Demam Tifoid Fadhli Esok
-
Upload
fadhli-ahmad -
Category
Documents
-
view
65 -
download
5
Transcript of Demam Tifoid Fadhli Esok
PRESENTASI KASUSKEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT HUSADAFAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Topik : Demam Tifoid
Dokter Pembimbing : dr. Sri Rochani Soedjarwo, dr. SpA (K)
Presentan : Ahmad Fadhli bin Berohan
NIM : 11-2011-044
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. HM
Usia : 3 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Taman Sari ,Jakarta Pusat
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Tanggal/Jam Masuk RS : 20 September 2012, 18.50WIB
IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. B Nama Ibu : Ny. L
Usia : 30 tahun Usia : 28 tahun
Pendidikan : Tamat SLTA Pendidikan : Tamat SLTA
Pekerjaan : Karyawan swasta Pekerjaan : Karyawan swasta
Penghasilan : ± Rp 2.500.000 Penghasilan : ± Rp 3,000,000
Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa
Hubungan dengan orang tua : Anak kandung
1
ANAMNESIS
Alloanamnesis :ibu pasien (tanggal 20 September 2012,jam 20.45WIB)
Keluhan utama : Panas sejak 5 hari SMRS
Keluhan Tambahan : Penurunan nafsu makan,tidak BAB
Riwayat Penyakit Sekarang :
5 hari SMRS,ibu os mengatakan os panas mendadak yang bersifat naik turun.
Panas dirasakan lebih tinggi menjelang sore hingga malam hari dengan suhu 39,00C
(suhu diukur oleh ibu Os).Ibu os memberikan obat penurun panas (Tempra sirup,1
sendok takaran,3 kali sehari),panas turun setelah pemberian obat,namun kemudian
naik lagi.
3 hari SMRS, os dibawa berobat ke dokter dan diberikan obat penurun panas
(Panadol sirup) namun tidak ada perbaikan.
1 hari SMRS,Os masih panas tinggi terutama menjelang sore.Nafsu makan os
mulai berkurang. Os biasanya bisa menghabiskan 1/2 piring nasi dan lauk
pauk,namun sekarang os hanya mahu makan 2-3 senduk nasi sahaja. Os masih mahu
minum susu dan air putih ±600ml/hari. Ibu os mengatakan os belum BAB(sebelum
ini BAB lancar,tidak mencret,1kali sehari,tidak ada lendir atau darah,dan berwarna
kecoklatan)
2 jam SMRS,akibat panas yang masih tidak ada perbaikan ,ibu os membawa os
ke RS HUSADA untuk berobat.Saat datang ke RS HUSADA,os masih belum
BAB.BAK lancar,berwarna kuning jernih dan volume seperti biasa (3-4kali ganti
popok tiap kali popok penuh)
Os tidak ada keluhan batuk, pilek, mual, muntah, mimisan,bintik-bintik merah
atau pegal-pegal pada tubuh,gusi berdarah,menggigil,nyeri ulu hati,sakit
kepala,kejang,penurunan kesadaran dan keringat dingin.
2
Ibu os mengatakan sebelum mulai panas,os makan nasi dan lauk pauk yang dibeli
oleh ibu os di warteg berhampiran rumah.Ibu os sering menjaga kebersihan makanan
yang dimasak,menutup makanan,dan sering mencuci tangan.
Riwayat Penyakit Dahulu : Os pernah dirawat karena muntah berak saat usia 11 bulan
Riwayat Penyakit Keluarga : Saat ini,tidak ada keluarga yang mengalami gejala
yang sama.
Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kehamilan :
Perawatan antenatal : Teratur
Trimester I : 1 kali
Trimester II : 1 kali
Trimester III : 2 kali
Penyakit kehamilan : Tidak ada
Kelahiran :
Tempat kelahiran : Rumah Bersalin
Ditolong oleh : Bidan
Cara persalinan : Pervaginam spontan
Masa gestasi : Aterm (38minggu)
Keadaan bayi : Berat badan lahir : 3000 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Lingkar kepala : 34 cm
Sianosis : Tidak ada
Ikterik : Tidak ada
Kelainan bawaan : Tidak ada
Kesan : Neonatus cukup bulan dan sesuai masa kehamilan
*) kurva Lubchenko terlampir
3
RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Riwayat Pertumbuhan
Umur (bulan) Berat badan (Kg) Panjang badan(cm)
0 3,0 50
1 4,0 56
2 5,6 61
6 8,5 70
9 10,5 75
15 11,8 82
18 12,6 86
24 13,9 91
36 15,8 98
Kesan : riwayat pertumbuhan pasien baik (sesuai masa pertumbuhan)
Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi pertama : 9 bulan
Psikomotor
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 7 bulan
Merangkak : 7 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berlari : 14 bulan
Berbicara(2 kata ) : 13 bulan
3 tahun : bisa menyebut nama dan usianya sendiri, berbicara
kalimat sederhana
Kesan : perkembangan anak sesuai usia
RIWAYAT IMUNISASI
4
Vaksin
Waktu Pemberian
Bulan Tahun
0 1 2 4 6 9 15 18 5 6 12
VAKSIN PPI
BCG I
DPT I II III IV
Polio I II III IV IV
Hepatitis B I II III
Campak I
VAKSIN NON PPI
Hib I II III IV
Pneumokokus
Influenza
MMR I
Tifoid
Hepatitis A
Varisela
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia, namun imunisasi tambahan
(non-PPI) belum lengkap.
Riwayat Makanan
5
Usia Makanan
0 - 5 bulan ASI ad libitum dan on demand
5 - 6 bulan ASI ad libitum on demand
Susu Formula 5x 150ml/hari
Bubur susu 1x/hari (mangkuk kecil)
6 – 7 bulan ASI ad libitum on demand
Susu Formula 3x 200ml/hari
Buah-buahan (pepaya / pisang) 1x/hari (mangkuk kecil)
Bubur susu 1x/hari (mangkuk kecil)
Nasi tim saring 1x/hari (mangkuk kecil)
7 bulan -12
bulan
ASI ad libitum on demand
Susu Formula 3x 200 ml/hari
Buah-buahan (pepaya / pisang / apel) 1x/hari (mangkuk kecil)
Bubur Susu 1x/hari (mangkuk kecil)
Nasi tim saring 2x/hari (mangkuk kecil)
12 bulan- 2
tahun
Susu formula 3x250ml/hari
ASI ad libitum on demand
Buah-buahan (pepaya / pisang / apel) 2x/hari (mangkuk kecil)
Nasi tim+ lauk (ayam/ikan/daging+ sayur) 2x/hari (1/4 porsi dewasa)
Bubur beras merah 1x/hari (mangkuk kecil)
2 tahun-
sekarang
Susu formula 3x250ml/hari
Buah-buahan (pepaya / pisang / apel) 2x/hari (mangkuk kecil)
Nasi + lauk (1 potong ayam/ikan/daging + sayur) 2x/hari (1/2porsi dewasa)
Bubur beras merah 1x/hari (mangkuk kecil)
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
6
Diare (-)
Otitis (-)
Radang paru (-)
Tuberkulosis (-)
Kejang (-)
Ginjal (-)
Jantung (-)
Difteri (-)
Morbili (-)
Parotitis (-)
Demam berdarah (-)
Demam tifoid (-)
Cacingan (+) saat usia 1 tahun 5 bulan
Alergi (-)
ISPA (+) saat usia 2 tahun
Kecelakaan (-)
Operasi (-)
RIWAYAT KELUARGA
Corak Reproduksi :
Pasien anak ke 1 dari 1 bersaudara.
Data Keluarga
AYAH IBU
Usia 30 tahun 28 tahun
Perkawinan ke 1 1
Umur saat menikah 25 tahun 23 tahun
Keadaan kesehatan/ penyakit Sehat Sehat
Data Perumahan
7
Pasien tinggal bersama ayah dan ibu, status rumah milik sendiri, berlantai
keramik, terdapat 1 pintu masuk, 4 kamar tidur, 2 kamar mandi, 1 dapur, 1
ruang tamu, tidak ada halaman rumah. Ventilasi baik dengan 5 jendela, sinar
matahari dapat mencapai sebagian besar bagian rumah. Rumah
menggunakan air PAM. Ada selokan di depan rumah, tidak berbau, dan
alirannya lancar. Di lingkungan sekitar rumah tidak ada tumpukan sampah.
