d5 blok 13
-
Upload
michellelie -
Category
Documents
-
view
9 -
download
0
description
Transcript of d5 blok 13
Inkontinensia Urin pada Geriatri dalam Kasus
D5
Pendahuluan
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada
orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan
oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut
merupakan masalah yang memalukan atau tabu untuk diceritakan, ketidaktahuan mengenai
masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa masalah tersebut merupakan sesuatu
yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik
dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana
inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin
merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.
Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih,
kelainan kulit, gangguan tidur, masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa
terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi
karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Berbagai
upaya dapat dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat
nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan jika diketahui dengan tepat jenis atau
tipe inkontinensianya.
1. Geriatri : berkenaan dengan orang tua atau penuaan 1
Rumusan masalah
Ny. A , 70 tahun dengan riwayat memiliki banyak anak mengalami kesulitan menahan
kencing dan nyeri lutut.
Analisis masalah
1
Ny. A , 70 tahun dengan riwayat banyak anak mengalami kesulitan menahan kencing dan nyeri lutut.
Pemeriksaan fisik
Prognosis
anamnesis
Promotf dan preventif
Hipotesis
Ny A mengalami kesulitan menahan kencing karena inkontinensia urin tipe campuran.
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara riwayat kesehatan pasien baik secara langsung atau
tidak langsung yang memiliki tiga tujuan utama yaitu mengumpulkan informasi, membagi
informasi, dan membina hubungan saling percaya untuk mendukung kesejahteraan pasien.
Informasi atau data yang dokter dapatkan dari wawancara merupakan data subjektif berisi hal
yang diutarakan pasien kepada dokter mulai dari keluhan utama hingga riwayat pribadi dan
riwayat sosial.2
Untuk individu dewasa, riwayat komprehensif mencakup Mengidentifikasi Data dan
Sumber Riwayat, Keluhan Utama, Penyakit Saat Ini, Riwayat Kesehatan Masa Lalu, Riwayat
Keluarga, dan Riwayat Pribadi dan Sosial. Pasien yang baru dirawat di rumah sakit atau
klinik patut dilakukan pengkajian riwayat kesehatan komprehensif, akan tetapi dalam banyak
fasilitas akan lebih tepat bila dilakukan wawancara yang lebih terfokuskan atau berorientasi
masalah yang pelaksanaannya fleksibel. Riwayat kesehatan yang perlu dikumpulkan dalam
anamnesis, meliputi2:
1. Identifikasi data meliputi nama, usia, jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa,
pekerjaan, dan status perkawinan.
2. Keluhan utama yang berasal dari kata-kata pasien sendiri yang menyebabkan
pasien mencari perawatan.
3. Penyakit saat ini meliputi perincian tentang tujuh karakteristik gejala dari keluhan
utama yaitu lokasi, kualitas, kuantitas, waktu terjadinya gejala, kondisi saat gejala
terjadi, faktor yang meredakan atau memperburuk penyakit, dan manifestasi
terkait hal-hal lain yang menyertai gejala.
2
WDDD
diagnosis
Inkontinensia urin tipe kombinasi
Inkontinensia urin tipe stres, overflow , fungsional, urgensi
Pemeriksaan penunjang
terapi
komplkasi
4. Riwayat kesehatan masa lalu seperti pemeliharaan kesehatan, mencakup
imunisasi, uji skrining dan penyakit yang diderita pada masa kanak-kanak,
penyakit yang dialami saat dewasa lengkap dengan waktunya mencakut empat
kategori yaitu medis, pembedahan, obstetrik, dan psikiatrik.
5. Riwayat keluarga yaitu diagram usia dan kesehatan, atau usia dan penyebab
kematian dari setiap hubungan keluarga yang paling dekat mencakup kakek-
nenek, orang tua, saudara kandung, anak dan cucu.
6. Riwayat Pribadi dan Sosial seperti aktivitas dan gaya hidup sehari-hari, situasi
rumah dan orang terdekat, sumber stress jangka pendek dan panjang, pekerjaan
dan pendidikan.
