DDT FIX

50
TUGAS MAKALAH KIMIA TOKSIKOLOGI DDT ( DICHLORODIPHENYLTRICHLOROETHANE) DISUSUN KELOMPOK V : BAIQ RIZKYA M.H (G1C 012 ) HUJANI OLTANTIA (G1C 012 013) MADE DWI PRAMANDITA (G1C 012 ) WANTI KURNIA HADIYATI (G1C 012 ) 1

description

DDT KELOMPOK V TOKSIKOLOGI

Transcript of DDT FIX

TUGAS MAKALAH KIMIA TOKSIKOLOGIDDT (DICHLORODIPHENYLTRICHLOROETHANE)

DISUSUN KELOMPOK V :BAIQ RIZKYA M.H (G1C 012 )HUJANI OLTANTIA (G1C 012 013)MADE DWI PRAMANDITA (G1C 012 )WANTI KURNIA HADIYATI (G1C 012 )

PROGRAM STUDI KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS MATARAM2015KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kahadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan hidayah-Nya, kami dapat menyusun makalah ini sebagai tugas untuk Mata Kuliah Toksikologi Program Studi Kimia, Fakultas MIPA. Makalah ini berisi materi mengenai DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane). Dimana materi dari makalah DDT ini terdiri dari pengnalan DDT secara umum yang terdiri dari sifat-sifat baik secara kimia maupun fisika; absorpsi, distibusi metabolism, dan eliminasi, uji toksisitas serta antidotum DDT.Harapannya, semoga makalah ini dapat dijadikan sumber untuk belajar yang berbobot untuk membekali mahasiswa FMIPA pada khususnya dan masyarakat umum. Namun demikian, karena dinamika sains dan teknologi di industri begitu cepat terjadi, maka makalah ini selalu dimintakan masukan untuk bahan perbaikan atau direvisi agar supaya selalu relevan dengan kondisi lapangan.Makalah ini dapat terselesaikan, tentu dengan banyaknya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak yang perlu diberikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini tidak berlebihan bilamana disampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, terutama tim penyusun makalah dan dosen-dosen atas dedikasi, pengorbanan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini.Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya mahasiswa Kimia Fakultas Matematika dan IPA Universitas Mataram sebagai materi pembelajarannyaMataram, 28 Maret 2015 Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL1KATA PENGANTAR2DAFTAR ISI3BAB I: PENDAHULUAN4BAB II: PEMBAHASAN7BAB III: PENUTUP32DAFTAR PUSTAKA33

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangResidu pestisida telah diketemukan di dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, maupun di udara. Dan yang paling berbahaya racun pestisida kemungkinan terdapat di dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, seperti sayuran dan buah-buahan. Aplikasi pestisida dari udara jauh memperbesar resiko pencemaran, dengan adanya hembusan angin. Pencemaran pestisida di udara tidak terhindarkan pada setiap aplikasi pestisida. Sebab hamparan yang disemprot sangat luas. Sudah pasti, sebagian besar pestisida yang disemprotkan akan terbawa oleh hembusan angin ke tempat lain yang bukan target aplikasi, dan mencemari tanah, air dan biota bukan sasaran. Pencemaran pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi sebahagian besar menyebar di dalam pengairan dan terus ke sungai dan akhirnya ke laut. Sebagian besar pestisida yang jatuh ke tanah yang dituju akan terbawa oleh aliran air irigasi. Di dalam air, partikel pestisida tersebut akan diserap oleh mikroplankton-mikroplankton. Oleh karena pestisida itu persisten, maka konsentrasinya di dalam tubuh mikroplankton akan meningkat sampai puluhan kali dibanding dengan pestisida yang mengambang di dalam air.Mikroplankton-mikroplankton tersebut kelak akan dimakan zooplankton. Dengan demikian pestisida tadi ikut termakan. Karena sifat persistensi yang dimiliki pestisida, menyebabkan konsentrasi di dalam tubuh zooplankton meningkat lagi hingga puluhan mungkin ratusan kali dibanding dengan yang ada di dalam air. Bila zooplankton-zooplankton tersebut dimakan oleh ikan-ikan kecil, konsentarsi pestisida di dalam tubuh ikan-ikan tersebut lebih meningkat lagi. Demikian pula konsentrasi pestisida di dalam tubuh ikan besar yang memakan ikan kecil tersebut. Rantai konsumen yang terakhir yaitu manusia yang mengkonsumsi ikan besar, akan menerima konsentrasi tertinggi dari pestisida tersebut.Dari hasil penelitian terdapat bahwa endosulfan terdeteksi pada semua titik (1,2 - 12,9 ppb). Jenis organoklorin lain yang terdeteksi yaitu aldrin dan heptaklor di 12 titik, dieldrin di 9 titik, dan DDT di 10 titik. Endosulfan juga merupakan organoklorin dengan konsentrasi rata-rata tertinggi (4,246 ppb). Pada musim hujan, jenis organoklorin yang paling banyak ditemukan pada sampel ikan, air dan sedimen secara berurutan adalah endosulfan, DDT (diklorodifeniltrikloroetana), aldrin, dieldrin dan heptaklor. Sebagian besar petani masih menggunakan pestisida karena kemampuannya untuk memberantas hama sangat efektif. Bahkan, penggunaan pestisida di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Menurut Atmawijaya, pada tahun 1985 diperkirakan menggunakan 10.000 ton pestisida, pada tahun 1991 meningkat menjadi 600.000 ton. Jumlah ini mencapai 5 % konsumsi dunia. Praktek pengendalian hama menggunakan insektisida organik sintetik berkembang sejak Perang Dunia II yang di mulai dengan penggunaan DDT (diklorodifeniltrikloroetana). DDT diproduksi secara massal pada tahun 1939, setelah seorang kimiawan bernama Paul Herman Moller menemukan dengan dosis kecil dari DDT maka hampir semua jenis serangga dapat dibunuh dengan cara mengganggu sistem saraf mereka. Pada waktu itu, DDT dianggap sebagai alternatif murah dan aman sebagai jenis insektisida jika dibandingkan dengan senyawa insektisida lainnya yang berbasis arsenik dan raksa. Sayangnya, tidak seorangpun yang menyadari kerusakan lingkungan maupun efek toksisitas yang ditimbulkan bagi organism yang semakin meluas akibat pemakaian DDT.Pada bulan Juli 1998, perwakilan dari 120 negara bertemu untuk membahas suatu pakta Persatuan Bangsa Bangsa untuk melarang penggunaan DDT sebagai insektisida dan 11 bahan kimia lainnya secara global pada tahun 2000. Amerika Serikat dan negara-negara industri lain menyetujui pelarangan ini karena bahan-bahan kimia ini adalah senyawa kimia yang persisten dimana senyawa-senyawa ini dapat terakumulasi dan merusak ekosistem alami dan memasuki rantai makanan manusia. Namun banyak negara tidak setuju dengan pelarangan DDT secara global karena DDT digunakan untuk mengkontrol nyamuk penyebab malaria. Malaria timbul di 90 negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan merupakan penyebab kematian dalam jumlah besar terutama daerah ekuatorial Afrika.Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa 2.5 juta orang tewas setiap tahun akibat malaria dan ini kian terjadi di berbagai belahan dunia. Namun karena DDT begitu efektif dalam mengontrol nyamuk penyebab malaria, banyak ahli berpikir bahwa insektisida menyelamatkan lebih banyak jiwa dibandingkan bahan kimia lainnya.Untuk itu, perlu dilakukan pembahasan lebih lanjut mengenai Adsorbsi Distribusi Metabolisme Ekskresi DDT apabila masuk kedalam tubuh manusia, selain itu juga perlu diketahui nilai ambang batas DDT yang masih bisa ditoleransi oleh tubuh manusia. Apabila jumlahnya telah terakumulasi dalam jumlah banyak atau melewati nilai Kadar Toksik Minimal (KTM), maka DDT dikatagorikan sebagai toksikan dalam tubuh manusia. Untuk itu perlu diketahui bagaimana metode antidotum DDT yang akan dibahas dalam makalah ini. 1.2 Rumusan masalahAdapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut1. Apa sajakah dampak negative DDT sebagai pestisida?2. Bagaimana Adsorbsi Distribusi Metabolisme dan Eksreksi DDT apabila masuk ke dalam tubuh manusia?3. Bagaimana mekanisme uji toksisitas DDT?4. Bagaimana terapi Antidotum yang sesuai untuk DDT?

