depresi

12
15 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13 sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan, dimana terjadi juga perubahan pada diri baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial (Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut, remaja cenderung melepaskan ikatan dari orang tua dan beralih pada teman sebaya untuk bersosialisasi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Chang dkk (dalam Sun & Hui, 2006) yang mengemukakan bahwa persahabatan pada remaja sangat penting bagi kehidupan sosial mereka dan dukungan teman sebaya merupakan faktor penting yang berkontribusi pada kepuasan dalam hidup mereka, dan kegagalan dalam memperoleh dukungan teman sebaya dan juga dukungan keluarga merupakan faktor utama yang menyebabkan perasaan tidak berharga, perasaan tidak berdaya, simptom depresi dan pada akhirnya ide untuk bunuh diri pada remaja (Harter dkk, dalam Sun & Hui, 2006). Remaja-remaja tersebut dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang memiliki karakter yang berbeda sehingga ada kemungkinan remaja terpengaruh dengan teman sebayanya yang agresif dan terlibat dalam perilaku agresif sebagai cara untuk memperoleh pengakuan dari teman sebayanya. atau malah menjadi korban perilaku agresif teman sebayanya karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam kelompoknya yang akhirnya berdampak pada fungsi psikologis yang ditandai dengan gangguan seperti depresi. Universitas Sumatera Utara

Transcript of depresi

Page 1: depresi

15

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masa remaja awal merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar antara 13

sampai 16 tahun atau yang biasa disebut dengan usia belasan yang tidak menyenangkan,

dimana terjadi juga perubahan pada diri baik secara fisik, psikis, maupun secara sosial

(Hurlock, 1973). Pada masa transisi tersebut, remaja cenderung melepaskan ikatan dari

orang tua dan beralih pada teman sebaya untuk bersosialisasi. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Chang dkk (dalam Sun & Hui, 2006) yang mengemukakan bahwa

persahabatan pada remaja sangat penting bagi kehidupan sosial mereka dan dukungan

teman sebaya merupakan faktor penting yang berkontribusi pada kepuasan dalam hidup

mereka, dan kegagalan dalam memperoleh dukungan teman sebaya dan juga dukungan

keluarga merupakan faktor utama yang menyebabkan perasaan tidak berharga, perasaan

tidak berdaya, simptom depresi dan pada akhirnya ide untuk bunuh diri pada remaja

(Harter dkk, dalam Sun & Hui, 2006). Remaja-remaja tersebut dituntut untuk

menyesuaikan diri dengan teman sebaya yang memiliki karakter yang berbeda sehingga

ada kemungkinan remaja terpengaruh dengan teman sebayanya yang agresif dan terlibat

dalam perilaku agresif sebagai cara untuk memperoleh pengakuan dari teman

sebayanya. atau malah menjadi korban perilaku agresif teman sebayanya karena tidak

dapat menyesuaikan diri dengan baik dalam kelompoknya yang akhirnya berdampak

pada fungsi psikologis yang ditandai dengan gangguan seperti depresi.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: depresi

16

Depresi adalah perasaan sedih, frustrasi, dan keputusasaan dalam hidup yang

disertai hilangnya kesenangan dalam aktivitas dan gangguan tidur, selera makan,

konsentrasi dan energi yang juga merupakan masalah psikologis yang paling umum

terjadi pada remaja (dalam Berk, 2000). Sebenarnya, depresi merupakan gejala yang

wajar sebagai respon normal terhadap pengalaman hidup negatif, seperti kehilangan

anggota keluarga, benda berharga atau status sosial, pelecehan atau kekerasan yang

dialami seseorang. Dengan demikian, depresi dapat dipandang sebagai suatu kontinum

yang bergerak dari depresi normal sampai depresi klinis (Caron & Butcher, dalam

Aditomo & Retnowati, 2004).

Menurut perspektif perkembangan, depresi mulai banyak muncul pada masa

remaja. Studi-studi epidemologis menunjukkan bahwa angka prevalensi depresi untuk

anak-anak adalah 2,5 persen dan meningkat menjadi 8,3 persen untuk remaja (Carr,

dalam Aditomo & Retnowati, 2004). Bila depresi ringan juga diperhitungkan, angka

prevalensi ini meningkat sampai 25 persen (Steinberg, dalam Aditomo & Retnowati,

2004). Pada penelitian lain disebutkan sekitar 15 sampai 20 persen remaja mengalami

satu atau lebih episode major depressive, diantaranya 2 sampai 8 persen mengalami

depresi kronis seperti murung dan kritik diri untuk beberapa bulan sampai beberapa

tahun (Birmaher & Kessler dkk, dalam Berk, 2000). Simptom-simptom depresi tersebut

dapat mengganggu kemampuan remaja untuk beraktivitas secara efektif yang kemudian

berdampak negatif pada kesehatan fisik, psikologis dan kesejahteraannya.

