D2109-Amalia Sholehah.pdf

128
UNIVERSITAS INDONESIA SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO) BERKETERATURAN TINGGI DENGAN METODE KIMIAWI BASAH UNTUK APLIKASI SEL SURYA TERSENSITASI ZAT PEWARNA DISERTASI Amalia Sholehah 1106044762 Fakultas Teknik Program Studi Teknik Metalurgi dan Material Depok Juli 2015 Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Transcript of D2109-Amalia Sholehah.pdf

Page 1: D2109-Amalia Sholehah.pdf

UNIVERSITAS INDONESIA

SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO)

BERKETERATURAN TINGGI

DENGAN METODE KIMIAWI BASAH

UNTUK APLIKASI SEL SURYA

TERSENSITASI ZAT PEWARNA

DISERTASI

Amalia Sholehah

1106044762

Fakultas Teknik

Program Studi Teknik Metalurgi dan Material

Depok

Juli 2015

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 2: D2109-Amalia Sholehah.pdf

i

Universitas Indonesia

SINTESIS NANOSTRUKTUR SENG OKSIDA (ZnO)

BERKETERATURAN TINGGI DENGAN METODE

KIMIAWI BASAH UNTUK APLIKASI SEL SURYA

TERSENSITASI ZAT PEWARNA

DISERTASI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Doktor

Amalia Sholehah

1106044762

Fakultas Teknik

Program Studi Teknik Metalurgi dan Material

Depok

Juli 2015

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 3: D2109-Amalia Sholehah.pdf

ii

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 4: D2109-Amalia Sholehah.pdf

iii

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 5: D2109-Amalia Sholehah.pdf

iv

KATA PENGANTAR / UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena atas

berkah dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan

disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai

gelar Doktor pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa,

tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai

pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan

disertasi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Prof. Dr. Ir. Akhmad Herman Yuwono, M.Phil.Eng, selaku promotor yang

telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya

dalam penyusunan disertasi ini;

(2) Dr. Ir. Sri Harjanto dan Prof. Dr. Ir. Nji Raden Poespawati, M.T., selaku

ko-promotor yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk

mengarahkan saya dalam penyusunan disertasi ini;

(3) Prof. Dr.-Ing. Ir. Bambang Suharno, Drs. Nofrijon Sofyan, M.Sc., Ph.D.,

Dr. Agus Supriyanto, S.Si., M.Si., dan Brian Yuliarto, ST., M.Eng., Ph.D.,

selaku ketua dan anggota tim penguji yang telah memberikan masukan dan

koreksi yang sangat berharga,

(4) Jurusan Teknik Metalurgi dan Material Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa, yang telah banyak membantu dalam usaha memperoleh data

yang saya perlukan;

Akhir kata, saya berharap Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga disertasi ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, Juli 2015

Penulis

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 6: D2109-Amalia Sholehah.pdf

v

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 7: D2109-Amalia Sholehah.pdf

vi

ABSTRAK

Nama : Amalia Sholehah

Program Studi : Teknik Metalurgi dan Material

Judul : Sintesis Nanostruktur Seng Oksida (ZnO) Berketeraturan

Tinggi dengan Metode Kimiawi Basah untuk Aplikasi

Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna

Seng oksida (ZnO) merupakan material semikonduktor dengan aplikasi

yang sangat luas dalam berbagai bidang seperti elektronik, optoelektronik,

fotokatalisis, hingga biomedis. Salah satu aplikasi yang marak diteliti saat ini

adalah penggunaan ZnO sebagai lapisan anoda untuk sel surya tersensitasi zat

pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC). Dalam pembuatan sel surya, kondisi

morfologi natural lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada

interaksi penyerapan cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah struktur one-

dimensional (1D) yang tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada

substrat kaca konduktif. Akan tetapi, struktur ini tidak mudah didapat pada

sintesis dengan metode kimiawi basah. Pertumbuhan nanostruktur dengan arah

yang tidak terorientasi akan mengakibatkan rendahnya kristalinitas dan energi

celah pita (Eg) yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kemampuan

penyerapan zat pewarna (dye) yang memberikan hasil DSSC dengan efisiensi

rendah.

Pada penelitian ini, dilakukan sintesis nanostruktur ZnO di atas substrat

kaca konduktif dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat (Zn(NO3)2.4H2O, Zn-

nitrat) dan heksametilentetraamin (C6H12N4, HMTA). Untuk meningkatkan

kestabilan lapisan ZnO di atas substrat, dilakukan penempelan lapisan bibit

terlebih dahulu dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan bibit ini

dibuat dengan menggunakan larutan yang disintesis pada suhu 0oC. Setelah proses

spin-coating, lapisan nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggunakan

metode chemical bath deposition (CBD). Untuk meningkatkan kristalinitas

nanostruktur ZnO, dilakukan proses pasca-hidrotermal, yang terbagi menjadi 2

variasi. Pada variasi pertama, reaksi dilakukan dalam reaktor hidrotermal pada

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 8: D2109-Amalia Sholehah.pdf

vii

150oC selama 3 jam. Pada variasi kedua, reaksi dilakukan dalam reaktor tertutup

dengan penambahan gas nitrogen (N2) 1 bar pada suhu 100oC selama 1 jam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pasca-hidrotermal,

menhasilkan lapisan nanostruktur ZnO dengan kristalinitas yang lebih tinggi,

ditandai dengan intensitas puncak difraksi yang lebih tajam dibandingkan dengan

ZnO hasil as-synthesized. Naiknya kristalinitas tersebut selanjutnya memicu

penurunan energi celah pita (Eg) sehingga lapisan nanostruktur ZnO dapat

menyerap cahaya pada panjang gelombang yang lebih besar. Selain itu, morfologi

yang yang terlihat dari hasil SEM juga menunjukkan perbaikan setelah proses

pasca-hidrotermal. Hal ini terlihat orientasi nanostruktur ZnO yang semula tidak

beraturan menjadi tegak vertikal. Dalam penelitian ini, diketahui bahwa perbedaan

kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan nanostruktur dengan

bentuk yang berbeda. Pada variasi pertama, didapat hasil sintesis berupa nanorods

ZnO, sedangkan variasi kedua menghasilkan nanorods dan nanotubes ZnO.

Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif yang telah dihasilkan

selanjutnya digunakan sebagai lapisan anoda pada DSSC. Pada penelitian ini,

terlihat bahwa perbedaan variasi proses pasca-hidrotermal mempengaruhi

kemampuan penyerapan warna (dye loading). Anoda yang dihasilkan dari proses

pasca-hidrotermal yang menggunakan penambahan gas N2 mampu menyerap za

pewarna lebih banyak. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya struktur nanotubes

yang memiliki pori/rongga. Namun demikian, efisiensi tertinggi diraih oleh anoda

setelah perlakuan pasca-hidrotermal tanpa gas N2, yaitu sebesar 0,12%. Nilai ini

bersesuaian dengan ukuran kristalit yang paling stabil dan energi celah pita paling

rendah yang didapat dari perhitungan. Pada penelitian, diameter kristalit dan

energi celah pita pada sampel dengan efisiensi tertinggi adalah sebesar ~18 nm

dan 3,17 eV.

Kata kunci: Nanostuktur ZnO, lapisan bibit, CBD, pasca-hidrotermal, gas N2,

efisiensi

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 9: D2109-Amalia Sholehah.pdf

viii

ABSTRACT

Name : Amalia Sholehah

Study Program : Metallurgical and Material Engineering

Title : Synthesis of Highly Ordered Zinc Oxide (ZnO) Nanostructure

via Wet Chemical Method for Dye-Sensitized Solar Cell

Zinc oxide (ZnO) is a semiconductor material with a very broad application

in many fields, such as electronics, optoelectronic, photocatalyst, and

biomedicine. One application that widely examined nowadays is its use as an

anode layer for dye-sensitized solar cells (DSSC). In solar cells fabrication, the

nature of morphological conditions of the oxide semiconductor layer greatly affect

the interaction of light absorption. Good morphology is a one-dimensional

structure (1D) arranged in parallel and attached vertically on a conductive glass

substrate. However, this structure is not easily obtained in the synthesis via wet

chemical method. Nanostructures with non-oriented growth will result in lower

crystallinity and higher band gap energy (Eg) is high. This can lead to low dye

absorption that results in DSSC with low efficiency.

In this study, synthesis of ZnO nanostructures on a conductive glass

substrate was carried out using zinc nitrate tetrahydrate (Zn(NO3)2.4H2O, Zn-

nitrate) and heksametilentetraamin (C6H12N4, HMTA) at 0oC. To improve the

stability of ZnO layer on the substrate, seeding layers were attached using spin-

coating method. After the spin-coating process, the seeding layers were grown

using chemical bath deposition (CBD). To improve the crystallinity of

nanostructured ZnO, post-hydrothermal process was performed afterward. This

process was divided into two variations. In the first variation, the reaction is

carried out in a hydrothermal reactor at 150oC for 3 hours. While in the second

variation, the reaction is carried out in a closed reactor with the addition of 1 bar

nitrogen gas (N2) at 100° C for 1 hour.

The results showed that post-hydrothermal treatment had improved the ZnO

nanostructures layer. The diffraction peaks were sharper than the as-synthesized

ZnO nanostructure, indicating higher crystallinity. As a consequence, the band gap

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 10: D2109-Amalia Sholehah.pdf

ix

energy would be lowered. In addition, the morphology also showed improvement

in the nanostructures orientation after a post-hydrothermal process. In this

research, the difference in the post-hydrothermal conditions generated different

shapes of ZnO nanostructures. The first variation resulted ZnO nanorods, while

the second variation produced ZnO nanorods and nanotubes.

In this study, it appeared that post-hydrothermal process variations affected

the dye loading capacity of the ZnO nanostructure layers. When used as anodes in

DSSC, the layer obtained from post-hydrothermal process using N2 gas additions

showed a higher dye absorption. The presence of nanotubes structure was

assumed to gave this contribution, since this structure had pores / cavities that

could absorbed more dyes. However, the highest efficiency achieved by the anode

after post-hydrothermal treatment without N2 gas, with the value of 0.12%. This

corresponded with the most stable crystallites size and lowest band gap energy

obtained from the calculation. In the study, the crystallites size and the band gap

energy of this sample were given as ~ 18 nm and 3.17 eV.

Keywords: ZnO nanostructures, seeding layer, CBD, post-hydrothermal, N2 gas,

efficiency

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 11: D2109-Amalia Sholehah.pdf

x

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

v

Abstrak vi

Abstract viii

Daftar Isi x

Daftar Gambar xii

Daftar Tabel xvi

Bab I. Pendahuluan 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 3

1.3. Tujuan Penelitian 4

1.4. Sistematika Penulisan 6

Bab II. Studi Pustaka 8

2.1. Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO) 8

2.1.1. Struktur Kristal ZnO 9

2.1.2. Sifat Mekanik ZnO 11

2.1.3. Sifat Optis dan Elektrik ZnO 12

2.2. Nanostruktur ZnO 13

2.3. Nanorods ZnO 16

2.4. Sintesis Nanostruktur ZnO 17

2.4.1. Proses Fasa Uap 17

2.4.2. Proses Fasa Larutan 20

2.5. Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah 21

2.6. Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya 24

2.6.1. Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized

Solar Cell, DSSC)

25

2.6.1.1. Two-Dimensional (2D) DSSC 25

2.7. State of The Art Penelitian 26

2.8. Hipotesis Penelitian 28

Bab III. Metode Penelitian 29

3.1. Tinjauan Umum 29

3.2. Sintesis Nanostruktur ZnO 29

3.2.1. Pembuatan Lapisan Bibit ZnO 29

3.2.2. Pertumbuhan Nanostruktur ZnO 31

3.2.3. Proses Pasca-Hidrotermal 31

3.3. Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC) 33

3.4. Teknik Karakterisasi 33

3.4.1. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM) 33

3.4.2. Analisis Atomic Force Microscopy 34

3.4.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD) 35

3.4.3.1. Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode

Scherrer

35

3.4.3.2. Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi 37

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 12: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xi

Kristal dengan Metode Williamson-Hall

3.4.4. Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis)

dengan Mode Diffuse Reflectance Spectroscopy

(DRS)

40

3.4.4.1. Penentuan Energi Celah Pita (Band gap

energy, Eg)

41

a.Persamaan Tauc 41

b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS) 43

3.4.5. Efisiensi Sel Surya 44

Bab IV. Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical

Deposition Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal

46

4.1. Pendahuluan 46

4.2. Tujuan Penelitian 46

4.3. Hasil dan Pembahasan 47

4.3.1. Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur

Nanorods ZnO

47

4.3.2. Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO 50

4.3.3. Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap

Ukuran Kristalit ZnO

52

4.3.4. Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO 57

4.3.5. Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap

Nanostruktur ZnO

62

4.4. Kesimpulan 68

Bab V. Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO

yang Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath

69

5.1. Pendahuluan 69

5.2. Tujuan Penelitian 70

5.3. Hasil dan Pembahasan 71

5.3.1. Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap

Nanostruktur ZnO

71

5.3.2. Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui

Metode Chemical Bath Deposition (CBD)

77

5.4. Kesimpulan 83

Bab VI. Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal terhadap Lapisan

Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell

84

6.1. Pendahuluan 84

6.2. Tujuan Penelitian 85

6.3. Hasil dan Pembahasan 86

6.3.1. Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO 86

6.3.2. Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO 90

6.3.3. Sifat Optik Lapisan Nanostruktur ZnO 96

6.3.4. Aplikasi Nanostruktur ZnO sebagai Lapisan Anoda

pada DSSC

98

6.4. Kesimpulan 100

Bab VII. Kesimpulan dan Saran Penelitian 101

7.1. Kesimpulan 101

7.2. Saran 102

Daftar Pustaka 103

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 13: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite 9

Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO 10

Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang

tersusun secara tetrahedral

10

Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a)

direct dan b) indirect semiconductor

12

Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis 15

Gambar 2.6. Efek ballistic transport 16

Gambar 2.7 Beberapa skema geometris pada proses sintesis

nanostruktur ZnO dengan metode CVD

18

Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode

VLS

19

Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal 21

Gambar 2.10. Sel surya tipikal 24

Gambar 2.11. Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC 25

Gambar 2.12. Skema 2D DSSC 26

Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian 29

Gambar 3.2. Skema proses CBD 31

Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150oC selama 3

jam pada tekanan atmosfer (PHT-1)

32

Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100oC selama 1

jam pada tekanan gas N2 1 bar (PHT-2)

32

Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ pada

metode Scherrer

36

Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada metode UDM 38

Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada metode

UDSM

39

Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl)1/2 pada

metode UDEDM

40

Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg 42

Gambar 3.10. Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5

dalam kondisi gelap dan terang

45

Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada

temperatur pemanasan 90oC

49

Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu

pertumbuhan

51

Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO 53

Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X untuk nanorods ZnO 54

Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO 56

Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90oC

selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam

57

Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang

disintesis pada 90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan

(c) 5 jam

58

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-X nanorods ZnO yang disintesis pada

90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam

59

Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO hasil 61

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 14: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xiii

sintesis pada 90oC: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam

Gambar 4.10. Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). as-

deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah

perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3

jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam

63

Gambar 4.11. Difraktogram sinar-X nanorods ZnO: (a) as-deposited

pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-

hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9

jam

65

Gambar 4.12. Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited

pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-

hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3, (c) 6, dan (d) 9

jam

66

Gambar 4.13. Plot kurva (αhν)2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a)

as-deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah

perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3

jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam

67

Gambar 5.1. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 100oC sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3

lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C)

72

Gambar 5.2. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 200oC sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3

lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C)

72

Gambar 5.3. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 300oC sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3

lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C)

72

Gambar 5.4. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 400oC sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3

lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C)

72

Gambar 5.5. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 500oC sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3

lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C)

73

Gambar 5.6. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 100oC sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3

lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot Tauc untuk

lapisan bibit yang dianil pada suhu 100oC

74

Gambar 5.7. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 200oC sebanyak b). 1 (2A), c). 3 (2B),

dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot Tauc untuk lapisan bibit

yang dianil pada suhu 200oC

75

Gambar 5.8. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 300oC sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3

lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot Tauc untuk

lapisan bibit yang dianil pada suhu 300oC

75

Gambar 5.9. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3

lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot Tauc untuk

lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC

76

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 15: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xiv

Gambar 5.10. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang

dianil pada suhu 500oC sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3

lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet : plot Tauc untuk

lapisan bibit yang dianil pada suhu 500oC

76

Gambar 5.11. Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via

metode CBD (90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang

dianil pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan a). 1 (2A)

lapis, b). 3 (2B) lapis dan c). 5 lapis (2C); serta pada

suhu 400oC dengan jumlah lapisan d). 1 (4A) lapis, e). 3

lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C) lapis

78

Gambar 5.12. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via

metode CBD (90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta

dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC

sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5

lapis (2C)

79

Gambar 5.13. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via

metode CBD (90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta

dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC

sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis

(4C)

79

Gambar 5.14. Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode

CBD (90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil

pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan a). 1 lapis (2A),

b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu

400oC dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis

(4B), dan f). 5 lapis (4C)

81

Gambar 5.15. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD

(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit; serta dengan

lapisan bibit yang dianil pada 200oC dengan jumlah

lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis

(2C)

82

Gambar 5.16. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD

(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan

bibit yang dianil pada 400oC dengan jumlah lapisan b).

1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C)

83

Gambar 6.1. Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO

setelah: (a) proses CBD (sampel A) dengan perbesaran

i) 5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii) 25.000 X; (b) proses

PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii)

10.000 X, dan iii) 25.000 X; serta (c) proses PHT-2

(sampel C) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000 X,

dan iii) 25.000 X

88

Gambar 6.2. Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses

PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)

88

Gambar 6.3. Pencitraan AFM 2D lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses

PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)

90

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 16: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xv

Gambar 6.4. Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di

atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b)

proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel

C)

90

Gambar 6.5. Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca

ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-

1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)

92

Gambar 6.6. Plot kurva analisis metode Scherrer untuk lapisan

nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: a) proses

CBD (sampel A); b) proses PHT-1(sampel B); dan c)

proses PHT-2(sampel C).

93

Gambar 6.7. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan

asumsi UDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO: a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah

proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2

(sampel C).

94

Gambar 6.8. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan

asumsi UDSM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah

proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2

(sampel C)

94

Gambar 6.9. Plot kurva analisis metode Williamson-Hall dengan

asumsi UDEDM untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO a) setelah proses CBD (sampel A); b) setelah

proses PHT-1 (sampel B); dan c) setelah proses PHT-2

(sampel C)

95

Gambar 6.10. Plot kurva perhitungan energi celah pita (Eg) dengan

metode ASF untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas

kaca ITO setelah:a) proses CBD (sampel A); b) proses

PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C)

96

Gambar 6.11. Plot ln A terhadap 1/λ untuk lapisan nanostruktur ZnO di

atas kaca ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b)

proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel

C)

97

Gambar 6.12. Kurva rapat arus (J) terhadap tegangan (V) untuk DSSC

dengan anoda lapisan nanostruktur ZnO

99

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 17: D2109-Amalia Sholehah.pdf

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO 14

Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah

perlakuan pasca-hidrotermal

53

Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO 55

Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a). as-synthesized;

setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b). 3

jam, dan (c). 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal

150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam

56

Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 57

Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan

variasi waktu reaksi

60

Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis 61

Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah

perlakuan pasca-hidrotermal

64

Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah

perlakuan pasca-hidrotermal

68

Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO 74

Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis 78

Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis. 80

Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode

CBD

82

Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO 90

Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO 92

Tabel 6.3. Parameter geometrik nanostruktur ZnO 95

Tabel 6.4. Energi celah pita (Eg) dan energi Urbach (Eu) yang

ditentukan dengan metode ASF

97

Tabel 6.5. Karakterisasi DSSC untuk setiap sampel anoda 99

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 18: D2109-Amalia Sholehah.pdf

1

Universitas Indonesia

BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Seng oksida (ZnO) dalam bentuk nanostruktur satu dimensi (one-

dimensional, 1D) merupakan salah satu material yang banyak diteliti dalam

dekade terakhir ini. Struktur morfologi yang beragam, proses sintesis yang mudah

serta aplikasi yang luas di bidang optik, elektronik, piezoelektrik dan sensor [1–3]

merupakan daya tarik bagi pengembangan riset tentang material tersebut.

ZnO merupakan material semikonduktor dengan nilai energi celah pita

(band gap energy, Eg) yang lebar (3,37 eV) dan nilai energi ikat eksiton yang

besar (60 meV) [4-5]. Posisi pita valensi ZnO yang tepat berada di bawah pita

konduksi (direct band gap) memungkinkan terjadinya eksitasi elektron yang lebih

cepat pada saat absorpsi energi foton dibandingkan dengan TiO2 yang memiliki

karakeristik sebagai semikonduktor indirect band gap. ZnO yang tumbuh dalam

nanostruktur one-dimensional (1D) vertikal; seperti nanowires, nanorods, dan

nanotubes; bahkan secara khusus diketahui berpotensi dalam bidang

optoelektronik dan elektronik [6].

Salah satu kelebihan dari struktur 1D adalah dapat memberikan efek

ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu medium dengan

mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya hamburan [7-8].

Dengan demikian, kemungkinan energi yang hilang dalam proses transportasi

elektron dapat diminimalisasi. Hamburan pada proses transportasi dapat terjadi

karena adanya pengotor, cacat pada kristal maupun struktur yang memungkinkan

terjadinya osilasi gerak elektron pada proses transportasi.

Lapisan semikonduktor 1D yang tersusun rapi dan homogen pada area yang

luas di atas substrat memiliki potensi yang besar dalam berbagai bidang [9]. Salah

satu aplikasi nanostruktur ZnO di bidang optoelektronik yang banyak diteliti

adalah sel surya. Di tengah permasalahan krisis energi global yang dihadapi

masyarakat dunia karena menipisnya cadangan bahan bakar fosil serta gencarnya

gerakan penggunakan energi bersih (clean energy), pencarian sumber energi baru

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 19: D2109-Amalia Sholehah.pdf

2

Universitas Indonesia

dan terbarukan merupakan trend penelitian yang cukup populer saat ini. Dengan

memanfaatkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara tropis yang berada di

garis khatulistiwa, penggunaan sel surya sebagai sumber energi alternatif

merupakan solusi penting yang cukup rasional untuk diaplikasikan.

Selain sel surya konvensional berbasis Si, generasi ketiga dari sel surya;

yaitu sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-sensitized solar cell, DSSC), adalah

jenis yang banyak diteliti saat ini. Kelebihan DSSC terletak pada biaya pembuatan

yang relatif rendah dan merupakan bagian dari grup sel surya lapisan tipis (thin

film solar cells) [10]. Salah satu komponen penting dari DSSC adalah lapisan

semikonduktor yang diletakkan di antara dua plat kaca konduktif (transparent

conductive oxide glass, TCO glass). Daerah ini merupakan area antar fasa yang

melibatkan semikonduktor dan lapisan zat warna (dye) di atasnya. Lapisan

semikonduktor yang banyak dipakai saat ini adalah TiO2. Material ini memiliki

energi celah pita (band gap energy, Eg) sebesar 3,20 eV sehingga mampu

menyerap energi foton pada sebagian besar spektrum cahaya matahari.

ZnO merupakan alternatif semikonduktor yang potensial karena memiliki

struktur dan nilai Eg yang mirip dengan TiO2 serta mobilitas elektron yang cukup

tinggi (1–5 cm2V-1s-1) [11]. Dalam pembuatan sel surya, kondisi morfologi natural

lapisan semikonduktor oksida sangat berpengaruh pada interaksi penyerapan

cahaya. Bentuk morfologi yang baik adalah mesoporous channel atau nanorods

yang masing-masing tersusun secara paralel dan melekat secara vertikal pada

substrat kaca TCO [12]. Bentuk-bentuk ini menghasilkan efek difusi pori yang

baik, yang memberikan akses penetrasi dye hingga ke batas butir dan berperan

pada fenomena light trapping yang akan mempengaruhi kinerja sel surya.

Pembuatan nanostruktur ZnO secara umum dapat dibagi menjadi 2 metode

besar, yaitu proses fasa uap (vapor-phase process) dan proses kimia basah (wet

chemical process) [6]. Proses fasa uap seperti spray pyrolisis [13], radio

frequency (RF) / magnetron sputtering [14], dan chemical vapor deposition

(CVD) [4] memberikan hasil nanostruktur yang sangat baik, tetapi mempunyai

kekurangan pada mahalnya biaya proses dan peralatan yang rumit. Untuk

melakukan sintesis dengan proses tersebut dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu

seperti suhu tinggi (≥ 400oC), tekanan rendah, dan kontrol atmosfer yang baik.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 20: D2109-Amalia Sholehah.pdf

3

Universitas Indonesia

Kondisi yang cukup rumit ini mengakibatkan sulitnya dilakukan fabrikasi massal

nanostruktur ZnO dengan metode tersebut. Sedangkan proses kimia basah seperti

sol–gel [15], hidrotermal [16], spin coating [17], atau elektrodeposition [18]

merupakan metode yang kini dianggap cukup menjanjikan untuk fabrikasi

nanorod ZnO dalam skala besar. Metode tersebut mempunyai kelebihan pada

biaya yang murah, proses yang ramah lingkungan dan dapat dilakukan pada suhu

yang relatif lebih rendah [4,19-20]. Namun sayangnya, sebagai konsekuensi dari

rendahnya suhu proses tersebut, nanostruktur ZnO yang dihasilkan dengan metode

ini mempunyai tingkat kristalinitas yang relatif rendah, karena fasa anorganik

yang dihasilkan masih bersifat amorf.

Telah dipertimbangkan sebelumnya bahwa struktur 1D vertikal yang

tumbuh merata di atas permukaan substrat dengan kristalinitas yang tinggi

merupakan kunci penting dalam pembuatan sel surya yang baik [21]. Beberapa

penelitian terdahulu telah dilakukan dalam upaya mendapatkan struktur tersebut

dengan menggunakan metode kimia basah [6,21–24]. Namun, hingga saat ini

struktur yang vertikal sempurna pada substrat TCO masih sulit didapat dengan

menggunakan metode tersebut. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian yang

sistematis dan komprehensif untuk memperoleh kondisi proses optimal yang

mampu menghasilkan nanostruktur ZnO 1D dengan karakteristik morfologi, sifat

optik dan performa yang paling sesuai untuk lapisan semikonduktor pada DSSC.

1.2. Rumusan Masalah

Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat TCO merupakan

salah satu faktor penting untuk mendapatkan sel surya dengan tingkat efisiensi

tinggi karena mampu memfasilitasi transfer elektron yang lebih baik. Di samping

itu, tingkat kristalinitas dari nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting

dalam proses tersebut, dalam kaitannya dengan mekanisme eksitasi elektron dari

pita valensi ke pita konduksi pada saat menyerap energi foton dari sinar matahari.

Nilai energi celah pita (band gap energy, Eg) ZnO yang cukup besar

mengakibatkan penyerapan energi foton hanya dapat terjadi pada rentang sinar

ultra-violet, sehingga aplikasi ZnO sebagai semikonduktor terbatas hanya pada

rentang emisi cahaya tersebut. Oleh karena itu, diperlukan paparan cahaya

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 21: D2109-Amalia Sholehah.pdf

4

Universitas Indonesia

matahari yang sangat kuat untuk menghasilkan eksitasi foton yang dapat

menghasilkan listrik. Hal ini merupakan permasalahan yang perlu ditelaah lebih

dalam agar sel surya yang menggunakan ZnO sebagai bahan semikonduktor juga

dapat diaplikasikan pada kondisi tertentu dimana intensitas sinar matahari tidak

terlampau kuat.

Pada umumnya, kontrol reaksi untuk metode kimia basah hanya dilakukan

melalui pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi. Sejauh ini, belum

ditemukan adanya penelitian yang mengarah pada pengaruh penambahan tekanan

eksternal terhadap proses kimiawi basah serta hasil sintesis yang akan didapat.