Pemeriksaan Fisik
Pada kasus didapati seorang wanita 75 tahun datang dengan keluhan sering tidak
dapat menahan keinginan berkemih sehingga sering miksi di celana terutama saat tertawa
hingga kemudian miksi tanpa sadar. Pada pemeriksaan fisik didapat keadaan umum tampak
sakit ringan compos mentis dengan berat badan 60 kg dan tinggi badan 170 cm. Denyut nadi
85 kali per menit dengan tekanan darah 130/80 mmHg serta suhu 37oC dan respiratory rate
20 kali per menit.
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan demikian adalah
cotton swab test, pad test, paper towel test dan stress testing. Cotton Swab Test biasanya
digunakan untuk menilai mobilitas uretral pada wanita. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
memasukan cotton swab lubrikasi steril kedalam uretra hingga masuk ke kandung kemih.
Kemudian cotton swab ditarik hingga sekitar leher kandung kemih. Wanita dengan keadaan
lantai pelvis normal akan menunjukkan cotton swab yang membentuk sudut nol derajat
dengan lantai rata. Kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya seperti saat
menahan pada saat ingin berkemih dan perubahan sudut yang diharapkan adalah kurang dari
30 derajat. Apabila lebih dari 30 derajat maka pemeriksan ini menunjukkan adanya
hipermobilitas uretra yang merupakan salah satu penyebab inkontinensia urin.3
Pad Test biasanya dilakukan sebagai tes objektif untuk melihat apakah cairan yang
keluar adalah benar urin biasanya menggunakan agen pewarna seperti phenyl salicylate,
benzoic acid, atropine sulfate, methylene blue dan agen lainnya dan pasiennya menggunakan
bantalan seperti pampers kemudian melakukan aktivitas biasa dan kenaikan satu gram pada
bantalan tersebut mengindikasikan adanya satu mililiter urin. Test ini disebut negatif apabila
3
perubahan beratnya kurang dari satu gram. Pad Test tidak dilakukan pada wanita yang
sedang dalam fase menstruasi. 3
Paper Towel Test merupakan uji dengan hasil yang cepat dan sesuai dengan berapa
banyak stress yang didapat hingga adanya urin yang keluar mengindikasikan inkontinensia
urin. Pasien diminta untuk batuk beberapa kali dengan menadahkan uretra ke arah tissue
toilet dan terdapat tetesan pada tissue toilet tersebut. Luas permukaan yang basah dapat
dihitung dan dapat mengindikasikan volume urin yang keluar akibat stress yang didapat. 3
Stress Testing merupakan uji paling sensitif yang merupakan uji pelvis dengan
observasi langsung terhadap hilangnya urin dengan uji pemberian stress yakni batuk. Uji ini
dapat mengarah pada kesalahan apabila keadaan kandung kemih pasien sedang dalam
keadaan kosong. Prinsipnya, kandung kemih pasien dimasukkan air steril kira-kira 250
hingga 500 mL dan setelah pasien diinstruksikan untuk batuk pada posisi litotomi. Apabila
adanya urin yang keluar berarti pasien tersebut terkena kondisi inkontinensia urin. Apabila
tidak maka dapat dilakukan pada posisi lain. Apabila hasil uji negatif pada pemeriksaan
penunjang cystometrogram maka pasien tersebut dapat didiagnosa menderita inkontinensia
urin. 3
Pemeriksaan Penunjang
Inkontinensia urin bukanlah merupakan suatu kasus gawat darurat. Inkontinensia urin
merupakan suatu keadaan abnormal. Tergantung dari wujud urin yang keluar, ada beberapa
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yakni urinalysis, urinary cytological studies,
serta cek serum elektrolit, kalsium, blood urea nitrogen dan kadar glukosa urin. 3
Urinalysis dapat berguna
untuk menghapuskan diagnosis
banding seperti urinary tract
infection yang merupakan suatu
reaksi inflamasi lokal yang dapat
menyebabkan tidak terhambatnya
kontraksi kandung kemih akibat
endotoksin yang diproduksi oleh
bakteri yang memiliki alpha-
blocking effect pada sphincter uretra
sehingga menurunkan tekanan intrauretra yang kemudian berujung pada inkontinensia urin. 3
4
Sumber: Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.h.137.
