan pada pasien non-diabetes dan terutama pada para pekerja
wanita yang bekerja dirumah sakit dan mempunyai akses untuk
memperoleh insulin.
Hipoglikemia faktual, sering menjadi tantangan tersendiri bagi para klinisi
oleh karena walaupun keluhan dan gejala hipoglikemia sangat nyata,
namun biasanya pasien secara aktif selalu berusaha untuk menutupi dan
memberikan keterangan yang membingungkan dan menipu dokter.
Biasanya FH dipikirkan bila secara kebetulan ditemukan vial insulin atau
sisa obat yang ada disekitar penderita. Secara laboratorium diagnosis FH
dapat ditegakkan berdasarkan 3 gejala patognomonik yaitu: hipoglikemia,
hiperinsulinemia dan kadar C-peptida yang rendah.
66
Deteksi adanya antibodi terhadap insulin juga dapat menjadi pertimbangan
dalam menegakkan diagnosis FH akibat penyalahgunaan insulin. Terapi
hipoglikemia pada pasien FH tidak berbeda dengan terapi hipoglikemia
oleh karena sebab yang lain, namun untuk jangka panjang maka perlu
dilakukan konsultasi ke departemen psikiatrik dan biasanya diperlukan
bantuan orang lain untuk memantau serta mendampingi pasien.
5. Exercise-Related Hypoglycemia (51)
Pada pasien diabetes, hipoglikemia dapat terjadi pada saat olah raga, 1-2
jam sesudah olah raga dan bahkan hingga 17 jam setelah olah raga. Olah
raga aerobik dapat memperbaiki sensitivitas insulin diperifer dan akan
meningkatkan potensiasi insulin serta obat-obatan non-insulin. Mekanisme
tersebut dianggap bertanggung jawab terhadap fenomena hipoglikemia
pada pasien diabetes yang baru selesai berolah raga.
Pada saat olah raga maka akan terjadi penurunan produksi glukosa
endogen hingga 40%-60%, oleh karena itu direkomendasikan untuk
menurunkan dosis insulin atau atau memberikan makanan suplementasi 10-
20 gram karbohidrat oral setiap 30-60 menit olah raga, tergantung dari
intensitas olah raga yang dilakukan. Sentivitas insulin akan meningkat
sekitar 2 jam berolah raga dengan intensitas sedang, oleh karena itu
dianjurkan untuk menurunkan insulin basal dan atau prandial untuk jangka
waktu 24 jam setelah berolah raga . Untuk mencegah hipoglikemia pada
pasien diabetes yang melakukan olah raga secara aktif, maka dapat
dilakukan modifikasi terapi seperti menurunkan dosis insulin sebelum olah
raga, mengkomsumsi karbohidrat tambahan sesuai dengan intensitas dan
67
lamanya olah raga serta untuk sementara meningkatkan sasaran
pengendalian kadar glukosa darah (target glikemik).
6. Hypoglycemia and pregnancy (52,53,54)
Hamil merupakan resiko tinggi untuk mengalami hipoglikemia pada pasien
diabetes. Hipoglikemia berat terutama terjadi pada trimester pertama,
frekwensinya 3-5 kali lebih sering bila dibandingkan trimester terakhir.
Walaupun kontrol metabolik yang ketat telah terbukti dapat mencegah
komplikasi kehamilan untuk ibu maupun janinnya, namun kontrol glikemik
yang ketat juga berisiko untuk mengalami hipoglikemia yang pada akhirnya
justru menyebabkan peningkatan angka morbiditas bahkan kematian ibu
dan janinnya.
Kehamilan sendiri diduga merupakan salah satu faktor yang dapat menekan
respon CRR, walaupun mekanisme tentang hal ini belum jelas. Faktor risiko
hipoglikemia pada pasien diabetes yang hamil diantaranya riwayat
hipoglikemia sebelumnya terutama dalam tahun terakhir sebelum hamil,
hipoglikemia unawareness, lamanya diabetes diderita dan adanya fluktuasi
kadar glukosa darah . Monitoring kadar glukosa yang lebih sering dan
difokuskan untuk menurunkan terjadinya fluktuasi kadar glukosa darah
pada saat hamil telah terbukti dapat mencegah hipoglikemia dan
memperbaiki outcomes hasil kehamilan.
Edukasi yang optimal tentang tata cara menolong diri sendiri, pengaturan
asupan karbohidrat dan pemberian instruksi yang jelas tentang dosis dan
cara pemberian insulin merupakan faktor yang sangat penting pada wanita
hamil yang menderita diabetes untuk mempertahankan kadar glukosa darah
68
normal atau mendekati normal dan mencegah episode hipoglikemia berat
terutama pada saat awal kehamilan (24).
7. Hipoglikemia pada pasien usia lanjut (55,56,57)
Hipoglikemia merupakan masalah yang sering ditemukan pada pasien
diabetes melitus yang berusia lanjut. Secara alami usia lanjut akan
menurunkan fungsi kognitif dan respon CRR serta keluhan-keluhan
hipoglikemia. Penyebab utama hipoglikemia pada usia lanjut adalah kontrol
glikemik yang terlalu ketat, namun juga dapat disebabkan oleh adanya
faktor ko-morbid yang multipel seperti penurunan fungsi ginjal, penyakit
jantung kronik, status gizi buruk dan pemberian obat secara polifarmasi.
Hipoglikemia berat akan mempengaruhi perasaan nyaman, menurunkan
produktivitas dan kualitas hidup pada pasien diabetes yang berusia lanjut
dan akan lebih mudah mengalami kerusakan otak, oleh karena adanya
perubahan sirkulasi darah ke otak.
Untuk menghindari terjadinya hipoglikemia pada pasien diabetes yang
berusia lanjut, maka target glikemik sebaiknya tidak terlalu ketat, strategi
pilihan terapi harus bersifat individual dan mempertimbangkan berbagai
aspek sesuai dengan kondisi pasien dan adanya penyakit ko-morbid.
Edukasi dan peningkatan keterampilan penderita tentang kemampuan
mengenali secara dini gejala-gejala hipoglikemia serta bagaimana
mengatasinya diharapkan dapat menurunkan mortalitas, tingkat perawatan
dirumah sakit dan gangguan kognitif yang secara langsung akan
menurunkan tingkat ketergantungan dan meningkatkan kapasitas fungsional
pada pasien usia lanjut.
69
8. Hypoglycemia in children and adolescents (55,58,59).
Hipoglikemia merupakan salah satu komplikasi utama terapi insulin pada
anak dan remaja. Insiden hipoglikemia pada pasien diabetes usia muda
dilaporkan berkisar 3 hingga 27 episode setiap 100 pasien pertahun.
Hipoglikemia berat yang terjadi secara berulang merupakan momok yang
sangat menakutkan dan dapat menyebabkan gangguan emosional bagi
pasien dan juga orang tuanya, sehingga akan menurunkan tingkat
kepatuhan pasien untuk mengikuti pola terapi yang telah direncanakan. Hal
ini menyebabkan terjadinya kegagalan terapi untuk mencapai kontrol
glikemik yang baik pada pasien diabetes usia muda.
Problem lain pada anak-anak yang menderita DM tipe 1, terutama pada
mereka yang didiagnosis pada usia sebelum 6 tahun adalah kemampuan
untuk mengenali, menyadari dan melaporkan gejala-gejala dan keluhan
hipoglikemia yang tidak optimal, sehingga awareness dan tingkat
kewaspadaan akan rendah dan sangat berisiko untuk mengalami
hipoglikemia berat.
Kejadian hipoglikemia berat akan meningkatkan risiko gangguan kognitif
dan abnormalitas otak. Gejala kejang-kejang yang dialami akibat
hipoglikemia juga dapat dapat merubah dan merusak otak anak secara
struktural.
Oleh karena itu direkomendasikan untuk melakukan monitoring dan
pemeriksaan kadar glukosa darah yang lebih sering pada pasien diabetes
usia anak dan remaja untuk mendeteksi dengan cepat dan menurunkan
70
frekwensi hipoglikemia akibat pemberian terapi untuk mengatasi
hiperglikemianya.
71
Daftar Pustaka
1. Skyler SJ, Bergenstal R, Bonow OR, Buse J et al. Implications of the
ACCORD, ADVANCE,and VA Diabetes Trials. A position statement of
the American Diabetes Association and a scientific statement of the
American College of Cardiology Foundation and the American Heart
Association. Diab Care 2009; 32(1): 187-192.
2. Cryer PE. Hypoglycaemia: The limiting factor in the glycaemic
management of type I and type II diabetes. Diabetologia 2002; 45:
937–948.
3. The Diabetes Control and Complications Trial Research Group: The
effect of intensive treatment of diabetes on the development and
progression of long-term complications in insulin-dependent diabetes
mellitus. N Engl J Med 1993; 329: 977–986.
4. The United Kingdom Prospective Diabetes Study Research Group:
Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or insulin
compared with conventional treatment and risk of complications in
patients with type 2 diabetes. Lancet 1998; 352: 837-853.
5. Zammitt NN, Frier MB. Hypoglycemia in type 2 diabetes
pathophysiology, frequency, and effects of different treatment
modalities. Diab Care 2005; 28(12): 2948-2961.
6. Amiel SA, Dixon T, Mann R, Jameson K. Hypoglycaemia in type 2
diabetes. Diabet. Med 2008; 25: 245–254.
7. Kalra S, Mukherjee JJ, Venkataraman S et al. Hypoglycemia: The
neglected complications. IJEM 2013; 17: 820-834.
72
8. Canadian Diabetes Association (CDA). Hypoglycemia. Canadian
Diabetes Association Clinical Practice Guidelines Expert Committee.
Can J Diab 2013; 37: S69-S71
9. Shafiee G, Mohajeri-Tehrani M, Pajouhi M, Larijani B. The importance
of hypoglycemia in diabetic patients. J Diab Metab Disord 2012; 11:17
10. Morales J, Schneider D. Hypoglycemia. Am J Med 2014; 127: S17-
S24.
11. American Diabetes Association (ADA). Standard medical care 2017:
Glycemic targets. Diab Care 2017;40 (suppl.1): S48-S56.
12. United Kingdom Hypoglycaemia Study Group. Risk of hypoglycaemia
in types 1 and 2 diabetes: effects of treatment modalities and their
duration. Diabetologia 2007; 50: 1140–1147.
13. Abraira C, Colwell JA, Nuttall FQ, et al. Veterans Affairs Cooperative
Study on glycemic control and complications in type II diabetes (VA
CSDM). Results of the feasibility trial. Veterans Affairs Cooperative
Study in type II diabetes. Diab Care 1995;18:1113–1123.
14. MacLeod KM, Hepburn DA, Frier BM. Frequency and morbidity of
severe hypoglycaemia in insulin-treated diabetic patients. Diabet Med
1993;10:238–45.
15. Saleh M, Grunberger G. Hypoglycemia: An Excuse for Poor Glycemic
Control?. Clin Diabet 2001; 19(4): 161-167.
16. Cryer EP, Davis NS, Shamoon H. Hypoglycemia in diabetes. Diab Care
2003; 26:1902–1912.
73
17. Segel SA, Paramore DA, Cryer PE: Hypoglycemia- associated
autonomic failure in advanced type 2 diabetes. Diabetes 2002; 51:
724–733.
18. Banarer S, McGregor VP, Cryer PE. Intra islet hyperinsulinemia
prevents the glucagon response to hypoglycemia despite an intact
autonomic response. Diabetes 2002; 51:958–965.
19. Bolli GB, De Feo P, De Cosmo S et al. A reliable and reproducible test
for adequate glucose counterregulation in type 1 diabetes
mellitus.Diabetes 1984; 33:732–737.
20. American Diabetes Association. Defining and reporting hypoglycemia
in diabetes. A report from American Diabetes Association Workgroup
on hypoglycemia. Diab Care 2005; 28: 1245-1249.
21. Cryer PE: Iatrogenic hypoglycemia as a cause of hypoglycemia-
associated autonomic failure in IDDM: a vicious cycle. Diabetes 1992;
41:255–260.
22. Cryer EP. Seminal contributions to the understanding of hypoglycemia
and glucose counterregulation and the discovery of HAAF (Cryer
syndrome). Diab Care 2015; 38: 2193–2199.
23. Cryer PE. Diverse causes of hypoglycemia-associated autonomic
failure in diabetes. N Engl J Med 2004; 350:2272–2279.
24. Morales J, Schneider D. Hypoglycemia. Am J Med 2014; 127: S17-
S24
25. International Diabetes Federation, IDF Diabetes Atlas, 2012 Available
from http://www.idf.org/diabetesatlas/ 5e/Update 2012. Accessed 20
December 2012.
74
26. American Diabetes Association (ADA). Standard medical care 2017:
Pharmacologic Approaches to Glycemic Treatment. Diab Care 2017;40
(suppl.1): S64-S74.
27. Seaquist RE, Anderson J, Child B, Cryer P et al. Hypoglycemia and
diabetes: A Report of a Workgroup of the American Diabetes
Association and The Endocrine Society. Diab Care. 2013;36:1384-
1395.
28. Pham S, Pham T, Chilton R. Glycemic control in type 2 diabetes: The
tighter the better?. Clin Diab 2013; 31(1): 25-27.
29. Banarer S, Cryer PE. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Med Clin North
Am 2004; 88: 1107–1116.
30. Peacey SR, Rostami-Hodjegan A, George E et al. The use of
tolbutamide-induced hypoglycemia to examine the intraislet role of
insulin in mediating glucagon release in normal humans. J Clin
Endocrinol Metab 1997; 82: 1458–1461.
31. Nattrass M, Lauritzen T. Review of prandial glucose regulation with
repaglinide: a solution to the problem of hypoglycemia in the treatment
of type 2 diabetes?. Int J Obesity 2000; 24 (Suppl. 3): S21–S31.
32. Sotiropoulos A, Skliros EA, Tountas C et al. Risk factors for severe
hypoglycemia in type 2 diabetic patients admitted to hospital in Piraeus,
Greece. East Mediterr Health J 2005; 11: 485–489.
33. Noh RM, Graveling AJ, Frier BM. Medically minimizing the impact of
hypoglycemia in type 2 diabetes (review). Expert Opin Pharmacother
2011; 12: 2161-2175.
75
34. Tenzer-Iglesias P, Shannon MH. Managing hypoglycemia in primary
care. J Fam Practice 2012; 61(suppl 10): S1-S8.
35. Bennett WL, Maruthur NM, Singh S, et al. Comparative effectiveness
and safety of medications for type 2 diabetes: an update including new
drugs and 2-drug combinations. Ann Intern Med 2011; 154: 602–613.
36. Palmer SC, Mavridis D, Nicolucci A, et al. Comparison of clinical
outcomes and adverse events associated with glucose-lowering drugs
in patients with type 2 diabetes: a meta-analysis. JAMA 2016; 316:
313–324.
37. Vignesh JP, Mohan P. Hypoglycemia unawareness. J Assoc
Physicians India 2004; 52: 727-732
38. Kenny C. When hypoglycemia is not obvious: Diagnosing and treating
under-recognized and undisclosed hypoglycemia. Prim Care Diab
2014; 8: 3-14.
39. Davis MR, Shamoon H. Counterregulatory adaptation to recurrent
hypoglycemia in normal humans. J. Clin.Endocrinol. Metab 1991; 73:
995–1001.
40. Bolli GB, De Feo P, De Cosmo S et al. A reliable and reproducible test
for adequate glucose counterregulation in type I diabetes mellitus.
Diabetes 1984; 33: 732–737
41. Choudhary P, Amiel SA. Hypoglycemia: Current management and
controversies. J Postgrad Med 2011; 87: 298-306.
76
42. Ly TT, Maahs DM, Rewers A, Dunger D, Oduwole A, Jones TW.
ISPAD Clinical Practice Consensus Guidelines – Hypoglycemia:
Assessment and management of hypoglycemia in children and
adolescents with diabetes.Assessment and management of
hypoglycemia in children and adolescents with diabetes. Ped Diabetes
2014; 15: 180–192.
43. Juvenile Diabetes Research Foundation Continuous
GlucoseMonitoring Study Group. Prolonged nocturnal hypoglycemia is
common during 12 months of continuous glucose monitoring in children
and adults with type 1 diabetes. Diab Care 2010; 33: 1004–1008.
44. Buckingham B, Wilson DM, Lecher T, Hanas R, Kaiserman K,
Cameron F. Duration of nocturnal hypoglycemia before seizures. Diab
Care 2008; 31: 2110–2112.
45. Rybicka M, Krysiak R, Okopień B. The dawn phenomenon and the
Somogyi effect — two phenomena of morning hyperglycaemia. Pol J
Endocrinol 2011; 62 (3): 276–283
46. Neki NS, Jain A, Bajaj R et al. Somogyi effect in type 2 diabetes
mellitus: Case report. World J Pharm Med Research 2016; 2(2): 32-
33.
47. Brijesh M. Somogyi Effect in a Patient of Type 2 Diabetes Mellitus. J
Diab Metab 2015; 6: 493
48. Høi-Hansen T, Pedersen-Bjergaard U, Thorsteinsson B. The Somogyi
phenomenon revisited using continuous glucose monitoring in daily life.
Diabetologia 2005; 48: 2437–2438.
77
49. Waickus MC, de Bustros A, Shakil A. Recognizing Factitious
Hypoglycemia in the Family Practice Setting. J Am Board Fam Pract
1999;12:133-136.
50. Hirshberg B, Skarulis CM, Pucino F et al. Repaglinide-Induced
Factitious Hypoglycemia. J Clin Endoc Metab 2001; 86(2): 475-477.
51. Klonoff DC, Barrett BJ, Nolte MS et al. Hypoglycemia following
inadvertent and factitious sulfonylurea overdosages. Diab Care
1995;18: 563–567.
52. Briscoe JV, Davis NS. Hypoglycemia in type 1 and type 2 diabetes:
Pathophysiology, Physiology, and Management. Clin Diab 2006; 24:
115-121.
53. Evers IM, ter Braak EW, de Valk HW, et al: Risk indicators predictive
for severe hypoglycemia during the first trimester of type 1 diabetic
pregnancy. Diab Care 2002; 25: 554–559.
54. Nielsen LR, Pedersen-Bjergaard U, Thorsteinsson B, et al:
Hypoglycemia in pregnant women with type 1 diabetes: predictors and
role of metabolic control. Diab Care 2008; 31:9–14.
55. Robertson H, Pearson DW, Gold AE: Severe hypoglycaemia during
pregnancy in women with Type 1 diabetes is common and planning
pregnancy does not decrease the risk. Diabet Med 2009, 26:824–826.
56. Shafiee G, Mohajeri-Tehrani M, Pajouhi M, Larijani B. The importance
of hypoglycemia in diabetic patients. J of Diab Metab Disord 2012; 11:
1-7.
57. Alagiakrishnan K, Mereu L. Approach to managing hypoglycemia in
elderly patients with diabetes. Postgrad Med 2010; 122: 129–137.
78
58. Avila-Fematt FM, Montana-Alvarez M: Hypoglycemia in the elderly with
diabetes mellitus. Rev Invest Clin, 62:366–374.
59. Ly TT, Gallego PH, Davis EA, et al: Impaired awareness of
hypoglycemia in a population-based sample of children and
adolescents with type 1 diabetes. Diab Care 2009; 32: 1802–1806.
60. Ho MS, Weller NJ, Ives FJ, et al: Prevalence of structural central
nervous system abnormalities in early-onset type 1 diabetes mellitus. J
Pediatr 2008, 153:385–390.
78
Prevalensi hipoglikemia pada pasien non-diabetes relatif sangat rendah oleh
karena biasanya mekanisme counter regulatory respons (CRR) tidak
mengalami gangguan dan dapat bekerja efektif dalam mencegah terjadi
penurunan kadar glukosa darah yang terlalu rendah. Mekanisme tersebut
diantaranya penekanan terhadap sekresi insulin endogen pankreas dan
peningkatan sekresi glukagon, katekolamin/epinefrin dan hormon pertumbuhan
(growth hormone) (1,2).
Pada individu non-diabetes, gejala dan keluhan hipoglikemia akan terjadi pada
kisaran kadar glukosa darah sekitar 55 mg/dl. Ambang batas kadar glukosa
darah akan lebih rendah lagi pada pasien-pasien yang sudah mengalami
hipoglikemia berulang (3). Secara tradisional, hipoglikemia pada pasien non-
diabetes dibagi dua kelompok utama yaitu hipoglikemia puasa (post-
absorptive) dan hipoglikemia reaktif (postprandial). (Tabel 5.1)
Hipoglikemia reaktif tidak selalu harus disertai dengan adanya penyakit yang
mendasari karena dapat terjadi pada individu yang tubuhnya berespon sangat
sensitif terhadap sekresi epinefrin yang normal, sedangkan hipoglikemia post-
absorbtive biasanya merupakan akibat dari suatu penyakit.
Hipoglikemia yang terjadi pada saat puasa umumnya diinduksi oleh sel beta
pankreas yang menglami hiperplasi atau proses autoimun, hipofungsi dari
kelenjar adrenal dan hipofisis, menurunnya respon CRR, gagal ginjal tahap
akhir, gangguan fungsi hati, cadangan glikogen yang rendah dan adanya
hambatan dari proses glukoneogenesis (4)
79
Tabel 5.1. Hipoglikemia pada pasien non-diabetes (5)
Tipe
hipoglikemia Penyebab
Hipoglikemia
reaktif
(Post-prandial
hypoglycemia)
Menderita pre-diabetes atau berisiko untuk menjadi
diabetes oleh karena dapat menimbulkan masalah dalam
hal pengaturan jumlah insulin.
Operasi lambung, oleh karena dapat menyebabkan
makanan terlalu cepat melewati lambung menuju usus.
Defisiensi ensim pencernaan sehingga terjadi kesulitan
untuk memetabolisme makanan.
Hipoglikemia
puasa
(Fasting
hypoglycemia)
Obat-obatan tertentu seperti salisilat, derivat sulfa,
quinine.