Dengan melakukan modifikasi pada tekanan yang digunakan dalam reaksi,

diharapkan dapat diperoleh struktur yang diinginkan dalam waktu yang lebih

singkat dan suhu proses yang lebih rendah.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada Sub Bab 1.2, maka optimasi karakteristik

nanostruktur ZnO merupakan prioritas di dalam fabrikasi sel surya. Kontrol

terhadap struktur nanostruktur ZnO, diharapkan memperbaiki sifat-sifat elektronik

fundamental material. Penurunan nilai Eg sebagai salah satu parameter elektronik

material dapat dilakukan dengan melakukan restrukturisasi morfologi ZnO

melalui proses hidrotermal. Dengan demikian maka diharapkan efisiensi dan arus

yang dihasilkan DSSC dengan lapisan nanostruktural ZnO hasil sintesis melalui

proses pasca-hidrotermal tersebut dapat ditingkatkan secara signifikan. Dengan

mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, maka secara umum penelitian

ini bertujuan untuk:

a. Mempelajari proses sintesis nanostruktur ZnO melalui metode kimia basah

pada suhu rendah dan proses pasca–hidrotermal untuk memperoleh

nanostruktur yang sesuai untuk lapisan semikonduktor oksida pada DSSC.

b. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,

kristalinitas, serta sifat-sifat elektronik fundamental nanostruktur ZnO;

c. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis

terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 22: D2109-Amalia Sholehah.pdf

5

Universitas Indonesia

Untuk mencapai tujuan di dalam penelitian ini, akan dilakukan beberapa strategi

sebagai berikut:

a) Nanostruktur ZnO disintesis melalui metode kimia basah dengan

menggunakan prekursor larutan bibit Zn(NO3).4H2O dan

heksametilentetraamin (HMTA). Variasi pada konsentrasi larutan bibit,

suhu dan waktu reaksi, serta kondisi basa larutan digunakan untuk mencari

kondisi optimum proses sintesis nanostruktur ZnO.

b) Nanostruktur ZnO kondisi optimum disintesis melalui metode kimia basah

dan dilanjutkan dengan perlakuan pasca-hidrotermal dengan variasi

konsentrasi dan waktu reaksi. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut

terhadap kristalinitas, sebaran (coverage), dan morfologi bibit

nanostruktur ZnO di atas substrat akan dipelajari secara sistematis.

c) Nanostruktur ZnO sebagai lapisan bibit di atas substrat ditumbuhkan

melalui metode kimia basah dan dilanjutkan dengan proses pasca-

hidrotermal. Investigasi terhadap proses penempelan larutan bibit

nanostruktur ZnO pada substrat kaca indium titanium oxide (ITO)

dilakukan dengan variasi jumlah lapisan bibit yang ditempelkan pada

substrat melalui metode spin-coating. Selain itu, proses pertumbuhan

lapisan bibit menjadi struktur nanostruktur ZnO juga dilakukan mealui

proses hidrotermal. Metode hidrotermal yang digunakan pada tahap ini

dilakukan dalam reaktor dengan variasi waktu dan tekanan reaksi. Dengan

menggunakan penambahan tekanan, diharapkan kristalinitas dan orientasi

pertumbuhan nanorod ZnO dapat mengalami kenaikan secara signifikan

sehingga mampu menghasilkan sifat optik yang baik untuk diaplikasikan

pada sel surya.

d) Nanostruktur ZnO hasil sintesis tahapan-tahapan di atas akan

diintegrasikan ke dalam divais, baik sebagai lapisan semikonduktor oksida

anorganik pada sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC) dan dilihat

perbandingan performanya.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 23: D2109-Amalia Sholehah.pdf

6

Universitas Indonesia

1.4. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan laporan ini dimulai dari Bab I: Pendahuluan, Bab ini,

akan dibahas latar belakang yang mendasari dilakukannya penelitian. Berdasarkan

latar belakang tersebut, dirumuskan masalah yang akan diselesaikan dengan

menentukan tujuan-tujuan penelitian. Selain itu, Bab ini juga akan

menggambarkan secara singkat mengenai sistematika penulisan disertasi.

Bab II berisikan Tinjauan Pustaka, yaitu literatur mengenai seng oksida

(zinc oxide, ZnO), yang meliputi sifat-sifat karakteristik materialnya, proses

sintesis, dan aplikasinya dalam sel surya, terutama DSSSC. Dalam Bab ini, akan

dibahas secara spesifik teknik sintesis nanostruktur ZnO dengan metode kimiawi

basah yang telah dilakukan oleh penelitian-penelitian terdahulu. Dengan

menggabungkan hasil studi literatur dan percobaan pendahuluan yang telah

dilakukan sebelumnya, dirumuskan state of the art, berikut hipotesis yang

digunakan dalam penelitian ini.

Bab III menjelaskan tentang Metodologi Penelitian, yang berisi prosedur

sintesis nanostruktur ZnO dan karakterisasi hasil penelitian. Pada Bab ini, akan

dijelaskan secara rinci mengenai tahapan penelitian, metode kerja yang dilakukan,

serta teknik-teknik karakterisasi yang digunakan dalam penelitian.

Tahapan awal dari hasil penelitian disajikan dalam Bab IV: Nanorod ZnO

Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Bath Deposition (CBD) dan Pasca-

Hidrotermal. Bab ini menjelaskan tentang ringkasan hasil dan pembahasan dari

percobaan perdahuluan yang dilakukan di awal penelitian. Parameter-parameter

sintesis seperti suhu reaksi, waktu reaksi, serta kekuatan basa menjadi perhatian

yang akan ditelaah. Pada akhir Bab IV, didapat kondisi sintesis yang paling

optimum untuk digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya.

Proses penelitian selanjutnya akan dibahas dalam Bab V: Pengaruh Lapisan

Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorod ZnO yang Disintesis dengan Metode

Chemical Deposition Bath (CBD). Tahapan ini merupakan proses optimasi

nanostruktur ZnO yang sudah diperoleh dari percobaan pendahuluan pada Bab 4.

Dalam Bab ini, akan dijelaskan tentang pengaruh jumlah lapisan bibit dan suhu

anil, serta proses penumbuhan lapisan terhadap nanostruktur ZnO hasil sintesis.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 24: D2109-Amalia Sholehah.pdf

7

Universitas Indonesia

ZnO dengan struktur paling optimum yang diperoleh pada proses ini selanjutnya

akan digunakan dalam fabrikasi DSSC.

Dengan menggunakan hasil yang telah diperoleh pada Bab terdahulu,

dilakukan tahapan selanjutnya, yaitu Bab VI: Efek Variasi Perlakuan Hidrotermal

terhadap Lapisan Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensitized Solar Cell

(DSSC). Dalam Bab ini, dilakukan fabrikasi DSSC dengan menggunakan

nanostruktur ZnO hasil optimasi yang sudah didapat dari Bab 5. Pengaruh

penambahan tekanan eksternal menjadi ciri utama yang akan dijelaskan dalam

Bab ini. Selain itu, sifat-sifat karakteristik dari DSSC yang dihasilkan juga akan

diamati.

Penelitian ditutup dengan menyajikan Bab VII: Kesimpulan dan Saran

Penelitian. Bagian ini menggambarkan ringkasan hasil penelitian secara umum

serta langkah-langkah yang disarankan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 25: D2109-Amalia Sholehah.pdf

8

Universitas Indonesia

BAB II

Studi Pustaka

2.1. Seng Oksida (Zinc Oxide, ZnO)

Seng oksida (zinc oxide, ZnO) adalah salah satu semikonduktor golongan II-

VI dengan tingkat ionitas berada pada ambang batas antara semikonduktor ionik

dan kovalen [25]. Material ini memiliki energi celah pita langsung (direct band

gap) yang lebar sebesar 3,37 eV pada 300 K [9, 25–28]. Kelebihan yang dimiliki

oleh material dengan energi celah pita yang lebar adalah dapat menahan medan

listrik yang besar, memiliki electronic noise yang rendah, serta dapat dioperasikan

pada suhu dan daya tinggi. Nilai energi celah pita ZnO dapat dinaikkan hingga

~4.0 eV dengan cara memadukan ZnO dan magnesium oksida (MgO) atau

kadmium oksida (CdO). Sifat tersebut membawa potensi yang sangat besar untuk

aplikasi laser semikonduktor UV-biru, dioda pemancar cahaya dan peralatan

optoelektronik [29-30].

ZnO menghasilkan emisi ultra-violet (UV) yang kuat disebabkan oleh

tingginya energi ikat eksiton sebesar 60 meV [28,9] pada temperatur ruang, jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan bahan semikonduktor lain, misalnya galium

nitrida (GaN). Nilai energi ikat eksiton yang tinggi dapat memperkuat efisiensi

emisi eksiton dalam suhu kamar. Tingginya nilai energi ikat eksiton ini membuat

ZnO menjadi material yang potensial untuk digunakan dalam aplikasi laser

dengan basis rekombinasi eksiton pada suhu kamar atau bahkan suhu tinggi [3].

Fenomena luminesensi sinar UV pada suhu kamar bahkan telah dilaporkan terjadi

pada nanopartikel ZnO berketeraturan rendah dan pada lapisan tipis film ZnO

[27].

Di sisi lain, ZnO merupakan material yang ramah lingkungan dan bersifat

biocompatible, sehingga dapat diaplikasikan sebagai peralatan biomedis tanpa

memerlukan perlakuan coating [31]. ZnO tidak beracun dan mempunyai

transparansi yang sangat baik dalam spektrum cahaya tampak [29]. Mobilitas

elektron dari ZnO sangat bervariasi, bergantung pada suhu, dengan nilai

maksimum ~200 cm2/(V·s) pada 80 K. ZnO merupakan material semikonduktor

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 26: D2109-Amalia Sholehah.pdf

9

Universitas Indonesia

dengan tipe-n dengan nilai mobilitas hole berkisar antara 5–30 cm2/(V·s).

Koefisien difusi elektron pada anoda ZnO yang difabrikasi menjadi DSSC

diketahui memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan TiO2. Nilai

koefisien difusi elektron ZnO diketahui sebesar 1,2x10-4 cm2/s, sedangkan TiO2

sebesar 5x10-5 cm2/s [12]. Dengan karakteristik tersebut, ZnO dapat

menghantarkan elektron lebih cepat dibandingkan TiO2.

2.1.1. Struktur Kristal ZnO

Secara umum, struktur kristal ZnO terbagi menjadi hexagonal wurtzite,

cubic zincblende, dan struktur kubus rocksalt yang jarang ditemui (hanya terdapat

pada tekanan yang sangat tinggi, yaitu sekitar 10 GPa), seperti terlihat pada

Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur ZnO a) rocksalt, b) zinc blende, dan c) wurzite [25].

Struktur wurtzite ZnO mempunyai space grup C6mc dengan nilai konstanta

kisi a = 3,2469 Å and c = 5,2065 Å. Secara sederhana, struktur ZnO dapat

digambarkan sebagai bidang tetrahedral dengan ion Zn2+ atau O2- terletak pada

pusat secara bergantian [27]. Detail struktur kristal wurtzite ZnO dapat dilihat

pada Gambar 2.2.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 27: D2109-Amalia Sholehah.pdf

10

Universitas Indonesia

Gambar 2.2. Struktur kristal wurtzite ZnO [1]

Susunan koordinasi tetrahedral dalam ZnO menunjukkan struktur non-

centrosymmetric [1,32]. Sifat inilah yang menyebabkan adanya fenomena

piezoelektrik dan piroelektrik pada ZnO. Dalam struktur non-centrosymmetric

tersebut, pusat muatan positif dan negatif dapat bertukar posisi dengan

menambahkan tekanan luar [32].

Efek piezoelektrik dapat diilustrasikan sebagai suatu kation yang dikelilingi

oleh anion-anion dengan susunan tetrahedral, seperti terlihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Skema efek piezoelektrik pada kation dan anion yang tersusun secara

tetrahedral [27,32].

Kation yang terletak pada pusat tetrahedron merupakan pusat gravitasi bagi

anion-anion di sekelilingnya. Dengan menambahkan tekanan di sepanjang sisi

sudut tetrahedron akan mengakibatkan terjadinya distorsi struktur. Hal ini

menyebabkan posisi anion tidak lagi bersesuaian dengan posisi kation sebagai

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 28: D2109-Amalia Sholehah.pdf

11

Universitas Indonesia

pusat, sehingga terjadilah dipol listrik. Jika tetrahedral dalam struktur mengalami

orientasi yang sama atau orientasi yang saling menguatkan maka kristal akan

mengalami dipol listrik makroskopis. Akibatnya, bidang yang saling

berseberangan pada kristal akan mempunyai muatan listrik yang berbeda [27].

Sifat piezoelektrik mengacu pada proses reversibel dimana terjadi kontraksi

atau elongasi pada kristal ketika diletakkan dalam suatu medan listrik. Sebuah

kristal hanya akan bersifat piezoelektrik jika memiliki struktur non-

centrosymmetric, yang memastikan tidak terjadinya dipol listrik dengan arah

berlawanan atau saling meniadakan pada struktur. Efek piezoelektrik dapat

mengubah vibrasi mekanik menjadi sinyal listrik atau sebaliknya. Efek ini

digunakan sebagai dasar pembuatan resonator, sensor, atau alat kontrol

pergerakan pada scaning probe microscopy [27]. Di antara material-material

semikonduktor berstruktur tetrahedral, ZnO merupakan material dengan sifat

piezoeletrik terkuat, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan GaN dan

aluminium nitride (AlN).

2.1.2. Sifat Mekanik ZnO

ZnO mengalami deformasi plastis pada beban yang cukup rendah, yaitu 4–

13 mN dengan jarak spherical indenter sebesar 4,2 mm. Nilai kekerasan (H) yang

terukur untuk ZnO adalah sebesar 5,0 + 0,1 GPa. Modulus Young (E) untuk ZnO

memiliki nilai konstan sebesar 111,2±4,7 GPa. Untuk ZnO polikristalin, nilai H

dan E terukur dalam kisaran 1,5 – 12 GPa dan 40 – 120 GPa. Besaran H dan E

untuk ZnO diketahui memiliki nilai yang lebih rendah dari GaN. Nilai H pada

GaN memiliki kisaran 15,5 + 0.9 GPa, sedangkan E pada GaN adalah sebesar 210

+ 23 GPa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ZnO termasuk material

yang lebih lunak jika dibandingkan dengan GaN. Hal ini disebabkan oleh titik

leleh ZnO (1975oC) yang lebih rendah dari GaN (2500°C) dan juga sifat ionik

yang lebih besar (0,616 pada ZnO dibandingkan dengan 0,500 pada GaN) [25].

Selain itu, ZnO juga diketahui memiliki kapasitas dan konduktifitas panas yang

tinggi, serta ekspansi termal rendah.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 29: D2109-Amalia Sholehah.pdf

12

Universitas Indonesia

2.1.3. Sifat Optis dan Elektrik ZnO

ZnO merupakan direct semiconductor. Pada direct semiconductor, pita

konduksi berada tepat di atas pita valensi. Absorpsi cahaya dalam semikonduktor

umumnya merupakan absorpsi kisi dasar (basic lattice absorption), dimana

eksitasi elektron akan menempatkan sejumlah elektron pada pita konduksi dan

meninggalkan hole pada pita valensi dalam jumlah yang sama [33]. Perbedaan

bentuk kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada semikonduktor (direct

dan indirect semiconductors) diperlihatkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Kurva energi sebagai fungsi momentum kristal pada a) direct dan

b) indirect semiconductor [33].

Sumbu-y pada Gambar 2.4 menyatakan energi dan sumbu x menyatakan

momentum kristal. Pada direct semiconductor, energi minimum pita konduksi

berada tepat pada momentum yang sama dengan energi maksimum pita valensi

(Gambar 2.4.a). Ketika sebuah foton terabsorpsi, terjadi perbedaan energi antara

kondisi awal dan akhir dengan besar E = hυ [33]. Dengan demikian, energi yang

terjadi saat absorpsi besarnya akan sama dengan energi yang dilepas pada proses

deabsorpsi. Hal yang berbeda terjadi pada indirect semiconductor. Gambar 2.4.b

memperlihatkan bahwa energi minimum pita konduksi tidak berada tepat di atas

energi maksimum pita valensi. Dalam hal ini, eksitasi elektron dari pita valensi ke

pita konduksi hanya akan terjadi apabila terdapat pergeseran momentum kristal

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 30: D2109-Amalia Sholehah.pdf

13

Universitas Indonesia

yang disebabkan oleh adanya absorpsi fonon (phonon). Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa absorpsi cahaya pada indirect semiconductor lebih rendah

dibandingkan direct semiconductor karena melibatkan dua proses, yaitu absorpsi

fonon dan absorpsi foton [33].

Sifat optis dari suatu semikonduktor dipengaruhi oleh efek intrinsik dan

ekstrinsik. Efek intrinsik terjadi pada elektron dalam pita konduksi dan hole pada

pita valensi, dan juga oleh efek eksitonik yang terjadi karena interaksi Coulomb.

Sedangkan efek ekstrinsik terjadi karena adanya cacat atau penambahan dopant

pada semikonduktor [25].

Pada semikonduktor, sifat elektrik dan optis umumnya dipengaruhi oleh

cacat titik (point defect). Konsentrasi cacat pada suatu kristal bergantung pada

besarnya energi pembentukan (formulation energy, Ef) [25].

c = Nsites exp {- (Ef / kBT)} (2.1)

dimana Nsites adalah konsentrasi tempat dimana cacat mungkin terjadi. Cacat yang

paling umum terjadi pada kristal ZnO adalah vacancy oksigen (oxygen vacancy)

dan interstisi seng (Zn interstitial). Cacat pada kristal ZnO dapat ditentukan

berdasarkan kondisi tekanan parsial seng (pO2 dan pZn). Pada suasana reduksi

kuat dalam suhu tinggi, maka oxygen vacancy lebih mudah terjadi. Sedangkan Zn

interstitial akan lebih banyak terjadi pada kondisi apabila kristal terekspos dalam

suasana uap Zn berlebih [3,25].

Secara natural, ZnO dengan struktur wurtzite merupakan semikonduktor

tipe-n yang disebabkan oleh dua cacat tersebut di atas. Proses doping pada ZnO

untuk menghasilkan semikonduktor tipe-p hingga saat ini masih menjadi topik

riset yang sangat ramai, dikarenakan tingginya kesulitan dalam pembuatan

semikonduktor tersebut. Masalah tersebut disebabkan oleh berbagai hal, antara

lain energi cacat asal pada kristal yang lebih rendah dari dopant, adanya pengotor

background selain dopant, serta rendahnya kelarutan dopant. Kandidat dopant

yang cukup baik untuk semikonduktor ZnO tipe-p adalah nitrogen (N) [2,25].

2.2. Nanostruktur ZnO

Penemuan karbon nanotubes oleh Iijima pada tahun 1991 telah

menginspirasi penelitian yang menginvestigasi pertumbuhan dan karakterisasi

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 31: D2109-Amalia Sholehah.pdf

14

Universitas Indonesia

material one-dimensional (1D) berstruktur nano serta material semikonduktor.

Dengan menurunkan ukuran ZnO dari bulk material menjadi skala nanometer atau

bahkan lebih kecil, beberapa sifat fisik dari ZnO akan mengalami peningkatan.

Hal ini disebut sebagai “quantum size effects” [32].

Celah pita nanopartikel ZnO diketahui memiliki kebergantungan dengan

ukuran ZnO. Selain itu, pengataman spektroskopi absorpsi sinar-X dan scanning

electron microscopy memperlihatkan adanya perbaikan kondisi permukaan ketika

ZnO mengalami penurunan ukuran hingga mencapai skala nanometer [32].

Beberapa sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO [32]

Sifat Fisik Nilai

Konstanta kisi (T = 300K)

a0 0,32 nm

c0 0,52 nm

Density 5,61 g/cm3

Titik leleh 2248 K

Konstanta dielektrik relatif 8,66

Energi celah pita 3,37 eV, direct

Energi ikat eksiton 60 meV

Massa efektif elektron 0,24

Mobilitas elektron (T = 300K) 200 cm2/Vs

Massa efektif hole 0,59

Mobilitas hole ( T = 300K) 5-50 cm2/Vs

Nanostruktur ZnO single crystal memiliki sifat listrik yang lebih baik

daripada ZnO polikristalin. Kelemahan terbesar dari pengembangan ZnO dalam

bidang elektronik dan fotonik terletak pada kesulitan melakukan doping tipe-p.

Nanostruktur ZnO dengan doping tipe-p yang berhasil dapat memberikan aplikasi

yang sangat besar dalam bidang optoelektronik dan elektronik berskala nano. ZnO

nanowires tipe-p dan tipe-n dapat dibuat menjadi p-n junctions diode atau dioda

pemancar cahaya (Light Emitting Diode, LED) [32].

ZnO dengan ukuran nano telah berhasil disintesis dengan berbagai bentuk,

antara lain nanowires dan nanorods, nanocombs, nanorings, nanoloops dan

nanohelices, nanobows, nanobelts dan nanocages [34], seperti terlihat pada

Gambar 2.5. Aplikasi nanostruktur ZnO ini berhubungan dengan morfologi dan

ukuran, yang akan mempengaruhi sifat optis dan elektrik dari ZnO hasil fabrikasi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 32: D2109-Amalia Sholehah.pdf

15

Universitas Indonesia

Gambar 2.5. Berbagai bentuk nanostruktur ZnO hasil sintesis [31]

Sifat optis intrinsik dari ZnO nanostruktur telah banyak dipelajari untuk

aplikasi divais fotonik. Berdasarkan data emisi eksiton yang teramati dari

spektrum fotoluminesens nanorods ZnO, terlihat bahwa quantum size confinement

dapat meningkatkan exciton binding energy [32]. Puncak emisi yang tampak

sangat signifikan pada panjang gelombang 380 nm disebabkan oleh transisi band-

to-band. Pita emisi warna hijau-kuning yang teramati merupakan efek dari

vacancy atom oksigen. Intensitas emisi cahaya hijau akan meningkat dengan

berkurangnya diameter nanowire. Diameter yang makin kecil mengakibatkan

rasio surface-to-volume yang makin besar, sehingga terjadi kenaikan cacat dan

surface recombination [32].

Nanostruktur ZnO one-dimensional (1D) saat ini merupakan topik yang

marak dalam berbagai bidang riset penelitian. Struktur 1D diketahui mempunyai

variasi morfologi yang sangat kaya yang dapat disintesis dengan menggunakan

berbagai metode. Selain itu, nanostruktur 1D memiliki aplikasi pada bidang optik,

elektronik, piezoelektronik, serta sensor. Sebagai material yang ramah

lingkungan, nanostruktur 1D juga merupakan salah satu material yang potensial

untuk diaplikasikan dalam pembuatan sel surya sebagai alternatif energi bersih

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 33: D2109-Amalia Sholehah.pdf

16

Universitas Indonesia

yang baru dan terbarukan [1]. Di antara 1D nanostruktur, nanorods dan nanowires

ZnO telah menarik banyak perhatian disebabkan oleh kemudahan dalam

pembentukan nanomaterial serta aplikasi yang luas .

2.3. Nanorods ZnO

Nanorods ZnO secara khusus mempunyai potensi aplikasi yang baik dalam

bidang optoelektronik. Struktur nanorods yang teratur diketahui dapat

memberikan efek ballistic transport, dimana elektron dapat bergerak dalam suatu

medium dengan mengabaikan resistansi elektrik yang disebabkan karena adanya

hamburan [30,35]. Mekanisme ballistic transport terlihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Efek ballistic transport [36]

Proses transportasi elektron dalam suatu material bergantung pada

karakteristik dari panjang (L) dan lebar (W) daerah aktif dari material tersebut.

Daerah bebas rata-rata (dimana terjadi tumbukan elastis) yang dilalui oleh

elektron dinyatakan sebagai l. Sedangkan daerah dimana terjadi tumbukan tidak

elastis dinyatakan sebagai lψ. Jika panjang L dan W lebih besar daripada l dan lψ,

maka transport elektron bersifat diffusive (Gambar 2.6.a). Apabila panjang W

lebih kecil namun panjang L lebih besar dari l dan lψ, maka transport elektron

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 34: D2109-Amalia Sholehah.pdf

17

Universitas Indonesia

bersifat quasi-ballistic (Gambar 2.6.b). Sedangkan jika L dan W lebih kecil

daripada l dan lψ, maka transport elektron bersifat ballistic (Gambar 2.6.c). Pada

proses transport ballistic, elektron dapat bergerak dengan panjang lintasan yang

melebihi panjang dan lebar daerah aktif material tersebut.

2.4. Sintesis Nanostruktur ZnO

2.4.1. Proses Fasa Uap

Salah satu proses sintesis nanostruktur ZnO dalam fasa uap yang banyak

digunakan adalah metode chemical vapor deposition (CVD). Secara umum,

metode CVD merupakan proses sederhana dimana suatu material dipanaskan pada

suhu tinggi sehingga menjadi fasa uap yang kemudian dikondensasi. Proses

sintesis dengan metode CVD dapat digunakan untuk menghasilkan nanostruktur

ZnO dalam berbagai bentuk, dengan menggunakan material dasar dan parameter

proses yang berbeda-beda. Salah satu metode oksidasi langsung yang dapat

digunakan adalah dengan memanaskan serbuk Zn dengan aliran gas oksigen pada

suhu 500-700oC. Metode lain yang juga sering digunakan adalah metode

karbotermal, yaitu mencampurkan Zn dan karbon (C) dengan komposisi tertentu.

Proses sintesis dengan metode ini berlangsung pada suhu 800-1100oC. Selain itu,

seng asetilasetonat hidrat juga digunakan sebagai material dasar, dengan suhu

proses yang jauh lebih rendah (130-140oC) [2,32]. Morfologi dari nanostruktur

yang dihasilkan sangat bergantung pada jenis dan laju alir carrier gas serta jarak

subtrat dan material dasar.

Proses CVD biasanya dilakukan dalam tube furnace horizontal dengan

kondisi vakum pada tekanan ~2x10-3 Torr. Pada proses ini, material dasar yang

akan diproses diletakkan dalam krusibel alumina dan diletakkan pada posisi

tengah furnace yang disebut sebagai zona pemanasan. Uap ZnO kemudian

ditransportasikan ke ujung lain dari tube furnace yang bersuhu lebih rendah, yang

disebut sebagai zona deposisi. Pada area ini, diletakkan substrat yang akan

digunakan sebagai tempat menempelnya uap ZnO hasil pemanasan. Proses

transportasi dilakukan dengan menggunakan aliran gas H2 sebagai carrier gas.

