D2109-Amalia Sholehah.pdf
-
Upload
truongkiet -
Category
Documents
-
view
227 -
download
6
Transcript of D2109-Amalia Sholehah.pdf
UNIVERSITAS INDONESIA
SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO)
BERKETERATURAN TINGGI
DENGAN METODE KIMIAWI BASAH
UNTUK APLIKASI SEL SURYA
TERSENSITASI ZAT PEWARNA
DISERTASI
Amalia Sholehah
1106044762
Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Metalurgi dan Material
Depok
Juli 2015
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
i
Universitas Indonesia
SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO)
BERKETERATURAN TINGGI DENGAN METODE
KIMIAWI BASAH UNTUK APLIKASI SEL SURYA
TERSENSITASI ZAT PEWARNA
DISERTASI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Amalia Sholehah
1106044762
Fakultas Teknik
Program Studi Teknik Metalurgi dan Material
Depok
Juli 2015
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
ii
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
iii
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
iv
KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena atas
berkah dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan
disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Doktor pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa,
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai
pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan
disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) Prof. Dr. Ir. Akhmad Herman Yuwono, M.Phil.Eng, selaku promotor yang
telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan disertasi ini;
(2) Dr. Ir. Sri Harjanto dan Prof. Dr. Ir. Nji Raden Poespawati, M.T., selaku
ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini;
(3) Prof. Dr.-Ing. Ir. Bambang Suharno, Drs. Nofrijon Sofyan, M.Sc., Ph.D.,
Dr. Agus Supriyanto, S.Si., M.Si., dan Brian Yuliarto, ST., M.Eng., Ph.D.,
selaku ketua dan anggota tim penguji yang telah memberikan masukan dan
koreksi yang sangat berharga,
(4) Jurusan Teknik Metalurgi dan Material Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data
yang saya perlukan;
Akhir kata, saya berharap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, Juli 2015
Penulis
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
v
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
vi
ABSTRAK
Nama : Amalia Sholehah
Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material
Judul : Sintesis Nanostruktur Seng Oksida (ZnO) Berketeraturan
Tinggi dengan Metode Kimiawi Basah untuk Aplikasi
Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna
Seng oksida (ZnO) merupakan material semikonduktor dengan aplikasi
yang sangat luas dalam berbagai bidang seperti elektronik, optoelektronik,
fotokatalisis, hingga biomedis. Salah satu aplikasi yang marak diteliti saat ini
adalah penggunaan ZnO sebagai lapisan anoda untuk sel surya tersensitasi zat
pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC). Dalam pembuatan sel surya, kondisi
morfologi natural lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada
interaksi penyerapan cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah struktur one-
dimensional (1D) yang tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada
substrat kaca konduktif. Akan tetapi, struktur ini tidak mudah didapat pada
sintesis dengan metode kimiawi basah. Pertumbuhan nanostruktur dengan arah
yang tidak terorientasi akan mengakibatkan rendahnya kristalinitas dan energi
celah pita (Eg) yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kemampuan
penyerapan zat pewarna (dye) yang memberikan hasil DSSC dengan efisiensi
rendah.
Pada penelitian ini, dilakukan sintesis nanostruktur ZnO di atas substrat
kaca konduktif dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat (Zn(NO3)2.4H2O, Zn-
nitrat) dan heksametilentetraamin (C6H12N4, HMTA). Untuk meningkatkan
kestabilan lapisan ZnO di atas substrat, dilakukan penempelan lapisan bibit
terlebih dahulu dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan bibit ini
dibuat dengan menggunakan larutan yang disintesis pada suhu 0oC. Setelah proses
spin-coating, lapisan nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggunakan
metode chemical bath deposition (CBD). Untuk meningkatkan kristalinitas
nanostruktur ZnO, dilakukan proses pasca-hidrotermal, yang terbagi menjadi 2
variasi. Pada variasi pertama, reaksi dilakukan dalam reaktor hidrotermal pada
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
vii
150oC selama 3 jam. Pada variasi kedua, reaksi dilakukan dalam reaktor tertutup
dengan penambahan gas nitrogen (N2) 1 bar pada suhu 100oC selama 1 jam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pasca-hidrotermal,
menhasilkan lapisan nanostruktur ZnO dengan kristalinitas yang lebih tinggi,
ditandai dengan intensitas puncak difraksi yang lebih tajam dibandingkan dengan
ZnO hasil as-synthesized. Naiknya kristalinitas tersebut selanjutnya memicu
penurunan energi celah pita (Eg) sehingga lapisan nanostruktur ZnO dapat
menyerap cahaya pada panjang gelombang yang lebih besar. Selain itu, morfologi
yang yang terlihat dari hasil SEM juga menunjukkan perbaikan setelah proses
pasca-hidrotermal. Hal ini terlihat orientasi nanostruktur ZnO yang semula tidak
beraturan menjadi tegak vertikal. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa perbedaan
kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan nanostruktur dengan
bentuk yang berbeda. Pada variasi pertama, didapat hasil sintesis berupa nanorods
ZnO, sedangkan variasi kedua menghasilkan nanorods dan nanotubes ZnO.
Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif yang telah dihasilkan
selanjutnya digunakan sebagai lapisan anoda pada DSSC. Pada penelitian ini,
terlihat bahwa perbedaan variasi proses pasca-hidrotermal mempengaruhi
kemampuan penyerapan warna (dye loading). Anoda yang dihasilkan dari proses
pasca-hidrotermal yang menggunakan penambahan gas N2 mampu menyerap za
pewarna lebih banyak. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya struktur nanotubes
yang memiliki pori/rongga. Namun demikian, efisiensi tertinggi diraih oleh anoda
setelah perlakuan pasca-hidrotermal tanpa gas N2, yaitu sebesar 0,12%. Nilai ini
bersesuaian dengan ukuran kristalit yang paling stabil dan energi celah pita paling
rendah yang didapat dari perhitungan. Pada penelitian, diameter kristalit dan
energi celah pita pada sampel dengan efisiensi tertinggi adalah sebesar ~18 nm
dan 3,17 eV.
Kata kunci: Nanostuktur ZnO, lapisan bibit, CBD, pasca-hidrotermal, gas N2,
efisiensi
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
viii
ABSTRACT
Name : Amalia Sholehah
Study Program : Metallurgical and Material Engineering
Title : Synthesis of Highly Ordered Zinc Oxide (ZnO) Nanostructure
via Wet Chemical Method for Dye-Sensitized Solar Cell
Zinc oxide (ZnO) is a semiconductor material with a very broad application
in many fields, such as electronics, optoelectronic, photocatalyst, and
biomedicine. One application that widely examined nowadays is its use as an
anode layer for dye-sensitized solar cells (DSSC). In solar cells fabrication, the
nature of morphological conditions of the oxide semiconductor layer greatly affect
the interaction of light absorption. Good morphology is a one-dimensional
structure (1D) arranged in parallel and attached vertically on a conductive glass
substrate. However, this structure is not easily obtained in the synthesis via wet
chemical method. Nanostructures with non-oriented growth will result in lower
crystallinity and higher band gap energy (Eg) is high. This can lead to low dye
absorption that results in DSSC with low efficiency.
In this study, synthesis of ZnO nanostructures on a conductive glass
substrate was carried out using zinc nitrate tetrahydrate (Zn(NO3)2.4H2O, Zn-
nitrate) and heksametilentetraamin (C6H12N4, HMTA) at 0oC. To improve the
stability of ZnO layer on the substrate, seeding layers were attached using spin-
coating method. After the spin-coating process, the seeding layers were grown
using chemical bath deposition (CBD). To improve the crystallinity of
nanostructured ZnO, post-hydrothermal process was performed afterward. This
process was divided into two variations. In the first variation, the reaction is
carried out in a hydrothermal reactor at 150oC for 3 hours. While in the second
variation, the reaction is carried out in a closed reactor with the addition of 1 bar
nitrogen gas (N2) at 100° C for 1 hour.
The results showed that post-hydrothermal treatment had improved the ZnO
nanostructures layer. The diffraction peaks were sharper than the as-synthesized
ZnO nanostructure, indicating higher crystallinity. As a consequence, the band gap
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
ix
energy would be lowered. In addition, the morphology also showed improvement
in the nanostructures orientation after a post-hydrothermal process. In this
research, the difference in the post-hydrothermal conditions generated different
shapes of ZnO nanostructures. The first variation resulted ZnO nanorods, while
the second variation produced ZnO nanorods and nanotubes.
In this study, it appeared that post-hydrothermal process variations affected
the dye loading capacity of the ZnO nanostructure layers. When used as anodes in
DSSC, the layer obtained from post-hydrothermal process using N2 gas additions
showed a higher dye absorption. The presence of nanotubes structure was
assumed to gave this contribution, since this structure had pores / cavities that
could absorbed more dyes. However, the highest efficiency achieved by the anode
after post-hydrothermal treatment without N2 gas, with the value of 0.12%. This
corresponded with the most stable crystallites size and lowest band gap energy
obtained from the calculation. In the study, the crystallites size and the band gap
energy of this sample were given as ~ 18 nm and 3.17 eV.
Keywords: ZnO nanostructures, seeding layer, CBD, post-hydrothermal, N2 gas,
efficiency
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
v
Abstrak vi
Abstract viii
Daftar Isi x
Daftar Gambar xii
Daftar Tabel xvi
Bab I. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.4. Sistematika Penulisan 6
Bab II. Studi Pustaka 8
2.1. Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO) 8
2.1.1. Struktur Kristal ZnO 9
2.1.2. Sifat Mekanik ZnO 11
2.1.3. Sifat Optis dan Elektrik ZnO 12
2.2. Nanostruktur ZnO 13
2.3. Nanorods ZnO 16
2.4. Sintesis Nanostruktur ZnO 17
2.4.1. Proses Fasa Uap 17
2.4.2. Proses Fasa Larutan 20
2.5. Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah 21
2.6. Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya 24
2.6.1. Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized
Solar Cell, DSSC)
25
2.6.1.1. Two-Dimensional (2D) DSSC 25
2.7. State of The Art Penelitian 26
2.8. Hipotesis Penelitian 28
Bab III. Metode Penelitian 29
3.1. Tinjauan Umum 29
3.2. Sintesis Nanostruktur ZnO 29
3.2.1. Pembuatan Lapisan Bibit ZnO 29
3.2.2. Pertumbuhan Nanostruktur ZnO 31
3.2.3. Proses Pasca-Hidrotermal 31
3.3. Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC) 33
3.4. Teknik Karakterisasi 33
3.4.1. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) 33
3.4.2. Analisis Atomic Force Microscopy 34
3.4.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) 35
3.4.3.1. Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode
Scherrer
35
3.4.3.2. Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi 37
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xi
Kristal dengan Metode Williamson-Hall
3.4.4. Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis)
dengan Mode Diffuse Reflectance Spectroscopy
(DRS)
40
3.4.4.1. Penentuan Energi Celah Pita (Band gap
energy, Eg)
41
a.Persamaan Tauc 41
b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS) 43
3.4.5. Efisiensi Sel Surya 44
Bab IV. Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical
Deposition Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal
46
4.1. Pendahuluan 46
4.2. Tujuan Penelitian 46
4.3. Hasil dan Pembahasan 47
4.3.1. Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur
Nanorods ZnO
47
4.3.2. Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO 50
4.3.3. Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap
Ukuran Kristalit ZnO
52
4.3.4. Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO 57
4.3.5. Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap
Nanostruktur ZnO
62
4.4. Kesimpulan 68
Bab V. Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO
yang Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath
69
5.1. Pendahuluan 69
5.2. Tujuan Penelitian 70
5.3. Hasil dan Pembahasan 71
5.3.1. Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap
Nanostruktur ZnO
71
5.3.2. Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui
Metode Chemical Bath Deposition (CBD)
77
5.4. Kesimpulan 83
Bab VI. Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal terhadap Lapisan
Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell
84
6.1. Pendahuluan 84
6.2. Tujuan Penelitian 85
6.3. Hasil dan Pembahasan 86
6.3.1. Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO 86
6.3.2. Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO 90
6.3.3. Sifat Optik Lapisan Nanostruktur ZnO 96
6.3.4. Aplikasi Nanostruktur ZnO sebagai Lapisan Anoda
pada DSSC
98
6.4. Kesimpulan 100
Bab VII. Kesimpulan dan Saran Penelitian 101
7.1. Kesimpulan 101
7.2. Saran 102
Daftar Pustaka 103
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite 9
Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO 10
Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang
tersusun secara tetrahedral
10
Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a)
direct dan b) indirect semiconductor
12
Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis 15
Gambar 2.6. Efek ballistic transport 16
Gambar 2.7 Beberapa skema geometris pada proses sintesis
nanostruktur ZnO dengan metode CVD
18
Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode
VLS
19
Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal 21
Gambar 2.10. Sel surya tipikal 24
Gambar 2.11. Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC 25
Gambar 2.12. Skema 2D DSSC 26
Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian 29
Gambar 3.2. Skema proses CBD 31
Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150oC selama 3
jam pada tekanan atmosfer (PHT-1)
32
Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100oC selama 1
jam pada tekanan gas N2 1 bar (PHT-2)
32
Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ pada
metode Scherrer
36
Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada metode UDM 38
Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada metode
UDSM
39
Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl)1/2 pada
metode UDEDM
40
Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg 42
Gambar 3.10. Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5
dalam kondisi gelap dan terang
45
Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada
temperatur pemanasan 90oC
49
Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu
pertumbuhan
51
Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO 53
Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X untuk nanorods ZnO 54
Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO 56
Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90oC
selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam
57
Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang
disintesis pada 90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan
(c) 5 jam
58
Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-X nanorods ZnO yang disintesis pada
90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam
59
Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO hasil 61
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xiii
sintesis pada 90oC: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam
Gambar 4.10. Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). as-
deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah
perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3
jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam
63
Gambar 4.11. Difraktogram sinar-X nanorods ZnO: (a) as-deposited
pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-
hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9
jam
65
Gambar 4.12. Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited
pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-
hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9
jam
66
Gambar 4.13. Plot kurva (αhν)2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a)
as-deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah
perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3
jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam
67
Gambar 5.1. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 100oC sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3
lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C)
72
Gambar 5.2. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 200oC sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3
lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C)
72
Gambar 5.3. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 300oC sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3
lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C)
72
Gambar 5.4. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 400oC sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3
lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C)
72
Gambar 5.5. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 500oC sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3
lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C)
73
Gambar 5.6. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 100oC sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3
lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot Tauc untuk
lapisan bibit yang dianil pada suhu 100oC
74
Gambar 5.7. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 200oC sebanyak b). 1 (2A), c). 3 (2B),
dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit
yang dianil pada suhu 200oC
75
Gambar 5.8. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 300oC sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3
lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot Tauc untuk
lapisan bibit yang dianil pada suhu 300oC
75
Gambar 5.9. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3
lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot Tauc untuk
lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC
76
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xiv
Gambar 5.10. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang
dianil pada suhu 500oC sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3
lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet : plot Tauc untuk
lapisan bibit yang dianil pada suhu 500oC
76
Gambar 5.11. Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via
metode CBD (90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang
dianil pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan a). 1 (2A)
lapis, b). 3 (2B) lapis dan c). 5 lapis (2C); serta pada
suhu 400oC dengan jumlah lapisan d). 1 (4A) lapis, e). 3
lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C) lapis
78
Gambar 5.12. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via
metode CBD (90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta
dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC
sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5
lapis (2C)
79
Gambar 5.13. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via
metode CBD (90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta
dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC
sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis
(4C)
79
Gambar 5.14. Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode
CBD (90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil
pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan a). 1 lapis (2A),
b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu
400oC dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis
(4B), dan f). 5 lapis (4C)
81
Gambar 5.15. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD
(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta dengan
lapisan bibit yang dianil pada 200oC dengan jumlah
lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis
(2C)
82
Gambar 5.16. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD
(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan
bibit yang dianil pada 400oC dengan jumlah lapisan b).
1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C)
83
Gambar 6.1. Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO
setelah: (a) proses CBD (sampel A) dengan perbesaran
i) 5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii) 25.000 X; (b) proses
PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii)
10.000 X, dan iii) 25.000 X; serta (c) proses PHT-2
(sampel C) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000 X,
dan iii) 25.000 X
88
Gambar 6.2. Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses
PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)
88
Gambar 6.3. Pencitraan AFM 2D lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses
PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)
90
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xv
Gambar 6.4. Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di
atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b)
proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel
C)
90
Gambar 6.5. Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca
ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-
1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)
92
Gambar 6.6. Plot kurva analisis metode Scherrer untuk lapisan
nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses
CBD (sampel A); b) proses PHT-1(sampel B); dan c)
proses PHT-2(sampel C).
93
Gambar 6.7. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan
asumsi UDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO: a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah
proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2
(sampel C).
94
Gambar 6.8. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan
asumsi UDSM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah
proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2
(sampel C)
94
Gambar 6.9. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan
asumsi UDEDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah
proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2
(sampel C)
95
Gambar 6.10. Plot kurva perhitungan energi celah pita (Eg) dengan
metode ASF untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas
kaca ITO setelah:a) proses CBD (sampel A); b) proses
PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)
96
Gambar 6.11. Plot ln A terhadap 1/λ untuk lapisan nanostruktur ZnO di
atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b)
proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel
C)
97
Gambar 6.12. Kurva rapat arus (J) terhadap tegangan (V) untuk DSSC
dengan anoda lapisan nanostruktur ZnO
99
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO 14
Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah
perlakuan pasca-hidrotermal
53
Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO 55
Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a). as-synthesized;
setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b). 3
jam, dan (c). 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal
150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam
56
Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 57
Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan
variasi waktu reaksi
60
Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis 61
Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah
perlakuan pasca-hidrotermal
64
Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah
perlakuan pasca-hidrotermal
68
Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO 74
Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 78
Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis. 80
Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode
CBD
82
Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO 90
Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO 92
Tabel 6.3. Parameter geometrik nanostruktur ZnO 95
Tabel 6.4. Energi celah pita (Eg) dan energi Urbach (Eu) yang
ditentukan dengan metode ASF
97
Tabel 6.5. Karakterisasi DSSC untuk setiap sampel anoda 99
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
1
Universitas Indonesia
BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Seng oksida (ZnO) dalam bentuk nanostruktur satu dimensi (one-
dimensional, 1D) merupakan salah satu material yang banyak diteliti dalam
dekade terakhir ini. Struktur morfologi yang beragam, proses sintesis yang mudah
serta aplikasi yang luas di bidang optik, elektronik, piezoelektrik dan sensor [1–3]
merupakan daya tarik bagi pengembangan riset tentang material tersebut.
ZnO merupakan material semikonduktor dengan nilai energi celah pita
(band gap energy, Eg) yang lebar (3,37 eV) dan nilai energi ikat eksiton yang
besar (60 meV) [4-5]. Posisi pita valensi ZnO yang tepat berada di bawah pita
konduksi (direct band gap) memungkinkan terjadinya eksitasi elektron yang lebih
cepat pada saat absorpsi energi foton dibandingkan dengan TiO2 yang memiliki
karakeristik sebagai semikonduktor indirect band gap. ZnO yang tumbuh dalam
nanostruktur one-dimensional (1D) vertikal; seperti nanowires, nanorods, dan
nanotubes; bahkan secara khusus diketahui berpotensi dalam bidang
optoelektronik dan elektronik [6].
Salah satu kelebihan dari struktur 1D adalah dapat memberikan efek
ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu medium dengan
mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya hamburan [7-8].
Dengan demikian, kemungkinan energi yang hilang dalam proses transportasi
elektron dapat diminimalisasi. Hamburan pada proses transportasi dapat terjadi
karena adanya pengotor, cacat pada kristal maupun struktur yang memungkinkan
terjadinya osilasi gerak elektron pada proses transportasi.
Lapisan semikonduktor 1D yang tersusun rapi dan homogen pada area yang
luas di atas substrat memiliki potensi yang besar dalam berbagai bidang [9]. Salah
satu aplikasi nanostruktur ZnO di bidang optoelektronik yang banyak diteliti
adalah sel surya. Di tengah permasalahan krisis energi global yang dihadapi
masyarakat dunia karena menipisnya cadangan bahan bakar fosil serta gencarnya
gerakan penggunakan energi bersih (clean energy), pencarian sumber energi baru
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
2
Universitas Indonesia
dan terbarukan merupakan trend penelitian yang cukup populer saat ini. Dengan
memanfaatkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara tropis yang berada di
garis khatulistiwa, penggunaan sel surya sebagai sumber energi alternatif
merupakan solusi penting yang cukup rasional untuk diaplikasikan.
Selain sel surya konvensional berbasis Si, generasi ketiga dari sel surya;
yaitu sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC), adalah
jenis yang banyak diteliti saat ini. Kelebihan DSSC terletak pada biaya pembuatan
yang relatif rendah dan merupakan bagian dari grup sel surya lapisan tipis (thin
film solar cells) [10]. Salah satu komponen penting dari DSSC adalah lapisan
semikonduktor yang diletakkan di antara dua plat kaca konduktif (transparent
conductive oxide glass, TCO glass). Daerah ini merupakan area antar fasa yang
melibatkan semikonduktor dan lapisan zat warna (dye) di atasnya. Lapisan
semikonduktor yang banyak dipakai saat ini adalah TiO2. Material ini memiliki
energi celah pita (band gap energy, Eg) sebesar 3,20 eV sehingga mampu
menyerap energi foton pada sebagian besar spektrum cahaya matahari.
ZnO merupakan alternatif semikonduktor yang potensial karena memiliki
struktur dan nilai Eg yang mirip dengan TiO2 serta mobilitas elektron yang cukup
tinggi (1–5 cm2V-1s-1) [11]. Dalam pembuatan sel surya, kondisi morfologi natural
lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada interaksi penyerapan
cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah mesoporous channel atau nanorods
yang masing-masing tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada
substrat kaca TCO [12]. Bentuk-bentuk ini menghasilkan efek difusi pori yang
baik, yang memberikan akses penetrasi dye hingga ke batas butir dan berperan
pada fenomena light trapping yang akan mempengaruhi kinerja sel surya.
Pembuatan nanostruktur ZnO secara umum dapat dibagi menjadi 2 metode
besar, yaitu proses fasa uap (vapor-phase process) dan proses kimia basah (wet
chemical process) [6]. Proses fasa uap seperti spray pyrolisis [13], radio
frequency (RF) / magnetron sputtering [14], dan chemical vapor deposition
(CVD) [4] memberikan hasil nanostruktur yang sangat baik, tetapi mempunyai
kekurangan pada mahalnya biaya proses dan peralatan yang rumit. Untuk
melakukan sintesis dengan proses tersebut dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu
seperti suhu tinggi (≥ 400oC), tekanan rendah, dan kontrol atmosfer yang baik.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
3
Universitas Indonesia
Kondisi yang cukup rumit ini mengakibatkan sulitnya dilakukan fabrikasi massal
nanostruktur ZnO dengan metode tersebut. Sedangkan proses kimia basah seperti
sol–gel [15], hidrotermal [16], spin coating [17], atau elektrodeposition [18]
merupakan metode yang kini dianggap cukup menjanjikan untuk fabrikasi
nanorod ZnO dalam skala besar. Metode tersebut mempunyai kelebihan pada
biaya yang murah, proses yang ramah lingkungan dan dapat dilakukan pada suhu
yang relatif lebih rendah [4,19-20]. Namun sayangnya, sebagai konsekuensi dari
rendahnya suhu proses tersebut, nanostruktur ZnO yang dihasilkan dengan metode
ini mempunyai tingkat kristalinitas yang relatif rendah, karena fasa anorganik
yang dihasilkan masih bersifat amorf.
Telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa struktur 1D vertikal yang
tumbuh merata di atas permukaan substrat dengan kristalinitas yang tinggi
merupakan kunci penting dalam pembuatan sel surya yang baik [21]. Beberapa
penelitian terdahulu telah dilakukan dalam upaya mendapatkan struktur tersebut
dengan menggunakan metode kimia basah [6,21–24]. Namun, hingga saat ini
struktur yang vertikal sempurna pada substrat TCO masih sulit didapat dengan
menggunakan metode tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang
sistematis dan komprehensif untuk memperoleh kondisi proses optimal yang
mampu menghasilkan nanostruktur ZnO 1D dengan karakteristik morfologi, sifat
optik dan performa yang paling sesuai untuk lapisan semikonduktor pada DSSC.
1.2. Rumusan Masalah
Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat TCO merupakan
salah satu faktor penting untuk mendapatkan sel surya dengan tingkat efisiensi
tinggi karena mampu memfasilitasi transfer elektron yang lebih baik. Di samping
itu, tingkat kristalinitas dari nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting
dalam proses tersebut, dalam kaitannya dengan mekanisme eksitasi elektron dari
pita valensi ke pita konduksi pada saat menyerap energi foton dari sinar matahari.
Nilai energi celah pita (band gap energy, Eg) ZnO yang cukup besar
mengakibatkan penyerapan energi foton hanya dapat terjadi pada rentang sinar
ultra-violet, sehingga aplikasi ZnO sebagai semikonduktor terbatas hanya pada
rentang emisi cahaya tersebut. Oleh karena itu, diperlukan paparan cahaya
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
4
Universitas Indonesia
matahari yang sangat kuat untuk menghasilkan eksitasi foton yang dapat
menghasilkan listrik. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu ditelaah lebih
dalam agar sel surya yang menggunakan ZnO sebagai bahan semikonduktor juga
dapat diaplikasikan pada kondisi tertentu dimana intensitas sinar matahari tidak
terlampau kuat.
Pada umumnya, kontrol reaksi untuk metode kimia basah hanya dilakukan
melalui pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi. Sejauh ini, belum
ditemukan adanya penelitian yang mengarah pada pengaruh penambahan tekanan
eksternal terhadap proses kimiawi basah serta hasil sintesis yang akan didapat.
Dengan melakukan modifikasi pada tekanan yang digunakan dalam reaksi,
diharapkan dapat diperoleh struktur yang diinginkan dalam waktu yang lebih
singkat dan suhu proses yang lebih rendah.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada Sub Bab 1.2, maka optimasi karakteristik
nanostruktur ZnO merupakan prioritas di dalam fabrikasi sel surya. Kontrol
terhadap struktur nanostruktur ZnO, diharapkan memperbaiki sifat-sifat elektronik
fundamental material. Penurunan nilai Eg sebagai salah satu parameter elektronik
material dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi morfologi ZnO
melalui proses hidrotermal. Dengan demikian maka diharapkan efisiensi dan arus
yang dihasilkan DSSC dengan lapisan nanostruktural ZnO hasil sintesis melalui
proses pasca-hidrotermal tersebut dapat ditingkatkan secara signifikan. Dengan
mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, maka secara umum penelitian
ini bertujuan untuk:
a. Mempelajari proses sintesis nanostruktur ZnO melalui metode kimia basah
pada suhu rendah dan proses pasca–hidrotermal untuk memperoleh
nanostruktur yang sesuai untuk lapisan semikonduktor oksida pada DSSC.
b. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,
kristalinitas, serta sifat-sifat elektronik fundamental nanostruktur ZnO;
c. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis
terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
5
Universitas Indonesia
Untuk mencapai tujuan di dalam penelitian ini, akan dilakukan beberapa strategi
sebagai berikut:
a) Nanostruktur ZnO disintesis melalui metode kimia basah dengan
menggunakan prekursor larutan bibit Zn(NO3).4H2O dan
heksametilentetraamin (HMTA). Variasi pada konsentrasi larutan bibit,
suhu dan waktu reaksi, serta kondisi basa larutan digunakan untuk mencari
kondisi optimum proses sintesis nanostruktur ZnO.
b) Nanostruktur ZnO kondisi optimum disintesis melalui metode kimia basah
dan dilanjutkan dengan perlakuan pasca-hidrotermal dengan variasi
konsentrasi dan waktu reaksi. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut
terhadap kristalinitas, sebaran (coverage), dan morfologi bibit
nanostruktur ZnO di atas substrat akan dipelajari secara sistematis.
c) Nanostruktur ZnO sebagai lapisan bibit di atas substrat ditumbuhkan
melalui metode kimia basah dan dilanjutkan dengan proses pasca-
hidrotermal. Investigasi terhadap proses penempelan larutan bibit
nanostruktur ZnO pada substrat kaca indium titanium oxide (ITO)
dilakukan dengan variasi jumlah lapisan bibit yang ditempelkan pada
substrat melalui metode spin-coating. Selain itu, proses pertumbuhan
lapisan bibit menjadi struktur nanostruktur ZnO juga dilakukan mealui
proses hidrotermal. Metode hidrotermal yang digunakan pada tahap ini
dilakukan dalam reaktor dengan variasi waktu dan tekanan reaksi. Dengan
menggunakan penambahan tekanan, diharapkan kristalinitas dan orientasi
pertumbuhan nanorod ZnO dapat mengalami kenaikan secara signifikan
sehingga mampu menghasilkan sifat optik yang baik untuk diaplikasikan
pada sel surya.
d) Nanostruktur ZnO hasil sintesis tahapan-tahapan di atas akan
diintegrasikan ke dalam divais, baik sebagai lapisan semikonduktor oksida
anorganik pada sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC) dan dilihat
perbandingan performanya.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
6
Universitas Indonesia
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan ini dimulai dari Bab I: Pendahuluan, Bab ini,
akan dibahas latar belakang yang mendasari dilakukannya penelitian. Berdasarkan
latar belakang tersebut, dirumuskan masalah yang akan diselesaikan dengan
menentukan tujuan-tujuan penelitian. Selain itu, Bab ini juga akan
menggambarkan secara singkat mengenai sistematika penulisan disertasi.