Konsumsi alkohol dalam jumlah banyak
Penyakit berat dan kondisi kritis
Defisiensi hormon tertentu seperti glukagon, epinefrin,
GH dan kortisol
Tumor pancreas atau tumor-tumor lain yang dapat
menghasilkan insulin maupun senyawa yang menyerupai
IGF-II
Hipoglikemia
reaktif dan
Hipoglikemia
puasa
Penyebab eksogen:
- Diabetes yang diterapi dengan insulin
- Diabetes yang diterapi dengan anti diabetes oral
- Hipoglikemia factitia
Penyebab endogen
- Insulinoma
- Hiperinsulinemia hipoglikemia pada bayi
- Penyakit autoimmune
- Tumor extra pankreas
- Gangguan oksidasi asam lemak bebas
- Obat-obatan non-diabetes
80
A. Hipoglikemia reaktif
Hipoglikemia reaktif (post-prandial hypoglycemia/PPH) merupakan suatu
sindroma klinik dimana terjadi manifestasi hipoglikemia dalam jangka waktu
hingga 5 jam setelah makan. PPH dapat ditemukan pada individu yang
sehat dan juga dapat merupakan akibat sekunder dari pada beberapa
penyakit yang mendasarinya. (Tabel 5.1)
Terdapat 2 jenis hipoglikemia reaktif (post-prandial) yaitu (1,4):
1. Early phase, hipoglikemia yang terjadi dalam jangka waktu hingga 2 jam
setelah makan. Keadaan ini biasanya dijumpai pada penyakit-penyakit
yang menyebabkan terjadinya pengosongan lambung yang sangat
cepat, setelah pembedahan gastrektomi total maupun parsial, dan juga
setelah pembedahan bypass lambung. Pada keadaan-keadaan tersebut
akan terjadi peningkatan sekresi insulin secara sekunder dan juga akan
mengalami gangguan absorbsi glukosa di saluran cerna. Early phase
juga dapat terjadi pada pasien-pasien yang mengalami peningkatan
sesitivitas insulin, penurunan respon glukagon pada keadaan
hipoglikemia akut dan bila terdapat gangguan pada glucagon receptor
down regulation
2. Late phase adalah jenis hipoglikemia post prandial yang terjadi 3-5 jam
setelah makan. Ditemukan pada pasien pre-diabetes sekunder akibat
adanya peningkatan fase 2 sekresi insulin.
Salah contoh klasik dari hipoglikemia reaktif adalah hipoglikemia pada
pasien polycystic ovary syndrome (PCOS) . PCOS merupakan kelainan
81
endokrin yang paling sering ditemukan pada wanita pre-menopause.
Gejala-gejala PCOS adalah oligo/anovulasi dan polikistik pada ovarium dan
berkaitan erat dengan terjadinya obesitas, resistensi insulin dan kadar
insulin yang tinggi. Hiperinsulinemia pada wanita yang mengalami PCOS
merupakan mekanisme adaptasi terhadap resistensi insulin dan juga akibat
penurunan klirens insulin oleh hati.
Resitensi insulin akan mengganggu fase pertama sekresi insulin (1st phase
glucose stimulated insulin respons) dan akan dikompensasi oleh
peningkatan sekresi insulin fase kedua, hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya hipoglikemia reaktif pada pasien PCOS disebabkan oleh kadar
insulin yang terlalu tinggi (5).
B. Hipoglikemia puasa
Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu, penyakit
berat (kritis), kelainan ensim yang bersifat herediter dan mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, defisiensi hormonal dan beberapa jenis tumor
pada pankreas maupun tumor-tumor non-pankreas.
Penggunaan obat-obatan (insulin dan golongan sulfonilurea, serta obat-
obatan non-diabetes) merupakan penyebab tersering terjadinya
hipoglikemia pada pasien non-diabetes. Hipoglikemia juga dapat ditemukan
pada pasien-pasien kritis, sepsis dan penyakit-penyakit dengan tingkat
stres fisik yang berat, post pembedahan saluran cerna, tumor-tumor
pankreas, tumor non-pankreas, hiperinsulinisme dan adanya antibodi
terhadap insulin (1,6,7). (Gambar 5.1)
82
Gambar 5.1. Patomekanisme hipoglikemia pada berbagai keadaan.(1)
Tanda (+) menunjukkan penyebab dan tanda (-) menunjukkan tanda
mencegah terjadinya hipoglikemia. RYGB= Roux-en-Y gastric
bypass, NIPHS= Non-insulin oma pancreatogenous hypoglycemia
syndrome
C. Penyakit dan kelainan yang berkaitan dengan kejadian hipoglikemia
pada pasien non-diabetes
1. Insulinoma
Insulinoma bersama-sama dengan gastrinoma, VIPoma,
somatostatinoma dan PPoma merupakan tumor-tumor yang termasuk
dalam kelompok nesidioma atau lebih dikenal dengan tumor
neuroendokrin dari pankreas. Insulinoma merupakan tumor yang paling
banyak memproduksi insulin. Data dari penelitian epidemilogik yang
83
berbasis populasi menunjukkan prevalensi insulinoma mencapai 4 dari
seribu pasien pertahun (6)
Gejala utama dari insulinoma adalah hipoglikemia yang berulang akibat
terjadinya hipersekresi insulin yang diproduksi secara autonom oleh
adenoma atau mikro adenoma multipel pada sel beta pankreas.
Produksi insulin endogen yang berlebihan tidak dipengaruhi oleh kadar
glukosa darah oleh karena itu gejala dan keluhan klinik yang berkaitan
dengan hipoglikemia dapat terjadi kapanpun sepanjang hari. Gejala
dan keluhan yang timbul bervariasi, dapat berupa gejala autonomik
(adrenergik) maupun gejala neuroglikopenik bergantung pada berat
dan lamanya hipoglikemia (6,7).
Hipoglikemia berat dan berulang pada penderita insulinoma akan
sangat berbahaya bagi pasien oleh karena dapat menimbulkan
komplikasi akut seperti strok, infark miokard akut, aritmia jantung dan
bahkan kematian mendadak. Untuk jangka panjang hipoglikemia pada
pasien insulinoma dapat menyebabkan penurunan fungsi intelektual
dan fungsi kognitif.
Diagnosis insulinoma adalah berdasarkan gejala dan keluhan klinik
serta pemeriksaan laboratorium. Walaupun biasanya bersifat post-
prandial, namun hipoglikemia pada pasien insulinoma umumnya terjadi
dalam keadaan puasa, oleh karena itu pemeriksaan laboratorium
untuk diagnosis, konfirmasi maupun untuk mengetahui beratnya
penyakit biasanya dilakukan dalam keadaan puasa (6).
84
Pemeriksaan puasa untuk pasien insulinoma sebaiknya dilakukan
dirumah sakit dan pasien harus dirawat inap. Untuk mencegah
terjadinya hipoglikemia berat yang membahayakan jiwa pasien maka
dilakukan pemantauan dan pemeriksaan kadar glukosa darah secara
serial dan ketat, minimal setiap 4-6 jam sekali. Puasa harus segera
dihentikan pada saat mulai timbul keluhan dan gejala hipoglikemia
serta hasil pemeriksaan kadar glukosa darah terbukti rendah.
Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar glukosa darah,
kadar insulin dan kadar C-peptida terakhir dilakukan pada saat puasa
dihentikan. Diagnosis insulinoma dapat ditegakkan apabila didapatkan
hasil kadar glukosa darah rendah, sebaliknya kadar insulin dan C-
peptida tinggi (6,7,8).
Kadang dibutuhkan puasa hingga 72 jam, namun pada umumnya tes
puasa pada pasien dengan kecurigaan insulinoma dihentikan sebelum
mencapai waktu 24 jam.
Terapi utama dari insulinoma adalah pembedahan berupa eksplorasi
dan enukleasi tumor (6). Pada pasien yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan tindakan operasi (termasuk pembedahan laparoskop), maka
dapat dilakukan tindakan medik berupa pemberian obat-obatan seperti
diazoxide, somatostatin analog yang berkerja panjang (octreotide dan
lanreotide) atau tindakan ablasi tumor dengan etanol (6,8,9). Pasien
juga dianjurkan untuk meningkatkan frekwensi makan terutama pada
malam hari, namun hal ini dapat menjadi dilemma oleh karena secara
otomatis berat badan pasien akan mengalami peningkatan.
85
2. Post bariatric hypoglycemia
Tindakan pembedahan pada saluran cerna seperti Roux-en-Y gastric
bypass (RYGB) dan tindakan bypass pada daerah pylorus atau
pembedahan lain yang mengakibatkan perubahan fungsi saluran cerna
bagian atas dapat menimbulkan komplikasi hipoglikemia (Dumping
syndrome). Prevalensi hipoglikemia pada pasien post-RYGB tidak
diketahui dengan pasti, namun diperkirakan sekitar 0,2-1% pasien
post-RYGB akan mengalami hipoglikemia, wanita biasanya lebih
banyak dibanding dengan laki-laki. Waktu terjadinya hipoglikemia pada
pasien post pembedahan saluran cerna bagian atas bervariasi, namun
biasanya secara spesifik ditemukan segera setelah makan/
hipoglikemia post prandial atau hipoglikemia reaktif (1,10).
Terapi lini pertama pada hipoglikemia post pembedahan saluran cerna
adalah modifikasi diet, yaitu diet rendah karbohidrat. Bila modifikasi
diet tidak efektif mengatasi gejala-gejala hipoglikemia maka dapat
diberikan terapi medik yaitu pemberian alfa glukosidase inhibitor
(acarbose). Acarbose adalah golongan obat anti diabetes dengan
mekasisme kerja utama menurunkan kadar glukosa darah post
prandial dan insulin, namun obat ini jarang digunakan oleh karena
mempunyai beberapa efek samping yang tidak menyenangkan seperti
flatulen dan diare (9). Modalitas terapi lain yang dapat diberikan
adalah golongan somastotatin analog (octreotide dan lanreotide).
Golongan obat ini dapat menghambat sekresi insulin pankreas,
menurunkan motalitas usus, menyebabkan vasodilatasi arteri
86
splanchnicus dan pada akhirnya akan memperbaiki keluhan-keluhan
hipoglikemia post-prandial. Golongan obat lainnya adalah anti
hipertensi diazoxide, namun penelitian longitudinal untuk menilai efek
jangka panjang dari golongan obat ini belum ada (1,11).
Alternatif terapi untuk hipoglikemia post pembedahan saluran cerna
yang berat dan refrakter adalah tindakan operasi pankreatektomi
parsial (12).
3. Non-insulinoma pancreatogenous hypoglycemia syndrome
Non-insulinoma pancreatogenous hypoglycemia syndrome (NIPHS),
merupakan penyakit yang prevalensinya sangat jarang. Dikemukakan
pertama kali pada tahun 1999 oleh Service dan kawan-kawan (13).
Gejala-gejala dan manifestasi klinik mirip dengan hipoglikemia post-
RYGB yaitu hipoglikemia yang dialami setelah pasien makan (post-
absorptive/post prandial hypoglycemia), namun pada NIPHS tidak
didapatkan adanya riwayat operasi saluran cerna dan tidak didapatkan
adanya kelainan pada pemeriksaan visualisasi seperti pada
pemeriksaan USG trans abdominal, CT-scan abdomen, MRI, EUS dan
ultrasonografi intra operatif. Diagnosis NIPHS harus dipertimbangkan
bila ditemukan kejadian hipoglikemia akibat peningkatan insulin
endogen, tanpa adanya riwayat operasi saluran cerna dan tidak
didapatkan adanya kelainan pada pemeriksaan radiologi.
Diagnosis biasanya sulit dan membutuhkan uji rangsangan kalsium
pada arteri tertentu dan pengambilan sampel darah vena hepatikum
87
untuk melihat respons positif dari insulin pada berbagai pembuluh
darah yang berhubungan dengan organ pankreas (14).
Diaxozide, merupakan modalitas terapi yang telah diberikan pada
beberapa kasus hipoglikemia NIPHS. Pada kasus NIPHS yang berat
dan refrakter maka pilihan terapi utama yang direkomendasikan adalah
tindakan operasi pankreatektomi distal (1,15)
4. Insulin autoimmune hypoglycemia syndrome
Insulin autoimmune hypoglycemia syndrome (IAHS) sebagai salah satu
penyebab terjadinya hipoglikemia pertama kali dikemukakan oleh
Hirata pada tahun 1972. Karakteristik khas dari penyakit ini adalah
ditemukannya peningkatan kadar insulin yang disertai timbulnya
antibodi anti insulin (insulin autoimmune syndrome) atau anti-insulin
reseptor antibodi (tipe B insulin resisten) (3).
Hipoglikemia pada IAHS biasanya dapat sembuh sendiri (self limiting
diseases) dan secara klinik serta pemeriksaan biokimiawi gejalanya
menyerupai gambaran insulinoma, namun didapatkan adanya marker
antibodi insulin dan kadar insulin darah yang sangat tinggi, biasanya
melebihi 1000 pmol/l. Umumnya yang terkena adalah orang-orang Asia
dan biasanya ditemukan pada pasien-pasien yang memang sudah
terdiagnosis menderita penyakit autoimmun yang lain. IAHS
dihubungkan dengan HLA-DR 4 yang positif. Timbulnya antibodi pada
IAHS dapat dipicu oleh pemberian obat-obatan maupun infeksi virus.
Pada tahap awal antibodi tersebut akan terikat pada insulin dan
proinsulin, dan akan mengakibatkan terjadinya hiperglikemia.
88
Hiperglikemia selanjutnya akan merangsang sekresi insulin dan pada
waktu tertentu manakala kapasitas ikatan antibodi terhadap insulin dan
pro-insulin terlampaui maka akan terdapat sejumlah insulin yang
tidak terikat. Insulin yang bebas dari ikatan inilah yang pada akhirnya
akan menimbulkan hipoglikemia (16).
Modalitas utama untuk terapi hipoglikemia pada IAHS adalah
kortikosteroid. Pada kasus-kasus yang refrakter terhadap steroid maka
dapat diberikan modalitas terapi yang lain seperti pemberian
azathioprin, plasmapharesis, 6-mercaptopurine dan rituximab.
Rituximab dapat menekan antibodi insulin dan efek dari obat ini dapat
berlangsung hingga 3 tahun. Terapi pembedahan pankreas juga
dilaporkan dapat mengatasi hipoglikemia pada IAHS (16,17,18).
5. Idiopatic reactive hypoglycemia
Idiopatic reactive hypoglycemia (IRH) adalah hipoglikemia yang terjadi
segera setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak
karbohidrat dan juga makanan pengganti karbohidrat seperti sukrose.
Kadar glukosa darah turun hingga mencapai <54 mg/dl dalam waktu
1-2 jam setelah makan. Biasanya kadar glukosa darah post-prandial
lebih rendah dari kadar glukosa darah puasa. Berbeda dengan tipe
hipoglikemia post-prandial lainnya, pada IRH kejadian hipoglikemia
tanpa disertai dengan adanya kelainan atau penyakit yang lain.
Hipoglikemia pada IRH dihubungkan dengan respons insulin yang
berlebihan terhadap jumlah karbohidrat/glukosa yang dimakan
sehingga jumlah insulin yang disekresikan akan lebih meningkat dan
89
melebihi kebutuhan untuk mengontrol peningkatan kadar glukosa
akibat makan. Hiperglukagonemia basal dapat merubah regulasi
glukagon juga dianggap berperanan pada kejadian IRH.
Hiperglukagonemia pada keadaan puasa menunjukkan bahwa
cadangan glikogen hati rendah sehingga kemampuan glukagon untuk
menahan laju penurunan kadar glukosa darah bila terjadi
hiperinsulinemia akan berkurang (19,20,21).
Beberapa faktor lain yang diduga turut berperan pada kejadian IRH
diantaranya pengosongan lambung yang terlalu cepat, kurangnya
peningkatan hormon gastric inhibitory polypeptide (GIP) setelah
makan, dan adanya perubahan sekresi hormon-hormon yang
mempengaruhi motilitas saluran cerna seperti motilin dan bobesin
(20,21).
Beberapa jenis obat seperti metformin, diazoxide, alfa glukosidase
inhibitor, derivat thiozolidindion, somatostatin dan alfa bloker
(kolinergik) telah diujicobakan untuk mengatasi hipoglikemia pada
IRH, namun secara spesifik belum ada dari golongan obat-obatan
tersebut yang diindikasikan sebagai modalitas terapi pada pasien IRH.
Diet tinggi protein dalam jumlah yang sedikit, namun frekwensi yang
sering, serta diet rendah karbohidrat merupakan modalitas utama untuk
pencegahan dan terapi terjadinya hipoglikemia pada IRH, namun
bagaimana mekanisme pengaturan diet seperti ini dapat mengatasi
kejadian IRH belum diketahui dengan pasti (19).
90
6. Drug-induced hypoglycemia
Diperkirakan sekitar 3%-5% dari seluruh pasien yang dirawat dirumah
sakit adalah akibat hipoglikemia yang diinduksi oleh pemberian obat.
Beberapa golongan obat yang diberikan bukan untuk tujuan untuk
menurunkan kadar glukosa darah seperti guanine, disopiramide, beta
adrenoreseptor antagonis yang non-selektif seperti propranolol,
salisilat dan pentamidine dapat berimplikasi terhadap kadar glukosa
darah dan menjadi penyebab terjadinya hipoglikemia. (1).
Pada tahun 2009 Murad MH dkk (22) telah melakukan review secara
sistimatik terhadap laporan dari 448 hasil penelitian tentang kejadian
hipoglikemia yang tidak disebabkan oleh obat-obatan untuk terapi
hiperglikemia dan mendapatkan bahwa golongan quinolon,
pentamidine, quinine, beta bloker, ACE-Inhibitor dan IGF merupakan
golongan obat-obatan yang menjadi penyebab utama terjadinya
hipoglikemia.
Hipoglikemia yang diinduksi oleh pemberian obat merupakan
fenomena yang sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, baik untuk
pasien rawat jalan maupun untuk pasien yang dirawat inap dirumah
sakit. Oleh karena itu setiap menemukan pasien dengan gejala-gejala
hipoglikemia ataupun pasien dalam keadaan tidak sadar, maka harus
dilakukan anamnesis dan evaluasi yang teliti terhadap riwayat obat-
obatan yang telah diminum.
Faktor-faktor risiko yang dapat menjadi faktor predisposisi untuk
terjadinya hipoglikemia yang diinduksi oleh pemberian obat-obatan
91
adalah: pembatasan akses makanan, usia, penurunan fungsi ginjal dan
fungsi hati, riwayat konsumsi alkohol (alkohol dapat secara langsung
menyebabkan hipoglikemia dan juga secara tidak langsung dengan
menginduksi hipoglikemia pada pasien yang sementara
menggunakan obat-obatan tertentu). Polifarmasi juga dapat
menginduksi terjadinya hipoglikemia, jumlah pasien yang mengalami
hipoglikemia pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit terbukti
lebih tinggi pada pasien yang mendapat banyak jenis obat (multiple
medications) (23,24). (Tabel 5.2)
Tabel 5.2. Faktor risiko dan mekanisme terjadinya hipoglikemia akibat
pemberian obat
Faktor Risiko Mekanisme hipoglikemia
Usia lanjut Tingkat kewaspadaan (awareness) rendah
Penurunan respons CRR terhadap
hipoglikemia
Insufisiensi ginjal Bersihan (clearance) insulin menurun
Insufisiensi hati Penurunan gluconeogenesis
Menunda atau tidak
makan
Asupan glukosa kurang
Konsumsi alkohol
berlebihan
Penurunan gluconeogenesis
Polifarmasi Interaksi obat meningkat
Terapi untuk mengatasi hipoglikemia akibat pemberian obat adalah
segera menghentikan pemberian obat yang diduga menjadi penyebab
dan atasi keadaan hipoglikemia akut. Bila pasien dalam keadaan sadar
92
dan bisa makan, maka segera berikan makanan atau minuman yang
mengandung 15 gram glukosa. Bila terjadi hipoglikemia berat atau
pasien dalam keadaan tidak sadar, maka hipoglikemia dapat diatasi
dengan pemberian larutan dextrose 50% secara intravena atau
pemberian suntikan glukagon secara intramuskuler, dilanjutkan
infus dextrose 10% dengan kecepatan sekitar 100 ml/jam dan
dipertahankan selama beberapa jam untuk mempertahankan kadar
glukosa darah normal dan juga untuk mencegah terjadinya episode
hipoglikemia susulan (1).
Nama dan nama obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya
hipoglikemia akan dibahas secara lengkap pada bab VI.
7. Non-islet cell tumors
Hipoglikemia rekuren dapat dialami oleh penderita tumor-tumor solid asal
mesensimal, epithelial, hematopoetik dan asal neuroendokrin yang
menimbulkan efek paraneoplastik (21,22). Tumor-tumor yang secara
ektopik dapat menghasilkan insulin diantaranya adalah karsinoma bronkus,
squamous sel karsinoma cerviks, neurofibrosarkoma, shcwannoma,
paraganglioma dan tumor stromal saluran cerna (3).
Tumor-tumor tersebut baik yang jinak maupun yang maligna akan
mengekspresikan high molecular weight IGF2 (‘Big’ IGF2) yang
merupakan bentuk tidak komplit dari proses posttranslasional dari prekusor
IGF2. Struktur IGF2 menyerupai struktur insulin sehingga dapat
merangsang reseptor insulin. Apabila big IGF2 tersebut terikat pada
93
reseptor insulin dan reseptor IGF dijaringan perifer, maka akan
menyebabkan terjadinya penurunan produksi glukosa pada hati dan
peningkatan ambilan (uptake) glukosa dari sirkulasi darah oleh otot dan
jaringan lemak dan pada akhirnya akan mengakibatkan hipoglikemia.
Karakteristik hipoglikemia pada pasien non-islet tumor adalah bersifat
postprandial/postabsorptive hipoglikemia, hipoinsulinemia, kadar insulin
dan C-peptida yang rendah, kadar growth hormon dan beta-hydroxibutirat
juga rendah. (1,26,27)
Laporan dari beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa tumor-tumor
non-islet secara langsung dapat memproduksi insulin berdasarkan temuan
adanya mRNA dari pro insulin dan protein insulin didalam sel tumor
tersebut (3).