Kesan : keadaan rumah dan lingkungannya cukup baik.
PEMERIKSAAN FISIS
Tanggal 20 Juli 2012
Status generalisKeadaan Umum : Tampak sakit sedangKesadaran : Compos mentisTanda Vital : Nadi : 100 x/menit, kuat dan teratur
Pernafasan : 28x/menit Suhu : 38,5°C
Tekanan darah : 100/60 mmHgBerat badan : 15,8kg Tinggi badan : 98cm
Interpretasi berat badan : o Berdasarkan kurva NCHS (National Center for Health Statistics),
perbandingan usia dengan berat badan terletak di antara persentil 75 dan persentil 90
o Berdasarkan kurva NCHS (National Center for Health Statistics), perbandingan usia dengan panjang badan terletak di antara persentil 75 dan persentil 90
*) Kurva dan tabel NCHS terlampir Kesan : status gizi cukup
Kepala : Bentuk tidak ada kelainan, rambut hitam, distribusi merata dan
tidak mudah dicabut.
Mata : Bentuk tidak ada kelainan, kedudukan kedua bola mata
simetris, palpebra superior dan inferior tidak cekung,
konjungtiva anemis -/-, injeksi konjungtiva -/-, sklera
ikterik -/-, kornea jernih, pupil bulat Ø 4 mm, isokor, refleks
cahaya +/+
8
Telinga : Bentuk tidak ada kelainan, liang telinga kanan dan kiri lapang,
sekret -/-, serumen -
Hidung : Bentuk tidak ada kelainan, deviasi septum nasal -/-, sekret -/-
Gigi : Gigi susu berjumlah 18 buah, tidak ada karies
V IV III II I II III IV V
V IV II I I II III IV V
Mulut : Bentuk tidak ada kelainan, bibir kering, tidak sianosis, tonsil
T1- T1 tenang, faring tidak hiperemis, uvula terletak di tengah
Lidah :coated tongue (+),bagian tepi lidah hiperemis dan kotor di
bagian tengah,tremor(-)
Leher : Bentuk tidak ada kelainan, kaku kuduk (-), KGB tidak
teraba membesar
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan diam dan pergerakanPalpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiriPerkusi : sonorAuskultasi : Suara nafas vesikuler, ronki-/-, wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihatPalpasi : Pulsasi iktus kordis teraba di sela iga V garis midclavicular sinistraPerkusi : Ukuran jantung tidak membesarAuskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, murmur(-), gallop(-)
AbdomenInspeksi : Datar, tidak tampak gambaran vena kolateralPalpasi : Supel, Hepar dan lien tidak teraba membesar nyeri tekan epigastrium (+)Perkusi : TimpaniAuskultasi : Bising usus (+)
Kulit : Warna sawo matang, turgor kulit baik, ikterus (-), sianosis (-), petechiae (-), tes Rumple Leed (-)Ekstremitas : Akral hangat, deformitas tidak ada, oedem(-)Genitalia :laki-laki,tidak ada tanda radang,tidak ada hernia
9
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Kaku kuduk : Tidak adaRefleks fisiologis : NormalRefleks patologis : Tidak ada
KESAN : status neurologis baik
PEMERIKSAAN LABORATORIUM (21 September 2012)
Darah RutinHb : 12,5g/dl (11-15g/dl)Ht : 40% (37-47%)Leukosit : 4500/ul (5000-10000/ul)Trombosit : 144000/ul (150000-440000/ul)
22 September 2012 Tubex IgM Tifoid : +4 ( Demam tifoid aktif)
IgM Dengue : negatifIgG Dengue : negatif
KESAN: Terdapat trombositopenia dan tubex IgM tifoid positif
RESUME
5 hari SMRS,ibu os mengatakan os panas mendadak yang bersifat naik turun. Panas
dirasakan lebih tinggi menjelang sore hingga malam hari dengan suhu 39,00C (suhu
diukur oleh ibu Os).Ibu os memberikan obat penurun panas (Tempra sirup,1 sendok
takaran,3 kali sehari),panas turun setelah pemberian obat,namun kemudian naik lagi.
3 hari SMRS, os dibawa berobat ke dokter dan diberikan obat penurun panas
(Tempra sirup) namun tidak ada perbaikan.