Bab II berisikan Tinjauan Pustaka, yaitu literatur mengenai seng oksida
(zinc oxide, ZnO), yang meliputi sifat-sifat karakteristik materialnya, proses
sintesis, dan aplikasinya dalam sel surya, terutama DSSSC. Dalam Bab ini, akan
dibahas secara spesifik teknik sintesis nanostruktur ZnO dengan metode kimiawi
basah yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dengan
menggabungkan hasil studi literatur dan percobaan pendahuluan yang telah
dilakukan sebelumnya, dirumuskan state of the art, berikut hipotesis yang
digunakan dalam penelitian ini.
Bab III menjelaskan tentang Metodologi Penelitian, yang berisi prosedur
sintesis nanostruktur ZnO dan karakterisasi hasil penelitian. Pada Bab ini, akan
dijelaskan secara rinci mengenai tahapan penelitian, metode kerja yang dilakukan,
serta teknik-teknik karakterisasi yang digunakan dalam penelitian.
Tahapan awal dari hasil penelitian disajikan dalam Bab IV: Nanorod ZnO
Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Bath Deposition (CBD) dan Pasca-
Hidrotermal. Bab ini menjelaskan tentang ringkasan hasil dan pembahasan dari
percobaan perdahuluan yang dilakukan di awal penelitian. Parameter-parameter
sintesis seperti suhu reaksi, waktu reaksi, serta kekuatan basa menjadi perhatian
yang akan ditelaah. Pada akhir Bab IV, didapat kondisi sintesis yang paling
optimum untuk digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya.
Proses penelitian selanjutnya akan dibahas dalam Bab V: Pengaruh Lapisan
Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorod ZnO yang Disintesis dengan Metode
Chemical Deposition Bath (CBD). Tahapan ini merupakan proses optimasi
nanostruktur ZnO yang sudah diperoleh dari percobaan pendahuluan pada Bab 4.
Dalam Bab ini, akan dijelaskan tentang pengaruh jumlah lapisan bibit dan suhu
anil, serta proses penumbuhan lapisan terhadap nanostruktur ZnO hasil sintesis.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
7
Universitas Indonesia
ZnO dengan struktur paling optimum yang diperoleh pada proses ini selanjutnya
akan digunakan dalam fabrikasi DSSC.
Dengan menggunakan hasil yang telah diperoleh pada Bab terdahulu,
dilakukan tahapan selanjutnya, yaitu Bab VI: Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal
terhadap Lapisan Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell
(DSSC). Dalam Bab ini, dilakukan fabrikasi DSSC dengan menggunakan
nanostruktur ZnO hasil optimasi yang sudah didapat dari Bab 5. Pengaruh
penambahan tekanan eksternal menjadi ciri utama yang akan dijelaskan dalam
Bab ini. Selain itu, sifat-sifat karakteristik dari DSSC yang dihasilkan juga akan
diamati.
Penelitian ditutup dengan menyajikan Bab VII: Kesimpulan dan Saran
Penelitian. Bagian ini menggambarkan ringkasan hasil penelitian secara umum
serta langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan penelitian selanjutnya.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
8
Universitas Indonesia
BAB II
Studi Pustaka
2.1. Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO)
Seng oksida (zinc oxide, ZnO) adalah salah satu semikonduktor golongan II-
VI dengan tingkat ionitas berada pada ambang batas antara semikonduktor ionik
dan kovalen [25]. Material ini memiliki energi celah pita langsung (direct band
gap) yang lebar sebesar 3,37 eV pada 300 K [9, 25–28]. Kelebihan yang dimiliki
oleh material dengan energi celah pita yang lebar adalah dapat menahan medan
listrik yang besar, memiliki electronic noise yang rendah, serta dapat dioperasikan
pada suhu dan daya tinggi. Nilai energi celah pita ZnO dapat dinaikkan hingga
~4.0 eV dengan cara memadukan ZnO dan magnesium oksida (MgO) atau
kadmium oksida (CdO). Sifat tersebut membawa potensi yang sangat besar untuk
aplikasi laser semikonduktor UV-biru, dioda pemancar cahaya dan peralatan
optoelektronik [29-30].
ZnO menghasilkan emisi ultra-violet (UV) yang kuat disebabkan oleh
tingginya energi ikat eksiton sebesar 60 meV [28,9] pada temperatur ruang, jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan bahan semikonduktor lain, misalnya galium
nitrida (GaN). Nilai energi ikat eksiton yang tinggi dapat memperkuat efisiensi
emisi eksiton dalam suhu kamar. Tingginya nilai energi ikat eksiton ini membuat
ZnO menjadi material yang potensial untuk digunakan dalam aplikasi laser
dengan basis rekombinasi eksiton pada suhu kamar atau bahkan suhu tinggi [3].
Fenomena luminesensi sinar UV pada suhu kamar bahkan telah dilaporkan terjadi
pada nanopartikel ZnO berketeraturan rendah dan pada lapisan tipis film ZnO
[27].
Di sisi lain, ZnO merupakan material yang ramah lingkungan dan bersifat
biocompatible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai peralatan biomedis tanpa
memerlukan perlakuan coating [31]. ZnO tidak beracun dan mempunyai
transparansi yang sangat baik dalam spektrum cahaya tampak [29]. Mobilitas
elektron dari ZnO sangat bervariasi, bergantung pada suhu, dengan nilai
maksimum ~200 cm2/(V·s) pada 80 K. ZnO merupakan material semikonduktor
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
9
Universitas Indonesia
dengan tipe-n dengan nilai mobilitas hole berkisar antara 5–30 cm2/(V·s).
Koefisien difusi elektron pada anoda ZnO yang difabrikasi menjadi DSSC
diketahui memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan TiO2. Nilai
koefisien difusi elektron ZnO diketahui sebesar 1,2x10-4 cm2/s, sedangkan TiO2
sebesar 5x10-5 cm2/s [12]. Dengan karakteristik tersebut, ZnO dapat
menghantarkan elektron lebih cepat dibandingkan TiO2.
2.1.1. Struktur Kristal ZnO
Secara umum, struktur kristal ZnO terbagi menjadi hexagonal wurtzite,
cubic zincblende, dan struktur kubus rocksalt yang jarang ditemui (hanya terdapat
pada tekanan yang sangat tinggi, yaitu sekitar 10 GPa), seperti terlihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite [25].
Struktur wurtzite ZnO mempunyai space grup C6mc dengan nilai konstanta
kisi a = 3,2469 Å and c = 5,2065 Å. Secara sederhana, struktur ZnO dapat
digambarkan sebagai bidang tetrahedral dengan ion Zn2+ atau O2- terletak pada
pusat secara bergantian [27]. Detail struktur kristal wurtzite ZnO dapat dilihat
pada Gambar 2.2.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
10
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO [1]
Susunan koordinasi tetrahedral dalam ZnO menunjukkan struktur non-
centrosymmetric [1,32]. Sifat inilah yang menyebabkan adanya fenomena
piezoelektrik dan piroelektrik pada ZnO. Dalam struktur non-centrosymmetric
tersebut, pusat muatan positif dan negatif dapat bertukar posisi dengan
menambahkan tekanan luar [32].
Efek piezoelektrik dapat diilustrasikan sebagai suatu kation yang dikelilingi
oleh anion-anion dengan susunan tetrahedral, seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang tersusun secara
tetrahedral [27,32].
Kation yang terletak pada pusat tetrahedron merupakan pusat gravitasi bagi
anion-anion di sekelilingnya. Dengan menambahkan tekanan di sepanjang sisi
sudut tetrahedron akan mengakibatkan terjadinya distorsi struktur. Hal ini
menyebabkan posisi anion tidak lagi bersesuaian dengan posisi kation sebagai
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
11
Universitas Indonesia
pusat, sehingga terjadilah dipol listrik. Jika tetrahedral dalam struktur mengalami
orientasi yang sama atau orientasi yang saling menguatkan maka kristal akan
mengalami dipol listrik makroskopis. Akibatnya, bidang yang saling
berseberangan pada kristal akan mempunyai muatan listrik yang berbeda [27].
Sifat piezoelektrik mengacu pada proses reversibel dimana terjadi kontraksi
atau elongasi pada kristal ketika diletakkan dalam suatu medan listrik. Sebuah
kristal hanya akan bersifat piezoelektrik jika memiliki struktur non-
centrosymmetric, yang memastikan tidak terjadinya dipol listrik dengan arah
berlawanan atau saling meniadakan pada struktur. Efek piezoelektrik dapat
mengubah vibrasi mekanik menjadi sinyal listrik atau sebaliknya. Efek ini
digunakan sebagai dasar pembuatan resonator, sensor, atau alat kontrol
pergerakan pada scaning probe microscopy [27]. Di antara material-material
semikonduktor berstruktur tetrahedral, ZnO merupakan material dengan sifat
piezoeletrik terkuat, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan GaN dan
aluminium nitride (AlN).
2.1.2. Sifat Mekanik ZnO
ZnO mengalami deformasi plastis pada beban yang cukup rendah, yaitu 4–
13 mN dengan jarak spherical indenter sebesar 4,2 mm. Nilai kekerasan (H) yang
terukur untuk ZnO adalah sebesar 5,0 + 0,1 GPa. Modulus Young (E) untuk ZnO
memiliki nilai konstan sebesar 111,2±4,7 GPa. Untuk ZnO polikristalin, nilai H
dan E terukur dalam kisaran 1,5 – 12 GPa dan 40 – 120 GPa. Besaran H dan E
untuk ZnO diketahui memiliki nilai yang lebih rendah dari GaN. Nilai H pada
GaN memiliki kisaran 15,5 + 0.9 GPa, sedangkan E pada GaN adalah sebesar 210
+ 23 GPa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ZnO termasuk material
yang lebih lunak jika dibandingkan dengan GaN. Hal ini disebabkan oleh titik
leleh ZnO (1975oC) yang lebih rendah dari GaN (2500°C) dan juga sifat ionik
yang lebih besar (0,616 pada ZnO dibandingkan dengan 0,500 pada GaN) [25].
Selain itu, ZnO juga diketahui memiliki kapasitas dan konduktifitas panas yang
tinggi, serta ekspansi termal rendah.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
12
Universitas Indonesia
2.1.3. Sifat Optis dan Elektrik ZnO
ZnO merupakan direct semiconductor. Pada direct semiconductor, pita
konduksi berada tepat di atas pita valensi. Absorpsi cahaya dalam semikonduktor
umumnya merupakan absorpsi kisi dasar (basic lattice absorption), dimana
eksitasi elektron akan menempatkan sejumlah elektron pada pita konduksi dan
meninggalkan hole pada pita valensi dalam jumlah yang sama [33]. Perbedaan
bentuk kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada semikonduktor (direct
dan indirect semiconductors) diperlihatkan pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a) direct dan
b) indirect semiconductor [33].
Sumbu-y pada Gambar 2.4 menyatakan energi dan sumbu x menyatakan
momentum kristal. Pada direct semiconductor, energi minimum pita konduksi
berada tepat pada momentum yang sama dengan energi maksimum pita valensi
(Gambar 2.4.a). Ketika sebuah foton terabsorpsi, terjadi perbedaan energi antara
kondisi awal dan akhir dengan besar E = hυ [33]. Dengan demikian, energi yang
terjadi saat absorpsi besarnya akan sama dengan energi yang dilepas pada proses
deabsorpsi. Hal yang berbeda terjadi pada indirect semiconductor. Gambar 2.4.b
memperlihatkan bahwa energi minimum pita konduksi tidak berada tepat di atas
energi maksimum pita valensi. Dalam hal ini, eksitasi elektron dari pita valensi ke
pita konduksi hanya akan terjadi apabila terdapat pergeseran momentum kristal
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
13
Universitas Indonesia
yang disebabkan oleh adanya absorpsi fonon (phonon). Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa absorpsi cahaya pada indirect semiconductor lebih rendah
dibandingkan direct semiconductor karena melibatkan dua proses, yaitu absorpsi
fonon dan absorpsi foton [33].
Sifat optis dari suatu semikonduktor dipengaruhi oleh efek intrinsik dan
ekstrinsik. Efek intrinsik terjadi pada elektron dalam pita konduksi dan hole pada
pita valensi, dan juga oleh efek eksitonik yang terjadi karena interaksi Coulomb.
Sedangkan efek ekstrinsik terjadi karena adanya cacat atau penambahan dopant
pada semikonduktor [25].
Pada semikonduktor, sifat elektrik dan optis umumnya dipengaruhi oleh
cacat titik (point defect). Konsentrasi cacat pada suatu kristal bergantung pada
besarnya energi pembentukan (formulation energy, Ef) [25].
c = Nsites exp {- (Ef / kBT)} (2.1)
dimana Nsites adalah konsentrasi tempat dimana cacat mungkin terjadi. Cacat yang
paling umum terjadi pada kristal ZnO adalah vacancy oksigen (oxygen vacancy)
dan interstisi seng (Zn interstitial). Cacat pada kristal ZnO dapat ditentukan
berdasarkan kondisi tekanan parsial seng (pO2 dan pZn). Pada suasana reduksi
kuat dalam suhu tinggi, maka oxygen vacancy lebih mudah terjadi. Sedangkan Zn
interstitial akan lebih banyak terjadi pada kondisi apabila kristal terekspos dalam
suasana uap Zn berlebih [3,25].
Secara natural, ZnO dengan struktur wurtzite merupakan semikonduktor
tipe-n yang disebabkan oleh dua cacat tersebut di atas. Proses doping pada ZnO
untuk menghasilkan semikonduktor tipe-p hingga saat ini masih menjadi topik
riset yang sangat ramai, dikarenakan tingginya kesulitan dalam pembuatan
semikonduktor tersebut. Masalah tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara
lain energi cacat asal pada kristal yang lebih rendah dari dopant, adanya pengotor
background selain dopant, serta rendahnya kelarutan dopant. Kandidat dopant
yang cukup baik untuk semikonduktor ZnO tipe-p adalah nitrogen (N) [2,25].
2.2. Nanostruktur ZnO
Penemuan karbon nanotubes oleh Iijima pada tahun 1991 telah
menginspirasi penelitian yang menginvestigasi pertumbuhan dan karakterisasi
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
14
Universitas Indonesia
material one-dimensional (1D) berstruktur nano serta material semikonduktor.
Dengan menurunkan ukuran ZnO dari bulk material menjadi skala nanometer atau
bahkan lebih kecil, beberapa sifat fisik dari ZnO akan mengalami peningkatan.
Hal ini disebut sebagai “quantum size effects” [32].
Celah pita nanopartikel ZnO diketahui memiliki kebergantungan dengan
ukuran ZnO. Selain itu, pengataman spektroskopi absorpsi sinar-X dan scanning
electron microscopy memperlihatkan adanya perbaikan kondisi permukaan ketika
ZnO mengalami penurunan ukuran hingga mencapai skala nanometer [32].
Beberapa sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO [32]
Sifat Fisik Nilai
Konstanta kisi (T = 300K)
a0 0,32 nm
c0 0,52 nm
Density 5,61 g/cm3
Titik leleh 2248 K
Konstanta dielektrik relatif 8,66
Energi celah pita 3,37 eV, direct
Energi ikat eksiton 60 meV
Massa efektif elektron 0,24
Mobilitas elektron (T = 300K) 200 cm2/Vs
Massa efektif hole 0,59
Mobilitas hole ( T = 300K) 5-50 cm2/Vs
Nanostruktur ZnO single crystal memiliki sifat listrik yang lebih baik
daripada ZnO polikristalin. Kelemahan terbesar dari pengembangan ZnO dalam
bidang elektronik dan fotonik terletak pada kesulitan melakukan doping tipe-p.
Nanostruktur ZnO dengan doping tipe-p yang berhasil dapat memberikan aplikasi
yang sangat besar dalam bidang optoelektronik dan elektronik berskala nano. ZnO
nanowires tipe-p dan tipe-n dapat dibuat menjadi p-n junctions diode atau dioda
pemancar cahaya (Light Emitting Diode, LED) [32].
ZnO dengan ukuran nano telah berhasil disintesis dengan berbagai bentuk,
antara lain nanowires dan nanorods, nanocombs, nanorings, nanoloops dan
nanohelices, nanobows, nanobelts dan nanocages [34], seperti terlihat pada
Gambar 2.5. Aplikasi nanostruktur ZnO ini berhubungan dengan morfologi dan
ukuran, yang akan mempengaruhi sifat optis dan elektrik dari ZnO hasil fabrikasi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
15
Universitas Indonesia
Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis [31]
Sifat optis intrinsik dari ZnO nanostruktur telah banyak dipelajari untuk
aplikasi divais fotonik. Berdasarkan data emisi eksiton yang teramati dari
spektrum fotoluminesens nanorods ZnO, terlihat bahwa quantum size confinement
dapat meningkatkan exciton binding energy [32]. Puncak emisi yang tampak
sangat signifikan pada panjang gelombang 380 nm disebabkan oleh transisi band-
to-band. Pita emisi warna hijau-kuning yang teramati merupakan efek dari
vacancy atom oksigen. Intensitas emisi cahaya hijau akan meningkat dengan
berkurangnya diameter nanowire. Diameter yang makin kecil mengakibatkan
rasio surface-to-volume yang makin besar, sehingga terjadi kenaikan cacat dan
surface recombination [32].
Nanostruktur ZnO one-dimensional (1D) saat ini merupakan topik yang
marak dalam berbagai bidang riset penelitian. Struktur 1D diketahui mempunyai
variasi morfologi yang sangat kaya yang dapat disintesis dengan menggunakan
berbagai metode. Selain itu, nanostruktur 1D memiliki aplikasi pada bidang optik,
elektronik, piezoelektronik, serta sensor. Sebagai material yang ramah
lingkungan, nanostruktur 1D juga merupakan salah satu material yang potensial
untuk diaplikasikan dalam pembuatan sel surya sebagai alternatif energi bersih
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
16
Universitas Indonesia
yang baru dan terbarukan [1]. Di antara 1D nanostruktur, nanorods dan nanowires
ZnO telah menarik banyak perhatian disebabkan oleh kemudahan dalam
pembentukan nanomaterial serta aplikasi yang luas .
2.3. Nanorods ZnO
Nanorods ZnO secara khusus mempunyai potensi aplikasi yang baik dalam
bidang optoelektronik. Struktur nanorods yang teratur diketahui dapat
memberikan efek ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu
medium dengan mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya
hamburan [30,35]. Mekanisme ballistic transport terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Efek ballistic transport [36]
Proses transportasi elektron dalam suatu material bergantung pada
karakteristik dari panjang (L) dan lebar (W) daerah aktif dari material tersebut.
Daerah bebas rata-rata (dimana terjadi tumbukan elastis) yang dilalui oleh
elektron dinyatakan sebagai l. Sedangkan daerah dimana terjadi tumbukan tidak
elastis dinyatakan sebagai lψ. Jika panjang L dan W lebih besar daripada l dan lψ,
maka transport elektron bersifat diffusive (Gambar 2.6.a). Apabila panjang W
lebih kecil namun panjang L lebih besar dari l dan lψ, maka transport elektron
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
17
Universitas Indonesia
bersifat quasi-ballistic (Gambar 2.6.b). Sedangkan jika L dan W lebih kecil
daripada l dan lψ, maka transport elektron bersifat ballistic (Gambar 2.6.c). Pada
proses transport ballistic, elektron dapat bergerak dengan panjang lintasan yang
melebihi panjang dan lebar daerah aktif material tersebut.
2.4. Sintesis Nanostruktur ZnO
2.4.1. Proses Fasa Uap
Salah satu proses sintesis nanostruktur ZnO dalam fasa uap yang banyak
digunakan adalah metode chemical vapor deposition (CVD). Secara umum,
metode CVD merupakan proses sederhana dimana suatu material dipanaskan pada
suhu tinggi sehingga menjadi fasa uap yang kemudian dikondensasi. Proses
sintesis dengan metode CVD dapat digunakan untuk menghasilkan nanostruktur
ZnO dalam berbagai bentuk, dengan menggunakan material dasar dan parameter
proses yang berbeda-beda. Salah satu metode oksidasi langsung yang dapat
digunakan adalah dengan memanaskan serbuk Zn dengan aliran gas oksigen pada
suhu 500-700oC. Metode lain yang juga sering digunakan adalah metode
karbotermal, yaitu mencampurkan Zn dan karbon (C) dengan komposisi tertentu.
Proses sintesis dengan metode ini berlangsung pada suhu 800-1100oC. Selain itu,
seng asetilasetonat hidrat juga digunakan sebagai material dasar, dengan suhu
proses yang jauh lebih rendah (130-140oC) [2,32]. Morfologi dari nanostruktur
yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis dan laju alir carrier gas serta jarak
subtrat dan material dasar.
Proses CVD biasanya dilakukan dalam tube furnace horizontal dengan
kondisi vakum pada tekanan ~2x10-3 Torr. Pada proses ini, material dasar yang
akan diproses diletakkan dalam krusibel alumina dan diletakkan pada posisi
tengah furnace yang disebut sebagai zona pemanasan. Uap ZnO kemudian
ditransportasikan ke ujung lain dari tube furnace yang bersuhu lebih rendah, yang
disebut sebagai zona deposisi. Pada area ini, diletakkan substrat yang akan
digunakan sebagai tempat menempelnya uap ZnO hasil pemanasan. Proses
transportasi dilakukan dengan menggunakan aliran gas H2 sebagai carrier gas.
Pada zona pemanasan, reaksi yang terjadi adalah:
ZnO(s) + H2(g) → Zn(g) + H2O(g) (2.2)
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
18
Universitas Indonesia
Di zona deposisi, terjadi reaksi sebaliknya, sebagai konsekuensi dari suhu yang
lebih rendah dari zona pemanasan. Reaksi yang terjadi pada zona tersebut adalah:
Zn(g) + H2O(g) → ZnO(s) + H2(g) (2.3)
ZnO hasil pemanasan inilah yang akan menempel pada substrat membentuk
lapisan tipis [25]. Metode ini menghasilkan lapisan ZnO pada substrat dengan
coverage yang baik dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Parameter proses yang
penting untuk diperhatikan pada proses ini antara lain adalah suhu, tekanan,
carrier gas (meliputi jenis gas dan laju alirnya), jenis substrat, dan waktu
evaporasi [27]. Skema proses dengan metode CVD dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Beberapa proses sintesis nanostrukturZnO dengan metode CVD
dengan menggunakan: a) substrate downstream; b) substrate upstream; c) inner
tube; d) inlet gas O2; e).vertical growth; dan f) multiple gas inlet [2]
Berdasarkan perbedaan mekanisme pembentukan nanostruktur ZnO, proses
CVD terbagi menjadi dua golongan, yaitu proses tanpa katalis (vapor-solid, VS)
dan proses dengan menggunakan katalis (vapor-liquid-solid, VLS). Proses VS
dilakukan dengan kondensasi uap material yang langsung menempel pada
substrat, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.6. Proses ini menghasilkan
nanostruktur ZnO dengan berbagai bentuk. Sedangkan pada proses VLS,
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
19
Universitas Indonesia
pertumbuhan nanostruktur ZnO dikontrol dengan penambahan katalis, yang akan
membentuk nanopartikel atau nanocluster. Katalis yang ditambahkan dapat
berupa Au, Cu, Co atau Sn. Skema proses sintesis dengan metode VLS dapat
dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode VLS [32]
Pada mekanisme sintesis VLS, katalis logam diteteskan pada komponen
adsorben dalam fasa uap. Proses ini dilakukan pada suhu tinggi dan menghasilkan
cairan yang merupakan paduan antara komponen fasa uap (misalnya uap Zn) dan
katalis logam. Paduan tersebut kemudian mengalami proses lewat jenuh
(supersaturation) yang selanjutnya menghasilkan larutan yang berisi komponen
pembentuk paduan dalam konsentrasi tinggi. Hal ini selanjutnya akan mendorong
terjadinya reaksi presipitasi komponen fasa uap pada antar muka fasa cair-padat.
Ketika energi bebas minimum dari fasa paduan terlampaui, maka terjadi
pertumbuhan kristal yang akan terus berkembang selama persediaan komponen-
komponen pembentuk reaksi ini tersedia dalam sistem. Karena proses sintesis ini
melibatkan fasa uap / vapor (komponen reaktan utama), cair / liquid (katalis
logam), dan padat / solid (kristal yang terpresipitasi), maka proses ini disebut
sebagai proses vapor-liquid-solid (VLS). Setelah nanostruktur didapat, maka
dilakukan evaporasi terhadap katalis [32]. Sehingga hasil akhir akan memberikan
substrat yang sudah ditumbuhi nanostruktur tanpa adanya katalis.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
20
Universitas Indonesia
2.4.2. Proses Fasa Larutan
Beberapa metode sintesis berbasis larutan yang umum digunakan antara lain
adalah aqueous solution growth dan metode hidrotermal. Metode-metode ini
dapat digunakan untuk menempelkan nanostruktur ZnO di atas substrat. Untuk
metode aqueous solution growth, reaktan yang umum digunakan adalah larutan
Zn(NO3)2 dan (CH2)6N4. Reaksi yang terjadi pada proses ini adalah [3]:
(CH2)6N4 + 6H2O ↔ 6HCHO + 4NH3 (2.4)
NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH- (2.5)
2OH- + Zn2+ ↔ ZnO(s) + H2O (2.6)
Metode aqueous solution growth dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan
gelas laboratorium sederhana. Selain itu, metode ini umumnya dilakukan pada
suhu yang relatif rendah, yaitu di bawah titik didih air (80-90oC).