1.3 Tujuan PenulisanAdapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah1. Mengetahui dampak negative penggunaan DDT sebagai pestisida.2. Mengetahui Adsorbsi Distribusi Metabolisme dan Eksreksi (ADME) DDT apabila masuk ke dalam tubuh manusia.3. Mengetahui mekanisme uji toksisitas DDT.4. Mengetahui terapi Antidotum yang sesuai untuk DDT.

1.4 Manfaat PenulisanManfaat penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh tambahan informasi mengenai dampak negative penggunaan DDT, ADME, Uji Toksisitas untuk mengetahui nilai ambang batas dan cara terapi antidotum yang sesuai untuk DDT.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Sifat Fisik dan Kimia DDTDDT (diklorodifeniltrikloroetana) termasuk ke dalam kelas kimia alifatik difenil, yang berarti terdiri dari alifatik/rantai karbon yang lurus, dengan dua (di-) rantai fenil yang melekat dengan rumus struktur (ClC6H4)2CHCCl3. DDT murni berwarna putih dan akan cair pada suhu 90C. Sangat stabil karena tidak mudah dipengaruhi oleh adanya cahaya. Senyawa DDT tidak larut dalam air (>1ppm) tetapi larut dalam pelarut organik yaitu minyak petrol. DDT sangat persisten, artinya bahan aktifnya dapat bertahan lama baik di tanah, air, jaringan hewan, maupun tumbuhan. Tidak mudah terurai oleh mikroorganisme, enzim, panas, maupun cahaya ultra violet. Tahan terhadap asam keras dan oksidasi terhadap asam permanganate. Dari segi insektisida, senyawa dengan sifat-sifat ini adalah yang paling baik karena dapat memberantas lalat nyamuk, tuma, pinjal, dan kutu busuk.Tetapi tidak baik dalam segi lingkungan. Toksikologi DDT termasuk dalam kategori toksik sederhana.

Gambar Struktur Molekul DDT

Dua sifat buruk yang menyebabkan DDT sangat berbahaya terhadap lingkungan hidup adalah:1. Sifat apolar DDT DDT tak larut dalam air tapi sangat larut dalam lemak. Makin larut suatu insektisida dalam lemak (semakin lipofilik) semakin tinggi sifat apolarnya. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab DDT sangat mudah menembus kulit.

2. Sifat DDT yang sangat stabil dan persistenDDT sukar terurai sehingga cenderung bertahan dalam lingkungan hidup, masuk rantai makanan (foodchain) melalui bahan lemak jaringan mahluk hidup. Itu sebabnya DDT bersifat bioakumulatif dan biomagnifikatif. Karena sifatnya yang stabil dan persisten, DDT bertahan sangat lama di dalam tanah, bahkan DDT dapat terikat dengan bahan organik dalam partikel tanah.DDT tidak terjadi secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi chloral (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dengan adanya asam sulfat, yang bertindak sebagai katalis. Perdagangan nama yang DDT telah dipasarkan antara lain, anofex, cezarex, clorophenothane, clofenotane, dicophane, dinocide, gesarol, guesapon, guesarol, gyron, ixodex, neocid, neocidol, dan zerdane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) adalah senyawa yang terdiri atas bentuk-bentuk isomer dari 1,1,1-trichloro-2,2-bis-(p-chlorophenyl) ethane. Dichoro Diphenyl Trichlorethane (DDT) diproduksi dengan menyampurkan chloralhydrate dengan chlorobenzene.Mengingat pengaruh sampingnya yang cukup berbahaya terhadap lingkungan (pengaruh residunya yang lama dan bersifat akumulatif) maka sejak 1 Januari 1973, DDT telah dilarang penggunaannya oleh Badan Proteksi Lingkungan di Amerika. Meskipun demikian, ada tiga senyawa turunan DDT yang masih bebas digunakan yaitu metoksikhlor, dikofol, dan khlorobenzilat.

2.2 Adsorpsi, Distribusi, Eliminasi dan Metabolisme DDT2.1.1 AbsorpsiKarena karakteristik DDT yang terurai lambat, maka sering ditemukan konsentrasi DDT yang sangat tinggi dalam berbagai spesies pada level yang tinggi dari rantai makanan, seperti pada ikan paus, burung elang dan mamalia, termasuk manusia. TerjadinyaBiological Magnification, yaitu meningkatnya kandungan zat kimia pada konsumen puncak melalui peristiwa rantai makanan.

Gambar Mekanisme Pencemaran DDT

Gambar Mekanisme Masuknya DDT dalam Tubuh Manusia

Jalur pajanan utama yang mungkin dari DDT adalah melalui makanan, termasuk daging, ikan, dan produk susu. DDT dapat masuk ke dalam tubuh melalui oral (makanan), inhalasi (pernafasan), atau dermal (dengan menyentuh zat atau benda yang telah terkontaminasi dengan DDT) (Departement of Health & Human Services, 2009). DDT akan segera diabsorpsi jika kontak melalui kulit atau mata. Absorpsi ini akan terus berlangsung selama DDT masih ada pada kulit. Kecepatan absorpsi berbeda pada tiap bagian tubuh. Perpindahan residu DDT dari suatu bagian tubuh ke bagian lain sangat mudah. Jika hal ini terjadi maka akan menambah potensi keracunan. Residu dapat pindah dari tangan ke dahi yang berkeringat atau daerah genital. Pada daerah ini kecepatan absorpsi sangat tinggi sehingga dapat lebih berbahaya dari pada tertelan. Paparan melalui oral dapat berakibat serius, luka berat atau bahkan kematian jika tertelan.