Perubahan-perubahan biologis dan kognitif pada remaja seperti pubertas,

persepsi terhadap gambaran tubuh dan proses pendewasaan, terutama pada remaja putri

Universitas Sumatera Utara

Page 3: depresi

17

yang lebih cepat memiliki konsekuensi depresi yang lebih tinggi daripada remaja putra.

Menurut Kessler dkk (dalam Galambos, Leadbeater, & Barker, 2004) terdapat

perbedaan simptom depresi dan major depressive episode selama perkembangan hidup

laki-laki dan perempuan, dengan perempuan menunjukkan depresi yang lebih tinggi

daripada laki-laki ketika dimulainya masa remaja. Remaja putri, terutama yang lebih

cepat mengalami proses kedewasaan menjadi subjek pengalaman depresi (Birmaher

dkk, dalam Papalia, 2004). Perbedaan depresi berdasarkan jenis kelamin ini

berhubungan dengan perubahan biologis yang dikaitkan dengan pubertas dan cara

remaja putri tersebut bersosialisasi (Birmaher dkk, dalam Papalia, 2004) dan tingkat

kerentanan yang lebih besar terhadap stres dalam hubungan sosial (Ge dkk, dalam

Papalia, 2004).

Angka prevalensi depresi remaja di Indonesia belum teridentifikasi secara teliti.

Meski demikian, depresi terlihat manifestasinya dalam bentuk penyalahgunaan

narkotika, obat terlarang, alkohol (substance abuse), perilaku merusak atau agresif

(seperti tawuran pelajar dan kekerasan di sekolah), penurunan prestasi belajar, dan lain-

lain. Di Indonesia, narkoba dan tawuran pelajar sudah menjadi persoalan yang serius.

Berbagai kasus narkoba dan tawuran pelajar yang terjadi hingga saat ini kebanyakan

pun melibatkan remaja sebagai pelaku dan korban. Oleh karena itu, maraknya kasus

narkoba dan kenakalan remaja di Indonesia dapat menjadi indikasi tingginya tingkat

depresi terselubung pada remaja. Jadi, dapat disimpulkan bahwa depresi pada remaja

adalah persoalan yang serius, dengan dampak kesehatan dan ekonomi publik yang luas.

Sayangnya, remaja yang depresi seringkali tidak mendapat pertolongan yang memadai

Universitas Sumatera Utara

Page 4: depresi

18

atau bahkan tidak terdeteksi oleh keluarga dan lingkungan. Tanda-tanda gangguan

depresi pada anak muda sering dipandang sebagai gejolak emosional yang wajar pada

tahap perkembangan tersebut. Padahal, diagnosis dan perawatan sejak awal terhadap

depresi amatlah penting untuk perkembangan emosi, sosial, dan perilaku penderitanya.

Terkait dengan identifikasi depresi pada remaja, diperlukan pengetahuan yang

mendalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan atau merupakan predisposisi

gangguan depresi. Para peneliti mempercayai bahwa depresi disebabkan oleh berbagai

kombinasi faktor biologis dan lingkungan. Faktor biologis seperti gen dapat

meningkatkan depresi dengan pengaruhnya pada keseimbangan neurotransmitter pada

otak, perkembangan pada bagian otak yang meliputi pencegahan emosi negatif atau

respon hormonal tubuh terhadap stress (Cicchetti & Toth, dalam Berk, 2000).

Sementara itu, faktor psikososial yaitu keluarga, teman sebaya, sekolah, pengalaman

hidup yang negatif dan faktor psikologis lainnya juga berpengaruh pada depresi.