Pada zona pemanasan, reaksi yang terjadi adalah:

ZnO(s) + H2(g) → Zn(g) + H2O(g) (2.2)

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 35: D2109-Amalia Sholehah.pdf

18

Universitas Indonesia

Di zona deposisi, terjadi reaksi sebaliknya, sebagai konsekuensi dari suhu yang

lebih rendah dari zona pemanasan. Reaksi yang terjadi pada zona tersebut adalah:

Zn(g) + H2O(g) → ZnO(s) + H2(g) (2.3)

ZnO hasil pemanasan inilah yang akan menempel pada substrat membentuk

lapisan tipis [25]. Metode ini menghasilkan lapisan ZnO pada substrat dengan

coverage yang baik dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Parameter proses yang

penting untuk diperhatikan pada proses ini antara lain adalah suhu, tekanan,

carrier gas (meliputi jenis gas dan laju alirnya), jenis substrat, dan waktu

evaporasi [27]. Skema proses dengan metode CVD dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Beberapa proses sintesis nanostrukturZnO dengan metode CVD

dengan menggunakan: a) substrate downstream; b) substrate upstream; c) inner

tube; d) inlet gas O2; e).vertical growth; dan f) multiple gas inlet [2]

Berdasarkan perbedaan mekanisme pembentukan nanostruktur ZnO, proses

CVD terbagi menjadi dua golongan, yaitu proses tanpa katalis (vapor-solid, VS)

dan proses dengan menggunakan katalis (vapor-liquid-solid, VLS). Proses VS

dilakukan dengan kondensasi uap material yang langsung menempel pada

substrat, seperti yang digambarkan pada Gambar 2.6. Proses ini menghasilkan

nanostruktur ZnO dengan berbagai bentuk. Sedangkan pada proses VLS,

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 36: D2109-Amalia Sholehah.pdf

19

Universitas Indonesia

pertumbuhan nanostruktur ZnO dikontrol dengan penambahan katalis, yang akan

membentuk nanopartikel atau nanocluster. Katalis yang ditambahkan dapat

berupa Au, Cu, Co atau Sn. Skema proses sintesis dengan metode VLS dapat

dilihat pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Skema proses sintesis nanostruktur ZnO dengan metode VLS [32]

Pada mekanisme sintesis VLS, katalis logam diteteskan pada komponen

adsorben dalam fasa uap. Proses ini dilakukan pada suhu tinggi dan menghasilkan

cairan yang merupakan paduan antara komponen fasa uap (misalnya uap Zn) dan

katalis logam. Paduan tersebut kemudian mengalami proses lewat jenuh

(supersaturation) yang selanjutnya menghasilkan larutan yang berisi komponen

pembentuk paduan dalam konsentrasi tinggi. Hal ini selanjutnya akan mendorong

terjadinya reaksi presipitasi komponen fasa uap pada antar muka fasa cair-padat.

Ketika energi bebas minimum dari fasa paduan terlampaui, maka terjadi

pertumbuhan kristal yang akan terus berkembang selama persediaan komponen-

komponen pembentuk reaksi ini tersedia dalam sistem. Karena proses sintesis ini

melibatkan fasa uap / vapor (komponen reaktan utama), cair / liquid (katalis

logam), dan padat / solid (kristal yang terpresipitasi), maka proses ini disebut

sebagai proses vapor-liquid-solid (VLS). Setelah nanostruktur didapat, maka

dilakukan evaporasi terhadap katalis [32]. Sehingga hasil akhir akan memberikan

substrat yang sudah ditumbuhi nanostruktur tanpa adanya katalis.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 37: D2109-Amalia Sholehah.pdf

20

Universitas Indonesia

2.4.2. Proses Fasa Larutan

Beberapa metode sintesis berbasis larutan yang umum digunakan antara lain

adalah aqueous solution growth dan metode hidrotermal. Metode-metode ini

dapat digunakan untuk menempelkan nanostruktur ZnO di atas substrat. Untuk

metode aqueous solution growth, reaktan yang umum digunakan adalah larutan

Zn(NO3)2 dan (CH2)6N4. Reaksi yang terjadi pada proses ini adalah [3]:

(CH2)6N4 + 6H2O ↔ 6HCHO + 4NH3 (2.4)

NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH- (2.5)

2OH- + Zn2+ ↔ ZnO(s) + H2O (2.6)

Metode aqueous solution growth dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan

gelas laboratorium sederhana. Selain itu, metode ini umumnya dilakukan pada

suhu yang relatif rendah, yaitu di bawah titik didih air (80-90oC).

Penggunaan metode hidrotermal untuk menumbuhkan ZnO nanostruktur

telah menarik banyak perhatian dikarenakan kemudahan untuk melakukan proses

serta kondisi pertumbuhan yang tidak membutuhkan suhu tinggi. Karena sintesis

dilakukan dalam pelarut air, maka suhu pertumbuhan dapat ditekan hingga

mencapai di bawah 100oC, atau di bawah titik didih air [37]. Proses hidrotermal

merupakan teknik untuk mengkristalisasi atau menaikkan kristalinitas suatu

material dari larutan dengan menggunakan tekanan uap tinggi yang umumnya

dilakukan dalam suatu reaktor yang disebut sebagai autoclave. Proses ini banyak

digunakan dalam bidang geologi, terutama pengolahan mineral, dan kini sering

digunakan dalam bidang nanomaterial. Metode ini merupakan cara yang murah,

dapat dilakukan pada suhu rendah, mudah dimodifikasi, dan menghasilkan

struktur nanorods yang vertikal. Salah satu ciri dari proses hidrotermal adalah

adanya puncak pada difraktogram XRD yang muncul pada sudut 2θ antar 35 –

40o. Puncak pada daerah ini merupakan karakteristik untuk bidang [002] yang

merupakan ciri dari nanorods yang dihasilkan pada metode hidrotermal. Namun

demikian, tingkat kristalinitas nanorods ZnO yang dihasilkan dari prosedur ini

umumnya belum terlalu tinggi, disebabkan oleh banyaknya cacat interstisi oksigen

(oxygen-interestitial defects) yang terjadi pada permukaan. Skema peralatan

hidrotermal yang dipergunakan pada penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 38: D2109-Amalia Sholehah.pdf

21

Universitas Indonesia

Gambar 2.9. Skema peralatan pada sistem hidrotermal

Pada Gambar 2.9, ZnO ditumbuhkan dengan meletakkan lapisan bibit ZnO

(yang sudah ditumbuhkan di atas substrat) pada posisi terbalik. Metode

hidrotermal menggunakan cairan atau air untuk menghasilkan tekanan yang dapat

membantu pertumbuhan ZnO nanostruktur. ZnO diharapkan tumbuh vertikal

dengan bantuan gaya gravitasi. Substrat yang sudah diletakkan dengan posisi

terbalik kemudian diletakkan dalam kontainer Teflon, lalu dimasukkan dalam

tabung hidrotermal. Bentuk kristal yang dihasilkan melalui ini bergantung pada

jenis prekursor dan derajat keasaman (pH) larutan bibit serta nutrient.

Ukuran dan orientasi pertumbuhan nanostruktur ZnO yang disintesis dengan

proses hidrotermal sangat bergantung pada arah orientasi dan perlakuan substrat.

Sintesis dengan menggunakan metode hidrotermal membutuhkan adanya lapisan

bibit (seed layer) yang akan memicu pertumbuhan nanostruktur menjadi lapisan

yang rapat dan merata di seluruh permukaan substrat [27]. Pembuatan lapisan

bibit di atas substrat dapat dilakukan dengan proses spin-coating atau sputtering.

2.5. Sintesis Nanorods ZnO dengan Proses Kimiawi Basah

Seperti telah disebutkan sebelumnya, adanya lapisan bibit merupakan salah

satu kontrol penting pada sintesis nanostruktur ZnO. Pembuatan bibit ZnO yang

cukup terkenal dilakukan oleh Spanhel dan Anderson pada tahun 1991 dengan

metode sol-gel. Pada percobaan tersebut, prekursor nanorods ZnO dibuat dengan

menggunakan bahan dasar seng asetat dihidrat (Zn(CH3COO)2.2H2O) dan etanol.

Meulenkamp [38] melakukan beberapa modifikasi pada metode ini dan

mengidentifikasi parameter-parameter penting yang berpengaruh dalam

pembuatan ZnO, seperti particle growth, perlakuan setelah proses pertumbuhan

(pencucian dan pengeringan), konsentrasi prekursor, dan pH larutan prekursor.

Percobaan klasik ini menghasilkan nanostruktur ZnO dengan bentuk nanopartikel.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 39: D2109-Amalia Sholehah.pdf

22

Universitas Indonesia

Metode sol-gel telah banyak digunakan dalam pembuatan nanorods ZnO.

Proses ini menawarkan kemungkinan sintesis film untuk area yang luas dengan

aplikasi teknologi berbiaya rendah [39]. Secara umum investigasi terdahulu

melaporkan pentingnya lapisan bibit untuk menginisiasi pertumbuhan yang

seragam dan terarah dari nanorods ZnO [12,40–43]. Adanya lapisan bibit ZnO di

atas substrat kaca konduktif merupakan kontrol yang baik terhadap diameter dan

panjang nanorods ZnO yang akan ditumbuhkan. Tetapi, lapisan bibit tidak

memperbaiki densitas coverage nanorods ZnO pada substrat. Untuk mendapatkan

substrat dengan tingkat coverage nanorods ZnO yang baik, maka dapat dilakukan

proses penempelan lapisan bibit ZnO beberapa kali [43]. Untuk proses sol-gel,

metode pembuatan lapisan ZnO yang umum dilakukan yaitu teknik dip-coating,

dimana substrat dicelupkan dalam larutan bibit dan ditarik kembali dengan

kecepatan tertentu. Metode lain yang dapat digunakan adalah teknik spin-coating,

yaitu proses penetesan larutan bibit di atas substrat yang dilanjutkan dengan

pemutaran substrat pada kecepatan tinggi [44].

Pada setiap proses penempelan lapisan bibit, dilakukan proses anil untuk

melekatkan lapisan bibit pada substrat. Proses anil ini sendiri juga merupakan

faktor penting dalam pembuatan nanorods ZnO. Perlakuan anil dapat

meningkatkan daya rekat lapisan bibit dan substrat kaca konduktor. Lapisan bibit

dengan daya rekat yang baik berpotensi untuk tumbuh dengan kondisi nanorods

ZnO yang memiliki luas dan kondisi permukaan yang baik. Untuk aplikasi DSSC,

hal ini sangat penting karena adsorpsi zat pewarna sangat bergantung pada kondisi

permukaan nanorods ZnO [27]. Selain meningkatkan daya rekat, proses anil juga

diperlukan untuk memecahkan kompleks Zn2+ yang dapat terbentuk pada

pembuatan larutan bibit atau prekursor yang melibatkan suasana asam, baik

berupa asam yang ditambahkan maupun asam yang berasal dari material pembuat

larutan bibit (misalnya ion Cl- atau CH3COO-) [42,45]. Zhang dkk [45]

menyebutkan bahwa pembentukan kompleks Zn2+ pada permukaan nukleus ZnO

dapat mencegah pertumbuhan anisotropik. Lee dkk [46] dan Zhong dkk [47]

menyebutkan bahwa suhu efektif untuk memecahkan kompleks adalah 400oC.

Guo dkk [48] menyebutkan bahwa pembuatan nanorods ZnO umumnya

dilakukan berdasarkan dua tahapan. Tahap pertama adalah proses pembentukan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 40: D2109-Amalia Sholehah.pdf

23

Universitas Indonesia

lapisan bibit nanorods ZnO, yang dalam hal ini dilakukan dengan metode sol-gel.

Tahap ini terjadi di awal proses dan berlangsung cepat. Hasil yang didapat berupa

nanorods dengan bentuk pendek namun berdiameter melebar. pH, konsentrasi

larutan serta suhu reaksi menentukan ukuran serta bentuk ZnO yang akan tumbuh.

Setelah itu, tahap kedua adalah proses penumbuhan nanorods ZnO, baik yang

tertanam di dalam substrat (berupa lapisan bibit yang sudah ditempelkan) maupun

yang tidak (hanya mengandalkan deposisi dari uap ZnO yang terbentuk pada

larutan bibit). Tahap kedua ini berjalan dengan lambat, membentuk nanorods

dengan panjang tertentu. Tahap ini disebut sebagai proses penumbuhan. Waktu

reaksi penumbuhan ini sangat mempengaruhi ukuran (panjang dan diameter)

nanorods yang terbentuk.

Sintesis ZnO umumnya dilakukan pada suhu rendah. Lang dkk [22] bahkan

telah berhasil melakukan sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu kamar

(cool temperature, 4oC). Pada penelitian tersebut, disimpulkan bahwa rendahnya

suhu yang digunakan dalam sintesis mempengaruhi ukuran diameter nanorods

ZnO yang dihasilkan. Semakin rendah suhu yang digunakan, maka ukuran

diameter nanorods semakin kecil.

Seperti telah disebutkan, nanorods ZnO hasil sintesis dengan metode sol-gel

mempunyai beberapa kelemahan. Rendahnya kristalinitas dan emisi UV

merupakan dua hal yang perlu diperbaiki untuk mendapatkan nanorods ZnO

sebagai semikonduktor yang menghasilkan DSSC dengan efisiensi tinggi. Lee dkk

[46] telah melakukan proses pasca-hidrotermal setelah sintesis ZnO pada substrat

dalam reaktor hidrotermal. Perlakuan pasca-hidrotermal dilaporkan telah

menaikkan keteraturan struktur nanorods ZnO yang terbentuk. Dalam penelitian

tersebut, diperoleh hasil ZnO berstruktur nanorods yang tumbuh vertikal di atas

substrat dengan panjang sekitar 900 nm dan waktu reaksi terbaik adalah 8 jam.

Dari studi literatur yang telah dilakukan, diketahui bahwa kristalinitas ZnO

as-synthesized dapat dikontrol melalui dua tahap. Kontrol tahap pertama

dilakukan pada tahap pembuatan bibit di atas substrat. Beberapa penelitian

terdahulu [12,40,46,48] menyebutkan bahwa pembentukan lapisan bibit yang baik

merupakan salah satu pemegang peran utama dalam pembuatan nanorods ZnO

dengan kristalinitas yang tinggi. Sedangkan kontrol pada tahap selanjutnya dapat

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 41: D2109-Amalia Sholehah.pdf

24

Universitas Indonesia

dilakukan melalui proses perlakuan setelah nanorods ZnO tumbuh di atas

substrat. Proses ini bersifat memperbaiki kristalinitas dari ZnO yang sudah

terbentuk. Chung dkk [12] dan Lee dkk [49] menyebutkan telah terjadi kenaikan

kristalinitas dan sifat optis dari lapisan ZnO setelah melalui anil treatment dengan

penambahan gas Ar/O2 dalam lingkungan ambien. Selain itu, Lee dkk [46], Guo

dkk [40,48] dan Zhang dkk [35] melakukan perlakuan pasca-hidrotermal untuk

memperbaiki kristalinitas nanorods ZnO, dengan menggunakan larutan bibit

untuk membantu pertumbuhan nanorods ZnO yang akan dihasilkan.

Xu dkk [41] menyatakan bahwa proses hidrotermal merupakan proses

sederhana pada suhu relatif rendah yang mudah dikontrol dan memberikan hasil

yang seragam. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa kenaikan tekanan dapat

meningkatkan ukuran diameter batang (rod) dan menekan arah pertumbuhan

kristal dari kisi (001) menjadi (002) sehingga didapat struktur nanorods yang

tebal dengan permukaan heksagonal yang datar [41].

2.6. Aplikasi Nanostruktur ZnO untuk Sel Surya

Sel surya adalah suatu divais fotovoltaik (photovoltaic, PV) yang dapat

mengkonversi radiasi sinar matahari menjadi listrik secara langsung. Efek PV

pertama kali diamati oleh Henri Becquerel pada tahun 1893. Secara umum, divais

ini menghasilkan listrik melalui dua elektroda yang dihubungkan dengan sistem

padatan atau cairan di antaranya. Ketika sistem sel surya mengalami radiasi sinar

matahari, terjadi fenomena PV, dengan listrik sebagai output yang dihasilkan. Sel

surya melibatkan sebuah p – n junction dalam suatu semikonduktor dimana proses

PV berlangsung [33]. Gambaran umum sel surya dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Sel surya tipikal [33]

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 42: D2109-Amalia Sholehah.pdf

25

Universitas Indonesia

Absorpsi cahaya terjadi pada lapisan semikonduktor (pada Gambar 2.10

terletak pada bagian Base). Material semikonduktor harus dapat menyerap

sebagian besar spektrum cahaya matahari agar dapat menghasilkan listrik.

Umumnya, proses absorpsi cahaya terjadi di daerah atau di sekitar area

permukaan divais [33].

2.6.1. Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (Dye-Sensitized Solar Cell , DSSC)

2.6.1.1. Two-Dimensional (2D) DSSC

Jantung dari sistem DSSC adalah suatu sistem lapisan oksida mesoporous

yang tersusun atas partikel-partikel berukuran nanometer yang dipanaskan

sehingga memungkinkan terjadinya konduktansi elektronik pada lapisan tersebut.

Struktur lapisan oksida semikonduktor yang digunakan memegang peranan

penting dalam performa DSSC. Dengan memperkecil ukuran semikonduktor dari

skala mikrometer menjadi nanometer terbukti dapat menaikkan efisiensi DSSC.

Selain itu, struktur berbentuk nanorods memiliki keunggulan pada sifat ballistic

effect yang dapat meminimalisasi energi yang hilang selama transportasi selektron

yang disebabkan oleh adanya hamburan karena struktur. Secara umum, prinsip

kerja sel DSSC terlihat pada Gambar 2.11 [34].

Gambar 2.11. Prinsip kerja dan skema energi pada DSSC [34]

Two-Dimensional (2D) DSSC umumnya tersusun atas kaca konduktor

(TCO), lapisan semikonduktor, elektrolit, dan elektroda counter. Elektroda kerja

yang digunakan adalah kaca konduktif yang sudah dilapisi dengan lapisan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 43: D2109-Amalia Sholehah.pdf

26

Universitas Indonesia

semikonduktor di atasnya. Elektroda counter (umumnya dilapisi karbon atau

platina) diletakkan secara paralel di atas elektroda kerja [1]. Skema 2D DSSC

secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 2.12.

Gambar 2.12. Skema 2D DSSC [1]

Pada lapisan semikonduktor ditempelkan lapisan zat pewarna (dye) yang

berfungsi sebagai transfer muatan. Eksitasi elektron karena cahaya yang diserap

oleh zat warna mengakibatkan injeksi elektron tereksitasi ke dalam pita konduksi

pada lapisan oksida semikonduktor. Kekosongan elektron pada zat warna tersebut

akan diisi oleh donor elektron yang berasal dari elektrolit. Elektrolit yang

digunakan umumnya adalah suatu sistem yang merupakan pasangan reaksi

reduksi-oksidasi, misalnya pasangan iodide/triiodida. Elektron yang keluar dari

iodida kemudian akan diregenerasi dengan reduksi triiodida pada elektroda

counter. Tegangan yang dihasilkan selama penyinaran sel DSSC berkaitan dengan

perbedaan tingkat energi Fermi elektron pada lapisan semikonduktor padat dan

potensial redoks dari elektrolit. Sehingga, secara umum, peralatan DSSC akan

dapat menghasilkan tegangan melalui pencahayaan tanpa mengalami transformasi

kimia yang permanen [34].

2.7. State of The Art Penelitian

Struktur ZnO yang tumbuh secara vertikal di atas substrat kaca transparent-

conducting oxide (TCO) merupakan salah satu faktor penting untuk mendapatkan

sel surya dengan tingkat efisiensi tinggi karena memfasilitasi transfer elektron

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 44: D2109-Amalia Sholehah.pdf

27

Universitas Indonesia

yang lebih baik. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa tingkat kristalinitas dari

nanostruktur ZnO juga memainkan peranan penting. Oleh sebab itu, realisasi

struktur ZnO 1D dengan tingkat kristalinitas dan keteraturan tinggi merupakan

satu area yang harus ditelaah secara komprehensif dan mendalam.

Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan yang berkesinambungan, dimana

masing-masing tahap akan memiliki fokus pada area tertentu. Tahapan pertama

merupakan tahap percobaan pendahuluan yang menitikberatkan pada modifikasi

teknik sintesis. Dalam tahap ini, pengaruh suhu, waktu reaksi serta konsentrasi

basa merupakan faktor-faktor penting yang ditelaah. Proses yang akan digunakan

meliputi metode kimiawi basah dengan teknik chemical bath deposition (CBD),

yang dilanjutkan dengan proses pasca-hidrotermal. Metode sintesis yang paling

optimum untuk kondisi percobaan merupakan hasil yang menjadi target utama.

Tahapan kedua dilakukan dengan melanjutkan penelitian pada tahap

sebelumnya sehingga didapat hasil nanostruktur ZnO dengan sifat-sifat fisik

paling optimum. Parameter-parameter yang meliputi coverage, ukuran diameter,

tingkat kristalinitas, serta nilai Eg nanostruktur ZnO yang akan dihasilkan akan

menjadi perhatian utama. Kontrol terhadap proses pembentukan nanostruktur ZnO

dilakukan dengan pengamatan terhadap lapisan bibit yang ditempelkan di atas

substrat kaca TCO. Proses kontrol terhadap tekanan sistem reaksi pada proses

pasca-hidrotermal menjadi titik berat selanjutnya yang diutamakan dalam tahap

ini. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, belum ditemukan adanya

penelitian terstruktur yang membahas tentang penambahan tekanan eksternal

dalam proses sintesis nanostruktur ZnO via metode kimiawi basah. Dengan

demikian, penelitian ini akan menjadi titik awal yang akan menggambarkan peran

tekanan eksternal dalam sintesis nanostruktur ZnO.

Pada tahapan ketiga dari kegiatan penelitian ini hasil yang diharapkan

adalah diperolehnya nanostruktur ZnO dengan tingkat kristalinitas tinggi namun

tetap mampu mempertahankan integritas keteraturan susunan antara

individualnya. Hal ini ditujukan agar nanostruktur ZnO hasil sintesis langsung

dapat diaplikasikan pada prototipe yang berkaitan dengan absorpsi foton. Struktur

yang merupakan kombinasi ideal antara tingkat kristalinitas dan keteraturan yang

optimal diharapkan mampu meningkatkan performa material aplikasi DSSC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 45: D2109-Amalia Sholehah.pdf

28

Universitas Indonesia

2.8. Hipotesis Penelitian

Kontrol terhadap morfologi dan sifat-sifat optis serta elektrik nanostruktur

ZnO dimulai sejak awal proses persiapan. Untuk mendapatkan nanostruktur ZnO

dengan tingkat coverage yang baik di atas substrat, maka perlu dilakukan proses

deposisi larutan bibit di atas kaca ITO yang terlebih dahulu sudah dibersihkan.

Lapisan bibit ini juga akan berperan sebagai cetakan (template) yang akan

mencegah nanorods ZnO tumbuh melebar hingga mencapai ukuran sub mikron.

Studi literatur terdahulu telah menyatakan bahwa suhu dan waktu reaksi

sintesis memegang peranan penting dalam menentukan nanostruktur ZnO yang

dihasilkan. Karena itu, dilakukan proses investigasi terlebih dahulu untuk

mendapatkan suhu dan waktu sintesis optimum untuk mendapatkan nanostruktur

ZnO dengan ukuran yang sesuai. Pada penelitian ini, akan dilakukan modifikasi

pada penambahan pengaruh tekanan terhadap proses sintesis. Untuk

meningkatkan tingkat kristalinitas serta memperbaiki sifat optis nanostruktur

ZnO, dilakukan proses perlakuan pasca-sintesis melalui metode hidrotermal dan

anil termal. Dengan mengaplikasikan tekanan eksternal, diharapkan dapat memicu

pertumbuhan nanostruktur ZnO menjadi vertikal sempurna dalam waktu yang

lebih singkat dan suhu yang lebih rendah. Hal ini diharapkan dapat

menghindarkan adanya kemungkinan rusaknya struktur nanostruktur yang

disebabkan oleh lamanya waktu reaksi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 46: D2109-Amalia Sholehah.pdf

29

Universitas Indonesia

BAB III

Metode Penelitian

3.1. Tinjauan Umum

Secara keseluruhan, kegiatan penelitian yang dilakukan terbagi atas 3

bagian utama, yaitu:

a. Tahap 1 : Percobaan Pendahuluan

b. Tahap 2 : Optimasi Struktur

c. Tahap 3 : Fabrikasi Sel Surya

Gambaran umum penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Gambaran umum penelitian.

Pada Tahap 1, dilakukan percobaan pendahuluan dengan membandingkan

hasil-hasil penelitian yang didapat dari studi literatur. Nanostruktur ZnO disintesis

dengan menggunakan metode kimia basah, dengan teknik merupakan modifikasi

dari penelitian Lang dkk [22]. Pada metode ini, digunakan larutan bibit yang

dibuat pada suhu rendah (di bawah suhu kamar). Proses penumbuhan nanostruktur

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 47: D2109-Amalia Sholehah.pdf

30

Universitas Indonesia

dilakukan dengan metode chemical bath deposition (CBD) dan dilanjutkan

dengan perlakuan pasca-hidrotermal di dalam reaktor [46]. Parameter proses yang

menjadi kontrol reaksi adalah suhu, waktu serta konsentrasi basa pembentuk ZnO.

Tahap 2 dilakukan dengan menggunakan metode sintesis yang telah diuji

pada Tahap 1. Tahapan ini merupakan proses optimasi struktur, dengan target

utama berupa lapisan nanostruktur ZnO dengan coverage merata di atas susbtrat

kaca TCO. Pengembangan yang dilakukan dari tahap sebelumnya adalah

penempelan lapisan bibit ZnO yang dilakukan dengan metode spin-coating.

Lapisan ini selanjutnya akan ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD.

Selanjutnya, diinvestigasi pengaruh penambahan tekanan eksternal pada proses

pasca-hidrotermal terhadap nanostruktur ZnO yang telah dihasilkan. Sifat-sifat

fisik maupun optik lapisan nanostruktur ZnO menjadi perhatian dalam bagian ini.

Lapisan ZnO dengan hasil yang paling optimum akan digunakan dalam

Tahap 3, yaitu aplikasi nanostruktur ZnO untuk DSSC. Pada tahap ini, dilakukan

pengamatan terhadap parameter-parameter penting dalam sel surya (seperti fill

factor dan efisiensi) dengan sifat-sifat fisik dan optik yang telah didapat pada

tahap sebelumnya. Tahap 3 ini menghasilkan prototipe DSSC dengan

nanostruktur ZnO sebagai lapisan anoda.

Untuk setiap tahap penelitian. Dilakukan karakterisasi nanostruktur ZnO

hasil sintesis dengan menggunakan X-ray diffraction (XRD), scanning electron

microscopy (SEM), dan spektroskopi ultra violet–visible (UV-Vis). Pengujian

terhadap prototipe DSSC yang dihasilkan juga dilakukan dengan menggunakan

solar simulator. Rincian penelitian secara lengkap akan disampaikan pada Sub-

Sub Bab berikut.

3.2. Sintesis Nanostruktur ZnO

3.2.1. Pembuatan Lapisan Bibit ZnO

Lapisan bibit merupakan bagian yang sangat penting dalam sintesis

nanostruktur ZnO. Fungsi pembuatan lapisan bibit adalah untuk mencetak lapisan

ZnO yang akan ditumbuhkan agar memiliki struktur yang teratur dan tegak lurus

tanpa menggunakan bahan tambahan seperti polymer template atau surfaktan.

Bahan-bahan yang digunakan adalah kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO), seng

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 48: D2109-Amalia Sholehah.pdf

31

Universitas Indonesia

nitrat tetrahidrat (Zn(NO3)2.4H2O/Zn-nitrat, Merck), heksametilentetraamin

(C6H12N4/HMTA, Merck), aquades, etanol teknis, dan aseton teknis. Sebelum

digunakan, kaca ITO berukuran 2,5x2,5 cm terlebih dahulu dibersihkan dalam air,

aseton, dan etanol dengan ultrasonic cleaner selama 480 detik dalam masing-

masing cairan. Setelah itu, kaca ITO dikeringkan dengan hair dryer dan disimpan

dalam tempat kering yang tertutup untuk kemudian digunakan sebagai substrat.

Larutan bibit dibuat dengan menggunakan campuran ekimolar Zn-Nitrat dan

HMTA 0,05M pada suhu 0oC dan dibiarkan selama 1 jam. Setelah itu, larutan

diteteskan di atas kaca ITO dan ditahan selama 5 menit agar dapat terserap pada

permukaan kaca. Untuk menghilangkan sisa larutan yang tidak terserap, dilakukan

proses spin coating dengan kecepatan 2000 rpm selama 5 detik. Sampel-sampel

kaca ITO yang sudah dilapisi larutan bibit kemudian dipanaskan dalam muffle

furnace pada 200oC selama 10 menit. Perlakuan ini dilakukan sebanyak 3x untuk

melihat pengaruh ketebalan lapisan terhadap sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO.

3.2.2. Pertumbuhan Nanostruktur ZnO

Proses pertumbuhan nanostruktur dilakukan dengan metode CBD.