1 hari SMRS,Os masih panas tinggi terutama menjelang sore.Nafsu makan os mulai
berkurang. Os masih mahu minum susu dan air putih ±600ml/hari. Ibu os
mengatakan os belum BAB(sebelum ini BAB lancar,tidak mencret,1kali sehari,tidak
ada lendir atau darah,dan berwarna kecoklatan)
2 jam SMRS, os dibawa ke RS HUSADA untuk berobat.Saat datang ke RS
HUSADA,os masih belum BAB.BAK lancar seperti biasa.
Os tidak ada keluhan batuk, pilek, mual, muntah, mimisan,bintik-bintik merah atau
pegal-pegal pada tubuh,gusi berdarah,menggigil,nyeri ulu hati,sakit
kepala,kejang,penurunan kesadaran dan keringat dingin.
10
PEMERIKSAAN FISIS
Status generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedangKesadaran : Kompos mentisTanda Vital : Nadi 100 x/menit, kuat dan teratu, Pernafasan 28x/menit
Suhu 38,5°C, Tekanan darah 100/60 mmHgBerat badan : 15,8kg Tinggi badan : 98cm
Mulut : Coated tongue (+) dengan tepi hiperemis dan kotor di bagian tengah lidah, Abdomen : Nyeri tekan ulu hati (+)Kulit : petechiae (-),tes Rumple Leed (-)
Pemeriksaan Laboratorium : Trombosit 144000/ul,Tubex IgM Tifoid +4(Demam tifoid aktif), IgG dan IgM Dengue (-)
DIAGNOSIS KERJA
Demam Tifoid
DIAGNOSIS BANDING
Demam Dengue
PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah Lengkap
PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa :
- Tirah baring
- Diet lunak ( cukup kalori,cukup protein) 1500Kcal/hari,
15gram protein/hari
- Anjurkan makan pisang atau pepaya untuk membantu
pencernaan
- IVFD KAEN 3B 1500ml/24jam
2. Medikamentosa :
- Jika perlu, Paracetamol sirup 160mg/5ml/kali ( 3x1cth)
- Ceftriaxon 1x 1,5gr drip
11
PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungsionam : bonam
Ad sanactionam : bonam
FOLLOW UP
21/9 22/9 23/9 24/9 25/9
S Demam (+),
nafsu makan (+)
BAB(-)
Demam (+),
nafsu makan (+)
BAB(-)
Demam (-),
nafsu makan (+)
BAB(+)
Demam (-),
nafsu makan (+)
BAB(+)
Demam (-),
nafsu makan (+)
BAB(+)
O KU :TSS
KES :CM
Suhu :38,00C
Nadi : 90x/menit
TD:100/60mmHg
RR: 24x/menit
KU :TSS
KES :CM
Suhu :37,90C
Nadi : 88x/menit
TD:100/60mmHg
RR: 24x/menit
KU :TSR
KES :CM
Suhu :37,00C
Nadi : 90x/menit
TD:90/60mmHg
RR: 22x/menit
KU :TSR
KES :CM
Suhu :36,50C
Nadi : 94x/menit
TD:100/70mmHg
RR: 24x/menit
KU :TSR
KES :CM
Suhu :36,70C
Nadi : 98x/menit
TD:100/60mmHg
RR: 23x/menit
A Observasi febris
dd Demam
Tifoid dd
demam dengue
Demam Tifoid Demam
Tifoid(dengan
perbaikan
klinis)
Demam
Tifoid(dengan
perbaikan
klinis)
Demam
Tifoid(dengan
perbaikan
klinis)
P -Th/- teruskan
-Beri Microlac
supp 1x1 besok
jika belum
BAB, Rencana
Tes TUBEX
TF dan
Dengue Blot
-Th/- teruskan
-Microlac supp
1x1
-Microlac supp
distop
-Th/- teruskan
-Th/- teruskan -Th/- stop
-Boleh rawat
jalan.