Penggunaan metode hidrotermal untuk menumbuhkan ZnO nanostruktur
telah menarik banyak perhatian dikarenakan kemudahan untuk melakukan proses
serta kondisi pertumbuhan yang tidak membutuhkan suhu tinggi. Karena sintesis
dilakukan dalam pelarut air, maka suhu pertumbuhan dapat ditekan hingga
mencapai di bawah 100oC, atau di bawah titik didih air [37]. Proses hidrotermal
merupakan teknik untuk mengkristalisasi atau menaikkan kristalinitas suatu
material dari larutan dengan menggunakan tekanan uap tinggi yang umumnya
dilakukan dalam suatu reaktor yang disebut sebagai autoclave. Proses ini banyak
digunakan dalam bidang geologi, terutama pengolahan mineral, dan kini sering
digunakan dalam bidang nanomaterial. Metode ini merupakan cara yang murah,
dapat dilakukan pada suhu rendah, mudah dimodifikasi, dan menghasilkan
struktur nanorods yang vertikal. Salah satu ciri dari proses hidrotermal adalah
adanya puncak pada difraktogram XRD yang muncul pada sudut 2θ antar 35 –
40o. Puncak pada daerah ini merupakan karakteristik untuk bidang [002] yang
merupakan ciri dari nanorods yang dihasilkan pada metode hidrotermal. Namun
demikian, tingkat kristalinitas nanorods ZnO yang dihasilkan dari prosedur ini
umumnya belum terlalu tinggi, disebabkan oleh banyaknya cacat interstisi oksigen
(oxygen-interestitial defects) yang terjadi pada permukaan. Skema peralatan
hidrotermal yang dipergunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
21
Universitas Indonesia
Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal
Pada Gambar 2.9, ZnO ditumbuhkan dengan meletakkan lapisan bibit ZnO
(yang sudah ditumbuhkan di atas substrat) pada posisi terbalik. Metode
hidrotermal menggunakan cairan atau air untuk menghasilkan tekanan yang dapat
membantu pertumbuhan ZnO nanostruktur. ZnO diharapkan tumbuh vertikal
dengan bantuan gaya gravitasi. Substrat yang sudah diletakkan dengan posisi
terbalik kemudian diletakkan dalam kontainer Teflon, lalu dimasukkan dalam
tabung hidrotermal. Bentuk kristal yang dihasilkan melalui ini bergantung pada
jenis prekursor dan derajat keasaman (pH) larutan bibit serta nutrient.
Ukuran dan orientasi pertumbuhan nanostruktur ZnO yang disintesis dengan
proses hidrotermal sangat bergantung pada arah orientasi dan perlakuan substrat.
Sintesis dengan menggunakan metode hidrotermal membutuhkan adanya lapisan
bibit (seed layer) yang akan memicu pertumbuhan nanostruktur menjadi lapisan
yang rapat dan merata di seluruh permukaan substrat [27]. Pembuatan lapisan
bibit di atas substrat dapat dilakukan dengan proses spin-coating atau sputtering.
2.5. Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah
Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya lapisan bibit merupakan salah
satu kontrol penting pada sintesis nanostruktur ZnO. Pembuatan bibit ZnO yang
cukup terkenal dilakukan oleh Spanhel dan Anderson pada tahun 1991 dengan
metode sol-gel. Pada percobaan tersebut, prekursor nanorods ZnO dibuat dengan
menggunakan bahan dasar seng asetat dihidrat (Zn(CH3COO)2.2H2O) dan etanol.
Meulenkamp [38] melakukan beberapa modifikasi pada metode ini dan
mengidentifikasi parameter-parameter penting yang berpengaruh dalam
pembuatan ZnO, seperti particle growth, perlakuan setelah proses pertumbuhan
(pencucian dan pengeringan), konsentrasi prekursor, dan pH larutan prekursor.
Percobaan klasik ini menghasilkan nanostruktur ZnO dengan bentuk nanopartikel.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
22
Universitas Indonesia
Metode sol-gel telah banyak digunakan dalam pembuatan nanorods ZnO.
Proses ini menawarkan kemungkinan sintesis film untuk area yang luas dengan
aplikasi teknologi berbiaya rendah [39]. Secara umum investigasi terdahulu
melaporkan pentingnya lapisan bibit untuk menginisiasi pertumbuhan yang
seragam dan terarah dari nanorods ZnO [12,40–43]. Adanya lapisan bibit ZnO di
atas substrat kaca konduktif merupakan kontrol yang baik terhadap diameter dan
panjang nanorods ZnO yang akan ditumbuhkan. Tetapi, lapisan bibit tidak
memperbaiki densitas coverage nanorods ZnO pada substrat. Untuk mendapatkan
substrat dengan tingkat coverage nanorods ZnO yang baik, maka dapat dilakukan
proses penempelan lapisan bibit ZnO beberapa kali [43]. Untuk proses sol-gel,
metode pembuatan lapisan ZnO yang umum dilakukan yaitu teknik dip-coating,
dimana substrat dicelupkan dalam larutan bibit dan ditarik kembali dengan
kecepatan tertentu. Metode lain yang dapat digunakan adalah teknik spin-coating,
yaitu proses penetesan larutan bibit di atas substrat yang dilanjutkan dengan
pemutaran substrat pada kecepatan tinggi [44].
Pada setiap proses penempelan lapisan bibit, dilakukan proses anil untuk
melekatkan lapisan bibit pada substrat. Proses anil ini sendiri juga merupakan
faktor penting dalam pembuatan nanorods ZnO. Perlakuan anil dapat
meningkatkan daya rekat lapisan bibit dan substrat kaca konduktor. Lapisan bibit
dengan daya rekat yang baik berpotensi untuk tumbuh dengan kondisi nanorods
ZnO yang memiliki luas dan kondisi permukaan yang baik. Untuk aplikasi DSSC,
hal ini sangat penting karena adsorpsi zat pewarna sangat bergantung pada kondisi
permukaan nanorods ZnO [27]. Selain meningkatkan daya rekat, proses anil juga
diperlukan untuk memecahkan kompleks Zn2+ yang dapat terbentuk pada
pembuatan larutan bibit atau prekursor yang melibatkan suasana asam, baik
berupa asam yang ditambahkan maupun asam yang berasal dari material pembuat
larutan bibit (misalnya ion Cl- atau CH3COO-) [42,45]. Zhang dkk [45]
menyebutkan bahwa pembentukan kompleks Zn2+ pada permukaan nukleus ZnO
dapat mencegah pertumbuhan anisotropik. Lee dkk [46] dan Zhong dkk [47]
menyebutkan bahwa suhu efektif untuk memecahkan kompleks adalah 400oC.
Guo dkk [48] menyebutkan bahwa pembuatan nanorods ZnO umumnya
dilakukan berdasarkan dua tahapan. Tahap pertama adalah proses pembentukan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
23
Universitas Indonesia
lapisan bibit nanorods ZnO, yang dalam hal ini dilakukan dengan metode sol-gel.
Tahap ini terjadi di awal proses dan berlangsung cepat. Hasil yang didapat berupa
nanorods dengan bentuk pendek namun berdiameter melebar. pH, konsentrasi
larutan serta suhu reaksi menentukan ukuran serta bentuk ZnO yang akan tumbuh.
Setelah itu, tahap kedua adalah proses penumbuhan nanorods ZnO, baik yang
tertanam di dalam substrat (berupa lapisan bibit yang sudah ditempelkan) maupun
yang tidak (hanya mengandalkan deposisi dari uap ZnO yang terbentuk pada
larutan bibit). Tahap kedua ini berjalan dengan lambat, membentuk nanorods
dengan panjang tertentu. Tahap ini disebut sebagai proses penumbuhan. Waktu
reaksi penumbuhan ini sangat mempengaruhi ukuran (panjang dan diameter)
nanorods yang terbentuk.
Sintesis ZnO umumnya dilakukan pada suhu rendah. Lang dkk [22] bahkan
telah berhasil melakukan sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu kamar
(cool temperature, 4oC). Pada penelitian tersebut, disimpulkan bahwa rendahnya
suhu yang digunakan dalam sintesis mempengaruhi ukuran diameter nanorods
ZnO yang dihasilkan. Semakin rendah suhu yang digunakan, maka ukuran
diameter nanorods semakin kecil.
Seperti telah disebutkan, nanorods ZnO hasil sintesis dengan metode sol-gel
mempunyai beberapa kelemahan. Rendahnya kristalinitas dan emisi UV
merupakan dua hal yang perlu diperbaiki untuk mendapatkan nanorods ZnO
sebagai semikonduktor yang menghasilkan DSSC dengan efisiensi tinggi. Lee dkk
[46] telah melakukan proses pasca-hidrotermal setelah sintesis ZnO pada substrat
dalam reaktor hidrotermal. Perlakuan pasca-hidrotermal dilaporkan telah
menaikkan keteraturan struktur nanorods ZnO yang terbentuk. Dalam penelitian
tersebut, diperoleh hasil ZnO berstruktur nanorods yang tumbuh vertikal di atas
substrat dengan panjang sekitar 900 nm dan waktu reaksi terbaik adalah 8 jam.
Dari studi literatur yang telah dilakukan, diketahui bahwa kristalinitas ZnO
as-synthesized dapat dikontrol melalui dua tahap. Kontrol tahap pertama
dilakukan pada tahap pembuatan bibit di atas substrat. Beberapa penelitian
terdahulu [12,40,46,48] menyebutkan bahwa pembentukan lapisan bibit yang baik
merupakan salah satu pemegang peran utama dalam pembuatan nanorods ZnO
dengan kristalinitas yang tinggi. Sedangkan kontrol pada tahap selanjutnya dapat
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
24
Universitas Indonesia
dilakukan melalui proses perlakuan setelah nanorods ZnO tumbuh di atas
substrat. Proses ini bersifat memperbaiki kristalinitas dari ZnO yang sudah
terbentuk. Chung dkk [12] dan Lee dkk [49] menyebutkan telah terjadi kenaikan
kristalinitas dan sifat optis dari lapisan ZnO setelah melalui anil treatment dengan
penambahan gas Ar/O2 dalam lingkungan ambien. Selain itu, Lee dkk [46], Guo
dkk [40,48] dan Zhang dkk [35] melakukan perlakuan pasca-hidrotermal untuk
memperbaiki kristalinitas nanorods ZnO, dengan menggunakan larutan bibit
untuk membantu pertumbuhan nanorods ZnO yang akan dihasilkan.
Xu dkk [41] menyatakan bahwa proses hidrotermal merupakan proses
sederhana pada suhu relatif rendah yang mudah dikontrol dan memberikan hasil
yang seragam. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa kenaikan tekanan dapat
meningkatkan ukuran diameter batang (rod) dan menekan arah pertumbuhan
kristal dari kisi (001) menjadi (002) sehingga didapat struktur nanorods yang
tebal dengan permukaan heksagonal yang datar [41].
2.6. Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya
Sel surya adalah suatu divais fotovoltaik (photovoltaic, PV) yang dapat
mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi listrik secara langsung. Efek PV
pertama kali diamati oleh Henri Becquerel pada tahun 1893. Secara umum, divais
ini menghasilkan listrik melalui dua elektroda yang dihubungkan dengan sistem
padatan atau cairan di antaranya. Ketika sistem sel surya mengalami radiasi sinar
matahari, terjadi fenomena PV, dengan listrik sebagai output yang dihasilkan. Sel
surya melibatkan sebuah p – n junction dalam suatu semikonduktor dimana proses
PV berlangsung [33]. Gambaran umum sel surya dapat dilihat pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10. Sel surya tipikal [33]
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
25
Universitas Indonesia
Absorpsi cahaya terjadi pada lapisan semikonduktor (pada Gambar 2.10
terletak pada bagian Base). Material semikonduktor harus dapat menyerap
sebagian besar spektrum cahaya matahari agar dapat menghasilkan listrik.
Umumnya, proses absorpsi cahaya terjadi di daerah atau di sekitar area
permukaan divais [33].
2.6.1. Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized Solar Cell , DSSC)
2.6.1.1. Two-Dimensional (2D) DSSC
Jantung dari sistem DSSC adalah suatu sistem lapisan oksida mesoporous
yang tersusun atas partikel-partikel berukuran nanometer yang dipanaskan
sehingga memungkinkan terjadinya konduktansi elektronik pada lapisan tersebut.
Struktur lapisan oksida semikonduktor yang digunakan memegang peranan
penting dalam performa DSSC. Dengan memperkecil ukuran semikonduktor dari
skala mikrometer menjadi nanometer terbukti dapat menaikkan efisiensi DSSC.
Selain itu, struktur berbentuk nanorods memiliki keunggulan pada sifat ballistic
effect yang dapat meminimalisasi energi yang hilang selama transportasi selektron
yang disebabkan oleh adanya hamburan karena struktur. Secara umum, prinsip
kerja sel DSSC terlihat pada Gambar 2.11 [34].
Gambar 2.11. Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC [34]
Two-Dimensional (2D) DSSC umumnya tersusun atas kaca konduktor
(TCO), lapisan semikonduktor, elektrolit, dan elektroda counter. Elektroda kerja
yang digunakan adalah kaca konduktif yang sudah dilapisi dengan lapisan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
26
Universitas Indonesia
semikonduktor di atasnya. Elektroda counter (umumnya dilapisi karbon atau
platina) diletakkan secara paralel di atas elektroda kerja [1]. Skema 2D DSSC
secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.12.
Gambar 2.12. Skema 2D DSSC [1]
Pada lapisan semikonduktor ditempelkan lapisan zat pewarna (dye) yang
berfungsi sebagai transfer muatan. Eksitasi elektron karena cahaya yang diserap
oleh zat warna mengakibatkan injeksi elektron tereksitasi ke dalam pita konduksi
pada lapisan oksida semikonduktor. Kekosongan elektron pada zat warna tersebut
akan diisi oleh donor elektron yang berasal dari elektrolit. Elektrolit yang
digunakan umumnya adalah suatu sistem yang merupakan pasangan reaksi
reduksi-oksidasi, misalnya pasangan iodide/triiodida. Elektron yang keluar dari
iodida kemudian akan diregenerasi dengan reduksi triiodida pada elektroda
counter. Tegangan yang dihasilkan selama penyinaran sel DSSC berkaitan dengan
perbedaan tingkat energi Fermi elektron pada lapisan semikonduktor padat dan
potensial redoks dari elektrolit. Sehingga, secara umum, peralatan DSSC akan
dapat menghasilkan tegangan melalui pencahayaan tanpa mengalami transformasi
kimia yang permanen [34].
2.7. State of The Art Penelitian
Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat kaca transparent-
conducting oxide (TCO) merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan
sel surya dengan tingkat efisiensi tinggi karena memfasilitasi transfer elektron
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
27
Universitas Indonesia
yang lebih baik. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa tingkat kristalinitas dari
nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting. Oleh sebab itu, realisasi
struktur ZnO 1D dengan tingkat kristalinitas dan keteraturan tinggi merupakan
satu area yang harus ditelaah secara komprehensif dan mendalam.
Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan yang berkesinambungan, dimana
masing-masing tahap akan memiliki fokus pada area tertentu. Tahapan pertama
merupakan tahap percobaan pendahuluan yang menitikberatkan pada modifikasi
teknik sintesis. Dalam tahap ini, pengaruh suhu, waktu reaksi serta konsentrasi
basa merupakan faktor-faktor penting yang ditelaah. Proses yang akan digunakan
meliputi metode kimiawi basah dengan teknik chemical bath deposition (CBD),
yang dilanjutkan dengan proses pasca-hidrotermal. Metode sintesis yang paling
optimum untuk kondisi percobaan merupakan hasil yang menjadi target utama.
Tahapan kedua dilakukan dengan melanjutkan penelitian pada tahap
sebelumnya sehingga didapat hasil nanostruktur ZnO dengan sifat-sifat fisik
paling optimum. Parameter-parameter yang meliputi coverage, ukuran diameter,
tingkat kristalinitas, serta nilai Eg nanostruktur ZnO yang akan dihasilkan akan
menjadi perhatian utama. Kontrol terhadap proses pembentukan nanostruktur ZnO
dilakukan dengan pengamatan terhadap lapisan bibit yang ditempelkan di atas
substrat kaca TCO. Proses kontrol terhadap tekanan sistem reaksi pada proses
pasca-hidrotermal menjadi titik berat selanjutnya yang diutamakan dalam tahap
ini. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, belum ditemukan adanya
penelitian terstruktur yang membahas tentang penambahan tekanan eksternal
dalam proses sintesis nanostruktur ZnO via metode kimiawi basah. Dengan
demikian, penelitian ini akan menjadi titik awal yang akan menggambarkan peran
tekanan eksternal dalam sintesis nanostruktur ZnO.
Pada tahapan ketiga dari kegiatan penelitian ini hasil yang diharapkan
adalah diperolehnya nanostruktur ZnO dengan tingkat kristalinitas tinggi namun
tetap mampu mempertahankan integritas keteraturan susunan antara
individualnya. Hal ini ditujukan agar nanostruktur ZnO hasil sintesis langsung
dapat diaplikasikan pada prototipe yang berkaitan dengan absorpsi foton. Struktur
yang merupakan kombinasi ideal antara tingkat kristalinitas dan keteraturan yang
optimal diharapkan mampu meningkatkan performa material aplikasi DSSC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
28
Universitas Indonesia
2.8. Hipotesis Penelitian
Kontrol terhadap morfologi dan sifat-sifat optis serta elektrik nanostruktur
ZnO dimulai sejak awal proses persiapan. Untuk mendapatkan nanostruktur ZnO
dengan tingkat coverage yang baik di atas substrat, maka perlu dilakukan proses
deposisi larutan bibit di atas kaca ITO yang terlebih dahulu sudah dibersihkan.
Lapisan bibit ini juga akan berperan sebagai cetakan (template) yang akan
mencegah nanorods ZnO tumbuh melebar hingga mencapai ukuran sub mikron.
Studi literatur terdahulu telah menyatakan bahwa suhu dan waktu reaksi
sintesis memegang peranan penting dalam menentukan nanostruktur ZnO yang
dihasilkan. Karena itu, dilakukan proses investigasi terlebih dahulu untuk
mendapatkan suhu dan waktu sintesis optimum untuk mendapatkan nanostruktur
ZnO dengan ukuran yang sesuai. Pada penelitian ini, akan dilakukan modifikasi
pada penambahan pengaruh tekanan terhadap proses sintesis. Untuk
meningkatkan tingkat kristalinitas serta memperbaiki sifat optis nanostruktur
ZnO, dilakukan proses perlakuan pasca-sintesis melalui metode hidrotermal dan
anil termal. Dengan mengaplikasikan tekanan eksternal, diharapkan dapat memicu
pertumbuhan nanostruktur ZnO menjadi vertikal sempurna dalam waktu yang
lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat
menghindarkan adanya kemungkinan rusaknya struktur nanostruktur yang
disebabkan oleh lamanya waktu reaksi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
29
Universitas Indonesia
BAB III
Metode Penelitian
3.1. Tinjauan Umum
Secara keseluruhan, kegiatan penelitian yang dilakukan terbagi atas 3
bagian utama, yaitu:
a. Tahap 1 : Percobaan Pendahuluan
b. Tahap 2 : Optimasi Struktur
c. Tahap 3 : Fabrikasi Sel Surya
Gambaran umum penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian.
Pada Tahap 1, dilakukan percobaan pendahuluan dengan membandingkan
hasil-hasil penelitian yang didapat dari studi literatur. Nanostruktur ZnO disintesis
dengan menggunakan metode kimia basah, dengan teknik merupakan modifikasi
dari penelitian Lang dkk [22]. Pada metode ini, digunakan larutan bibit yang
dibuat pada suhu rendah (di bawah suhu kamar). Proses penumbuhan nanostruktur
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
30
Universitas Indonesia
dilakukan dengan metode chemical bath deposition (CBD) dan dilanjutkan
dengan perlakuan pasca-hidrotermal di dalam reaktor [46]. Parameter proses yang
menjadi kontrol reaksi adalah suhu, waktu serta konsentrasi basa pembentuk ZnO.
Tahap 2 dilakukan dengan menggunakan metode sintesis yang telah diuji
pada Tahap 1. Tahapan ini merupakan proses optimasi struktur, dengan target
utama berupa lapisan nanostruktur ZnO dengan coverage merata di atas susbtrat
kaca TCO. Pengembangan yang dilakukan dari tahap sebelumnya adalah
penempelan lapisan bibit ZnO yang dilakukan dengan metode spin-coating.
Lapisan ini selanjutnya akan ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD.
Selanjutnya, diinvestigasi pengaruh penambahan tekanan eksternal pada proses
pasca-hidrotermal terhadap nanostruktur ZnO yang telah dihasilkan. Sifat-sifat
fisik maupun optik lapisan nanostruktur ZnO menjadi perhatian dalam bagian ini.
Lapisan ZnO dengan hasil yang paling optimum akan digunakan dalam
Tahap 3, yaitu aplikasi nanostruktur ZnO untuk DSSC. Pada tahap ini, dilakukan
pengamatan terhadap parameter-parameter penting dalam sel surya (seperti fill
factor dan efisiensi) dengan sifat-sifat fisik dan optik yang telah didapat pada
tahap sebelumnya. Tahap 3 ini menghasilkan prototipe DSSC dengan
nanostruktur ZnO sebagai lapisan anoda.
Untuk setiap tahap penelitian. Dilakukan karakterisasi nanostruktur ZnO
hasil sintesis dengan menggunakan X-ray diffraction (XRD), scanning electron
microscopy (SEM), dan spektroskopi ultra violet–visible (UV-Vis). Pengujian
terhadap prototipe DSSC yang dihasilkan juga dilakukan dengan menggunakan
solar simulator. Rincian penelitian secara lengkap akan disampaikan pada Sub-
Sub Bab berikut.
3.2. Sintesis Nanostruktur ZnO
3.2.1. Pembuatan Lapisan Bibit ZnO
Lapisan bibit merupakan bagian yang sangat penting dalam sintesis
nanostruktur ZnO. Fungsi pembuatan lapisan bibit adalah untuk mencetak lapisan
ZnO yang akan ditumbuhkan agar memiliki struktur yang teratur dan tegak lurus
tanpa menggunakan bahan tambahan seperti polymer template atau surfaktan.
Bahan-bahan yang digunakan adalah kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO), seng
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
31
Universitas Indonesia
nitrat tetrahidrat (Zn(NO3)2.4H2O/Zn-nitrat, Merck), heksametilentetraamin
(C6H12N4/HMTA, Merck), aquades, etanol teknis, dan aseton teknis. Sebelum
digunakan, kaca ITO berukuran 2,5x2,5 cm terlebih dahulu dibersihkan dalam air,
aseton, dan etanol dengan ultrasonic cleaner selama 480 detik dalam masing-
masing cairan. Setelah itu, kaca ITO dikeringkan dengan hair dryer dan disimpan
dalam tempat kering yang tertutup untuk kemudian digunakan sebagai substrat.
Larutan bibit dibuat dengan menggunakan campuran ekimolar Zn-Nitrat dan
HMTA 0,05M pada suhu 0oC dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah itu, larutan
diteteskan di atas kaca ITO dan ditahan selama 5 menit agar dapat terserap pada
permukaan kaca. Untuk menghilangkan sisa larutan yang tidak terserap, dilakukan
proses spin coating dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 detik. Sampel-sampel
kaca ITO yang sudah dilapisi larutan bibit kemudian dipanaskan dalam muffle
furnace pada 200oC selama 10 menit. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3x untuk
melihat pengaruh ketebalan lapisan terhadap sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO.
3.2.2. Pertumbuhan Nanostruktur ZnO
Proses pertumbuhan nanostruktur dilakukan dengan metode CBD.
Nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggantung kaca ITO di dalam larutan
ekimolar Zn-nitrat dan HMTA 0,05 M pada suhu 90oC selama 3 jam. Skema
proses CBD dapat dilihat pada Gambar 3.2. Setelah itu, kaca ITO dicuci dengan
menggunakan aquades dan dikeringkan di udara.
Gambar 3.2. Skema proses CBD
3.2.3. Proses Pasca-Hidrotermal
Perlakuan pasca-hidrotermal dilakukan pada ZnO nanorods hasil sintesis
untuk meningkatkan derajat kristalinitas dan keteraturan arah pertumbuhan.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
32
Universitas Indonesia
Proses pasca-hidrotermal dilakukan dengan meletakkan sampel di atas air yang
dipanaskan hingga mendidih, dengan bagian kaca yang sudah ditumbuhi lapisan
ZnO diletakkan menghadap sisi dasar reaktor. Terdapat dua variasi proses yang
dilakukan dalam percobaan. Variasi pertama dilakukan dengan menggunakan
reaktor hidrotermal dalam muffle furnace pada suhu 150oC selama 3 jam pada
tekanan atmosfer. Untuk selanjutnya perlakuan pasca-hidrotermal ini disebut
dengan singkatan PHT-1. Skema dari reaktor hidrotermal tersebut dapat dilihat
pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150oC selama 3 jam pada
tekanan atmosfer (PHT-1)
Pada variasi proses pasca-hidrotermal kedua, digunakan reaktor tertutup
pada suhu 100oC selama 1 jam dalam tekanan gas nitrogen (N2) 1 bar. Perlakuan
pasca-hidrotermal ini selanjutnya disebut dengan singkatan PHT-2. Skema reaktor
pasca-hidrotermal pada variasi yang kedua ini dapat dilihat pada Gambar 3.4.
Untuk setiap varisi proses, sampel setelah perlakuan pasca-hidrotermal kemudian
dicuci dengan aquades, dikeringkan di udara, dan dikarakterisasi untuk
mengetahui sifat-sifat fisiknya.
Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100oC selama 1 jam pada
tekanan N2 1 bar (PHT-2)
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
33
Universitas Indonesia
3.3. Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC)
Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO hasil sintesis selanjutnya
digunakan sebagai anoda dalam sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC).
Sebelum digunakan sebagai anoda, kaca ITO terlebih dulu dicetak dengan luas
area 1x1 cm2 dan direndam dengan menggunakan pewarna / dye N-719 0,05 mM
(Solaronix) selama 2 jam dalam wadah tertutup. Lapisan ZnO diletakkan
menghadap ke atas untuk menghindari kerusakan lapisan akibat benturan dengan
dasar wadah perendam. Setelah itu, kaca ITO dibersihkan dengan menggunakan
aquades dan dikeringkan. Anoda ini selanjutnya disimpan dalam tempat gelap
yang tertutup hingga digunakan dalam perakitan DSSC.
Katoda untuk DSSC ini dibuat dengan menggunakan kaca ITO yang sudah
dilubangi pada 2 titik. Setelah kaca ITO dibersihkan, kemudian diaplikasikan
lapisan tipis pasta platinum/Pt (Sharif Solar) menggunakan kuas pada sisi yang
bersifat konduktif. Area yang dilapisi berukuran 1x1 cm2. Setelah itu, lapisan Pt
dikeringkan dalam muffle furnace dengan suhu 450oC selama 30 menit. Katoda ini
kemudian disimpan dalam tempat kering yang tertutup.
Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan elektrolit untuk DSSC. Pada
penelitian ini, elektrolit dibuat dengan menggunakan campuran 0,5 M KI dan 0,05
M I2 dalam etanol p.a. Elektrolit yang sudah dilarutkan kemudian disimpan dalam
botol kaca berwarna gelap hingga digunakan.
Proses fabrikasi DSSC dilakukan dengan menempelkan anoda dan katoda
menggunakan double tape. Proses dilanjutkan dengan meneteskan elektrolit
melalui lubang pada katoda yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah seluruh
ruang sel terisi oleh elektrolit, lubang ditutup dengan menggunakan selotip. DSSC
yang sudah difabrikasi kemudian siap untuk diuji.
3.4. Teknik Karakterisasi
3.4.1. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM merupakan teknik yang banyak digunakan untuk mendapatkan
pencitraan dari suatu sampel/spesimen. Analisis SEM menghasilkan data yang
berhubungan dengan ketebalan, topografi permukaan dan beberapa karakteristik
susunan lapisan tipis pada sel surya [50,51]. Pada penelitian ini, analisis dengan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
34
Universitas Indonesia
menggunakan SEM dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk,
ukuran, dan sebaran (coverage) nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Dari
pengamatan tersebut, akan diperoleh distribusi ukuran diameter nanostruktur yang
dihasilkan. Selain itu, didapat juga data ketebalan lapisan nanostruktur ZnO yang
digunakan di dalam perhitungan penentuan energi celah pita (Eg) dan indeks bias.