Perilaku bullying merupakan kejadian yang menimbulkan tekanan dan salah satu

pengalaman hidup negatif yang diakibatkan oleh hubungan sosial yang timpang adalah

motif seorang remaja rentan terhadap gejala depresi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Davis (2005) yang menyebutkan bahwa perilaku bullying disebutkan sebagai faktor

resiko berkembangnya depresi pada korban dan pelaku perilaku bullying. Perilaku

bullying dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku agresi yang dilakukan dengan

sengaja, terus-menerus dan melibatkan target khusus yaitu anak lain yang lebih lemah

dan mudah diserang (Papalia, 2004). Sebenarnya setiap orang kemungkinan pernah

melakukan perilaku bullying terhadap orang lain, tetapi dalam frekuensi yang berbeda-

Universitas Sumatera Utara

Page 5: depresi

19

beda. Oleh karena itu, perilaku bullying juga merupakan perilaku yang berada dalam

suatu kontinum yang dimulai dari tingkatan ringan sampai tingkatan berat (Espelage,

dalam Pelligrini & Bartini, 1999). Artinya, ada anak yang melakukan perilaku bullying

dalam tingkat yang rendah dan ada pula yang melakukannya pada tingkat yang tinggi

yang dapat mengganggu korban dan meresahkan berbagai pihak yang terkait.

Menurut konteksnya, perilaku bullying dapat terjadi pada berbagai tempat, mulai

dari lingkungan pendidikan atau sekolah, tempat kerja, rumah, lingkungan tetangga,

tempat bermain, dan lain-lain. Pendidikan merupakan salah satu metode formal yang

ditempuh oleh anak guna memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, ketrampilan,

dan moral. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan seharusnya merupakan tempat yang

sehat, kondusif dan aman dimana anak-anak dapat bereksplorasi dan mengembangkan

diri. Namun pada saat ini lingkungan pendidikan telah banyak terjadi berbagai perilaku

dan aksi kekerasan yang mengkhawatirkan. Salah satu aksi kekerasan yang paling

sering terjadi adalah perilaku bullying. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di

Amerika Serikat dan Negara lainnya mengungkapkan saat ini bullying merupakan

bentuk kekerasan yang umum dan potensial diantara anak-anak sekolah. Hal ini

diperjelas dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 1 dari 10 anak sekolah

melaporkan telah menjadi korban perilaku bullying untuk setiap minggunya (dalam

Kaltiala-Heino dkk, 1999). Perilaku kekerasan ini tidak hanya merugikan korban dan

pelaku, tetapi juga mempengaruhi iklim di sekolah yang pada akhirnya mempengaruhi

kemampuan siswa dalam menguasai kemampuannya.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: depresi

20

Prevalensi perilaku bullying yang meningkat dari tahun ke tahun telah

menimbulkan kerusakan atau kerugian yang besar. Hal ini dapat terjadi karena perilaku

bullying sering diremehkan oleh anak-anak dan orang dewasa. Selain itu juga dibebani

dengan perilaku bullying yang tidak dapat diberikan intervensi seperti mediasi yang

dapat secara efektif mengurangi konflik diantara anak-anak dikarenakan pelecehan yang

dilakukan oleh anak yang lebih kuat terhadap anak yang lebih lemah (Limber, dalam

Crawford, 2002). Di samping itu, juga terdapat pemahaman oleh sebagian orang bahwa

perilaku bullying merupakan suatu usaha dalam memberi pelajaran (Oliver, Hoover, and

Hazler, dalam Milsom & Gallo, 2006). Oleh karena itu, perilaku bullying perlu diteliti

guna mengenali gejala dan dampaknya serta memahami tindakan pencegahan ataupun

strategi dalam mengurangi perilaku bullying, khususnya di sekolah.

Aksi kekerasan bullying ini biasanya berawal dari kanak-kanak, yang mana pada

masa ini anak-anak dituntut untuk menyesuaikan diri dengan teman sebayanya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, dikemukakan prevalensi perilaku bullying menurun

terus ketika seorang anak menapaki masa sekolah menengah pertama dan sekolah

menengah atas (Steinman & Carlyle, 2007) tetapi pada penelitian lain disebutkan bahwa

perilaku bullying paling sering muncul pada kelas 6 hingga kelas 8 (yang termasuk

dalam sekolah menengah pertama). Menurut Cairns & Cairns (1986) masa remaja awal

merupakan masa yang penting dalam membahas perilaku bullying karena masa remaja

merupakan masa dimana agresivitas fisik meningkat secara frekuensi dan intensitas

yang kemudian sering disebut masa “brutal”. Sementara itu, penelitian (dalam Unnever