2.1.2 DistribusiDDT bersifat nonsistemik yaitu tidak diserap oleh jaringan tetapi hanya menempel pada bagian luar sel. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Setelah DDT diabsorbsi, jaringan lipoprotein dalam darah akan melarutkannya dan membawa ke sisitem sirkulasi organ tubuh, terakumulasi sepanjang waktu hingga mengakibatkan efek negatif. Apabila kita terpejan oleh DDT dalam waktu yang relative lama, dimana DDT bersifat sangkat sukar terurai di lingkungan, maka akan terjadi penyerapan DDT dari lingkungan ke dalam tubuh dalam waktu relatif lama. Distribusi DDT dan metabolitnya akan berada di hati, ginjal, otak, dan jaringan adiposa

2.1.3 MetabolismeDDT secara kimia tergolong insektisida yang toksisitas relatif rendah akan tetapi mampu bertahan lama dalam lingkungan. Racun ini bersifat mengganggu susunan syaraf. DDT sangat membahayakan bagi kehidupan maupun lingkungan, karena meninggalkan residu yang terlalu lama dan dapat terakumulasi dalam jaringan melalui rantai makanan. Di dalam tubuh, DDT diubah menjadi beberapa metabolitnya, seperi DDE (dichlorodiphenyldichloroethylen), DDD (dichlorodiphenyldichloroethane), dan DDA (2,2-bis(4-chlorophenyl)-acetic acid). DDA larut dalam air yang kemudian dikeluarkan (dibuang) bersama-sama feses dan atau urin.

Gambar Mekanisme Pembentukan DDT

Dichlorodiphenyldichloroethylene (DDE) adalah senyawa kimia yang terbentuk melaui reaksi dehidrohalogenasi, yaitu dengan melepas hydrogen klorida (HCl) dari DDT, dimana DDE merupakan salah satu produk pengganggu. pelepasan HCl menghasilkan ikatan rangkap pada atom pusat pada atom karbon (karbon kuartener).

Gambar Reaksi Pembentukan DDE

Karena kehadiran DDT dalam jumlah besar dan relatif begitu lama dalam lingkungan khususnya pertanian, maka DDT dan DDE banyak ditemukan secara luas dalam jaringan hewan. DDE sangat berbahaya karena dapat larut dalam lemak seperti organoklorine lainnya, sehingga jarang dikeluarkan dari tubuh dan konsentrasinya cenderung meningkat sepanjang kehidupan. Pada ibu hamil, DDT dan DDE dapat diteruskan ke janin. DDT dan DDE juga ditemukan dalam ASI, sehingga paparan juga dapat terjadi pada ibu menyusui (Departement of Health & Human Services, 2009).Dichlorodiphenyldichloroethane (DDD) adalah insektisida organoklorine yang dapat mengiritasi kulit. DDD tidak berwarna dan berbentuk Kristal. DDD termasuk golongan B2 yang berarti kemungkinan dapat menyebabkan kanker pada manusia. Hal ini didasarkan pada meningkatnya efek tumor pada tikus jantan dan betina, tumor hati dan tumor tiroid pada tikus. DDD terbentuk dari reaksi deklorinasinya reduktif.

Gambar Reaksi Pembentukan DDA

2.1.4 EliminasiHasil metabolisme DDT tersebut secara perlahan dikeluarkan dari dalam tubuh sekitar 1% dari jumlah DDT yang tersimpan dalam tubuh. Ketika cadangan lemak digunakan saat kelaparan, produk metabolit dari DDT dilepaskan ke dalam darah, di mana metabolit tersebut dapat menyebabkan efek toksik pada hati dan sistem saraf. Setelah DDT terakumulasi di dalam tubuh, DDT dapat diekskresikan melalui urin, feses atau ASI. DDT bersifat lipofilik dan karenanya terdapat pada cairan tubuh yang berlemak termasuk susu. Meskipun asupan DDT per hari pada ibu 0,5 mg/kg, bayi yang disusuinya mungkin mendapat asupan sebesar 11,2 mg/kg. Pembesaran ini berasal dari fakta bahwa DDT tersimpan dalam tubuh manusia pada tingkat asupan harian kronik 10-20 kali lipat dan bayi itu pada dasarnya hanya mengkonsumsi susu saja. Paparan terhadap DDT dapat diukur dalam darah dan lemak. Pengukuran konsentrasi DDT dalam ASI sering digunakan dalam pengukuran paparan DDT dalam suatu populasi (National Pesticide Information Center, 2000).

2.3 Toksikologi DDTDDT merupakan pestisida organoklorin yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan. Hal ini dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan karena bahan kimia ini dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf (baik sentral ataupun peripheral serta dapat juga mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin. Karakteristik POPs yang dapat memberikan efek negatif menurut Gorman & Tynan (Dalam Warlina, 2009),adalah: a. Terurai sangat lambat dalam tanah, udara, air dan mahluk hidup serta menetap dalam lingkungan untuk waktu yang lama.b. Masuk dalam rantai makanan dan dapat terakumulasi pada jaringan lemak, sehingga sukar larut dalam air.c. Dapat terbawa jauh melalui udara dan air.