Gambar 1. Cystometrogram normal
Urinary cytological studies merupakan pemeriksaan untuk memeriksa eksistensi dari
karsinoma in situ pada kandung kemih yang dapat meningkatkan frekuensi dan urgensi dari
rasa ingin berkemih dan pada hasilnya dapat ditemukan mikroskopik hematuria. Sedangkan
uji cek serum blood urea nitrogen dan kadar glukosa dapat dilakukan terutama pada pasien
dengan diabetes atau poliurea dan polidipsia. Serta penurunan BUN dapat mengindikasikan
adanya penurunan masa otot yang dapat mengganggu fungsi renal. 3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan cystometry yang biasanya
dilakukan untuk mengevaluasi pengisian dan penyimpanan urin pada kandung kemih.
Cystometogram merupakan suatu hasil dari cystometry yang merupakan kurva dari
tekanan/volume intravesikal dengan cara pengisian kandung kemih dengan air steril atau
karbon dioksida pada laju infusi konstan sambil memonitor perubahan tekanan intravesikal.
Pasien harus menahan setiap rasa ingin berkemihnya selama pemeriksaan berlangsung.
Kontraksi muskulus detrusor yang melebihi 15 cmH2O dianggap kondisi abnormal. Data
yang didapat pada grafik terdiri dari lima fase yakni sensasi propriosepsi, sensasi merasa
kandung kemih penuh, sensasi ingin berkemih, munculnya kontraksi muskulus detrusor
volunter dan kemampuan untuk menghentikan kontraksi muskulus detrusor. Kondisi negatif
dapat merupakan salah satu indikasi adanya inkontinensia urine.4
Pada pasien penderita inkontinensia urin terdapat 4 faktor yang dipercaya dapat
membantu diagnosis dari inkontinensia urin yakni diketahuinya pernah mengalami gangguan
miksi saat mendapatkan stress pada masa lalu, postvoid residual volume tidak melebihi 50
mL, hasil positif pada cough stress test dan kapasitas fungsional kandung kemih mencapai
400 mL. 15% pasien dengan inkontinensia urin hidup dengan muskulus detrusor yang tidak
stabil. Anamnesis merupakan suatu hal yang wajib dilakukan walaupun anamnesis bukanlah
suatu hal utama yang adekuat untuk menentukan basis terapi inkontinensia urin, seperti 0.91
untuk nilai sensitifitas dari inkontinensia urin tipe stress, tetapi hanya memiliki 0.51 poin
pada spesifitas dari inkontinensia urin tipe stress.3
Diagnosis
Diagnosis inkontinensia urine bertujuan untuk : 5
1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel
2. Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus
3. Menentukan jenis penanganan operatif, obat dan perilaku
Working diagnosis
5
Inkontinensia urin campuran merupakan gabungan gejala inkontinensi urgensi dan
inkontinensia stres. Pada inkontinensia jenis ini terjadi disfungsi detrusor (motorik atau
sensorik) dan berhubungan dengan aktivitas sfingter uretra. Hal ini berarti terjadi pengeluaran
urin yang tidak disengaja yang berkaitan dengan urgensi dan juga dengan batuk dan bersin. 5
Diferential diagnosis
a) Inkontinensia Urgensi
Pengeluaran urin involunter yang disebabkan oleh dorongan dan keinginan
mendadak untuk berkemih. Hal ini berkaitan dengan kontraksi detrusor secara
involunter. Penyebabnya adalah gangguan neurologik (misalnya stroke,
sklerosis multipel) seta infeksi saluran kemih. Gejalanya adalah berkemih sering
disertai oleh tingginya frekuensi berkemih (lebih sering dari 2 jam sekali).