& Cornell, 2004) juga menyebutkan bahwa pelaporan perilaku bullying lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

Page 7: depresi

21

dilakukan oleh perempuan dan anak-anak dengan tingkat kelas yang lebih rendah

daripada laki-laki dan anak dari tingkat kelas yang tinggi. Hal ini ditambah dengan hasil

penelitian lain yang juga mengemukakan anak-anak pada tingkat kelas yang lebih

rendah lebih banyak mencari bantuan daripada anak-anak pada tingkat kelas yang lebih

tinggi (dalam Williams & Cornell, 2006). Hasil penemuan sebelumnya konsisten

dengan perkembangan remaja yang berorientasi pada kemandirian dan fungsi otonomi

(Newman dkk, dalam Williams & Cornell, 2006). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan

bahwa anak yang lebih kecil memiliki kemungkinan mendapat intervensi perilaku

bullying yang dialaminya sehingga pada remaja awal memiliki kemungkinan lebih

sering menjadi subjek yang terlibat dalam perilaku bullying yang akhirnya menjadi

perhatian pada penelitian ini.

Perilaku merusak atau aksi kekerasan di sekolah sudah menjadi persoalan yang

serius. Penindasan yang dilakukan oleh murid ke murid, atau guru ke murid umum

terjadi di Indonesia. Kejadian anak mogok sekolah, perploncoan siswa baru, sampai

pada kenakalan remaja seperti maraknya geng motor erat hubungannya dengan aksi

bullying. Di Indonesia kejadian bullying akhirnya mencuat setelah terdapat korban-

korban yang meninggal. Sayangnya data survei secara nasional mengenai prevalensi

bullying di Indonesia tidak dapat ditemukan. Beberapa hasil penelitian, misalnya yang

dilakukan unit PKPM (Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat) Universitas Atma Jaya

didanai UNICEF (United Nations Children’s Fund) melakukan survei intensif terhadap

ratusan anak SD dan SLTP di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara dari

Desember 2005 hingga Maret 2006. Sebagian responden mengaku pernah mengalami

Universitas Sumatera Utara

Page 8: depresi

22

penindasan dalam berbagai variasi di sekolah. Banyak anak tercatat mengalami

gangguan psikologis, bahkan mengarah pada gangguan patologis. Anak-anak ini, sering

merasa cemas. Mereka juga kerap dilanda ketakutan memperoleh hukuman, merasa

teraniaya, atau depresi. Sebagian mengalami perasaan rendah diri dan tidak berarti

dalam lingkungannya. Sebagian menjadi sosok pencuriga. Perilaku yang cukup parah

yang dialami salah satu korban bullying adalah gejala-gejala schizophrenia alias

gangguan jiwa akut. Selain itu, ia mulai kehilangan kontak dengan realitas. Karena

perilaku bullying merupakan suatu perilaku yang berada dalam suatu kontinum,

sehingga perilaku yang masih berada dalam frekuensi rendah mungkin tidak akan

menimbulkan kekhawatirkan dan dampak yang serius karena kemungkinan hanya

gurauan saja yang tidak menyakitkan korban. Namun, jika perilaku bullying telah

dilakukan dalam frekuensi yang tinggi sudah pasti mengakibatkan keresahan dan

diperlukan berbagai tindakan preventif ataupun intervensi dari berbagai pihak yang

terkait. Dampak yang diakibatkan perilaku bullying tidak hanya berlaku untuk

korbannya, tetapi juga pelakunya. Berbagai dampak yang ditimbulkan oleh perilaku

bullying yaitu berbagai masalah psikososial, perilaku, psikologis dan simptom

psikosomatis serta kesehatan yang akan berdampak dalam jangka waktu yang pendek

maupun dalam jangka waktu yang panjang. Menurut Houbre dkk (dalam Houbre dkk,

2006) secara natural, perilaku bullying berdampak pada pihak-pihak yang terlibat.