Mekanisme terjadinya hipoglikemia pada pasien-pasien non-islet tumor
juga dapat dimediasi oleh infiltrasi tumor ke hati yang secara langsung
dapat menurunkan produksi glukosa hati (1).
Penanganan hipoglikemia akibat non-islet tumor tidak berbeda dengan
penanganan kasus-kasus hipoglikemia yang lain, termasuk pemberian
dextrose secara intravena dan suntikan glukagon intramuskuler bila terjadi
hipoglikemia berat.
Pasien biasanya dianjurkan untuk makan lebih sering termasuk pemberian
makanan selingan (snack) yang mengandung banyak karbohidrat (28).
94
Dapat dicoba terapi konservatif dengan pemberian growth hormone
sintetik, kortikosteroid, imatinibe, maupun diazoxide namun tingkat
keberhasilan terapi biasanya rendah. Terapi terbaik adalah dengan
menghilangkan tumor baik melalui tindakan operasi, pemberian
kemoterapi dan radioterapi. Kesembuhan sempurna akan diperoleh apabila
dilakukan tindakan reseksi tumor secara komplit (28,29,30).
8. Sepsis and hypoglycemia
Pasien yang dirawat dirumah sakit oleh karena penyakit berat dan dalam
keadaan kritis memiliki kecenderungan untuk mengalami hipoglikemia,
bahkan hipoglikemia dianggap sebagai bagian dari kondisi kritis tersebut
(1). Terjadinya hipoglikemia pada pasien kritis dihubungkan dengan
peningkatan angka mortalitas dan risiko kematian penderitanya.
Kondisi kritis akan meningkatkan stres fisik, cadangan glikogen akan
menurun, gangguan glukoneogenesis dan peningkatan ambilan glukosa
darah dijaringan perifer. Hal-hal tersebut dapat menjadi pemicu dan
faktor predisposisi untuk terjadinya hipoglikemia. Kondisi kritis juga akan
menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal oleh berbagai sebab,
termasuk akibat pemberian obat-obatan tertentu seperti etomidate yang
dapat mengganggu sintesis dan sekresi hormon kortikosteroid. Pasien kritis
yang mengalami sepsis atau kadar tombosit darah rendah
(trombositopenia) akan berisiko untuk mengalami infark atau perdarahan
bilateral dari kelenjar adrenal yang mengakibatkan terjadinya insufisiensi
adrenal (30,31,32).
95
9. Hypoglycemia in adrenal insufficiency
Kortisol yang diproduksi oleh kelenjar adrenal berperan sangat penting
dalam mekanisme counter regulatory respons (CRR) untuk proteksi dan
pencegahan hipoglikemia. Kortisol dapat mengganggu signal insulin,
meningkatkan glukoneogenesis, lipolisis, ketogenesis, proteolisis dan
menurunkan ambilan glukosa di jaringan perifer (meningkatkan resistensi
insulin). Hipoglikemia dapat terjadi akibat penghentian secara tiba-tiba
pemberian kortisol oleh karena menyebabkan terjadinya peningkatan
sensitivitas insulin pada jaringan perifer, meningkatkan oksigenasi glukosa
dan menurunkan produksi glukosa endogen secara mendadak.
Pada negara-negara berkembang, penyebab utama insufisiensi adrenal
primer adalah penyakit autoimun dan infeksi (tuberculosis) pada kelenjar
adrenal. Penyebab lain diantaranya perdarahan dan infark adrenal.
Insufisiensi adrenal juga dapat terjadi pada penyakit-penyakit yang
mengenai kelenjar hipofisis dan hipotalamus dan menyebabkan terjadinya
insufisiensi adrenal sekunder dan tersier (1,33,34,35).
Hipoglikemia lebih sering ditemukan pada pasien insufisensi adrenal
sekunder dan juga pada anak-anak yang menderita hipopituarisme
sedangkan untuk pasien insufisiensi adrenal primer (Addison’s disease)
kejadian hipoglikemia relatif lebih jarang.
Penanganan pasien insufisiensi adrenal adalah dengan mengatasi penyakit
yang mendasari. Terapi hipoglikemia pada pasien insufisiensi adrenal
adalah dengan pemberian kortikosteriod oral dengan dosis yang fisiologik
dan diberikan dalam dosis terbagi 2-3 kali sehari.
96
Bila terjadi insufisiensi adrenal yang berat (krisis adrenal) maka dapat
diberikan injeksi hidrokortison dosis tinggi secara intravena dan koreksi
dengan cepat hipoglikemia dengan pemberian dextrose secara intravena
(34,35,36,37).
Pada pasien-pasien yang membutuhkan terapi kortikosteroid untuk jangka
yang lama, maka penghentian obat harus dilakukan secara perlahan-lahan
(tapering off) untuk menghindari terganggunya sistim simpato-adrenal.
10. Ketotic hypoglycemia
Ketotic hypoglycemia (KH) merupakan penyebab utama kadar glukosa
darah yang rendah pada usia anak-anak. KH diawali dengan episode
hipoglikemia berulang pada pagi hari terutama pada anak usia 2-3 tahun
dan pada umumnya akan menghilang dengan spontan setelah anak
mencapai usia 8-9 tahun. Karakteristik khas KH adalah adanya riwayat
muntah-muntah pada waktu malam sebelumnya yang dilaporkan oleh
orang tua pasien (38).
Hipoglikemia biasanya terjadi apabila pasien mengalami kekambuhan dari
penyakit tertentu yang dapat menurunkan nafsu makan atau
menyebabkan asupan makanan terbatas.
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada saat episode
hipoglikemia dialami akan didapatkan peningkatan kadar keton dalam
urine dan darah, kadar insulin plasma yang rendah (<2 mlU/l) serta kadar
asam lemak bebas (free fatty acids) yang tinggi. Kadar plasma alanin
puasa sangat rendah dan apabila diberikan infus alanine maka
akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat, namun tidak
97
disertai dengan perubahan kadar laktat dan piruvat. Alanin adalah asam
amino utama yang menjadi prekusor proses glukoneogenesis. Alanin
diproduksi oleh otot pada saat terjadi pengurangan asupan kalori. Anak-
anak yang menderita KH biasanya lebih kecil bila dibandingkan dengan
ukuran tubuh anak-anak seusianya. Massa otot yang mengecil pada
pasien KH menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan suplai substrat
untuk proses glukoneogenesis (39).
Diagnosis KH baru dapat ditegakkan setelah penyebab hipoglikemia
berulang yang lain dapat disingkirkan oleh karena hipoglikemia yang
disertai ketosis juga dapat ditemukan pada pasien-pasien defisiensi
hormon, gangguan proses glukoneogenesis dan gangguan metabolisme
glikogen (38,40).
Untuk mencegah KH, maka dianjurkan untuk pemberian makanan yang
mengandung karbohidrat tinggi sesering mungkin dan asupan makanan
jangan terhenti lebih dari 12 jam.
Pada saat menderita penyakit tertentu (demam tinggi dan muntah-muntah)
maka orang tua dianjurkan untuk memeriksa benda-benda keton dalam
urine (menggunakan urine dipstick) secara berulang-ulang. Bila terjadi
ketonuria maka segera berikan minuman yang mengandung karbohidrat
tinggi. Bila pasien muntah-muntah hebat sehingga tidak memungkinkan
pemberian karbohidrat secara oral, maka segera rujuk ke rumah sakit
untuk mendapatkan pemberian glukosa secara intravena (38,40).
98
11. Persistent hyperinsulinemic hypoglycemia
(Neonatal hypoglycemia)
Persistent hyperinsulinemic hypoglycemia of infancy (PHHI) merupakan
penyebab hipoglikemia yang paling sering ditemukan pada masa neonatus.
Hipersekresi insulin pankreas dianggap bertanggung jawab terhadap
terjadinya hipoglikemia yang sangat berat yang memerlukan terapi yang
sangat agresif untuk mencegah komplikasi kerusakan otak yang berat dan
permanen. Kadar glukosa darah neonatus sangat rendah (<18 mg/dl) pada
saat diagnosis pertama kali ditegakkan.
Hipoglikemia akan dialami pada saat puasa maupun post-prandial dan
bersifat permanen. Insiden PHHI adalah sekitar 1 dari 50.000 kelahiran
hidup pertahun, namun pada negara-negara dimana banyak terjadi
perkawinan sedarah insiden PPHI cukup tinggi yaitu sekitar 1/2500
kelahiran hidup pertahun (41,42).
Biasanya akan dialami oleh bayi-bayi dengan berat badan lebih
(macrosomic baby />3,7 kg), gejala-gejala hipoglikemia berat akan terjadi
dalam 72 jam pasca kelahiran dan dapat disertai dengan kejang-kejang dan
kerusakan otak permanen. Gejala lain yang dapat timbul diantaranya
hipotonia, tremor dan gerakan-gerakan abnormal lainnya, sianosis dan
hipotermia.
Retriksi diet protein dan leusin diharapkan dapat memperbaiki kadar
glukosa darah. Terapi dengan pemberian glukosa oral melalui sonde
lambung dapat dicoba untuk mempertahankan kadar glukosa darah atau
dapat diberikan infus glukosa dengan dosis 12-13 mg/menit atau injeksi
glukagon secara subkutan dengan dosis 1-2 mg/hari bila pemberian infus
99
glukosa tidak memuaskan. Pada saat yang bersamaan terapi spesifik harus
segera diberikan berupa diaxozide 15 mg/kg berat badan/hari dalam dosis
terbagi (3 kali sehari).
Pada pasien yang resisten dengan diaxozide, maka dapat dicoba
pemberian octreotide sebelum dilakukan pembedahan. Dosis octreotide
bervariasi dari 3-15 µg/hari hingga 60 µg/hari dan diberikan sebanyak 3-4
kali suntikan subkutan perhari.
Bila pengaturan diet dan pemberian terapi medik tidak berhasil mengatasi
hipoglikemia maka dapat dilakukan tindakan pembedahan dengan
melakukan reseksi pankreas hingga 95%, namun tindakan pembedahan
yang massif akan berisiko untuk terjadinya diabetes dikemudian hari (43).
D. Diagnosis hipoglikemia pada pasien non-diabetes
Pada pasien hipoglikemia yang tidak terdapat riwayat diabetes melitus,
maka harus dilakukan evaluasi untuk menetapkan etiologi pasti dari
berbagai kemungkinan penyebab hipoglikemia tersebut. Evaluasi awal
dilakukan dengan melihat penampilan pasien, apakah nampak sehat atau
nampak sakit.
Bila penampilan pasien nampak sehat maka difikirkan penyebab adalah
hiperinsulisme (insulinoma), gangguan fungsi sel beta pankreas, insulin
autoimmun, hipoglikemia akibat kecelakaan (accidental), penyalahgunaan
obat dan juga hipoglikemia factitious. Sedangkan bila penampilan pasien
nampak sakit, maka difikirkan penyebab hipoglikemia adalah defisiensi
hormon, tumor-tumor non-islet, kondisi penyakit kritis atau pasien
sementara dalam pengobatan suatu penyakit.
100
Hipoglikemia artifactual juga dapat menjadi salah satu penyebab
hipoglikemia bila terdapat kesalahan dalam perlakuan sampel darah yang
diperiksa (zat antiglycolityc pada tabung penampungan darah kurang) atau
terjadi keterlambatan proses pemeriksaan dari sampel darah. (4,44,45,46).
(Gambar 5.2)
Gambar 5.2. Pendekatan diagnostik pada pasien hipoglikemia non-diabetes
(46)
101
Daftar Pustaka
1. Kittah EN, Vella A. Management of endocrine disease. Pathogenesis
and management of hypoglycemia. Eur J Endocrinol 2017; 177:
R37–R47.
2. McCrimon JR. Counterregulatory Deficiencies in diabetes. In
Hypoglycaemia in Clinical Diabetes. Frier MB, Heller RS, McCrimmon
JR(eds). 3rd Ed. 47-62, 2014.
3. Iglesias P, Dı´ez JJ. A clinical update on tumor-induced hypoglycemia.
Eur J Endocrinol 2014; 170: R147–R157.
4. Cryer EP, Axelrod L, Grossman BA, Heller RS et al. Evaluation and
Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society
Clinical Practice Guideline. J Clin Endocrinol Metab 2009;94: 709–728.
5. Mumm H, Altinok LM, Henriksen EJ et al. Prevalence and possible
mechanisms of reactive hypoglycemia in polycystic ovary syndrome.
Human Reproduct 2016; 31(5): 1105–1112.
6. Skrha J, Duskova J, Svab J et al. Insulinoma – Diagnosis and
Treatment. In Hypoglycemia, Causes and Occurrences. Rigobelo
CE(ed). InTech Org; 151-172, 2011
7. Service FJ, McMahon MM, O’Brien PC, Ballard DJ. Functioning
insulinoma – incidence, recurrence, and long-term survival of patients:
a 60-year study. Mayo Clinic Proc 1991; 66: 711–719.
8. Grant CS. Insulinoma. Best Practice and Research. Clin Gastroenterol
2005; 19: 783–798.
102
9. Levy MJ, Thompson GB, Topazian MD, Callstrom MR, Grant CS, Vella
A. US-guided ethanol ablation of insulinomas: a new treatment option.
Gastrointest Endosc 2012; 75: 200–206.
10. Marsk R, Jonas E, Rasmussen F,Naslund E. Nationwide cohort study
of post-gastric bypass hypoglycaemia including 5040 patients
undergoing surgery for obesity in 1986–2006 in Sweden. Diabetologia
2010; 53: 2307–2311.
11. Gonzalez-Gonzalez A, Delgado M & Fraga-Fuentes MD. Use of
diazoxide in management of severe postprandial hypoglycemia in
patient after Roux-en-Y gastric bypass. Surg for Obes Related Dis
2013; 9: e18–e19.
12. Mathavan VK, Arregui M, Davis C, Singh K, Patel A & Meacham J.
Management of postgastric bypass noninsulinoma pancreatogenous
hypoglycemia. Surg Endosc 2010; 24: 2547–2555.
13. Service FJ, Natt N, Thompson GB, Grant CS, van Heerden JA,
Andrews JC, Lorenz E, Terzic A & Lloyd RV. Noninsulinoma
pancreatogenous hypoglycemia: a novel syndrome of hyperinsulinemic
hypoglycemia in adults independent of mutations in Kir6.2 and SUR1
genes. J Clin Endocr Metab 1999; 84: 1582–1589.
14. Won JG, Tseng HS, Yang AH, Tang KT, Jap TS, Lee CH, Lin HD,
Burcus N, Pittenger G & Vinik A. Clinical features and morphological
characterization of 10 patients with non-insulinoma pancreatogenous
hypo- glycaemia syndrome (NIPHS). Clin Endocrinol 2006; 65: 566–
578.
103
15. Thompson GB, Service FJ, Andrews JC, Lloyd RV, Natt N, van
Heerden JA & Grant CS. Noninsulinoma pancreatogenous
hypoglycemia syndrome: an update in 10 surgically treated patients.
Surgery 2000; 128: 937–944.
16. Hirata Y & Ishizu H. Elevated insulin-binding capacity of serum proteins
in a case with spontaneous hypoglycemia and mild diabetes not treated
with insulin. Tohoku J Exp Med 1972; 107: 277–286.
17. Saxon DR, McDermott MT & Michels AW. Novel management of
insulin autoimmune syndrome with rituximab and continuous glucose
monitoring. J Clin Endocrinol Metab 2016; 101: 1931–1934.
18. Yu L, Herold K, Krause-Steinrauf H, McGee PL et al. Rituximab
selectively suppresses specific islet antibodies. Diabetes 2011; 60:
2560–2565.
19. Prakash K, Kabadi M, Kabadi MU. Idiopathic reactive hypoglycemia:
Mechanisms of onset and remission with high protein low carbohydrate
diet. Open J Endocr Metab Dis 2015; 5: 117-123.
20. Hizuka N, Fukuda I, Takano K et al. Serum insulin-like growth factor II
in 44 patients with non-islet cell tumor hypoglycemia. Endocrine J
1998; 45: S61-S65.
21. Middleton S.J, Balan K. Post-prandial reactive hypoglycaemia and
diarrhea caused by Idiopathic Accelerated Gastric Emptying: A Case
Report. J of Med Case Reports 2011; 5: 177.
22. Murad MH, Coto-Yglesias F, Wang AT et al. Clinical review: drug-
induced hypoglycemia: a systematic review. J Clin Endocrinol and
Metab 2009; 94: 741–745.
104
23. Seltzer HS. Drug-induced hypoglycemia. A review of 1418 cases. Endocrinol
Metabol Clin of North Am 1989; 18: 163–183.
24. Fischer KF, Lees JA, Newman JH. Hypoglycemia in hospitalized
patients. Causes and outcomes. N Engl J Med 1986; 315: 1245–1250.
25. Rose MG, Tallini G, Pollak J, Murren J. Malignant hypoglycemia associated
with a large mesenchymal tumor: case report and review of the literature.
Cancer J from Scientific Am 1999 5 48–51.
26. Escobar GA, Robinson WA, Nydam TL et al. Severe paraneoplastic
hypoglycemia in a patient with a gastrointestinal stromal tumor with an
exon 9 mutation: a case report. BMC Cancer 2007; 7: 13.
27. Hoff AO, Vassilopoulou-Sellin R. The role of glucagon administration in the
diagnosis and treatment of patients with tumor hypoglycemia. Cancer 1998;
82:1585–1592.
28. Bodnar TW, Acevedo MJ, Pietropaolo M. Management of non-islet-cell tumor
hypoglycemia: a clinical review. J Clin Endocrinol Metab 2014; 99: 713–722.
29. De Boer J, Jager PL, Wiggers T et al. The therapeutic challenge of a
nonresectable solitary fibrous tumor in a hypoglycemic patient. Int J Clin Onc
2006; 11: 478–481.
30. Krinsley JS, Grover A. Severe hypoglycemia in critically ill patients: risk
factors and outcomes. Crit Care Med 2007; 35: 2262–2267.
31. Vella A, Nippoldt TB, Morris JC. Adrenal hemorrhage: a 25-year experience
at the Mayo Clinic. Mayo Clin Proc 2001; 76: 161–168.
32. Hermanides J, Bosman RJ, Vriesendorp TM et al. Hypoglycemia is
associated with intensive care unit mortality. Crit Care Med 2010; 38:
1430–1434.
105
33. Bornstein SR. Predisposing factors for adrenal insufficiency. N Engl J
Med 2009; 360: 2328–2339.
34. Vella A, Nippoldt TB, Morris JC. Adrenal hemorrhage: a 25-year experience
at the Mayo Clinic. Mayo Clinic Proc 2001; 76: 161–168.
35. Krinsley JS, Grover A. Severe hypoglycemia in critically ill patients: risk
factors and outcomes. Crit Care Med 2007; 35: 2262–2267.
36. Kong MF, Jeffcoate W. Eighty-six cases of Addison’s disease. Clin
Endocrinol 1994; 41: 757–761.
37. Ciljakova M, Jesenak M, Brndiarova M, Banovcin P. Management
approach to hypoglycemia. In Diabetes - Damages and Treatments.
Rigobelo E (ed). InTech Publisher Croatia; 1-26: 2011.
38. Langdon DR, Stanley CA, Sperling MA. Hypoglycemia in the infant
and child. In: Pediatric endocrinology. Sperling M.A (ed).Philadelphia,
Saunders Elsevier, 3rd edition, 889, 422-443, 2008.
39. Stanley CA. Parsing ketotic hypoglycaemia. Arch Dis Child 2006;
91(6): 460-461.
40. Stanley CA. Hyperinsulinism in infant and children. Pediatr Clin North
Am 1997; 44: 363-374.
41. Bruining GJ. Recent advances in hyperinsulinism and the pathogenesis
of diabetes mellitus. Curr Opin Pediat 1990; 2: 758-765.
42. de Lonlay P. Persisten hyperinsulinemic hypoglycemia. Orphanet
encyclopedia, june 2003.http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-
PHHI.pdf
43. Servise JF. Hypoglycemic disorders. N Engl J Med 1995; 332(17):
1144-1152.
106
44. Nirantharakumar K, Marshall T, Hodson J et al. Hypoglycemia in non-
diabetic In-Patients: Clinical or criminal?. Plos One 2012; 7(7): e40384.
45. Ng LC. Hypoglicemia in non-diabetic patients. An evidence based
approach. Austr Fam Physic 2010; 39(6): 399-404.
107
Hipoglikemia dapat terjadi sebagai akibat komplikasi dari pemberian obat dan
berpotensi untuk memperburuk angka morbiditas dan mortalitas pasien. Obat-
obatan yang paling sering menimbulkan hipoglikemia adalah insulin dan obat
anti diabetes oral terutama golongan obat yang merangsang peningkatan
sekresi insulin (sulfonilurea dan meglitinide). Beberapa golongan obat tertentu
yang tidak termasuk sebagai obat anti diabetes juga dilaporkan dapat
menimbulkan risiko hipoglikemia oleh karena dapat mengganggu proses
metabolisme glukosa yang normal (1).
A. Hipoglikemia imbas obat anti diabetes
Diabetes melitus merupakan kelompok penyakit yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah melebihi kadar normal (hiperglikemia)
untuk jangka waktu yang lama. Diabetes bersifat progresif dan
membutuhkan terapi farmakologi berbagai macam obat untuk mengontrol
kadar glukosa darah sehingga komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler
dari diabetes dapat dicegah.
Obat-obatan tersebut dapat diberikan secara monoterapi maupun kombinasi
antara 2-3 macam obat anti diabetes oral maupun suntikan insulin. Namun
terapi farmakologik untuk mencapai target glikemik yang diinginkan justru
dapat menimbulkan risiko terjadinya hipoglikemia yang membahayakan bagi
pasien diabetes, meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas serta
memperburuk prognosis (2). (Gambar 6.1)
108
Gambar 6.1. Obat-obat anti diabetes.(2)
GLP1= glucagon-like peptide-1, SGLT2i= sodium-glucose
co-transporter-2 inhibitor, SU=sulfonylurea (2)
Hipoglikemia yang diinduksi oleh obat dapat terjadi bila pemberian terapi
diabetes yang tidak tepat, menunda atau tidak makan, olah raga yang
berlebihan dan overdosis obat.