Nanostruktur ZnO ditumbuhkan dengan menggantung kaca ITO di dalam larutan

ekimolar Zn-nitrat dan HMTA 0,05 M pada suhu 90oC selama 3 jam. Skema

proses CBD dapat dilihat pada Gambar 3.2. Setelah itu, kaca ITO dicuci dengan

menggunakan aquades dan dikeringkan di udara.

Gambar 3.2. Skema proses CBD

3.2.3. Proses Pasca-Hidrotermal

Perlakuan pasca-hidrotermal dilakukan pada ZnO nanorods hasil sintesis

untuk meningkatkan derajat kristalinitas dan keteraturan arah pertumbuhan.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 49: D2109-Amalia Sholehah.pdf

32

Universitas Indonesia

Proses pasca-hidrotermal dilakukan dengan meletakkan sampel di atas air yang

dipanaskan hingga mendidih, dengan bagian kaca yang sudah ditumbuhi lapisan

ZnO diletakkan menghadap sisi dasar reaktor. Terdapat dua variasi proses yang

dilakukan dalam percobaan. Variasi pertama dilakukan dengan menggunakan

reaktor hidrotermal dalam muffle furnace pada suhu 150oC selama 3 jam pada

tekanan atmosfer. Untuk selanjutnya perlakuan pasca-hidrotermal ini disebut

dengan singkatan PHT-1. Skema dari reaktor hidrotermal tersebut dapat dilihat

pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 150oC selama 3 jam pada

tekanan atmosfer (PHT-1)

Pada variasi proses pasca-hidrotermal kedua, digunakan reaktor tertutup

pada suhu 100oC selama 1 jam dalam tekanan gas nitrogen (N2) 1 bar. Perlakuan

pasca-hidrotermal ini selanjutnya disebut dengan singkatan PHT-2. Skema reaktor

pasca-hidrotermal pada variasi yang kedua ini dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Untuk setiap varisi proses, sampel setelah perlakuan pasca-hidrotermal kemudian

dicuci dengan aquades, dikeringkan di udara, dan dikarakterisasi untuk

mengetahui sifat-sifat fisiknya.

Gambar 3.4. Skema reaktor hidrotermal pada suhu 100oC selama 1 jam pada

tekanan N2 1 bar (PHT-2)

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 50: D2109-Amalia Sholehah.pdf

33

Universitas Indonesia

3.3. Fabrikasi Sel Surya Tersensitasi Zat Pewarna (DSSC)

Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO hasil sintesis selanjutnya

digunakan sebagai anoda dalam sel surya tersensitasi zat pewarna (DSSC).

Sebelum digunakan sebagai anoda, kaca ITO terlebih dulu dicetak dengan luas

area 1x1 cm2 dan direndam dengan menggunakan pewarna / dye N-719 0,05 mM

(Solaronix) selama 2 jam dalam wadah tertutup. Lapisan ZnO diletakkan

menghadap ke atas untuk menghindari kerusakan lapisan akibat benturan dengan

dasar wadah perendam. Setelah itu, kaca ITO dibersihkan dengan menggunakan

aquades dan dikeringkan. Anoda ini selanjutnya disimpan dalam tempat gelap

yang tertutup hingga digunakan dalam perakitan DSSC.

Katoda untuk DSSC ini dibuat dengan menggunakan kaca ITO yang sudah

dilubangi pada 2 titik. Setelah kaca ITO dibersihkan, kemudian diaplikasikan

lapisan tipis pasta platinum/Pt (Sharif Solar) menggunakan kuas pada sisi yang

bersifat konduktif. Area yang dilapisi berukuran 1x1 cm2. Setelah itu, lapisan Pt

dikeringkan dalam muffle furnace dengan suhu 450oC selama 30 menit. Katoda ini

kemudian disimpan dalam tempat kering yang tertutup.

Tahap selanjutnya adalah mempersiapkan elektrolit untuk DSSC. Pada

penelitian ini, elektrolit dibuat dengan menggunakan campuran 0,5 M KI dan 0,05

M I2 dalam etanol p.a. Elektrolit yang sudah dilarutkan kemudian disimpan dalam

botol kaca berwarna gelap hingga digunakan.

Proses fabrikasi DSSC dilakukan dengan menempelkan anoda dan katoda

menggunakan double tape. Proses dilanjutkan dengan meneteskan elektrolit

melalui lubang pada katoda yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah seluruh

ruang sel terisi oleh elektrolit, lubang ditutup dengan menggunakan selotip. DSSC

yang sudah difabrikasi kemudian siap untuk diuji.

3.4. Teknik Karakterisasi

3.4.1. Analisis Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM merupakan teknik yang banyak digunakan untuk mendapatkan

pencitraan dari suatu sampel/spesimen. Analisis SEM menghasilkan data yang

berhubungan dengan ketebalan, topografi permukaan dan beberapa karakteristik

susunan lapisan tipis pada sel surya [50,51]. Pada penelitian ini, analisis dengan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 51: D2109-Amalia Sholehah.pdf

34

Universitas Indonesia

menggunakan SEM dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai bentuk,

ukuran, dan sebaran (coverage) nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Dari

pengamatan tersebut, akan diperoleh distribusi ukuran diameter nanostruktur yang

dihasilkan. Selain itu, didapat juga data ketebalan lapisan nanostruktur ZnO yang

digunakan di dalam perhitungan penentuan energi celah pita (Eg) dan indeks bias.

Pada penelitian ini, analisis morfologi dan ketebalan nanostruktur ZnO di

atas ITO dilakukan dengan menggunakan SEM JEOL JSM-6510LA di

Laboratorium Basic Science A, Institut Teknologi Bandung, serta menggunakan

FE-SEM FEI Inspect F50 di Centre for Materials Processing and Failure Analysis

(CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia.

Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengamatan dengan menggunakan SEM

JEOL JSM-6390A di Pusat Penelitian Metalurgi, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (P2M LIPI), Serpong.

3.4.2. Analisis Atomic Force Microscopy (AFM)

AFM adalah teknik analisis yang dapat mengukur permukaan struktur

dengan resolusi dan akurasi tinggi. Pengujian ini dapat memberikan hasil yang

berupa susunan atom dalam sampel, atau melihat struktur dari molekul individual.

AFM bekerja dengan menggunakan scanning probe yang digerakkan di atas

sampel dan menghasilkan gambaran ketinggian atau topografi dari permukaan

yang disentuhnya [52,53].

Pada penelitian ini, dilakukan pengujian AFM untuk mendapatkan profil

permukaan lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat. Dari analisis tersebut,

didapatkan data mengenai kekasaran (roughness) permukaan, topografi, serta

perkiraan ketebalan rata-rata dari lapisan tersebut. Data yang didapat dari analisis

AFM selanjutnya akan dibandingkan dengan hasil pengujian SEM. Proses

pengujian dilakukan menggunakan Bruker Innova di Centre for Materials

Processing and Failure Analysis (CMPFA), Departemen Teknik Metalurgi dan

Material, Universitas Indonesia.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 52: D2109-Amalia Sholehah.pdf

35

Universitas Indonesia

3.4.3. Analisis X-Ray Diffraction (XRD)

Analisis dengan menggunakan metode difraksi sinar-X merupakan teknik

konfirmasi fasa yang juga efektif untuk menentukan ukuran kristalit (crystallite

size) dan regangan kisi (lattice strain). Pada penelitian ini, digunakan 2 metode

untuk melakukan analisis data XRD, yaitu metode Scherrer dan Williamson-Hall.

Metode Scherrer menggunakan nilai full width half maximum (FWHM) sampel

untuk menentukan ukuran kristalit. Sedangkan metode Williamson-Hall (W-H)

merupakan teknik integral breadth yang disederhanakan dimana nilai ukuran

kristal dan pelebaran kisi ditentukan dengan menggunakan lebar puncak difraksi

sebagai fungsi 2θ.

Pengukuran difraktogram pada penelitian ini dilakukan dengan radiasi Cu

Kα, λ = 0,1504 nm, menggunakan Shimadzu X-Ray Diffractometer 7000 di

Laboratorium MIPA Terpadu, Universitas Isalm Negeri Syarif Hidayatullah,

Jakarta. Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran difraktogram dengan

menggunakan Pan Analytical X-Pert Pro di Departemen Teknik Material dan

Metalurgi, Institut Teknologi Sepuluh November.

3.4.3.1. Analisis Ukuran Kristalit dengan Metode Scherrer

Adanya pelebaran pada puncak difraksi membuktikan terjadinya proses

penghalusan butir yang mengakibatkan terjadinya regangan dalam sampel.

Pelebaran puncak yang disebabkan karena alat uji (instrumental broadening, βhkl

(instrumental)) dikoreksi dengan menggunakan persamaan:

(𝛽ℎ𝑘𝑙)2 = (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑚𝑒𝑎𝑠𝑢𝑟𝑒𝑑))

2− (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙))

2 (3.1)

𝛽ℎ𝑘𝑙 = √(𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑚𝑒𝑎𝑠𝑢𝑟𝑒𝑑))2

− (𝛽ℎ𝑘𝑙 (𝑖𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑚𝑒𝑛𝑡𝑎𝑙))2 (3.2)

dimana

βhkl = pelebaran puncak difraksi sampel

βhkl (measured) = pelebaran puncak difraksi terukur

βhkl (instrumental) = pelebaran puncak difraksi instrumen

Pada pengujian XRD, nilai yang didapat adalah βhkl (measured). Nilai ini masih

mengandung unsur βhkl (instrumental). Nilai βhkl bersesuaian dengan besaran full width

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 53: D2109-Amalia Sholehah.pdf

36

Universitas Indonesia

half maximum (FWHM) sampel yang didapat setelah proses fitting. Untuk

mendapatkan nilai βhkl, FWHM sampel harus dikurangi dengan nilai FWHM

instrumen, yang dapat direpresentasikan oleh besaran FWHM kristal sampel

sejenis yang dibuat dalam ukuran butir yang sangat besar (skala mikrometer).

Pada penelitian, hal ini dilakukan dengan menentukan FWHM kristal ZnO yang

dianil pada suhu 800oC selama 8 jam. Ukuran kristal ZnO rata-rata dihitung

dengan menggunakan Persamaan Debye-Scherrer [54]:

𝐷 =𝐾𝜆

𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 (3.3)

dimana

D = ukuran kristalit

K = faktor bentuk (0,89)

λ = panjang gelombang radiasi CuKα

θ = sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi

Pada senyawa polikristalin, analisis XRD akan memberikan lebih dari satu

puncak difraksi. Nilai ukuran kristalit dapat ditentukan dengan membuat plot

kurva βhkl cosθ terhadap sinθ, dimana D dapat dihitung sebagai titik potong

terhadap sumbu-y pada kurva. Plot kurva tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.5.

Sedangkan regangan rata-rata pada sampel dinyatakan dalam persamaan [55] :

𝜀 =𝑐−𝑐0

𝑐0𝑥100% (3.4)

dimana ε adalah regangan rata-rata sampel, c adalah konstanta kisi sampel, dan c0

adalah konstanta kisi sampel ruah. Untuk ZnO, nilai c0 adalah sebesar 0,52 nm.

Gambar 3.5. Plot kurva Plot kurva βhkl cosθ terhadap sinθ (Metode Scherrer) [56]

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 54: D2109-Amalia Sholehah.pdf

37

Universitas Indonesia

3.4.3.2. Analisis Ukuran Kristalit dan Regangan Kisi Kristal dengan Metode

Williamson-Hall (W-H)

Regangan kisi pada sampel yang disebabkan karena ketidaksempurnaan dan

distorsi kristal dapat dihitung dengan persamaan [57,58]:

𝜀 =𝛽ℎ𝑘𝑙

4 tan 𝜃 (3.5)

dimana ε adalah regangan kisi, βhkl adalah pelebaran puncak difraksi, dan θ adalah

sudut yang bersesuaian dengan puncak difraksi. Berdasarkan Persamaan 3.3 dan

Persamaan 3.5, dapat disimpulkan bahwa lebar puncak kristal bervariasi sebanyak

1/cosθ regangan untuk setiap perubahan tanθ. Dengan asumsi ukuran partikel

serta kontribusi regangan terhadap pelebaran adalah tidak saling bergantung,

maka luas daerah di bawah kurva dapat dinyatakan sebagai resultan dari

Persamaan 3.3 dan Persamaan 3.5, yaitu [57,58]:

𝛽ℎ𝑘𝑙 =𝐾𝜆

𝐷 cos 𝜃+ 4𝜀 tan 𝜃 (3.6)

𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆

𝐷+ 4𝜀 sin 𝜃 (3.7)

Persamaan 3.7 merupakan Persamaan Williamson-Hall (W-H) [57,58].

Dengan membuat plot βhkl cosθ sebagai sumbu y terhadap 4sinθ pada sumbu-x,

maka ukuran kristalit sampel (D) dapat ditentukan sebagai titik potong pada

sumbu-y. Sedangkan gradien kurva merupakan regangan kisi (ε).

Regangan pada kristal yang berhubungan dengan deformasi kisi dapat

ditentukan dengn menggunakan modifikasi metode W-H, yaitu Uniform

Deformation Model (UDM). Pada Metode UDM, kristal dianggap berada dalam

kondisi isotropik. Jenis modifikasi Metode W-H yang lain adalah Uniform

Deformation Stress Model (UDSM) dan Uniform Deformation Energy Density

Model (UDEDM). Kedua metode ini mempertimbangkan kristal berada dalam

keadaan anisotropik, dimana regangan yang berasal dari kondisi anisotropik

kristal dibandingkan dengan regangan yang berasal dari interplanar spacing.

Metode UDSM menghasilkan hubungan antara tegangan-regangan, sedangkan

Metode UDEDM menghasilkan fungsi kerapatan energi (energy density, u).

Gambar 3.6 merepresentasikan persamaan Model UDM, dimana regangan

diasumsikan seragam ada seluruh arah kristal. Dengan demikian sifat-sifat

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 55: D2109-Amalia Sholehah.pdf

38

Universitas Indonesia

material dianggap tidak tergantung pada arah pengukuran saat pengujian

dilakukan [57].

Gambar 3.6. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ pada Metode UDM [57]

Pada metode UDSM dan UDEDM, kristal diasumsikan berada pada kondisi

anisotropik dengan melibatkan modulus elastisitas (Modulus Young). Hukum

Hooke menyatakan hubungan linier antara tegangan dan regangan sebagai

[57,58]:

σ = E (3.8)

dimana σ adalah tegangan (MPa) dan E adalah regangan (%). Pada Persamaan 3.8,

tegangan dianggap proporsional terhadap regangan, dengan modulus Young

sebagai tetapan proporsionalitas. Dengan demikian, Persamaan 3.7 dimodifikasi

menjadi [57,58]:

𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆

𝐷+ 4 sin 𝜃 𝜎

𝐸ℎ𝑘𝑙⁄ (3.9)

dimana Ehkl adalah modulus Young yang arahnya tegak lurus terhadap bidang kisi

kristal (hkl). Nilai tegangan dapat dihitung dari gradien kurva βhkl cosθ terhadap

4sinθ/Ehkl, seperti terlihat pada Gambar 3.7. Nilai regangan dapat ditentukan jika

besaran Ehkl untuk material uji diketahui. Sebagai contoh, untuk ZnO dengan fasa

kristal heksagonal, Ehkl berkaitan dengan aturan elastisitas Sij dalam persamaan

[57,58]:

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 56: D2109-Amalia Sholehah.pdf

39

Universitas Indonesia

𝐸ℎ𝑘𝑙 =[ℎ2+(

(ℎ+2𝑘)2

3)+(

𝑎𝑙

𝑐)

2]

2

𝑆11[ℎ2+(ℎ+2𝑘)2

3+𝑆33(

𝑎𝑙

𝑐)

4+(2𝑆33+𝑆44)(

ℎ2+(ℎ+2𝑘)2

3(𝑎𝑙𝑐⁄ )

2 )]

(3.10)

dimana S11, S13, S33, S44 memiliki nilai 7,858x10-12; 2,206x10-12; 6,940x10-12, serta

23,57x10-12 m2N-1 [57].

Gambar 3.7. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ/Ehkl pada Metode UDSM [57]

Pada Persamaan 3.7, kristal dianggap berada dalam kondisi isotropik dan

homogen. Akan tetapi, dalam kondisi sesungguhnya, hal ini sangat sulit untuk

dicapai. Selain itu, konstanta proporsionalitas yang berhubungan dengan

tegangan-regangan tidak bersifat independen apabila kerapatan energi regangan

(strain energy density, u) dipertimbangkan. Menurut Hukum Hooke, u adalah

fungsi regangan yang dinyatakan dengan persamaan [57,58]:

𝑢 =𝜎2

𝐸ℎ𝑘𝑙 (3.11)

dimana u adalah kerapatan energi (energi per unit volume). Dengan demikian,

Persamaan 3.9 dapat dimodifikasi menjadi [57,58]:

𝛽ℎ𝑘𝑙 cos 𝜃 =𝐾𝜆

𝐷+ 4 sin 𝜃 (2𝑢

𝐸ℎ𝑘𝑙⁄ )

1/2

(3.12)

Persamaan 3.12 merupakan persamaan untuk metode UDEDM. Nilai u dapat

ditentukan dari gradien pada plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ (2/Ehkl)1/2[57],

seperti terlihat pada Gambar 3.8. Regangan kisi dapat dihitung dengan

menyelesaikan Persamaan 3.10.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 57: D2109-Amalia Sholehah.pdf

40

Universitas Indonesia

Gambar 3.8. Plot kurva βhkl cosθ terhadap 4sinθ(2/Ehkl)

1/2 (Metode UDEDM) [57]

Persamaan 3.9 dan Persamaan 3.12 memberikan definisi mengenai tegangan

deformasi (σ) yang berhubungan dengan kerapatan energi deformasi (u) melalui

pendekatan yang berbeda. Hubungan antara σ dan u dinyatakan sebagai :

𝑢 =𝛿2

𝐸ℎ𝑘𝑙 (3.13)

Persamaan 3.9 yang merepresentasikan Metode UDSM berdasarkan pada

Persamaaan 3.5 yang mengasumsikan bahwa tegangan deformasi mempunyai

nilai yang sama pada seluruh arah pertumbuhan kristal. Hal ini mengakibatkan

nilai u menjadi anisotropik. Sedangkan, Persamaan 3.12 dalam Metode UDEDM

mengasumsikan bahwa energi deformasi adalah sama pada seluruh arah

pertumbuhan kristal. Sehingga, nilai tegangan σ menjadi anisotropik. Dengan

demikian, kedua metode ini dapat menghasilkan nilai regangan kisi dan ukuran

kristalit yang berbeda [57].

3.4.4. Analisis Spektroskopi Ultraviolet-Visible (UV-Vis) dengan Mode

Diffuse Reflectance Spectroscopy (DRS)

Diffuse Reflection Spectroscopy (DRS) adalah metode spektroskopi yang

berbasis pada pemantulan (refleksi) cahaya pada daerah ultra violet (UV), cahaya

tampak (visible), maupun near infra-red (NIR). Dalam spektrum DRS,

perbandingan cahaya yang dihamburkan oleh lapisan dengan ketebalan tertentu

dan oleh standar/pembanding (reference) diukur sebagai fungsi panjang

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 58: D2109-Amalia Sholehah.pdf

41

Universitas Indonesia

gelombang. Penyinaran sampel oleh radiasi cahaya pada sudut datang tertentu

mengakibatkan terjadinya pembauran cahaya oleh sampel. Cahaya yang mengenai

sampel sebagian diserap, dan sebagian dihamburkan. Hamburan cahaya tersebut

dikumpulkan dalam integration sphere dan dikarakterisasi dalam detektor. Dalam

material absorben, pancaran cahaya diserap berdasarkan Hukum Absorpsi

Lambert, yaitu [59]:

𝐼 = 𝐼0𝑒−𝐾𝑇𝑥 (3.14)

dimana

I = pancaran cahaya yang ditransmisikan

I0 = pancaran sinar datang

x = ketebalan lapisan medium absorpsi

KT = koefisien absorpsi (atau koefisien pemadaman, extinction

coefficient) yang diukur dari data transmisi

Apabila ukuran partikel sama dengan atau lebih kecil dari panjang

gelombang cahaya, maka kontribusi dari pemantulan, pembiasan dan penguraian

terhadap intensitas dan distribusi cahaya dari sinar yang ditiadakan menjadi tidak

mungkin untuk dipisahkan. Hal ini disebut sebagai peristiwa penghamburan

cahaya (scattering). Semakin kecil jarak antar partikel, maka proses hamburan

tunggal (single scattering) akan berubah menjadi multiple scattering [59].

Pada penelitian ini, pengkuran sifat-sifat optik dilakukan dengan

spektrofotomer UV-Vis Shimadzu 2450 dalam mode DRS. Pengujian tersebut

dilakukan di Departemen Kimia, Universitas Indonesia.

3.4.4.1. Penentuan Energi Celah Pita (Band gap energy, Eg)

a. Persamaan Tauc

Dengan menggunakan data reflektansi (R) dan transmitansi (T), nilai

koefisien absorbansi (α) dapat ditentukan melalui persamaan [28]:

𝛼 =1

𝑑ln (

(1−𝑅2)

2𝑇+ √

(1−𝑅)4

4𝑇2+ 𝑅2) (3.19)

dimana d adalah ketebalan lapisan semikonduktor di atas substrat. Dengan

menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai α dapat digunakan untuk menentukan Eg

melalui persamaan [60]:

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 59: D2109-Amalia Sholehah.pdf

42

Universitas Indonesia

(𝛼ℎ𝜐)1

𝑛⁄ = 𝐵(ℎ𝜐 − 𝐸𝑔) (3.20)

dimana h adalah Konstanta Planck (6,6261 x 10-34 m2.kg/s). Nilai hυ merupakan

energi foton yang besarnya ditentukan dengan persamaan [60]:

ℎ𝑣 = ℎ𝑐

𝜆 (3.21)

dimana c adalah kecepatan cahaya (3.108 m/s) dan λ adalah panjang gelombang.

Nilai Eg merupakan titik potong sumbu x pada bagian linier dari kurva (αhυ)2

terhadap (hυ), seperti diilustrasikan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9. Plot kurva Tauc untuk penentuan nilai Eg [56]

Pada umumnya, nilai Eg akan mengalami kenaikan dengan menurunnya

ukuran kristalit [39]. Penurunan nilai Eg ini bersesuaian dengan terjadinya

pergeseran pada daerah linier kurva ke arah panjang gelombang yang lebih besar,

atau disebut dengan red shift.

Dengan menggunakan data reflektans, nilai indeks bias material dapat

ditentukan melalui persamaan [39]:

𝑛 = (1+𝑅

1−𝑅) + √

4𝑅

(1−𝑅)2− 𝑘2 (3.22)

dengan k adalah nilai extinction coefficient yang besarnya dapat ditentukan

dengan Persamaan Fresnel [28]:

𝑘 =𝛼𝜆

4𝜋 (3.23)

Nilai indeks bias dipengaruhi oleh proses pelapisan [34] dan juga kerapatan

film material semikonduktor tersebut [39]. Semakin tinggi tingkat kerapatan,

maka indeks bias akan semakin besar.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 60: D2109-Amalia Sholehah.pdf

43

Universitas Indonesia

b. Teori Absorption Fitting Spectrum (AFS)

Pada semikonduktor semikristalin, hubungan antara koefisien absorpsi

dengan enegi foton dinyatakan dalam persamaan [61,62]:

𝛼(𝑣)ℎ𝑣 = 𝐵(ℎ𝑣 − 𝐸𝑔)𝑚

(3.24)

dimana Eg, B, dan hυ adalah energi celah pita, konstanta optis, dan energi foton. m

merupakan indeks yang bergantung pada sifat semikonduktor, dengan nilai

berbeda-beda yaitu 1/2, 3/2, 2, dan 3. α(v) adalah koefisien absorpsi yang

dinyatakan dengan Persamaan Beer-Lambert berikut [61]:

𝛼(𝑣) =2,303 𝑥 𝐴𝑏𝑠(𝜆)

𝑑 (3.25)

Persamaan absorption spectrum fitting (AFS) diturunkan dengan asumsi bahwa α

adalah fungsi panjang gelombang (λ), maka Persamaan 3.24 dapat ditulis menjadi

[61,62]:

𝛼(𝜆) = 𝐵(ℎ𝑐)𝑚−1𝜆 (1

𝜆−

1

𝜆𝑔)

𝑚

(3.26)

dimana λg adalah panjang gelombang yang berhubungan dengan energi celah pita,

h adalah Konstanta Planck, dan c adalah kecepatan cahaya. Jika asumsi yang sama

digunakan pada Persamaan 3.25, maka persamaan tersebut dapat ditulis ulang

menjadi [61]:

𝐴 (𝜆) = 𝐵1𝜆 (1

𝜆−

1

𝜆𝑔)

𝑚

+ 𝐵2 (3.27)

dengan 𝐵1 = [𝐵(ℎ𝑐)𝑚−1𝑥 𝑑2,303⁄ ] dan B2 adalah konstanta yang berhubungan

dengn refleksi. Dengan menggunakan Persamaan 3.27, energi celah pita (Eg)

dapat ditentukan melalui metode ASF tanpa mengukur ketebalan lapisan. Nilai Eg

ditentukan dengan melakukan ekstrapolasi linier (𝐴𝑏𝑠(𝜆)

𝜆)

1/𝑚

terhadap 1

𝜆. Pada saat

(𝐴𝑏𝑠(𝜆)

𝜆)

1/𝑚

= 0, didapat nilai λg yang akan digunakan untuk menentukan Eg

dengan persamaan [61]:

𝐸𝑔𝐴𝑆𝐹 = 1239,83

𝜆𝑔⁄ (3.28)

Relasi antara koefisien absorpsi dan energi foton dapat ditentukan dengan

menggunakan Aturan Urbach yaitu [61,62]:

𝛼(𝑣) = 𝛼0𝑒𝑥𝑝(ℎ𝑣

𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙⁄ )

(3.29)

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 61: D2109-Amalia Sholehah.pdf

44

Universitas Indonesia

dimana α0 adalah konstanta dan Etail adalah Energi Urbach. Energi ini

berhubungan dengan transisi optik antara kondisi terlokalisasi pada pita valensi

yang berdekatan dengan pita konduksi. Pada metode ASF, berlaku hubungan [61]:

𝐴𝑏𝑠(𝜆) = 𝐷3𝑒𝑥𝑝(ℎ𝑐

𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙⁄ 𝜆)

(3.30)

dimana 𝐷3 = (𝛼0𝑑

2,303⁄ ). Nilai Etail dapat ditentukan dari gradien daerah linier

pada kurva ln A terhadap 1/λ, dengan persamaan [61]:

𝐸𝑡𝑎𝑖𝑙𝐴𝑆𝐹 = 1239,83

𝑔𝑟𝑎𝑑𝑖𝑒𝑛⁄ (3.31)

3.4.5. Efisiensi Sel Surya

Sel surya tipikal memiliki karakteristik seperti dioda. Pada divais tersebut,

arus yang berlaku pada saat sebelum terjadi penyinaran dinyatakan dengan

persamaan [33]:

𝐼 = 𝐼0𝑒𝑥𝑝(

𝑉𝐴𝑉𝑇

⁄ )−1 (3.32)

dimana I adalah arus yang terjadi pada tegangan tertentu (applied voltage, VA), VT

adalah konstanta voltase termal, dan I0 adalah arus jenuh dioda (diode saturation

current). Ketika divais mengalami penyinaran, terjadi absorpsi cahaya yang

menghasilkan efek PV [33]. Pada kondisi tersebut, Persamaan 3.32 berubah

menjadi [33]:

𝐼 = 𝐼0 (𝑒𝑥𝑝(

𝑉𝐴𝑉𝑇

⁄ )) − 𝐼𝐿 (3.33)

dimana IL adalah besar arus yang terjadi pada divais dalam kondisi

penyinaran.Secara umum, total arus menjadi tidak sama dengan nol pada saat

tidak terjadi tegangan dalam divais (dikarenakan adanya faktor IL) .