Spasme kandung kemih atau kontraktur berkemih dalam jumlah kecil (kurang
dari 100 ml) atau dalam jumlah besar (lebih dari 500 ml). 6
b) Inkontinensia Stres
Pengeluaran urin involunter selama batuk, bersin, tertawa, atau peningkatan
tekanan intraabdomen lainnya. Paling lazim terjadi pada wanita setelah usia
setengah baya (dengan kehamilan dan kelahiran per vaginam berulang).
Inkontinensia stres sering disebabkan oleh kelemahan dasar panggul dan
kurangnya dukungan sfingter vesikouretra. Penyebab lainnya adalah kelemahan
sfingter uretra intrinsik seperti akibat epispadia, trauma, radiasi atau lesi medula
spinalis bagian sakral. Gejalanya adalah keluarnya urin pada saat tekanan intra
abdomen meningkat dan seringnya berkemih. 6
c) Inkontinensia Overflow
Pengeluaran urin involunter akibat distensi kandung kemih yang berlebihan.
Pada inkontinensia ini, bisa terdapat penetesan urin yang sering atau berupa
inkontinensia dorongan atau tekanan. Selain itu, dapat disertai dengan kandung
kemih yang kurang aktif, obstruksi jalan keluar kandung kemih (seperti tumor,
hipertrofi prostat), obat-obatan (seperti diuretik), impaksi feses, atau defisiensi
vitamin B12. 6
d) Inkontinensia Fungsional
6
Imobilitas, defisit kognitif, atau daya kembang kandung kemih yang buruk.
Gejalanya adalah mendesaknya keinginan untuk berkemih menyebabkan urin
keluar sebelum mencapai tempat yang sesuai. 6
e) Osteoartritis
Osteoartritis adalah kondisi di mana sendi terasa nyeri akibat inflamasi
ringan yang timbul karena gesekan ujung-ujung tulang penyusun sendi.
Berbagai perubahan khas yang mencakup baik kerusakan kartilago maupun
remodeling tulang terjadi pada sejumlah sendi diartroid namun masing-masing
mempunyai etiologi yang berbeda. Beberapa faktor turut terlibat dalam keadaan
ini. Penambahan usia semata tidak menyebabkan osteoartritis, sekalipun
perubahan selular atau matriks pada kartilago yang terjadi bersamaan dengan
penuaan kemungkinan menjadi penyebab bagi lanjut usia untuk mengalami
osteoartritis. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab adalah obesitas, trauma,
kelainan endokrin (misalnya diabetes melitus) dan kelainan primer persendian
(misanya artritis inflamatorik).
Osteoartritis diklasifikasikan menurut kriteria klinik sebagai bentuk primer
dan sekunder. Gejala klinis osteoartritis primer adalah rasa nyeri, kaku, dan
gangguan fungsional. Serangan nyeri tersebut menetap dan dapat disertai
dengan keterbatasan gerakan serta deformitas sendi. Nyeri terasa mereda dengan
istirahat dan kambuh kembali ketika sendi yang sakit digerakkan. Rasa nyeri
tidak disertai dengan gejala inflamasi. Osteoartritis sekunder terjadi akibat
keadaan yang jelas merupakan penyebabnya (misalnya trauma, penyakit
metabolik atau artritis inflamasi). 7
Etiologi Inkontinesia Urin Tipe Mixed et causa Stress dan Urgensi
Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat beberapa hal.
Pada wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah lemahnya sokongan dari
pelvis. Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah melahirkan, operasi, ataupun
penyakit yang dapat melemahkan kekuatan jaringan atau juga setelah kehilangan esterogen
postmenopausal. Atau sebab yang kurang ditemui seperti defisiensi kekuatan sphincter
intrinsic utethra yang dapat terjadi karena proses penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti
histerektomi, urethropexy atau pubovaginal sling.3
7
Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan
jaringan ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis malam
hari. Obesitas, melahirkan, COPD dan merokok dapat menyebabkan inkontinensia, bersama
dengan aktivitas musculus detrusor yang berlebihan yang masih belum diketahui sebabnya.3
Epidemiologi
Prevalensi inkontinensia urin sulit ditemukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena
hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek pemelitian, metode kuesioner, dan
definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50 % usia lanjut di instalasi perawatan
kronis dan 11- 30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat
seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin
daripada laki-laki dengan perbandingan 1.5 : 1. 5
Patofisiologi
Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian
koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase
penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan kebutuhan struktur dan fungsi komponen
saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi dan lingkungan. 5
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.
Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter dan
disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra
internal berada di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang dimodulasi oleh korteks otak. 5
Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor,
lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung
kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi maka terjadi pengosongan kandung
kemih atau proses kandung kemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh
aktivitas saraf parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sfingter
uretra internal menyebabkan uretra tertutup sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang
dipicu oleh noradrenalin. 5
Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih.
Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf
yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang
saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan
subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung
8
kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan
untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung
kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran
urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat
mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. 5
Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui
medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian
menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih.
Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot. 5
Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf
pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin. Prostaglandin inhibiting drugs
dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium channel
dependent. Oleh karena itu, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontaksi
kandung kemih. 5
Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks. Untuk memberikan
pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus
mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter dan hubungan anatomi ureter dan kandung
kemih. 5
Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu,
pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat kontraksi
sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin) dapat mengganggu penutupan sfingter.
Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena itu, zat beta-
adrenergic blocking (propranolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra
dan melepaskan aktivitas kontaktil adrenergik-alfa. 5
Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan
kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang
tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada
posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara
efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar
pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. 5
Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula
spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian
(penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang
mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta
9
penghambatan aktivitas saraf parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada otot
dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas saraf simpatis dan somatik menurun,
sedangkan saraf parasimpatis meningkat sehingga terjadi konraksi otot detrusor dan
pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih
tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Peranan korteks serebri adalah
menghambat sedangkan batang otak dan supra spinal memfasilitasi. 5
Gejala klinis 8
a. Inkontinensia urgensi : kontraksi otot detrusor yang tidak terkontrol menyebabkan
kebocoran urine, kandung kemih yang hiperaktif atau ketidakstabilan detrusor.
1. Disfungsi neurologis
2. Sistititis
3. Obstruksi pintu keluar kandung kemih
b. Inkontinensia stres : urine keluar tanpa kontraksi detrusor
1. Tonus otot panggul yang buruk
2. Defisiensi sfingter uretra; kongenital atau didapat
3. Kelebihan berat badan
c. Inkontinensia kombinasi : kombinas gejala poin A dan B diatas
Penatalaksaan
1. Kaji gejala gejala pasien
a. Urgensi
1. Tidak tertahankan
2. Frekuens > 7 kali/ hari
3. Pengeluaran urin dalam jumlah banyak
4. Bangun pada malam hari untuk berkemih
b. Inkontinensia stres
1. Kebocoran urine selama aktivitas fisik
2. Jumlah urine yang keluar sedikit disertai inkontinensia
3. Kesulitan mencapai toilet tepat pada waktunya, mengikuti desakan
untuk berkemih
c. Inkontinensia kombinasi, Beberapa gejala, baik inkontinensia urgensi dan
stres yang telah dijelaskan sebelumnya.
10
Tatalaksana 5
Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam penatalaksanaan pasien dengan
inkontinensia urin. Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis, farmakologis , maupun
perbedahan.
Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin,
sebaliknya satu tipe inkontinensia urin diatasi oleh beberapa modalitas terapi bersama –sama.
Spektrum modalitas terapi meliputi : terapi non farmakologis meliputi terapi suportif non
spesifik ( edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); intervensi tingkah laku
( latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan
kebiasaan) ; terapi medikamentosa; operasi dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan
pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis menentukan tipe inkontinensia, faktor-
faktor kontribusi reversibel dan problem medik akut.
Intervensi perlaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki resiko
yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerja sama yang
baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien.
Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan
otot dasar panggul. Teknik teknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini
antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi.
Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektif diantara terap non
farmakologis lainnya. Terapi ini bertujuan untuk memperpanjang interval berkemih yang
normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7
kali per hari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih.
Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval tertentu, mula mula setiap jam,
selanjutnya nterval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai pasien ingin berkemih
setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres , namun
itu dperlukan motvasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya
berkemih pada interval waktu tertentu saja.
Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin
tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan ini dilakukan tiga sampai lma kali sehari
dengan 15 kontraksi dan menahan hingga 10 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa
55-77 % pasien mengalami perbaikan dalam jangka pendek dengan latihan tersebut. Terdapat
pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling
tidak 10 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang ulang pada otot dasar
panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan dapat meningkatkan
11
kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien menjalani latihan, harus
dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan apakah mereka
dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih, diupayakan agar jadwa;
berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada
inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau
pengasuh pasien. Prompted voiding dilakukan dengan cara mangajari pasien mengenali
kondisi atai status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhny
bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.
Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mampu mengntrol/menahan kontraksi
involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara biofeedback mempunyai kendala karena
penderita perlu mengetahui intelegensia yang cukup untuk dapay mengikuti petunjuk
pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran dan motivasi yang
tinggi karena waktu yang diperlukan untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini
cukup lama.
Stimulasi elektrik merupakan terapi yang mengunakan dasar kejutan otot pelvis
dengan menggunakan alat alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai
oleh pasien karena pasien harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi in terlihat
lamban.
Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral.
Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya
kegiatan interneuron tulang belakang atau neuron adregenik beta dengan menghambat
kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa neuromodulasi
merupakan salah satu penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil.
Penggunaan kateter yang menetap sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam
pengelolaan inkontinensia uri karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai
sepsis, pembentukkan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila
terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan infeksi saluran kemih atau gangguan
ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan
kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung
kemih. Namun demikian teknik ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih.
Terapi farmakologia atau medikamentosa mempunyai efek baik terhadap
inkontinensia urin tipe urgen dan tipe stres. obat obat yang dipergunakan dapat digolongkan
menjadi antikoligernik, antispasmodik, agonis adregenik alfa, estrogen topikal, dan antagonis
12
adregenik alfa. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek
sampng harus diperhatkan bila dipergunakan pada pasien geriatri seperti mulut kering, mata
kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstpasi, delirium. Sementara obat lain yang dapat
menimbulkan hipotensi postural, bardikardia, sakit kepala dan lain-lain.
Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan pengunaanya untuk inkontinensia urin tipe
stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan rsiko strok. Pseudofedrin dapat
diguankan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan sfingter
uretra sehingga menghambat pengeluaran urin. Obat ini memiliki efek sampng seperti
insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelsah. Penggunaanya harus amat hati hati pada pasienb
dengan hipertensi, aritmia Jntung dan agina. Dengan demikian penggunaannya jarang pada
usia lanjut.
Antikoligernik dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia urgensi. Oksibutinin
memiliki efek antikoligernik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin merupakan kompetitif
bloker reseptor M3. Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin menyebabkan
penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis
sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut
kering. Beberapa efek samping antikoligernik adalah xerostomia, xerosflatmia, konstipasi,
takikardia, ortostasis, kebingugan dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk reseptor
muskarinik di kandung kemih daripada kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat
memberkan efek samping koligernik yang lebih sedikit, seperti xerostomis. Penggunaan agen
trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang ditimbuljannya.
Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektivitas penggunaan imipramin.
Tindakan operasi dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan
evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan
inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif haru dilakukan
upya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat
dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow dikemudian
hari. Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan
postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur
detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol
periureter dan sistolis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering
digunakan adalah ileosistopkasti dan miektomi detrusor. Teknik pembedahan untuk
inkontinensia urin tipe stres adalah injectable intrauretral bulking agents, suspensi leher
13
kandung kemih, urethral slings, dan artificial urinary sphincters. Teknik pembedahan untuk
inkontinensia urin tipe urgensi adalah augmentation cystopkasty dan stimulasi elektrik.
Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat perhatian bagi tenaga kesehatan
adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik, kateterisasi sering
merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut.
Terdapat 3 cara pemakaiaan kateter yaitu : kateter eksternal ( kateter kondom). Kateterisasi
intermiten, dan kateterisasi kronik dan menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada
inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependen/ bedridden. Bahaya
pemakaian kateter tersebut adalah resiko infeksi dan iritasi kulit.
Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia urin
tipe overflow akibat kandung kemih yang akontaktil atau detrusor hyperactivity with
impaired contractility (DHIC). Prosedur ini dapat dilakukan 2-4 kali pr hari oleh pasien atau
tenanga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut.
Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini oleh karenanya harus dicegah dengan
mengguankan teknik aseptik, sedangkan kateterisasi menetap harus dilakukan secara selektif
oleh karena resiko bakteriuria periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi
pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia tipe overflow persisten , tak
layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus,
dan perawatan terminal dengan demensia berat.
Komplikasi Inkontinesia Urin Tipe Mixed et causa Stress dan Urgensi
Komplikasi yang dapat menyertai Inkontinensia Urin adalah infeksi saluran kemih,
kelainan kulit, gangguan tidur, depresi, mudah marah dan rasa terisolasi dan juga dehidrasi
akibat kurang asupan air dan decubitus.5
Prognosis
Inkontinensia urin mempunyai kemungkinan yang besar untuk disembuhkan,
terutama pada penderita dengan mobilitas dan status mental yang cukup baik. Bahkan bila
tidak dapat diobati sempurna, inkontinensia selalu dapat diupayakan lebih baik, sehingga
kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan dan meringankan beban yang ditanggung oleh
mereka yang merawat penderita. 9
14
Promotif dan Preventif 9
1. Menjaga diri agar terhindar dari penyakit yang dapat menyebabkannya.
2. Berhenti merokok dan jauhi asap rokok orang lain.
3. Makan tinggi serat agar terhindari dari sembelit.
4. Berhenti mengkonsumsi alkohol.
5. Mengurangi konsumsi caffeine dan minuman bersoda.
6. Menjadi pribadi yang aktif secara fisik dan rutin berolahraga.
7. Mengontrol berat badan agar tidak menjadi kegemukan.
8. Jangan menahan-nahan keinginan untuk BAK.
9. Untuk wanita: jangan terlalu sering hamil dan melahirkan.
Kesimpulan
Hipotesis diterima bahwa Ny. A mengalami kesulitan menahan kencing karena mengalami
inkontinensia campuran. Hal ini disebabkan karena usia lanjut, menopause dan persalinan
pervaginam yang sering. Inkontinensia dapat diobati secara non medikamentosa,
medikamentosa, kateter maupun operasi. Prognosis untuk gangguan ini baik apabila
dilakukan pengobatan sesuai dengan jenis inkontinensianya.
Daftar pustaka
1. Dorland W A N. Kamus kedokteran dorland. Ed. 31. Jakarta: EGC; 2010. h. 903.
2. Bickley LS, Szilagyi PG. Pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates: buku
saku. Edisi ke-5. Jakarta: EGC; 2008.h.1-9.
3. Vasavada SP, Kim ED [editor]. Urinary Incontinence. Diunduh dari Medscape for
iPad. 12 Januari 2013.
15
4. Macfarlane MT. Urology. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006.h.137.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-75.
6. Graber MA, Toth PP, Herting RL. Buku saku dokter keluarga. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.h.549-50.
7. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jakarta: Penerbit
Binarupa Aksara; 2003.h.75-6.
8. Morgan G, Hamilton C. Osbtetri dan ginekologi : panduan praktis. Jakarta: EGC;
2009. h.292-3.
9. Abrams WB, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jakarta: Penerbit
Binarupa Aksara; 2003.h.75-6.
16