6. Biomekanika, Penyembuhan Fraktur Dan Penanganan Komplikasi Fraktur Edit
diagnosis fraktur
-
Upload
febriyani-laurus -
Category
Documents
-
view
26 -
download
1
description
Transcript of diagnosis fraktur
2.4 Diagnosis
Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan
fungsi muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan
neurovaskuler. Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnose fraktur
dapat ditegakkan walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan. Berikut
merupakan tahap-tahap untuk mendiagnosis adanya fraktur femur(Kristiyanto,
2014).
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan baik secara autoanamnesis maupun heteroanamnesis(pada
pasien bayi/anak-anak). Anamnesis yang dilakukan adalah untuk menggali
riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya,
riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok,
riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain. Secara garis beras
anamnesis meliputi:
- Riwayat penyakit sekarang
Yang perlu diketahui adalah keluhan utama yang membuat pasien datang ke
rumah sakit, onset terjadinya keluhan, lokasi keluhan, Mechanism of Injury atau
kronologis terjadinya keluhan/trauma tersebut, kuantitas/frekuensi(i.e. nyeri
menetap/hilang timbul?), kualitas(i.e seberapa nyeri?), faktor yang
memperingan/memperberat keluhan tersebut, dan keluhan penyerta yang lain
seperti adanya rasa kesemutan, tebal, demam, dan lain sebagainya. Keluhan pada
fraktur femur bisa berupa:
Nyeri: dinilai bisa dengan menggunakan visual analog score 1-10, minta pasien
untuk menunjuk bagian yang nyeri, adakah referred pain atau tidak.
Bengkak: semakin membesar/progresif atau menetap.
Kelainan bentuk: terjadi di bagian mana? Apakah sejak dulu atau baru terjadi
setelah trauma?
- Riwayat penyakit terdahulu
Adakah kelainan musculoskeletal semasa anak-anak, cedera lain yang dulu
pernah dialami, riwayat operasi, penggunaan obat-obatan
- Riwayat penyakit keluarga
Curiga ada infeksi pada tulang/sendi: bisa ditanyakan kepada keluarga apakah
ada yang menderita penyakit menular, menanyakan riwayat musculoskeletal
disorder pada keluarga
- Riwayat sosial
Kebiasaan mengonsumsi alkohol dan merokok
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni:
- inspeksi / look: deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan),
bengkak.
- Palpasi / feel (nyeri tekan, krepitasi). Status neurologis dan vaskuler di bagian
distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur
tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami
nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi :
pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapler, sensasi.
- Pemeriksaan gerakan / moving
dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan
dengan lokasi fraktur. Meliputi active movement atau gerakan sendiri oleh pasien,
passive movement atau sendi digerakan oleh pemeriksa, dan false movement atau
sendi dapat bergerak di luar normal movement.
Pemeriksaan trauma di tempat lain meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis.
Pemeriksaan neurologis juga penting untuk dilakukan. Sedangkan pada pasien
dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS.
Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan
pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis(Auckerman, 2015).
c. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi
darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan urinalisa.
d. Pemeriksaan radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two: two
views: memuat 2 gambaran yaitu anteroposterior (AP) dan lateral, two joints:
memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur, two limbs: memuat gambaran
foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak terkena cedera
(pada anak) dan two occassions: yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan
(Weissleder, 2007)
2.5 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun
fungsi ekstrimitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam penanganan fraktur yang tepat adalah: (1) survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, (2) meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera
iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan dan mencegah sumber- sumber potensial
kontaminasi. Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi
dan reposisi sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses
persambungan tulang dan meminimilisasi komplikasi lebih lanjut (Parahita,
2012).
(1) Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah
mengamankan dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Limitation, Exposure). Pemeriksaan tambahan pada pasien
dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan
pemeriksaan radiologi. Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas
yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang
berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi
untuk meluruskan ekstrimitas dan dipertahankan dengan alat imobilisasi.
pemakaian bidai yang benar akan membantu menghentikan pendarahan,
mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction
splint menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal
traction splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang
trauma adalah dengan tungkai sebelahnya. pada cedera lutut pemakaian long leg
splint atau gips dapat membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh (Parahita, 2012)
(2) Survey Sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder adalah mencari
cedera cedera lain yang mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun
terlewatkan dan tidak terobati. Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah
mencegah sumber – sumber yang berpotensi berkontaminasi pada luka fraktur.
Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah mengirigasi luka dengan
saline dan menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab atau juga bisa
diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik
sebagai profilaksis infeksi. Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya
berat dalam patah tulang digunakan srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari
WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal diberikan analgesik kuat seperti Opioid
kuat. Ketorolak juga dapat digunakan sebagai salah satu dari obat anti inflamasi
non steroid (NSAID), yang biasa digunakan untuk analgesik, antipiretik dan anti
inflamasi(Parahita, 2012).
Secara umum, penatalaksanaan fraktur tertutup meliputi proteksi tanpa reposisi
dan imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi
diikuti dengan imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan
imobilisasi dengan fiksasi luar, Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan
pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif, Reposisi secara operatif
dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna, serta
Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan prosthesis.
Opsi terapi untuk fraktur femur sangat bergantung terhadap keparahan dari cidera
yang terjadi. Namun. secara garis besar terdapat dua jenis kategori terapi yaitu
terapi konservatif/non operatif dan terapi operatif. Baik terapi konservatif dan
operatif, keduanya mengikuti prinsip dasar pengobatan penyakit lain yang
berpedoman kepada hukum penyembuhan (law of nature), sifat penyembuhan,
serta sifat manusia pada umumnya. Disamping pemahaman tentang prinsip dasar
pengobatan yang rasional, metode pengobatan disesuaikan pula secara individu
terhadap setiap penderita. Pengobatan yang diberikan juga harus berdasarkan
alasan mengapa tindakan ini dilakukan serta kemungkinan prognosisnya5. Secara
umum prinsip tata laksana fraktur adalah sebagai berikut: (1) Jangan membuat
keadaan lebih buruk bagi penderita (Iatrogenik); (2) Pengobatan berdasarkan pada
diagnosis dan prognosis yang tepat; (3) Pilih jenis pengobatan yang sesuai dengan
keadaan penyakit penderita; (4) Ciptakan kerja sama yang baik tanpa melupakan
hukum penyembuhan alami; (5) Pengobatan yang praktis dan logis; (6) Pilih
pengobatan secara individu; (7) Jangan melakukan pengobatan yang tidak perlu5.
Life saving dan life limb adalah tindakan prioritas utama pada penderita trauma
multipel, mungkin keadaan pasien tidak menguntungkan untuk dilakukan
pembiusan tapi demi kehidupan penderita tindakan operasi tetapi dijalankan demi
life saving seperti perdarahan intra abdominal massive karena ruptur lien dan
sebagainya. Tindakan pembebasan jalan nafas seperti yang diterangkan
sebelumnya perlu dilakukan terhadap gangguan jalan nafas. Demikian juga
penanganan sok karena perdarahan dengan mengontrol perdarahan secara balut
menekan dan resusitasi cairan kristalloid maupun tranfusi.
Setelah tindakan life saving dan life limb diatasi, tindakan awal untuk menangani
fraktur dapat dilakukan. Tindakan awal yang dapat dilakukan adalah dengan
memberikan pembidaian sementara untuk imobilisasi fraktur, selain itu dapat
mengurangi rasa nyeri dan mengurangi perdarahan. Adanya deformitas yang
hebat perlu dikoreksi secara perlahan-lahan dengan menarik bagian distal secara
lembut. Pada fraktur femur terbuka, perlu dilakukan debridement dan irigasi
cairan fisiologis kemudian luka ditutup dengan kasa steril untuk kemudian
dilakukan pemeriksaan foto rongent.
1. Terapi konservatif
Terapi konservatif fraktur femur antara lain meliputi tindakan imobilisasi dengan
bidai eksterna tanpa reduksi dan reduksi tertutup dan imobilisasi dengan fiksasi
kutaneus. Tindakan ini biasanya dilakukan jika fraktur terjadi pada daerah
proksimal, suprakondilar, dan corpus femoris dengan menggunakan, Buck
Extension, Weber Extensionsapparat, Well-leg traction, atau traksi 90/90 femoral.