Saat ini terdapat 6 jenis obat anti diabetes oral dan dua jenis obat injeksi
yang dapat digunakan sebagai modalitas terapi untuk pasien diabetes
melitus. Pemilihan obat yang digunakan pada pasien diabetes dapat
berbeda-beda pada masing-masing pasien tergantung pada kondisi dan
adanya penyakit ko-morbid. Pertimbangan utama dalam pemilihan obat
adalah keseimbangan antara efektitas dari obat-obatan tersebut dalam
109
pencapaian target glikemik yang diinginkan dengan risiko timbulnya
hipoglikemia.
Penyebab hipoglikemia akut pada pasien diabetes melitus adalah obat anti
diabetes itu sendiri, terutama insulin dan insulin analog serta obat anti
diabetes (OAD) oral. Prevelansi hipoglikemia akibat pemberian obat anti
diabetes sulit diketahui oleh karena banyak kejadian hipoglikemia pada
pasien diabetes melitus tidak disadari oleh pasien dan tidak dilaporkan,
terutama pada hipoglikemia ringan dan sedang atau yang terjadi pada
malam hari.
Hipoglikemia berat yang memerlukan bantuan orang lain untuk memberikan
pertolongan atau pasien tidak sadar dan memerlukan perawatan dirumah
sakit diperkirakan akan dialami oleh sekitar 10% pertahun pada pasien yang
mendapat terapi insulin dengan angka kematian sekitar 2-4%.
Beberapa keadaan yang menjadi faktor risiko hipoglikemia akibat
pemberian obat anti diabetes diantaranya adalah adanya faktor ko-morbid
seperti penurunan fungsi ginjal yang dapat berakibat penurunan klirens
obat. Usia lanjut juga menjadi faktor risiko utama oleh karena terjadi
penurunan fungsi kognitif, pemberian obat secara polifarmasi dengan risiko
interaksi obat yang tinggi dan adanya faktor ko-morbid. Hipoglikemia juga
sering ditemukan pada pasien yang mengalami hipoglikemia unawareness
dan adanya defektif pada sistim counter regulatory respons (CRR) (3).
110
1. Metformin
Metformin merupakan satu-satunya obat dari golongan biguanide yang
tersedia. Digunakan sejak tahun 1960-an dan saat ini merupakan pilihan
obat lini pertama pada pasien DM tipe 2. Mekanisme kerja metformin
adalah dengan menekan proses glukoneogenesis pada hati dan
meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan perifer namun tidak
meningkatkan sekresi insulin pankreas. Berdasarkan mekanisme kerja
tersebut maka metformin merupakan obat anti diabetes yang jarang
menyebabkan hipoglikemia (2).
Pada pasien diabetes yang mendapat terapi pengaturan gaya hidup
sehat dan insulin sensitizer maka risiko hipoglikemia dapat diabaikan.
Laporan dari UKPDS 73 (United Kingdom Prospective Diabetes Study)
mendapatkan risiko hipoglikemia pada pasien yang mendapat
monoterapi metformin hanya sebesar 0,3 % selama periode 6 tahun
penelitian (4).
2. Thiozolidinedione (TZD)/peroxisome proliferator-activated receptor
gamma-agonist
Derivat TZD (pioglitazone dan rosiglitazone) bekerja langsung pada
tingkat seluler dengan meningkatkan sensitivitas insulin endogen pada
hati dan jaringan otot. Obat ini efektif dalam mengontrol kadar glukosa
darah pada pasien diabetes melitus yang peningkatan kadar glukosa
darahnya secara patofisilogi didominasi oleh terjadinya resistensi
insulin. Oleh karena tidak mempengaruhi sekresi insulin pankreas,
maka risiko hipoglikemia dari obat ini sangat rendah kecuali bila
111
digunakan sebagai terapi kombinasi dengan sulfonilurea atau insulin
(2).
ADOPT Study mendapatkan hipoglikemia akan dialami oleh sekitar
10% pada pasien yang mendapat terapi insulin sensitizer (metformin
dan rosiglitazone) selama 5 tahun periode penelitian dan hipoglikemia
berat hanya akan dialami oleh sangat sedikit pasien (0,1%) (5).
Risiko hipoglikemia yang mendapat terapi insulin sensitizer akan
mengalami peningkatan bila diberikan secara kombinasi dengan insulin
atau sulfonilurea. Hasil penelitian dari PROactive Trial (PROspective
pioglitazone Clinical Trial In macrovascular Events) menunjukkan
bahwa hipoglikemi akan akan lebih tinggi bila pemberian pioglitazone
dikombinasi dengan insulin atau sulfonilurea bila dibandingkan dengan
plasebo (28% vs 20%) (6).
3. Sulfonilurea dan insulin secretogouge lainnya
Obat-obatan dengan mekanisme kerja merangsang sekresi insulin
pankreas seperti sulfonilurea dan meglitinide (repaglinide dan
nateglinide) dapat menimbulkan efek samping hipoglikemia oleh karena
golongan obat ini akan merangsang sel beta pankreas (insulin
secretogouge) secara terus menerus walaupun kadar glukosa darah
sudah rendah.
Selama 10 tahun pertama penelitian UKPDS didapatkan insiden
hipoglikemia dialami sekitar 18% pertahun pada pasien DM tipe 2 yang
mendapat terapi glibenclamid (7).
112
Obat ini akan terikat pada reseptornya yang terletak pada pada
permukaan memban sel beta pankreas (ATP-dependent K+channel).
Ikatan tersebut menyebabkan pori (channel) kalium akan tertutup dan
juga menyebabkan depolarisasi yang akan membuka pori kalsium (Ca)
sehingga kalsium akan masuk kedalam sel. Masuknya kalsium ke
dalam sel akan mendorong granula insulin keluar dari sel dan pada
akhirnya sekresi insulin akan mengalami peningkatan.
Pemberian terapi dengan golongan sulfonilurea generasi yang lebih
baru seperti glimepiride, gliclazide dan glipizide dilaporkan mempunyai
risiko hipoglikemia yang lebih rendah bila dibandingkan dengan
glibenclamid dan chlorpropamide. Hal ini disebabkan oleh karena
golongan obat sulfonilurea generasi yang lebih baru dan juga golongan
meglitinide, mempunyai efek-efek extra pankreatik yang
menguntungkan seperti peningkatan sensitivitas insulin diperifer
(glimepiride), dosisnya yang lebih rendah (glipizid dan glimepiride) dan
durasi kerja yang lebih pendek (meglitinid) (8,9,10,11).
4. Gliptin/ Dipeptidil Peptidase 4 (DPP 4) Inhibitor
Mekanisme kerja golongan gliptin adalah dengan menghambat kerja
dari Dipeptidil Peptidase 4 (DPP 4). DPP4 adalah suatu ensim yang
memetabolisme dengan cepat hormon GLP-1 yang merupakan hormon
yang akan segera dikeluarkan oleh usus guna merespon karbohidrat
yang dimakan. GLP-1 sendiri berguna untuk mengontrol peningkatan
kadar glukosa darah pada saat makan melalui efeknya terhadap kerja
113
pankreas, yaitu merangsang sel beta untuk mengsekresikan insulin dan
menekan sel alfa untuk tidak mengeluarkan glukagon.
Saat ini terdapat 5 jenis obat gliptin yang telah digunakan sebagai
modalitas terapi untuk pasien diabetes yaitu: vildagliptin, sitagliptin,
saxagliptin, linagliptin dan allogliptin. Oleh karena mekanisme kerja obat
ini adalah berdasarkan kadar glukosa dalam darah, maka risiko
hipoglikemia pada pemberian obat ini rendah (2).
5. Glucagon-Like Peptide-1 Receptor Agonists (GLP-1 RA)
Mekanisme kerja dari GLP-1 RA mirip dengan golongan gliptin yaitu
merangsang sekresi insulin sel beta pankreas dan menekan sekresi
glukagon pada sel alfa, namun mekanisme kerja tersebut tidak
melalui blokade terhadap ensim DPP4, melainkan melalui peningkatan
kadar GLP-1 secara langsung. Suntikan sekali sehari secara subkutan
GLP-1 Agonis akan menurunkan kadar glukosa darah oleh karena
obat ini secara struktural telah dimodifikasi pada tingkat molekuler
sehingga tidak mudah dihancurkan oleh ensim DPP4.
Exanatide, liraglutide, albiglutide, dulaglutide dan lixinetide merupakan
jenis-jenis obat anti diabetes dari golongan GLP-1 RA yang sudah
dipasarkan, sementara semaglutide saat ini masih dalam tahap
pengembangan (12).
Oleh karena kerja dari GLP-1 RA juga berdasarkan kadar glukosa darah
pasien, maka efek samping hipoglikemia dari obat ini juga relatif jarang
terjadi bila diberikan monoterapi.
114
6. Serum glucose co-tansporter 2 (SGLT2) Inhibitor
Merupakan obat anti diabetes oral yang terbaru yang mekanisme
kerjanya tidak mempengaruhi kadar dan kerja insulin dalam darah
sehingga efek samping hipoglikemia dari obat ini juga sangat rendah.
Canagliflozin, dafagliflozin dan empagliflozin merupakan jenis-jenis
SGLT2 inhibitor yang saat ini telah beredar dipasaran dan gunakan
sebagai salah satu modalitas terapi untuk pasien diabetes melitus.
SGLT2 inhibitor bekerja melalui blokade terhadap reseptor SGLT2 yang
terdapat pada tubulus proximalis ginjal.
Akibat blokade tersebut maka SGLT2 tidak dapat melakukan fungsinya
untuk melakukan reabsorbsi kembali glukosa yang telah difiltrasi oleh
glomerulus dan glukosa akan dieksresikan melalui urine (glukosuria)
(2,13).
7. Insulin
Insulin yang diproduksi oleh pulau-pulau langerhans dari sel beta
pankreas merupakan hormon peptida yang terdiri atas gugusan 51
asam amino dengan berat molekul 5808 Da. Insulin adalah hormon
utama dalam regulasi metabolisme karbohidrat dan lemak didalam
tubuh manusia. Insulin berfungsi sebagai alat transpor glukosa kedalam
sel-sel yang terdapat pada hati, otot dan jaringan lemak sehingga sel
tersebut dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi.
115
Pada pasien DM tipe 1 terjadi kerusakan yang massif dari sel beta
pankreas akibat proses autoimun sehingga akan menyebabkan
defisiensi insulin yang absolut. Sedangkan pada pasien DM tipe 2,
terjadinya hiperglikemia merupakan akibat adanya gangguan
kerja insulin (resistensi insulin) dijaringan perifer dan atau penurunan
sekresi insulin sel beta pankreas sehingga menyebabkan defisiensi
insulin yang relatif. Berdasarkan patomekanisme hiperglikemia pada
pasien diabetes tersebut, maka dapat dipahami bahwa injeksi insulin
subkutan dengan dosis multipel, merupakan satu-satunya modalitas
terapi pada pasien DM tipe 1, maupun DM tipe 2 yang gagal mencapai
target glikemik dengan terapi anti diabetes oral. Namun pemberian
injeksi insulin eksogen dapat menimbulkan komplikasi terapi berupa
hipoglikemia. Bahkan berbagai penelitian menunjukkan bahwa insulin
merupakan obat anti diabetes dengan risiko hipoglikemia yang paling
besar. Penelitian UKPDS membuktikan bahwa kejadian hipoglikemia
akan dialami oleh sekitar 33% pertahun pada pasien yang baru
menggunakan insulin dan akan lebih meningkat sesuai dengan lamanya
pemakaian insulin. Pada tahun ke 10 periode penelitian didapatkan
hipoglikemia pada pasien yang menggunakan insulin akan mencapai
43% (7,14).
Saat ini berbagai jenis insulin telah digunakan secara luas untuk
penanganan pasien diabetes. Jenis insulin tersebut adalah human
insulin yang terdiri dari short acting, intermediate acting dan premix
insulin. Jenis insulin yang lain adalah Insulin analog yang terbagi atas
rapid acting, long acting, ultra long acting dan premix insulin. (Tabel 6.1)
116
Pengelompokan jenis insulin juga didasarkan atas farmakokinetik dan
farmakodinamik dari insulin tersebut yaitu:
a. Insulin Basal merupakan jenis insulin yang diberikan untuk
mengatasi peningkatan kadar glukosa darah puasa dan tidak
berkaitan dengan jumlah dan pola makan pasien.
b. Insulin prandial/bolus adalah insulin yang diberikan untuk mengatasi
peningkatan kadar glukosa darah akibat makan.
Pada pasien DM tipe 1 metode pemberian insulin adalah lansung
dikombinasikan antara insulin basal dengan insulin bolus/prandial
dengan suntikan yang multipel (3 kali suntikan insulin prandial setiap kali
sebelum makan dan 1-2 kali suntikan insulin basal). Sedangkan pada
pasien DM tipe 2, injeksi insulin dimulai dengan suntikan basal sekali
sehari yang ditambahkan pada obat anti diabetes oral yang sebelumnya
telah digunakan oleh pasien (TKOI=terapi kombinasi oral dan insulin).
Terapi pasien DM tipe 2 untuk tahap intensifikasi lanjut adalah dengan
menambahkan insulin prandial baru dilakukan bila metode TKOI gagal
mencapai target yang diinginkan.
Beberapa faktor yang berperanan terhadap kejadian hipoglikemia pada
pasien diabetes yang mendapat terapi insulin diantaranya: dosis yang
berlebihan, jenis insulin yang diberikan dan metode pemberian insulin,
interaksi insulin dengan obat lain, adanya penyakit ko-morbid dan
kesalahan pemberian insulin. Riwayat hipoglikemia sebelumnya,
insufisiensi renal, usia lanjut, hipoglikemia unawareness serta obat-
obatan lain yang digunakan yang dapat mempengaruhi kadar glukosa
117
darah (beta bloker, Ace-Inhibitor, quinolon dan obat lainnya) juga dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia. Titrasi dan dosis insulin sebaiknya
tidak terlalu agresif pada keadaan-keadaan tersebut (15)
Tabel 6.1. Jenis dan farmakokinetik insulin injeksi
Sediaan Insulin Onset
(jam)
Puncak
(jam)
Durasi
(jam)
Jenis
terapi
Human short acting
Reguler insulin (RI)
Humulin R, actrapid
30-60
menit
2-4 jam
6-10
Bolus/
prandial
Human (NPH/Lente)
intermediate acting
Humulin N, insulatard
1-2
2-4
6-10
Basal
Human Premix
Humulin 50/50 (70/30)
Mixtard 70/30
30-60
menit
3-12
12
Basal-
bolus
Rapid acting analog
Aspart (Novorapid)
Lispro (Humalog)
Glulisine (Apidra)
5-15
menit
1-2
4-6
Prandial/
bolus
Analog Premix
Novomix 70/30
Humalogmix
50/50(75/25)
20-50
menit
1-4
12
Basal-
bolus
Long acting analog
Glargine (Lantus)
Detemir (Levemir)
2-4
3-4
peakless
peakless
24
16-20
Basal
Basal
Ultra long acting
Analog
Glargine 300 (Lantus XR)
Degludec (Tresiba)
6
4-6
peakless
peakless
24-36
30+
Basal
Basal
NPH= neutral protamine Hagedorn
118
Hipoglikemia pada pagi hari biasanya disebabkan oleh intermediate atau
long acting insulin, hipoglikemia pada siang hari biasanya disebabkan oleh
short dan rapid acting insulin. Hipoglikemia nocturnal terutama akibat
insulin reguler atau insulin kerja panjang. Subtitusi/penggantian insulin
reguler dengan rapid acting insulin akan menurunkan risiko hipoglikemia
pada siang hari. Subtitusi intermediate acting insulin (NPH/lente) dengan
insulin long acting analog juga terbukti dapat menurunkan risiko
hipoglikemia nocturnal dan pagi hari/puasa (16,17,18).
Insulin generasi baru seperti glargine U300 (Lantus XR) dan insulin
degludeg (Tresiba) diharapkan akan lebih meminimalkan risiko
hipoglikemia pada pasien yang mendapat terapi insulin oleh karena profil
farmakokinetik dan farmakodinamik serta variabilitas glukosa darah
dengan insulin tersebut menyerupai mimik insulin endogen sehingga efek
penurunan glukosa darahnya lebih fisiologik (15,16).
B. Hipoglikemia imbas obat non-diabetes
Episode hipoglikemia dapat terjadi pada pasien non-diabetes atau pasien
yang tidak mendapat terapi insulin dan obat anti diabetes oral.
Pada pasien-pasien tersebut bila terjadi hipoglikemia maka perlu
dilakukan tindak lanjut dengan melakukan evaluasi untuk menetapkan
penyebabnya dan untuk mendeteksi adanya penyakit ko-morbid yang
dapat memperburuk prognosis. Hipoglikemia akibat imbas obat dapat
ditegakkan setelah penyebab hipoglikemia yang lain seperti penyakit
endokrin, penyakit keganasan, malnutrisi dapat disingkirkan. Berbagai
macam obat dapat meningkatkan efek potensiasi dari obat anti diabetes,
119
sebagian lainnya dapat secara langsung menyebabkan reaksi
hipoglikemia.
1. Beta Blocker
Terjadinya hipoglikemia spontan pada pasien diabetes dan juga non-
diabetes yang mendapat terapi beta bloker pertama kali dilaporkan
oleh Kotler dkk pada tahun 1966. Golongan beta bloker menghambat
kerja dari katekolamin endogen (epinefrin dan nor-epinefrin) pada
reseptor beta adrenergik.
Terdapat 3 jenis reseptor beta adrenergik yaitu β1, β2 dan β3.
Reseptor β1 terletak terutama pada jantung dan ginjal. Reseptor β2
terdapat pada paru, saluran cerna, hati, uterus, otot polos vaskuler dan
otot skelet. Rangsangan dari β2 reseptor akan menginduksi relaksasi
otot polos pembuluh darah, tremor pada otot sklelet dan meningkatkan
glikogenolisis pada hati dan otot. Reseptor β3 terletak pada jaringan
lemak. Rangsangan terhadap reseptor β3 akan menginduksi proses
lipolisis pada jaringan lemak. Mekanisme terjadinya hipoglikemia pada
pasien yang mendapat terapi beta bloker adalah melalui jalur inhibisi
terhadap proses glukoneogenesis di hati yang secara normal
dirangsang oleh sistim saraf simpatis. Adanya penurunan proses
lipolisis yang disertai dengan penurunan kadar asam lemak bebas juga
akan meningkatkan ambilan glukosa pada otot oleh beta bloker (19).
Beta bloker juga akan menyebabkan proses glikogenolisis mengalami
penurunan dan menggangu fungsi CRR melalui blokade terhadap
120
sekresi epinefrin yang secara normal akan disekresikan bila terdapat
penurunan glukosa darah secara signifikan (19,20).
Pemberian terapi beta bloker non selektif dan beta bloker yang bekerja
selektif pada pasien yang sementara mendapat terapi anti
hiperglikemia akan meningkatkan efek hipoglikemik dari obat anti
hiperglikemik tersebut, atau memperlambat dan menekan timbulnya
keluhan dan gejala klinik hipoglikemia (tahikardia, tremor). Keluhan
hipoglikemia yang lain seperti berkeringat banyak biasanya tidak
dipengaruhi oleh pemberian beta bloker, oleh karena itu keluhan
berkeringat perlu diperhatikan secara khusus sebagai salah satu
indikator terhadap adanya hipoglikemia pada pasien yang mendapat
terapi beta bloker namun tidak disertai dengan gejala autonomik
maupun neuroglikopenik (18,19, 20,21).
Efek hipoglikemia dari beta bloker terutama akan dialami oleh pasien
diabetes melitus yang mendapat terapi insulin. Bahkan dapat terjadi
pada pemberian beta bloker yang bekerja lokal, Angelo-Neilsen (1980)
melaporkan kejadian hipoglikemia berat pada pasien DM tipe 1 yang
diberikan obat tetes mata yang mengandung timolol untuk terapi
glaukoma (22). Hipoglikemia akibat pemberian beta bloker juga dapat
ditemukan pada pasien non-diabetes yang menjalani terapi
hemodialisis (23).
Beta bloker juga dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadinya
hipoglikemia unawareness oleh karena obat ini dapat menutupi gejala
hipoglikemia yang timbul. Oleh karena itu pada pasien diabetes yang
121
berisiko tinggi untuk mengalami hipoglikemia, maka sebaiknya tidak
diberikan beta bloker untuk mengatasi hipertensinya (24)
2. Ace-Inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) adalah golongan obat
anti hipertensi yang potent dengan efek samping yang relatif rendah
dan mempunyai efek pleiotropik multipel yang menguntungkan. Ace-
Inhibitor merupakan pilihan utama dan banyak digunakan untuk terapi
hipertensi, gagal jantung, dan penyakit jantung koroner pada pasien
diabetes oleh karena obat ini mempunyai efek renoproteksi dan
kardioproteksi serta pengaruhnya terhadap metabolisme glukosa dan
lipid sangat minimal (14,25).
Ace-inhibitor adalah obat yang digunakan untuk mencegah terjadinya
perubahan angiotensin I ke angiotensin II. Dalam keadaan normal
angiotensin II mempunyai efek sebagai berikut: (14)
a. Vasokonstriktor pembuluh darah sehingga akan meningkatkan
tekanan darah
b. Vasokonstriksi arteriole eferen pada ginjal, meningkatkan tekanan
intra glomerulus
c. Berperan dalam remodeling ventrikel dan hipertropi ventrikel
jantung.
d. Merangsang kortex adrenal untuk mengsekresikan aldosteron
sehingga dapat menyebabkan retensi natrium.
e. Merangsang hipofisis bagian posterior untuk mengsekresikan
vasopressin (antidiuretic hormone) sehingga retensi air pada ginjal
akan meningkat.
122
f. Menurunkan protein kinase C pada ginjal.
Dengan pemberian Ace-Inhibitor maka efek-efek buruk dari angiotensin II
dapat dicegah. Terdapat banyak jenis Ace-Inhibitor yang saat ini digunakan
sebagai obat anti hipertensi diantaranya adalah benazepril, captopril,
enalapril, fosinopril, lisinopril, moexipril, perindopril, quinapril, ramipril dan
trandolapril (25,26).