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 62: D2109-Amalia Sholehah.pdf

45

Universitas Indonesia

Gambar 3.10. Kurva J-V untuk sel surya tipikal dengan filter AM 1,5 dalam

kondisi gelap dan terang [1]

Ketika sel diradiasi dengan simulasi cahaya matahari (AM 1,5), efisiensi

konversi energi cahaya matahari menjadi listrik (η) dapat dihitung dari nilai short-

circuit current density (Jsc), open-circuit voltage (Voc), fill factor (FF), dan

intensitas cahaya datang (Pin) [1]. Pada Gambar 3.10, nilai Vm dan Jm adalah

tegangan dan arus maksimum divais. Sedangkan nilai Pm adalah daya maksimum

divais, yang merupakan hasil perkalian dari Vm dan Jm. Kurva J-V untuk sel surya

yang baik memiliki bentuk menyerupai persegi panjang. Nilai fill factor (FF)

harus mendekati 1, dan dinyatakan dengan rumus [63,11]:

𝐹𝐹 =𝑉𝑀∙𝐽𝑀

𝑉𝑂𝐶∙𝐽𝑆𝐶 (3.34)

Efisiensi sel surya selanjutnya dapat dinyatakan sebagai [11,64]:

𝜂 =𝑃𝑚𝑎𝑥

𝑃𝑖𝑛=

𝑉𝑂𝐶∙𝐽𝑆𝐶∙𝐹𝐹

𝑃𝑖𝑛 (3.35)

Pengukuran efisiensi DSSC dilakukan menggunakan Sun Simulator Oriel

dengan software National Instrument SMU-NI-PXI-430 di Pusat Penelitian

Elektronika dan Telekomunikasi, Lembaga Penelitian Indonesia (PPET-LIPI),

Bandung. Pada saat pengujian, digunakan filter standar AM 1,5 G, dengan

intesitas cahaya 500 W/m2 dan suhu 27oC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 63: D2109-Amalia Sholehah.pdf

46

Universitas Indonesia

BAB IV

Nanorods ZnO Berketeraturan Tinggi Hasil Sintesis Chemical Deposition

Bath (CBD) dan Pasca-Hidrotermal

4.1. Pendahuluan

Seperti telah disampaikan pada Bab 1 terdahulu, kondisi morfologi lapisan

semikonduktor nanostruktur ZnO memiliki peran yang penting dalam penyerapan

cahaya. Karena itu, penelitian mengenai sintesis nanostruktur ZnO merupakan

topik yang masih sangat marak dilakukan. Metode sintesis kimia basah dengan

teknik chemical bath deposition (CBD) merupakan salah satu pilihan yang sangat

umum dilakukan karena kemudahan proses, biaya yang relatif murah, serta

peralatan yang cukup sederhana. Namun demikian, teknik CBD umumnya belum

mampu menghasilkan nanostruktur ZnO dengan struktur vertikal sempurna.

Proses sintesis nanorods ZnO pada suhu di bawah suhu ruang hingga kini

masih sedikit diaplikasikan. Penelitian terdahulu [22] telah menyatakan bahwa

penggunaan suhu rendah ini diketahui telah memberikan efek kontrol pada ukuran

nanorods. Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan pada sintesis

diharapkan dapat memiliki ukuran yang cukup kecil, seragam, dengan lapisan

yang cukup homogen walaupun tanpa menggunakan lapisan bibit sebelum proses

pertumbuhan.

Pada bab ini, akan dijelaskan mengenai proses sintesis nanorods ZnO

dengan menggunakan teknik CBD. Parameter-parameter proses yang menjadi

perhatian adalah basa pembentuk, suhu, serta waktu reaksi. Pengaruh dari ketiga

parameter proses tersebut terhadap diameter nanorods, kristalinitas, ukuran

kristalit, profil absorbansi, serta energi celah pita nanorods hasil sintesis akan

diinvestigasi.

4.2. Tujuan Penelitian

Bab ini bertujuan untuk menjelaskan proses sintesis nanorods ZnO yang

dilakukan melalui metode CBD. Proses sintesis dilakukan dengan metode yang

dikembangkan oleh Lang dkk [22] dan Adriyanto dkk [21], yang dimodifikasi

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 64: D2109-Amalia Sholehah.pdf

47

Universitas Indonesia

sesuai dengan langkah-langkah pada Bab 3 terdahulu. Pengukuran terhadap

morfologi, arah pertumbuhan dan ukuran merupakan titik awal analisis nanorods

ZnO. Difraktogram merupakan parameter yang akan ditelaah dan digunakan

untuk menganalisis tingkat kristalinitas serta ukuran kristalit nanorods. Kemudian,

profil absorbansi dan energi celah pita menjadi parameter penting dari sifat optis

nanorods ZnO yang akan berhubungan langsung dengan aplikasinya dalam sel

surya. Investigasi nanorods dengan menggunakan berbagai variasi tersebut

diharapkan akan menghasilkan kondisi optimum sintesis ZnO dengan struktur

vertikal dan coverage yang luas.

Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan pada penelitian adalah

sebagai berikut:

a. Mengamati pengaruh penambahan basa sebagai salah satu unsur pembentuk

nanorods ZnO dengan variabel konsentrasi Zn2+ konstan,

b. Mengamati pengaruh variasi penggunaan suhu reaksi terhadap struktur ZnO

hasil sintesis,

c. Menelaah pengaruh variasi waktu reaksi terhadap nanorods ZnO hasil

sintesis

4.3. Hasil dan Pembahasan

4.3.1. Pengaruh Basa Pembentuk terhadap Struktur Nanorods ZnO

Hasil pengamatan dengan SEM dapat dilihat pada Gambar 4.1., dimana

hampir seluruh sampel pada penelitian ini menghasilkan nanorods ZnO tumbuh

dengan diameter 160–240 nm. Namun, terdapat hal yang menarik, yaitu pada

variasi waktu tahan 6 jam dengan penambahan NaOH 0,1 M (Gambar 4.1.a)

menghasilkan bentuk nanoflowers berdiameter jauh lebih besar (~440 nm).

Bentuk nanoflowers ini bersesuaian dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya

[21,35,65], yang menjelaskan bahwa pertumbuhan ZnO menjadi suatu struktur

dengan bentuk tertentu seperti nanorods dimulai dengan nukleasi yang

menghasilkan molekul prekursor dengan kation Zn2+. Dengan penambahan basa,

Zn2+ akan membentuk Zn(OH)2 dan ZnO22- yang akan berubah menjadi ZnO

seiring dengan adanya pemanasan. Dalam penelitian ini, basa yang ditambahkan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 65: D2109-Amalia Sholehah.pdf

48

Universitas Indonesia

berasal dari dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan amonia (NH3)

dengan reaksi sebagai berikut [30]:

C6H12N4 + 6H2O ↔ 6HCHO + 4NH3 (4.1)

NH3 + H2O ↔ NH4+ + OH- (4.2)

HMTA merupakan nonionic cyclic tertiary amine yang dapat berfungsi sebagai

basa Lewis dengan ion logam sebagai atom pusat dan gugus organik sebagai ligan

bidentate yang dapat menjembatani dua ion Zn2+ dalam larutan. HMTA akan

terhidrolisis menjadi formaldehid dan amonia, seperti terlihat pada Reaksi 4.1 dan

Reaksi 4.2 [66]. Gugus OH- yang dihasilkan dari Reaksi 4.2 merupakan basa

utama dalam pembentukan ZnO sehingga tanpa penambahan NaOH pun ZnO

dapat terbentuk dalam reaksi. Adapun mekanisme reaksi pembentukan ZnO

dinyatakan sebagai berikut [30,65] :

Zn2+ + 4OH- ↔ ZnO22- + 2H2O (4.3)

Zn2+ + 2OH- ↔ Zn(OH)2 ↔ ZnO + H2O (4.4)

Zn(OH)2 + 2OH- ↔ ZnO22- + 2H2O (4.5)

ZnO22- + H2O ↔ ZnO + 2OH- (4.6)

Selanjutnya presipitat/nuklei ZnO yang terdapat dalam larutan kemudian

akan tumbuh menjadi kristal dengan ukuran lebih besar melalui proses kristalisasi.

Penambahan secara signifikan gugus OH- yang terlibat pada Reaksi 4.3 diperoleh

dengan adanya penambahan NaOH. Dalam hal ini, maka sejalan dengan

bertambahnya waktu reaksi, molekul prekursor Zn2+ bereaksi dan terkonsumsi

hingga habis, menghasilkan populasi nuklei ZnO yang lebih banyak [30]. Di sisi

lain, kehadiran suplai nuklei yang lebih banyak tersebut menghasilkan kompetisi

pertumbuhan nanorods pada sumbu vertikal sehingga mengakibatkan diameter

individual masing-masing nanorods akan menjadi lebih kecil. Hal ini dapat dilihat

jelas pada hasil penelitian ini, di mana dengan semakin lamanya waktu reaksi

(yaitu 24 jam) maka didapatkan struktur nanorods ZnO yang tumbuh semakin

rapat di atas substrat, dengan diameter rata-rata ~165 nm (Gambar 4.1.b). Hal

yang hampir serupa juga diperlihatkan pada nanorods ZnO hasil sintesis CBD

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 66: D2109-Amalia Sholehah.pdf

49

Universitas Indonesia

tanpa penambahan NaOH, dimana peningkatan waktu tahan pembibitan dari 6

jam menjadi 24 jam mengecilkan diameter rata-rata nanorods ZnO dari ~240 nm

(Gambar 4.1.c.) menjadi ~210 nm (Gambar 4.1.d.). Namun untuk kedua sampel

terakhir ini, nanorods ZnO yang dihasilkan memberikan tingkat sebaran yang

sangat seragam dan coverage yang sempurna pada permukaan substrat.

Gambar 4.1. Foto SEM sampel nanorods ZnO hasil CBD pada temperatur

pemanasan 90oC dengan variasi : a) waktu tahan 6 jam, dengan penambahan

NaOH; b). waktu tahan 24 jam, dengan penambahan NaOH; c). waktu tahan 6

jam, tanpa penambahan NaOH; d). waktu tahan 24 jam, tanpa penambahan

NaOH.

Perbedaan pertumbuhan antara Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b dapat

dikaitkan dengan lebih lamanya waktu tahan pembibitan yang memungkinkan

NaOH memberikan kontribusi lebih besar di dalam reaksi hidrolisis. Vernardou

dkk [67] menyatakan bahwa efek morfologi ZnO yang tumbuh di atas substrat

dalam sistem aqueous chemical growth sangat dipengaruhi oleh pH larutan.

Kenaikan pH dapat merubah struktur, dimana pada pH yang lebih tinggi, ZnO

akan membentuk struktur nanoflower, sedangkan pada pH yang lebih rendah,

ZnO akan cenderung stabil dalam bentuk nanorods. Di samping itu, suplai NaOH

yang lebih banyak sebagai agen pereaksi pembentuk ZnO dari ion prekursor Zn2+

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 67: D2109-Amalia Sholehah.pdf

50

Universitas Indonesia

memberikan efek terhadap coverage pertumbuhan nanorods ZnO di atas substrat.

Dengan membandingkan Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.c, serta Gambar 4.1.b dan

Gambar 4.1.d, dapat dilihat perbedaan di antara nanorods ZnO sebagai hasil

proses CBD dengan dan tanpa penambahan NaOH. Pada sampel tanpa

penambahan NaOH (Gambar 4.1.c dan Gambar 4.1.d), tingkat coverage nanorods

ZnO di atas permukaan substrat lebih rapat dibandingkan dengan NaOH, seperti

terlihat pada Gambar 4.1.a dan Gambar 4.1.b. Hal ini sangat dimungkinkan karena

tanpa penambahan NaOH, Reaksi 4.3 hingga Reaksi 4.4 telah berlangsung dengan

gugus OH- hasil dekomposisi HMT menjadi formaldehid (HCHO) dan ammonia

(NH3). Dengan suplai yang relatif terbatas, maka setiap bibit nuklei ZnO harus

tumbuh dalam keterbatasan, menjadikan nanorods ZnO pada Sampel 4.1.c dan

Sampel 4.1.d tumbuh secara individual dan rapat pada sumbu-z tegak lurus

permukaan substrat, dan bukan pertumbuhan ke arah sumbu-x dan sumbu-y

sebagaimana ditunjukkan jelas oleh struktur nanoflowers pada Gambar 4.1.a dan

Gambar 4.1.b.

4.3.2. Pengaruh Suhu Reaksi terhadap Struktur ZnO

Proses pertumbuhan kristal ZnO dalam sampel sangat bergantung pada suhu

pertumbuhan, seperti terlihat pada Gambar 4.2. Secara umum, dapat dikatakan

bahwa kenaikan suhu reaksi dapat mempengaruhi morfologi ZnO yang dihasilkan

dalam proses sintesis [15,24].

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 68: D2109-Amalia Sholehah.pdf

51

Universitas Indonesia

Gambar 4.2. Struktur mikro ZnO hasil percobaan dengan variasi suhu

pertumbuhan pada a). 75oC, b). 90oC, dan c). 120oC.

Gambar 4.2.a menunjukkan morfologi kristal ZnO yang ditumbuhkan

dengan temperatur 75oC. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kristal ZnO belum

tumbuh sempurna, karena temperatur yang digunakan masih terlalu rendah untuk

dapat menghasilkan stuktur batang ZnO. Hal ini diperkirakan terjadi karena tidak

tersedianya energi yang cukup untuk tumbuh sempurna dalam waktu 5 jam. ZnO

yang terbentuk masih berupa lempengan tipis, dengan beberapa bagian

membentuk pola heksagonal yang kemungkinan merupakan dasar bagi

terbentuknya struktur batang ZnO. Diameter rata-rata ZnO yang terbentuk adalah

0,92 µm. Pada Gambar 4.2.b, dengan suhu pertumbuhan 90oC terlihat struktur

batang ZnO telah tumbuh sempurna, dalam waktu pertumbuhan selama 5 jam.

Dengan variasi suhu tersebut didapat juga struktur seperti jarum yang terbentuk di

antara struktur batang ZnO dengan diameter rata-rata sebesar 1,24 µm, sedangkan

jika digunakan suhu pertumbuhan di atas 90oC, maka akan didapat ZnO dengan

berbagai macam bentuk. Zhang dkk [35] menyebutkan bahwa kenaikan suhu

menyebabkan laju nukleasi ZnO melambat dan pertumbuhan Zn(OH)2 yang

merupakan senyawa antara pembentukan ZnO meningkat. Pertumbuhan nukleat

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 69: D2109-Amalia Sholehah.pdf

52

Universitas Indonesia

ZnO yang melambat mengakibatkan berkurangnya ZnO yang tumbuh melebar

dan memicu pertumbuhan ke arah vertikal sehingga membentuk struktur batang.

Gambar 4.2.c memperlihatkan bahwa pada temperatur 120oC didapat ZnO

dengan struktur batang, tube, bunga, dan jarum. Diameter ZnO tube yang terukur

adalah sebesar 2,26 µm. Kenaikan diameter ZnO yang terbentuk pada suhu yang

makin tinggi ini bersesuaian dengan penelitian Meen dkk [68]. Pada temperatur

yang lebih tinggi, jumlah, titik aktifasi pertumbuhan ZnO mengalami peningkatan

[35]. Hal ini terlihat dari makin banyaknya struktur jarum yang terbentuk dengan

formasi menyerupai bunga (flower-like). Tingginya temperatur reaksi

mengakibatkan terjadi kerusakan pada struktur batang sempurna, yang ditandai

dengan lepasnya bagian atas dari struktur sehingga terjadi perubahan bentuk

menjadi tube (Gambar 4.2.c).

4.3.3. Pengaruh Suhu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Ukuran Kristalit

Nanorods ZnO

Berdasarkan hasil penelitian pada Sub Bab 4.3.1 dan Sub Bab 4.3.2,

dilakukan penelitian lanjutan mengenai efek proses pasca-hidrotermal terhadap

ukuran kristalit nanorods ZnO. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO

sebelum dan sesudah proses hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.3. Pada

gambar tersebut, nanorods ZnO terbukti memiliki struktur batang heksagonal

dengan diameter 400–800 nm dan tumbuh dengan arah vertikal yang baik di atas

substrat kaca ITO. Sampel nanorods dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada

suhu 100oC terlihat mengalami kenaikan ukuran diameter yang cukup signifikan

dengan makin lamanya waktu reaksi (Gambar 4.3.b, Gambar 4.3.c, dan Tabel 4.1).

Sementara, nanorods ZnO dengan perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC

mengalami penurunan ukuran diameter pada waktu reaksi 3 jam (Gambar 4.3.d,

dan Tabel 4.1). Namun demikian, densitas nanorods ZnO pada variasi ini

merupakan yang tertinggi, jika dibandingkan dengan sampel-sampel nanorods

ZnO pada variasi perlakuan yang lain. Pada suhu ini, diduga terjadi pemisahan

batang-batang nanorods yang tumbuh bersama pada proses sintesis. Sehingga,

nanorods tumbuh secara individual dan tampak memiliki ukuran yang lebih kecil.

Nanorods ZnO dengan diameter terbesar didapat pada proses pasca-hidrotermal

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 70: D2109-Amalia Sholehah.pdf

53

Universitas Indonesia

dengan suhu 150oC selama 12 jam (Gambar. 4.3.e, Tabel 4.1). Setelah waktu

reaksi 12 jam, terlihat beberapa stuktur nanorods ZnO mengalami kerusakan.

Gambar 4.3.e menunjukkan adanya bintik-bintik kecil di bagian atas struktur

nanorods.

Tabel 4.1. Diameter rata-rata nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan

pasca-hidrotermal.

As-synthesized

Setelah perlakuan pasca-hidrotermal

100oC 150oC

3 jam 12 jam 3 jam 12 jam

Diameter rata-rata [nm] 456,19 597,94 608,25 442,86 817,96

Gambar 4.3. Struktur morfologi penampang atas nanorods ZnO (a) as-

synthesized; setelah proses pasca-hidrotermal pada 100oC selama (b) 3 jam, dan

(c) 12 jam; setelah proses pasca-hidrotermal pada 150oC selama (d) 3 jam, dan (e)

12 jam.

Pola difraksi sinar-X dari nanorods ZnO sebelum dan sesudah perlakuan

pasca-hidrotermal ditunjukkan oleh Gambar 4.4. Seluruh puncak difraksi yang

muncul dapat diidentifikasi sebagai puncak ZnO heksagonal wurtzite, sesuai

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 71: D2109-Amalia Sholehah.pdf

54

Universitas Indonesia

dengan JCPDS No. 36-1451 [35,44]. Walaupun puncak (100) dan (101) terlihat

memiliki intensitas yang cukup tinggi, puncak (002) merupakan yang paling

dominan. Intensitas puncak (002) paling kuat diperoleh pada nanorods ZnO as-

deposited (Gambar 4.4.a) dan setelah proses pasca-hidrotermal pada suhu 150oC

selama 12 jam (Gambar 4.4.e). Nilai intensitas puncak (002) yang tinggi ini

membuktikan bahwa nanorods ZnO tumbuh searah sumbu-z. Hal inilah yang

mengakibatkan terbentuknya struktur yang tegak lurus di atas substrat kaca ITO,

seperti terlihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.4 Pola difraksi sinar-X untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah

perlakuan pasca-hidrotermal pada 100oC selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah

perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam.

Difraktogram sinar-X pada Gambar 4.4. menunjukkan bahwa proses pasca-

hidrothermal efektif untuk menaikkan kristalinitas jika dilakukan dalam waktu

yang lebih lama (12 jam). Dengan menggunakan kedua variasi suhu, terlihat

bahwa pada waktu reaksi 12 jam (Gambar 4.4.c dan Gambar 4.4.e), puncak (002)

memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan waktu reaksi 3 jam

(Gambar 4.4.b dan Gambar 4.4.d). Puncak intensitas yang lebih rendah

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 72: D2109-Amalia Sholehah.pdf

55

Universitas Indonesia

berkorelasi dengan tingkat kristalinitas yang lebih rendah pula.

Dengan menggunakan persamaan Scherrer [54], diketahui bahwa ukuran

kristalit nanorods ZnO mengalami kenaikan dengan makin lamanya waktu reaksi,

seperti terlihat pada Tabel 4.2. Perlakuan pasca-hidrotermal pada suhu 150oC

terbukti memberikan kontrol yang lebih baik dikarenakan kenaikan ukuran

kristalit tidak menunjukkan lonjakan tajam pada saat waktu reaksi dinaikkan dari

3 jam (258,65 nm) menjadi 12 jam (269,40 nm). Hal sebaliknya terjadi dalam

proses pasca-hidrotermal pada suhu 100oC, dimana penambahan waktu reaksi

dari 3 hingga 12 jam mengakibatkan pembesaran ukuran kristalit hampir 2x lipat,

yaitu dari 113,96 nm menjadi 207,55 nm. (Tabel 4.2). Namun demikian, secara

keseluruhan dapat dilihat bahwa kenaikan waktu reaksi mengakibatkan terjadinya

pembesaran ukuran kristalit pada kedua variasi suhu. Hal ini disebabkan karena

dengan memperpanjang waktu reaksi, diameter kristalit nanorods memiliki waktu

dan energi lebih sehingga dapat tumbuh menjadi lebih besar [69] . Selain itu,

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ukuran kristalit nanorods ZnO juga

dapat dipicu dengan menggunakan suhu reaksi yang lebih tinggi.

Tabel 4.2. Ukuran kristalit nanorods ZnO.

As-synthesized

Setelah perlakuan pasca-hidrotermal

100oC 150oC

3 jam 12 jam 3 jam 12 jam

Ukuran kristalit [nm] 42,85 113,96 207,55 258,65 269,40

Spektrum absorbansi UV-Vis seluruh sampel nanorods ZnO

memperlihatkan adanya absorbansi kuat pada daerah ultra violet, seperti

ditunjukkan pada Gambar 4.5. Setelah proses pasca-hidrotermal, terlihat bahwa

puncak kurva absorbansi mengalami pergeseran ke arah cahaya tampak.

Pergeseran ini disebut sebagai red shift [70], dimana puncak kurva absorbansi

bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar.

Dengan menggunakan Persamaan Tauc [60], nilai energi celah pita (Eg)

untuk setiap variasi dapat ditentukan. Adanya pergeseran puncak kurva ke panjang

gelombang yang lebih besar berkontribusi pada nilai Eg yang lebih rendah, seperti

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 73: D2109-Amalia Sholehah.pdf

56

Universitas Indonesia

tertera pada Tabel 4.3. Nilai Eg ini juga berkaitan dengan ukuran kristalit yang

terrangkum pada Tabel 4.2. Pada umumnya, penurunan nilai Eg berkaitan dengan

kenaikan suhu reaksi yang akan mengakibatkan perbaikan dalam pertumbuhan

kristal, yang ditandai dengan naiknya ukuran kristalit. Selain itu,ketebalan film

yang makin besar juga memicu turunnya nilai Eg [69].

Gambar 4.5. Spektrum absorbansi UV-Vis untuk nanorods ZnO (a) as-

synthesized; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b) 3 jam, dan

(c) 12 jam; setelah perlakuan pasca-hidrotermal 150oC selama (d) 3 jam, dan

(e) 12 jam.

Tabel 4.3. Energi celah pita untuk nanorods ZnO (a) as-synthesized; setelah

perlakuan pasca-hidrotermal 100oC selama (b) 3 jam, dan (c) 12 jam; setelah

perlakuan pasca-hidrotermal 150oC selama (d) 3 jam, dan (e) 12 jam.

Parameter nanostruktur As-

synthesized

Setelah perlakuan pasca-hidrotermal

100oC 150oC

3 jam 12 jam 3 jam 12 jam

Energi celah pita, Eg (eV) 3,31 3,24 3,23 3,21 3,21

Dengan nilai Eg yang lebih rendah, nanorods ZnO mampu mengabsorpsi

cahaya dalam panjang gelombang yang lebih besar, mendekati cahaya tampak.

Dengan demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan dalam proses ini memiliki

potensi yang cukup tinggi untuk aplikasi dalam bidang optoelektronik.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 74: D2109-Amalia Sholehah.pdf

57

Universitas Indonesia

4.3.4. Pengaruh waktu reaksi terhadap nanostruktur ZnO

Gambar 4.6. menunjukkan foto SEM nanorods ZnO di atas substrat kaca

ITO. Pada gambar tersebut terlihat bahwa setiap nanorods memiliki bentuk

hekasgonal dan pada umumnya tumbuh secara vertikal, dengan sebaran

(coverage) yang baik di atas substrat. Dengan memperpanjang waktu reaksi

selama 3 jam menjadi 5 jam, diameter nanorods bertambah dari 325 nm menjadi

583 nm. Panjang nanorods juga mengalami pertambahan dari 0,66 μm hingga

1,98 μm (Tabel 4.4). Namun demikian, pembesaran diameter yang terjadi pada

waktu reaksi 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.6.b dan Gambar 4.6.c) mengakibatkan

terjadinya penurunan coverage lapisan nanorods, jika dibandingkan dengan

nanorods hasil sintesis pada waktu 3 jam akan (Gambar 4.6.a). Dengan waktu

reaksi yang makin lama, setiap nanorods akan dikelilingi oleh reaktan dalam

jumlah yang lebih banyak, sehingga, pertumbuhan ke arah vertikal dan horizontal

akan lebih optimal. Akan tetapi, tidak semua nanorods dapat tumbuh secara tegak

vertikal. Adanya kompetisi pertumbuhan antar nanorods-nanorods tersebut

mengakibatkan sebagian nanorods tumbuh dengan arah miring atau horizontal.

Investigasi lanjut pada penampang lintang stuktur nanorods menunjukkan

fenomena tersebut, seperti terlihat pada Gambar 4.7.

Gambar 4.6. Foto SEM nanorods ZnO hasil sintesis pada 90oC selama : (a) 3 jam,

(b) 4 jam, dan (c) 5 jam.

Tabel 4.4. Diameter dan panjang rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis.

Karakteristik nanostruktur Waktu reaksi (jam)

3 4 5

Diameter rata-rata (nm) 325 444 583

Panjang rata-rata (µm) 0,66 1,65 1,98

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 75: D2109-Amalia Sholehah.pdf

58

Universitas Indonesia

Gambar 4.7.a menunjukkan bahwa selama 3 jam, nanorods mempunyai

cukup ruang sehingga dapat tumbuh secara vertikal dengan baik tanpa mengalami

hambatan yang cukup besar dari kondisi sekelilingnya. Hal sebaliknya terjadi

pada nanorods yang ditumbuhkan dalam 4 jam dan 5 jam (Gambar 4.7.b dan

Gambar 4.7.c). Dengan waktu reaksi yang lebih lama, disorientasi dan

ketidakteraturan pertumbuhan struktur meningkat, sehingga didapat banyak

nanorods yang tumbuh miring maupun ke arah horizontal. Hal ini disebabkan oleh

berkurangnya ruang untuk tumbuhnya nanorods yang merupakan konsekuensi

dari membesarnya diameter nanorods. Dengan meningkatkan waktu reaksi,

nanorods yang tumbuh vertikal sempurna di atas substrat mengalami penurunan.

Gambar 4.7. Foto SEM penampang melintang nanorods ZnO yang disintesis pada

90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.