Pada penelitian ini, analisis morfologi dan ketebalan nanostruktur ZnO di
atas ITO dilakukan dengan menggunakan SEM JEOL JSM-6510LA di
Laboratorium Basic Science A, Institut Teknologi Bandung, serta menggunakan
FE-SEM FEI Inspect F50 di Centre for Materials Processing and Failure Analysis
(CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia.
Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengamatan dengan menggunakan SEM
JEOL JSM-6390A di Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2M LIPI), Serpong.
3.4.2. Analisis Atomic Force Microscopy (AFM)
AFM adalah teknik analisis yang dapat mengukur permukaan struktur
dengan resolusi dan akurasi tinggi. Pengujian ini dapat memberikan hasil yang
berupa susunan atom dalam sampel, atau melihat struktur dari molekul individual.
AFM bekerja dengan menggunakan scanning probe yang digerakkan di atas
sampel dan menghasilkan gambaran ketinggian atau topografi dari permukaan
yang disentuhnya [52,53].
Pada penelitian ini, dilakukan pengujian AFM untuk mendapatkan profil
permukaan lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat. Dari analisis tersebut,
didapatkan data mengenai kekasaran (roughness) permukaan, topografi, serta
perkiraan ketebalan rata-rata dari lapisan tersebut. Data yang didapat dari analisis
AFM selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil pengujian SEM. Proses
pengujian dilakukan menggunakan Bruker Innova di Centre for Materials
Processing and Failure Analysis (CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan
Material, Universitas Indonesia.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
35
Universitas Indonesia
3.4.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)
Analisis dengan menggunakan metode difraksi sinar-X merupakan teknik
konfirmasi fasa yang juga efektif untuk menentukan ukuran kristalit (crystallite
size) dan regangan kisi (lattice strain). Pada penelitian ini, digunakan 2 metode
untuk melakukan analisis data XRD, yaitu metode Scherrer dan Williamson-Hall.
Metode Scherrer menggunakan nilai full width half maximum (FWHM) sampel
untuk menentukan ukuran kristalit. Sedangkan metode Williamson-Hall (W-H)
merupakan teknik integral breadth yang disederhanakan dimana nilai ukuran
kristal dan pelebaran kisi ditentukan dengan menggunakan lebar puncak difraksi
sebagai fungsi 2θ.
Pengukuran difraktogram pada penelitian ini dilakukan dengan radiasi Cu
Kα, λ = 0,1504 nm, menggunakan Shimadzu X-Ray Diffractometer 7000 di
Laboratorium MIPA Terpadu, Universitas Isalm Negeri Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran difraktogram dengan
menggunakan Pan Analytical X-Pert Pro di Departemen Teknik Material dan
Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh November.
3.4.3.1. Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode Scherrer
Adanya pelebaran pada puncak difraksi membuktikan terjadinya proses
penghalusan butir yang mengakibatkan terjadinya regangan dalam sampel.
Pelebaran puncak yang disebabkan karena alat uji (instrumental broadening, βhkl
(instrumental)) dikoreksi dengan menggunakan persamaan:
(𝛽ℎ𝑘𝑙)2 = (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑚𝑒𝑎𝑠𝑢𝑟𝑒𝑑))
2− (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙))
2 (3.1)
𝛽ℎ𝑘𝑙 = √(𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑚𝑒𝑎𝑠𝑢𝑟𝑒𝑑))2
− (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙))2 (3.2)
dimana
βhkl = pelebaran puncak difraksi sampel
βhkl (measured) = pelebaran puncak difraksi terukur
βhkl (instrumental) = pelebaran puncak difraksi instrumen
Pada pengujian XRD, nilai yang didapat adalah βhkl (measured). Nilai ini masih
mengandung unsur βhkl (instrumental). Nilai βhkl bersesuaian dengan besaran full width
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
36
Universitas Indonesia
half maximum (FWHM) sampel yang didapat setelah proses fitting. Untuk
mendapatkan nilai βhkl, FWHM sampel harus dikurangi dengan nilai FWHM
instrumen, yang dapat direpresentasikan oleh besaran FWHM kristal sampel
sejenis yang dibuat dalam ukuran butir yang sangat besar (skala mikrometer).
Pada penelitian, hal ini dilakukan dengan menentukan FWHM kristal ZnO yang
dianil pada suhu 800oC selama 8 jam. Ukuran kristal ZnO rata-rata dihitung
dengan menggunakan Persamaan Debye-Scherrer [54]:
𝐷 =𝐾𝜆
𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 (3.3)
dimana
D = ukuran kristalit
K = faktor bentuk (0,89)
λ = panjang gelombang radiasi CuKα
θ = sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi
Pada senyawa polikristalin, analisis XRD akan memberikan lebih dari satu
puncak difraksi. Nilai ukuran kristalit dapat ditentukan dengan membuat plot
kurva βhkl cosθ terhadap sinθ, dimana D dapat dihitung sebagai titik potong
terhadap sumbu-y pada kurva. Plot kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Sedangkan regangan rata-rata pada sampel dinyatakan dalam persamaan [55] :
𝜀 =𝑐−𝑐0
𝑐0𝑥100% (3.4)
dimana ε adalah regangan rata-rata sampel, c adalah konstanta kisi sampel, dan c0
adalah konstanta kisi sampel ruah. Untuk ZnO, nilai c0 adalah sebesar 0,52 nm.
Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ (Metode Scherrer) [56]
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
37
Universitas Indonesia
3.4.3.2. Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi Kristal dengan Metode
Williamson-Hall (W-H)
Regangan kisi pada sampel yang disebabkan karena ketidaksempurnaan dan
distorsi kristal dapat dihitung dengan persamaan [57,58]:
𝜀 =𝛽ℎ𝑘𝑙
4 tan 𝜃 (3.5)
dimana ε adalah regangan kisi, βhkl adalah pelebaran puncak difraksi, dan θ adalah
sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi. Berdasarkan Persamaan 3.3 dan
Persamaan 3.5, dapat disimpulkan bahwa lebar puncak kristal bervariasi sebanyak
1/cosθ regangan untuk setiap perubahan tanθ. Dengan asumsi ukuran partikel
serta kontribusi regangan terhadap pelebaran adalah tidak saling bergantung,
maka luas daerah di bawah kurva dapat dinyatakan sebagai resultan dari
Persamaan 3.3 dan Persamaan 3.5, yaitu [57,58]:
𝛽ℎ𝑘𝑙 =𝐾𝜆
𝐷 cos 𝜃+ 4𝜀 tan 𝜃 (3.6)
𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆
𝐷+ 4𝜀 sin 𝜃 (3.7)
Persamaan 3.7 merupakan Persamaan Williamson-Hall (W-H) [57,58].
Dengan membuat plot βhkl cosθ sebagai sumbu y terhadap 4sinθ pada sumbu-x,
maka ukuran kristalit sampel (D) dapat ditentukan sebagai titik potong pada
sumbu-y. Sedangkan gradien kurva merupakan regangan kisi (ε).
Regangan pada kristal yang berhubungan dengan deformasi kisi dapat
ditentukan dengn menggunakan modifikasi metode W-H, yaitu Uniform
Deformation Model (UDM). Pada Metode UDM, kristal dianggap berada dalam
kondisi isotropik. Jenis modifikasi Metode W-H yang lain adalah Uniform
Deformation Stress Model (UDSM) dan Uniform Deformation Energy Density
Model (UDEDM). Kedua metode ini mempertimbangkan kristal berada dalam
keadaan anisotropik, dimana regangan yang berasal dari kondisi anisotropik
kristal dibandingkan dengan regangan yang berasal dari interplanar spacing.
Metode UDSM menghasilkan hubungan antara tegangan-regangan, sedangkan
Metode UDEDM menghasilkan fungsi kerapatan energi (energy density, u).
Gambar 3.6 merepresentasikan persamaan Model UDM, dimana regangan
diasumsikan seragam ada seluruh arah kristal. Dengan demikian sifat-sifat
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
38
Universitas Indonesia
material dianggap tidak tergantung pada arah pengukuran saat pengujian
dilakukan [57].
Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada Metode UDM [57]
Pada metode UDSM dan UDEDM, kristal diasumsikan berada pada kondisi
anisotropik dengan melibatkan modulus elastisitas (Modulus Young). Hukum
Hooke menyatakan hubungan linier antara tegangan dan regangan sebagai
[57,58]:
σ = E (3.8)
dimana σ adalah tegangan (MPa) dan E adalah regangan (%). Pada Persamaan 3.8,
tegangan dianggap proporsional terhadap regangan, dengan modulus Young
sebagai tetapan proporsionalitas. Dengan demikian, Persamaan 3.7 dimodifikasi
menjadi [57,58]:
𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆
𝐷+ 4 sin 𝜃 𝜎
𝐸ℎ𝑘𝑙⁄ (3.9)
dimana Ehkl adalah modulus Young yang arahnya tegak lurus terhadap bidang kisi
kristal (hkl). Nilai tegangan dapat dihitung dari gradien kurva βhkl cosθ terhadap
4sinθ/Ehkl, seperti terlihat pada Gambar 3.7. Nilai regangan dapat ditentukan jika
besaran Ehkl untuk material uji diketahui. Sebagai contoh, untuk ZnO dengan fasa
kristal heksagonal, Ehkl berkaitan dengan aturan elastisitas Sij dalam persamaan
[57,58]:
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
39
Universitas Indonesia
𝐸ℎ𝑘𝑙 =[ℎ2+(
(ℎ+2𝑘)2
3)+(
𝑎𝑙
𝑐)
2]
2
𝑆11[ℎ2+(ℎ+2𝑘)2
3+𝑆33(
𝑎𝑙
𝑐)
4+(2𝑆33+𝑆44)(
ℎ2+(ℎ+2𝑘)2
3(𝑎𝑙𝑐⁄ )
2 )]
(3.10)
dimana S11, S13, S33, S44 memiliki nilai 7,858x10-12; 2,206x10-12; 6,940x10-12, serta
23,57x10-12 m2N-1 [57].
Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada Metode UDSM [57]
Pada Persamaan 3.7, kristal dianggap berada dalam kondisi isotropik dan
homogen. Akan tetapi, dalam kondisi sesungguhnya, hal ini sangat sulit untuk
dicapai. Selain itu, konstanta proporsionalitas yang berhubungan dengan
tegangan-regangan tidak bersifat independen apabila kerapatan energi regangan
(strain energy density, u) dipertimbangkan. Menurut Hukum Hooke, u adalah
fungsi regangan yang dinyatakan dengan persamaan [57,58]:
𝑢 =𝜎2
𝐸ℎ𝑘𝑙 (3.11)
dimana u adalah kerapatan energi (energi per unit volume). Dengan demikian,
Persamaan 3.9 dapat dimodifikasi menjadi [57,58]:
𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆
𝐷+ 4 sin 𝜃 (2𝑢
𝐸ℎ𝑘𝑙⁄ )
1/2
(3.12)
Persamaan 3.12 merupakan persamaan untuk metode UDEDM. Nilai u dapat
ditentukan dari gradien pada plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ (2/Ehkl)1/2[57],
seperti terlihat pada Gambar 3.8. Regangan kisi dapat dihitung dengan
menyelesaikan Persamaan 3.10.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
40
Universitas Indonesia
Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl)
1/2 (Metode UDEDM) [57]
Persamaan 3.9 dan Persamaan 3.12 memberikan definisi mengenai tegangan
deformasi (σ) yang berhubungan dengan kerapatan energi deformasi (u) melalui
pendekatan yang berbeda. Hubungan antara σ dan u dinyatakan sebagai :
𝑢 =𝛿2
𝐸ℎ𝑘𝑙 (3.13)
Persamaan 3.9 yang merepresentasikan Metode UDSM berdasarkan pada
Persamaaan 3.5 yang mengasumsikan bahwa tegangan deformasi mempunyai
nilai yang sama pada seluruh arah pertumbuhan kristal. Hal ini mengakibatkan
nilai u menjadi anisotropik. Sedangkan, Persamaan 3.12 dalam Metode UDEDM
mengasumsikan bahwa energi deformasi adalah sama pada seluruh arah
pertumbuhan kristal. Sehingga, nilai tegangan σ menjadi anisotropik. Dengan
demikian, kedua metode ini dapat menghasilkan nilai regangan kisi dan ukuran
kristalit yang berbeda [57].
3.4.4. Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis) dengan Mode
Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS)
Diffuse Reflection Spectroscopy (DRS) adalah metode spektroskopi yang
berbasis pada pemantulan (refleksi) cahaya pada daerah ultra violet (UV), cahaya
tampak (visible), maupun near infra-red (NIR). Dalam spektrum DRS,
perbandingan cahaya yang dihamburkan oleh lapisan dengan ketebalan tertentu
dan oleh standar/pembanding (reference) diukur sebagai fungsi panjang
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
41
Universitas Indonesia
gelombang. Penyinaran sampel oleh radiasi cahaya pada sudut datang tertentu
mengakibatkan terjadinya pembauran cahaya oleh sampel. Cahaya yang mengenai
sampel sebagian diserap, dan sebagian dihamburkan. Hamburan cahaya tersebut
dikumpulkan dalam integration sphere dan dikarakterisasi dalam detektor. Dalam
material absorben, pancaran cahaya diserap berdasarkan Hukum Absorpsi
Lambert, yaitu [59]:
𝐼 = 𝐼0𝑒−𝐾𝑇𝑥 (3.14)
dimana
I = pancaran cahaya yang ditransmisikan
I0 = pancaran sinar datang
x = ketebalan lapisan medium absorpsi
KT = koefisien absorpsi (atau koefisien pemadaman, extinction
coefficient) yang diukur dari data transmisi
Apabila ukuran partikel sama dengan atau lebih kecil dari panjang
gelombang cahaya, maka kontribusi dari pemantulan, pembiasan dan penguraian
terhadap intensitas dan distribusi cahaya dari sinar yang ditiadakan menjadi tidak
mungkin untuk dipisahkan. Hal ini disebut sebagai peristiwa penghamburan
cahaya (scattering). Semakin kecil jarak antar partikel, maka proses hamburan
tunggal (single scattering) akan berubah menjadi multiple scattering [59].
Pada penelitian ini, pengkuran sifat-sifat optik dilakukan dengan
spektrofotomer UV-Vis Shimadzu 2450 dalam mode DRS. Pengujian tersebut
dilakukan di Departemen Kimia, Universitas Indonesia.
3.4.4.1. Penentuan Energi Celah Pita (Band gap energy, Eg)
a. Persamaan Tauc
Dengan menggunakan data reflektansi (R) dan transmitansi (T), nilai
koefisien absorbansi (α) dapat ditentukan melalui persamaan [28]:
𝛼 =1
𝑑ln (
(1−𝑅2)
2𝑇+ √
(1−𝑅)4
4𝑇2+ 𝑅2) (3.19)
dimana d adalah ketebalan lapisan semikonduktor di atas substrat. Dengan
menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai α dapat digunakan untuk menentukan Eg
melalui persamaan [60]:
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
42
Universitas Indonesia
(𝛼ℎ𝜐)1
𝑛⁄ = 𝐵(ℎ𝜐 − 𝐸𝑔) (3.20)
dimana h adalah Konstanta Planck (6,6261 x 10-34 m2.kg/s). Nilai hυ merupakan
energi foton yang besarnya ditentukan dengan persamaan [60]:
ℎ𝑣 = ℎ𝑐
𝜆 (3.21)
dimana c adalah kecepatan cahaya (3.108 m/s) dan λ adalah panjang gelombang.
Nilai Eg merupakan titik potong sumbu x pada bagian linier dari kurva (αhυ)2
terhadap (hυ), seperti diilustrasikan pada Gambar 3.9.
Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg [56]
Pada umumnya, nilai Eg akan mengalami kenaikan dengan menurunnya
ukuran kristalit [39]. Penurunan nilai Eg ini bersesuaian dengan terjadinya
pergeseran pada daerah linier kurva ke arah panjang gelombang yang lebih besar,
atau disebut dengan red shift.
Dengan menggunakan data reflektans, nilai indeks bias material dapat
ditentukan melalui persamaan [39]:
𝑛 = (1+𝑅
1−𝑅) + √
4𝑅
(1−𝑅)2− 𝑘2 (3.22)
dengan k adalah nilai extinction coefficient yang besarnya dapat ditentukan
dengan Persamaan Fresnel [28]:
𝑘 =𝛼𝜆
4𝜋 (3.23)
Nilai indeks bias dipengaruhi oleh proses pelapisan [34] dan juga kerapatan
film material semikonduktor tersebut [39]. Semakin tinggi tingkat kerapatan,
maka indeks bias akan semakin besar.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
43
Universitas Indonesia
b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS)
Pada semikonduktor semikristalin, hubungan antara koefisien absorpsi
dengan enegi foton dinyatakan dalam persamaan [61,62]:
𝛼(𝑣)ℎ𝑣 = 𝐵(ℎ𝑣 − 𝐸𝑔)𝑚
(3.24)
dimana Eg, B, dan hυ adalah energi celah pita, konstanta optis, dan energi foton. m
merupakan indeks yang bergantung pada sifat semikonduktor, dengan nilai
berbeda-beda yaitu 1/2, 3/2, 2, dan 3. α(v) adalah koefisien absorpsi yang
dinyatakan dengan Persamaan Beer-Lambert berikut [61]:
𝛼(𝑣) =2,303 𝑥 𝐴𝑏𝑠(𝜆)
𝑑 (3.25)
Persamaan absorption spectrum fitting (AFS) diturunkan dengan asumsi bahwa α
adalah fungsi panjang gelombang (λ), maka Persamaan 3.24 dapat ditulis menjadi
[61,62]:
𝛼(𝜆) = 𝐵(ℎ𝑐)𝑚−1𝜆 (1
𝜆−
1
𝜆𝑔)
𝑚
(3.26)
dimana λg adalah panjang gelombang yang berhubungan dengan energi celah pita,
h adalah Konstanta Planck, dan c adalah kecepatan cahaya. Jika asumsi yang sama
digunakan pada Persamaan 3.25, maka persamaan tersebut dapat ditulis ulang
menjadi [61]:
𝐴 (𝜆) = 𝐵1𝜆 (1
𝜆−
1
𝜆𝑔)
𝑚
+ 𝐵2 (3.27)
dengan 𝐵1 = [𝐵(ℎ𝑐)𝑚−1𝑥 𝑑2,303⁄ ] dan B2 adalah konstanta yang berhubungan
dengn refleksi. Dengan menggunakan Persamaan 3.27, energi celah pita (Eg)
dapat ditentukan melalui metode ASF tanpa mengukur ketebalan lapisan. Nilai Eg
ditentukan dengan melakukan ekstrapolasi linier (𝐴𝑏𝑠(𝜆)
𝜆)
1/𝑚
terhadap 1
𝜆. Pada saat
(𝐴𝑏𝑠(𝜆)
𝜆)
1/𝑚
= 0, didapat nilai λg yang akan digunakan untuk menentukan Eg
dengan persamaan [61]:
𝐸𝑔𝐴𝑆𝐹 = 1239,83
𝜆𝑔⁄ (3.28)
Relasi antara koefisien absorpsi dan energi foton dapat ditentukan dengan
menggunakan Aturan Urbach yaitu [61,62]:
𝛼(𝑣) = 𝛼0𝑒𝑥𝑝(ℎ𝑣
𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙⁄ )
(3.29)
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
44
Universitas Indonesia
dimana α0 adalah konstanta dan Etail adalah Energi Urbach. Energi ini
berhubungan dengan transisi optik antara kondisi terlokalisasi pada pita valensi
yang berdekatan dengan pita konduksi. Pada metode ASF, berlaku hubungan [61]:
𝐴𝑏𝑠(𝜆) = 𝐷3𝑒𝑥𝑝(ℎ𝑐
𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙⁄ 𝜆)
(3.30)
dimana 𝐷3 = (𝛼0𝑑
2,303⁄ ). Nilai Etail dapat ditentukan dari gradien daerah linier
pada kurva ln A terhadap 1/λ, dengan persamaan [61]:
𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙𝐴𝑆𝐹 = 1239,83
𝑔𝑟𝑎𝑑𝑖𝑒𝑛⁄ (3.31)
3.4.5. Efisiensi Sel Surya
Sel surya tipikal memiliki karakteristik seperti dioda. Pada divais tersebut,
arus yang berlaku pada saat sebelum terjadi penyinaran dinyatakan dengan
persamaan [33]:
𝐼 = 𝐼0𝑒𝑥𝑝(
𝑉𝐴𝑉𝑇
⁄ )−1 (3.32)
dimana I adalah arus yang terjadi pada tegangan tertentu (applied voltage, VA), VT
adalah konstanta voltase termal, dan I0 adalah arus jenuh dioda (diode saturation
current). Ketika divais mengalami penyinaran, terjadi absorpsi cahaya yang
menghasilkan efek PV [33]. Pada kondisi tersebut, Persamaan 3.32 berubah
menjadi [33]:
𝐼 = 𝐼0 (𝑒𝑥𝑝(
𝑉𝐴𝑉𝑇
⁄ )) − 𝐼𝐿 (3.33)
dimana IL adalah besar arus yang terjadi pada divais dalam kondisi
penyinaran.Secara umum, total arus menjadi tidak sama dengan nol pada saat
tidak terjadi tegangan dalam divais (dikarenakan adanya faktor IL) .
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
45
Universitas Indonesia
Gambar 3.10. Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5 dalam
kondisi gelap dan terang [1]
Ketika sel diradiasi dengan simulasi cahaya matahari (AM 1,5), efisiensi
konversi energi cahaya matahari menjadi listrik (η) dapat dihitung dari nilai short-
circuit current density (Jsc), open-circuit voltage (Voc), fill factor (FF), dan
intensitas cahaya datang (Pin) [1]. Pada Gambar 3.10, nilai Vm dan Jm adalah
tegangan dan arus maksimum divais. Sedangkan nilai Pm adalah daya maksimum
divais, yang merupakan hasil perkalian dari Vm dan Jm. Kurva J-V untuk sel surya
yang baik memiliki bentuk menyerupai persegi panjang. Nilai fill factor (FF)
harus mendekati 1, dan dinyatakan dengan rumus [63,11]:
𝐹𝐹 =𝑉𝑀∙𝐽𝑀
𝑉𝑂𝐶∙𝐽𝑆𝐶 (3.34)
Efisiensi sel surya selanjutnya dapat dinyatakan sebagai [11,64]:
𝜂 =𝑃𝑚𝑎𝑥
𝑃𝑖𝑛=
𝑉𝑂𝐶∙𝐽𝑆𝐶∙𝐹𝐹
𝑃𝑖𝑛 (3.35)
Pengukuran efisiensi DSSC dilakukan menggunakan Sun Simulator Oriel
dengan software National Instrument SMU-NI-PXI-430 di Pusat Penelitian
Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Penelitian Indonesia (PPET-LIPI),
Bandung. Pada saat pengujian, digunakan filter standar AM 1,5 G, dengan
intesitas cahaya 500 W/m2 dan suhu 27oC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
46
Universitas Indonesia
BAB IV
Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Deposition
Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal
4.1. Pendahuluan
Seperti telah disampaikan pada Bab 1 terdahulu, kondisi morfologi lapisan
semikonduktor nanostruktur ZnO memiliki peran yang penting dalam penyerapan
cahaya. Karena itu, penelitian mengenai sintesis nanostruktur ZnO merupakan
topik yang masih sangat marak dilakukan. Metode sintesis kimia basah dengan
teknik chemical bath deposition (CBD) merupakan salah satu pilihan yang sangat
umum dilakukan karena kemudahan proses, biaya yang relatif murah, serta
peralatan yang cukup sederhana. Namun demikian, teknik CBD umumnya belum
mampu menghasilkan nanostruktur ZnO dengan struktur vertikal sempurna.
Proses sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu ruang hingga kini
masih sedikit diaplikasikan. Penelitian terdahulu [22] telah menyatakan bahwa
penggunaan suhu rendah ini diketahui telah memberikan efek kontrol pada ukuran
nanorods. Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan pada sintesis
diharapkan dapat memiliki ukuran yang cukup kecil, seragam, dengan lapisan
yang cukup homogen walaupun tanpa menggunakan lapisan bibit sebelum proses
pertumbuhan.
Pada bab ini, akan dijelaskan mengenai proses sintesis nanorods ZnO
dengan menggunakan teknik CBD. Parameter-parameter proses yang menjadi
perhatian adalah basa pembentuk, suhu, serta waktu reaksi. Pengaruh dari ketiga
parameter proses tersebut terhadap diameter nanorods, kristalinitas, ukuran
kristalit, profil absorbansi, serta energi celah pita nanorods hasil sintesis akan
diinvestigasi.
4.2. Tujuan Penelitian
Bab ini bertujuan untuk menjelaskan proses sintesis nanorods ZnO yang
dilakukan melalui metode CBD. Proses sintesis dilakukan dengan metode yang
dikembangkan oleh Lang dkk [22] dan Adriyanto dkk [21], yang dimodifikasi
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
47
Universitas Indonesia
sesuai dengan langkah-langkah pada Bab 3 terdahulu. Pengukuran terhadap
morfologi, arah pertumbuhan dan ukuran merupakan titik awal analisis nanorods
ZnO. Difraktogram merupakan parameter yang akan ditelaah dan digunakan
untuk menganalisis tingkat kristalinitas serta ukuran kristalit nanorods. Kemudian,
profil absorbansi dan energi celah pita menjadi parameter penting dari sifat optis
nanorods ZnO yang akan berhubungan langsung dengan aplikasinya dalam sel
surya. Investigasi nanorods dengan menggunakan berbagai variasi tersebut
diharapkan akan menghasilkan kondisi optimum sintesis ZnO dengan struktur
vertikal dan coverage yang luas.
Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Mengamati pengaruh penambahan basa sebagai salah satu unsur pembentuk
nanorods ZnO dengan variabel konsentrasi Zn2+ konstan,
b. Mengamati pengaruh variasi penggunaan suhu reaksi terhadap struktur ZnO
hasil sintesis,
c. Menelaah pengaruh variasi waktu reaksi terhadap nanorods ZnO hasil
sintesis
4.3. Hasil dan Pembahasan
4.3.1. Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur Nanorods ZnO
Hasil pengamatan dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 4.1., dimana
hampir seluruh sampel pada penelitian ini menghasilkan nanorods ZnO tumbuh
dengan diameter 160–240 nm. Namun, terdapat hal yang menarik, yaitu pada
variasi waktu tahan 6 jam dengan penambahan NaOH 0,1 M (Gambar 4.1.a)
menghasilkan bentuk nanoflowers berdiameter jauh lebih besar (~440 nm).