Potensi DDT sebagai penyebab kanker payudaraMenurut pengamatan tim yang diketuai oleh Jean-Pierre Bourguignon dari University of Liege, Belgia, anak-anak imigran dari berbagai negara berkembang mempunyai kemungkinan 80 kali lebih besar untuk memasuki masa puber dalam usia yang sangat muda. Selain itu, juga ditemukan bahwa tiga perempat di antara remaja ini mempunyai derivatif kimia DDT yang kadarnya sangat tinggi dalam darah.Penyebab pubertas dini ini ialah bahwa bahan kimia DDT sendiri, DDT mempunyai efek yang mirip dengan hormon estrogen. Hormon ini diketahui sangat berperan dalam mengatur perkembangan seks wanita. Anak-anak remaja dalam studi yang muncul dalam majalah New Scientist ini mulai mengalami pertumbuhan payudara pada usia delapan tahun. Sedangkan masa haid mereka mulai muncul sebelum memasuki usia 10 tahun. Tim ini menemukan bahwa anak-anak imigran yang datang ke negara-negara Eropa lainnya juga lebih cenderung mengalami masa puber dini. Mereka yakin, ini tidak mungkin terjadi akibat konsumsi makanan yang lebih bergizi.Peneliti ini mengetahuinya setelah melakukan tes berbagai jenis pestisida dalam darah anak-anak tersebut. Ternyata, sebanyak 21 orang dari 26 anak-anak imigran yang mengalami pubertas dini mempunyai kadar DDE yang sangat tinggi dalam darahnya. Sebagai perbandingan, zat kimia ini hanya ditemukan dalam darah dua orang dari 15 anak-anak asli Belgia.Sejauh ini, masalah-masalah kronis yang timbul akibat DDT adalah kanker dan gangguan reproduksi. Zat kimia ini dapat merusak sel dan juga sistem endokrin. Substansi yang sangat mengganggu ini masuk ke tubuh manusia biasanya lewat makanan yang dikonsumsi.Karena itu, para pakar makin diyakinkan bahwa kecurigaan terhadap kemungkinan gangguan pestisida terhadap hormon seks adalah benar. Efeknya pun sangat merugikan dalam jangka panjang. Mereka pun mendesak agar dilakukan pelarangan terhadap setiap pestisida yang dapat mengganggu hormon.Di Uni Eropa dan Amerika Serikat sendiri, penggunaan DDT telah dilarang sejak puluhan tahun lalu. Namun, zat kimia ini masih saja digunakan di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Terutama, pestisida ini dipakai untuk membasmi malaria.Sebenarnya, studi ini hanya mempertegas efek negatif DDT terhadap hormon wanita. Sebuah studi pernah dilakukan selama tiga tahun di Amerika Serikat 20 tahun lalu terhadap ibu-ibu hamil. Ternyata, kandungan DDT yang sangat tinggi dalam darah dan air susu ibu-ibu ini menyebabkan anak-anak mereka lebih cepat dewasa secara seksual.2.4 Pengujian Lethal Dosis (LD50)Toksisitas suatu bahan dapat didefinisikan sebagai kapasitas bahan untuk menciderai suatu organisme hidup. Timbulnya keracunan dapat disebabkan oleh dosis atau pemberian yang salah. Interaksi racun dan sel tubuh dapat bersifat reversible atau irreversible (Imono 2001). Menurut Siswandono dan Bambang (1995) obat merupakan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup suatu organisme. Setiap obat pada dasarnya adalah racun. Keracunan dapat terjadi karena dosis dan cara pemberian yang salah (Siswandono dan Bambang 1995). Uji toksisitas meliputi berbagai pengujian yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek umum suatu senyawa pada hewan percobaan. Pengujian toksisitas meliputi pengujian toksisitas akut, subkronik, dan kronik. Pengujian toksisitas khusus meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenikan, uji kemutagenikan, uji keteratogenikan, uji reproduksi, kulit dan mata, serta perilaku.Pengujian LD50 dilakukan untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang akan terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan dengan takaran tertentu. Pada pengujian toksisitas akut LD50 akan didapatkan gejala ketoksikan yang dapat menyebabkan kematian hewan percobaan. Gejala ketoksikan yang timbul berbeda dalam tingkat kesakitan pada hewan (Connel dan Miller 1995) . Menurut Environmental Protection Agency (EPA 2002), LD50 digunakan untuk mengetahui kematian 50% hewan percobaan dalam 24-96 jam. Pengaruh LD50 secara umum diukur menggunakan dosis bertingkat. Dosis bertingkat terdiri dari kelompok kontrol dan beberapa tingkat dosis yang berbeda. Toksisitas akut dilakukan untuk mengetahui respon hewan percobaan terhadap dosis yang diberikan. Penghitungan LD50 didasarkan pada jumlah kematian hewan percobaan. Pengamatan hewan percobaan dilakukan selama 24 jam. Pada kasus tertentu sampai 7-24 hari (Donatus 1998). Kisaran tingkat dosis yang digunakan yaitu dosis terendah yang hampir tidak mematikan seluruh hewan percobaan dan dosis tertinggi yang dapat menyebabkan kematian seluruh atau hampir seluruh hewan percobaan. Setiap hewan percobaan akan memberikan reaksi yang berbeda pada dosis tertentu. Perbedaan reaksi akibat pemberian suatu zat diakibatkan oleh perbedaan tingkat kepekaan setiap hewan (Guyton dan Hall 2002).Kisaran nilai LD50 diperlukan untuk mengetahui tingkat toksisitas suatu zat. Semakin besar kisaran LD50 semakin besar pula kisaran toksisitasnya. Letal Dosis (LD50) dapat dihubungkan dengan Efektif Dosis (ED50) yaitu dosis yang secara terapeutik efektif terhadap 50% dari sekelompok hewan percobaan. Hubungan tersebut dapat berupa perbandingan antara LD50 dengan ED50 yang disebut Indeks Terapeutik (IT). Makin besar indeks terapeutik suatu obat makin aman obat tersebut (Mutschler 1991). Selanjutnya klasifikasi toksisitas menurut Lu (1995) dapat disajikan pada Tabel.

Tabel Klasifikasi Toksisitas Menurut Lu (1995).

Menurut Balls et al (1991) faktor-faktor yang berpengaruh pada LD50 sangat bervariasi antara jenis satu dengan jenis yang lain dan antara individu satu dengan individu yang lain dalam satu jenis. Faktor-faktor tersebuat dapat diuraikan sebagai berikut.a. Spesies, Strain, dan Keragaman IndividuSetiap spesies dan strain yang berbeda memiliki sistem metabolisme dan system detoksikasi yang berbeda. Setiap spesies mempunyai perbedaan kemampuan bioaktivasi dan toksikasi suatu zat (Siswandono dan Bambang 1995). Semakin tinggi tingkat keragaman suatu spesies dapat menyebabkan perbedaan nilai LD50. Variasi strain hewan percobaan menunjukkan perbedaan yang nyata dalam pengujian LD50 (Lazarovici dan Haya 2002).b. Perbedaan Jenis KelaminPerbedaan jenis kelamin mempengaruhi toksisitas akut yang disebabkan oleh pengaruh langsung dari kelenjar endokrin. Hewan betina mempunyai sistem hormonal yang berbeda dengan hewan jantan sehingga menyebabkan perbedaan kepekaan terhadap suatu toksikan (Lazarovici dan Haya 2002). Hewan jantan dan betina yang sama dari strain dan spesies yang sama biasanya bereaksi terhadap toksikan dengan cara yang sama, tetapi ada perbedaan kuantitatif yang menonjol dalam kerentanan terutama pada tikus (Lu 1995).c. UmurHewan-hewan yang lebih muda memiliki kepekaan yang lebih tinggi terhadap obat karena enzim untuk biotransformasi masih kurang dan fungsi ginjal belum sempurna (Ganong 2003). Perbedaan aktivitas biotransformasi akibat suatu zat menyebabkan perbedaan reaksi dalam metabolisme (Mutschler 1991). Sedangkan pada hewan tua kepekaan individu meningkat karena fungsi biotransformasi dan ekskresi sudah menurun.d. Berat BadanPenetuan dosis dalam pengujian LD50 dapat didasarkan pada berat badan. Pada spesies yang sama, berat badan yang berbeda dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda pula. Semakin besar berat badan maka jumlah dosis yang diberikan semakin besar (Mutschler 1991).

e. Cara PemberianLetal dosis dipengaruhi juga oleh cara pemberian. Pemberian obat melalui suatu cara yang berbeda pada spesies yang sama akan memberikan hasil yang berbeda. Menurut Siswandono dan Bambang (1995) pemberian obat peroral tidak langsung didistribusikan ke seluruh tubuh. Pemberian obat atau toksikan peroral didistribusikan ke seluruh tubuh setelah terjadi proses penyerapan di saluran cerna. Sehingga mempengaruhi kecepatan metabolisme suatu zat di dalam tubuh (Mutschler 1991).f. Kesehatan HewanStatus hewan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap suatu toksikan. Kesehatan hewan sangat dipengaruhi oleh kondisi hewan dan lingkungan. Hewan yang tidak sehat dapat memberikan nilai LD50 yang berbeda dibandingkan dengan nilai LD50 yang didapatkan dari hewan sehat (Siswandono dan Bambang 1995).g. Faktor LingkunganBeberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi toksisitas akut antara lain temperatur, kelembaban, iklim, dan perbedaan siang dan malam. Perbedaan temperature suatu tempat akan mempengaruhi keadaan fisiologis suatu hewan.h. DietKomposisi makanan hewan percobaan dapat mempengaruhi nilai LD50. Komposisi makanan akan mempengarui status kesehatan hewan percobaan. Defisiensi zat makanan tertentu dapat mempengaruhi nilai LD50 (Balls et al 1991).