12
RENCANA EDUKASI
- Anjurkan pengambilan vaksin Typhim dan Hepatitis A
- Menjaga hygienitas anak,keluarga,dan perorangan serta lingkungan
- Pastikan membeli makanan/minuman di tempat yang bersih
- Memasak makanan/minuman dengan bersih
13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan
oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi
yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.1
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap
tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis
dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah
15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini
tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan
358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun
atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah
kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan
diagnosis pasti.7 Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan
melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali
tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang
sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal
ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi
penegakan diagnosis demam tifoid. 2
14
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara
yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara
menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian
terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita,
insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha
kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam
tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
(usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan
padasaluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .2
2.2. Epidemiologi
2.2.1. Distribusi dan Frekwensi
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang
nyata antara insiden pada laki-laki dan perempuan.Insiden pasien demam
tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun, 10 – 20 %, usia
> 40 tahun 5 – 10 %.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia.Pada tahun 2000, insiden rate demam
tifoid di Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per
100.000 penduduk.
15
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara
pada tahun 2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada
tahun 2002 meningkat menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.3
2.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya
penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya
keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental
dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya.2,3
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Semakin besar jumlah
Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi penyakit
demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah
tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan
standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat
terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk,
sumber air minum dan standart hygiene industri pengolahan makanan yang
masih rendah.
2.3. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,
tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak
dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
16
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan
pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut
juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan
terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di
atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.1,3
2.4. Sumber Penularan (Reservoir)
Penularan penyakit demam tifoid oleh basil Salmonella typhi ke manusia melalui
makanan dan minuman yang telah tercemar oleh feses atau urin dari penderita
tifoid. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi, yaitu :
2.4.1. Penderita Demam Tifoid
Yang menjadi sumber utama infeksi adalah manusia yang selalu mengeluarkan
mikroorganisme penyebab penyakit, baik ketika ia sedang menderita sakit
maupun yang sedang dalam penyembuhan. Pada masa penyembuhan penderita
pada umumnya masih mengandung bibit penyakit di dalam kandung empedu dan
ginjalnya.
2.4.2. Karier Demam Tifoid
Penderita tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin)
mengandung Salmonella typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa
disertai gejala klinis.Pada penderita demam tifoid yang telah sembuh setelah 2 –
3 bulan masih dapat ditemukan kuman Salmonella typhi di feces atau urin.
17
Penderita ini disebut karier pasca penyembuhan. Pada demam tifoid sumber
infeksi dari karier kronis adalah kandung empedu dan ginjal (infeksi kronis, batu
atau kelainan anatomi). Oleh karena itu apabila terapimedika-mentosa dengan
obat anti tifoid gagal, harus dilakukan operasi untuk menghilangkan batu atau
memperbaiki kelainan anatominya.4
Karier dapat dibagi dalam beberapa jenis.
a) Healthy carrier (inapparent) adalah mereka yang dalam sejarahnya tidak
pernah menampakkan menderita penyakit tersebut secara klinis akan
tetapi mengandung unsur penyebab yang dapat menular pada orang lain,
seperti pada penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b) Incubatory carrier (masa tunas) adalah mereka yang masih dalam masa
tunas, tetapi telah mempunyai potensi untuk menularkan penyakit/
sebagai sumber penularan, seperti pada penyakit cacar air, campak dan
pada virus hepatitis.
c) Convalescent carrier (baru sembuh klinis) adalah mereka yang baru
sembuh dari penyakit menulat tertentu, tetapi masih merupakan sumber
penularan penyakit tersebut untuk masa tertentu, yang masa
penularannya kemungkinan hanya sampai tiga bulan umpamanya
kelompok salmonella, hepatitis B dan pada dipteri.
d) Chronis carrier (menahun) merupakan sumber penularan yang cukup
lama seperti pada penyakit tifus abdominalis dan pada hepatitis B.
2.5. Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia
melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan
oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang
biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman
akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia.
Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan
18
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar
getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang
terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan
bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala
dan sakit perut.2,4
2.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
2.6.1. Gejala Klinis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding
dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa
inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala
klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a.Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur- angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus
berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan
19
pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue),
ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor.Pada abdomen mungkin
ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.2,4
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.6.2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2)
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4)
pemeriksaan kuman secara molekuler.
1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal,
bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis
biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan
limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan
mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak
mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi
adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.1,5
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya
mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%),
leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).
2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.
typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau
20
dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil;
(2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa
kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi
antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.3
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang
pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah
pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur
terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.