Beberapa laporan menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian
hipoglikemia pada pasien diabetes melitus yang mendapat terapi Ace-
Inhibitor terutama captoril dan menganjurkan untuk menurunkan dosis
insulin ataupun obat anti diabetes oral pada saat inisiasi pemberian Ace-
Inhibitor. Hubungan antara penggunaan Ace-Inhibitor dengan terjadinya
episode hipoglikemia pada pasien diabetes melitus masih kontroversial,
biasanya hanya ditemukan pada penderita diabetes yang sudah disertai
dengan penyakit ko-morbid yang berat seperti gagal jantung dan gagal
ginjal kronik (27)
Mekanisme terjadinya hipoglikemia pada pemberian Ace-Inhibitor belum
diketahui dengan pasti, diduga Ace-Inhibitor dapat meningkatkan
sensitivitas insulin pada jaringan perifer melalui peningkatan sekresi
bradikinin, angiotensin II berperanan sebagai salah satu bagian dari
mekanisme CRR yang efeknya sama dengan epinefrin dan Ace-Inhibitor
dapat meningkatkan kecepatan absorbsi suntikan insulin yang diberikan
secara subkutan (26) . Sheghieri dkk (1992) menduga Ace-Inhibitor
mempunyai efek meningkatkan potensiasi efek hipoglikemik dari obat-obat
yang lain dan tetap menganjurkan pemberian Ace-Inhibitor sebagai pilihan
123
obat anti hipertensi yang aman pada pasien diabetes melitus (28). Pada
pasien yang mengalami hipoglikemia setelah diberikan captopril, maka
direkomendasikan untuk mengganti captopril dengan jenis Ace-Inhibitor
yang lain (24).
3. Asam salisilat
Asam salisilat pada jaman dulu digunakan sebagai salah satu modalitas
terapi untuk pasien diabetes. Dalam dosis terapeutik kemampuan salisilat
dalam menurunkan kadar glukosa darah setara dengan sulfonilurea atau
metformin. Namun untuk mendapatkan efek hipoglikemik tersebut maka
salisilat harus diberikan dalam dosis besar, akibatnya akan timbul banyak
efek samping yang merugikan pasien sehingga saat ini tidak digunakan lagi
sebagai obat anti diabetes (14,28).
Saat ini salisilat banyak digunakan pada pasien-pasien diabetes melitus
dalam dosis kecil yang dimaksudkan sebagai obat anti agregasi trombosit
(anti platelet drugs) mengingat pasien diabetes sangat berisiko mengalami
komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner, infark miokard dan
strok). Salisilat, khususnya jenis acetylsalicylic acid direkomendasikan
sebagai obat pencegahan primer dan pencegahan sekunder terhadap
kejadian kardiovaskuler pada pasien diabetes melitus (14).
Terjadinya hipoglikemia pasien yang mendapat terapi salisilat banyak
dilaporkan pada pasien diabetes usia anak-anak dan usia lanjut dan juga
pada pasien diabetes dengan ko-morbid tertentu.
124
Overdosis salisilat pada anak-anak biasanya akibat kecelakaan pemberian
obat, sedangkan pada usia lanjut disebabkan karena kesalahan pemberian
dan dosis obat, hal ini terutama dialami oleh pasien usia lanjut yang sudah
terdapat gangguan kognitif dan pada mereka yang mempersiapkan sendiri
obat yang akan dikonsumsi (29). Terdapat laporan tentang kejadian
hipoglikemia refrakter pada pasien diabetes dengan gagal ginjal terminal
yang mendapat krim salisilat secara topikal oleh karena pasien tersebut
juga menderita psoriasis, hal ini menunjukkan bahwa salisilat dapat
diabsorbsi melalui kulit (30).
Mekanisme terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mendapat terapi
salisilat belum diketahui dengan pasti. Diduga salisilat akan menyebabkan
penurunan produksi glukosa hati, meningkatkan sekresi insulin, peningkatan
ambilan (uptake) glukosa dijaringan perifer akibat penghentian fosforilasi
oksidatif atau penurunan kadar NEFA (non-esterified fatty acid). Salisilat
juga dapat menghambat kerja dari beberapa ensim yang berperanan dalam
proses pembentukan energi melalui jalur siklus Krebs, akibatnya akan
terjadi penumpukan asam organik (laktat, keton dan piruvat) di jaringan
perifer oleh karena siklus Krebs tidak dapat memproduksi ATP.
Kebutuhan energi tubuh selanjutnya sangat bergantung pada metabolisme
anaerobik yang membutuhkan glukosa yang lebih banyak dalam proses
pembentukan energi. Perubahan metabolik tubuh akibat pemberian salisilat
tersebut pada akhirnya akan menyebabkan penurunan cairan tubuh dan
elektrolit melalui ginjal, hipoglikemia dan hipokalemia dan asidosis
metabolik. Gambaran klinik yang penting diperhatikan pada pasien
125
hipoglikemia akibat salisilat adalah sesak napas (tachypnea, hyperpnea)
dan asidosis metabolik dengan ion gap yang positif (31,32,33)
4. Paracetamol
Pada umumnya intoksikasi paracetamol (acetaminophen) dimaksudkan
sebagai obat yang digunakan dalam percobaan bunuh diri dan merupakan
salah satu penyebab keracunan yang paling banyak ditemukan diseluruh
dunia. Pada dosis toksik, paracetamol akan menyebabkan nekrosis hati
yang difus dan hipoglikemia berat. Hipoglikemia pada pemberian dosis
terapeutik juga dilaporkan dapat terjadi pada pasien anak.
Gejala hipoglikemia yang disertai dengan asidosis laktat disebabkan oleh
karena penurunan glukoneogenesis yang merupakan akibat sekunder dari
kerusakan hati yang berat dan atau akibat toksik dari metabolit paracetamol
(34).
5. Trimethoprim-sulfamethoxazole
Trimethoprim-sulfamethoxazole atau co-trimoxazole, merupakan antibiotik
kombinasi dari golongan sulfonamide dan telah digunakan secara luas pada
pasien-pasien yang mengalami infeksi bakteri.
Beberapa laporan menunjukkan kejadian hipoglikemia berat dan fatal pada
pemberian co-trimoxazole, terutama bila dikombinasi dengan golongan
sulfonilurea generasi lama. Sulfonamide tidak hanya menyebabkan
peningkatan efek hipoglikemik dari sulfonilurea, tetapi obat ini juga dapat
menyebabkan hipoglikemia pada pasien yang tidak mengkonsumsi
sulfonilurea. Terjadinya hipoglikemia juga dilaporkan terjadi pada pasien
126
AIDS yang mendapat terapi co-trimoxazole dosis tinggi atau pada pasien
yang mengalami penurunan fungsi ginjal (14,35).
Mekanisme tejadinya hipoglikemia pada pemberian co-trimoxazole, oleh
karena struktur kimiawi dari sulfonamide sangat mirip dengan struktur
sulfonilurea, sehingga mempunyai kesamaan efek dalam merangsang
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan kadar glukosa darah rendah dan kadar insulin serta C-peptida
yang tinggi.
6. Ciprofloxacin dan golongan fluoroquinolon lainnya
Flouroquinolon termasuk ciprofloxacin merupakan antibiotik yang paling
banyak digunakan dalam praktek sehari-hari. Golongan obat ini diketahui
secara luas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia, terutama pada
pasien yang juga mendapat terapi anti hiperglikemia.
Mekanisme seluler atas interaksi antara ciprofloxacin dengan sulfonilurea
dalam menyebabkan terjadinya hipoglikemia sangat kompleks dan bersifat
multifaktorial. Salah satu mekanisme yang diajukan untuk menjelaskan
interaksi dari kedua obat itu adalah adanya interaksi satu atau beberapa
iso-ensim P-450 atau ciprofloxacin mempunyai efek menghambat kalium
ATP channel yang terdapat pada permukaan sel beta pankreas dan
bertanggung jawab terhadap kontrol sekresi insulin (36).
Dosis dan lamanya pemberian ciprofloxacin yang dapat menginduksi
hipoglikemia pada pasien yang mendapat terapi sulfonilurea sangat
bervariasi. Dari hanya satu kali pemberian sampai satu minggu setelah
terapi ciprofloxacin dan beratnya hipoglikemia dipengaruhi oleh tingginya
127
dosis ciprofloxacin. Hipoglikemia biasanya berat dan refrakter terhadap
obat anti diabetes yang tradisional (14).
Flouroquinolon lainnya terutama gatifloxacin juga dapat menginduksi
terjadinya hipoglikemia, terutama pada pasien DM tipe 2 usia lanjut (> 65
tahun) dan mendapat terapi sulfonilurea (37).
7. Tetracyclines
Tetrasiklin adalah antibiotik spektrum luas dari golongan polyketide.
Terdapat beberapa laporan kejadian hipoglikemia baik pada pasien
diabetes maupun pasien non-diabetes setelah pemberian antibiotik
golongan tetrasiklin. Miller (1966) melaporkan terjadinya hipoglikemia
setelah pemberian oxytetrasiklin pada pasien diabetes yang pada awalnya
mempunyai kadar glukosa darah yang tidak terkontrol (38). Dilain pihak
Basaria dkk (2002) melaporkan kejadian hipoglikemia setelah doksisiklin
untuk mengobati jerawat pada pasien non-diabetes namun menderita
sindroma Marfan’s, juga terdapat laporan kejadian hipoglikemia berat pada
pasien non-diabetes yang mendapat injeksi tetrasiklin intrapleural untuk
tujuan pleurodesis (39).
Mekanisme tetrasiklin dapat menginduksi hipoglikemia masih belum jelas,
diduga tetrasiklin akan meningkatkan sensitivitas dan munurunkan klirens
dari insulin.
8. Pentamidine
Pentamidine adalah golongan biguanide, pada awalnya golongan obat ini
digunakan untuk terapi trypano-somiasis, namun saat ini juga digunakan
128
untuk mengobati penemonia pneumocystis yang banyak ditemukan pada
pasien HIV (dulu dikenal dengan pneumocystis Carinii). Obat ini juga
terbukti sangat efektif dalam pengobatan leishmaniasis dan infeksi jamur
candida albicans.
Sekitar 10-40% pasien yang mendapat terapi pentamidine dosis tinggi akan
mengalami hipoglikemia dan merupakan efek samping metabolik yang
banyak ditemukan pada penggunaan obat ini. Reaksi hipoglikemia dapat
terjadi setelah beberapa hari pemberian pentamidin. Episode hipoglikemia
biasanya berat, berulang-ulang dan dapat menyebabkan kerusakan sistim
saraf pusat yang irreversibel (40)
Mekanisme pentamidine dapat menginduksi hipoglikemia adalah akibat
respon sitolitik dari sel beta pankreas yang selanjutnya akan
mengsekresikan insulin. Terapi jangka panjang dari obat ini justru akan
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dan menyebakan terjadinya
diabetes melitus yang tergantung insulin (41).
9. Quinine dan quinidine
Sekitar 30% pasien malaria berat akan mengalami hipoglikemia dan kadar
glukosa darah yang rendah dihubungkan dengan peningkatan angka
mortalitas pasien malaria. Beberapa jenis obat anti malaria sendiri diketahui
dapat menginduksi terjadinya hipoglikemia, terutama quinine. Guinine
merupakan golongan alkaloid yang digunakan sebagai obat anti piretik, anti
malaria, analgetik dan anti inflamasi.
Quinine dapat menginduksi hipoglikemia oleh karena obat ini dapat
meningkatkan sekresi insulin pankreas dan dieksresi melalui ginjal oleh
129
karena itu risiko hipoglikemia akan meningkat bila diberikan pada pasien
yang mengalami gangguan fungsi ginjal. Kemampuan hipoglikemianya
bergantung pada dosis yang diberikan dan dapat menginduksi hipoglikemia
pada pasien diabetes maupun non-diabetes.
Beberapa kasus hipoglikemia yang bersifat fatal telah dilaporkan dialami
oleh pasien-pasien malaria tropika yang mendapat terapi quinine (42).
Quinidine merupakan isomer dari quinine dan digunakan sebagai anti
aritmia kelas 1 pada penyakit jantung. Obat ini bekerja untuk menghalagi
influx natrium ke dalam sel dan bekerja sesuai dengan kecepatan denyut
jantung. Bila denyut jantung tinggi, maka blokade natrium juga tinggi,
sebaliknya bila denyut jantung lambat maka blokade natrium juga akan
berkurang (43)
10. Sertraline
Sertaline obat untuk pasien dengan gangguan kejiwaan dan merupakan
obat anti depressant yang paling sering digunakan untuk menangani
depresi berat pada pasien rawat jalan seperti gangguan obsessive-
compulsive, gangguan panik dan gangguan kecemasan sosial.
Hipoglikemia dilaporkan dapat terjadi pada pemberian obat ini, terutama
pada pasien diabetes yang kadar glukosa darahnya telah stabil untuk
jangka panjang dengan obat antidiabetes (OAD) oral.
Mekanisme yang menyebabkan terjadinya peningkatan efek potensiasi
OAD dari sertraline adalah efek inhibisi dari sitokrom P-450.
130
Sertraline dapat menyebabkan hipoglikemia oleh karena obat ini dapat
merangsang sekresi epinefrin secara langsung pada medulla adrenal (44).
11. Indomethacin
Indometasin adalah obat anti inflamasi yang termasuk dalam kelompok
NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory drugs). Pada dasarnya semua
golongan obat anti inflamasi termasuk indometasin dan salisilat berpotensi
untuk menginduksi terjadinya hipoglikemia. Efek hipoglikemia dari obat ini
adalah melalui peningkatan sekresi insulin, penurunan klirens insulin dan
peningkatan ambilan glukosa pada jaringan perifer (25)
12. Ethanol
Konsumsi alkohol tinggi merupakan problem kesehatan di berbagai negara.
WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar penduduk dunia mengkonsumsi
alkohol, 140 juta diantaranya mengalami ketergantungan alkohol. Data dari
rumah sakit menunjukkan sekitar 0,9% pasien hipoglikemia yang dirawat di
ruang perawatan darurat adalah para peminum alkohol.
Penyebab terjadinya hipoglikemia pada pasien yang mengkonsumsi alkohol
adalah penurunan cadangan glikogen hati, penurunan glukoneogenesis
dan respon CRR menurun (terjadi penekanan sekresi glukagon, epinefrin
dan growth hormone) (25).
Hipoglikemia reaktif terutama akibat minum alkohol yang dicampur dengan
minuman berkalori tinggi (gin-tonic, rum-cola) dan hipoglikemia dapat terjadi
3-4 jam setelah minum minuman yang dicampur tersebut. Alkohol juga
dapat berinteraksi dengan beberapa obat lain termasuk obat anti diabetes,
131
akibatnya risiko hipoglikemia berat akan dialami oleh pasien DM tipe 2 yang
mendapat terapi sulfonilurea dan mengkonsumsi alkohol (45).
132
Daftar Pustaka
1. Ioannidis JP, Lau J. Completeness of safety reporting in randomized
trials: an evaluation of 7 medical areas. JAMA 2001; 285(4): 437-443.
2. Bannister M, Berlanga J. Effective utilization of oral hypoglycemic
agents to achieve individualized HbA1c targets in patients with type 2
diabetes mellitus. Diab Ther. DOI 10.1007/s13300-016-0188-5.
Published online 8 august 2016.
3. Morales J, Schneider D. Hypoglycemia. Am J Med 2014; 127: S17-
S24
4. Wright AD, Cull CA, Macleod KM, Holman RR. Hypoglycemia in type 2
diabetic patients randomized to and maintained on monotherapy with
diet, sulfonylurea, metformin, or insulin for 6 years from diagnosis:
UKPDS73. J Diab Comp 2006; 20: 395–401.
5. Kahn SE, Haffner SM, Heise MA, Herman WH, Holman RR, Jones NP
for the ADOPT Study Group. Glycemic durability of rosiglitazone,
metformin, or glyburide monotherapy. N Engl J Med 2006; 355: 2427–
2443.
6. Dormandy J, Charbonnel B, Eckland DJ, Erdmann E, Massi- Benedetti
M, Moules IK et al. Secondary prevention of macrovascular events in
patients with type 2 diabetes in the PROactive study (PROspective
pioglitazone Clinical Trial In macrovascular Events): a randomised
controlled trial. Lancet 2006; 366: 1279–1289.
7. UKPDS 33. Intensive blood-glucose control with sulphonylureas or
insulin compared with conventional treatment and risk of complications
in patients with type 2 diabetes. Lancet 1998; 352: 837–853.
133
8. Tessier D, Dawson K, Tetrault JP, Bravo G, Meneilly GS.
Glibenclamide vs. gliclazide in type 2 diabetes of the elderly. Diabet
Med 1994; 11: 974–980.
9. Holstein A, Plaschke A, Egberts EH. Lower incidence of severe
hypoglycaemia in patients with type 2 diabetes treated with glimepiride
versus glibenclamide. Diab Metab Res Rev 2001; 17: 467–473.
10. Holstein A, Plaschke A, Hammer C, Eqberts EH. Characteristics and
time course of severe glimepiride versus glibenclamide induced
hypoglycaemia. Eur J Clin Pharm 2003; 59: 91–97.
11. Moses R. Review of clinical experience with the prandial glucose
regulator, repaglinide, in the treatment of type 2 diabetes. Expert Opin
Pharmacother 2000; 1: 1455–1467.
12. Cutshall TB, Twilla DJ, Olinger SA, Oliphant SC. A review on
cardiovascular effects of newer hypoglycemic medications. Ann Med.
DOI: 10.1080/ 07853890.2017. 1335428
13. Lioudaki E, Androulakis SE, Whyte M et al. The Effect of Sodium-
Glucose Co-transporter-2 (SGLT-2) Inhibitors on Cardiometabolic
Profile; beyond the Hypoglycaemic Action. Cardiovasc Drugs Ther.
Published online 25 april 2017.
14. Briscoe JV, Davis NS. Hypoglycemia in Type 1 and Type 2 Diabetes:
Physiology, Pathophysiology, and Management. Clin Diabet 2006;
24(3): 115-121.
15. Alsahli M, Thrasher RJ, Gerich EJ.Hypoglycemia with new-generation
basal analog insulins: A descriptive critical review. J Diabet Metab
2015; 6(8): 1-9
134
16. Gabriely I, Shamoon H: Hypoglycemia in diabetes: common, often
unrecognized. Clev Clin J Med 2004; 71: 335–342.
17. Cryer PE, Childs BP: Negotiating the barrier of hypoglycemia in
diabetes. Diabet Spectr 2002; 15: 20–27.
18. Heller SR, Amiel SA, Mansell P. Effect of the fast-acting insulin analog
lispro on the risk of nocturnal hypoglycemia during intensified insulin
therapy. Diab Care 1999; 22: 1607–1611.
19. Pytliak M, Vargová V, Mechírová V. Drugs and hypoglycemia. In:
Hypoglycemia - causes and occurrences. Rigobelo E (ed). InTech
publication, Croatia; 131-147, 2011. Available from: http://www.
intechopen.com/books/hypoglycemia-causes-and-occurrences/drugs -
and-hypoglycemia.
20. Miller CD, Phillips LS, Ziemer DC, Gallina DL, Cook CB, El-Kebbi IM.
Hypoglycaemia in patients with type 2 diabetes mellitus. Arch Intern
Med, 2001; 161: 1653-1659.
21. Abramson EA, Arky RA, Woeber KA. Effects of propranolol on the
hormonal and metabolic responses to insulin-induced hypoglycaemia.
Lancet, 1966; 2: 1386-1392.
22. Angelo-Nielsen, K. Timolol topically and diabetes mellitus. JAMA 1980;
244: 2263-2267.
23. Murata T, Matsumoto J, Umemura S et al. β-Blocker induced
hypoglycaemia in three non-diabetic patients under long-term dialysis
treatment. Nippon Jinzo Gakkai Shi 1981; 23: 751-759.
135
24. Kreider EK, Pereira K, Padilla IB. Practical approaches to diagnosing,
treating and preventing Hypoglycemia in diabetes. Diabet Ther 2017; 8:
1427–1435.
25. Helms K, Kelley K. Drug-induced hypoglycemia. In: Hypoglycemia-
causes & Occurrences. Rigobelo E (ed). InTech publication, Croatia;
113-130, 2011. Available from:
http://www.intechopen.com/books/hypoglycemia-causes-and-
occurrences/drugs -and-hypoglycemia
26. Herings RM, de Boer A, Stricker BH, Leufkens HG, Porsius A.
Hypoglycaemia associated with the use of inhibitors of angiotensin-
converting enzyme. Lancet, 1995; 345:1195-1198.
27. Buchanan TA, Thawani H, Kade W et al. Angiotensin II increases
glucose utilisation during acute hyperinsulinaemia via a
haemodyanamic mechanism. J Clin Invest 1993; 92: 720-726.
28. Seghieri G, Yin W, Boni C. et al. Effect of chronic ACE inhibition on
glucose tolerance and insulin sensitivity in hypertensive type 2 diabetic
patients. Diabet Med 1992; 9: 732-738.
29. Baron S.H. Salicylates as hypoglycaemic agents. Diab Care, 1982; 5:
64-71.
30. Micossi P, Pantiroli AE, Baron SH et al. Aspirin stimulates insulin and
glucagon secretion and increases glucose tolerance in normal and
diabetic subjects. Diabetes 1978; 27: 1196-204.
31. Raschke R, Arnold-Capell PA., Richeson R, Curry SC. Refractory
hypoglycemia secondary to topical salicylate intoxication. Arch Intern
Med 1991; 37: 56-59.
136
32. Marks V, Teale JD. Hypoglycemia: factitious and felonious. Endocrinol
Metab Clin North Am 1999; 28: 579–601.
33. Rumore MM, Kim KS. Potential role of salicylates in type 2 diabetes.
Ann Pharmacother 2010; 44: 1207-1221
34. Bandyopadhyay P. Drug-induced hypoglycemia. Drugs of the future
2004; 29(6): 581-607.
35. Rosini JM, Martinez E, Jain R. Severe hypoglycemia associated with
use of trimethoprim/ sulfamethoxazole in a patient with chronic renal
insufficiency. Ann Pharmacother 2008; 42: 593-594.