2.4.1 BEBERAPA METODE PENENTUAN LETAL DOSISBanyak metode yang digunakan dalam perhitungan LD50. Setiap metode yang digunakan memiliki kelebihan dan kekurangan. Beberapa metode yang digunakan dalam perhitungan nilai LD50 menggunakan cara grafik atau aljabar. Beberapa metode yang umum dipakai untuk menentukan LD50 adalah seperti berikut:1. Metode TrevanMetode Trevan mulai digunakan pada tahun 1972 (Anonimous 2006). Metode ini merupakan cara yang sederhana, tetapi memerlukan jumlah hewan yang besar untuk memperoleh hasil yang lebih teliti. Beberapa tingkat dosis harus ditentukan terlebih dahulu. Pengamatan dilakukan 24 jam setelah perlakuan dan ditentukan persen kematian setiap kelompok. Antara log dosis dan persen kematian dihubungkan sehingga didapatkan grafik yang berbentuk sigmoid. Nilai LD50 didapatkan dengan cara menarik garis dari angka 50% pada sumbu Y dan diplotkan pada sumbu X. Titik potong pada absis merupakan LD50 yang ditentukan.

2. Metode Perhitungan dengan Cara Grafik Miller dan TainterMetode perhitungan Miller dan Tainter mulai digunakan pada tahun 1944. Metode Miller dan Tainter merupakan metoda yang paling umum dipakai dalam perhitungan efektif dosis (Anonimous 2006). Perhitungan LD50 berdasarkan metode ini memerlukan kertas probit logaritma. Skala yang digunakan adalah skala logaritma dan skala probit. Skala logaritma digunakan pada absis sebelah kanan sedangkan skala probit digunakan pada ordinat sebelah kiri. Skala dibuat dalam skala persen yang setara dengan skala probit atau nilai persen dapat dilihat di dalam tabel probit.

3. Metode Aritmatik Reed dan MuenchMetode ini menggunakan nilai-nilai kumulatif. Asumsi yang dipakai bahwa kematian seekor hewan akibat dosis tertentu akan mengalami kematian juga oleh dosis yang lebih besar dan hewan bertahan hidup pada dosis tertentu juga akan tetap bertahan hidup pada dosis yang lebih rendah. Kematian kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif ke bawah dan hidup kumulatif diperoleh dengan menambahkan secara suksesif ke atas. Persen hidup dari dosis-dosis yang berdekatan dengan LD50 dihitung. Penetuan LD50 didapatkan berdasarkan persamaan berikut:

Sehingga, nilai LD50 didapatkan,Log 10 LD50 = - 7 + (P.Dx 10)Dimana :P.D = Jarak proporsionalP = Proporsi peningkatan dosis

4. Metode KarberMetode Karber mulai digunakan pada tahun 1931 (Anonimous 2006). Perhitungan nilai LD50 berdasarkan metode Karber menggunakan rata-rata dari jumlah kematian hewan pada tiap kelompok dan perbedaan antar dosis untuk interval yang sama. Hasilhasil dari dosis yang lebih besar dari dosis yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam sekelompok dosis dan dosis yang lebih rendah yang dapat ditolerir oleh seluruh hewan dalam suatu kelompok, tidak digunakan. Jumlah perkalian diperoleh dari hasil kali beda dosis dengan rata-rata kematian pada interval yang sama. Nilai LD50, didapatkan dari dosis terkecil yang menyebabkan kematian seluruh hewan dalam satu kelompok, dikurangi dengan jumlah perkalian dibagi jumlah hewan dalam tiap kelompok. Apabila dijabarkan dalam bentuk rumus adalah seperti berikut.Rumus :LD 50 = a (b/c)

Dimana :a = Dosis terkecil yang menyebabkan kematian tertinggi dalam satu kelompok dosisb = Jumlah perkalian antara beda dosis dengan rata-rata kematian pada interval sama.c = Jumlah hewan dalam satu kelompok.

5. Metode Perhitungan Secara Grafik Litchfield dan WilcoxonMetode Litchfield dan Wilcoxon mulai digunakan pada tahun 1949. Metode ini merupakan salah satu metode yang sering dipakai dalam penetuan efektif dosis (Anonimous 2006). Metode ini terdiri dari tingkat data dan range data dosis yang digunakan. Tingkat data akan dibandingkan dengan suatu nilai untuk melihat diterima atau tidaknya hipotesis yang digunakan (EPA 2002). Metode ini menggunakan banyak tabel dan beberapa monogram. Heterogenitas data ditentukan dengan uji chi kuadrat.

6. Metode Thomson dan WeilMetode Thomson dan Weil mulai digunakan pada tahun 1952. Metode Thomson dan Weil memiliki kelebihan dari pada metode-metode sebelumnya. Metode Thomson dan Weil mempunyai tingkat kepercayaan yang cukup tinggi (Anonimous 2006). Metode ini merupakan metode yang sering digunakan karena tidak memerlukan hewan percobaan yang cukup banyak. Perhitungan LD50 tidak menggunakan kertas probit logaritma. Uji heterogenitas data tidak dilakukan dalam metode Thomson dan Weil (Anonimous 2006). Metode ini menggunakan daftar perhitungan LD50 sehingga hasil lebih akurat. Bentuk rumus dari metode Thomson dan Weil adalah sebagai berikutLog LD50 = Log D + d (f + 1)Keterangan :D = dosis terkecil yang digunakand = logaritma kelipatanf = suatu faktor pada daftar perhitungan LD50 Weil (1952), dimanar adalah jumlah kematian hewan dalam satu kelompok ujin adalah jumlah hewan percobaan per kelompokk adalah jumlah hewan percobaan -1Kisaran nilai LD50 dihitung dengan rumusLog kisaran = Log LD50 2 d fDimana f = suatu nilai pada tabel yang tergantung pada nilai n dan k