21
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam
darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang
tidak tepat.2,4,5
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhimaupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji
serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes
TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metodeenzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostic demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).1,5
3.1 UJI WIDAL
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak
tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam
serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen
somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.
22
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.Beberapa penelitian pada
kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan
penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat
dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).Saat ini walaupun
telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit
dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off
point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline
titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh
Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal
dengan titer >1/200 pada 89% penderita.3,4
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita :Gizi buruk dapat menghambat
pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit :Aglutinin baru dijumnpai
dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan
mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotic : Pemberian antibiotik dengan obat
antimikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu : Pada beberapa penyakit yang menyertai
demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita
leukemia dan karsinoma lanjut.
23
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi: Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O
dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan
sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan
selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang
yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.6
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya: Keadaan ini
dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah.
Di daerah endemic demam tifoid dapat dijumpai agglutinin pada orang-
orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang :Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies
dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena
itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji
widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen :Konsentrasi suspensi antigen yang
digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen :Daya aglutinasi
suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada
suspensi antigen dari strain lain.1,4
3.2 TES TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas
dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.Penelitian oleh Lim dkk (2002)
24
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.Tes ini dapat menjadi
pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat,
mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.3,4
3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase
awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi
IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan
reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan modifikasi dari
metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan
pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam
tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%. Sedangkan
penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.
Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-
tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.2,3
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan
penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa
sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di
tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan
nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah
penerimaan serum pasien.
25
3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai
untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95%
pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada
penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan
serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi
antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut
akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif
juga pada kasus dengan Brucellosis.1,5
3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan
gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan
antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi
26
asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana
mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%)
dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin
dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang
relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan
hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam
laboratorium penelitian. 7
2.7. Pencegahan
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan
penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier.
2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan
primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat
dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis
vaksin tifoid , yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini
kontraindikasi pad wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
27
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K
vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol
preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak
1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek
samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat
suntikan. Kontraindikasi demam , hamil dan riwayat demam pada pemberian
pertama.3,7
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada
hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan demam dan anak umur 2
tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan
sehat dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun,
peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara
yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal
pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan
sanitasi lingkungan.1,4
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara
dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis
demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha
surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat
di rumah sakit sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
28
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka
dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderita. Anak baring terus di tempat tidur dan letak baring harus sering
diubah-ubah. Lamanya sampai 5-7 hari bebas demam dan dilanjutkan
mobilisasi bertahap yaitu : hari I duduk 2 x 15 menit, hari II duduk 2 x 30
menit, hari III jalan, hari IV pulang.
Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan
diet.Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet
harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi
biasa.8
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat.
Antibiotika pilihan pada demam tifoid adalah kloramfenikol dengan
dosis 50-100 mg/kgBB/hari. Kloramfenikol masih menjadi pilihan
pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier
dan relaps. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil,
terutama pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur,
serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman
diberikanpada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin. Jika tidak
dapat diberikan kloramfenikol, dipakai amoksisilin 100 mg/kgBB/hari per
oral atau ampisillin atau kotrimoksazol 48 mg/kgBB/hari. Bila klinis tidak
ada perbaikan, digunakan generasi ketiga sefalosporin seperti seftriakson
80 mg/kg IM atau IV atau sefiksim oral 20 mg/kgBB/hari.4
2.7.3. Pencegahan Tersier
29
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan
akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap
terjaga dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita
demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
2.8. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
2.8.1. Komplikasi Intestinal
a) Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi
hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat
bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b) Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.
Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar
ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan
darah turun dan bahkan sampai syok.8
2.8.2. Komplikasi Ekstraintestinal
a) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),
miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi
intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
30
d) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis
g) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,
polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.
BAB III
PENUTUP
3.1KesimpulanDemam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
negara berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik
terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi
pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan
darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler.
Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur
darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan
penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah
dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas
dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEX, Typhidot-M dan dipstik
mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.3,4
KEPUSTAKAAN
31
1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders,
2000:842-8.
2. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam :
Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLIV.Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W.Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1.Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
4. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-
18.
5. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H,
Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit
Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.
6. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.
7. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu
Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
8. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium
Infeksi – Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa
Timur.Malang : IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.
32