Bentuk nanoflowers ini bersesuaian dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya
[21,35,65], yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ZnO menjadi suatu struktur
dengan bentuk tertentu seperti nanorods dimulai dengan nukleasi yang
menghasilkan molekul prekursor dengan kation Zn2+. Dengan penambahan basa,
Zn2+ akan membentuk Zn(OH)2 dan ZnO22- yang akan berubah menjadi ZnO
seiring dengan adanya pemanasan. Dalam penelitian ini, basa yang ditambahkan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
48
Universitas Indonesia
berasal dari dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan amonia (NH3)
dengan reaksi sebagai berikut [30]:
C6H12N4 + 6H2O ↔ 6HCHO + 4NH3 (4.1)
NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH- (4.2)
HMTA merupakan nonionic cyclic tertiary amine yang dapat berfungsi sebagai
basa Lewis dengan ion logam sebagai atom pusat dan gugus organik sebagai ligan
bidentate yang dapat menjembatani dua ion Zn2+ dalam larutan. HMTA akan
terhidrolisis menjadi formaldehid dan amonia, seperti terlihat pada Reaksi 4.1 dan
Reaksi 4.2 [66]. Gugus OH- yang dihasilkan dari Reaksi 4.2 merupakan basa
utama dalam pembentukan ZnO sehingga tanpa penambahan NaOH pun ZnO
dapat terbentuk dalam reaksi. Adapun mekanisme reaksi pembentukan ZnO
dinyatakan sebagai berikut [30,65] :
Zn2+ + 4OH- ↔ ZnO22- + 2H2O (4.3)
Zn2+ + 2OH- ↔ Zn(OH)2 ↔ ZnO + H2O (4.4)
Zn(OH)2 + 2OH- ↔ ZnO22- + 2H2O (4.5)
ZnO22- + H2O ↔ ZnO + 2OH- (4.6)
Selanjutnya presipitat/nuklei ZnO yang terdapat dalam larutan kemudian
akan tumbuh menjadi kristal dengan ukuran lebih besar melalui proses kristalisasi.
Penambahan secara signifikan gugus OH- yang terlibat pada Reaksi 4.3 diperoleh
dengan adanya penambahan NaOH. Dalam hal ini, maka sejalan dengan
bertambahnya waktu reaksi, molekul prekursor Zn2+ bereaksi dan terkonsumsi
hingga habis, menghasilkan populasi nuklei ZnO yang lebih banyak [30]. Di sisi
lain, kehadiran suplai nuklei yang lebih banyak tersebut menghasilkan kompetisi
pertumbuhan nanorods pada sumbu vertikal sehingga mengakibatkan diameter
individual masing-masing nanorods akan menjadi lebih kecil. Hal ini dapat dilihat
jelas pada hasil penelitian ini, di mana dengan semakin lamanya waktu reaksi
(yaitu 24 jam) maka didapatkan struktur nanorods ZnO yang tumbuh semakin
rapat di atas substrat, dengan diameter rata-rata ~165 nm (Gambar 4.1.b). Hal
yang hampir serupa juga diperlihatkan pada nanorods ZnO hasil sintesis CBD
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
49
Universitas Indonesia
tanpa penambahan NaOH, dimana peningkatan waktu tahan pembibitan dari 6
jam menjadi 24 jam mengecilkan diameter rata-rata nanorods ZnO dari ~240 nm
(Gambar 4.1.c.) menjadi ~210 nm (Gambar 4.1.d.). Namun untuk kedua sampel
terakhir ini, nanorods ZnO yang dihasilkan memberikan tingkat sebaran yang
sangat seragam dan coverage yang sempurna pada permukaan substrat.
Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada temperatur
pemanasan 90oC dengan variasi : a) waktu tahan 6 jam, dengan penambahan
NaOH; b). waktu tahan 24 jam, dengan penambahan NaOH; c). waktu tahan 6
jam, tanpa penambahan NaOH; d). waktu tahan 24 jam, tanpa penambahan
NaOH.
Perbedaan pertumbuhan antara Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b dapat
dikaitkan dengan lebih lamanya waktu tahan pembibitan yang memungkinkan
NaOH memberikan kontribusi lebih besar di dalam reaksi hidrolisis. Vernardou
dkk [67] menyatakan bahwa efek morfologi ZnO yang tumbuh di atas substrat
dalam sistem aqueous chemical growth sangat dipengaruhi oleh pH larutan.
Kenaikan pH dapat merubah struktur, dimana pada pH yang lebih tinggi, ZnO
akan membentuk struktur nanoflower, sedangkan pada pH yang lebih rendah,
ZnO akan cenderung stabil dalam bentuk nanorods. Di samping itu, suplai NaOH
yang lebih banyak sebagai agen pereaksi pembentuk ZnO dari ion prekursor Zn2+
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
50
Universitas Indonesia
memberikan efek terhadap coverage pertumbuhan nanorods ZnO di atas substrat.
Dengan membandingkan Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.c, serta Gambar 4.1.b dan
Gambar 4.1.d, dapat dilihat perbedaan di antara nanorods ZnO sebagai hasil
proses CBD dengan dan tanpa penambahan NaOH. Pada sampel tanpa
penambahan NaOH (Gambar 4.1.c dan Gambar 4.1.d), tingkat coverage nanorods
ZnO di atas permukaan substrat lebih rapat dibandingkan dengan NaOH, seperti
terlihat pada Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b. Hal ini sangat dimungkinkan karena
tanpa penambahan NaOH, Reaksi 4.3 hingga Reaksi 4.4 telah berlangsung dengan
gugus OH- hasil dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan ammonia
(NH3). Dengan suplai yang relatif terbatas, maka setiap bibit nuklei ZnO harus
tumbuh dalam keterbatasan, menjadikan nanorods ZnO pada Sampel 4.1.c dan
Sampel 4.1.d tumbuh secara individual dan rapat pada sumbu-z tegak lurus
permukaan substrat, dan bukan pertumbuhan ke arah sumbu-x dan sumbu-y
sebagaimana ditunjukkan jelas oleh struktur nanoflowers pada Gambar 4.1.a dan
Gambar 4.1.b.
4.3.2. Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO
Proses pertumbuhan kristal ZnO dalam sampel sangat bergantung pada suhu
pertumbuhan, seperti terlihat pada Gambar 4.2. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa kenaikan suhu reaksi dapat mempengaruhi morfologi ZnO yang dihasilkan
dalam proses sintesis [15,24].
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
51
Universitas Indonesia
Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu
pertumbuhan pada a). 75oC, b). 90oC, dan c). 120oC.
Gambar 4.2.a menunjukkan morfologi kristal ZnO yang ditumbuhkan
dengan temperatur 75oC. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kristal ZnO belum
tumbuh sempurna, karena temperatur yang digunakan masih terlalu rendah untuk
dapat menghasilkan stuktur batang ZnO. Hal ini diperkirakan terjadi karena tidak
tersedianya energi yang cukup untuk tumbuh sempurna dalam waktu 5 jam. ZnO
yang terbentuk masih berupa lempengan tipis, dengan beberapa bagian
membentuk pola heksagonal yang kemungkinan merupakan dasar bagi
terbentuknya struktur batang ZnO. Diameter rata-rata ZnO yang terbentuk adalah
0,92 µm. Pada Gambar 4.2.b, dengan suhu pertumbuhan 90oC terlihat struktur
batang ZnO telah tumbuh sempurna, dalam waktu pertumbuhan selama 5 jam.
Dengan variasi suhu tersebut didapat juga struktur seperti jarum yang terbentuk di
antara struktur batang ZnO dengan diameter rata-rata sebesar 1,24 µm, sedangkan
jika digunakan suhu pertumbuhan di atas 90oC, maka akan didapat ZnO dengan
berbagai macam bentuk. Zhang dkk [35] menyebutkan bahwa kenaikan suhu
menyebabkan laju nukleasi ZnO melambat dan pertumbuhan Zn(OH)2 yang
merupakan senyawa antara pembentukan ZnO meningkat. Pertumbuhan nukleat
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
52
Universitas Indonesia
ZnO yang melambat mengakibatkan berkurangnya ZnO yang tumbuh melebar
dan memicu pertumbuhan ke arah vertikal sehingga membentuk struktur batang.
Gambar 4.2.c memperlihatkan bahwa pada temperatur 120oC didapat ZnO
dengan struktur batang, tube, bunga, dan jarum. Diameter ZnO tube yang terukur
adalah sebesar 2,26 µm. Kenaikan diameter ZnO yang terbentuk pada suhu yang
makin tinggi ini bersesuaian dengan penelitian Meen dkk [68]. Pada temperatur
yang lebih tinggi, jumlah, titik aktifasi pertumbuhan ZnO mengalami peningkatan
[35]. Hal ini terlihat dari makin banyaknya struktur jarum yang terbentuk dengan
formasi menyerupai bunga (flower-like). Tingginya temperatur reaksi
mengakibatkan terjadi kerusakan pada struktur batang sempurna, yang ditandai
dengan lepasnya bagian atas dari struktur sehingga terjadi perubahan bentuk
menjadi tube (Gambar 4.2.c).
4.3.3. Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Ukuran Kristalit
Nanorods ZnO
Berdasarkan hasil penelitian pada Sub Bab 4.3.1 dan Sub Bab 4.3.2,
dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek proses pasca-hidrotermal terhadap
ukuran kristalit nanorods ZnO. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO
sebelum dan sesudah proses hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.3. Pada
gambar tersebut, nanorods ZnO terbukti memiliki struktur batang heksagonal
dengan diameter 400–800 nm dan tumbuh dengan arah vertikal yang baik di atas
substrat kaca ITO. Sampel nanorods dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada
suhu 100oC terlihat mengalami kenaikan ukuran diameter yang cukup signifikan
dengan makin lamanya waktu reaksi (Gambar 4.3.b, Gambar 4.3.c, dan Tabel 4.1).
Sementara, nanorods ZnO dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC
mengalami penurunan ukuran diameter pada waktu reaksi 3 jam (Gambar 4.3.d,
dan Tabel 4.1). Namun demikian, densitas nanorods ZnO pada variasi ini
merupakan yang tertinggi, jika dibandingkan dengan sampel-sampel nanorods
ZnO pada variasi perlakuan yang lain. Pada suhu ini, diduga terjadi pemisahan
batang-batang nanorods yang tumbuh bersama pada proses sintesis. Sehingga,
nanorods tumbuh secara individual dan tampak memiliki ukuran yang lebih kecil.
Nanorods ZnO dengan diameter terbesar didapat pada proses pasca-hidrotermal
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
53
Universitas Indonesia
dengan suhu 150oC selama 12 jam (Gambar. 4.3.e, Tabel 4.1). Setelah waktu
reaksi 12 jam, terlihat beberapa stuktur nanorods ZnO mengalami kerusakan.
Gambar 4.3.e menunjukkan adanya bintik-bintik kecil di bagian atas struktur
nanorods.
Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan
pasca-hidrotermal.
As-synthesized
Setelah perlakuan pasca-hidrotermal
100oC 150oC
3 jam 12 jam 3 jam 12 jam
Diameter rata-rata [nm] 456,19 597,94 608,25 442,86 817,96
Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO (a) as-
synthesized; setelah proses pasca-hidrotermal pada 100oC selama (b) 3 jam, dan
(c) 12 jam; setelah proses pasca-hidrotermal pada 150oC selama (d) 3 jam, dan (e)
12 jam.
Pola difraksi sinar-X dari nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan
pasca-hidrotermal ditunjukkan oleh Gambar 4.4. Seluruh puncak difraksi yang
muncul dapat diidentifikasi sebagai puncak ZnO heksagonal wurtzite, sesuai
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
54
Universitas Indonesia
dengan JCPDS No. 36-1451 [35,44]. Walaupun puncak (100) dan (101) terlihat
memiliki intensitas yang cukup tinggi, puncak (002) merupakan yang paling
dominan. Intensitas puncak (002) paling kuat diperoleh pada nanorods ZnO as-
deposited (Gambar 4.4.a) dan setelah proses pasca-hidrotermal pada suhu 150oC
selama 12 jam (Gambar 4.4.e). Nilai intensitas puncak (002) yang tinggi ini
membuktikan bahwa nanorods ZnO tumbuh searah sumbu-z. Hal inilah yang
mengakibatkan terbentuknya struktur yang tegak lurus di atas substrat kaca ITO,
seperti terlihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah
perlakuan pasca-hidrotermal pada 100oC selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah
perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam.
Difraktogram sinar-X pada Gambar 4.4. menunjukkan bahwa proses pasca-
hidrothermal efektif untuk menaikkan kristalinitas jika dilakukan dalam waktu
yang lebih lama (12 jam). Dengan menggunakan kedua variasi suhu, terlihat
bahwa pada waktu reaksi 12 jam (Gambar 4.4.c dan Gambar 4.4.e), puncak (002)
memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu reaksi 3 jam
(Gambar 4.4.b dan Gambar 4.4.d). Puncak intensitas yang lebih rendah
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
55
Universitas Indonesia
berkorelasi dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah pula.
Dengan menggunakan persamaan Scherrer [54], diketahui bahwa ukuran
kristalit nanorods ZnO mengalami kenaikan dengan makin lamanya waktu reaksi,
seperti terlihat pada Tabel 4.2. Perlakuan pasca-hidrotermal pada suhu 150oC
terbukti memberikan kontrol yang lebih baik dikarenakan kenaikan ukuran
kristalit tidak menunjukkan lonjakan tajam pada saat waktu reaksi dinaikkan dari
3 jam (258,65 nm) menjadi 12 jam (269,40 nm). Hal sebaliknya terjadi dalam
proses pasca-hidrotermal pada suhu 100oC, dimana penambahan waktu reaksi
dari 3 hingga 12 jam mengakibatkan pembesaran ukuran kristalit hampir 2x lipat,
yaitu dari 113,96 nm menjadi 207,55 nm. (Tabel 4.2). Namun demikian, secara
keseluruhan dapat dilihat bahwa kenaikan waktu reaksi mengakibatkan terjadinya
pembesaran ukuran kristalit pada kedua variasi suhu. Hal ini disebabkan karena
dengan memperpanjang waktu reaksi, diameter kristalit nanorods memiliki waktu
dan energi lebih sehingga dapat tumbuh menjadi lebih besar [69] . Selain itu,
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ukuran kristalit nanorods ZnO juga
dapat dipicu dengan menggunakan suhu reaksi yang lebih tinggi.
Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO.
As-synthesized
Setelah perlakuan pasca-hidrotermal
100oC 150oC
3 jam 12 jam 3 jam 12 jam
Ukuran kristalit [nm] 42,85 113,96 207,55 258,65 269,40
Spektrum absorbansi UV-Vis seluruh sampel nanorods ZnO
memperlihatkan adanya absorbansi kuat pada daerah ultra violet, seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.5. Setelah proses pasca-hidrotermal, terlihat bahwa
puncak kurva absorbansi mengalami pergeseran ke arah cahaya tampak.
Pergeseran ini disebut sebagai red shift [70], dimana puncak kurva absorbansi
bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar.
Dengan menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai energi celah pita (Eg)
untuk setiap variasi dapat ditentukan. Adanya pergeseran puncak kurva ke panjang
gelombang yang lebih besar berkontribusi pada nilai Eg yang lebih rendah, seperti
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
56
Universitas Indonesia
tertera pada Tabel 4.3. Nilai Eg ini juga berkaitan dengan ukuran kristalit yang
terrangkum pada Tabel 4.2. Pada umumnya, penurunan nilai Eg berkaitan dengan
kenaikan suhu reaksi yang akan mengakibatkan perbaikan dalam pertumbuhan
kristal, yang ditandai dengan naiknya ukuran kristalit. Selain itu,ketebalan film
yang makin besar juga memicu turunnya nilai Eg [69].
Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO (a) as-
synthesized; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b) 3 jam, dan
(c) 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 150oC selama (d) 3 jam, dan
(e) 12 jam.
Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah
perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah
perlakuan pasca-hidrotermal 150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam.
Parameter nanostruktur As-
synthesized
Setelah perlakuan pasca-hidrotermal
100oC 150oC
3 jam 12 jam 3 jam 12 jam
Energi celah pita, Eg (eV) 3,31 3,24 3,23 3,21 3,21
Dengan nilai Eg yang lebih rendah, nanorods ZnO mampu mengabsorpsi
cahaya dalam panjang gelombang yang lebih besar, mendekati cahaya tampak.
Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan dalam proses ini memiliki
potensi yang cukup tinggi untuk aplikasi dalam bidang optoelektronik.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
57
Universitas Indonesia
4.3.4. Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO
Gambar 4.6. menunjukkan foto SEM nanorods ZnO di atas substrat kaca
ITO. Pada gambar tersebut terlihat bahwa setiap nanorods memiliki bentuk
hekasgonal dan pada umumnya tumbuh secara vertikal, dengan sebaran
(coverage) yang baik di atas substrat. Dengan memperpanjang waktu reaksi
selama 3 jam menjadi 5 jam, diameter nanorods bertambah dari 325 nm menjadi
583 nm. Panjang nanorods juga mengalami pertambahan dari 0,66 μm hingga
1,98 μm (Tabel 4.4). Namun demikian, pembesaran diameter yang terjadi pada
waktu reaksi 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.6.b dan Gambar 4.6.c) mengakibatkan
terjadinya penurunan coverage lapisan nanorods, jika dibandingkan dengan
nanorods hasil sintesis pada waktu 3 jam akan (Gambar 4.6.a). Dengan waktu
reaksi yang makin lama, setiap nanorods akan dikelilingi oleh reaktan dalam
jumlah yang lebih banyak, sehingga, pertumbuhan ke arah vertikal dan horizontal
akan lebih optimal. Akan tetapi, tidak semua nanorods dapat tumbuh secara tegak
vertikal. Adanya kompetisi pertumbuhan antar nanorods-nanorods tersebut
mengakibatkan sebagian nanorods tumbuh dengan arah miring atau horizontal.
Investigasi lanjut pada penampang lintang stuktur nanorods menunjukkan
fenomena tersebut, seperti terlihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90oC selama : (a) 3 jam,
(b) 4 jam, dan (c) 5 jam.
Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis.
Karakteristik nanostruktur Waktu reaksi (jam)
3 4 5
Diameter rata-rata (nm) 325 444 583
Panjang rata-rata (µm) 0,66 1,65 1,98
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
58
Universitas Indonesia
Gambar 4.7.a menunjukkan bahwa selama 3 jam, nanorods mempunyai
cukup ruang sehingga dapat tumbuh secara vertikal dengan baik tanpa mengalami
hambatan yang cukup besar dari kondisi sekelilingnya. Hal sebaliknya terjadi
pada nanorods yang ditumbuhkan dalam 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.7.b dan
Gambar 4.7.c). Dengan waktu reaksi yang lebih lama, disorientasi dan
ketidakteraturan pertumbuhan struktur meningkat, sehingga didapat banyak
nanorods yang tumbuh miring maupun ke arah horizontal. Hal ini disebabkan oleh
berkurangnya ruang untuk tumbuhnya nanorods yang merupakan konsekuensi
dari membesarnya diameter nanorods. Dengan meningkatkan waktu reaksi,
nanorods yang tumbuh vertikal sempurna di atas substrat mengalami penurunan.
Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang disintesis pada
90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.
Pola difraksi pada Gambar 4.8. menunjukkan nanorods hasil sintesis
teridentifikasi sebagai ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit yang sesuai
dengan referensi JCPDS no. 36-1451 [44,65], kecuali untuk puncak pada 2θ 35o
yang merupakan karakteristik dari kaca ITO. Pada waktu reaksi 3 jam dan 4 jam
(Gambar 4.8.a dan Gambar 4.8.b), puncak dengan intensitas tertinggi diperoleh
pada bidang (002). Hal ini bersesuaian dengan Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 yang
menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nanorods ZnO umumnya tumbuh secara
vertikal pada arah sumbu-z. Kristal wurtzit ZnO memiliki bidang (002) yang
bersifat polar serta bidang (100) dan (101) yang bersifat non polar. Bidang polar
dengan permukaan dipol lebih tidak stabil secara termodinamika dibandingkan
sisi bidang non polar. Oleh sebab itu, bidang polar cenderung melakukan
pengaturan ulang dalam arah pertumbuhan struktur sebagai upaya untuk
memperkecil energi permukaan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ke arah
bidang (002) lebih cepat dibandingkan arah bidang lain [70]. Nanorods ZnO yang
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
59
Universitas Indonesia
disintesis selama 3 jam memiliki stuktur vertikal yang paling baik. Setelah waktu
reaksi 5 jam, pertumbuhan nanorods ZnO didominasi pada sumbu-x. Hal ini dapat
dibuktikan pada Gambar 4.9.c, dimana terlihat puncak intensitas yang tertinggi
adalah pada bidang (100). Pertumbuhan ke arah tersebut mengakibatkan
meningkatnya jumlah nanorods yang berada dalam posisi horizontal di atas
substrat. Sehingga, lapisan nanorods yang tumbuh pada kondisi ini memiliki
coverage dengan kerapatan paling rendah, seperti terlihat pada Gambar 4.7.c.
Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-X nanorods ZnO yang disintesis pada 90oC
selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.
Pola difraksi ZnO juga dipengaruhi oleh kondisi ketebalan lapisan
nanostruktur di atas substrat kaca ITO. Cui dkk [15] menyatakan bahwa dengan
lapisan yang makin tebal, intensitas pola difraksi dan kristalinitas nanostruktur
akan meningkat. Rendahnya derajat kristalinitas dari ZnO dengan lapisan yang
lebih tipis dapat dihubungkan dengan pertumbuhan kristalit yang belum sempurna
dikarenakan oleh minimnya jumlah lapisan atom yang membentuk film ZnO [15].
Perhitungan ukuran kristalit rata-rata dari fasa wurtzit sampel dilakukan
dengan mengunakan Rumus Scherrer [54]. Untuk mendapat nilai yang akurat,
faktor broadening yang disebabkan oleh regangan non-uniform dan pengaruh
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
60
Universitas Indonesia
instrumen telah dieliminasi terlebih dahulu [57,71]. Sesuai perkiraan, ukuran
kristalit dari nanorods ZnO mengalami peningkatan dengan makin lamanya waktu
reaksi. Ukuran kristalit terbesar didapat pada waktu reaksi 5 jam, dengan nilai
sebesar 34,28 nm. Hasil perhitungan ukuran kristalit seluruh sampel dapat dilihat
pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan variasi
waktu reaksi.
Karakteristik nanostruktur Waktu reaksi (jam)
3 4 5
Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 27,42 34,28
Investigasi pengaruh karakteristik stuktur nanorods terhadap sifat optik
dilakukan dengan metode spektroskopi UV-Vis. Gambar 4.9. menunjukkan
spektrum absorbansi dari sampel-sampel nanorods ZnO. Pada gambar tersebut
terlihat bahwa nanorods ZnO hasil sintesis memiliki absorbansi kuat pada daerah
UV dan bersifat transparan pada daerah cahaya tampak. Untuk menentukan
puncak absorbansi, pada setiap spektrum ditarik garis pada bagian linier kurva
hingga memotong sumbu x. Dengan menaikkan waktu reaksi 3 jam hingga 5 jam,
telah terjadi pergeseran puncak absorpsi dari 365 nm menjadi 420 nm. Pergeseran
ini disebut sebagai red shift, dimana puncak absorbansi bergeser ke arah panjang
gelombang yang lebih besar. Dengan demikian, menambah waktu reaksi dapat
mengakibatkan absorpsi cahaya pada daerah cahaya tampak. Resume nilai
pergeseran puncak absorbansi dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
61
Universitas Indonesia
Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO nanorods hasil sintesis
pada 90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.
Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis.
Sifat optik Waktu reaksi (jam)
3 4 5
Garis potong linier kurva absorpsi (nm) 365 375 420
Energi celah pita, Eg (eV) 3,63 3,55 3,13
Energi celah pita (Eg) nanorods ZnO hasil sintesis ditentukan dengan
menggunakan Persamaan Tauc [60]. Dengan peningkatan waktu reaksi, nilai Eg
yang didapat mengalami penurunan dari 3,63 eV pada sintesis selama 3 jam
menjadi 3,13 eV setelah 5 jam. Hal ini bersesuaian dengan pertumbuhan kristalit
yang mengalami kenaikan dengan penambahan waktu reaksi, seperti ditunjukkan
pada pengujian XRD sebelumnya. Pada area skala nanometer, ukuran kristalit dari
nanostruktur semikonduktor sangat mempengaruhi nilai energi celah pita.
Semakin besar ukuran kristalit nanostruktur, maka nilai Eg yang dihasilkan akan
semakin kecil.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
62
Universitas Indonesia
Penurunan nilai Eg dari 3,63 eV menjadi 3,55 eV pada penambahan waktu
dari 3 jam ke 4 jam merupakan indikator yang sangat baik. Dilihat dari sifat optik
material semikonduktor, penurunan nilai Eg memberikan kemudahan terjadinya
eksitasi elektron dari pita valensi yang berenergi rendah menuju pita konduksi
yang berenergi tinggi. Pada umumnya, nilai Eg nanorods ZnO yang diinginkan
adalah mendekati nilai Eg ZnO dalam fasa ruah, yaitu 3,34 eV. Akan tetapi,
setelah sintesis selama 5 jam, nilai Eg nanorods ZnO mengalami penurunan
hingga di bawah angka tersebut. Pada kondisi tersebut, Eg nanorods ZnO hasil
sintesis yang terukur adalah sebesar 3,13 eV. Spektrum absorbansi pada sintesis
selama 5 jam (Gambar 4.9.c) menunjukkan perbedaan bentuk kurva jika
dibandingkan dengan sintesis pada 3 jam dan 4 jam. Spektrum absorpsi pada
sintesis selama 5 jam menunjukkan bentuk yang bergelombang, dengan 3 puncak
absorpsi yang tidak tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya fasa lain yang
terdapat dalam sampel. Untuk meyakinkan jenis fasa yang terdapat dalam sampel
tersebut, analisis lebih lanjut perlu dilakukan sehingga dapat diambil kesimpulan
yang tepat.
4.3.5. Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Nanostruktur
ZnO
Gambar 4.10. menunjukkan morfologi penampang atas lapisan nanorods
ZnO di atas kaca ITO pada beberapa variasi. Pada umumnya nanorods ZnO
berstruktur heksagonal dan tumbuh secara tegak vertikal dengan coverage yang
baik di atas substrat. Pada nanorods ZnO as-deposited terlihat beberapa batang
tumbuh bergabung menjadi satu struktur dengan diameter rata-rata ~325 nm
(Gambar 4.10.a). Di antara nanorods-nanorods yang terbentuk, terlihat adanya
ruang kosong pada substrat yang tidak ditumbuhi oleh ZnO. Hal ini
mengindikasikan adanya ketidakteraturan pada proses sintesis yang
mengakibatkan tidak semua nanorods tumbuh secara tegak vertikal. Sesuai
dengan hasil penelitian sebelumnya (Sub Bab 4.3.3), perlakuan pasca-hidrotermal
dapat memperbaiki pengaturan struktural nanorods ZnO (Gambar 4.10). Dengan
menambahkan perlakuan pasca-hidrotermal selama 3 jam, diameter nanorods
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
63
Universitas Indonesia
terlihat menjadi lebih kecil hingga mencapai ~165 nm. Dengan ukuran diameter
yang lebih kecil, lapisan nanorods ZnO menjadi lebih rapat (Gambar 4.10.b).
Penambahan waktu reaksi hingga mencapai 6 jam mengakibatkan nanorods ZnO
kembali tumbuh dengan diameter yang lebih besar (~228 nm) namun memiliki
coverage di atas substrat yang tetap terjaga (Gambar 4.10.c). Selain itu, lapisan
nanorods diketahui menjadi lebih rapi jika dibandingkan dengan perlakuan pasca-
hidrotermal selama 3 jam.
Setelah waktu reaksi pasca-hidrotermal selama 9 jam, diameter nanorods
tumbuh hingga mencapai ~261 nm. Namun demikian, kenaikan diameter ini tidak
memperbaiki keteraturan struktur lapisan nanorods. Pada Gambar 4.11.d, terlihat
bahwa nanorods ZnO tumbuh dengan bentuk nanostrutur flower-like. Bentuk
pertumbuhan menggumpal seperti bunga ini mengakibatkan turunnya keteraturan
dan coverage nanorods ZnO di atas substrat ITO. Observasi SEM dengan
menggunakan pembesaran yang lebih tinggi (Gambar 4.10.d, inset) menunjukkan
bahwa ujung-ujung nanorods kembali mengalami penggabungan. Perubahan
ukuran diameter dari kondisi as-deposited dan setelah mengalami proses pasca-
hidrotermal dirangkum dalam Tabel 4.7.