7. Cara Farmakope Indonesia Menurut Farmakope Indonesia III penelitian toksisitas akut harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1) Menggunakan seri dosis dengan pengenceran berkelipatan tetap. 2) Jumlah hewan percobaan atau jumlah biakan jaringan tiap kelompok harus sama. 3) Dosis diatur sedemikikan rupa, sehingga memberikan efek dari 0% sampai 100%. Nilai LD50 dapat dihitung dengan rumus: m = a b (pi 0,5 ) m = log LD50 keterangan :a = logaritma dosis terendah yang masih menyebabkan kematian 100% tiap kelompok. b = beda logaritma dosis yang berurutan. pi = jumlah hewan yang mati yang menerima dosis i dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima dosis i.2.4.2 UJI TOKSISITAS DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane)1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni sederhana yang dilakukan dengan memberikan perlakuan pada subyek uji.2. Hewan Uji Hewan yang digunakan berupa kelinci cottontail dewasa, 4 ekor perkelompok uji. 3. Bahan dan Alat Uji Bahan yang digunakan adalah sediaan kristal DDT. Alat yang digunakan diantaranya timbangan analitik, beaker glass 250 ml, pengaduk, labu ukur 10 ml, pipet volume 5 ml, dan stomach tube.4. Prosedur Penelitian1) Pemilihan hewan uji Dipilih kelinci cottontail dewasa dan sehat, dipilih 4 ekor untuk setiap kelompok uji.2) Pengelompokan hewan uji a. hewan yang dipilih diadaptasikan di laboratorium selama satu minggu. b. Penimbangan berat badan kelinci dilakukan sehari sebelum percobaan. c. Hewan dibagi menjadi beberapa kelompok sesuai peringkat dosis yang diberikan dan kelompok kontrol.3) Tata cara pemberian/pemejanan dosis Bahan uji diberikan dengan stomach tube terhadap kelinci yang dibagi menjadi 5 kelompok dosis, 4 kelompok uji dan 1 kelompok kontrol. Tiap kolompok terdiri dari 4 ekor kellinci. Sedian Kristal DDT diberikan dengan dosis :Dosis I : 500 mg/kg BBDosis II : 1000 mg/kg BB Dosis III : 2000 mg/kg BB Dosis IV : 4000 mg/kg BB. Semua diberikan secara stomach tube. Sebelum diberikan bahan uji, mencit diamati perilakunya dan setelah pemberian juga diamati prilakunya. Efek yang diamati setelah pemberian meliputi : pengamatan fisik terhadap gejala klinis, jumlah hewan yang mati dan hispatologi seluruh organ (warna). Data kelinci yang mati diambil hingga 24 jam setelah pemberian sediaan. Kelinci yang bertahan hidup diamati sampai hari ke-14. Bila sampai batas volume maksimum tidak menimbulkan kematian hewan uji, maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu.

5. Analisa DataPerhitungan nilai LD50 menggunakan metode Thompson dan Weil (1952). Tabel perhitungan Thompson dan Weil digunakan untuk menentukan nilai LD50. Nilai LD50 dihitung dengan persamaan sebagai berikut:Log LD50 = Log D + d (f + 1)

Dimana :D = dosis terkecil yang digunakand = logaritma kelipatanf = suatu faktor pada daftar perhitungan LD50, dimana r adalah jumlah kematian hewan dalam satu kelompok uji

Tabel Weil

Nilai f berdasarkan jumlah kelinci yangmati (r)

2.4.3 Hasil AnalisisMortalitas KelompokDosisJumlah hewan tiap kelompokHewan matiketerangan

I500 mg/kg BB40-

II1000 mg/kg BB40-

III2000 mg/kg BB42Mati pada hari ke-3 dan ke-13

IV4000 mg/kg BB44Mati pada hari ke-7 dan ke-12

VControl (-)40-

Log LD50 = log Do + d (f + 1)= log 500 + log 2 (1 + 1)= 2,69 + 0,3 (2)= 2,69 + 0,6= 3,29LD50 = 1949, 8446 mg/kg BB= 1,949 gr/kg BBBerdasarkan hasil pengamatan dan anlisis data diperoleh LD50 DDT sebesar 1949, 8446 mg/kg BB.

DDT sangat stabil baik di air, di tanah, dalam jaringan tanaman dan hewan. DDT merupakan racun non sistemik, racun kontak dan racun perut serta sangan persisten di lingkungan . LD50 terhadap tikus 113-118, mencit 150-300, kelinci 300, anjing 500-700, dan kambing > 1000 mg/kg berat badan, sedangkan NOEL DDT 35 mg/orang/hari (sekitar 0,5 mg/kg berat badan). NOEL adalah konsentrasi atau dosis terbesar suatu zat kimia yang dapat menimbulkan efek buruk yang tidak teramati dalam sebuah populasi uji. NOEL merupakan landasan pengkajian resiko dan merupakan dasar untuk menetapkan dosis paparan pada manusia yang masih dapat ditoleransi oleh kesehatan.