Pola difraksi pada Gambar 4.8. menunjukkan nanorods hasil sintesis

teridentifikasi sebagai ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit yang sesuai

dengan referensi JCPDS no. 36-1451 [44,65], kecuali untuk puncak pada 2θ 35o

yang merupakan karakteristik dari kaca ITO. Pada waktu reaksi 3 jam dan 4 jam

(Gambar 4.8.a dan Gambar 4.8.b), puncak dengan intensitas tertinggi diperoleh

pada bidang (002). Hal ini bersesuaian dengan Gambar 4.6 dan Gambar 4.7 yang

menunjukkan bahwa pada kondisi ini, nanorods ZnO umumnya tumbuh secara

vertikal pada arah sumbu-z. Kristal wurtzit ZnO memiliki bidang (002) yang

bersifat polar serta bidang (100) dan (101) yang bersifat non polar. Bidang polar

dengan permukaan dipol lebih tidak stabil secara termodinamika dibandingkan

sisi bidang non polar. Oleh sebab itu, bidang polar cenderung melakukan

pengaturan ulang dalam arah pertumbuhan struktur sebagai upaya untuk

memperkecil energi permukaan. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ke arah

bidang (002) lebih cepat dibandingkan arah bidang lain [70]. Nanorods ZnO yang

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 76: D2109-Amalia Sholehah.pdf

59

Universitas Indonesia

disintesis selama 3 jam memiliki stuktur vertikal yang paling baik. Setelah waktu

reaksi 5 jam, pertumbuhan nanorods ZnO didominasi pada sumbu-x. Hal ini dapat

dibuktikan pada Gambar 4.9.c, dimana terlihat puncak intensitas yang tertinggi

adalah pada bidang (100). Pertumbuhan ke arah tersebut mengakibatkan

meningkatnya jumlah nanorods yang berada dalam posisi horizontal di atas

substrat. Sehingga, lapisan nanorods yang tumbuh pada kondisi ini memiliki

coverage dengan kerapatan paling rendah, seperti terlihat pada Gambar 4.7.c.

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar-X nanorods ZnO yang disintesis pada 90oC

selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.

Pola difraksi ZnO juga dipengaruhi oleh kondisi ketebalan lapisan

nanostruktur di atas substrat kaca ITO. Cui dkk [15] menyatakan bahwa dengan

lapisan yang makin tebal, intensitas pola difraksi dan kristalinitas nanostruktur

akan meningkat. Rendahnya derajat kristalinitas dari ZnO dengan lapisan yang

lebih tipis dapat dihubungkan dengan pertumbuhan kristalit yang belum sempurna

dikarenakan oleh minimnya jumlah lapisan atom yang membentuk film ZnO [15].

Perhitungan ukuran kristalit rata-rata dari fasa wurtzit sampel dilakukan

dengan mengunakan Rumus Scherrer [54]. Untuk mendapat nilai yang akurat,

faktor broadening yang disebabkan oleh regangan non-uniform dan pengaruh

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 77: D2109-Amalia Sholehah.pdf

60

Universitas Indonesia

instrumen telah dieliminasi terlebih dahulu [57,71]. Sesuai perkiraan, ukuran

kristalit dari nanorods ZnO mengalami peningkatan dengan makin lamanya waktu

reaksi. Ukuran kristalit terbesar didapat pada waktu reaksi 5 jam, dengan nilai

sebesar 34,28 nm. Hasil perhitungan ukuran kristalit seluruh sampel dapat dilihat

pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Ukuran kristalit rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis dengan variasi

waktu reaksi.

Karakteristik nanostruktur Waktu reaksi (jam)

3 4 5

Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 27,42 34,28

Investigasi pengaruh karakteristik stuktur nanorods terhadap sifat optik

dilakukan dengan metode spektroskopi UV-Vis. Gambar 4.9. menunjukkan

spektrum absorbansi dari sampel-sampel nanorods ZnO. Pada gambar tersebut

terlihat bahwa nanorods ZnO hasil sintesis memiliki absorbansi kuat pada daerah

UV dan bersifat transparan pada daerah cahaya tampak. Untuk menentukan

puncak absorbansi, pada setiap spektrum ditarik garis pada bagian linier kurva

hingga memotong sumbu x. Dengan menaikkan waktu reaksi 3 jam hingga 5 jam,

telah terjadi pergeseran puncak absorpsi dari 365 nm menjadi 420 nm. Pergeseran

ini disebut sebagai red shift, dimana puncak absorbansi bergeser ke arah panjang

gelombang yang lebih besar. Dengan demikian, menambah waktu reaksi dapat

mengakibatkan absorpsi cahaya pada daerah cahaya tampak. Resume nilai

pergeseran puncak absorbansi dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 78: D2109-Amalia Sholehah.pdf

61

Universitas Indonesia

Gambar 4.9. Spektrum absorbansi UV-Vis nanorods ZnO nanorods hasil sintesis

pada 90oC selama: (a) 3 jam, (b) 4 jam, dan (c) 5 jam.

Tabel 4.6. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis.

Sifat optik Waktu reaksi (jam)

3 4 5

Garis potong linier kurva absorpsi (nm) 365 375 420

Energi celah pita, Eg (eV) 3,63 3,55 3,13

Energi celah pita (Eg) nanorods ZnO hasil sintesis ditentukan dengan

menggunakan Persamaan Tauc [60]. Dengan peningkatan waktu reaksi, nilai Eg

yang didapat mengalami penurunan dari 3,63 eV pada sintesis selama 3 jam

menjadi 3,13 eV setelah 5 jam. Hal ini bersesuaian dengan pertumbuhan kristalit

yang mengalami kenaikan dengan penambahan waktu reaksi, seperti ditunjukkan

pada pengujian XRD sebelumnya. Pada area skala nanometer, ukuran kristalit dari

nanostruktur semikonduktor sangat mempengaruhi nilai energi celah pita.

Semakin besar ukuran kristalit nanostruktur, maka nilai Eg yang dihasilkan akan

semakin kecil.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 79: D2109-Amalia Sholehah.pdf

62

Universitas Indonesia

Penurunan nilai Eg dari 3,63 eV menjadi 3,55 eV pada penambahan waktu

dari 3 jam ke 4 jam merupakan indikator yang sangat baik. Dilihat dari sifat optik

material semikonduktor, penurunan nilai Eg memberikan kemudahan terjadinya

eksitasi elektron dari pita valensi yang berenergi rendah menuju pita konduksi

yang berenergi tinggi. Pada umumnya, nilai Eg nanorods ZnO yang diinginkan

adalah mendekati nilai Eg ZnO dalam fasa ruah, yaitu 3,34 eV. Akan tetapi,

setelah sintesis selama 5 jam, nilai Eg nanorods ZnO mengalami penurunan

hingga di bawah angka tersebut. Pada kondisi tersebut, Eg nanorods ZnO hasil

sintesis yang terukur adalah sebesar 3,13 eV. Spektrum absorbansi pada sintesis

selama 5 jam (Gambar 4.9.c) menunjukkan perbedaan bentuk kurva jika

dibandingkan dengan sintesis pada 3 jam dan 4 jam. Spektrum absorpsi pada

sintesis selama 5 jam menunjukkan bentuk yang bergelombang, dengan 3 puncak

absorpsi yang tidak tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya fasa lain yang

terdapat dalam sampel. Untuk meyakinkan jenis fasa yang terdapat dalam sampel

tersebut, analisis lebih lanjut perlu dilakukan sehingga dapat diambil kesimpulan

yang tepat.

4.3.5. Pengaruh Waktu Proses Pasca-Hidrotermal terhadap Nanostruktur

ZnO

Gambar 4.10. menunjukkan morfologi penampang atas lapisan nanorods

ZnO di atas kaca ITO pada beberapa variasi. Pada umumnya nanorods ZnO

berstruktur heksagonal dan tumbuh secara tegak vertikal dengan coverage yang

baik di atas substrat. Pada nanorods ZnO as-deposited terlihat beberapa batang

tumbuh bergabung menjadi satu struktur dengan diameter rata-rata ~325 nm

(Gambar 4.10.a). Di antara nanorods-nanorods yang terbentuk, terlihat adanya

ruang kosong pada substrat yang tidak ditumbuhi oleh ZnO. Hal ini

mengindikasikan adanya ketidakteraturan pada proses sintesis yang

mengakibatkan tidak semua nanorods tumbuh secara tegak vertikal. Sesuai

dengan hasil penelitian sebelumnya (Sub Bab 4.3.3), perlakuan pasca-hidrotermal

dapat memperbaiki pengaturan struktural nanorods ZnO (Gambar 4.10). Dengan

menambahkan perlakuan pasca-hidrotermal selama 3 jam, diameter nanorods

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 80: D2109-Amalia Sholehah.pdf

63

Universitas Indonesia

terlihat menjadi lebih kecil hingga mencapai ~165 nm. Dengan ukuran diameter

yang lebih kecil, lapisan nanorods ZnO menjadi lebih rapat (Gambar 4.10.b).

Penambahan waktu reaksi hingga mencapai 6 jam mengakibatkan nanorods ZnO

kembali tumbuh dengan diameter yang lebih besar (~228 nm) namun memiliki

coverage di atas substrat yang tetap terjaga (Gambar 4.10.c). Selain itu, lapisan

nanorods diketahui menjadi lebih rapi jika dibandingkan dengan perlakuan pasca-

hidrotermal selama 3 jam.

Setelah waktu reaksi pasca-hidrotermal selama 9 jam, diameter nanorods

tumbuh hingga mencapai ~261 nm. Namun demikian, kenaikan diameter ini tidak

memperbaiki keteraturan struktur lapisan nanorods. Pada Gambar 4.11.d, terlihat

bahwa nanorods ZnO tumbuh dengan bentuk nanostrutur flower-like. Bentuk

pertumbuhan menggumpal seperti bunga ini mengakibatkan turunnya keteraturan

dan coverage nanorods ZnO di atas substrat ITO. Observasi SEM dengan

menggunakan pembesaran yang lebih tinggi (Gambar 4.10.d, inset) menunjukkan

bahwa ujung-ujung nanorods kembali mengalami penggabungan. Perubahan

ukuran diameter dari kondisi as-deposited dan setelah mengalami proses pasca-

hidrotermal dirangkum dalam Tabel 4.7.

Gambar 4.10. Gambar SEM penampang atas nanorods ZnO: (a). as-deposited

pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC

selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, serta (d) 9 jam.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 81: D2109-Amalia Sholehah.pdf

64

Universitas Indonesia

Tabel 4.7. Parameter nanostruktur ZnO as-deposited dan setelah perlakuan pasca-

hidrotermal.

Karakteristik nanostruktural As-deposited

Waktu reaksi pasca-hidrotermal

(jam)

3 6 9

Diameter rata-rata (nm) 325 165 228 261

Ukuran kristalit rata-rata (nm) 22,85 26,87 27,97 28,55

Pola difraksi sinar-X dari sampel nanorods sebelum dan sesudah proses pasca-

hidrotermal menunjukkan terdapat 3 puncak utama dengan intesitas tertinggi,

yaitu pada sudut 2θ 32,05o; 34,71o; dan 36,53o (Gambar 4.11). Ketiga puncak ini

teridentifikasi dalam JCPDS no. 36-1451 sebagai puncak untuk bidang (100),

(002), (101) dari struktur kritstal wurtzit ZnO [44,65]. Selain itu, terdapat 2

puncak dengan inttensitas yang lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ 47,72 dan

63,26o yang merupakan karakteristik dari bidang kristal (102) dan (103). Puncak

difraksi yang terlihat pada sudut 2θ 35o merupakan karakteristik dari kaca ITO,

seperti yang telah ditunjukkan pada Gambar 4.8 dalam Sub Bab 4.3.4 terdahulu.

Dengan mengaplikasikan perlakuan hidrotermal selama 3 jam (Gambar 4.11.b),

terlihat bahwa puncak-puncak difraksi menjadi lebih tajam yang diikuti dengan

munculnya puncak pada sudut 2θ 56,75o yang merupakan puncak untuk bidang

(110). Penambahan waktu reaksi pasca-hidrotermal menjadi 6 jam dan 9 jam

menunjukkan adanya peningkatan kristalinitas nanorods ZnO, yang ditandai

dengan puncak difraksi yang makin tajam, seperti terlihat pada Gambar 4.11.c dan

Gambar 4.11.d. Di antara puncak-puncak difraksi tersebut, puncak yang

merupakan karakteristik bidang [002] memiliki intensitas tertinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa nanorods ZnO tumbuh secara vertikal sepanjang sumbu-z,

sesuai dengan fakta yang ditampilkan pada pencitraan SEM (Gambar 4.10.a)

sebelumnya. Proses pasca-hidrotermal pada 3 jam dan 6 jam masih menunjukkan

pertumbuhan ke arah vertikal yang cukup baik. Namun demikian, kenaikan waktu

proses pasca-hidrotermal hingga 9 jam mengakibatkan terjadinya pertumbuhan

snanorods dengan arah miring (Gambar 4.10.d) yang ditandai dengan intensitas

puncak bidang (101) yang makin kuat pada Gambar 4.11.d.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 82: D2109-Amalia Sholehah.pdf

65

Universitas Indonesia

Gambar 4.11. Difraktogram sinar-X nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90oC

selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3

jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.

Analisis mengenai ukuran kristalit rata-rata dari nanorods ZnO hasil

percobaan [54] memperlihatkan adanya peningkatan dengan makin bertambahnya

waktu reaksi pasca-hidrotermal. Proses pasca-hidrotermal selama 3 jam, 6 jam,

dan 9 jam menghasilkan ukuran kristalit rata-rata sebesar 22,85 nm; 26,87 nm;

serta 28,55 nm.

Perlakuan proses pasca-hidrotermal mengakibatkan terjadinya fenomena

red-shift pada nanorods ZnO, seperti terlihat pada spektrum absorbansi dalam

Gambar 4.12. Puncak absorbansi nanorods ZnO mengalami pergeseran dari 350

nm sebelum proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.a), menjadi sekitar 400 nm

setelah proses pasca-hidrotermal (Gambar 4.12.b-d). Bentuk kurva yang sedikit

berbeda ditemui pada sampel nanorods ZnO yang mengalami proses pasca-

hidrotermal selama 9 jam (Gambar 4.12.d). Pada variasi tersebut, nanorods

menunjukkan bentuk spektrum yang bergelombang dengan dua puncak kurva. Hal

ini diduga berasal dari adanya fasa lain yang terbentuk dikarenakan oleh lamanya

waktu reaksi. Untuk memastikan hal tersebut, perlu dilakukan analisis lebih lanjut

yang dapat menentukan kandungan fasa-fasa yang terdapat dalam sampel tersebut.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 83: D2109-Amalia Sholehah.pdf

66

Universitas Indonesia

Gambar 4.12. Spektrum absorbansi nanorods ZnO: (a) as-deposited pada 90oC

selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada 150oC selama: (b) 3

jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.

Energi celah pita (Eg) dari nanorods ZnO ditentukan dengan menggunakan

Persamaan Tauc [60] dengan menggunakan plot kurva (αhν)2 terhadap hν

(Gambar 4.13). Nilai Eg didapat dengan menarik bagian linier pada kurva hingga

menyentuh sumbu x pada kurva, yang menunjukkan nilai energi. Untuk sampel

yang mengalami proses pasca hidrotermal selama 3 jam, 6 jam, dan 9 jam, nilai

Eg yang diperoleh adalah sebesar 3,15 eV; 3,12 eV; serta 3,07 eV. Perlakuan

pasca-hidrotermal dapat dikatakan menghasilkan penurunan nilai Eg yang cukup

signifikan jika dibandingkan dengan nilai Eg sebelum proses pasca-hidrotermal,

yaitu sebesar 3,63 eV (Tabel 4.8).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 84: D2109-Amalia Sholehah.pdf

67

Universitas Indonesia

Gambar 4.13. Plot kurva (αhν)2 terhadap hν untuk nanorods ZnO: (a) as-

deposited pada 90oC selama 3 jam; dan setelah perlakuan pasca-hidrotermal pada

150oC selama: (b) 3 jam, (c) 6 jam, dan (d) 9 jam.

Tabel 4.8. Energi celah pita nanorods ZnO as-deposited dan setelah perlakuan

pasca-hidrotermal.

Parameter nanostruktur As-deposited

Waktu perlakuan pasca-hidrotermal

(jam)

3 6 9

Energi celah pita, Eg (eV) 3,63 3,15 3,12 3,07

Hasil pengukuran diameter kristalit rata-rata (Tabel 4.7) dan nilai energi celah

pita (Tabel 4.8) menunjukkan keterkaitan yang kuat. Dengan makin meningkatnya

ukuran kristalit rata-rata, maka nilai Eg yang didapatakan makin kecil. Hal ini

telah teramati pada beberapa percobaan sebelumnya Penurunan nilai Eg ini

menampakkan adanya peluang potensial untuk pengembangan material tersebut

dalam aplikasi sel surya serta fotokatalisis. Dengan nilai Eg yang makin rendah,

eksitasi elektron dari pita valensi ke pita konduksi akan semakin mudah. Namun

demikian, faktor lain seperti morfologi permukaan serta adanya unsur dopant juga

perlu diperhatikan untuk mendukung aplikasi tersebut.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 85: D2109-Amalia Sholehah.pdf

68

Universitas Indonesia

4.4. Kesimpulan

Sintesis nanorods ZnO telah berhasil dilakukan dengan teknik chemical

bath deposition (CBD) pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat

tetrahidrat {Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat} dan heksametilentetraamin {C6H12N4,

HMTA}. Pada sintesis dengan waktu tahan pembibitan dan penambahan NaOH

diperoleh struktur nanoflower ZnO dengan ukuran relatif besar namun jarang-

jarang, sementara pada kondisi yang sama namun dengan waktu tahan 24 jam

diperoleh struktur nanorods ZnO yang mampu menutupi permukaan substrat.

Tingkat coverage substrat yang lebih tinggi diperoleh dengan teknik yang sama,

namun tanpa penambahan NaOH. Hal ini dimungkinkan oleh terbatasnya suplai

gugus OH- yang memaksa setiap bibit berkompetisi tumbuh tegak lurus

permukaan substrat.

Suhu reaksi diketahui memegang peranan penting dalam proses

pembentukan struktur batang setelah terjadi nukleasi ZnO. Temperatur optimum

pertumbuhan nanorods ZnO adalah 90oC. Suhu yang terlalu rendah

mengakibatkan nanorods tidak memiliki cukup energi untuk tumbuh secara tegak

vertikal. Sedangkan pada suhu yang lebih tinggi, terjadi deformasi pada struktur

ZnO sehingga membentuk struktur tube, partikel dan jarum.

Dengan menggunakan larutan bibit yang disintesis pada suhu rendah (0oC),

nanorods ZnO berstruktur kristal heksagonal wurtzit dengan coverage yang baik

di atas substrat kaca ITO telah berhasil disintesis. Dengan menaikkan waktu

reaksi dari 3 jam hingga 5 jam, terjadi pembesaran diameter dan ukuran kristalit

nanorods ZnO. Nilai energi celah pita nanorods ZnO mengalami penurunan dan

profil absorbansi menunjukkan terjadinya red shift dengan makin meningkatnya

waktu reaksi. Dengan mempertimbangkan karakteristik sifat optik tersebut,

nanorods ZnO hasil sintesis ini mempunyai potensi yang cukup baik untuk

dikembangkan dalam sel surya maupun fotokatalisis.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 86: D2109-Amalia Sholehah.pdf

69

Universitas Indonesia

BAB V

Pengaruh Lapisan Bibit terhadap Pertumbuhan Nanorods ZnO yang

Disintesis dengan Metode Chemical Deposition Bath

5.1. Pendahuluan

Performa dan sifat permukaan sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-

sensitized solar cell, DSSC) sangat dipengaruhi oleh morfologi dan ukuran

partikel anoda. Lapisan anoda yang baik dapat meningkatkan efisiensi konversi

solar–to–electricity dan mengurangi laju rekombinasi pada permukaan antar fasa

material semikonduktor dan lapisan elektrolit [72]. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa ZnO nanostuktur di atas substrat kaca konduktif dapat

digunakan sebagai anoda yang baik. Akan tetapi, untuk mendapatkan nilai

efisiensi yang tinggi, dibutuhkan struktur dengan keteraturan dan kepadatan yang

cukup tinggi [72].

Untuk mendapatkan lapisan ZnO dengan struktur tersebut, diperlukan

adanya lapisan bibit yang menempel pada substrat sebelum melakukan proses

penumbuhan ZnO nanostruktur. Anoda yang difabrikasi menggunakan kaca

konduktif tanpa lapisan bibit ZnO diketahui memiliki efisiensi DSSC sebesar

~0,78%. Sedangkan jika menggunakan kaca konduktif dengan lapisan bibit,

efisiensi mengalami peningkatan sebanyak 3x lipat [72]. Kaca konduktif dengan

lapisan bibit dapat menginisiasi pertumbuhan ZnO nanostruktur yang seragam dan

terorientasi dengan baik [72-74], sehingga morfologi dan sifat-sifat fisik yang

dihasilkan akan memberikan performa DSSC yang baik.

Pada Bab 4 terdahulu, nanorods ZnO telah berhasil disintesis melalui teknik

chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah [22,21], yang dilanjutkan

dengan proses pasca-hidrotermal [74,40]. Dalam penelitian tersebut, nanorods

ZnO ditumbuhkan tanpa melakukan proses pembuatan lapisan bibit pada substrat

kaca indium tin oxide (InSn2O3, ITO) terlebih dahulu. Kondisi optimum untuk

mendapatkan nanorods ZnO yang tumbuh di atas kaca ITO telah diinvestigasi

untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam langkah berikutnya. Namun

demikian, nanorods ZnO yang dihasilkan masih memiliki kelemahan pada

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 87: D2109-Amalia Sholehah.pdf

70

Universitas Indonesia

ukuran, orientasi arah pertumbuhan serta sebaran (coverage) pertumbuhan di atas

substrat. Kontrol reaksi dalam metode terdahulu hanya dilakukan melalui

pengamatan terhadap suhu dan waktu tahan reaksi, baik pada proses CBD maupun

pasca-hidrotermal. Sejauh ini, dalam rangkaian penelitian yang sedang berjalan,

belum ditemukan dilakukan pengamatan mengenai pengaruh penempelan larutan

bibit di atas substrat terhadap hasil sintesis yang akan didapat.

Pada penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh lapisan bibit film ZnO

terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari nanostruktur ZnO yang akan ditumbuhkan.

Parameter-parameter proses yang menjadi perhatian adalah jumlah lapisan dan

suhu anil lapisan bibit. Lapisan bibit nanostruktur ZnO selanjutnya akan

ditumbuhkan dengan metode CBD. Dengan demikian, diharapkan akan diperoleh

lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO dengan karakteristik paling

optimal untuk komponen sel surya.

5.2. Tujuan Penelitian

Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh lapisan bibit terhadap

pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO. Larutan bibit yang

untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah dijelaskan pada

Bab 4 terdahulu. Pengamatan terhadap morfologi sebaran dan energi celah pita

lapisan bibit di atas kaca ITO merupakan titik awal penelitian pada tahap ini.

Selanjutnya, lapisan bibit ditumbuhkan dengan menggunakan metode CBD.

Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup kristalinitas, ukuran kristalit,

diameter nanorods, serta energi celah pita dari nanorods ZnO hasil sintesis.

Secara garis besar, penelitian ini bertujuan untuk:

d. Mempelajari proses sintesis lapisan bibit nanorods ZnO melalui metode

kimia basah pada suhu rendah untuk memperoleh nanostruktur ZnO

dengan densitas, coverage, dan kristalinitas yang tinggi di atas substrat

kaca konduktif;

e. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,

kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO;

f. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis

terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 88: D2109-Amalia Sholehah.pdf

71

Universitas Indonesia

5.3. Hasil dan Pembahasan

5.3.1. Pengaruh Jumlah Lapisan dan Suhu Anil terhadap Nanostruktur ZnO

Hasil pengamatan dengan menggunakan SEM menunjukkan bahwa lapisan

ZnO tumbuh dengan berbagai macam struktur. Secara keseluruhan, lapisan bibit

nanostruktur ZnO terdistribusi secara merata di atas kaca ITO. Pada suhu 100oC,

kaca ITO dengan 1 lapisan bibit terlihat menggumpal dan terkonsentrasi pada area

tertentu (Gambar 5.1.a). Kaca ITO dengan 3 lapisan bibit dan 5 lapisan bibit

(Gambar 5.1.b dan Gambar 5.1.c) menghasilkan nanostruktur ZnO yang

berbentuk seperti daun, berbeda dari struktur pada sampel-sampel lain. Hal ini

diduga disebabkan oleh suhu anil yang relatif rendah. Pada suhu 200oC, lapisan

bibit membentuk struktur nanopartikel ZnO. Penambahan 1 lapisan bibit ZnO

memberikan distribusi yang merata di atas substrat dengan ukuran yang sangat

halus. Namun, dikarenakan proses spin-coating yang kurang sempurna, terlihat

adanya beberapa bentuk nanorods yang tumbuh di atas lapisan bibit nanopartikel

ZnO. Dengan menambahkan jumlah lapisan bibit menjadi 3 lapis (Gambar 5.2.b)

dan 5 lapis (Gambar 5.2.c), bentuk nanopartikel terlihat stabil, dan menjadi lebih

besar untuk setiap penambahan lapisan. Kestabilan bentuk nanopartikel ini juga

ditemui pada sampel dengan suhu anil 300 oC (Gambar 5.3), 400 oC (Gambar 5.4.)

dan 500oC (Gambar 5.5). Faktor suhu memberikan kontribusi pada pembesaran

ukuran nanostruktur untuk setiap penambahan lapisan bibit. Makin tinggi suhu

anil yang digunakan, ukuran nanopartikel yang terbentuk tampak makin besar

[15]. Sedangkan faktor penambahan lapisan memberikan efek pada permukaan

nanostruktur. Makin banyak lapisan yang ditempelkan ke kaca ITO, permukaan

nanopartikel ZnO yang dihasilkan terlihat makin kasar. Hal ini dapat diamati

dengan adanya tekstur pada nanostruktur yang tampak menebal dengan

bertambahnya lapisan bibit. Dengan menggabungkan pengaruh suhu dan jumlah

lapisan, dapat disimpulkan bahwa makin naiknya kedua faktor di atas akan

memberikan lapisan nanostruktur dengan ukuran yang makin membesar serta

permukaan yang lebih kasar dan bertekstur. Hal ini terlihat pada Gambar 5.1.c,

Gambar 5.2.c, Gambar 5.3.c, Gambar 5.4.c, dan Gambar 5.5.c.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 89: D2109-Amalia Sholehah.pdf

72

Universitas Indonesia

Gambar 5.1. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

100oC sebanyak a). 1 lapis (1A), b). 3 lapis (1B), dan c). 5 lapis (1C).

Gambar 5.2. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

200oC sebanyak a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B), dan c). 5 lapis (2C).

Gambar 5.3. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

300oC sebanyak a). 1 lapis (3A), b). 3 lapis (3B), dan c). 5 lapis (3C).

Gambar 5.4. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

400oC sebanyak a). 1 lapis (4A), b). 3 lapis (4B), dan c). 5 lapis (4C).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 90: D2109-Amalia Sholehah.pdf

73

Universitas Indonesia

Gambar 5.5. Foto SEM penampang atas lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

500oC sebanyak a). 1 lapis (5A), b). 3 lapis (5B), dan c). 5 lapis (5C).

Morfologi dan tekstur permukaan lapisan film nanostruktur ZnO yang akan

digunakan juga bergantung pada jenis sel surya yang akan difabrikasi. Untuk

aplikasi DSSC, tekstur permukaan yang rapat serta orientasi pertumbuhan

merupakan syarat yang harus dipenuhi, sehingga penyerapan zat pewarna (dye)

menjadi lebih optimal.

Analisis sifat elektronik dasar lapisan bibit ZnO dilakukan dengan Diffuse

Reflectance Spectroscopy (DRS) pada rentang cahaya ultraviolet-visible (UV-Vis).