Gambar 4.10. Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). as-deposited
pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC
selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
64
Universitas Indonesia
Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah perlakuan pasca-
hidrotermal.
Karakteristik nanostruktural As-deposited
Waktu reaksi pasca-hidrotermal
(jam)
3 6 9
Diameter rata-rata (nm) 325 165 228 261
Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 26,87 27,97 28,55
Pola difraksi sinar-X dari sampel nanorods sebelum dan sesudah proses pasca-
hidrotermal menunjukkan terdapat 3 puncak utama dengan intesitas tertinggi,
yaitu pada sudut 2θ 32,05o; 34,71o; dan 36,53o (Gambar 4.11). Ketiga puncak ini
teridentifikasi dalam JCPDS no. 36-1451 sebagai puncak untuk bidang (100),
(002), (101) dari struktur kritstal wurtzit ZnO [44,65]. Selain itu, terdapat 2
puncak dengan inttensitas yang lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ 47,72 dan
63,26o yang merupakan karakteristik dari bidang kristal (102) dan (103). Puncak
difraksi yang terlihat pada sudut 2θ 35o merupakan karakteristik dari kaca ITO,
seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 4.8 dalam Sub Bab 4.3.4 terdahulu.
Dengan mengaplikasikan perlakuan hidrotermal selama 3 jam (Gambar 4.11.b),
terlihat bahwa puncak-puncak difraksi menjadi lebih tajam yang diikuti dengan
munculnya puncak pada sudut 2θ 56,75o yang merupakan puncak untuk bidang
(110). Penambahan waktu reaksi pasca-hidrotermal menjadi 6 jam dan 9 jam
menunjukkan adanya peningkatan kristalinitas nanorods ZnO, yang ditandai
dengan puncak difraksi yang makin tajam, seperti terlihat pada Gambar 4.11.c dan
Gambar 4.11.d. Di antara puncak-puncak difraksi tersebut, puncak yang
merupakan karakteristik bidang [002] memiliki intensitas tertinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa nanorods ZnO tumbuh secara vertikal sepanjang sumbu-z,
sesuai dengan fakta yang ditampilkan pada pencitraan SEM (Gambar 4.10.a)
sebelumnya. Proses pasca-hidrotermal pada 3 jam dan 6 jam masih menunjukkan
pertumbuhan ke arah vertikal yang cukup baik. Namun demikian, kenaikan waktu
proses pasca-hidrotermal hingga 9 jam mengakibatkan terjadinya pertumbuhan
snanorods dengan arah miring (Gambar 4.10.d) yang ditandai dengan intensitas
puncak bidang (101) yang makin kuat pada Gambar 4.11.d.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
65
Universitas Indonesia
Gambar 4.11. Difraktogram sinar-X nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90oC
selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3
jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.
Analisis mengenai ukuran kristalit rata-rata dari nanorods ZnO hasil
percobaan [54] memperlihatkan adanya peningkatan dengan makin bertambahnya
waktu reaksi pasca-hidrotermal. Proses pasca-hidrotermal selama 3 jam, 6 jam,
dan 9 jam menghasilkan ukuran kristalit rata-rata sebesar 22,85 nm; 26,87 nm;
serta 28,55 nm.
Perlakuan proses pasca-hidrotermal mengakibatkan terjadinya fenomena
red-shift pada nanorods ZnO, seperti terlihat pada spektrum absorbansi dalam
Gambar 4.12. Puncak absorbansi nanorods ZnO mengalami pergeseran dari 350
nm sebelum proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.a), menjadi sekitar 400 nm
setelah proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.b-d). Bentuk kurva yang sedikit
berbeda ditemui pada sampel nanorods ZnO yang mengalami proses pasca-
hidrotermal selama 9 jam (Gambar 4.12.d). Pada variasi tersebut, nanorods
menunjukkan bentuk spektrum yang bergelombang dengan dua puncak kurva. Hal
ini diduga berasal dari adanya fasa lain yang terbentuk dikarenakan oleh lamanya
waktu reaksi. Untuk memastikan hal tersebut, perlu dilakukan analisis lebih lanjut
yang dapat menentukan kandungan fasa-fasa yang terdapat dalam sampel tersebut.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
66
Universitas Indonesia
Gambar 4.12. Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90oC
selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3
jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.
Energi celah pita (Eg) dari nanorods ZnO ditentukan dengan menggunakan
Persamaan Tauc [60] dengan menggunakan plot kurva (αhν)2 terhadap hν
(Gambar 4.13). Nilai Eg didapat dengan menarik bagian linier pada kurva hingga
menyentuh sumbu x pada kurva, yang menunjukkan nilai energi. Untuk sampel
yang mengalami proses pasca hidrotermal selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam, nilai
Eg yang diperoleh adalah sebesar 3,15 eV; 3,12 eV; serta 3,07 eV. Perlakuan
pasca-hidrotermal dapat dikatakan menghasilkan penurunan nilai Eg yang cukup
signifikan jika dibandingkan dengan nilai Eg sebelum proses pasca-hidrotermal,
yaitu sebesar 3,63 eV (Tabel 4.8).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
67
Universitas Indonesia
Gambar 4.13. Plot kurva (αhν)2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a) as-
deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada
150oC selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.
Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah perlakuan
pasca-hidrotermal.
Parameter nanostruktur As-deposited
Waktu perlakuan pasca-hidrotermal
(jam)
3 6 9
Energi celah pita, Eg (eV) 3,63 3,15 3,12 3,07
Hasil pengukuran diameter kristalit rata-rata (Tabel 4.7) dan nilai energi celah
pita (Tabel 4.8) menunjukkan keterkaitan yang kuat. Dengan makin meningkatnya
ukuran kristalit rata-rata, maka nilai Eg yang didapatakan makin kecil. Hal ini
telah teramati pada beberapa percobaan sebelumnya Penurunan nilai Eg ini
menampakkan adanya peluang potensial untuk pengembangan material tersebut
dalam aplikasi sel surya serta fotokatalisis. Dengan nilai Eg yang makin rendah,
eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi akan semakin mudah. Namun
demikian, faktor lain seperti morfologi permukaan serta adanya unsur dopant juga
perlu diperhatikan untuk mendukung aplikasi tersebut.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
68
Universitas Indonesia
4.4. Kesimpulan
Sintesis nanorods ZnO telah berhasil dilakukan dengan teknik chemical
bath deposition (CBD) pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat
tetrahidrat {Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat} dan heksametilentetraamin {C6H12N4,
HMTA}. Pada sintesis dengan waktu tahan pembibitan dan penambahan NaOH
diperoleh struktur nanoflower ZnO dengan ukuran relatif besar namun jarang-
jarang, sementara pada kondisi yang sama namun dengan waktu tahan 24 jam
diperoleh struktur nanorods ZnO yang mampu menutupi permukaan substrat.
Tingkat coverage substrat yang lebih tinggi diperoleh dengan teknik yang sama,
namun tanpa penambahan NaOH. Hal ini dimungkinkan oleh terbatasnya suplai
gugus OH- yang memaksa setiap bibit berkompetisi tumbuh tegak lurus
permukaan substrat.
Suhu reaksi diketahui memegang peranan penting dalam proses
pembentukan struktur batang setelah terjadi nukleasi ZnO. Temperatur optimum
pertumbuhan nanorods ZnO adalah 90oC. Suhu yang terlalu rendah
mengakibatkan nanorods tidak memiliki cukup energi untuk tumbuh secara tegak
vertikal. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, terjadi deformasi pada struktur
ZnO sehingga membentuk struktur tube, partikel dan jarum.
Dengan menggunakan larutan bibit yang disintesis pada suhu rendah (0oC),
nanorods ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit dengan coverage yang baik
di atas substrat kaca ITO telah berhasil disintesis. Dengan menaikkan waktu
reaksi dari 3 jam hingga 5 jam, terjadi pembesaran diameter dan ukuran kristalit
nanorods ZnO. Nilai energi celah pita nanorods ZnO mengalami penurunan dan
profil absorbansi menunjukkan terjadinya red shift dengan makin meningkatnya
waktu reaksi. Dengan mempertimbangkan karakteristik sifat optik tersebut,
nanorods ZnO hasil sintesis ini mempunyai potensi yang cukup baik untuk
dikembangkan dalam sel surya maupun fotokatalisis.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
69
Universitas Indonesia
BAB V
Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO yang
Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath
5.1. Pendahuluan
Performa dan sifat permukaan sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-
sensitized solar cell, DSSC) sangat dipengaruhi oleh morfologi dan ukuran
partikel anoda. Lapisan anoda yang baik dapat meningkatkan efisiensi konversi
solar–to–electricity dan mengurangi laju rekombinasi pada permukaan antar fasa
material semikonduktor dan lapisan elektrolit [72]. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa ZnO nanostuktur di atas substrat kaca konduktif dapat
digunakan sebagai anoda yang baik. Akan tetapi, untuk mendapatkan nilai
efisiensi yang tinggi, dibutuhkan struktur dengan keteraturan dan kepadatan yang
cukup tinggi [72].
Untuk mendapatkan lapisan ZnO dengan struktur tersebut, diperlukan
adanya lapisan bibit yang menempel pada substrat sebelum melakukan proses
penumbuhan ZnO nanostruktur. Anoda yang difabrikasi menggunakan kaca
konduktif tanpa lapisan bibit ZnO diketahui memiliki efisiensi DSSC sebesar
~0,78%. Sedangkan jika menggunakan kaca konduktif dengan lapisan bibit,
efisiensi mengalami peningkatan sebanyak 3x lipat [72]. Kaca konduktif dengan
lapisan bibit dapat menginisiasi pertumbuhan ZnO nanostruktur yang seragam dan
terorientasi dengan baik [72-74], sehingga morfologi dan sifat-sifat fisik yang
dihasilkan akan memberikan performa DSSC yang baik.
Pada Bab 4 terdahulu, nanorods ZnO telah berhasil disintesis melalui teknik
chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah [22,21], yang dilanjutkan
dengan proses pasca-hidrotermal [74,40]. Dalam penelitian tersebut, nanorods
ZnO ditumbuhkan tanpa melakukan proses pembuatan lapisan bibit pada substrat
kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO) terlebih dahulu. Kondisi optimum untuk
mendapatkan nanorods ZnO yang tumbuh di atas kaca ITO telah diinvestigasi
untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam langkah berikutnya. Namun
demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan masih memiliki kelemahan pada
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
70
Universitas Indonesia
ukuran, orientasi arah pertumbuhan serta sebaran (coverage) pertumbuhan di atas
substrat. Kontrol reaksi dalam metode terdahulu hanya dilakukan melalui
pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi, baik pada proses CBD maupun
pasca-hidrotermal. Sejauh ini, dalam rangkaian penelitian yang sedang berjalan,
belum ditemukan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh penempelan larutan
bibit di atas substrat terhadap hasil sintesis yang akan didapat.
Pada penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh lapisan bibit film ZnO
terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari nanostruktur ZnO yang akan ditumbuhkan.
Parameter-parameter proses yang menjadi perhatian adalah jumlah lapisan dan
suhu anil lapisan bibit. Lapisan bibit nanostruktur ZnO selanjutnya akan
ditumbuhkan dengan metode CBD. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh
lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO dengan karakteristik paling
optimal untuk komponen sel surya.
5.2. Tujuan Penelitian
Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh lapisan bibit terhadap
pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Larutan bibit yang
untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan pada
Bab 4 terdahulu. Pengamatan terhadap morfologi sebaran dan energi celah pita
lapisan bibit di atas kaca ITO merupakan titik awal penelitian pada tahap ini.
Selanjutnya, lapisan bibit ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD.
Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup kristalinitas, ukuran kristalit,
diameter nanorods, serta energi celah pita dari nanorods ZnO hasil sintesis.
Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk:
d. Mempelajari proses sintesis lapisan bibit nanorods ZnO melalui metode
kimia basah pada suhu rendah untuk memperoleh nanostruktur ZnO
dengan densitas, coverage, dan kristalinitas yang tinggi di atas substrat
kaca konduktif;
e. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,
kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO;
f. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis
terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
71
Universitas Indonesia
5.3. Hasil dan Pembahasan
5.3.1. Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap Nanostruktur ZnO
Hasil pengamatan dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa lapisan
ZnO tumbuh dengan berbagai macam struktur. Secara keseluruhan, lapisan bibit
nanostruktur ZnO terdistribusi secara merata di atas kaca ITO. Pada suhu 100oC,
kaca ITO dengan 1 lapisan bibit terlihat menggumpal dan terkonsentrasi pada area
tertentu (Gambar 5.1.a). Kaca ITO dengan 3 lapisan bibit dan 5 lapisan bibit
(Gambar 5.1.b dan Gambar 5.1.c) menghasilkan nanostruktur ZnO yang
berbentuk seperti daun, berbeda dari struktur pada sampel-sampel lain. Hal ini
diduga disebabkan oleh suhu anil yang relatif rendah. Pada suhu 200oC, lapisan
bibit membentuk struktur nanopartikel ZnO. Penambahan 1 lapisan bibit ZnO
memberikan distribusi yang merata di atas substrat dengan ukuran yang sangat
halus. Namun, dikarenakan proses spin-coating yang kurang sempurna, terlihat
adanya beberapa bentuk nanorods yang tumbuh di atas lapisan bibit nanopartikel
ZnO. Dengan menambahkan jumlah lapisan bibit menjadi 3 lapis (Gambar 5.2.b)
dan 5 lapis (Gambar 5.2.c), bentuk nanopartikel terlihat stabil, dan menjadi lebih
besar untuk setiap penambahan lapisan. Kestabilan bentuk nanopartikel ini juga
ditemui pada sampel dengan suhu anil 300 oC (Gambar 5.3), 400 oC (Gambar 5.4.)
dan 500oC (Gambar 5.5). Faktor suhu memberikan kontribusi pada pembesaran
ukuran nanostruktur untuk setiap penambahan lapisan bibit. Makin tinggi suhu
anil yang digunakan, ukuran nanopartikel yang terbentuk tampak makin besar
[15]. Sedangkan faktor penambahan lapisan memberikan efek pada permukaan
nanostruktur. Makin banyak lapisan yang ditempelkan ke kaca ITO, permukaan
nanopartikel ZnO yang dihasilkan terlihat makin kasar. Hal ini dapat diamati
dengan adanya tekstur pada nanostruktur yang tampak menebal dengan
bertambahnya lapisan bibit. Dengan menggabungkan pengaruh suhu dan jumlah
lapisan, dapat disimpulkan bahwa makin naiknya kedua faktor di atas akan
memberikan lapisan nanostruktur dengan ukuran yang makin membesar serta
permukaan yang lebih kasar dan bertekstur. Hal ini terlihat pada Gambar 5.1.c,
Gambar 5.2.c, Gambar 5.3.c, Gambar 5.4.c, dan Gambar 5.5.c.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
72
Universitas Indonesia
Gambar 5.1. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
100oC sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3 lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C).
Gambar 5.2. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
200oC sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C).
Gambar 5.3. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
300oC sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3 lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C).
Gambar 5.4. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
400oC sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3 lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
73
Universitas Indonesia
Gambar 5.5. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
500oC sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3 lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C).
Morfologi dan tekstur permukaan lapisan film nanostruktur ZnO yang akan
digunakan juga bergantung pada jenis sel surya yang akan difabrikasi. Untuk
aplikasi DSSC, tekstur permukaan yang rapat serta orientasi pertumbuhan
merupakan syarat yang harus dipenuhi, sehingga penyerapan zat pewarna (dye)
menjadi lebih optimal.
Analisis sifat elektronik dasar lapisan bibit ZnO dilakukan dengan Diffuse
Reflectance Spectroscopy (DRS) pada rentang cahaya ultraviolet-visible (UV-Vis).
Secara keseluruhan, sampel lapisan bibit nanostruktur ZnO menyerap cahaya pada
daerah gelombang UV, dengan rentang nilai energi celah pita (band gap energy,
Eg) antara 3,5 ~ 3,6 eV. Nilai Eg ini masih berada di atas nilai Eg ZnO dalam fasa
ruah (bulk), yaitu sebesar 3,34 eV. Pada suhu anil 100oC, nilai absorbans
mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar (red-shift),
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6. Jika dikaitkan dengan struktur morfologi
pada Gambar 5.1., maka dapat dikatakan bahwa struktur nanopartikel yang lebih
rapat pada 1 lapisan bibit (5.1.a) memberikan nilai absorbansi yang lebih tinggi.
Pada jumlah lapisan yang lebih banyak yaitu 3 lapis dan 5 lapis (Gambar 5.1.b
dan Gambar 5.1.c), nanostruktur ZnO berbentuk daun memiliki kerapatan yang
lebih rendah. Akibatnya, terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih
besar (red-shifted) sehingga nilai Eg menjadi makin kecil.
Pada suhu anil 200oC, penambahan lapisan bibit dari 1 lapis menjadi 3 lapis
tidak memberikan kenaikan maupun penurunan nilai absorbans (Gambar 5.7).
Untuk suhu tersebut, penambahan hingga 3 lapis diduga belum mampu
meningkatkan ketebalan di total lapisan bibit yang ada di atas substrat kaca ITO.
Suhu yang relatif rendah diduga menjadi penyebab dari hal tersebut. Telah
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
74
Universitas Indonesia
diketahui sebelumnya, suhu berkorelasi dengan pertumbuhan ukuran nanostruktur.
Makin tinggi suhu yang digunakan, maka ukuran nanostruktur yang didapat juga
makin besar. Setelah melakukan pelapisan sebanyak 5 kali, terlihat adanya
pergeseran absorbans ke arah panjang gelombang yang lebih kecil (blue-shifted),
sehingga nilai Eg mengalami kenaikan.
Untuk suhu anil 300-500oC, terjadi fenomena yang hampir seragam dimana
penambahan lapisan bibit mengakibatkan terjadinya pergeseran red-shift sehingga
nilai Eg turun. Resume nilai Eg pada berbagai variasi dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO.
Parameter
nanostruktur
Suhu anil
100oC 200oC 300oC 400oC 500oC
1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C
Energi celah
pita (eV) 3,69 3,64 3,62 3,61 3,61 3,65 3,64 3,62 3,60 3,65 3,65 3,57 3,59 3,57 3,54
Gambar 5.6. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
100oC sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3 lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot
Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 100oC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
75
Universitas Indonesia
Gambar 5.7. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
200oC sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot
Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC.
Gambar 5.8. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
300oC sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3 lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot
Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 300oC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
76
Universitas Indonesia
Gambar 5.9. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu
400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot
Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC.
Gambar 5.10. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada
suhu 500oC sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3 lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet :
plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 500oC.
Dengan mempertimbangkan morfologi, coverage, tingkat absorbans dan
nilai Eg dari seluruh sampel bibit nanostruktur ZnO di atas kaca ITO, diputuskan
untuk menumbuhkan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 dan 400oC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
77
Universitas Indonesia
5.3.2. Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui Metode Chemical
Bath Deposition (CBD)
Morfologi nanostruktur ZnO yang ditumbuhkan dengan metode CBD dilihat
dengan menggunakan SEM. Hasil foto SEM memperlihatkan bahwa seluruh
sampel tumbuh dengan struktur nanorods ZnO. Hampir seluruh nanorods tumbuh
secara tegak lurus. Diameter nanorods yang dihasilkan berukuran 120 ~ 390 nm,
seperti terlihat pada Tabel 5.2. Sampel nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang
dianil pada suhu 200oC mengalami penurunan ukuran diameter dengan makin
bertambahnya lapisan bibit (Gambar 5.12). Pada sampel dengan 1 lapisan bibit
(Sampel 2A, Gambar 5.12.b), diameter nanorods yang dihasilkan merupakan
ukuran yang terbesar di antara sampel-sampel lain. Suhu yang rendah, serta
lapisan yang tipis diduga menjadi faktor penyebab besarnya diameter nanorods
pada variasi ini. Dengan penambahan jumlah lapisan, ruang pertumbuhan bibit
nanostruktur ZnO di atas substrat menjadi lebih sempit. Akibatnya, nanorods ZnO
dengan 3 lapisan dan 5 lapisan bibit (Sampel 2B dan Sampel 2C, Gambar 5.12.c
dan Gambar 5.12.d) memiliki diameter yang lebih kecil dari Sampel 2A, seperti
terlihat pada Gambar 5.12.b. Arah pertumbuhan nanostruktur ZnO dengan suhu
anil 200oC juga mengalami perbedaan dengan naiknya jumlah lapisan bibit. Pada
sampel 2A, terlihat nanorods ZnO tumbuh secara acak, tidak terorientasi secara
vertikal dengan baik. Gambar 5.12.b menunjukkan banyak nanorods yang tumbuh
dengan arah miring. Pertumbuhan miring ini mengakibatkan pemborosan pada
ruang pertumbuhan di atas substrat. Sebagai hasil, dapat dilihat bahwa nanorods
ZnO yang tumbuh pada variasi ini memiliki jumlah yang lebih sedikit jika
dibandingkan dengan variasi lainnya. Dengan menambah jumlah lapisan bibit,
ruang pertumbuhan menjadi sempit, sehingga nanorods tumbuh lebih vertikal
pada Sampel 2B dan Sampel 2C (Gambar 5.12.c dan Gambar 5.12.d).
Sampel nanorods yang dianil dengan lapisan bibit yang pada suhu 400oC
(Gambar 5.13) menunjukkan fenomena yang berbeda. Pada penambahan 1 lapisan
dan 3 lapisan bibit (Sampel 4A dan Sampel 4B, Gambar 5.13.b dan Gambar
5.13.c), terlihat adanya kekosongan pada substrat yang diduga disebabkan oleh
ketidaksempurnaan proses spin-coating. Akan tetapi, secara garis besar dapat
dilihat bahwa seluruh nanorods dalam varisi suhu anil ini tumbuh dengan struktur
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
78
Universitas Indonesia
batang yang berjejal. Untuk Sampel 4A dan Sampel 4B (Gambar 5.13.b dan
Gambar 5.13.c), arah pertumbuhan masih belum terorientasi dengan baik. Hal ini
dapat dilihat dari banyaknya nanorods yang tumbuh dengan struktur miring
maupun horizontal. Orientasi pertumbuhan nanorods yang lebih baik (tumbuh
secara vertikal) terlihat pada sampel nanorods ZnO dengan 5 lapisan bibit
(Sampel 4C, Gambar 5.13.d). Dari analisis morfologi dengan SEM ini, dapat
disimpulkan bahwa penggunaan suhu anil yang lebih tinggi terbukti tidak selalu
memberikan perbaikan pada struktur, arah pertumbuhan, maupun sebaran
nanorods ZnO di atas substrat kaca ITO.
Pengamatan distribusi ukuran diameter nanorods ZnO dilakukan dengan
membuat kurva frekuensi terhadap ukuran nanorods yang terukur. Gambar 5.11,
menunjukkan bahwa Sampel 2B (Gambar 5.11.b) memiliki distribusi ukuran yang
lebih merata. Dengan kata lain, sampel pada variasi ini memiliki diameter yang
lebih seragam untuk setiap nanorods yang tumbuh.
Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis.
Parameter
nanostruktur
Sampel
TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C
Diameter nanorods
ZnO rata-rata (nm) 325 389,59 157,58 151,52 126,66 184,20 144,49
Gambar 5.11. Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD
(90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC dengan jumlah
lapisan a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu
400oC dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
79
Universitas Indonesia
Gambar 5.12. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD
(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil
pada suhu 200oC sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C).
Gambar 5.13. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD
(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil
pada suhu 400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
80
Universitas Indonesia
Analisis X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa seluruh sampel
terindikasi sebagai nanorods ZnO, yang bersesuaian dengan JCPDS No. 36-1451.
Gambar 5.13 memperlihatkan bahwa seluruh sampel berstruktur polikristalin.
Nilai puncak 2θ tertinggi berada pada sudut ~34o. Hal ini menunjukkan bahwa
kebanyakan nanorods ZnO tumbuh dengan orientasi vertikal, yang bersesuaian
dengan foto SEM pada Gambar 5.11 dan Gambar 5.12. Puncak pada 2θ tersebut
merupakan karakteristik untuk bidang kisi (002), dimana pertumbuhan nanorods
terjadi pada arah sumbu-z. Sampel dengan puncak ~34o tertinggi sampel 2B
(Gambar 5.14.b). Lapisan bibit merupakan bagian terpenting yang memicu
pertumbuhan nanorods ZnO terorientasi pada sumbu-z dengan dimensi yang
terkontrol [75].
Perhitungan diameter kristalit untuk seluruh sampel dilakukan dengan
menggunakan Metode Scherrer. Berdasarkan metode tersebut, sampel 2B
diketahui memiliki ukuran kristalit yang paling besar dan bersesuaian dengan
kristalinitas yang paling baik, seperti terlihat pada Gambar 5.13. Jika
dibandingkan dengan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit
(Sampel TF-3), terlihat bahwa hampir seluruh sampel yang menggunakan lapisan
bibit mengalami kenaikan ukuran diameter kristalit. Pada suhu anil 200oC,
diameter kristalit meningkat dengan menambah lapisan hingga 3 lapis. Akan
tetapi, penambahan lapisan bibit hingga 5 lapis mengakibatkan penurunan nilai
kristalinitas. Sebaliknya, pada sampel dengan suhu anil 400oC, penambahan
lapisan bibit mengakibatkan penurunan nilai kristalinitas. Resume diameter
kristalit nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis.
Parameter nanostruktur Sampel
TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C
Diameter kristalit (nm) 22,85 31,17 59,63 28,57 31,90 27,43 18,53
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
81
Universitas Indonesia
Gambar 5.14. Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC,
3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan
a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400oC
dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C).
Nilai absorbans dari nanorods ZnO hasil sintesis dengan menggunakan
lapisan bibit menunjukkan adanya fenomena red-shift dibandingkan nanorods
ZnO yang disintesis tanpa larutan bibit. Sampel nanorods ZnO yang dianil pada
suhu 200oC sebanyak 1 lapisan bibit dan 3 lapisan bibit (2A dan 2B) menunjukkan
trend yag sama dengan Gambar 5.7 pada Sub Bab 5.3.1. Pada sampel-sampel
tersebut, kenaikan jumlah lapisan hingga mencapai 3 lapis ternyata masih belum
mampu menaikkan ketebalan lapisan. Akibatnya, tidak terjadi perubahan pada
nilai Eg. Sedangkan pada sampel dengan 5 lapisan bibit (2C), terjadi penurunan
nilai Eg yang diduga berasal dari naiknya ketebalan sampel. Kurva absorbans
terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang
dianil pada 200oC dapat dilihat pada Gambar 5.15. Fenomena yang berbeda
terjadi pada nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC.
Pada sampel ini, terjadi kenaikan nilai Eg yang bersesuaian dengan turunnya nilai
diameter kristalit seperti yang terangkum dalam Tabel 5.3. Plot kurva absorbans
terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang
dianil pada suhu 400oC dapat dilihat pada Gambar 5.16.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
82
Universitas Indonesia
Setelah melakukan proses penumbuhan dengan metode CBD, terjadi
penurunan nilai Eg yang cukup signifikan pada nanorods ZnO hasil sintesis.
Dibandingkan dengan nanopartikel ZnO pada lapisan bibit yang memiliki nilai
serapan pada daerah UV, nanorods ZnO memiliki nilai Eg yang lebih rendah dan
serapan pada daerah cahaya tampak. Nilai Eg nanorods ZnO hasil sintesis dengan
menggunakan lapisan bibit juga lebih rendah jika dibandingkan dengan nanorods
ZnO yang disintesis tanpa lapisan bibit (TF-3). Penurunan nilai Eg ini diduga
berasal dari penyempitan pita eksiton dan kenaikan intensitas eksiton yang sangat
besar. Hal ini menghasilkan terjadinya penyerapan energi yang sangat baik pada
rentang cahaya tampak [76]. Resume Eg nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat
pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD.