2.5 Terapi AntidotumAntidotum adalah penawar racun, sedangkan antitoksik adalah penawar terhadap zat yang beracun (toksik) terhadap tubuh. Antidotum lebih difokuskan terhadap over dosis atau dosis toksik dari suatu obat. Kondisi suatu obat dapat menimbulkan keracunan bila digunakan melebihi dosis amannya. Selain itu, perbedaan metabolisme tubuh setiap orang terhadap dosis obat juga mempengaruhi. Obat dapat menjadi racun bila dikonsumsi dalam dosis berlebihan. Dalam hal ini, obat tidak akan menyembuhkan melainkan berbahaya. Umumnya akan timbul efek sampingnya.Praktisi kesehatan seperti dokter dan apoteker harus berhati-hati dalam memilih dosis obat yang sesuai dengan kondisi penderita. Obat yang sama dapat diberikan dalam dosis yang berbeda kepada bayi, anak-anak, dewasa dan usia lanjut. Hal ini disebabkan perbedaan kesempurnaan pembentukan organ-organ tubuh terutama hati dalam tiga jenis manusia tersebut.Pengobatan terhadap keracunan obat yang umum untuk keracunan yang terjadi kurang dari 24 jam yaitu dengan membilas lambung bila obat baru ditelan, memuntahkan obat sampai tindakan khusus untuk mempercepat pengeluaran obat dari tubuh. Setelah bilas lambung, karbon aktif dan suatu pencahar perlu diberikan. Pada keracunan yang parah dibutuhkan antidotum yang memang terbukti menolong terhadap efek keracunan obat tertentu, misal asam Folinat untuk keracunan metotrexat.Nalokson, atropin, chelating agent, natrium tiosulfat, metilen biru merupakan antidotum spesifik yang sangat ampuh dan sering menimbulkan reaksi pengobatan yang dramatis. Namun, sebagian terbesar kasus keracunan harus dipuaskan dengan pengobatan gejalanya saja, dan inipun hanya untuk menjaga fungsi vital tubuh, yaitu pernafasan dan sirkulasi darah. Racun akan didetoksikasi oleh hepar secara alamiah dan racun atau metabolitnya akan diekskresi melalui ginjal dan hati. Selama keracunan hanya perlu dipertahankan pernapasan dan sistem kardiovaskuler (fungsi vital).2.5.1 Zat AntitoksikSaat ini manusia sering terkena zat-zat toksik baik dari makanan, air dan lingkungan. Di rumah pun bukan berarti tidak berbahaya karena masih ada kemungkinan keracunan insektisida maupun herbisida. Tergantung dari sifat yang dimiliki oleh zat toksik tersebut, sehingga bisa terserap melalui lambung, usus, paru-paru dan atau kulit.Untungnya, hati (liver) memiliki kemampuan mendetoksifikasi zat-zat toksik tersebut sehingga dapat dikeluarkan melalui urine, empedu dan udara. Namun, apabila kecepatan penyerapan melebihi kecepatan ekskresinya, zat toksik itu akan menumpuk dalam konsentrasi kritis dan mengakibatkan munculnya efek toksik dari zat tersebut.Zat-zat tosik seperti sulfida, arsenik, logam berat dapat masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan efek keracunan. Untuk itu, dibutuhkan zat antitoksik seperti Desferrioksamin Metansulfonat untuk keracunan besi akut. Untuk pemilihan dan penggunaan antidotum & zat antitoksik yang tepat ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter.Di apotik online medicastore anda dapat mencari antidotum & zat antitoksik dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda dapat memilih dan beli antidotum & zat antitoksik sesuai yang diresepkan dokter anda.Definisi: Tata cara yang secara khusus digunakan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut. Ketoksikan suatu zat beracun ditentukan oleh antar aksi, absorbsi, dandisposisi. Adapun sasaran dari terapi anti dot adalah menurunkan jumlah zat beracun dalam sel sasaran. Strategi Terapi Antidotum :1. Penurunan Aktivitas Absorbsi2. Penghambatan Proses Distribusi3. Induksi Proses Eliminasi Jika akan mengintervensi proses metabolisme, perhatikan karakteristik metabolitnya. Apakah relatif kurang toksik atau malah relatif leih toksik dari pada senyawa induk.4. Penaikan KTM. Sesungguhnya KTM bersifat tetap tetapi dalam hal ini yang dimaksudkan adalah menaikkan daya tahan tubuh pasien sehingga fungsi fungsi pertahanan dalam dirinya mampu mengatasi dampak buruk dari efek toksik tersebut. Strategi ini disebut juga terapi supportive. Inilah strategi yang dapat digunakan untuk semua kasus keracunan, pada waktu apa pun.Untuk strategi 1, 2, dan 3 perlu diperhatikan Kisaran Waktu Terapi (KWT) yaitu waktu sejak pasien terpejan zat beracun hingga siap diterapi. Hal ini terkait denga t eliminasi zat beracun sehingga dapat ditentukan zat beracun dalam tubuh pasien sudah berada pada fase apa. Jangan sampai zat beracun sudah masuk pada fase eliminasi tetapi diberikan terapi untuk menurunkan absorbs.Metode Strategi Terapi Anti Dot Terdiri atas Metode Umum (Tak Khas) dan Metode Khas.1. Metode Umum (Tak Khas)Metode ini dapat digunakan untuk sebagian besar kasus kercunan. Strateginya antara lain:a. Pergeseran kurva absorbsi kearah kananPrinsipnya: Cegah zat beracun terabsorbsi ke sirkulasi sistemik Emetika (rangsang muntah kimiawi)Prinsipnya: segera keluarkan zat beracun yang terlanjur masuk ke dalam tubuh dan masih berada di dalam lambung. Jika tersedia, gunakan sirup ipekak. Jika tidak tersedia, gunakan zat zat yang memiliki rasa sangat ekstrim. Misalnya sangat pahit, sangat manis, sangat asin, sangat amis, dan sangat kental. Zat zat yang umumnya tersedia di rumah dan dapat digunakan untuk terapi ini misalnya kecap kental, susu kental manis tanpa dicairkan, sirup tanpa dicairkan, larutan garam dapur kental, minyak ikan, dsb. Khusus untuk penggunaan garam dapur kental, perlu diperhatikan apakah pasien mengidap hipertensi atau tidak. Jika pasien mengidap hipertensi, jangan gunakan larutan garam.

Rangsang Muntah MekanikRangsangan muntah dilakukan bukan dengan zat kimia tetapi dengan rangsangan mekanik. Intinya: gunakan benda padat tumpul untuk menyentuh kerongkongan hingga pasien muntah. Perlu diperhatikan: Jangan gunakan jari untuk merangsang muntah pasien yang kejang karena jika tergigit dapat putus! Gunakan benda lain yang aman untuk pasien dan pemberi terapi. Misalnya pangkal pensil yang dibalut dengan kain lembut, dsb. Baik rangsang muntak mekanik maupun kimiawi hanya dapat dilakukan apabila pasien dalam keadaan sadar. Pasien yang pingsan tidak boleh dirangsang untuk muntah karena berisiko terjadinya aspirasi pneumonia (muntahan masuk ke saluran nafas). Pembilasan Lambung (hanya dapat dilakukan di Rumah Sakit dengan pengawasan ketat tenaga medis)Syarat:Cairan pembilas bersifat netral (exp. Aquadest atau larutan NaCl 0,9%)Gunakan cairan pada suhu kamar (bukan air es atau air panas). Pengecualian untuk kasus hematomesis (muntah darah) dapat digunakan air dingin (dengan pengawasan ketat tenaga medis) untuk penghentian darah. lambung menjadi netral sehingga obat obat asam lemah tidak terabsorbsi.Dapat juga dilakukan penyerapan zat beracun menggunakan arang aktif atau penetralan kimia menggunakan ammonium chloride (NH4Cl). Jika terpejan senyawa asam / basa kuat, tidak boleh dilakukan penetralan atau pemuntahan karena asam / basa kuat bersifat korosif. Pada kasus seperti itu, dilakukan strategi pengenceran, dapat menggunakan aquadest atau larutan fisiologis (NaCl 0,9%).b. Pergeseran kurva distribusi ke arah kananPrinsipnya: Menghalangi agar zat beracun tidak dapat mencapai sel sasaran. Dapat dilakukan dengan cara:

Penjeratan ion dengan mengubah pH darahMenggunakan prinsip like dissolves like. Jika obat tidak larut dalam darah, ia tidak akan smapi ke sel sasaran. Sehingga, perhatikan sifat fisiko kimia zat racun yang terpejan. Penggantian tempat ikatan racunIngat bahwa hanya senyawa bebas yang dapat terikat dengan reseptor dan menimbulkan efek. Di sisi lain, protein albumin dalam darah dapat mengikat senyawa tersebut sehingga tidak menimbulkan efek. Solusi: gunakan infuse albumin (tetapi sangat mahal) atau gunakan putih telur atau ikan kutuk. Putih telur mudah didapat dan relatif murah. Sedangkan ikan kutuh beraksi ganda: merangsang muntah (karena baunya yang sangat amis) dan kandungan proteinnya mengikat zat beracun.c. Pergeseran kurva eliminasi ke arah kiriPrinsipnya: Merangsang percepatan proses eliminasi (metabolisme dan ekskresi). Dapat dilakukan dengan cara: Hemodialisis (dilakukan di rumah sakit) Dialisis peritoneal (dilakukan di rumah sakit) Penyesuaian pH Diuresis paksa Dapat dilakukan dengan pemberian larutan gula atau sari tebu. Pemberian induktor / inhibitor enzim (tergantung prediksi sifat metabolitnya) Induktor Cyt-P450: Phenobarbital. Inhibitornya: curcumin atau simetidin.d. Penaikkan ambang toksikPrinsipnya: memperbaiki kondisi tubuh dan daya tahan pasien. Dapat dilakukan dengan cara: Pemeliharaan oksigen darah (bantuan pernafasan) Pemeliharaan sirkulasi darah Pemeliharaan sirkulasi elektrolit dengan pemberian infuse kristaloid Pemeliharaan fungsi organ2. Metode KhasHanya dapat dilakukan jika zat beracun diketahui dengan pasti dan anti dot-nya tersedia. Strateginya antara lain:a. Pergeseran kurva absorbsi ke arah kanan Lakukan khelat sehingga ukuran molekul menjadi lebih besar dan sulit diabsorbsi. Misalnya: Keracuan besi (Ferri, valensi 3), berikan sodium bicarbonate sehingga terbentuk Ferro karbonat (besi valensi 2, tidak toksik) Keracuna besi (Ferri, valensi 3), berikan diferoksamin sehingga terbentuk besi khelat (ukuran molekul besar, absorbs terhalang) Keracunan perak nitrat, berikan garam dapur (NaCl) sehingga terbentuk AgCl (endapan tidak larut sehingga tidak dapat diansorbsi) Keracunan nikotin, berikan KMnO4 sehingga terbentuk suatu produk oksidasi Keracunan fluoride (misalnya dalam pasta gigi), berikan kalsium laktat sehingga terbentuk kalsium klorida yang berukuran besar.b. Pergeseran kurva distribusi ke arah kanan Keracunan methanol, berikan ethanol. Sebenarnya ethanol juga toksik tetapi relatif kurang toksik dibandingkan methanol. Ethanol kurang polar dibandingkan dengan methanol sehingga enzim lebih tertarik untuk memetabolisme ethanol dari pada methanol (hambatan bersaing). Ingat, yang toksik sebenarnya bukan ethanol / methanolnya sendiri melainkan hasil dari metabolisme keduanya. (Methanol menghasilkan formaldehid, lalu membentuk asam format sedangkan ethanol menghasilkan asetaldehid, lalu asam asetat). Keracunan sianida, berikan senyawa nitrit. Sebenarnya nitrit juga toksik tetapi relatif kurang toksik dibandingkan senyawa sianida.c. Pergeseran kurva eliminasi ke arah kiri Prinsipnya: Peningkatan ekskresi atau pembentukan metabolit kurang toksik dengan cara kelasi (pembentukan kelat) atau kompleksasi.

d. Penurunan Ambang Toksik Penggunaan antagonis farmakologi Penggunaan jalur pengganti

Jenis Antidot (Cara Kerja) untuk DDT

Pelarut menurunkan efek konvulsi DDT, me>>> depresi SSP Absorpsi melalui kulit pelarut Pekerja yg terpapar DDT berbulan2 kadar DDT dlm lemak 648 ppm terlihat sehat tersimpan lama dlm lmk tbh, asimptomatik may caused hepatotoksik Konvulsi diazepam 10 mg IV perlahan Belum berhasil : blokade neuromuskuler Tremor : Na fenobarbital 100 mg sc/ jam ad 0,5 gr atau terkendali Jangan diberi stimulan (epinefrin) fibrilasi ventrikuler Fisostigmin Yaitu untuk aktivitas kholinomimetik digunakan : untuk pengobatan gangguan neuromuskuler seperti myastinea gravis. Untuk antidotum yaitu pengobatan toksisitas ingesti dari substansi antikholinergik. Fisostigmin, ekotiopat iodide dan organophosphorus juga berefek langsung untuk mengobati glaucoma pada mata yaitu untuk mengurangi tekanan intraokuler pada bola mata.

BAB IIIPENUTUP

A. KESIMPULAN1. DDT merupakan pestisida golongan organoklorin yang secara kimiawi bersifat stabil sehingga lama terurai.2. DDT tidak terdapat secara alami, tapi diproduksi oleh reaksi antara chloral (CCl3CHO) dengan chlorobenzene (C6H5Cl) dengan penambahan asam sulfat, yang bertindak sebagai katalis. 3. DDT dapat masuk ke dalam tubuh melalui jalur pemaparan dermal, inhalasi dan ingesti.4. Uji toksisitas DDT dapat dilkukan dengan menggunakan hewan uji kelinci dengan variasi dosis.5. LD50 DDT pada kelinci 300 mg/kg BB, dan berdasarkan perhitungan dengan metode Thompson-Weil diperoleh LD50 sebesar 1949,8446 mg/kg BB.6. NOAEL (no observed adverse effect level) DDT 35 mg/orang/hari (sekitar 0,5 mg/kg berat badan).7. Terapi antidotum dapat dilakukan untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau menyembuhkannya sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya yang berlanjut.

B. SARAN Sebaiknya pemakaian DDT di kurangi karena dapat menyebabkan berbagai efek toksik pada manusia, hewan, dan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

http://metode1.blogspot.com/2013/06/sifat-kimiawi-dan-fisik-ddt.html. Diakses pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 11.30 WITA.http://www.atsdr.cdc.gov/toxguides/toxguide-185.pdf. Diakses pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 11.00 WITA.http://www.cdc.gov/biomonitoring/pdf/DDT_FactSheet.pdf. Diakses pada tanggal 15 Mei 2015 pukul 11.00 WITA.http://en.wikipedia.org/wiki/Dichlorodiphenyldichloroethane. Diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 12.00 WITA.http://en.wikipedia.org/wiki/Dichlorodiphenyldichloroethylene. Diakses pada tanggal 21 Mei 2015 pukul 12.00 WITA.http://www.enviro.bppt.go.id/sipop/POPs/DDT/ddt.htm. Diakses pada tanggal 24 Mei 2015 pukul 09.30 WITA.http://rafaeljosephhimawan.blogspot.com/2011/04/uji-potensiasi.html Diakses pada tanggal 14 Mei 2015 pukul 10.42 WITA.Bumpus, John A., et al. Tanpa tahun. Biodegradasi Dikloro Difenil Trikloroetan oleh Fungi Phanerochaete Chrysosporium. East Lansing. Michigan State Unversity.Cottam, Clarence And Elmer Higgins. 1946. DDT: Its Effect on Fish and Wildlife. United States : United States Department Of The Interior.Supriyono. 2007. Pengujian Lethal Dosis (Ld50) Ekstrak Etanol Biji Buah Duku ( Lansium Domesticum Corr) pada Mencit (Mus Musculus). Bogor : Institut Pertanian Bogor.Yuanita, MG Catur. 2011. Dampak PestisidaOrganoklorin Terhadap Kesehatan Manusia dan Lingkungan serta Penanggulangannya. Semarang: Universitas Dian Nuswantoro Semarang.

34