Secara keseluruhan, sampel lapisan bibit nanostruktur ZnO menyerap cahaya pada

daerah gelombang UV, dengan rentang nilai energi celah pita (band gap energy,

Eg) antara 3,5 ~ 3,6 eV. Nilai Eg ini masih berada di atas nilai Eg ZnO dalam fasa

ruah (bulk), yaitu sebesar 3,34 eV. Pada suhu anil 100oC, nilai absorbans

mengalami pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih besar (red-shift),

seperti ditunjukkan pada Gambar 5.6. Jika dikaitkan dengan struktur morfologi

pada Gambar 5.1., maka dapat dikatakan bahwa struktur nanopartikel yang lebih

rapat pada 1 lapisan bibit (5.1.a) memberikan nilai absorbansi yang lebih tinggi.

Pada jumlah lapisan yang lebih banyak yaitu 3 lapis dan 5 lapis (Gambar 5.1.b

dan Gambar 5.1.c), nanostruktur ZnO berbentuk daun memiliki kerapatan yang

lebih rendah. Akibatnya, terjadi pergeseran ke arah panjang gelombang yang lebih

besar (red-shifted) sehingga nilai Eg menjadi makin kecil.

Pada suhu anil 200oC, penambahan lapisan bibit dari 1 lapis menjadi 3 lapis

tidak memberikan kenaikan maupun penurunan nilai absorbans (Gambar 5.7).

Untuk suhu tersebut, penambahan hingga 3 lapis diduga belum mampu

meningkatkan ketebalan di total lapisan bibit yang ada di atas substrat kaca ITO.

Suhu yang relatif rendah diduga menjadi penyebab dari hal tersebut. Telah

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 91: D2109-Amalia Sholehah.pdf

74

Universitas Indonesia

diketahui sebelumnya, suhu berkorelasi dengan pertumbuhan ukuran nanostruktur.

Makin tinggi suhu yang digunakan, maka ukuran nanostruktur yang didapat juga

makin besar. Setelah melakukan pelapisan sebanyak 5 kali, terlihat adanya

pergeseran absorbans ke arah panjang gelombang yang lebih kecil (blue-shifted),

sehingga nilai Eg mengalami kenaikan.

Untuk suhu anil 300-500oC, terjadi fenomena yang hampir seragam dimana

penambahan lapisan bibit mengakibatkan terjadinya pergeseran red-shift sehingga

nilai Eg turun. Resume nilai Eg pada berbagai variasi dapat dilihat pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1. Energi celah pita lapisan bibit nanorods ZnO.

Parameter

nanostruktur

Suhu anil

100oC 200oC 300oC 400oC 500oC

1A 1B 1C 2A 2B 2C 3A 3B 3C 4A 4B 4C 5A 5B 5C

Energi celah

pita (eV) 3,69 3,64 3,62 3,61 3,61 3,65 3,64 3,62 3,60 3,65 3,65 3,57 3,59 3,57 3,54

Gambar 5.6. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

100oC sebanyak b). 1 lapis (1A), c). 3 lapis (1B), dan d). 5 lapis (1C). Inzet : plot

Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 100oC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 92: D2109-Amalia Sholehah.pdf

75

Universitas Indonesia

Gambar 5.7. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

200oC sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B), dan d). 5 lapis (2C). Inzet : plot

Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC.

Gambar 5.8. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

300oC sebanyak b). 1 lapis (3A), c). 3 lapis (3B), dan d). 5 lapis (3C). Inzet : plot

Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 300oC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 93: D2109-Amalia Sholehah.pdf

76

Universitas Indonesia

Gambar 5.9. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada suhu

400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B), dan d). 5 lapis (4C). Inzet : plot

Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC.

Gambar 5.10. Absorbans a). kaca ITO dan lapisan bibit ZnO yang dianil pada

suhu 500oC sebanyak b). 1 lapis (5A), c). 3 lapis (5B), dan d). 5 lapis (5C). Inzet :

plot Tauc untuk lapisan bibit yang dianil pada suhu 500oC.

Dengan mempertimbangkan morfologi, coverage, tingkat absorbans dan

nilai Eg dari seluruh sampel bibit nanostruktur ZnO di atas kaca ITO, diputuskan

untuk menumbuhkan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200 dan 400oC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 94: D2109-Amalia Sholehah.pdf

77

Universitas Indonesia

5.3.2. Proses Penumbuhan Lapisan Nanorods ZnO melalui Metode Chemical

Bath Deposition (CBD)

Morfologi nanostruktur ZnO yang ditumbuhkan dengan metode CBD dilihat

dengan menggunakan SEM. Hasil foto SEM memperlihatkan bahwa seluruh

sampel tumbuh dengan struktur nanorods ZnO. Hampir seluruh nanorods tumbuh

secara tegak lurus. Diameter nanorods yang dihasilkan berukuran 120 ~ 390 nm,

seperti terlihat pada Tabel 5.2. Sampel nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang

dianil pada suhu 200oC mengalami penurunan ukuran diameter dengan makin

bertambahnya lapisan bibit (Gambar 5.12). Pada sampel dengan 1 lapisan bibit

(Sampel 2A, Gambar 5.12.b), diameter nanorods yang dihasilkan merupakan

ukuran yang terbesar di antara sampel-sampel lain. Suhu yang rendah, serta

lapisan yang tipis diduga menjadi faktor penyebab besarnya diameter nanorods

pada variasi ini. Dengan penambahan jumlah lapisan, ruang pertumbuhan bibit

nanostruktur ZnO di atas substrat menjadi lebih sempit. Akibatnya, nanorods ZnO

dengan 3 lapisan dan 5 lapisan bibit (Sampel 2B dan Sampel 2C, Gambar 5.12.c

dan Gambar 5.12.d) memiliki diameter yang lebih kecil dari Sampel 2A, seperti

terlihat pada Gambar 5.12.b. Arah pertumbuhan nanostruktur ZnO dengan suhu

anil 200oC juga mengalami perbedaan dengan naiknya jumlah lapisan bibit. Pada

sampel 2A, terlihat nanorods ZnO tumbuh secara acak, tidak terorientasi secara

vertikal dengan baik. Gambar 5.12.b menunjukkan banyak nanorods yang tumbuh

dengan arah miring. Pertumbuhan miring ini mengakibatkan pemborosan pada

ruang pertumbuhan di atas substrat. Sebagai hasil, dapat dilihat bahwa nanorods

ZnO yang tumbuh pada variasi ini memiliki jumlah yang lebih sedikit jika

dibandingkan dengan variasi lainnya. Dengan menambah jumlah lapisan bibit,

ruang pertumbuhan menjadi sempit, sehingga nanorods tumbuh lebih vertikal

pada Sampel 2B dan Sampel 2C (Gambar 5.12.c dan Gambar 5.12.d).

Sampel nanorods yang dianil dengan lapisan bibit yang pada suhu 400oC

(Gambar 5.13) menunjukkan fenomena yang berbeda. Pada penambahan 1 lapisan

dan 3 lapisan bibit (Sampel 4A dan Sampel 4B, Gambar 5.13.b dan Gambar

5.13.c), terlihat adanya kekosongan pada substrat yang diduga disebabkan oleh

ketidaksempurnaan proses spin-coating. Akan tetapi, secara garis besar dapat

dilihat bahwa seluruh nanorods dalam varisi suhu anil ini tumbuh dengan struktur

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 95: D2109-Amalia Sholehah.pdf

78

Universitas Indonesia

batang yang berjejal. Untuk Sampel 4A dan Sampel 4B (Gambar 5.13.b dan

Gambar 5.13.c), arah pertumbuhan masih belum terorientasi dengan baik. Hal ini

dapat dilihat dari banyaknya nanorods yang tumbuh dengan struktur miring

maupun horizontal. Orientasi pertumbuhan nanorods yang lebih baik (tumbuh

secara vertikal) terlihat pada sampel nanorods ZnO dengan 5 lapisan bibit

(Sampel 4C, Gambar 5.13.d). Dari analisis morfologi dengan SEM ini, dapat

disimpulkan bahwa penggunaan suhu anil yang lebih tinggi terbukti tidak selalu

memberikan perbaikan pada struktur, arah pertumbuhan, maupun sebaran

nanorods ZnO di atas substrat kaca ITO.

Pengamatan distribusi ukuran diameter nanorods ZnO dilakukan dengan

membuat kurva frekuensi terhadap ukuran nanorods yang terukur. Gambar 5.11,

menunjukkan bahwa Sampel 2B (Gambar 5.11.b) memiliki distribusi ukuran yang

lebih merata. Dengan kata lain, sampel pada variasi ini memiliki diameter yang

lebih seragam untuk setiap nanorods yang tumbuh.

Tabel 5.2. Diameter rata-rata nanorods ZnO hasil sintesis.

Parameter

nanostruktur

Sampel

TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C

Diameter nanorods

ZnO rata-rata (nm) 325 389,59 157,58 151,52 126,66 184,20 144,49

Gambar 5.11. Distribusi diameter nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD

(90oC, 3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC dengan jumlah

lapisan a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu

400oC dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 96: D2109-Amalia Sholehah.pdf

79

Universitas Indonesia

Gambar 5.12. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD

(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil

pada suhu 200oC sebanyak b). 1 lapis (2A), c). 3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C).

Gambar 5.13. Foto penampang atas nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD

(90oC, 3 jam) a). tanpa lapisan bibit (TF-3); serta dengan lapisan bibit yang dianil

pada suhu 400oC sebanyak b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 97: D2109-Amalia Sholehah.pdf

80

Universitas Indonesia

Analisis X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa seluruh sampel

terindikasi sebagai nanorods ZnO, yang bersesuaian dengan JCPDS No. 36-1451.

Gambar 5.13 memperlihatkan bahwa seluruh sampel berstruktur polikristalin.

Nilai puncak 2θ tertinggi berada pada sudut ~34o. Hal ini menunjukkan bahwa

kebanyakan nanorods ZnO tumbuh dengan orientasi vertikal, yang bersesuaian

dengan foto SEM pada Gambar 5.11 dan Gambar 5.12. Puncak pada 2θ tersebut

merupakan karakteristik untuk bidang kisi (002), dimana pertumbuhan nanorods

terjadi pada arah sumbu-z. Sampel dengan puncak ~34o tertinggi sampel 2B

(Gambar 5.14.b). Lapisan bibit merupakan bagian terpenting yang memicu

pertumbuhan nanorods ZnO terorientasi pada sumbu-z dengan dimensi yang

terkontrol [75].

Perhitungan diameter kristalit untuk seluruh sampel dilakukan dengan

menggunakan Metode Scherrer. Berdasarkan metode tersebut, sampel 2B

diketahui memiliki ukuran kristalit yang paling besar dan bersesuaian dengan

kristalinitas yang paling baik, seperti terlihat pada Gambar 5.13. Jika

dibandingkan dengan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit

(Sampel TF-3), terlihat bahwa hampir seluruh sampel yang menggunakan lapisan

bibit mengalami kenaikan ukuran diameter kristalit. Pada suhu anil 200oC,

diameter kristalit meningkat dengan menambah lapisan hingga 3 lapis. Akan

tetapi, penambahan lapisan bibit hingga 5 lapis mengakibatkan penurunan nilai

kristalinitas. Sebaliknya, pada sampel dengan suhu anil 400oC, penambahan

lapisan bibit mengakibatkan penurunan nilai kristalinitas. Resume diameter

kristalit nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Diameter kristalit nanorods ZnO hasil sintesis.

Parameter nanostruktur Sampel

TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C

Diameter kristalit (nm) 22,85 31,17 59,63 28,57 31,90 27,43 18,53

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 98: D2109-Amalia Sholehah.pdf

81

Universitas Indonesia

Gambar 5.14. Difraktogram nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC,

3 jam) dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 200oC dengan jumlah lapisan

a). 1 lapis (2A), b). 3 lapis (2B) dan c). 5 lapis (2C); serta pada suhu 400oC

dengan jumlah lapisan d). 1 lapis (4A), e). 3 lapis (4B), dan f). 5 lapis (4C).

Nilai absorbans dari nanorods ZnO hasil sintesis dengan menggunakan

lapisan bibit menunjukkan adanya fenomena red-shift dibandingkan nanorods

ZnO yang disintesis tanpa larutan bibit. Sampel nanorods ZnO yang dianil pada

suhu 200oC sebanyak 1 lapisan bibit dan 3 lapisan bibit (2A dan 2B) menunjukkan

trend yag sama dengan Gambar 5.7 pada Sub Bab 5.3.1. Pada sampel-sampel

tersebut, kenaikan jumlah lapisan hingga mencapai 3 lapis ternyata masih belum

mampu menaikkan ketebalan lapisan. Akibatnya, tidak terjadi perubahan pada

nilai Eg. Sedangkan pada sampel dengan 5 lapisan bibit (2C), terjadi penurunan

nilai Eg yang diduga berasal dari naiknya ketebalan sampel. Kurva absorbans

terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang

dianil pada 200oC dapat dilihat pada Gambar 5.15. Fenomena yang berbeda

terjadi pada nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang dianil pada suhu 400oC.

Pada sampel ini, terjadi kenaikan nilai Eg yang bersesuaian dengan turunnya nilai

diameter kristalit seperti yang terangkum dalam Tabel 5.3. Plot kurva absorbans

terhadap panjang gelombang untuk nanorods ZnO dengan lapisan bibit yang

dianil pada suhu 400oC dapat dilihat pada Gambar 5.16.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 99: D2109-Amalia Sholehah.pdf

82

Universitas Indonesia

Setelah melakukan proses penumbuhan dengan metode CBD, terjadi

penurunan nilai Eg yang cukup signifikan pada nanorods ZnO hasil sintesis.

Dibandingkan dengan nanopartikel ZnO pada lapisan bibit yang memiliki nilai

serapan pada daerah UV, nanorods ZnO memiliki nilai Eg yang lebih rendah dan

serapan pada daerah cahaya tampak. Nilai Eg nanorods ZnO hasil sintesis dengan

menggunakan lapisan bibit juga lebih rendah jika dibandingkan dengan nanorods

ZnO yang disintesis tanpa lapisan bibit (TF-3). Penurunan nilai Eg ini diduga

berasal dari penyempitan pita eksiton dan kenaikan intensitas eksiton yang sangat

besar. Hal ini menghasilkan terjadinya penyerapan energi yang sangat baik pada

rentang cahaya tampak [76]. Resume Eg nanorods ZnO hasil sintesis dapat dilihat

pada Tabel 5.4.

Tabel 5.4. Energi celah pita nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD.

Parameter nanostruktur Sampel

TF-3 2A 2B 2C 4A 4B 4C

Energi celah pita (Eg, eV) 3,63 3,26 3,27 3,26 3,25 3,27 3,29

Gambar 5.15. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC, 3

jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 200oC

dengan jumlah lapisan b).1 lapis (2A), c).3 lapis (2B) dan d). 5 lapis (2C)

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 100: D2109-Amalia Sholehah.pdf

83

Universitas Indonesia

Gambar 5.16. Absorbans nanorods ZnO hasil sintesis via metode CBD (90oC, 3

jam) a). tanpa lapisan bibit dan dengan lapisan bibit yang dianil pada 400oC

dengan jumlah lapisan b). 1 lapis (4A), c). 3 lapis (4B) dan d). 5 lapis (4C)

5.4. Kesimpulan

Sintesis nanorods ZnO dengan menggunakan lapisan bibit telah berhasil

dilakukan dengan teknik chemical bath deposition (CBD) pada suhu rendah

dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat {Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat} dan

heksametilentetraamin {C6H12N4, HMTA}. Lapisan bibit umumnya berbentuk

nanopartikel ZnO dengan coverage yang merata di atas permukaan substrat.

Setelah proses pertumbuhan dengan metode CBD dilakukan, Lapisan tersebut

tumbuh menjadi nanorods ZnO dengan ukuran yang berkisar antara 120 ~ 390

nm. Secara umum, nanorods ZnO yang ditumbuhkan dengan lapisan bibit ini

memiliki diameter kristalit yang lebih besar dan energi celah pita yang lebih kecil

dibandingkan nanorods ZnO yang ditumbuhkan tanpa lapisan bibit. Nanorods

ZnO dengan sebaran diameter yang paling baik adalah sampel dengan 3 lapisan

bibit yang dianil pada suhu 200oC (2B). Nanorods ZnO pada variasi ini

diharapkan dapat digunakan sebagai lapisan anoda dalam aplikasi DSSC dengan

tingkat efisiensi yang cukup baik.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 101: D2109-Amalia Sholehah.pdf

84

Universitas Indonesia

BAB VI

Efek Variasi Perlakuan Pasca-Hidrotermal terhadap Lapisan

Nanostruktur ZnO untuk Aplikasi Dye-Sensittized Solar Cell

(DSSC)

6.1. Pendahuluan

Telah disebutkan pada Bab 1 dan Bab 4 terdahulu, bahwa sintesis dengan

metode chemical bath deposition (CBD) umumnya belum mampu menghasilkan

struktur vertikal tegak sempurna di atas substat. Penambahan lapisan bibit yang

dilakukan pada Bab 5 menunjukkan adanya perbaikan sifat fisik lapisan

nanostruktur, terutama dari segi coverage di atas substrat. Sementara itu,

pengaplikasian proses post-annealing diketahui juga memberikan efek yang

cukup besar pada karakteristik film, seperti kualitas kristal, sifa listrik, maupun

morfologi permukaannya [77].

Karakteristik struktur, sifat optik dan elektrik dari lapisan ZnO sangat

dipengaruhi oleh metode dan parameter deposisi [78]. Pada Bab 5 terdahulu, telah

berhasil dilakukan proses deposisi lapisan bibit nanostruktur ZnO di atas substrat

kaca ITO dengan menggunakan metode spin-coating. Lapisan ini berfungsi

sebagai fondasi untuk pertumbuhan nanostruktur ZnO. Dengan menambahkan

lapisan tersebut, energi permukaan diharapkan akan menurun hingga mendekati

nol dan ZnO akan tumbuh dengan arah tegak lurus [79].

Dalam penelitian ini, dilakukan investigasi pengaruh variasi perlakuan

pasca-hidrotermal lapisan film ZnO terhadap sifat-sifat fisik dan optik dari

nanostruktur ZnO. Proses proses pasca-hidotermal pada Bab 4 terdahulu

dilakukan dalam reaktor hidrotermal dengan menggunakan tekanan udara normal.

Pada percobaan ini, ditelaah pengaruh tekanan eksternal dengan menambahan gas

nitrogen (N2) ke dalam reaktor. Penambahan gas N2 diharapkan akan dapat

menghasilkan nanostruktur ZnO yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.

Dengan demikian, resiko kerusakan struktur akibat proses pasca-hidrotermal

dalam waktu yang lama dapat dihindari. Lapisan nanostruktur ZnO di atas substrat

kaca ITO ini selanjutnya akan digunakan sebagai anoda dalam sel DSSC.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 102: D2109-Amalia Sholehah.pdf

85

Universitas Indonesia

6.2. Tujuan Penelitian

Bab ini bertujuan untuk menelaah pengaruh perbedaan metode pasca-

hidrotermal terhadap pertumbuhan nanostruktur ZnO di atas substrat kaca ITO

yang sudah dilapisi dengan bibit. Tahap pertama pada penelitian ini adalah

melakukan penempelan lapisan bibit ZnO dengan menggunakan metode spin-

coating yang sudah disimpulkan pada penelitian sebelumnya (Bab 5). Larutan

bibit yang untuk tahapan ini dibuat dengan menggunakan metode yang telah

dijelaskan pada Bab 4 terdahulu. Selanjutnya, tahap kedua dilakukan dengan

menumbuhkan lapisan bibit ZnO dengan metode chemical bath deposition (CBD)

seperti yang telah dijelaskan dalam Bab 4. Pada tahap ketiga, nanostruktur ZnO

as-synthesized slanjutnya akan mengalami perlakuan pasca-hidrotermal dengan 2

variasi, yaitu proses dalam reaktor hidrotermal dengan tekanan ruang pada

suhu150oC selama 3 jam dan dalam reaktor dengan tekanan gas N2 1 bar pada

suhu 100oC selama 1 jam (PHT-1 dan PHT-2). Penjelasan detail mengenai

perbedaan variasi pasca-hidrotermal dapat dilihat pada Bab 3. Tahap terakhir

dalam penelitian ini adalah mengaplikasikan nanostruktur ZnO di atas substrat

ITO tersebut sebagai lapisan anoda pada sel surya tersensitasi zat pewarna (dye-

sensitized solar cell, DSSC). Analisis mengenai pengaruh lapisan bibit mencakup

morofologi, diameter, kristalinitas, ukuran kristalit, diameter, serta energi celah

pita dari nanorods ZnO hasil sintesis. Selanjutnya, parameter-parameter tersebut

akan digunakan untuk menganalisis hasil yang diperoleh pada kurva rapat arus

(JSC) terhadap tegangan (v) yang dihasilkan oleh sel DSSC.

Secara khusus, penelitian pada tahap ini bertujuan untuk :

a. Mempelajari pengaruh lapisan bibit terhadap pertumbuhan nanostruktur

ZnO dengan di atas kaca ITO;

b. Menginvestigasi pengaruh perbedaan kondisi pasca-hidrotermal terhadap

nanostruktur ZnO;

c. Menelaah korelasi antara parameter-parameter sintesis terhadap morfologi,

kristalinitas, serta sifat-sifat optik nanostruktur ZnO;

d. Meneliti hubungan antara sifat-sifat fisik nanostruktur ZnO hasil sintesis

terhadap efisiensi dan performa sel surya yang difabrikasi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 103: D2109-Amalia Sholehah.pdf

86

Universitas Indonesia

6.3. Hasil dan Pembahasan

Pada bagian ini disajikan hasil pengamatan yang dilakukan terhadap sampel

hasil penumbuhan lapisan nanostruktur ZnO dengan metode CBD, sesuai dengan

metode yang didapat dari Bab 4, dan diberi label sebagai Sampel A. Selanjutnya,

sampel tersebut akan mendapatkan proses pasca-hidrotermal yang terbagi menjadi

dua variasi. Variasi pertama adalah sesuai dengan proses pasca-hidrotermal yang

telah dilakukan pada Bab 4 terdahulu. Hasil yang diperoleh pada proses ini

selanjutnya akan diberi label Sampel B. Sementara itu, sampel hasil CBD lain

akan mendapat perlakuan pasca-hidrotermal dengan menggunakan penambahan

gas N2. Hasil yang didapat pada proses ini selanjutnya diberi label Sampel C.

6.3.1. Morfologi dan Ketebalan Lapisan Nanostruktur ZnO

Strukturmorfologidan ketebalan lapisan nanostruktur ZnOdianalisis dengan

menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM) dan Atomic Force

Microscopy (AFM). Setelah lapisan bibit as-synthesized ditumbuhkan dengan

proses CBD (sampel A), terbentuk ZnO dengan struktur batang (nanorods)

dengan diameter rata-rata 366,16 nm, dengan sebaran yang cukup baik di atas

substrat. Akan tetapi, arah pertumbuhan nanorods ZnO yang terbentuk masih

terlihat acak atau belum terorientasi tegak vertikal (Gambar 6.1.a). Lapisan ZnO

as-synthesized ini memiliki ketebalan 2,04 μm (Gambar 6.2.a).

Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terlihat adanya penurunan ukuran

diameter nanorods, seperti yang telah dilaporkan pada penelitian terdahulu yang

terngkum dalam Bab IV. Setelah mengalami proses PHT-1, diameter rata-rata

nanorods ZnO yang terbentuk menjadi 260,44 nm dengan ketebalan lapisan

sebesar 1,24 μm. Penurunan ukuran diameter ini disebabkan karena terjadinya

pemisahan nanorods yang tumbuh bersama pada saat proses CBD. Dengan

mengaplikasikan tekanan uap air, nanorods yang tumbuh saling menempel dapat

terpisah dan terorientasi ke arah vertikal, dengan bentuk heksagonal yang lebih

sempurna (Gambar 6.1.b(i-iii)). Akan tetapi, waktu reaksi PHT yang cukup lama

mengakibatkan terjadinya penurunan ketebalan lapisan ZnO. Hal ini diduga

disebabkan karena terjadinya peluruhan sebagian ZnO yang sudah terbentuk

sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur lapisan pada beberapa

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 104: D2109-Amalia Sholehah.pdf

87

Universitas Indonesia

bagian. Selain itu, tekanan uap air juga mengakibatkan terjadinya pemampatan

lapisan yang menghasilkan struktur yang lebih padat. Gambar 6.2.b menunjukkan

bahwa lapisan ZnO yang sudah mengalami proses pasca-hidrotermal memiliki

struktur lapisanyang lebih rapat dibandingkan lapisan ZnO hasil sintesis dengan

proses CBD. Hal ini mengakibatkan ketebalan lapisan setelah proses PHT-1

menjadi lebih rendah dibandingkan dengan lapisan ZnO as-synthesized.

Hal yang sama juga terjadi pada lapisan ZnO hasil proses PHT-2. Pada

varisi proses ini, diameter nanostruktur ZnO mengalami penurunan dengan nilai

rata-rata sebesar 306,85 nm. Jika dibandingkan dengan proses PHT-1, lapisan

ZnO pada proses PHT-2 memiliki sebaran yang lebih baik (Gambar 6.1.c(i-iii)).

Hal yang menarik pada proses ini adalah ZnO yang terbentuk ternyata tidak hanya

berupa nanorods saja. Pada beberapa titik, terlihat bahwa nanotubes ZnO juga

terbentuk dengan diameter luar yang berukuran hampir sama. Lapisan

nanostruktur ZnO ini memiliki ketebalan 1,28 μm (Gambar 6.2.c), dengan struktur

film yang paling rata dan padat jika dibandingkan dengan kedua variasi

sebelumnya. Data mengenai diameter dan ketebalan lapisan nanostruktur ZnO

disajikan dalam Tabel 6.1.

Penambahan tekanan eksternal gas N2 sebesar 1 bar sebagai substitusi dari

penggunaan waktu dan suhu reaksi hidrotermal terbukti mampu mengurangi

kerusakan dan menghasilkan struktur lapisan ZnO yang lebih baik. Dengan

mengurangi waktu reaksi dari 3 jam menjadi 1 jam, serta menurunkan suhu reaksi

dari 150oC menjadi 100oC, resiko terjadinya peluruhan ZnO menjadi lebih kecil.

Akibatnya, struktur lapisan yang didapat terlihat lebih padat dan rata, dengan

cacat permukaan yang lebih sedikit (Gambar 6.2.b dan Gambar 6.2.c).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 105: D2109-Amalia Sholehah.pdf

88

Universitas Indonesia

Gambar 6.1. Morfologi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah: (a)

proses CBD (sampel A) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii)

25.000 X; (b) proses PHT-1 (sampel B) dengan perbesaran i) 5.000 X, ii) 10.000

X, dan iii) 25.000 X; serta (c) proses PHT-2 (sampel C) dengan perbesaran i)

5.000 X, ii) 10.000 X, dan iii) 25.000 X.

Gambar 6.2. Penampang melintang lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca

ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)

proses PHT-2 (sampel C).

Ukuran butir pada sampel yang dianil dengan meggunakan gas nitrogen

lebih besar dibandingkan sampel yang dianil dengan udara. Peningkatan ukuran

butir tersebut dapat dianggap sebagai pemicu kekosongan (vacancy) oksigen

dalam lingkungan gas nitrogen. Konsentrasi kekosongan akan meningkat secara

eksponensial dengan naiknya suhu dan berpengaruh pada kinetika pertumbuhan

butir dengan mengubah fluks difusi kekosongan oksigen [77,80].

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 106: D2109-Amalia Sholehah.pdf

89

Universitas Indonesia

Analisis morfologi lapisan ZnO dengan menggunakan AFM dapat dilihat

pada Gambar 6.3 dan 6.4. Pencitraan 2 dimensi dengan menggunakan AFM

menunjukkan bahwa lapisan ZnO as-synthesized terlihat tumbuh dengan profil

ketebalan yang tidak merata (Gambar 6.3.a). Hal ini juga ditunjang dengan

pencitraan 3 dimensi yang ditunjukkan pada Gambar 6.4.a. Kondisi ini

bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada Gambar 6.2.a, dimana lapisan ZnO

setelah proses CBD masih belum memiliki arah pertumbuhanyang terorientasi.