36. Roberge RJ, Kaplan R, Frank R, Fore C. Glyburid-ciprofloxacin
interaction with resistant hypoglycaemia. Ann Emerg Med 2000; 36:
160-163.
37. LeBlanc M, Bélanger C, Cossette P. Severe and resistant
hypoglycemia associated with concomitant gatifloxacin and glyburide
therapy. Pharmacother 2004; 24(7): 926-931.
38. Miller JB. Hypoglycaemic effect of oxytetracycline. Br Med, 1966; 2:
1007-1012.
39. Basaria S, Braga M, Moore WT. Doxycycline-induced hypoglycemia in
a nondiabetic young man. South Med J 2002; 95(11): 45-49.
40. Nguewa PA, Fuertes MA, Cepeda V, et al. Pentamidine is an
antiparasitic and apoptotic drug that selectively modifies ubiquitin.
Chem. Biodivers, 2005; 2(10): 1387–1400.
41. Sattler FR, Waskin H. Pentamidine and fatal hypo-glycaemia. Ann
Intern Med 1987; 107: 789-790.
137
42. Harats N, Ackerman Z, Shalit M. Quinine-related hypo-glycaemia. New
Engl J Med 1984; 310: 1331-1337.
43. Jones RG, Sue-Ling HM, Kear C, Wiles PG, Quirke P. Severe
symptomatic hypoglycaemia due to quinine therapy. J R Soc Med
1986; 79: 426-428.
44. Pollak PT, Mukherjee SD, Fraser AD. Sertraline-induced
hypoglycaemia. Ann Pharmacother 2001; 35(11): 1371-1374.
45. Flanagan D, Wood P, Sherwin R, Debrah K, Kerr D. Gin and tonic and
reactive hypoglycemia: What Is important–the gin, the tonic, or both? J
Clin Endocrinol Metab 1998; 83: 796-800.
138
Kontrol glukosa darah merupakan salah satu komponen penting yang harus
diperhatikan pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit, oleh karena baik
hiperglikemia maupun hipoglikemia dapat berdampak buruk terhadap
outcomes pasien tersebut (1).
Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hiperglikemia dan hipoglikemia dapat
terjadi pada pasien diabetes melitus maupun tanpa riwayat diabetes dan juga
dapat dialami oleh pasien yang tidak mendapat terapi obat anti diabetes (2).
Diagnosis hiperglikemia pada pasien yang menjalani perawatan dirumah sakit
adalah berdasarkan kadar glukosa darah yaitu >140 mg/dl. Bila kadar glukosa
darah yang persisten melebihi 140 mg/dl maka perlu dilakukan penyesuaian
diet atau menganti obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar glukosa
darah. Bila kadar HbA1C > 6,5% pada saat masuk rumah sakit maka dapat
diasumsikan bahwa pasien sudah mengalami diabetes sebelum dirawat.
Sedangkan kriteria yang dulu digunakan untuk diagnosis hipoglikemia adalah
<70 mg/dl dan <40 mg/dl untuk diagnosis hipoglikemia berat.
Pada tahun 2017 American Diabetes Association (ADA) melakukan perubahan
kriteria diagnosis hipoglikemia yaitu bila kadar glukosa darah <54 mg/dl dan
hipoglikemia berat didefinisikan bila didapatkan adanya gangguan kognitif berat
tanpa melihat kadar glukosa darah pasien. Saat ini kadar glukosa darah ≤70
mg/dl hanya dipertimbangkan sebagai tanda peringatan dan dapat digunakan
sebagai patokan oleh para klinisi untuk pengaturan titrasi pemberian insulin
selanjutnya (3).
139
Hipoglikemia dan hipoglikemia berat pada pasien yang dirawat dirumah sakit
berkaitan erat dengan outcomes yang buruk karena dapat mengakibatkan
perawatan yang berkepanjangan, membutuhkan biaya perawatan yang lebih
besar, risiko terjatuh lebih tinggi, peningkatan angka morbiditas dan mortalitas
serta risiko untuk menjalani perawatan ulang (re-admission) baik pada pasien
diabetes maupun pasien yang dirawat tanpa diabetes. (4-7)
Oleh karena itu para klinisi harus memperhatikan kadar glukosa darah dari
semua pasien yang dirawat dirumah sakit dan menjaga agar kadar glukosa
darah dapat dipertahankan senormal mungkin serta mencegah terjadinya
hiperglikemia dan hipoglikemia.
Angka kematian yang berkaitan dengan kadar glukosa darah mempunyai
bentuk seperti U-shape., Hiperglikemia dan hipoglikemia menyebabkan
peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas yang ekstrim pada pasien di
rumah sakit.
Hipoglikemia adalah suatu keadaan emergensi, dapat berkembang menjadi
koma dan bahkan kematian. Hipoglikemia berat yang berkepanjangan akan
mengakibatkan kerusakan otak permanen, namun bila hipoglikemia dapat
terdeteksi dengan cepat dan tertangani dengan baik maka sebagian besar
pasien akan pulih dengan sempurna.
Kejadian hipoglikemia merupakan problem yang sering ditemukan pada pasien
yang dirawat di rumah sakit. Hipoglikemia yang terjadi akibat pemberian obat-
obatan anti hiperglikemia disebut iatrogenic hypoglycemia sedangkan
140
hipoglikemia yang terjadi pada pasien yang tidak mendapat terapi obat anti
diabetes disebut hipoglikemia spontan.
Hipoglikemia spontan dapat dijumpai pada pasien dimensia, penyakit berat,
sepsis, gagal ginjal tahap akhir, kanker, penyakit hati berat dan dapat
digunakan sebagai indikator untuk menentukan beratnya penyakit dan risiko
kematian (1,2).
Sebagian besar hipoglikemia disebabkan oleh iatrogenic hypoglycemia,
namun hipoglikemia spontan juga frekwensinya cukup tinggi (8).
Prevalensi dan insiden hipoglikemia di rumah sakit sangat bervariasi
tergantung pada kriteria hipoglikemia yang digunakan dan tempat perawatan
pasien (rawat jalan, perawatan darurat, ruang perawatan umum atau ruang
perawatan intensif/ICU) atau latar belakang penyakit yang diderita oleh pasien
(diabetes atau non-diabetes) (1).
Pada populasi pasien rawat jalan prevalensi hipoglikemi 2-3 kali lebih sering
ditemukan pada pasien DM tipe 1 (9). Pada pasien rawat inap prevalensi
hipoglikemia lebih tinggi pada pasien yang dirawat di ruang perawatan
intensif/ICU bila dibandingkan dengan perawatan umum (10,1% vs 3,5%) (10).
A. Hipoglikemia pada pasien non-diabetes yang dirawat dirumah sakit
Hipoglikemia merupakan kejadian yang jarang ditemukan pada pasien
non-diabetes. Paling sering disebabkan oleh karena pemberian obat-
obatan. Hipoglikemia pada pasien non-diabetes dapat juga disebabkan oleh
malnutrisi, penyalahgunaan alkohol dan pada pasien post operasi saluran
cerna.
141
Walaupun hipoglikemia spontan jarang ditemukan, namun beberapa
penelitian terakhir mendapatkan hasil bahwa angka kematian dan
mobiditas pasien hipoglikemia spontan lebih tinggi bila dibandingkan
dengan iatrogenic hypglycemia. Hal yang sama ditemukan pada pasien
yang kejadian hipoglikemianya bukan akibat pemberian insulin.
Hipoglikemia dapat ditemukan pada berbagai penyakit akut dan berat yang
memerlukan perawatan di ruang perawatan intensif dan adanya
hipoglikemia pada pasien non-diabetes menunjukkan beratnya penyakit dan
prognosis yang buruk pada pasien.
Beberapa penyakit akut yang berkaitan dengan buruknya prognosis bila
disertai dengan kejadian hipoglikemia yang terjadi pada pasien yang dirawat
dirumah sakit diantaranya:
1. Sindrom koroner akut.
Hipoglikemia akan menyebabkan efek vaskuler yang kompleks seperti
mengaktivasi mekanisme peningkatan pro-trombotik, pro-inflamasi dan pro-
aterogenik.
Hipoglikemia akut juga akan meningkatkan kadar PAI-1 (plasminogen
activator inhibitor), vaskuler endotelial growth factor, VCAM (vascular
adhesion molecules), interleukin-6 dan marker dari aktivasi platelet. Hal ini
menunjukkan bahwa adanya hipoglikemia spontan pada pasien yang
dirawat dengan sindroma koroner akut akan menyebabkan peningkatan
risiko kematian dalam jangka waktu singkat (11).
Hipoglikemia juga dihubungkan dengan hipertensi, aritmia jantung, interval
QT yang memanjang dan terjadinya kardiomiopati (12).
142
2. Pneumonia
Singanayagam A dkk (2009) melaporkan bahwa hipoglikemia merupakan
faktor risiko independen terhadap peningkatan pasien rawat inap,
peningkatan mortalitas dalam 30 hari dan 1 tahun, pemakaian ventilator
mekanik dan pemberian inotropik pada pasien pneumonia komunitas
(community acquired pneumonia) (13)
3. Pasien dalan perawatan kritis
Hipoglikemia ringan atau sedang (kadar glukosa darah <81 mg/dl)
dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian pada pasien yang dirawat
diruang perawatan intensif.
Hipoglikemia secara independen dikaitkan dengan peningkatan seluruh
penyebab kematian, kematian kardiovaskuler dan kematian akibat infeksi
(14).
4. Udem paru non-kardigenik
Hipoglikemia dapat menyebabkan udem paru non-kardigenik oleh karena
hipoglikemia akan menyebabkan aktivasi secara massif sistim saraf
simpatis dan perubahan hemodinamik, merusak integritas epitel alveolar
dan endotel kapiler paru serta efek buruk insulin terhadap sistim
kardiovaskuler dan permeabilitas kapiler (15).
5. Ketidakseimbangan elektrolit
Hipoglikemia dapat menyebabkan gangguan keseimbangan elektrolit
seperti hiponatremia, hipokalemia, hipofosfatemia, dan keseimbangan
magnesium. Insulin meningkatkan ambilan kalium oleh otot melalui aktivasi
membran Na+/K+ ATP-ase. Oleh karena itu pemeriksaan elektolit secara
143
serial direkomendasikan pada pasien hipoglikemia berat dan
berkepanjangan (12).
6. Steatosis akut
Peningkatan ensim hati dan stetosis akut juga dilaporkan berkaitan dengan
kejadian hipoglikemia. Pemberian karbohidrat dan insulin dalam jumlah
banyak akan menyebabkan akumulasi trigliserida pada hepatosit dan
steatosis akan terjadi sebagai konsekwensi dari penumpukan lipid dalam
hati (16).
7. Sepsis
Hipoglikemia merupakan salah satu gejala peringatan terjadinya sepsis
pada pasien yang menjalani perawatan oleh karena infeksi. Mekanisme
terjadinya hipoglikemia pada pasien sepsis diantaranya penurunan
cadangan glikogen, glukoneogenesis berkurang dan meningkatnya
penggunaan glukosa oleh bakteri patogen (17).
B. Hipoglikemia pada pasien diabetes yang dirawat di rumah sakit.
Pasien diabetes sering memerlukan perawatan dirumah sakit, data
menunjukkan 30-40% pasien yang dirawat di ruang perawatan gawat
darurat dan 25% dari seluruh pasien yang dirawat inap di rumah sakit
adalah penderita diabetes, walaupun sebagian besar penyebab rawat inap
tersebut bukan oleh karena diabetesnya.
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan risiko untuk
menjalani perawatan dirumah sakit pada pasien diabetes diantaranya
adalah komplikasi akut dan kronik dari diabetes, intercurrent illness
144
(operasi, infeksi, trauma, stres) adanya penyakit penyerta, maupun
penyakit lain yang tidak berkaitan dengan diabetes (18,19).
Hiperglikemia pada pasien diabetes yang dirawat di rumah sakit dapat
menyebabkan lama perawatan yang lebih panjang, membutuhkan lebih
banyak intervensi tambahan, lebih cenderung menjalani perawatan di ruang
perawatan intensif, dan angka mortalitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu
kontrol glikemik yang ketat merupakan prioritas utama yang perlu
diperhatikan untuk memperbaiki outcomes pasien diabetes, disisi lain
kontrol glikemik yang adekuat justru dapat menimbulkan dampak negatif
pada pasien oleh karena risiko iatrogenic hypoglycemia akan meningkat.
Penelitian yang dilakukan pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang
dirawat dirumah sakit pada 29 rumah sakit pendidikan didapatkan 12-18%
dari seluruh pasien yang rawat dirumah sakit akan mengalami paling tidak
satu kali episode hipoglikemia (<60 mg/dl) dan <5% akan mengalami
kejadian hipoglikemia berat (<40 mg/dl) (20,21).
Hipoglikemia dapat berakibat fatal, jumlah kematian akibat hipoglikemia
mencapai 4-10% pada pasien DM tipe 1.
Pada populasi usia dewasa hipoglikemia berat dan berkepanjangan dapat
menyebabkan kerusakan otak dan kematian.
Penyebab utama kematian pada pasien hipoglikemia terutama yang terjadi
pada malam hari adalah aritmia ventrikuler dan dikenal dengan istilah ‘the
dead in bed syndrome’ (22)
145
Penelitian dari Normoglycemia in Intensive Care Evaluation–Survival Using
Glucose Algorithm Regulation (the NICE-SUGAR Study) dan penelitian
lainnya mendapatkan bahwa penyebab utama terjadinya hipoglikemia
sedang dan berat pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif
adalah akibat kontrol glikemik yang terlalu ketat (23).
Faktor-faktor yang berkonstribusi terhadap terjadinya iatrogenic
hypoglycemia pada pasien diabetes yang dirawat di rumah sakit
diantaranya usia pasien >65 tahun, terdapat penyakit ginjal atau hati,
lamanya diabetes diderita, adanya komplikasi diabetes lainnya, target
glikemik yang terlalu rendah, defisiensi CRR (counter of regulatory
respons), asupan makanan yang tidak menentu, kesalahan dosis insulin
dan riwayat hipoglikemia sebelumnya. Pemberian insulin koreksi yang
biasanya diberikan pada waktu malam hari (sebelum tidur) juga
berkonstribusi terhadap terjadinya hipoglikemia pada malam hari (2,24,25).
(Tabel 7.1)
Monitoring kadar glukosa darah harus lebih sering dilakukan pada pasien
diabetes yang menjalani perawatan di rumah sakit. Terapi insulin subkutan
dengan metode basal bolus pada umumnya diberikan untuk pasien yang
dirawat diruang perawatan umum, sedangkan untuk pasien yang dirawat di
ruang parawatan intensif akan mendapat terapi secara intravena (continous
insulin infusion drips).
146
Tabel 7.1. Faktor-faktor yang berkonstribusi terhadap kejadian
hipoglikemia di rumah sakit (2)
Edukasi pasien kurang
Obat-obatan tertentu
Protokol terapi yang agresif untuk mencapai target
normoglikemia
Koordinasi yang buruk antara jadwal penyuntikan
insulin dengan jadwal pemberian makanan.
Asupan makanan yang mengalami perubahan
mendadak
Penghentian asupan makanan peroral maupun nutrisi
parenteral pada pasien yang mendapat terapi insulin.
Penurunan fungsi ginjal atau fungsi hati.
Adanya penyakit ko-morbid
Penyakit berat
Penghentian atau pengurangan dosis steroid tanpa
disertai dengan penurunan dosis insulin
Dosis insulin tidak tepat
Defisiensi CRR
Dimensia dan usia pasien >65 tahun
Sepsis
Keganasan
Ventilator Mekanik
Polifarmasi
Gangguan endokrin
147
C. Pencegahan hipoglikemia pada pasien yang dirawat di rumah sakit
Insulin merupakan obat pilihan utama untuk mengatasi hiperglikemia pada
pasien yang dirawat dirumah sakit. Pada pasien yang tidak dalam kondisi
kritis atau bila pasien dirawat diruang perawatan umum maka insulin
diberikan melalui suntikan subkutan dengan metode basal dan bolus,
sedangkan bila pasien kritis atau menjalani perawatan di ruang perawatan
intensif maka metode pemberian insulin adalah melalui infus intravena.
Saat ini sudah terjadi perubahan paradigma terapi, dimana pola terapi yang
bersifat reaktif sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan upaya terapi yang
bersifat preventif. Bila konsep ini diterapkan dalam penanganan pasien
hipoglikemia, maka upaya menghindari faktor-faktor yang dapat mempresipitasi
terjadinya hipoglikemia merupakan faktor penentu dalam keberhasilan terapi.
Beberapa strategi pencegahan hipoglikemia yang dapat dilakukan diantaranya
monitoring glukosa darah dengan baik, memastikan kecukupan kalori yang
dimakan, koordinasi yang baik tentang dosis dan jadwal suntikan insulin dengan
jadwal dan jumlah makanan yang dikonsumsi, identifikasi adanya komplikasi dan
penyakit ko-morbid serta pengaturan dan penggantian obat yang lebih aman (26).
(Tabel 7.2)
Penanganan hipoglikemia pada pasien yang dirawat dirumah sakit relatif sama
dengan penanganan hipoglikemia pada pasien rawat jalan dan secara
konseptual mudah dilakukan, namun untuk pasien rawat inap maka diperlukan
kerja sama dan koordinasi yang cepat, efisien dan efektif dari seluruh staf rumah
sakit, termasuk dokter, perawat, laboran dan staf penunjang lainnya untuk
mencegah dan menurunkan angka mortalitas dari hipoglikemia.
148
Tabel 7.2. Pencegahan hipoglikemia pada pasien yang dirawat di rumah sakit
(2)
Tetapkan target glikemik yang rasional
Gunakan insulin dengan dosis yang disesuaikan
dengan berat badan
Modifikasi dosis insulin bila kadar glukosa < 100
mg/dl
Berikan infus dextrose bila terjadi penghentian
secara mendadak nutrisi oral atau parenteral pada
semua pasien yang mendapat terapi insulin.
Modifikasi insulin koreksi yang diberikan pada
malam hari (bedtime)
Hindari pemberian sulfonilurea pada pasien yang
berisiko tinggi (umur >65 tahun, eGFR <45
ml/menit atau pada mereka yang mendapat terapi
basal insulin
D. Target glikemik pada pasien yang dirawat inap di rumah sakit.
Patokan yang digunakan untuk menetapkan target glikemik pada pasien
yang dirawat diruang perawatan umum didasarkan atas data dari penelitian
retrospektif dan pengalaman klinik para ahli. Pada umumnya target glikemik
adalah <140 mg/dl untuk kadar glukosa darah pre-meal dan <180 mg/dl
pada pemeriksaan kadar glukosa sewaktu.
149
Perlu dilakukan evaluasi terapi bila kadar glukosa darah lebih rendah dari
100 mg/dl dan segera lakukan tindakan bila kadar glukosa darah <70 mg/dl.
Target glikemik sebaiknya lebih rendah pada keadaan pasien stabil dengan
riwayat kontrol glikemik yang baik sebelum menjalani perawatan inap
dirumah sakit, sebaliknya target glikemik lebih tinggi (<200 mg/dl) pada
pasien yang menderita sakit berat atau pasien dengan penyakit terminal
dan mempunyai penyakit ko-morbid yang berat (21,33,34). (Tabel 7.3)
Tabel 7.3. Target glikemik pada pasien yang dirawat inap dirumah sakit
ACE
(2004)
ADA
(2004)
ADA dan ACE
(2009)
Ruang perawatan
intensif (mg/dl)
110
110
140-180
Ruang Parawatan
Umum (mg/dl)
Pre-prandial
Post-prandial
110
≤180
110
≤180
<140
≤180
ACE=American College of Endocrinology;
ADA=American Diabetes Association
E. Hipoglikemia pada pasien yang dirawat di ruang perawatan umum
Pada pasien rawat inap, hipoglikemia dapat diakibatkan oleh iatrogenic
hypoglycemia maupun hipoglikemia spontan. Berbagai penyebab terjadinya
iatrogenic hypoglycemia terutama pada pasien-pasien usia lanjut dirumah
sakit diantaranya target glikemik yang terlalu ketat, adanya HAAF
150
(hypoglycemic-associated Autonomic failure), gangguan fungsi organ
(gagal jantung, gagal ginjal dan gagal hati), exposure obat-obatan
hipoglikemia (insulin, sulfonilurea), penurunan jumlah kalori yang
dikonsumsi (anoreksia, nausea, muntah-muntah), penghentian makanan
via oral dan kurangnya koordinasi antara waktu makan dengan jadwal
pemberian obat.
Faktor lain yang berpotensi sebagai penyebab hipoglikemia adalah tidak
dilakukan perubahan dosis obat pada saat pasien dalam proses
kesembuhan dan sudah terjadi perbaikan terhadap sensitivitas insulin.
Misalnya pasien yang dirawat dengan pneumonia dan membutuhkan dosis
insulin yang lebih tinggi oleh karena infeksi akan menyebabkan peningkatan
resistensi insulin, kemungkinan pasien akan mengalami hipoglikemia
manakala pneumonianya teratasi oleh karena sensitivitas insulin juga akan
mengalami perbaikan. Demikian pula pada pasien yang sudah dianjurkan
untuk mobilisasi sesudah sakit atau pada pasien post amputasi tungkai
bawah maka akan terjadi perbaikan sensitivitas insulin dan sangat berisiko
untuk mengalami hipoglikemia apabila tidak dilakukan pengaturan dosis
obat anti hiperglikemik (1,27,28,29).
Beberapa jenis obat yang tidak tergolong sebagai obat anti hiperglikemik
terbukti juga dapat mempresipitasi terjadinya hipoglikemia. Obat-obatan
tersebut diantaranya quinolone, pentamidin, beta bloker, Ace-Inhibitor, ARB
(angiotension receptor blockers), salisilat, quinine dan indometasin (lihat
bab VI).
151
Ranozaline, obat yang digunakan untuk mengatasi angina kronis pada
pasien-pasien penyakit jantung juga dapat menurunkan kadar glukosa
darah dan dapat menyebabkan hipoglikemia terutama bila digunakan
secara bersamaan dengan obat anti hiperglikemik (31).