Parameter nanostruktur Sampel
TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C
Energi celah pita (Eg, eV) 3,63 3,26 3,27 3,26 3,25 3,27 3,29
Gambar 5.15. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC, 3
jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 200oC
dengan jumlah lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C)
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
83
Universitas Indonesia
Gambar 5.16. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC, 3
jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 400oC
dengan jumlah lapisan b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C)
5.4. Kesimpulan
Sintesis nanorods ZnO dengan menggunakan lapisan bibit telah berhasil
dilakukan dengan teknik chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah
dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat {Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat} dan
heksametilentetraamin {C6H12N4, HMTA}. Lapisan bibit umumnya berbentuk
nanopartikel ZnO dengan coverage yang merata di atas permukaan substrat.
Setelah proses pertumbuhan dengan metode CBD dilakukan, Lapisan tersebut
tumbuh menjadi nanorods ZnO dengan ukuran yang berkisar antara 120 ~ 390
nm. Secara umum, nanorods ZnO yang ditumbuhkan dengan lapisan bibit ini
memiliki diameter kristalit yang lebih besar dan energi celah pita yang lebih kecil
dibandingkan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit. Nanorods
ZnO dengan sebaran diameter yang paling baik adalah sampel dengan 3 lapisan
bibit yang dianil pada suhu 200oC (2B). Nanorods ZnO pada variasi ini
diharapkan dapat digunakan sebagai lapisan anoda dalam aplikasi DSSC dengan
tingkat efisiensi yang cukup baik.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
84
Universitas Indonesia
BAB VI
Efek Variasi Perlakuan Pasca-Hidrotermal terhadap Lapisan
Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensittized Solar Cell
(DSSC)
6.1. Pendahuluan
Telah disebutkan pada Bab 1 dan Bab 4 terdahulu, bahwa sintesis dengan
metode chemical bath deposition (CBD) umumnya belum mampu menghasilkan
struktur vertikal tegak sempurna di atas substat. Penambahan lapisan bibit yang
dilakukan pada Bab 5 menunjukkan adanya perbaikan sifat fisik lapisan
nanostruktur, terutama dari segi coverage di atas substrat. Sementara itu,
pengaplikasian proses post-annealing diketahui juga memberikan efek yang
cukup besar pada karakteristik film, seperti kualitas kristal, sifa listrik, maupun
morfologi permukaannya [77].
Karakteristik struktur, sifat optik dan elektrik dari lapisan ZnO sangat
dipengaruhi oleh metode dan parameter deposisi [78]. Pada Bab 5 terdahulu, telah
berhasil dilakukan proses deposisi lapisan bibit nanostruktur ZnO di atas substrat
kaca ITO dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan ini berfungsi
sebagai fondasi untuk pertumbuhan nanostruktur ZnO. Dengan menambahkan
lapisan tersebut, energi permukaan diharapkan akan menurun hingga mendekati
nol dan ZnO akan tumbuh dengan arah tegak lurus [79].
Dalam penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh variasi perlakuan
pasca-hidrotermal lapisan film ZnO terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari
nanostruktur ZnO. Proses proses pasca-hidotermal pada Bab 4 terdahulu
dilakukan dalam reaktor hidrotermal dengan menggunakan tekanan udara normal.
Pada percobaan ini, ditelaah pengaruh tekanan eksternal dengan menambahan gas
nitrogen (N2) ke dalam reaktor. Penambahan gas N2 diharapkan akan dapat
menghasilkan nanostruktur ZnO yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.
Dengan demikian, resiko kerusakan struktur akibat proses pasca-hidrotermal
dalam waktu yang lama dapat dihindari. Lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat
kaca ITO ini selanjutnya akan digunakan sebagai anoda dalam sel DSSC.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
85
Universitas Indonesia
6.2. Tujuan Penelitian
Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh perbedaan metode pasca-
hidrotermal terhadap pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO
yang sudah dilapisi dengan bibit. Tahap pertama pada penelitian ini adalah
melakukan penempelan lapisan bibit ZnO dengan menggunakan metode spin-
coating yang sudah disimpulkan pada penelitian sebelumnya (Bab 5). Larutan
bibit yang untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah
dijelaskan pada Bab 4 terdahulu. Selanjutnya, tahap kedua dilakukan dengan
menumbuhkan lapisan bibit ZnO dengan metode chemical bath deposition (CBD)
seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 4. Pada tahap ketiga, nanostruktur ZnO
as-synthesized slanjutnya akan mengalami perlakuan pasca-hidrotermal dengan 2
variasi, yaitu proses dalam reaktor hidrotermal dengan tekanan ruang pada
suhu150oC selama 3 jam dan dalam reaktor dengan tekanan gas N2 1 bar pada
suhu 100oC selama 1 jam (PHT-1 dan PHT-2). Penjelasan detail mengenai
perbedaan variasi pasca-hidrotermal dapat dilihat pada Bab 3. Tahap terakhir
dalam penelitian ini adalah mengaplikasikan nanostruktur ZnO di atas substrat
ITO tersebut sebagai lapisan anoda pada sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-
sensitized solar cell, DSSC). Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup
morofologi, diameter, kristalinitas, ukuran kristalit, diameter, serta energi celah
pita dari nanorods ZnO hasil sintesis. Selanjutnya, parameter-parameter tersebut
akan digunakan untuk menganalisis hasil yang diperoleh pada kurva rapat arus
(JSC) terhadap tegangan (v) yang dihasilkan oleh sel DSSC.
Secara khusus, penelitian pada tahap ini bertujuan untuk :
a. Mempelajari pengaruh lapisan bibit terhadap pertumbuhan nanostruktur
ZnO dengan di atas kaca ITO;
b. Menginvestigasi pengaruh perbedaan kondisi pasca-hidrotermal terhadap
nanostruktur ZnO;
c. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,
kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO;
d. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis
terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
86
Universitas Indonesia
6.3. Hasil dan Pembahasan
Pada bagian ini disajikan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sampel
hasil penumbuhan lapisan nanostruktur ZnO dengan metode CBD, sesuai dengan
metode yang didapat dari Bab 4, dan diberi label sebagai Sampel A. Selanjutnya,
sampel tersebut akan mendapatkan proses pasca-hidrotermal yang terbagi menjadi
dua variasi. Variasi pertama adalah sesuai dengan proses pasca-hidrotermal yang
telah dilakukan pada Bab 4 terdahulu. Hasil yang diperoleh pada proses ini
selanjutnya akan diberi label Sampel B. Sementara itu, sampel hasil CBD lain
akan mendapat perlakuan pasca-hidrotermal dengan menggunakan penambahan
gas N2. Hasil yang didapat pada proses ini selanjutnya diberi label Sampel C.
6.3.1. Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO
Strukturmorfologidan ketebalan lapisan nanostruktur ZnOdianalisis dengan
menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Atomic Force
Microscopy (AFM). Setelah lapisan bibit as-synthesized ditumbuhkan dengan
proses CBD (sampel A), terbentuk ZnO dengan struktur batang (nanorods)
dengan diameter rata-rata 366,16 nm, dengan sebaran yang cukup baik di atas
substrat. Akan tetapi, arah pertumbuhan nanorods ZnO yang terbentuk masih
terlihat acak atau belum terorientasi tegak vertikal (Gambar 6.1.a). Lapisan ZnO
as-synthesized ini memiliki ketebalan 2,04 μm (Gambar 6.2.a).
Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terlihat adanya penurunan ukuran
diameter nanorods, seperti yang telah dilaporkan pada penelitian terdahulu yang
terngkum dalam Bab IV. Setelah mengalami proses PHT-1, diameter rata-rata
nanorods ZnO yang terbentuk menjadi 260,44 nm dengan ketebalan lapisan
sebesar 1,24 μm. Penurunan ukuran diameter ini disebabkan karena terjadinya
pemisahan nanorods yang tumbuh bersama pada saat proses CBD. Dengan
mengaplikasikan tekanan uap air, nanorods yang tumbuh saling menempel dapat
terpisah dan terorientasi ke arah vertikal, dengan bentuk heksagonal yang lebih
sempurna (Gambar 6.1.b(i-iii)). Akan tetapi, waktu reaksi PHT yang cukup lama
mengakibatkan terjadinya penurunan ketebalan lapisan ZnO. Hal ini diduga
disebabkan karena terjadinya peluruhan sebagian ZnO yang sudah terbentuk
sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur lapisan pada beberapa
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
87
Universitas Indonesia
bagian. Selain itu, tekanan uap air juga mengakibatkan terjadinya pemampatan
lapisan yang menghasilkan struktur yang lebih padat. Gambar 6.2.b menunjukkan
bahwa lapisan ZnO yang sudah mengalami proses pasca-hidrotermal memiliki
struktur lapisanyang lebih rapat dibandingkan lapisan ZnO hasil sintesis dengan
proses CBD. Hal ini mengakibatkan ketebalan lapisan setelah proses PHT-1
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lapisan ZnO as-synthesized.
Hal yang sama juga terjadi pada lapisan ZnO hasil proses PHT-2. Pada
varisi proses ini, diameter nanostruktur ZnO mengalami penurunan dengan nilai
rata-rata sebesar 306,85 nm. Jika dibandingkan dengan proses PHT-1, lapisan
ZnO pada proses PHT-2 memiliki sebaran yang lebih baik (Gambar 6.1.c(i-iii)).
Hal yang menarik pada proses ini adalah ZnO yang terbentuk ternyata tidak hanya
berupa nanorods saja. Pada beberapa titik, terlihat bahwa nanotubes ZnO juga
terbentuk dengan diameter luar yang berukuran hampir sama. Lapisan
nanostruktur ZnO ini memiliki ketebalan 1,28 μm (Gambar 6.2.c), dengan struktur
film yang paling rata dan padat jika dibandingkan dengan kedua variasi
sebelumnya. Data mengenai diameter dan ketebalan lapisan nanostruktur ZnO
disajikan dalam Tabel 6.1.
Penambahan tekanan eksternal gas N2 sebesar 1 bar sebagai substitusi dari
penggunaan waktu dan suhu reaksi hidrotermal terbukti mampu mengurangi
kerusakan dan menghasilkan struktur lapisan ZnO yang lebih baik. Dengan
mengurangi waktu reaksi dari 3 jam menjadi 1 jam, serta menurunkan suhu reaksi
dari 150oC menjadi 100oC, resiko terjadinya peluruhan ZnO menjadi lebih kecil.
Akibatnya, struktur lapisan yang didapat terlihat lebih padat dan rata, dengan
cacat permukaan yang lebih sedikit (Gambar 6.2.b dan Gambar 6.2.c).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
88
Universitas Indonesia
Gambar 6.1. Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: (a)
proses CBD (sampel A) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii)
25.000 X; (b) proses PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000
X, dan iii) 25.000 X; serta (c) proses PHT-2 (sampel C) dengan perbesaran i)
5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii) 25.000 X.
Gambar 6.2. Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca
ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)
proses PHT-2 (sampel C).
Ukuran butir pada sampel yang dianil dengan meggunakan gas nitrogen
lebih besar dibandingkan sampel yang dianil dengan udara. Peningkatan ukuran
butir tersebut dapat dianggap sebagai pemicu kekosongan (vacancy) oksigen
dalam lingkungan gas nitrogen. Konsentrasi kekosongan akan meningkat secara
eksponensial dengan naiknya suhu dan berpengaruh pada kinetika pertumbuhan
butir dengan mengubah fluks difusi kekosongan oksigen [77,80].
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
89
Universitas Indonesia
Analisis morfologi lapisan ZnO dengan menggunakan AFM dapat dilihat
pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pencitraan 2 dimensi dengan menggunakan AFM
menunjukkan bahwa lapisan ZnO as-synthesized terlihat tumbuh dengan profil
ketebalan yang tidak merata (Gambar 6.3.a). Hal ini juga ditunjang dengan
pencitraan 3 dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 6.4.a. Kondisi ini
bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada Gambar 6.2.a, dimana lapisan ZnO
setelah proses CBD masih belum memiliki arah pertumbuhanyang terorientasi.
Hal ini mempengaruhi profil ketebalan lapisan yang selanjutnya ditampilkan
dengan bentuk bukit dan lembah dengan ketinggian yang tidak seragam, seperti
terlihat pada Gambar 6.4.a.
Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terjadi perubahan pada lapisan ZnO
dengan tampilan profil yang lebih merata, seperti terlihat pada Gambar 6.3.b dan
Gambar 6.4.b. Pada pencitraan 3 dimensi terlihat jelas bahwa lapisan ZnO
memiliki ketebalan yang lebih rata dibandingkan proses sebelumnya. Kondisi ini
bersesuaian dengan analisis SEM pada Gambar 6.2.b, dimana lapisan ZnO setelah
proses PHT-1 tampak memiliki ketebalan yang lebih seragam dibandingkan
dengan ZnO setelah proses CBD.
Proses PHT-2 juga memberikan hasil pencitraan AFM yang lebih baik,
seperti halnya dengan analisis SEM. Gambar 6.3.c menampilkan profil 2 dimensi
lapisan dengan ketebalan yang lebih merata, yang didukung dengan profil 3
dimensi sebagaimana terlihat pda Gambar 6.4.c. Hal ini mendukung analisis SEM
yang telah dilakukan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa lapisan ZnO pada
varisi PHT-2 memang memiliki struktur yang paling baik (Gambar 6.2.c).
Simões dkk [81] menyatakan bahwa foto AFM menunjukkan bahwa sampel
yang dianil dalam lingkungan gas nitrogen menunjukkan peningkatan ukuran
butir yang menyiratkan terjadinya pengurangan area batas butir. Proses konduksi
terjadi pada elektron pada pita konduksi yang melalui batas butir. Dengan kata
lain, perlakuan anil dalam lingkungan gas nitrogen dapat meningkatkan
konduktifitas karena adanya fasa sekunder pada lapisan film.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
90
Universitas Indonesia
Gambar 6.3. Pencitraan AFM 2 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca
ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)
proses PHT-2 (sampel C).
Gambar 6.4. Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca
ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)
proses PHT-2 (sampel C).
Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO
Sampel Diameter nanostruktur (nm) Ketebalan lapisan ZnO (μm)
A 366,16 2,04
B 260,44 1,24
C 306,85 1,28
6.3.2. Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO
Investigasi struktur kristal lapisan ZnO di atas substrat dilakukan dengan X-
Ray Diffraction (XRD). Analisis difraktogram menunjukkan bahwa ketiga sampel
teridentifikasi sebagai ZnO dengan referensi ICDD no 01-078-3322 untuk sampel
A, serta no 01-073-8765 untuk sampel B dan C. Secara keseluruhan, terdapat 3
puncak utama dengan intesitas tertinggi, yaitu pada sudut 2θ ~32,~34 dan ~36o
(Gambar 6.5). Ketiga puncak ini berkorelasi dengan kisi 100, 002, 101 dari
struktur kritstal wurtzit ZnO. Selain itu, terdapat juga 3 puncak dengan intensitas
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
91
Universitas Indonesia
yang jauh lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ ~47, ~56, dan ~63o yang berkorelasi
dengan kisi kristal 102, 110 dan 103. Puncak difraksi yang terlihat pada sudut 2θ
~35o merupakan karakteristik dari kaca ITO, seperti yang telah ditunjukkan pada
Gambar 4.8 dalam Sub Bab 4.3.4 terdahulu.
Pada Sampel A, yaitu sampel lapisan ZnO yang ditumbuhkan dengan proses
CBD, terlihat bahwa ketiga puncak dominan muncul dengan nilai intesitas hampir
sama (Gambar 6.5.a). Hal ini menunjukkan bahwa sampel memiliki arah
pertumbuhan yang acak, yang bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada
Gambar 6.1.a. Dengan mengaplikasikan perlakuan pasca-hidrotermal (Sampel B
dan Sampel C), terlihat bahwa puncak difraksi yang dominan muncul pada 2θ
~34o, yang merupakan karakteristik untuk kisi (002) (Gambar 6.5.b. dan Gambar
6.5.c). Perlakuan pasca-hisrotermal terbukti menghasilkan puncak struktur dengan
arah kristal yang tegak lurus pada sumbu-z . Hal ini bersesuaian dengan analisis
SEM yang ditunjukkan pada Gambar 6.1.b dan Gambar 6.1.c.
Perbedaan perlakuan pasca-hidotermal memberikan hasil difraktogram yang
sedikit berbeda. Pada Sampel B yang mengalami proses PHT-1, puncak kisi (002)
memiliki intensitas yang sangat tinggi, jauh melebihi puncak-puncak lain.
Sehingga, pada variasi ini seolah-olah terlihat bahwa lapisan ZnO hanya memiliki
satu puncak difraktogram saja (Gambar 6.5.b). Sedangkan pada sampel C yang
mengalamai proses PHT-2, selain puncak pada kisi [002], terdapat puncak dengan
intensitas kecil pada kisi (101) (Gambar 6.5.c). Dengan demikian, berdasarkan
difraktogram yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa Sampel B dengan
perlakuan PHT-1 merupakan variasi dengan kristalinitas yang paling tinggi.
Proses post-annealing dapat memberikan dampak besar pada sifat-sifat film
yang terbentuk, seperti kualitas kristal, sifat listrik serta morfologi permukaan.
Amoupour dkk telah membuktikan bahwa sampel yang dianil dengan
menggunakan gas nitrogen mengindikasikan kristalinitas yang lebih baik
dibanding sampel yang dianil di udara. Selain itu, mobilitas elektrik juga
mengalami peningkatan pada proses anil dengan menggunakan nitrogen [77].
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
92
Universitas Indonesia
Gambar 6.5. Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO
setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses
PHT-2 (sampel C).
Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO.
Sampel Parameter Kisi
a [nm] c [nm] c/a [nm] V [nm3]
A 0,32 0,52 1,60 47,63
B 0,32 0,52 1,60 47,67
C 0,32 0,52 1,60 47,73
Perhitungan parameter kisi terrangkum dalam Tabel 6.2. Analisis parameter
geometrik lapisan nanostruktur ZnO dilakukan dengan membandingkan metode
Scherrer dan Williamson-Hall. Metode Williamson-Hall (W-H) terbagi menjadi 3
jenis asumsi, yaitu Uniform Deformation Model (UDM), Uniform Deformation
Stress Model (UDSM), dan Uniform Deformation Energy Density Model
(UDEDM).
Pada Metode Scherrer, ukuran kristalit dan regangan karena terjadinya
dislokasi dapat dihitung dari perluasan puncak difraktogram. Untuk mendapatkan
perhitungan yang akurat, maka efek perluasan puncak yang disebabkan oleh
interaksi instrumen dan sampel perlu dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan material standar untuk menentukan perluasan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
93
Universitas Indonesia
puncak akibat instrumen [82]. Pada penelitian ini, koreksi terhadap perluasan
puncak akibat efek instrumen dilakukan dengan mengurangi nilai FWHM puncak
difraktogram yang terukur dengan nilai FWHM sampel standar ZnO.
Gambar 6.6. Plot kurva analisis Metode Scherrer untuk lapisan nanostruktur ZnO
di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B);
dan c) proses PHT-2 (sampel C).
Pada metode W-H dengan asumsi UDM, kristal dianggap bersifat isotropik,
dimana sifat dan regangan material dianggap sama pada seluruh arah [57,58].
Sementara, dengan asumsi UDSM dan UDEDM, kristal dianggap bersifat
anisotropik yang memiliki sifat tidak seragam pada seluruh arah [57,58].
Persamaan Scherrer memiliki ketergantungan pada setiap perubahan 1/cos θ,
sedangkan Persamaan Williamson-Hall (W-H) memiliki ketergantungan pada
setiap perubahan tan θ. Pada Metode W-H, ukuran kristalit dan regangan mikro
terjadi karena refleksi pada pelebaran puncak difraksi [82].
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
94
Universitas Indonesia
Gambar 6.7. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDM untuk lapisan
nanostruktur ZnO di atas kaca ITO: a) setelah proses CBD (Sampel A); b) setelah
proses PHT-1 (Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (Sampel C).
Gambar 6.8. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDSM untuk
lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (Sampel A); b)
setelah proses PHT-1 (Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (Sampel C).
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
95
Universitas Indonesia
Gambar 6.9. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDEDM untuk
lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (Sampel A); b)
setelah proses PHT-1(Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2(Sampel C).
Tabel 6.3. Parameter geometrik nanostruktur ZnO
Sampel
Metode
Scherrer
Metode Williamson Hall (W-H)
UDM UDSM UDEDM
D
[nm]
D
[nm]
ε
[10-3]
D
[nm]
σ
[MPa]
ε
[10-3]
D
[nm]
u
[kJ/m3]
σ
[MPa]
ε
[10-3]
A 15,24 15,24 3,6 23,25 200 1,39 16,72 472 261 1,81
B 17,81 17,81 3 19,05 400 2,7 18,05 602 299 2,01
C 24,94 16,13 3,3 21,43 200 0,33 18,29 420 239 1,76
Dari data parameter geometrik nanostruktur yang dihitung dengan beberapa
pendekatan, Sampel B memiliki nilai yang relatif lebih stabil dibandingkan
sampel-sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kisaran nilai ukuran kristalit
yang tidak terlalu lebar (~18 – 19 nm) dan nilai regangan (ε) yang berkisar antara
2 – 3x10-3. Kondisi ini bersesuaian dengan Gambar 6.1, yang menunjukkan bahwa
lapisan ZnO dengan proses PHT-1 (Sampel B) memiliki bentuk difraktogram
dengan kristalinitas paling tinggi dibandingkan sampel-sampel lainnya.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
96
Universitas Indonesia
6.3.3. Sifat Optik Lapisan Nanostruktur ZnO
Salah satu sifat optik yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah energi
celah pita (Eg). Gambar 6.10 memperlihatkan bahwa Sampel A dan Sampel C
memiliki daerah linier kurva yang jatuh pada panjang gelombang yang hampir
sama. Hal ini kemudian tebukti dari perhitungan yang menunjukkan nilai Eg untuk
Sampel A dan Sampel C masing-masing sebesar 3,21 dan 3,20 eV. Sedangkan
Sampel B mengalami penurunan nilai Eg yang lebih besar, yaitu 3,17 eV.
Rendahnya nilai Eg ini diduga berkorelasi dengan ukuran kristalit yang telah
dijelaskan dalam Sub Bab 6.3.2. Sampel B memiliki ukuran kristalit yang paling
stabil jika dibandingkan dengan sampel-sampel lainnya. Hal inilah yang
menyebabkan rendahnya nilai Eg pada perhitungan.
Gambar 6.10. Plot kurva perhitungan energi celah pita (Eg) dengan Metode ASF
untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah:a) proses CBD (sampel
A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C).
Pada percobaan yang terangkum dalam Bab 4 terdahulu, perlakuan pasca-
hidrotermal mampu menurunkan nilai Eg secara signifikan. Lapisan ZnO as-
synthesized memiliki Eg sebesar 3,63 eV. Setelah mengalami proses pasca-
hidrotermal selama 3 jam, nilai Eg mengalami penurunan hingga menjadi 3,15 eV
(Tabel 4.8). Penurunan signifikan tidak terjadi pada penelitian ini diduga
disebabkan oleh lapisan bibit yang sudah terbentuk sebelum nanostruktur ZnO
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
97
Universitas Indonesia
ditumbuhkan di atas substrat. Dengan menambahkan lapisan bibit, nanostruktur
ZnO menjadi lebih stabil.
Berbagai proses perlakuan yang digunakan dalam percobaan menghasilkan
nanostruktur dengan beragam karakteristik. Salah satu parameter yang sangat
terpengaruh oleh proses sintesis adalah ukuran kristalit. Parameter ini memiliki
kebergantungan yang besar terhadap suhu. Umumnya, untuk mendapatkan ukuran
kristalit yang tinggi dilakukan dengan menaikkan suhu reaksi. Akan tetapi, pada
percobaan dalam Bab ini, peranan suhu digantikan oleh tekanan. Ukuran kristalit
ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan nilai Eg. Seperti telah disebutkan
pada Bab 4 dan Bab 5 terdahulu, nilai Eg akan mengalami penurunan jika ukuran
kristalit meningkat. Dengan demikian, untuk setiap proses perlakuan pada sintesis
nanostruktur ZnO, akan didapat nilai Eg yang berubah-ubah, sebagai implikasi
dari perubahan ukuran kristalit dalam nanostruktur tersebut.
Gambar 6.11. Plot ln A terhadap 1/λ untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca
ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)
proses PHT-2 (sampel C).
Tabel 6.4. Energi celah pita (Eg) dan Energi Urbach (Eu) yang ditentukan dengan
Metode ASF.
Sampel Eg (eV) Eu (eV)
A 3,21 0,19
B 3,17 0,34
C 3,20 0,21
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
98
Universitas Indonesia
Dari percobaan terlihat bahwa trend Eu memiliki nilai yang berbanding
terbalik dengan Eg [80]. Nilai Eu menunjukkan exponential tail yang muncul
karena sifat amorf material [83]. Nilai ini berkorelasi dengan transisi optik antara
localized states yang berdekatan dengan pita valensi dan extended statepada pita
konduksi [56,57].
6.3.4. Aplikasi Nanostruktur ZnO sebagai Lapisan Anoda pada DSSC
Selanjutnya lapisan nanostruktur ZnO yang telah dikarakterisasi digunakan
sebagai anoda pada fabrikasi proptotipe DSSC. Proses pembuatan anoda
dilakukan dengan melakukan perendaman dalam zat pewarna (anoda pada DSSC.
Proses pembuatan anoda dilakukan dengan melakukan perendaman dalam zat
pewarna (dye) N719 0,05 M selama 2 jam, sesuai dengan metode yang digunakan
oleh Chung dkk [12].
Chung dkk [12] menyatakan bahwa proses anil lapisan bibit memegang
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi DSSC. Jika
digabungkan dengan proses anil untuk lapisan nanostruktur ZnO yang sudah
terbentuk, maka efisiensi yang dihasilkan akan lebih besar. Lapisan nanostruktur
dengan proses anil yang baik akan menyerap pewarna dalam jumlah yang lebih
banyak dengan cepat. Selain itu, rapat arus (JSC) atau arus per satuan luas yang
dihasilkan juga lebih besar [12]. Penelitian Chung dkk tersebut, menghasilkan sel
dengan efisiensi sebesar 0,78% .
Pada penelitian ini, kondisi tersebut terjadi pada sampel C yang mengalami
proses pasca-hidrotermal dalam gas N2. Pada saat perendaman zat pewarna (dye
loading), dalam waktu yang sama, sampel C dapat menyerap zat pewarna dengan
jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sampel-sampel lain. Hal itu
terlihat dari warna anoda sampel C yang lebih gelap. Proses pasca-hidrotermal
dengan gas N2 (PHT-2) diduga menjadi penyebab hal tersebut. Seperti telah
disampaikan ada Sub Bab 6.3.1 sebelumnya, proses PHT menghasilkan lapisan
nanostruktur ZnO yang paling padat dan rapi. Selain itu, proses tersebut tidak
hanya menghasilkan struktur nanorods ZnO saja, melainkan juga terbentuk
nanotubes ZnO. Bentuk nanotubes yang memiliki lubang atau pori pada bagian
atas struktur inilah yang diduga menjadi penyebab cepatnya proses pewarnaan
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
99
Universitas Indonesia
pada sampel C. Nilai arus yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan dengan
sampel-sampel lainnya (Tabel 6.5.). Proses dye loading yang baik akan
menghasilkan kurva JSC terhadap V yang paling baik (Gambar 6.12).
Tabel 6.5. Karakterisasi DSSC untuk setiap sampel anoda.