2. Terapi Operatif
Terapi operatif dilakukan bila terapi konservatif gagal, maupun karena kondisi
tertentu, misalnya pada fraktur terbuka, fraktur multipel, adanya interposisi
jaringan di antara fragmen, fraktur pada collum femoris yang membutuhkan
fiksasi yang rigit dan beresiko terjadinya nekrosis avaskuler, dan adanya
kontraindikasi pada imobilisasi eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang
cepat, misalnya fraktur femur pada lansia.
Untuk kasus-kasus tertentu, misalnya pada fraktur collum femoris pada
orang tua karena terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen, maupun non union,
dilakukan pemasangan protesis, yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk
menggantikan jaringan tulang yang nekrosis.
2.6 Komplikasi
Komplikasi dari fraktur femur cukup beragam tergantung lokasi dan
tingkat keparahan fraktur. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara
lain(Weissleder, 2007):
1. Infeksi
Pada kasus fraktur terbuka, dimana tulang merobek jaringan kulit, ada
kemungkinan resiko infeksi. Resiko infeksi ini dapat berkurang dengan pemberian
antibiotik.
2. Permasalahan dalam penyembuhan tulang
Jika pada proses penyembuhan angulasi tulang tidak baik serta timbul
iritasi pada bagian tulang yang patah akibat terjadinya infeksi, proses
penyembuhan tulang dapat terhambat bahkan membutuhkan terapi operatif lebih
lanjut.
3. Kerusakan saraf
Kerusakan saraf paska fraktur femur terbilang jarang, namun kerusakan
saraf pada fraktur femur dapat menyebabkan mati rasa serta kelemahan yang
persisten.
4. Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen jarang terjadi pada fraktur femur, namun ini dapat
terjadi sehingga resiko terjadinya sindrom kompartemen harus selalu diantisipasi.
Sindrom kompartemen teradi akibat kompresi nervus, pembuluh darah, dan otot di
dalam spatium tertutup atau kompartemen di dalam tubuh. Sindrom kompartemen
terjadi pada tungkai yang mengalami inflamasi dan perdarahan selama trauma
yang sering diasosiasikan dengan fraktur. Jika sindrom kompartemen terjadi,
maka dibutuhkan tindakan bedah segera (Kristiyanto, 2014).
Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan untuk identifikasi dini
terjadinya sindrom kompartemen:
a. Sindroma kompartemen dapat timbul perlahan dan berakibat berat
b. Dapat timbul pada ekstremitas karena kompresi atau remuk dan tanpa
cedera luar atau fraktur yang jelas
c. Reevaluasi yang sering sangat penting
d. Penderita dengan hipotensi atau tidak sadar meningkatkan resiko
terjadinya kejadian sindrom kompartemen
e. Nyeri merupakan tanda awal dimulainya iskemia kompartemen, terutama
nyeri pada tarikan otot pasif
f. Hilangnya pulsasi dan tanda iskemia lain merupakan gejala lanjut, setelah
kerusakan yang menetap terjadi
5. Komplikasi operatif
Komplikasi operatif biasanya terjadi karena kegagalan plate atau piranti
keras untuk menstabilisasi tulang, atau bagian piranti keras yang menonjol
mengakibatkan iritasi dan nyeri.
Komplikasi yang spesifik pada fraktur femur antara lain:
1. Fraktur femur distal
Karena lokasi tipe fraktur ini, lutut dapat ikut terpengaruh. Seringkali
muncul kekakuan pada lutut yang secara perlahan akan berkurang namun tidak
dapat hilang sama sekali. Selain kekakuan pada lutut, fraktur pada femur distal
menjadi faktor presdiposisi terjadinya osteoarthritis. Terutama pada fraktur yang
melewati atikulasio genu, yang mengganggu lapisan kartilago yang melapisi
sendi.
2. Fraktur corpus femoris
Jenis fraktur ini juga dapat mempengaruhi lutut, tetapi dengan cara yang
berbeda. Karena pergerakan femur ketika terjadi fraktur, seringkali merusak
ligament pada lutut yang membutuhkan tindakan operatif untuk memperbaiki
kerusakan yang terjadi. Fraktur corpus femoris yang terjadi pada anak-anak dan
remaja yang masih dalam masa pertumbuhan beresiko mengalami perbedaan
panjang tulang di satu tungkai dibandingkan yang lainnya. Hal ini disebabkan
karena patah tulang tumbuh terlalu banyak, atau justru kurang tumbuh setelah
fraktur (Kristiyanto, 2014).