Berbagai dampak psikologis yang ditimbulkannya seperti perubahan konsep diri,

masalah kesehatan (simptom psikosomatik dan ketergantungan), ataupun trauma.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: depresi

23

Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4

kategori yaitu bullies--only, victim-only, bully-victim dan neutral (Haynie dkk., dalam

Stein dkk, 2006). Bully dan victim sering melaporkan simptom fisik dan psikologis

(Delfabbro dkk, dalam Jankauskiene dkk, 2008), prestasi akademik yang rendah,

meninggalkan kelas, perilaku destruktif seperti merokok dan penggunaan obat-obatan

(Dake dkk, dalam Jankauskiene dkk, 2008), meningkatnya resiko psikopatologis dan

depresi yang dapat mengarah pada tindakan bunuh diri, terutama pada perempuan

(Klomek dkk, dalam Jankauskiene dkk, 2008). Pada bully-victim juga terjadi masalah

penyesuaian yang buruk di sekolah (Nansel dkk., dalam Stein dkk, 2006), gangguan

psikologis (Kumpulainen dkk, dalam Stein dkk, 2006), isolasi sosial (Juvonen, dkk,

dalam Stein dkk, 2006), penggunaan alkohol (Nansel dkk, dalam Stein dkk, 2006),

depresi (Juvonen dkk, dalam Stein dkk, 2006), kecemasan (Kaltiala-heino dkk, dalam

Stein dkk, 2006) dan masalah kesehatan (Nansel dkk, dalam Stein dkk, 2006).

Contoh kasus bullying yang cukup menggemparkan di Indonesia adalah kasus

siswa kelas II SMP yang bernama Fifi Kusrini yang mengakhiri nyawanya dengan

menggantung diri di dalam kamar mandi. Kejadian ini dimulai ketika Fifi yang merasa

malu karena menunggak sisa uang gedung, buku rapor, dan BP3 (Badan Pembantu

Penyelenggaraan Pendidikan) yang jumlahnya hampir Rp300.000. Namun, yang

membuat gadis berusia 14 tahun itu memilih jalan kematian, karena ejekan kawan-

kawannya. Fifi tidak lagi punya kekuatan mental dan merasa depresi ketika kawan-

kawannya mengejeknya sebagai anak tukang bubur. Kejadian yang dialami oleh Fifi

Universitas Sumatera Utara

Page 10: depresi

24

merupakan salah satu contoh dampak perilaku bullying yang terjadi pada remaja putri

yang mungkin juga terjadi pada remaja lainnya di Medan.

Berdasarkan fenomena dan teori yang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan

bahwa setiap kategori bullying memiliki kemungkinan mengalami depresi. Namun

karena kategori yang berbeda menyebabkan pengalaman yang dialami juga berbeda,

akibatnya simptom depresi yang dialami oleh setiap kategori bullying dan jenis kelamin

juga berbeda. Oleh karena itu, dapat dipertanyakan apakah terdapat perbedaan

pengalaman depresi pada remaja awal yang sering terlibat dalam perilaku bullying?

B. RUMUSAN MASALAH

Perumusan masalah pada studi ini adalah apakah terdapat pebedaan depresi

ditinjau dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal

C. TUJUAN PENELITIAN

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan depresi ditinjau

dari kategori bullying dan jenis kelamin pada remaja awal

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi perkembangan mengenai

Universitas Sumatera Utara

Page 11: depresi

25

proses perkembangan remaja yang berhubungan dengan perilaku bullying dan

depresi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini hendaknya dapat menambah pengetahuan orang tua, pendidik

dan remaja mengenai symptom-simptom depresi pada remaja awal yang

terlibat dalam perilaku bullying sehingga dapat dilakukan tindakan-tindakan

yang efektif guna mengurangi simptom-simptom depresi.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan Disini

digambarkan tentang berbagai tinjauan literatur, fenomena dan hasil penelitian

sebelumnya mengenai depresi dan perilaku bullying.

Bab II Landasan teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi

objek penelitian. Memuat landasan teori tentang definisi dan pengukuran

depresi, definisi, kategori, karakteristik perilaku bullying, dan peran jenis

kelamin dan tingkat kelas terhadap perilaku bullying. Bab ini juga

mengemukakan hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah

Universitas Sumatera Utara

Page 12: depresi

26

penelitian yang menjelaskan perbedaan depresi ditinjau dari kategori bullying

dan jenis kelamin pada remaja awal.

Bab III Metodologi penelitian

Bab ini menguraikan desain penelitian, identifikasi variabel, definisi

operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan,

validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur penelitian dan metode analisa data

yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV Analisa data dan pembahasan

Bab ini berisi uraian singkat hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan

Bab V Kesimpulan dan saran

Universitas Sumatera Utara