Berbeda dengan iatrogenic hypoglycemia, faktor risiko untuk terjadinya
hipoglikemia spontan pada pasien yang dirawat dirumah sakit adalah usia
lanjut, pernah mengalami hipoglikemia sebelumnya, menjalani rawat inap
secara berulang-ulang, kondisi penyakit terminal, adanya penyakit komorbid
seperti gagal ginjal, syok, pasien-pasien yang membutuhkan ventilator
mekanik, penyakit keganasan dan adanya hipoalbuminemia. Beberapa
kelainan endokrin yang menyebabkan gangguan sekresi hormon anti insulin
seperti insufisiensi adrenal (Addison diseases), defisiensi growth hormone,
hipotiroidisme dan hipopituitarisme juga dapat menginduksi hipoglikemia
(4,32).
F. Terapi hipoglikemia pada pasien yang dirawat inap di ruang perawatan
umum
Untuk mecegah terjadinya hipoglikemia, maka para klinisi harus memiliki
kemampuan yang optimal dalam mendeteksi faktor risiko yang dapat
mempresipitasi terjadinya hipoglikemia dan melakukan monitor yang ketat
terhadap kadar glukosa darah pasien.
Oleh karena sebagian besar pasien yang berisiko untuk mengalami
hipoglikemia adalah pasien diabetes yang dirawat pada ruang perawatan
umum dan biasanya mendapat terapi insulin dengan metode basal bolus
(prandial), maka perlu dilakukan monitoring kadar glukosa darah yang ketat
152
dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler paling tidak 4
kali sehari, yaitu setiap sebelum makan dan pada saat sebelum tidur. Untuk
pasien yang tidak makan maka monitoring sebaiknya dilakukan setiap 4-6
jam dan bila pasien mendapat asupan makan melalui sonde lambung maka
monitoring kadar glukosa disesuaikan dengan jadwal pemberian makan
(35).
Bila hipoglikemia terdeteksi, maka segera lakukan penilaian tentang tingkat
kesadaran pasien, status sirkulasi dan respirasi, hasil pemeriksaan glukosa
darah, dosis dan waktu pemberian insulin, evaluasi nutrisi peroral, jumlah
dan jam makan terakhir serta ada tidaknya pemberian cairan melalui infus.
(Gambar 7.1)
Pada pasien rawat inap yang mengeluhkan gejala-gejala hipoglikemia
namun kadar glukosa darahnya masih normal (pseudo/relatif hipoglikemia)
maka dapat diberikan makan ringan seperti pisang atau sepotong roti untuk
menghindari terjadinya hiperglikemia. Pada pasien hipoglikemia yang
terkonfirmasi (GDS <70 mg/dl) dengan kesadaran yang masih baik dan
dapat makan, maka segera diberikan 15 gram glukosa yang dilarutkan
dalam air minum dan dapat diulangi setiap 15 menit hingga kadar glukosa
darah mencapai >80 mg/dl. Jika telah dilakukan pengulangan terapi
sebanyak 3 kali dan kadar glukosa darah tetap rendah maka dapat
dipertimbangkan pemberian infus dextrose 10% dengan kecepatan 100
cc/jam. Pada pasien yang dilakukan penghentian makanan peroral atau
tidak dapat menelan atau pasien dalam kondisi tidak sadar, maka segera
berikan larutan dekstrose intravena bila ada akses intravena. Diberikan
dextrose 50% sebanyak 25 cc dan dilanjutkan dengan infus dextrose 5%
153
dengan kecepatan 100 cc/jam. Infus dengan dextrose 10% dan 20% juga
efektif namun berisiko untuk mengalami ekstravasasi cairan.
Alternatif terapi adalah dengan pemberian injeksi 1 mg glucagon
secara intramuskuler bila akses intravena tidak tersedia (36,37).
Gambar 7.1. Algoritme terapi hipoglikemia pada pasien yang dirawat
di rumah sakit.(34). CBG=capillary blood glucose;
IV=intravenous; IM=intramuscular; NPO= nutrition peroral
154
G. Hipoglikemia pada pasien yang dirawat di ruang perawatan intensif
Kejadian hipoglikemia, baik oleh karena iatrogenic hipoglikemia maupun
oleh karena hipoglikemia spontan sering ditemukan pada pasien yang
dirawat pada ruang perawatan intensif dan menjadi salah satu penyebab
utama kematian pada pasien yang kritis (35).
Deteksi hipoglikemia relatif lebih sulit pada pasien yang dirawat pada ruang
perawatan intensif oleh karena pasien pada umumnya dalam keadaan
tersedasi dan biasanya tidak mampu untuk berkomunikasi, hal ini
menyebabkan gejala-gejala dan keluhan hipoglikemia akan tertutupi (36).
Dengan demikian pemeriksaan kadar glukosa darah merupakan satu-
satunya modalitas diagnostik untuk untuk mendeteksi adanya hipoglikemia
pada pasien yang dirawat diruang perawatan intensif.
Diperlukan monitoring kadar glukosa darah yang lebih sering untuk
mendeteksi terjadinya hipoglikemia (setiap 30 menit sampai setiap 2 jam),
khususnya pada pasien yang mendapatkan terapi insulin infus. Monitoring
tidak hanya dengan memeriksa kadar glukosa kapiler, tetapi juga darah
arteri maupun vena.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa kadar glukosa darah kapiler dapat
memberikan hasil yang overestimation (39) maupun underestimation (40)
pada pasien yang kritis. Pada pasien yang syok, penggunaan vasopressor
dan adanya udema pada extremitas juga dapat menyebabkan pemeriksaan
glukosa darah kapiler menjadi tidak akurat. Faktor risiko untuk terjadinya
hipoglikemia diruang perawatan intensif diantaranya adalah sepsis, diabetes
melitus, pemberian obat-obatan vasoaktif, interaksi dari obat-obatan yang
155
diberikan, continuous venovenous hemofiltration, pemberian bikarbonat dan
penghentian nutrisi (oral maupun parenteral) pada saat pemberian insulin
infus. Penyebab utama adalah terapi insulin intensif yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia berat sebesar 5 kali lipat. Para peneliti
dari the NICE-SUGAR Study yang mengevaluasi hubungan antara kejadian
hipoglikemia sedang (glukosa darah 40-70 mg/dl) dan hipoglikemia berat
(<40 mg/dl) dengan angka mortalitas pada pasien yang dirawat di ruang
perawatan intensif mendapatkan hasil angka kematian pada pasien yang
tidak mengalami hipoglikemia sebesar 23,5%, pasien yang mengalami
hipoglikemia sedang 28,5% dan untuk pasien yang mengalami
hipoglikemia berat angka kematiannya mencapai 35,4%. (41,42,43).
H. Target glikemik pada pasien yang dirawat diruang perawatan intensif
Pada tahun 2014 American College of Physicians (ACP)
merekomendasikan untuk mempertahankan kadar glukosa darah pada
pasien yang dirawat diruang perawatan intensif pada kisaran 140-200 mg/dl
baik pada pasien diabetes maupun non-diabetes (44). The Society of
Critical Care Medicine (SCCM) merekomendasikan untuk memulai terapi
infus insulin bila kadar glukosa darah lebih besar dari 150 mg/dl dan
mempertahankan kadar glukosa darah agar tidak melebihi 180 mg/dl (45).
Guidelines terbaru dari American Diabetes Association (ADA)
merekomendasikan target glikemik pada pasien yang dirawat di rumah sakit
adalah 140-180 mg/dl baik untuk pasien kritis maupun yang dirawat diruang
perawatan umum (46). (Tabel 7.3)
156
Selain pemeriksaan kadar glukosa darah, maka pemeriksaan kadar HbA1c
juga penting dilakukan pada saat pasien menjalani perawatan di ruang
perawatan intensif.
Pemeriksaan HbA1c merupakan biomarker untuk kontrol glikemik jangka
panjang (3-4 bulan) pada pasein diabetes, oleh karena itu dapat digunakan
untuk membedakan apakah peningkatan kadar glukosa darah pasien di
ruang perawatan intensif merupakan akibat dari stres hiperglikemia atau
karena memang sudah mengalami diabetes sebelumnya. HbA1c dapat
digunakan sebagai patokan untuk menetapkan target glikemik dan
prognostik pasien diruang perawatan intensif. Pemeriksaan HbA1c
sebaiknya dilakukan pada semua pasien kritis dengan kadar glukosa darah
>180 mg/dl. Bila kadar HbA1C >7% (diasumsikan diabetes), maka target
glukosa darahnya adalah 180-220 mg/dl dan target glukosa darah 140-180
mg/dl adalah untuk pasien dengan kadar HbA1C <7% (stres hiperglikemia)
(47,48). (Gambar 7.2)
Gambar 7.2. Target glikemik berdasarkan kadar HbA1C
pada saat pasien dirawat diruang intensif (47).
157
Daftar Pustaka
1. Hulkower DR, Pollack MR, Zonszein J. Understanding hypoglycemia
in hospitalized patients. Diab Manage 2014;4(2): 107-113.
2. Umpierrez G, Korytkowski M. Diabetic emergencies — ketoacidosis,
hyperglycaemic hyperosmolar state and hypoglycaemia. Nature Rev.
Endocrinol 2016:1-9.
3. American Diabetes Association. Standards Medical Care in Diabetes
2017; Diabetes Care in the Hospital. Diab Care 2017; 40(Suppl. 1):
S120–S127.
4. Carey M, Boucai L, Zonszein J. Impact of hypoglycemia in hospitalized
patients. Curr Diab Rep. 2013;13(1): 107–13.
5. Akirov A, Grossman A, Shochat T, Shimon I. Mortality among
hospitalized patients with hypoglycemia: insulin related and noninsulin
related. J Clin Endocrinol Metab 2017;102(2):416–24.
6. Garg R, Hurwitz S, Turchin A, Trivedi A. Hypoglycemia, with or without
insulin therapy, is associated with increased mortality among
hospitalized patients. Diab Care 2013;36(5):1107–10.
7. Turchin A, Matheny ME, Shubina M, Scanlon JV, Greenwood B,
Pendergrass ML. Hypoglycemia and clinical outcomes in patients with
diabetes hospitalized in the general ward. Diab Care 2009;32(7):1153–
7.
8. Boucai L, Southern WN, Zonszein J. Hypoglycemia-associated
mortality is not drug-associated but linked to comorbidities. Am J Med
2011;124:1028–1035
158
9. Donnelly LA, Morris AD, Frier BM et al. Frequency and predictors of
hypoglycaemia in Type 1 and insulin-treated Type 2 diabetes: a
population-based study. Diabet Med 2005; 22(6): 749–755 .
10. Cook CB, Kongable GL, Potter DJ, Abad VJ, Leija DE, Anderson M.
Inpatient glucose control: a glycemic survey of 126 U.S. hospitals. J
Hosp Med 2009; 4(9): E7–E14 .
11. Gogitidze Joy N, Hedrington MS, Briscoe VJ, Tate DB, Ertl AC, Davis
SN. Effects of acute hypoglycemia on inflammatory and pro-
atherothrombotic biomarkers in individuals with type 1 diabetes and
healthy individuals. Diab Care 2010;33:1529-35.
12. Tsai SH, Lin YY, Hsu CW, Cheng CS et al. Hypoglycemia Revisited in
the Acute Care Setting. Yonsei Med J 2011; 52(6): 898-908.
13. Singanayagam A, Chalmers JD, Hill AT. Admission hypoglycaemia is
associated with adverse outcome in community-acquired pneumonia.
Eur Respir J 2009; 34: 932-939.
14. Egi M, Bellomo R, Stachowski E et al.Hypoglycemia and outcome in
critically ill patients. Mayo Clin Proc 2010; 85: 217-224.
15. Margulescu AD, Sisu RC, Cinteza M, Vinereanu D. Noncardiogenic
acute pulmonary edema due to severe hypoglycemia-an old but
ignored cause. Am J Emerg Med 2008; 26: 839.e3-6.
16. Jolliet P, Leverve X, Pichard C. Acute hepatic steatosis complicating
massive insulin overdose and excessive glucose administration.
Intensive Care Med 2001; 27: 313-316.
159
17. Miller SI, Wallace RJ Jr, Musher DM, Septimus EJ, Kohl S, Baughn
RE. Hypoglycemia as a manifestation of sepsis. Am J Med 1980; 68(5):
649-654.
18. Requejo CC, Sanz UE, Ruiz TA et al. Hypoglycemic treatment of
diabetic patients in the Emergency Department. Farm Hosp 2016;
40(3): 172-186.
19. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes
2015. Diab Care. 2015; 38(Suppl1).
20. Wexler D J, Meigs JB, Cagliero E, Nathan DM & Grant RW. Prevalence
of hyper- and hypoglycemia among inpatients with diabetes: a national
survey of 44 U.S. hospitals. Diab Care 2007; 30: 367–369.
21. Umpierrez, GE. Randomized study comparing a basal-bolus with a
basal plus correction insulin regimen for the hospital management of
medical and surgical patients with type 2 diabetes: basal plus trial. Diab
Care 2013; 36, 2169–2174.
22. Cryer PE. Death during intensive glycemic therapy of diabetes:
mechanisms and implications. Am J Med 2011; 124(11): 993–996.
23. Finfer S, Heritier S. The NICE-SUGAR (Normo-glycaemia in Intensive
Care Evaluation and Survival Using Glucose Algorithm Regulation)
Study: statistical analysis plan. Crit Care Resusc 2009;11:46-57
24. Leese GP. Frequency of severe hypoglycemia requiring emergency
treatment in type 1 and type 2 diabetes: a population-based study of
health service resource use. Diab Care 2003; 26: 1176–1180.
160
25. Kerry C, Mitchell S, Sharma S, Scott A, Rayman G. Diurnal temporal
patterns of hypoglycaemia in hospitalized people with diabetes may
reveal potentially correctable factors. Diab Med 2013; 30: 1403–1406.
26. Griffing LK. Hypoglycemia Prevention in hospital patients: A quality
improvement project to prevent severe and recurrent hypoglycemia.
Clin Diab 2016; 34(4); 194-199.
27. Seaquist ER, Anderson J, Childs B et al. Hypoglycemia and diabetes: a
report of a workgroup of the American Diabetes Association and the
Endocrine Society. Diab Care 2013; 36(5): 1384–1395.
28. Krinsley JS, Grover A. Severe hypoglycemia in critically ill patients: risk
factors and outcomes. Crit Care Med 2007; 35(10): 2262–2267.
29. Carey M, Boucai L, Zonszein J. Impact of hypo-glycemia in hospitalized
patients. Curr Diab Rep 2013; 13(1): 107–113.
30. Murad MH, Coto-Yglesias F, Wang AT et al. Clinical review: drug-
induced hypoglycemia: a systematic review. J Clin Endocrinol Metab
2009; 94(3): 741–745.
31. Chisholm JW, Goldfine AB, Dhalla AK et al. Effect of ranolazine on
A1C and glucose levels in hyperglycemic patients with non-ST
elevation acute coronary syndrome. Diab Care 2010; 33(6): 1163–
1168.
32. Stanisstreet D, Walden E, Jones C, Graveling A. The hospital
management of hypoglycaemia in adults with diabetes mellitus.
Guidelines developed by joint British Diabetes Society and Diabetes
UK (Revised September 2013). www.diabetologists-
abcd.org.uk/subsite/ JBDS
161
33. Umpierrez GE, lman R, Korytkowski MT et al. Management of
hyperglycemia in hospitalized patients in non-critical care setting: an
endocrine society clinical practice guideline. J Clin Endocrinol Metab
2012; 97(1): 16–38.
34. Moghissi ES, Korytkowski MT, Dinardo M et al. American Association
of Clinical Endocrinologists and American Diabetes Association
consensus statement on inpatient glycemic control. Endocr Pract 2009;
15(4): 353–369.
35. Tomky D. Detection, prevention, and treatment of hypoglycemia in the
hospital. Diab Spectrum 2005; 18(1): 39-44.
36. Moore C, Woollard M. Dextrose 10% or 50% in the treatment of
hypoglycaemia out of hospital? A randomised controlled trial. J Emerg
Med 2005; 22(7): 512–515.
37. Wood SP. Is D50 too much of a good thing? A reappraisal of the safety
of 50% dextrose administration in patients with hypoglycemia. JEMS
2007; 32(3): 103–106.
38. Hoedemaekers C, van der Hoeven J. Hypoglycemia in critically ill
patients In: Diabetes - damages and treatments. Rigobelo (ed). InTech
Publisher Croatia; 77-92: 2011.
39. Kanji, S, Buffie J, Hutton P, Bunting PS et al. Reliability of point-of-care
testing for glucose measurement in critically ill adults. Crit Care Med
2005; 33: 2778-2785.
40. Atkin, SH, Dasmahapatra A, Jaker AM, Chorost IM, Reddy S.
Fingerstick glucose determination in shock. Ann Intern Med 1991; 114:
1020-1024.
162
41. Mahmoodpoor A, Hamishehkar H, Beigmohammadi M, et al.
Predisposing factors for hypoglycemia and its relation with mortality in
critically ill patients undergoing insulin therapy in an intensive care unit.
Anesth Pain Med 2016; 6(1): e33849.
42. Yamada T, Shojima N, Noma H, Yamauchi T, Kadowaki T. Glycemic
control, mortality, and hypoglycemia in critically ill patients: a
systematic review and network meta-analysis of randomized controlled
trials. Intensive Care Med 2017; 43(1): 1-15.
43. Finfer S, Liu B, Chittock DR, Norton R, Myburgh JA, McArthur C, et al.
Hypoglycemia and risk of death in critically ill patients. NICE-SUGAR
Study Investigators, N Engl J Med 2012; 367(12): 1108-1118.
44. Qaseem A, Chou R, Humphrey LL, Shekelle P; Clinical Guidelines
Committee of the American College of Physicians. Clinical Guidelines
Committee of the American College of P. Inpatient glycemic control:
best practice advice from the Clinical Guidelines Committee of the
American College of Physicians. Am J Med Qual. 2014;29(2):95-8.
45. Jacobi J, Bircher N, Krinsley J et al. Guidelines for the use of an insulin
infusion for the management of hyperglycemia in critically ill patients.
Crit Care Med 2012; 40(12): 3251-3276.
46. American Diabetes Association. Diabetes care in the hospital. Diab
Care. 2016; 39(Suppl 1): S99-104.
47. Aramendi I, Burghi I, Manzanares W. Dysglycemia in the critically ill
patient: current evidence and future perspectives. Rev Bras Ter Intens
2017; 29(3): 364-372.
163
48. Marik PE, Egi M. Treatment thresholds for hyperglycemia in critically ill
patients with and without diabetes. Intensive Care Med 2014; 40(7):
1049-51.
164
Penyebab utama kematian pada pasien diabetes melitus adalah penyakit
kardiovaskuler, namun saat ini para peneliti dan klinisi juga menemukan bahwa
kejadian hipoglikemia pada pasien diabetes merupakan faktor risiko yang sangat
penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler. Hipoglikemia berat diketahui
merupakan salah satu prediktor utama untuk terjadinya penyakit kardiovaskuler,
memperburuk outcomes secara klinis dan meningkatkan mortalitas pada pasien
tipe 2 diabetes.
Analisis dari hasil penelitian VADT (Veterans Affairs Diabetes Trial) menemukan
bahwa hipoglikemia berat merupakan prediktor kuat untuk kematian
kardiovaskuler dalam waktu 90 hari (1). Laporan dari the Action in Diabetes and
Vascular Disease: Preterax and Diamicron Modified Release Controlled Evaluation
(ADVANCE) trial menunjukkan adanya peningkatan komplikasi makrovaskuler
sebesar 2,8 kali dan angka kematian kardiovaskuler sebesar 2,6 kali pada pasien
DM tipe 2 yang mengalami paling tidak satu kali episode hipoglikemia selama lebih
dari 5 tahun periode penelitian (2).
Sebaliknya temuan yang berbeda didapatkan pada penelitian yang melibatkan
pasien DM tipe 1. Data dari DCCT (Diabetes Control and Complications Trial) dan
Europe and Diabetes (EURODIAB) Prospective Complication Trial menunjukkan
bahwa tidak didapatkan peningkatan mortalitas atau penyakit kardiovaskuler yang
fatal pada pasien yang DM tipe 1 yang mengalami hipoglikemia (3). Namun secara
umum dilaporkan bahwa sekitar 6-10% angka kematian pada pasien DM tipe 1
usia muda adalah akibat hipoglikemia yang menyebabkan terjadinya aritmia
jantung yang fatal (4).
165
Hipoglikemia akan memicu berbagai kelainan yang bersifat maladaptive, yang
dapat menyebabkan terjadinya perubahan profil risiko kardiovaskuler. Kelainan-
kelainan tersebut diantaranya penurunan sekresi insulin pankreas, peningkatan
sekresi hormon anti insulin, perubahan hematologik (risiko trombosis, koagulasi,
fibrinolisis), peningkatan ekspresi marker-marker inflamasi dan disfungsi endotel,
peningkatan stres oksidatif, bahkan hipoglikemia terbukti berkonstribusi terhadap
kejadian sudden cardiac death (5-9). (Gambar 8.1)
Gambar 8.1. Efek kardiovaskuler dari hipoglikemia. (9)
CRP= C-reactive protein, IL6=interleukin 6,
VEGF= vascular endothelial growth factor
166
Komplikasi kardiovaskuler dari hipoglikemia diantaranya iskemia miokard,
pemanjangan repolarisasi dan interval QT, perubahan gelombang ST,
bradikardia, fibrilasi atrium, aritmia ventrikel dan infark miokard akut (10)
Walaupun patomekanisme yang menjelaskan hubungan antara kejadian
hipoglikemia berat dengan memburuknya outcomes kardiovaskuler pada pasien
diabetes belum diketahui dengan pasti, namun berbagai penelitian telah
melaporkan adanya efek yang merugikan dari hipoglikemia terhadap pembuluh
darah, baik mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Efek-efek tersebut
diantaranya adalah rangsangan terhadap sistim saraf autonom, peningkatan
sekresi katekolamin dan perubahan hemodinamik (11). (Tabel 8.1) dan (gambar
8.2).