Sampel Vm
(mV)
Im
(mA)
VOC
(mV)
ISC
(mA)
FF Efficiency
(%)
A 304,80 0,11 386,03 0,12 0,72 0,06
B 304,85 0,20 467,29 0,27 0,48 0,12
C 222,77 0,24 447,20 0,35 0,34 0,10
Gambar 6.12. Kurva rapat arus (J) terhadap tegangan (V) untuk DSSC dengan
anoda lapisan nanostruktur ZnO
Hasil perhitungan karakterisasi DSSC terangkum dalam Tabel 6.5.
Perlakuan hidrotermal terbukti dapat menaikkan efisiensi DSSC dari 0,06 menjadi
~0,1%. Perbaikan struktur ZnO setelah proses pasca-hidrotermal diduga menjadi
faktor penentu kenaikan efisiensi tersebut. Jika dihubungkan dengan tingkat
kristalinitas yang telah dijelaskan pada Sub Bab 6.3.2., maka dapat dikatakan
bahwa nanostruktur ZnO dengan tingkat kristalinitas yang tinggi akan
menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi juga.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
100
Universitas Indonesia
6.4. Kesimpulan
Nanostruktur ZnO telah berhasil disintesis melalui metode CBD dengan
terlebih dahulu menempelkan lapisan bibit di atas substrat kaca ITO. Lapisan bibit
ini diketahui telah meningkatkan kestabilan pembentukan nanostruktur ZnO.
Perbedaan kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan nanostruktur
dengan bentuk yang berbeda. Pada variasi proses PHT-1, hasil sintesis yang
didapat berupa nanorods ZnO. Sedangkan variasi proses PHT-2 menghasilkan
nanorods dan nanotubes ZnO. Secara umum, proses pasca-hidrotermal
memberikan tingkat kristalinitas yang tinggi. Hal ini berpengaruh pada naiknya
efisiensi DSSC setelah perlakuan pasca-hidrotermal. Pada penelitian ini, nilai
efisiensi tertinggi dicapai pada 0,12% dengan perlakuan PHT-1.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
101
Universitas Indonesia
BAB VII
Kesimpulan dan Saran Penelitian
7.1. Kesimpulan
Pada penelitian disertasi ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif telah berhasil disintesis
dengan menggunakan metode chemical bath deposition (CBD) dan pasca-
hidrotermal pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat
(Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat) dan heksametilentetraamin (C6H12N4,
HMTA). Temperatur optimum pertumbuhan nanorods ZnO adalah pada
90oC. Suhu yang terlalu rendah mengakibatkan nanorods tidak memiliki
cukup energi untuk tumbuh secara tegak vertikal. Pada suhu yang lebih
tinggi, terjadi deformasi pada struktur ZnO sehingga membentuk struktur
tube, partikel dan jarum.
Kenaikan waktu reaksi juga berpengaruh pada diameter dan ukuran
kristalit nanorods ZnO. Nilai energi celah pita nanorods ZnO mengalami
penurunan dan profil absorbansi menunjukkan terjadinya red shift dengan
makin meningkatnya waktu reaksi. Pada penelitian ini, waktu optimum
yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ZnO di atas substrat adalah 3 jam.
b. Perlakuan pasca-hidrotermal menghasilkan lapisan ZnO dengan
kristalinitas yang lebih tinggi, energi celah pita (Eg) yang lebih rendah,
serta orientasi pertumbuhan nanorods ZnO yang semula tidak beraturan
menjadi tegak vertikal. Kondisi optimum untuk proses pasca-hidrotermal
yang digunakan adalah pada suhu 150oC selama 3 jam.
c. Suhu anil pada proses penempelan lapisan bibit memegang peranan
penting dalam struktur morfologi permukaan, bentuk, serta coverage
lapisan nanostruktur ZnO. Pada percobaan, kondisi optimum didapat pada
suhu 200oC dengan jumlah lapisan sebanyak 3 lapis.
Perbedaan kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan
nanostruktur dengan bentuk yang berbeda. Proses pasca-hidrotermal tanpa
penambahan gas N2 menghasilkan struktur berupa nanorods ZnO.,
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
102
Universitas Indonesia
sedangkan proses pasca-hidrotermal dengan penambahan gas N2
menghasilkan nanorods dan nanotubes ZnO.
d. DSSC dengan anoda yang dihasilkan dari proses pasca-hidrotermal dengan
penambahan gas N2 memperlihatkan kemampuan dye loading yang lebih
cepat. Adanya struktur nanotubes yang memiliki pori/rongga tersebut
diduga menjadi penyebab tingginya kemampuan penyerapan zat pewarna
(dye) oleh anoda hasil proses tersebut. DSSC ini menghasilkan sel dengan
efisiensi sebesar 0,10%.
Efisiensi tertinggi diraih oleh anoda setelah perlakuan pasca-hidrotermal
tanpa penambahan gas N2, yaitu sebesar 0,12%. Tingkat kristalinitas yang
tinggi serta rendahnya nilai Eg dari anoda hasil proses diduga menjadi
faktor yang mempengaruhi efisiensi sel tersebut.
7.2. Saran
Untuk penelitian lanjut, dapat dilakukan saran-saran sebagai berikut:
a. Dapat dilakukan karakterisasi lanjut (seperti photoluminescence atau
transmission electron microscopy, TEM) untuk mengamati fenomena yang
belum terlihat dalam analisis-analisis sebelumnya.
b. Perlu dilakukan investigasi terhadap kondisi optimum untuk proses pasca-
hidrotermal dengan penambahan gas N2. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah nanostruktur yang memiliki kristalinitas tinggi tanpa merusak
pertumbuhan struktur yang tegak lurus di atas substrat.
c. Dapat dipertimbangkan untuk melakukan pengujian terhadap surface area
untuk melihat kondisi morfologis lapisan nanostruktur ZnO secara
makroskopis.
d. Perlu dikaji nilai band edge dari nanostruktur ZnO yang dihasilkan dan
ditelaah hubungannya dengan efisiensi DSSC yang difabrikasi.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
103
Universitas Indonesia
Daftar Pustaka
[1] L. Li, T. Zhai, Y. Bando, and D. Golberg, “Recent progress of one-
dimensional ZnO nanostructured solar cells,” Nano Energy, vol. 1, no. 1,
pp. 91–106, Jan. 2012.
[2] a. B. Djurišić, a. M. C. Ng, and X. Y. Chen, “ZnO nanostructures for
optoelectronics: Material properties and device applications,” Prog.
Quantum Electron., vol. 34, no. 4, pp. 191–259, Jul. 2010.
[3] L. Schmidt-mende and J. L. Macmanus-driscoll, “ZnO - nanostructures,
defects, and devices,” Mater. Today, vol. 10, no. 5, pp. 40–48, 2007.
[4] G. Zhong, A. Kalam, A. S. Al-shihri, Q. Su, J. Li, and G. Du, “Low-
temperature growth of well-aligned ZnO nanorods / nanowires on flexible
graphite sheet and their photoluminescence properties,” Mater. Res. Bull.,
vol. 47, no. 6, pp. 1467–1470, 2012.
[5] Z.-N. Ng, K.-Y. Chan, and T. Tohsophon, “Effects of annealing
temperature on ZnO and AZO films prepared by sol–gel technique,” Appl.
Surf. Sci., vol. 258, no. 24, pp. 9604–9609, Oct. 2012.
[6] S.-H. Hu, Y.-C. Chen, C.-C. Hwang, C.-H. Peng, and D.-C. Gong,
“Development of a wet chemical method for the synthesis of arrayed ZnO
nanorods,” J. Alloys Compd., vol. 500, no. 2, pp. L17–L21, Jun. 2010.
[7] S. Godnick, “Atomic Scale Design Electron Transport in Semiconductors.”
.
[8] K. Takayanagi, “Suspended Gold Nanowires :,” vol. 3, no. 3, pp. 3–8,
2001.
[9] D. Byrne, E. Mcglynn, M. O. Henry, K. Kumar, and G. Hughes, “A novel ,
substrate independent three-step process for the growth of uniform ZnO
nanorod arrays,” Thin Solid Films, vol. 518, no. 16, pp. 4489–4492, 2010.
[10] M. Grätzel, “Dye-sensitized solar cells,” J. Photochem. Photobiol. C
Photochem. Rev., vol. 4, no. 2, pp. 145–153, Oct. 2003.
[11] J. Gong, J. Liang, and K. Sumathy, “Review on dye-sensitized solar cells
(DSSCs): Fundamental concepts and novel materials,” Renew. Sustain.
Energy Rev., 2012.
[12] J. Chung, J. Lee, and S. Lim, “Annealing effects of ZnO nanorods on dye-
sensitized solar cell efficiency,” Phys. B Condens. Matter, vol. 405, no. 11,
pp. 2593–2598, Jun. 2010.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
104
Universitas Indonesia
[13] S. Benramache, F. Chabane, B. Benhaoua, and F. Z. Lemmadi, “Influence
of growth time on crystalline structure , conductivity and optical properties
of ZnO thin films Influence of growth time on crystalline structure ,
conductivity and optical properties of ZnO thin films,” J. Semicond., vol.
023001, no. 2, pp. 1–4, 2013.
[14] K. K. Nagaraja, S. Pramodini, and H. S. Nagaraja, “Effect of annealing on
the structural and nonlinear optical properties of ZnO thin films under cw
regime,” J. Appl. Physycs D Appl. Phys., vol. 055106, p. 055106 1–12,
2013.
[15] L. Cui, G. Wang, H. Zhang, R. Sun, X. Kuang, and J. Han, “Effect of film
thickness and annealing temperature on the structural and optical properties
of ZnO thin films deposited on sapphire ( 0001 ) substrates by sol – gel,”
Ceramics International, 2013. [Online]. Available:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ceramint.2012.10.014.
[16] N. Kiomarsipour and R. S. Razavi, “Hydrothermal synthesis and optical
property of scale- and spindle-like ZnO,” Ceram. Int., vol. 39, no. 1, pp.
813–818, 2013.
[17] N. Karak, P. K. Samanta, and T. K. Kundu, “Green photoluminescence
from highly oriented ZnO thin film for photovoltaic application,” Opt. - Int.
J. Light Electron Opt., pp. 19–22, Jul. 2013.
[18] K. Fujimoto, T. Oku, T. Akiyama, and A. Suzuki, “Fabrication and
characterization of copper oxide-zinc oxide solar cells prepared by
electrodeposition,” J. Phys. Conf. Ser., vol. 433, p. 012024 1–7, 2013.
[19] T. M. Ã, T. Mizuta, H. Takakura, and Y. Hamakawa, “Antireflective
coating fabricated by chemical deposition of ZnO for spherical Si solar
cells,” Sol. Energy Mater. Sol. Cells, vol. 91, pp. 191–194, 2007.
[20] J. Yang, J. Lang, C. Li, L. Yang, Q. Han, Y. Zhang, D. Wang, M. Gao, and
X. Liu, “Effects of substrate on morphologies and photoluminescence
properties of ZnO nanorods,” Appl. Surf. Sci., vol. 255, no. 5, pp. 2500–
2503, Dec. 2008.
[21] F. Adriyanto, P. Sze, and Y. Wang, “ZnO Nanorods on Plastic Substrate
from Zinc Nitrate Hexahydrate and Hexamethylenetetramine Solution,” in
The 9th International Conference on Solid-State and Integrated-Circuit
Technology, 2008, pp. 2–5.
[22] J. Lang, J. Yang, C. Li, L. Yang, Q. Han, Y. Zhang, D. Wang, M. Gao, and
X. Liu, “Synthesis and optical properties of ZnO nanorods,” Cryst. Res.
Technol., vol. 43, no. 12, pp. 1314–1317, 2008.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
105
Universitas Indonesia
[23] P. K. Baviskar, P. R. Nikam, S. S. Gargote, A. Ennaoui, and B. R.
Sankapal, “Controlled synthesis of ZnO nanostructures with assorted
morphologies via simple solution chemistry,” J. Alloys Compd., vol. 551,
pp. 233–242, Feb. 2013.
[24] N. Kiomarsipour and R. Shoja Razavi, “Characterization and optical
property of ZnO nano-, submicro- and microrods synthesized by
hydrothermal method on a large-scale,” Superlattices Microstruct., vol. 52,
no. 4, pp. 704–710, Oct. 2012.
[25] Ü. Özgür, Y. I. Alivov, C. Liu, A. Teke, M. A. Reshchikov, S. Do, and V.
Avrutin, “A comprehensive review of ZnO materials and devices,” J. Appl.
Phys., vol. 98, no. 4, p. 041301, 2005.
[26] Z. L. Wang, “Nanostructures of zinc oxide,” J. Phys. Condens. Matter, vol.
16, no. June, pp. 26–33, Jun. 2004.
[27] Z. L. Wang, “Zinc oxide nanostructures: growth, properties and
applications,” J. Phys. Condens. Matter, vol. 16, no. 25, pp. R829–R858,
Jun. 2004.
[28] A. A. M. Farag, M. Cavas, F. Yakuphanoglu, and F. M. Amanullah,
“Photoluminescence and optical properties of nanostructure Ni doped ZnO
thin films prepared by sol – gel spin coating technique,” J. Alloys Compd.,
vol. 509, pp. 7900–7908, 2011.
[29] W.-Y. Su, J.-S. Huang, and C.-F. Lin, “Improving the property of ZnO
nanorods using hydrogen peroxide solution,” J. Cryst. Growth, vol. 310,
no. 11, pp. 2806–2809, May 2008.
[30] M. Wang, C.-H. Ye, Y. Zhang, G.-M. Hua, H.-X. Wang, M.-G. Kong, and
L.-D. Zhang, “Synthesis of well-aligned ZnO nanorod arrays with high
optical property via a low-temperature solution method,” J. Cryst. Growth,
vol. 291, no. 2, pp. 334–339, Jun. 2006.
[31] G.-C. Yi, C. Wang, and W. Il Park, “ZnO nanorods: synthesis,
characterization and applications,” Semicond. Sci. Technol., vol. 20, no. 4,
pp. S22–S34, Apr. 2005.
[32] Z. Fan and J. G. Lu, “Zinc oxide nanostructures: synthesis and properties.,”
J. Nanosci. Nanotechnol., vol. 5, no. 10, pp. 1561–73, Oct. 2005.
[33] A. Goetzberger and V. U. Hoffman, Photovoltaic Solar Energy Generation.
Berlin: Springer, 2005.
[34] M. Grätzel, K. Hara, H. Arakawa, and C. Dssc, “Dye-sensitized solar
cells,” J. Photochem. Photobiol. C Photochem. Rev., vol. 4, no. 2, pp. 145–
153, Oct. 2003.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
106
Universitas Indonesia
[35] H. Zhang, J. Feng, J. Wang, and M. Zhang, “Preparation of ZnO nanorods
through wet chemical method,” Mater. Lett., vol. 61, no. 30, pp. 5202–
5205, Dec. 2007.
[36] A. Korkin and F. Rosei, Eds., Nanoelectronics and Photonics
Nanostructure Science and Technology. Ontario: Springer, 2008.
[37] S. Baruah and J. Dutta, “pH-dependent growth of zinc oxide nanorods,” J.
Cryst. Growth, vol. 311, no. 8, pp. 2549–2554, Apr. 2009.
[38] E. A. Meulenkamp, “Synthesis and Growth of ZnO Nanoparticles,” vol.
5647, no. 98, pp. 5566–5572, 1998.
[39] Y. Caglar, “Sol – gel derived nanostructure undoped and cobalt doped
ZnO : Structural , optical and electrical studies,” J. Alloys Compd., vol.
560, pp. 181–188, 2013.
[40] M. Guo, P. Diao, and S. Cai, “Hydrothermal growth of perpendicularly
oriented ZnO nanorod array film and its photoelectrochemical properties,”
Appl. Surf. Sci., vol. 249, no. 1–4, pp. 71–75, Aug. 2005.
[41] C. X. Xu, a Wei, X. W. Sun, and Z. L. Dong, “Aligned ZnO nanorods
synthesized by a simple hydrothermal reaction,” J. Phys. D. Appl. Phys.,
vol. 39, no. 8, pp. 1690–1693, Apr. 2006.
[42] E. A. Meulenkamp, “Size Dependence of the Dissolution of ZnO
Nanoparticles,” vol. 4, no. 98, pp. 7764–7769, 1998.
[43] C. Xu, G. Xu, Y. Liu, and G. Wang, “A simple and novel route for the
preparation of ZnO nanorods,” Solid State Commun., vol. 122, no. 3–4, pp.
175–179, Apr. 2002.
[44] S. Aksoy and Y. Caglar, “Superlattices and Microstructures Effect of
ambient temperature on electrical properties of nanostructure n-ZnO / p-Si
heterojunction diode,” SUPERLATTICES Microstruct., vol. 51, no. 5, pp.
613–625, 2012.
[45] H. Zhang, D. Yang, S. Li, X. Ma, Y. Ji, J. Xu, and D. Que, “Controllable
growth of ZnO nanostructures by citric acid assisted hydrothermal
process,” Mater. Lett., vol. 59, no. 13, pp. 1696–1700, Jun. 2005.
[46] Y. Lee, Y. Zhang, S. L. G. Ng, F. C. Kartawidjaja, and J. Wang,
“Hydrothermal Growth of Vertical ZnO Nanorods,” J. Am. Ceram. Soc.,
vol. 92, no. 9, pp. 1940–1945, Sep. 2009.
[47] H. Zhong, J. Wang, M. Pan, S. Wang, Z. Li, W. Xu, X. Chen, and W. Lu,
“Preparation and photoluminescence of ZnO nanorods,” Mater. Chem.
Phys., vol. 97, no. 2–3, pp. 390–393, Jun. 2006.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
107
Universitas Indonesia
[48] M. Guo, P. Diao, and S. Cai, “Hydrothermal growth of well-aligned ZnO
nanorod arrays: Dependence of morphology and alignment ordering upon
preparing conditions,” J. Solid State Chem., vol. 178, no. 6, pp. 1864–1873,
Jun. 2005.
[49] J. Lee, J. Chung, and S. Lim, “Improvement of optical properties of post-
annealed ZnO nanorods,” Phys. E Low-dimensional Syst. Nanostructures,
vol. 42, no. 8, pp. 2143–2146, Jun. 2010.
[50] P. J. Goodhew, J. Humpreys, and R. Beanland, Electron Microscopy and
Analysis, 3rd editio. London: Taylor & Francis, 2001.
[51] D. Abou-Ras, M. Nichterwitz, M. J. Romero, and S. S. Schmidt, Advanced
Characterization Tehcniques for Thin Film Solar Cells. Weinheim: Wiley-
VCH Verlag GMbH & Co. KGaA, 2011.
[52] P. Eaton and P. West, Atomic Force Microscopy. Oxford: Oxford
University Press, 2010.
[53] G. Binnig, C. Quate, and C. Gerber, “Atomic Force Microscope,” Physical
Review Letters, vol. 56, no. 9. pp. 930–933, 1986.
[54] B. D. Cullity and S. R. Stock, X-RAY DIFFRACTION, 3rd editio. Notre
Dame, Indiana: Addison-Wisley Publishing Company, Inc., 1956.
[55] M. Mekhnache, A. Drici, L. S. Hamideche, H. Benzarouk, A. Amara, L.
Cattin, J. C. Bernède, and M. Guerioune, “Superlattices and
Microstructures Properties of ZnO thin films deposited on ( glass , ITO and
ZnO : Al ) substrates,” Superlattices Microstruct., vol. 49, no. 5, pp. 510–
518, 2011.
[56] R. Rusdi, A. A. Rahman, N. S. Mohamed, N. Kamarudin, and N.
Kamarulzaman, “Preparation and band gap energies of ZnO nanotubes,
nanorods and spherical nanostructures,” Powder Technol., vol. 210, no. 1,
pp. 18–22, Jun. 2011.
[57] V. D. Mote, Y. Purushotham, and B. N. Dole, “Williamson-Hall analysis in
estimation of lattice strain in nanometer-sized ZnO particles,” J. Theor.
Appl. Phys., vol. 6, no. 1, p. 6, 2012.
[58] A. Khorsand Zak, W. H. Abd. Majid, M. E. Abrishami, and R. Yousefi,
“X-ray analysis of ZnO nanoparticles by Williamson–Hall and size–strain
plot methods,” Solid State Sci., vol. 13, no. 1, pp. 251–256, Jan. 2011.
[59] J. Torrent and V. Barrón, “Diffuse Reflectance Spectroscopy,” in Methods
of Soil Analysis,Part 5. Mineralogical Methods, no. 5, A. L. Ulery and L.
R. Drees, Eds. Madison, WI: Soil Science Society of America, Inc., 2008,
pp. 367–385.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
108
Universitas Indonesia
[60] J. Tauc, R. Grigorovici, and A. Vancu, “Optical Properties and Electronic
Structure of Amorphous Germanium,” Phys. Status Solidi, vol. 15, no. 2,
pp. 627–637, 1966.
[61] N. Ghobadi, “Band gap determination using absorption spectrum fitting
procedure,” Int. Nano Lett., vol. 3, no. 1, p. 2, 2013.
[62] D. Souri and K. Shomalian, “Band gap determination by absorption
spectrum fitting method (ASF) and structural properties of different
compositions of (60−x) V2O5–40TeO2–xSb2O3 glasses,” J. Non. Cryst.
Solids, vol. 355, no. 31–33, pp. 1597–1601, Sep. 2009.
[63] M. Thambidurai, N. Muthukumarasamy, N. Sabari Arul, S. Agilan, and R.
Balasundaraprabhu, “Dye-sensitized ZnO nanorod based
photoelectrochemical solar cells with natural dyes extracted from Ixora
coccinea, Mulberry and Beetroot,” J. Mater. Sci. Mater. Electron., vol. 22,
no. 11, pp. 1662–1666, Mar. 2011.
[64] R. Pietruszka, B. . Witkowski, G. Luka, L. Wachniki, S. Gieraltowska, K.
Kopalko, E. Zielony, P. Bieganski, E. Placzek-Popko, and M. Godlewski,
“Photovoltaic properties of ZnO nanorods/p-type Si heterojunction
structures,” Beilsteein J. Nanotechnol., 2014.
[65] X. Wu, H. Chen, L. Gong, F. Qu, and Y. Zheng, “Low temperature growth
and properties of ZnO nanorod arrays,” Adv. Nat. Sci. Nanosci.
Nanotechnol., vol. 2, no. 3, p. 035006, Jul. 2011.
[66] Q. Ahsanulhaq, J. H. Kim, J. H. Kim, and Y. Hahn, “Seedless Pattern
Growth of Quasi-Aligned ZnO Nanorod Arrays on Cover Glass Substrates
in Solution.,” Nanoscale Res. Lett., vol. 5, no. 3, pp. 669–74, Jan. 2009.
[67] D. Vernardou, G. Kenanakis, S. Couris, E. Koudoumas, E. Kymakis, and
N. Katsarakis, “pH effect on the morphology of ZnO nanostructures grown
with aqueous chemical growth,” Thin Solid Films, vol. 515, no. 24, pp.
8764–8767, Oct. 2007.
[68] T. H. Meen, W. Water, Y. S. Chen, W. R. Chen, L. W. Ji, and C. J. Huang,
“Growth Of ZnO Nanorods by Hydrotherothermal Method Under Different
Temperatures,” 2007 IEEE Conf. Electron Devices Solid-State Circuits, pp.
617–620, 2007.
[69] M. Ali Yıldırım and A. Ateş, “Influence of films thickness and structure on
the photo-response of ZnO films,” Opt. Commun., vol. 283, no. 7, pp.
1370–1377, Apr. 2010.
[70] K. V Gurav, U. M. Patil, S. M. Pawar, J. H. Kim, and C. D. Lokhande,
“Controlled crystallite orientation in ZnO nanorods prepared by chemical
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
109
Universitas Indonesia
bath deposition : Effect of H 2 O 2,” J. Alloys Compd., vol. 509, no. 29, pp.
7723–7728, 2011.
[71] A. K. Zak, W. H. Majid, H. Z. Wang, R. Yousefi, A. M. Golsheikh, and Z.
F. Ren, “Ultrasonics Sonochemistry Sonochemical synthesis of hierarchical
ZnO nanostructures,” Ultrason. - Sonochemistry, vol. 20, no. 1, pp. 395–
400, 2013.
[72] S. Ameen, M. S. Akhtar, Y. S. Kim, O.-B. Yang, and H.-S. Shin,
“Influence of seed layer treatment on low temperature grown ZnO
nanotubes: Performances in dye sensitized solar cells,” Electrochim. Acta,
vol. 56, no. 3, pp. 1111–1116, Jan. 2011.
[73] M. Breedon, C. Rix, and K. Kalantar-zadeh, “Seeded growth of ZnO
nanorods from NaOH solutions,” Mater. Lett., vol. 63, no. 2, pp. 249–251,
Jan. 2009.
[74] A. H. Yuwono, B. Munir, A. Ferdiansyah, A. Rahman, and W. Handini,
“Dye Sensitized Solar Cell with Conventinally Annealed and Post-
Hydrothermally Treated Nanocrystalline Semiconductor Oxide TiO2
Derived from Sol Gel Process,” Makara Teknol., vol. 14, no. 2, pp. 53–60,
2010.
[75] G. Kenanakis, D. Vernardou, E. Koudoumas, and N. Katsarakis, “Growth
of c-axis oriented ZnO nanowires from aqueous solution: The decisive role
of a seed layer for controlling the wires’ diameter,” J. Cryst. Growth, vol.
311, no. 23–24, pp. 4799–4804, Dec. 2009.
[76] N. Ye and C. C. Chen, “Investigation of ZnO nanorods synthesized by a
solvothermal method, using Al-doped ZnO seed films,” Opt. Mater.
(Amst)., vol. 34, no. 4, pp. 753–756, Feb. 2012.
[77] E. Amoupour, A. A. Ziabari, H. Andarva, and F. E. Ghodsi, “Influence of
air / N2 treatment on the structural , morphological and optoelectronic traits
of nanostructured ZnO : Mn thin films,” Superlattices Microstruct., vol. 65,
pp. 332–343, 2014.
[78] L. Xu, G. Zheng, J. Miao, and F. Xian, “Dependence of structural and
optical properties of sol–gel derived ZnO thin films on sol concentration,”
Appl. Surf. Sci., vol. 258, no. 19, pp. 7760–7765, Jul. 2012.
[79] R. H. Zhang, E. B. Slamovich, and C. A. Handwerker, “Controlling growth
rate anisotropy for formation of continuous ZnO thin films from seeded
substrates,” Nanotechnology, vol. 24, pp. 195603–195610, 2013.
[80] A. A. Ziabari and F. E. Ghodsi, “Growth , characterization and studying of
sol – gel derived CdS nanoscrystalline thin films incorporated in
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
110
Universitas Indonesia
polyethyleneglycol : Effects of post-heat treatment,” Sol. Energy Mater.
Sol. Cells, vol. 105, pp. 249–262, Oct. 2012.
[81] A. Z. Simoes, C. S. Riccardi, M. L. Dos Santos, F. Gonzalez Garcia, E.
Longo, and J. A. Varela, “Effect of annealing atmosphere on phase
formation and electrical characteristics of bismuth ferrite thin films,”
Mater. Res. Bull., vol. 44, pp. 1747–1752, 2009.
[82] Y. T. Prabhu, K. V. Rao, V. S. S. Kumar, and B. S. Kumari, “X-ray
Analysisof Fe doped Zno Nanoparticles by Williamson-Hall and Size-
Strain Plot,” Int. J. Eng. Adv. Technol., vol. 2, no. 4, pp. 268–274, 2013.
[83] S. J. Ikhmayies and R. N. Ahmad-Bitar, “An investigation of the bandgap
and Urbach tail of vacuum-evaporated SnO 2 thin films,” Renew. Energy,
vol. 49, pp. 143–146, 2013.
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.
111
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.