Tabel 8.1. Efek hipoglikemia terhadap vaskuler (11)
Mikrovaskuler Makrovaskuler
Perubahan aliran darah kapiler
Peningkatan faktor koagulasi
Aktivasi trombosit
Aktivasi neutrofil
Peningkatan aktivitas radikal
bebas
Inflamasi dan disfungsi endotel
Penurunan fibrinolisis
Iskemia jantung
Efek pro-aritmia
Disfungsi cardiac autonomic
167
Beberapa faktor yang telah dibuktikan berperanan terhadap hubungan tersebut
adalah (11):
1. Gangguan koagulasi darah
2. Inflamasi
3. Disfungsi endotel dan
4. Aktivasi sistim saraf simpatis
1. Hipoglikemia dan gangguan koagulasi darah
Hipoglikemia dapat menyebabkan viskositas darah meningkat dan
mempengaruhi agregasi trombosit. Hipoglikemia akan meningkatkan expresi P-
selectin (suatu marker untuk aktivasi trombosit), fibrinogen, kadar faktor VIII
dan kompleks thrombin-antitrombin. Pada pasien DM tipe 1 kejadian
hipoglikemia akan mempengaruhi kadar PAI-1 (plasminogen activator inhibitor-
1). Hal ini akan mengakibatkan penurunan keseimbangan fibrinolisis secara
sistemik dan meningkatkan agregasi dari trombosit-monosit, yang secara
biologik akan meningkatkan risiko trombosis dan kejadian iskemia akut. Pada
pasien DM tipe 2, kejadian hipoglikemia akan menyebabkan agregasi trombosit
lebih massif walaupun telah diberikan terapi aspirin dan adenosine diphosphate
receptor antagonists (12,13).
Perubahan sistim koagulasi yang diinduksi oleh hipoglikemia akan
mempengaruhi sistim kardiovaskuler dan menjadi faktor risiko untuk terjadinya
penyakit kardiovaskuler seperti infark miokard akut dan strok.
168
Gambar 8.2. Hubungan yang kompleks antara hipoglikemia dengan penyakit
kardiovaskuler. (2)
CAD=coronary artery disease, CV=cardiovascular, DM=diabetes
mellitus, MVO2= myocardial oxygen consumption .
2 . Hipoglikemia dan Inflamasi
Berbagai hasil penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara
inflamasi kronik dengan penyakit kardiovaskuler, resistensi insulin dan
diabetes.
Sebagaimana halnya dengan aktivasi sistim koagulasi, hipoglikemia juga
dapat meningkatkan marker-marker inflamasi yang beredar dalam sirkulasi
seperti CD40, ligan CD40, interleukin 1, interleukin-6, interleukin 8, C-reactive
169
protein, TNF-α (tumor necrosis factor-α), stres oksidatif dan berbagai
biomarker pro-inflamasi serta pro-thrombotik lainnya.
Peningkatan marker-marker inflamasi tersebut dapat bertahan hingga
beberapa hari setelah episode hipoglikemia dialami. Walaupun
peningkatannya hanya bersifat sementara namun inflamasi merupakan
indikator penting oleh karena berperan dalam patomekanisme pembentukan
aterosklerosis (12,14).
3. Hipoglikemia dan disfungsi endotel
Mekanisme bagaimana hipoglikemia dapat menyebabkan gangguan fungsi
endotel belum diketahui dengan pasti. Diduga disfungsi endotel yang
diinduksi oleh hipoglikemia merupakan efek dari peningkatan dari marker-
marker pro-inflamasi dan terjadinya abnormalitas sistim koagulasi.
Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan kadar VCAM-1 (vascular
adhesion molecules vascular cell adhesion molecule-1), ICAM-1 (intercellular
adhesion molecule 1), E-selectin, VEGF (vascular endothelial growth factor).
Peningkatan marker-marker tersebut juga menunjukkan adanya peningkatan
respon inflamasi, sementara peningkatan kadar PAI-1 dan aldosteron
menunjukkan bahwa hipoglikemia juga dapat memprovokasi terjadinya
disfungsi endotel (15).
Sommerfield dan kawan-kawan (2007) yang melakukan penelitian secara
kohort pada pasien DM tipe 1 mendapatkan bahwa hipoglikemia akan
merubah ketebalan dinding pembuluh darah dan menduga hal ini diinduksi
oleh insulin yang merusak endotel arteri (12,16).
170
Peningkatan kadar marker-marker adhesi (VCAM, ICAM, E-selektin dan
lainnya) akan mempermudah makrofag terikat pada endotel yang rusak dan
hal ini merupakan titik awal pembentukan plak yang selanjutnya berkembang
menjadi aterosklerosis pada dinding pembuluh darah (17).
4. Hipoglikemia dan aktivasi sistim saraf simpatis
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa hipoglikemia akan
mengaktifkan respon CRR (counter of regulatory respons) dengan
melepaskan hormon-hormon anti insulin termasuk katekolamin (epinefrin dan
nor-epinefrin). Katekolamin secara langsung akan mempengaruhi sistim
kardiovaskuler berupa peningkatan kontraktilitas jantung, peningkatan kerja
otot jantung, curah jantung dan meningkatkan kebutuhan oksigen jantung
sehingga dapat menginduksi terjadinya iskemia miokard dan penyakit jantung
koroner (12). Katekolamin juga berperan langsung terhadap terjadinya
reaktivitas trombosit dan bersifat pro-aritmia, menginduksi hipokalemia dan
meningkatkan kadar kalsium intraseluler serta menyebabkan interval QT
memanjang. Kesemua hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya
aritmia yang mematikan (12,18,19).
A. Dampak kardiovaskuler dari hipoglikemia
1. Hipoglikemia dan iskemia miokard
Secara patofisiologi terjadinya iskemia miokard adalah akibat
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen dari miokard.
Hipoglikemia dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokard
melalui aktivasi sistim simpatis dan pengeluaran hormon-hormon anti insulin
seperti epinefrin, nor-epinefrin, kortisol, glukagon dan growth hormone.
171
Hormon-hormon adrenergik tersebut akan meningkatkan afterload, inotropik
dan kronotropik dari miokardium sehingga kebutuhan oksigen akan
meningkat. Dilain pihak hormon-hormon tersebut juga akan menyebabkan
vasokonstriksi arteri koroner dengan akibat suplai oksigen ke miokardium
mengalami penurunan. Suplai energi (glukosa dan asam lemak bebas) juga
akan terbatas bila terjadi hipoglikemia dan vasokonstriksi arteri koroner.
Mekanisme tersebut pada akhirnya akan menginduksi terjadinya iskemia
atau bahkan infark miokard. Leong dkk (2016) telah membuktikan bahwa
pada pasien diabetes yang mengalami hipoglikemia, insiden penyakit jantung
koroner meningkat sebesar dua kali lipat. Risiko akan lebih meningkat pada
pasien yang sebelumnya sudah mempunyai faktor risiko koroner dan pasien
usia lanjut (>65 tahun) (20). Aktivasi hormon-hormon anti insulin bila terjadi
hipoglikemia juga dapat menyebabkan spasme koroner dan akan terikat pada
reseptor beta adrenergik pada otot ventrikel jantung dengan akibat akan
terjadi kardiomiopati (10).
2. Efek Elektrofisiologikal Jantung.
Hipoglikemia adalah suatu kondisi pro-arrithmogenic. Kelainan
elektrofisiologi jantung yang paling sering ditemukan pada hipoglikemia
adalah pemanjangan interval QT pada pemeriksaan EKG dan hal ini
menunjukkan bahwa telah terjadi gangguan repolarisasi jantung (21).
Pemanjangan interval QT dapat menyebabkan tahikardia atrial maupun
tahikardia ventrikuler dan merupakan prediktor kuat untuk terjadinya kematian
jantung mendadak (sudden cardiac death). Pemanjangan interval QT dapat
terjadi pada pasien DM tipe 1 dan DM tipe 2 yang mengalami hipoglikemia.
172
Perubahan elekrofisiologi jantung terutama disebabkan oleh hipokalemia.
Mekanisme terjadinya hipokalemia pada pasien hipoglikemia adalah melalui
sekresi epinefrin dan efek langsung dari insulin. Insulin dan epinefrin akan
merangsang fungsi Na+/K+ ATPase yang mengakibatkan kadar kalium
extraseluler mengalami penurunan dan terjadilah hipokalemia. Hipokalemia
secara otomatis akan mengganggu keseimbangan ion sel dan pemanjangan
fase repolarisasi jantung yang tergambar dengan gelombang T yang datar
(flat) (22). Masuknya kalium kedalam sel dapat diinduksi oleh beberapa jenis
obat, sebaliknya juga dapat dihambat dengan obat-obatan tertentu. Turaihi
dkk (1989) berhasil membuktikan bahwa masuknya kalium ke intrasel dapat
dirangsang dengan pemberian adrenalin, isoprenalin dan salbutamol dilain
pihak dapat dihambat dengan pemberian timolol dan atenolol (23).
Berdasarkan hal ini maka dapat diasumsikan bahwa hipokalemia yang
diinduksi oleh hipoglikemia dapat dihambat dengan pemberian beta bloker
(22).
Kelainan gambaran EKG yang lain dapat ditemukan pada pasien
hipoglikemia. Kelainan tersebut diantaranya : PR interval yang memendek,
depresi segmen ST, gelombang T yang datar dan penyempitan gelombang T
(24).
3. Sudden cardiac death
Hipotesis yang menyebutkan bahwa hipoglikemia dapat menyebabkan
kematian mendadak bukanlah sesuatu hal yang baru. Pada tahun 1968,
Malins J (25) melaporkan kematian mendadak pada 14 orang pasiennya
akibat hipoglikemia. Delapan orang diantaranya berusia >60 tahun,
173
mempunyai riwayat hipoglikemia nocturnal dan tidak ada yang menemani
pada saat kematiannya.
Selanjutnya pada tahun 1991 Tattersall dan Gill memaparkan analisis dari
kematian 50 orang pasien DM tipe 1 yang berumur <50 tahun. Laporan
tersebut menyebutkan 22 orang diantara kematian tersebut terjadi pada
waktu pasien tertidur di malam hari dan mengidentifikasi penyebab kematian
tersebut dengan istilah ―dead in bed syndrome‖(26).
Sejak saat itu survei yang sama telah diselenggarakan diberbagai negara
telah dilakukan untuk membuktikan hipotesis tersebut (27-31). Weston JP
(2012) telah melakukan review dan analisis terhadap berbagai laporan yang
dipublikasikan dan mendapatkan bahwa semua penelitian melaporkan
adanya kematian mendadak sebesar 6-10% dari seluruh penyebab kematian
pada pasien DM tipe 1 . Karakteristik pasien yang mengalami mati mendadak
tersebut pada umumnya sama yaitu: berusia <40 tahun, sebagian besar
meninggal pada waktu tidur di malam hari, tidak menderita penyakit lain
kecuali diabetes, tidak ditemukan adanya komplikasi diabetes, meninggal
ditempat tidur tanpa disertai kerusakan disekelilingnya, nampak sehat pada
malam sebelum kematiannya dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan otopsi (32).
Karakteristik tersebut telah dijadikan patokan dalam penetapan diagnosis
―dead in bed syndrome‖ sebagai penyebab kematian. Penyebab pasti dari
fenomena ini masih belum diketahui, namun seluruh peneliti yang
melaporkan kejadian ―dead in bed syndrome‖ mendapatkan adanya
174
keterlibatan hipoglikemia sebagai faktor yang berkonstribusi terhadap
kejadian tersebut.
Hipoglikemia pada pasien diabetes merupakan kejadian yang sering
ditemukan pada malam hari (nocturnal hypoglycemia) terutama akibat
pemberian terapi insulin, dan kematian mendadak juga sering ditemukan
pada malam hari. Berbagai mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan
keterkaitan antara kejadian hipoglikemia dengan kematian jantung secara
mendadak diantaranya: (Gambar 8.3)
1. Hipoglikemia yang diinduksi oleh pemberian insulin akan menyebabkan
perubahan kadar glukosa darah, elektrolit (kalium) dan hormon (insulin,
epinefrin dan nor-epinefrin) yang secara langsung bersifat aritmogenik
terhadap jantung.
2. Hipoglikemia akan terdeteksi oleh otak (sistim saraf pusat) sehingga akan
merangsang terjadinya aritmia jantung secara tidak langsung melalui
aktivasi sistim saraf eferen dan melalui pengeluaran nor-epinefrin secara
lokal pada ujung saraf terminal yang terdapat pada jantung.
3. Aktivasi sistim saraf autonom pada kelenjar adrenal juga akan merangsang
pengeluaran epinefrin pada kelenjar tersebut yang secara langsung akan
menyebabkan aritmia jantung.
4. Pada pasien yang mendapat terapi insulin maka terdapat peningkatan risiko
hipokalemia yang secara langsung dapat menyebabkan aritmia jantung.
175
5. Efek hipoglikemia baik secara langsung maupun secara tidak langsung akan
menyebabkan pemanjangan interval QT (QT corrected/ QTc prolongation).
6. Hipoglikemia juga akan meningkatkan signal adrenergik yang akan
menyebabkan ritme jantung menjadi cepat (tahikardia). Tahikardia akan
diikuti oleh blok jantung derajat 3 yang pada akhirnya menyebabkan
bradikardia yang bersifat fatal.
176
Gambar 8.3. Mekanisme ―sudden cardiac death‖
pasien hipoglikemia yang diinduksi oleh insulin (4)
QTc= corrected QT
Garis merah= Kadar glukosa, elektrolit dan hormon.
Garis biru = Sistim saraf autonom
Daftar Pustaka
1. Skyler JS, Bergenstal R, Bonow RO, et al. American Diabetes Association;
American College of Cardiology Foundation; American Heart Association.
Intensive glycemic control and the prevention of cardiovascular events:
implications of the ACCORD, ADVANCE, and VA diabetes trials: a
position statement of the American Diabetes Association and a scientific
statement of the American College of Cardiology Foundation and the
American Heart Association. Diab Care 2009; 32: 187–192.
177
2. Zoungas S, Patel A, Chalmers J, et al. Severe hypo glycemia and risks of
vascular events and death. N Engl J Med 2010;3 63: 1410–1418.
3. Pistrosch F, Hanefeld M. Hypoglycemia and cardio-vascular disease:
Lessons from outcome studies. Curr Diab Rep 2015; 15: 117.
4. Reno MC, Daphna-Iken D, Chen SY et al. Severe hypoglycemia–induced
lethal cardiac arrhythmias are mediated by sympathoadrenal activation.
Diabetes 2013; 62: 3570-3581.
5. Wright RJ, Frier BM. Vascular disease and diabetes: is hypoglycaemia an
aggravating factor? Diabet Metab Res Rev 2008; 24: 353–363.
6. Johnston SS, Conner C, AAgren M et al. Evidence linking hypoglycemic
events to an increased risk of acute cardiovascular events in patients with
type 2 diabetes. Diab Care 2011; 34: 1164-1170.
7. Monnier L, Colette C, Owens DR: Integrating glycaemic variability in the
glycaemic disorders of type 2 diabetes: a move towards a unified glucose
tetrad concept. Diabet Metab Res Rev 2009; 25: 393–402.
8. Frier BM, Schernthaner G, Heller SR: Hypoglycemia and cardiovascular
risks. Diab Care 2011; 34(Suppl 2): S132–S137.
9. Desouza C, Bolli BG, Fonseca V. Hypoglycemia, diabetes, and
cardiovascular events. Diab Care 2010; 33(6): 1389-1394.
10. Hsueh CY, Lee HW, Huang YY, Li HY, Chao HT. Hypoglycemia-induced
non-ST segment-elevation myocardial infarction: An unusual complication
of diabetes mellitus. Case report. Acta Cardiol Sinica 2012; 28: 148-151.
11. Chow E, Fisher M, Heller RS. Mortality, cardiovascular morbidity and
possible effect of hypoglycemia on diabetic complication. In
178
Hypoglycaemia in clinical diabetes. Frier MB,Heller RS, McCrimmon JR
(eds). 3rd Ed. John Wiley & Sons Published: 263-284, 2014.
12. Connelly AK, Yan TA, Leiter AL, Bhatt LD, Verma S. Cardiovascular
implications of hypoglycemia in diabetes mellitus. Circulation. 2015; 132:
2345-2350.
13. Angiolillo DJ, Fernandez-Ortiz A, Bernardo E et al. Platelet function
profiles in patients with type 2 diabetes and coronary artery disease on
combined aspirin and clopidogrel treatment. Diabetes. 2005;54:2430–
2435.
14. Jialal I, Dhindsa S. Hypoglycemia and thepredisposition to cardiovascular
disease: Is the pro-inflammatory-procoagulant diathesis a plausible
explanation? Atherosclerosis 2016; 251: 504-506.
15. de Galan BE, Natea MG, Smith P, van der Meer JW. Hypoglycemia
downregulates endotoxin-induced production of TNF-α, but does not affect
IL-1 beta, IL-6 or IL-10. Cytokines 2003; 22(3-4): 71-76.
16. Sommerfield AJ, Wilkinson IB, Webb DJ, Frier BM. Vessel wall stiffness in
type 1 diabetes and the central hemodynamic effects of acute
hypoglycemia. Am J Physiol Endocrinol Metab. 2007;293:E1274–E1279.
17. Gogitidze JN, Hendrington MS, Brisco VJ et al. Effects of acute
hypoglycemia on inflammatory and pro-atherotrombotic biomarkers in
individuals with type 1 diabetes and healthy individuals. Diab Care 2010;
33(7): 1529-1535.
18. Ziegler D, Zentai CP, Perz S, Rathmann W, Haastert B, Döring A,
Meisinger C; KORA Study Group. Prediction of mortality using measures
of cardiac autonomic dysfunction in the diabetic and nondiabetic
179
population: the MONICA/KORA Augsburg Cohort Study. Diab Care. 2008;
31: 556–561.
19. Stahn A, Pistrosch F, Ganz X, Teige M, Koehler C, Bornstein S, Hanefeld
M. Relationship between hypoglycemic episodes and ventricular
arrhythmias in patients with type 2 diabetes and cardiovascular diseases:
silent hypoglycemias and silent arrhythmias. Diab Care. 2014; 37: 516–
520.
20. Leong A, Berkowitz AS, Triant AV et al. Hypoglycemia in diabetes mellitus
as a coronary artery disease risk factor in patients at elevated vascular
risk. J Clin Endocrinol Metab 2016; 101(2): 659–668.
21. Hanefeld M, Frier MB, Pistrosch F. Hypoglycemia and cardiovascular Risk:
Is there a major link?. Diab Care 2016; 39(Suppl. 2): S205–S209.
22. Yang WS, Park HK, Zhou JY. The impact of hypo glycemia on the
cardiovascular system: Physiology and pathophysiologi. Angiology 2015:
1-8.
23. Turaihi K, Khoher MA, Barradas MA et al. 86Rb(K) influx and (3H)ouabain
binding by human platelets. Evidence for beta-adrenergic stimulation of
Na-K ATPase activity. Metabolism 1989; 38(8): 773-776.
24. Sanon PV, Sanon S, Kanakia R et al. Hypoglycemia from a cardiologist’s
perspective. Clin Cardiol 2014; 37(8): 499–504.
25. Malins J. Hypoglycaemia. Clinical Diabetes Mellitus: Eyre and
Spottiswoode, 1968: 425-446.
180
26. Tattersall RB, Gill GV. Unexplained deaths of type 1 diabetic patients.
Diabet Med 1991; 8:49-58.
27. Nystrom L, Ostman J, Wall S, Wibell L. Mortality of all incident cases of
diabetes mellitus in Sweden diagnosed 1983–1987 at aged 15–34 years.
Diabet Med 1992; 9: 422–427.
28. Borch-Johnsen K, Helweg-Larsen K. Sudden death and human insulin.
Diabet Med 1993; 10: 255–259.
29. Thordason H, Søvik O. Dead in bed syndrome in young diabetic patients
in Norway. Diabet Med 1995: 12: 782–787.
30. Tu E, Twigg SM, Duflou J, Semsarian C. Causes of death in young
Australians with type 1 diabetes: a review of coronial post-mortem
examinations. Med J Australia 2008; 188: 699–702.
31. Secrest AM, Becker DJ, Kelsey SF, LaPorte RE, Orchard TJ.
Characterizing sudden death and dead in bed syndrome in Type 1
diabetes: analysis from two childhood onset Type 1 diabetes registries.
Diabet Med 2011; 28: 293–300.
32. Weston JP. The dead in bed syndrome revisited: a review of the evidence.
Diabet Manag 2012; 2(3): 233–241.
181
HIPOGLIKEMIA Dalam praktek sehari-hari
Dr.dr. Andi Makbul Aman Mansyur, SpPD-KEMD, FINASIM lahir di
Bulukumba, 23 Juni 1964 dan menyelesaikan pendidikan dokter (1990),
Spesialis Penyakit Dalam (2000) dan Program Doktoral (2012) pada
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Memperoleh
gelar Konsultan Endokrinologi Metabolik dan Diabetes (KEMD) (2008)
dari Kolegium Ilmu Penyakit Dalam Indonesia.
Juga telah mengikuti berbagai training dan kursus bidang endokrinologi
dan diabetes didalam dan luar negeri termasuk Steno Diabetes Centre di Copenhagen
Denmark (2003), Training Attachment di Singapore General Hospital, Singapura (2004)
dan Obesity Course di Hongkong (2006).
Menikah dengan A. Fitriani Ghalib, SH, Mkn (1995) dan telah dikarunia empat orang
anak: A. Nabillah Ramadhani, S.Ked (1996), A. Muh. Firsyan Adha (1999), A. Intan
Annisa (2000) dan A. Muh. Farril (2005).
Saat ini menjabat ketua Divisi Endokrin dan Metabolik serta ketua Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fak. Kedokteran Unhas. Mengajar pada jenjang pendidikan S1, S2 dan
S3 di Fakultas Kedokteran Unhas. Juga melakukan tugas pelayanan kesehatan sebagai
dokter konsultan endokrin dan metabolik pada beberapa rumah sakit pendidikan dan
rumah sakit swasta di Makassar.
“Let food be thy medicine and
medicine be thy food.” Hippocrates