Hal ini mempengaruhi profil ketebalan lapisan yang selanjutnya ditampilkan

dengan bentuk bukit dan lembah dengan ketinggian yang tidak seragam, seperti

terlihat pada Gambar 6.4.a.

Dengan mengaplikasikan proses PHT-1, terjadi perubahan pada lapisan ZnO

dengan tampilan profil yang lebih merata, seperti terlihat pada Gambar 6.3.b dan

Gambar 6.4.b. Pada pencitraan 3 dimensi terlihat jelas bahwa lapisan ZnO

memiliki ketebalan yang lebih rata dibandingkan proses sebelumnya. Kondisi ini

bersesuaian dengan analisis SEM pada Gambar 6.2.b, dimana lapisan ZnO setelah

proses PHT-1 tampak memiliki ketebalan yang lebih seragam dibandingkan

dengan ZnO setelah proses CBD.

Proses PHT-2 juga memberikan hasil pencitraan AFM yang lebih baik,

seperti halnya dengan analisis SEM. Gambar 6.3.c menampilkan profil 2 dimensi

lapisan dengan ketebalan yang lebih merata, yang didukung dengan profil 3

dimensi sebagaimana terlihat pda Gambar 6.4.c. Hal ini mendukung analisis SEM

yang telah dilakukan sebelumnya, yang menunjukkan bahwa lapisan ZnO pada

varisi PHT-2 memang memiliki struktur yang paling baik (Gambar 6.2.c).

Simões dkk [81] menyatakan bahwa foto AFM menunjukkan bahwa sampel

yang dianil dalam lingkungan gas nitrogen menunjukkan peningkatan ukuran

butir yang menyiratkan terjadinya pengurangan area batas butir. Proses konduksi

terjadi pada elektron pada pita konduksi yang melalui batas butir. Dengan kata

lain, perlakuan anil dalam lingkungan gas nitrogen dapat meningkatkan

konduktifitas karena adanya fasa sekunder pada lapisan film.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 107: D2109-Amalia Sholehah.pdf

90

Universitas Indonesia

Gambar 6.3. Pencitraan AFM 2 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca

ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)

proses PHT-2 (sampel C).

Gambar 6.4. Pencitraan AFM 3 dimensi lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca

ITOsetelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)

proses PHT-2 (sampel C).

Tabel 6.1. Diameter nanostruktur dan ketebalan rata-rata lapisan ZnO

Sampel Diameter nanostruktur (nm) Ketebalan lapisan ZnO (μm)

A 366,16 2,04

B 260,44 1,24

C 306,85 1,28

6.3.2. Struktur Kristal Lapisan Nanostruktur ZnO

Investigasi struktur kristal lapisan ZnO di atas substrat dilakukan dengan X-

Ray Diffraction (XRD). Analisis difraktogram menunjukkan bahwa ketiga sampel

teridentifikasi sebagai ZnO dengan referensi ICDD no 01-078-3322 untuk sampel

A, serta no 01-073-8765 untuk sampel B dan C. Secara keseluruhan, terdapat 3

puncak utama dengan intesitas tertinggi, yaitu pada sudut 2θ ~32,~34 dan ~36o

(Gambar 6.5). Ketiga puncak ini berkorelasi dengan kisi 100, 002, 101 dari

struktur kritstal wurtzit ZnO. Selain itu, terdapat juga 3 puncak dengan intensitas

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 108: D2109-Amalia Sholehah.pdf

91

Universitas Indonesia

yang jauh lebih rendah, yaitu pada sudut 2θ ~47, ~56, dan ~63o yang berkorelasi

dengan kisi kristal 102, 110 dan 103. Puncak difraksi yang terlihat pada sudut 2θ

~35o merupakan karakteristik dari kaca ITO, seperti yang telah ditunjukkan pada

Gambar 4.8 dalam Sub Bab 4.3.4 terdahulu.

Pada Sampel A, yaitu sampel lapisan ZnO yang ditumbuhkan dengan proses

CBD, terlihat bahwa ketiga puncak dominan muncul dengan nilai intesitas hampir

sama (Gambar 6.5.a). Hal ini menunjukkan bahwa sampel memiliki arah

pertumbuhan yang acak, yang bersesuaian dengan hasil analisis SEM pada

Gambar 6.1.a. Dengan mengaplikasikan perlakuan pasca-hidrotermal (Sampel B

dan Sampel C), terlihat bahwa puncak difraksi yang dominan muncul pada 2θ

~34o, yang merupakan karakteristik untuk kisi (002) (Gambar 6.5.b. dan Gambar

6.5.c). Perlakuan pasca-hisrotermal terbukti menghasilkan puncak struktur dengan

arah kristal yang tegak lurus pada sumbu-z . Hal ini bersesuaian dengan analisis

SEM yang ditunjukkan pada Gambar 6.1.b dan Gambar 6.1.c.

Perbedaan perlakuan pasca-hidotermal memberikan hasil difraktogram yang

sedikit berbeda. Pada Sampel B yang mengalami proses PHT-1, puncak kisi (002)

memiliki intensitas yang sangat tinggi, jauh melebihi puncak-puncak lain.

Sehingga, pada variasi ini seolah-olah terlihat bahwa lapisan ZnO hanya memiliki

satu puncak difraktogram saja (Gambar 6.5.b). Sedangkan pada sampel C yang

mengalamai proses PHT-2, selain puncak pada kisi [002], terdapat puncak dengan

intensitas kecil pada kisi (101) (Gambar 6.5.c). Dengan demikian, berdasarkan

difraktogram yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa Sampel B dengan

perlakuan PHT-1 merupakan variasi dengan kristalinitas yang paling tinggi.

Proses post-annealing dapat memberikan dampak besar pada sifat-sifat film

yang terbentuk, seperti kualitas kristal, sifat listrik serta morfologi permukaan.

Amoupour dkk telah membuktikan bahwa sampel yang dianil dengan

menggunakan gas nitrogen mengindikasikan kristalinitas yang lebih baik

dibanding sampel yang dianil di udara. Selain itu, mobilitas elektrik juga

mengalami peningkatan pada proses anil dengan menggunakan nitrogen [77].

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 109: D2109-Amalia Sholehah.pdf

92

Universitas Indonesia

Gambar 6.5. Pola difraktogram lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO

setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses

PHT-2 (sampel C).

Tabel 6.2. Parameter kisi nanostruktur ZnO.

Sampel Parameter Kisi

a [nm] c [nm] c/a [nm] V [nm3]

A 0,32 0,52 1,60 47,63

B 0,32 0,52 1,60 47,67

C 0,32 0,52 1,60 47,73

Perhitungan parameter kisi terrangkum dalam Tabel 6.2. Analisis parameter

geometrik lapisan nanostruktur ZnO dilakukan dengan membandingkan metode

Scherrer dan Williamson-Hall. Metode Williamson-Hall (W-H) terbagi menjadi 3

jenis asumsi, yaitu Uniform Deformation Model (UDM), Uniform Deformation

Stress Model (UDSM), dan Uniform Deformation Energy Density Model

(UDEDM).

Pada Metode Scherrer, ukuran kristalit dan regangan karena terjadinya

dislokasi dapat dihitung dari perluasan puncak difraktogram. Untuk mendapatkan

perhitungan yang akurat, maka efek perluasan puncak yang disebabkan oleh

interaksi instrumen dan sampel perlu dihilangkan terlebih dahulu. Hal ini dapat

dilakukan dengan menggunakan material standar untuk menentukan perluasan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 110: D2109-Amalia Sholehah.pdf

93

Universitas Indonesia

puncak akibat instrumen [82]. Pada penelitian ini, koreksi terhadap perluasan

puncak akibat efek instrumen dilakukan dengan mengurangi nilai FWHM puncak

difraktogram yang terukur dengan nilai FWHM sampel standar ZnO.

Gambar 6.6. Plot kurva analisis Metode Scherrer untuk lapisan nanostruktur ZnO

di atas kaca ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B);

dan c) proses PHT-2 (sampel C).

Pada metode W-H dengan asumsi UDM, kristal dianggap bersifat isotropik,

dimana sifat dan regangan material dianggap sama pada seluruh arah [57,58].

Sementara, dengan asumsi UDSM dan UDEDM, kristal dianggap bersifat

anisotropik yang memiliki sifat tidak seragam pada seluruh arah [57,58].

Persamaan Scherrer memiliki ketergantungan pada setiap perubahan 1/cos θ,

sedangkan Persamaan Williamson-Hall (W-H) memiliki ketergantungan pada

setiap perubahan tan θ. Pada Metode W-H, ukuran kristalit dan regangan mikro

terjadi karena refleksi pada pelebaran puncak difraksi [82].

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 111: D2109-Amalia Sholehah.pdf

94

Universitas Indonesia

Gambar 6.7. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDM untuk lapisan

nanostruktur ZnO di atas kaca ITO: a) setelah proses CBD (Sampel A); b) setelah

proses PHT-1 (Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (Sampel C).

Gambar 6.8. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDSM untuk

lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (Sampel A); b)

setelah proses PHT-1 (Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2 (Sampel C).

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 112: D2109-Amalia Sholehah.pdf

95

Universitas Indonesia

Gambar 6.9. Plot kurva analisis Metode W-H dengan asumsi UDEDM untuk

lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO a) setelah proses CBD (Sampel A); b)

setelah proses PHT-1(Sampel B); dan c) setelah proses PHT-2(Sampel C).

Tabel 6.3. Parameter geometrik nanostruktur ZnO

Sampel

Metode

Scherrer

Metode Williamson Hall (W-H)

UDM UDSM UDEDM

D

[nm]

D

[nm]

ε

[10-3]

D

[nm]

σ

[MPa]

ε

[10-3]

D

[nm]

u

[kJ/m3]

σ

[MPa]

ε

[10-3]

A 15,24 15,24 3,6 23,25 200 1,39 16,72 472 261 1,81

B 17,81 17,81 3 19,05 400 2,7 18,05 602 299 2,01

C 24,94 16,13 3,3 21,43 200 0,33 18,29 420 239 1,76

Dari data parameter geometrik nanostruktur yang dihitung dengan beberapa

pendekatan, Sampel B memiliki nilai yang relatif lebih stabil dibandingkan

sampel-sampel lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kisaran nilai ukuran kristalit

yang tidak terlalu lebar (~18 – 19 nm) dan nilai regangan (ε) yang berkisar antara

2 – 3x10-3. Kondisi ini bersesuaian dengan Gambar 6.1, yang menunjukkan bahwa

lapisan ZnO dengan proses PHT-1 (Sampel B) memiliki bentuk difraktogram

dengan kristalinitas paling tinggi dibandingkan sampel-sampel lainnya.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 113: D2109-Amalia Sholehah.pdf

96

Universitas Indonesia

6.3.3. Sifat Optik Lapisan Nanostruktur ZnO

Salah satu sifat optik yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah energi

celah pita (Eg). Gambar 6.10 memperlihatkan bahwa Sampel A dan Sampel C

memiliki daerah linier kurva yang jatuh pada panjang gelombang yang hampir

sama. Hal ini kemudian tebukti dari perhitungan yang menunjukkan nilai Eg untuk

Sampel A dan Sampel C masing-masing sebesar 3,21 dan 3,20 eV. Sedangkan

Sampel B mengalami penurunan nilai Eg yang lebih besar, yaitu 3,17 eV.

Rendahnya nilai Eg ini diduga berkorelasi dengan ukuran kristalit yang telah

dijelaskan dalam Sub Bab 6.3.2. Sampel B memiliki ukuran kristalit yang paling

stabil jika dibandingkan dengan sampel-sampel lainnya. Hal inilah yang

menyebabkan rendahnya nilai Eg pada perhitungan.

Gambar 6.10. Plot kurva perhitungan energi celah pita (Eg) dengan Metode ASF

untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca ITO setelah:a) proses CBD (sampel

A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c) proses PHT-2 (sampel C).

Pada percobaan yang terangkum dalam Bab 4 terdahulu, perlakuan pasca-

hidrotermal mampu menurunkan nilai Eg secara signifikan. Lapisan ZnO as-

synthesized memiliki Eg sebesar 3,63 eV. Setelah mengalami proses pasca-

hidrotermal selama 3 jam, nilai Eg mengalami penurunan hingga menjadi 3,15 eV

(Tabel 4.8). Penurunan signifikan tidak terjadi pada penelitian ini diduga

disebabkan oleh lapisan bibit yang sudah terbentuk sebelum nanostruktur ZnO

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 114: D2109-Amalia Sholehah.pdf

97

Universitas Indonesia

ditumbuhkan di atas substrat. Dengan menambahkan lapisan bibit, nanostruktur

ZnO menjadi lebih stabil.

Berbagai proses perlakuan yang digunakan dalam percobaan menghasilkan

nanostruktur dengan beragam karakteristik. Salah satu parameter yang sangat

terpengaruh oleh proses sintesis adalah ukuran kristalit. Parameter ini memiliki

kebergantungan yang besar terhadap suhu. Umumnya, untuk mendapatkan ukuran

kristalit yang tinggi dilakukan dengan menaikkan suhu reaksi. Akan tetapi, pada

percobaan dalam Bab ini, peranan suhu digantikan oleh tekanan. Ukuran kristalit

ini memiliki korelasi yang sangat kuat dengan nilai Eg. Seperti telah disebutkan

pada Bab 4 dan Bab 5 terdahulu, nilai Eg akan mengalami penurunan jika ukuran

kristalit meningkat. Dengan demikian, untuk setiap proses perlakuan pada sintesis

nanostruktur ZnO, akan didapat nilai Eg yang berubah-ubah, sebagai implikasi

dari perubahan ukuran kristalit dalam nanostruktur tersebut.

Gambar 6.11. Plot ln A terhadap 1/λ untuk lapisan nanostruktur ZnO di atas kaca

ITO setelah: a) proses CBD (sampel A); b) proses PHT-1 (sampel B); dan c)

proses PHT-2 (sampel C).

Tabel 6.4. Energi celah pita (Eg) dan Energi Urbach (Eu) yang ditentukan dengan

Metode ASF.

Sampel Eg (eV) Eu (eV)

A 3,21 0,19

B 3,17 0,34

C 3,20 0,21

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 115: D2109-Amalia Sholehah.pdf

98

Universitas Indonesia

Dari percobaan terlihat bahwa trend Eu memiliki nilai yang berbanding

terbalik dengan Eg [80]. Nilai Eu menunjukkan exponential tail yang muncul

karena sifat amorf material [83]. Nilai ini berkorelasi dengan transisi optik antara

localized states yang berdekatan dengan pita valensi dan extended statepada pita

konduksi [56,57].

6.3.4. Aplikasi Nanostruktur ZnO sebagai Lapisan Anoda pada DSSC

Selanjutnya lapisan nanostruktur ZnO yang telah dikarakterisasi digunakan

sebagai anoda pada fabrikasi proptotipe DSSC. Proses pembuatan anoda

dilakukan dengan melakukan perendaman dalam zat pewarna (anoda pada DSSC.

Proses pembuatan anoda dilakukan dengan melakukan perendaman dalam zat

pewarna (dye) N719 0,05 M selama 2 jam, sesuai dengan metode yang digunakan

oleh Chung dkk [12].

Chung dkk [12] menyatakan bahwa proses anil lapisan bibit memegang

peranan yang sangat penting dalam meningkatkan efisiensi DSSC. Jika

digabungkan dengan proses anil untuk lapisan nanostruktur ZnO yang sudah

terbentuk, maka efisiensi yang dihasilkan akan lebih besar. Lapisan nanostruktur

dengan proses anil yang baik akan menyerap pewarna dalam jumlah yang lebih

banyak dengan cepat. Selain itu, rapat arus (JSC) atau arus per satuan luas yang

dihasilkan juga lebih besar [12]. Penelitian Chung dkk tersebut, menghasilkan sel

dengan efisiensi sebesar 0,78% .

Pada penelitian ini, kondisi tersebut terjadi pada sampel C yang mengalami

proses pasca-hidrotermal dalam gas N2. Pada saat perendaman zat pewarna (dye

loading), dalam waktu yang sama, sampel C dapat menyerap zat pewarna dengan

jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan sampel-sampel lain. Hal itu

terlihat dari warna anoda sampel C yang lebih gelap. Proses pasca-hidrotermal

dengan gas N2 (PHT-2) diduga menjadi penyebab hal tersebut. Seperti telah

disampaikan ada Sub Bab 6.3.1 sebelumnya, proses PHT menghasilkan lapisan

nanostruktur ZnO yang paling padat dan rapi. Selain itu, proses tersebut tidak

hanya menghasilkan struktur nanorods ZnO saja, melainkan juga terbentuk

nanotubes ZnO. Bentuk nanotubes yang memiliki lubang atau pori pada bagian

atas struktur inilah yang diduga menjadi penyebab cepatnya proses pewarnaan

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 116: D2109-Amalia Sholehah.pdf

99

Universitas Indonesia

pada sampel C. Nilai arus yang dihasilkan juga lebih besar dibandingkan dengan

sampel-sampel lainnya (Tabel 6.5.). Proses dye loading yang baik akan

menghasilkan kurva JSC terhadap V yang paling baik (Gambar 6.12).

Tabel 6.5. Karakterisasi DSSC untuk setiap sampel anoda.

Sampel Vm

(mV)

Im

(mA)

VOC

(mV)

ISC

(mA)

FF Efficiency

(%)

A 304,80 0,11 386,03 0,12 0,72 0,06

B 304,85 0,20 467,29 0,27 0,48 0,12

C 222,77 0,24 447,20 0,35 0,34 0,10

Gambar 6.12. Kurva rapat arus (J) terhadap tegangan (V) untuk DSSC dengan

anoda lapisan nanostruktur ZnO

Hasil perhitungan karakterisasi DSSC terangkum dalam Tabel 6.5.

Perlakuan hidrotermal terbukti dapat menaikkan efisiensi DSSC dari 0,06 menjadi

~0,1%. Perbaikan struktur ZnO setelah proses pasca-hidrotermal diduga menjadi

faktor penentu kenaikan efisiensi tersebut. Jika dihubungkan dengan tingkat

kristalinitas yang telah dijelaskan pada Sub Bab 6.3.2., maka dapat dikatakan

bahwa nanostruktur ZnO dengan tingkat kristalinitas yang tinggi akan

menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi juga.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 117: D2109-Amalia Sholehah.pdf

100

Universitas Indonesia

6.4. Kesimpulan

Nanostruktur ZnO telah berhasil disintesis melalui metode CBD dengan

terlebih dahulu menempelkan lapisan bibit di atas substrat kaca ITO. Lapisan bibit

ini diketahui telah meningkatkan kestabilan pembentukan nanostruktur ZnO.

Perbedaan kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan nanostruktur

dengan bentuk yang berbeda. Pada variasi proses PHT-1, hasil sintesis yang

didapat berupa nanorods ZnO. Sedangkan variasi proses PHT-2 menghasilkan

nanorods dan nanotubes ZnO. Secara umum, proses pasca-hidrotermal

memberikan tingkat kristalinitas yang tinggi. Hal ini berpengaruh pada naiknya

efisiensi DSSC setelah perlakuan pasca-hidrotermal. Pada penelitian ini, nilai

efisiensi tertinggi dicapai pada 0,12% dengan perlakuan PHT-1.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 118: D2109-Amalia Sholehah.pdf

101

Universitas Indonesia

BAB VII

Kesimpulan dan Saran Penelitian

7.1. Kesimpulan

Pada penelitian disertasi ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a. Nanostruktur ZnO di atas substrat kaca konduktif telah berhasil disintesis

dengan menggunakan metode chemical bath deposition (CBD) dan pasca-

hidrotermal pada suhu rendah dengan bahan dasar seng nitrat tetrahidrat

(Zn(NO3)2.4H2O, Zn-nitrat) dan heksametilentetraamin (C6H12N4,

HMTA). Temperatur optimum pertumbuhan nanorods ZnO adalah pada

90oC. Suhu yang terlalu rendah mengakibatkan nanorods tidak memiliki

cukup energi untuk tumbuh secara tegak vertikal. Pada suhu yang lebih

tinggi, terjadi deformasi pada struktur ZnO sehingga membentuk struktur

tube, partikel dan jarum.

Kenaikan waktu reaksi juga berpengaruh pada diameter dan ukuran

kristalit nanorods ZnO. Nilai energi celah pita nanorods ZnO mengalami

penurunan dan profil absorbansi menunjukkan terjadinya red shift dengan

makin meningkatnya waktu reaksi. Pada penelitian ini, waktu optimum

yang dibutuhkan untuk menumbuhkan ZnO di atas substrat adalah 3 jam.

b. Perlakuan pasca-hidrotermal menghasilkan lapisan ZnO dengan

kristalinitas yang lebih tinggi, energi celah pita (Eg) yang lebih rendah,

serta orientasi pertumbuhan nanorods ZnO yang semula tidak beraturan

menjadi tegak vertikal. Kondisi optimum untuk proses pasca-hidrotermal

yang digunakan adalah pada suhu 150oC selama 3 jam.

c. Suhu anil pada proses penempelan lapisan bibit memegang peranan

penting dalam struktur morfologi permukaan, bentuk, serta coverage

lapisan nanostruktur ZnO. Pada percobaan, kondisi optimum didapat pada

suhu 200oC dengan jumlah lapisan sebanyak 3 lapis.

Perbedaan kondisi pasca-hidrotermal menghasilkan pertumbuhan

nanostruktur dengan bentuk yang berbeda. Proses pasca-hidrotermal tanpa

penambahan gas N2 menghasilkan struktur berupa nanorods ZnO.,

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 119: D2109-Amalia Sholehah.pdf

102

Universitas Indonesia

sedangkan proses pasca-hidrotermal dengan penambahan gas N2

menghasilkan nanorods dan nanotubes ZnO.

d. DSSC dengan anoda yang dihasilkan dari proses pasca-hidrotermal dengan

penambahan gas N2 memperlihatkan kemampuan dye loading yang lebih

cepat. Adanya struktur nanotubes yang memiliki pori/rongga tersebut

diduga menjadi penyebab tingginya kemampuan penyerapan zat pewarna

(dye) oleh anoda hasil proses tersebut. DSSC ini menghasilkan sel dengan

efisiensi sebesar 0,10%.

Efisiensi tertinggi diraih oleh anoda setelah perlakuan pasca-hidrotermal

tanpa penambahan gas N2, yaitu sebesar 0,12%. Tingkat kristalinitas yang

tinggi serta rendahnya nilai Eg dari anoda hasil proses diduga menjadi

faktor yang mempengaruhi efisiensi sel tersebut.

7.2. Saran

Untuk penelitian lanjut, dapat dilakukan saran-saran sebagai berikut:

a. Dapat dilakukan karakterisasi lanjut (seperti photoluminescence atau

transmission electron microscopy, TEM) untuk mengamati fenomena yang

belum terlihat dalam analisis-analisis sebelumnya.

b. Perlu dilakukan investigasi terhadap kondisi optimum untuk proses pasca-

hidrotermal dengan penambahan gas N2. Hal-hal yang perlu diperhatikan

adalah nanostruktur yang memiliki kristalinitas tinggi tanpa merusak

pertumbuhan struktur yang tegak lurus di atas substrat.

c. Dapat dipertimbangkan untuk melakukan pengujian terhadap surface area

untuk melihat kondisi morfologis lapisan nanostruktur ZnO secara

makroskopis.

d. Perlu dikaji nilai band edge dari nanostruktur ZnO yang dihasilkan dan

ditelaah hubungannya dengan efisiensi DSSC yang difabrikasi.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 120: D2109-Amalia Sholehah.pdf

103

Universitas Indonesia

Daftar Pustaka

[1] L. Li, T. Zhai, Y. Bando, and D. Golberg, “Recent progress of one-

dimensional ZnO nanostructured solar cells,” Nano Energy, vol. 1, no. 1,

pp. 91–106, Jan. 2012.

[2] a. B. Djurišić, a. M. C. Ng, and X. Y. Chen, “ZnO nanostructures for

optoelectronics: Material properties and device applications,” Prog.

Quantum Electron., vol. 34, no. 4, pp. 191–259, Jul. 2010.

[3] L. Schmidt-mende and J. L. Macmanus-driscoll, “ZnO - nanostructures,

defects, and devices,” Mater. Today, vol. 10, no. 5, pp. 40–48, 2007.

[4] G. Zhong, A. Kalam, A. S. Al-shihri, Q. Su, J. Li, and G. Du, “Low-

temperature growth of well-aligned ZnO nanorods / nanowires on flexible

graphite sheet and their photoluminescence properties,” Mater. Res. Bull.,

vol. 47, no. 6, pp. 1467–1470, 2012.

[5] Z.-N. Ng, K.-Y. Chan, and T. Tohsophon, “Effects of annealing

temperature on ZnO and AZO films prepared by sol–gel technique,” Appl.

Surf. Sci., vol. 258, no. 24, pp. 9604–9609, Oct. 2012.

[6] S.-H. Hu, Y.-C. Chen, C.-C. Hwang, C.-H. Peng, and D.-C. Gong,

“Development of a wet chemical method for the synthesis of arrayed ZnO

nanorods,” J. Alloys Compd., vol. 500, no. 2, pp. L17–L21, Jun. 2010.

[7] S. Godnick, “Atomic Scale Design Electron Transport in Semiconductors.”

.

[8] K. Takayanagi, “Suspended Gold Nanowires :,” vol. 3, no. 3, pp. 3–8,

2001.

[9] D. Byrne, E. Mcglynn, M. O. Henry, K. Kumar, and G. Hughes, “A novel ,

substrate independent three-step process for the growth of uniform ZnO

nanorod arrays,” Thin Solid Films, vol. 518, no. 16, pp. 4489–4492, 2010.

[10] M. Grätzel, “Dye-sensitized solar cells,” J. Photochem. Photobiol. C

Photochem. Rev., vol. 4, no. 2, pp. 145–153, Oct. 2003.

[11] J. Gong, J. Liang, and K. Sumathy, “Review on dye-sensitized solar cells

(DSSCs): Fundamental concepts and novel materials,” Renew. Sustain.

Energy Rev., 2012.

[12] J. Chung, J. Lee, and S. Lim, “Annealing effects of ZnO nanorods on dye-

sensitized solar cell efficiency,” Phys. B Condens. Matter, vol. 405, no. 11,

pp. 2593–2598, Jun. 2010.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 121: D2109-Amalia Sholehah.pdf

104

Universitas Indonesia

[13] S. Benramache, F. Chabane, B. Benhaoua, and F. Z. Lemmadi, “Influence

of growth time on crystalline structure , conductivity and optical properties

of ZnO thin films Influence of growth time on crystalline structure ,

conductivity and optical properties of ZnO thin films,” J. Semicond., vol.

023001, no. 2, pp. 1–4, 2013.

[14] K. K. Nagaraja, S. Pramodini, and H. S. Nagaraja, “Effect of annealing on

the structural and nonlinear optical properties of ZnO thin films under cw

regime,” J. Appl. Physycs D Appl. Phys., vol. 055106, p. 055106 1–12,

2013.

[15] L. Cui, G. Wang, H. Zhang, R. Sun, X. Kuang, and J. Han, “Effect of film

thickness and annealing temperature on the structural and optical properties

of ZnO thin films deposited on sapphire ( 0001 ) substrates by sol – gel,”

Ceramics International, 2013. [Online]. Available:

http://dx.doi.org/10.1016/j.ceramint.2012.10.014.

[16] N. Kiomarsipour and R. S. Razavi, “Hydrothermal synthesis and optical

property of scale- and spindle-like ZnO,” Ceram. Int., vol. 39, no. 1, pp.

813–818, 2013.

[17] N. Karak, P. K. Samanta, and T. K. Kundu, “Green photoluminescence

from highly oriented ZnO thin film for photovoltaic application,” Opt. - Int.

J. Light Electron Opt., pp. 19–22, Jul. 2013.

[18] K. Fujimoto, T. Oku, T. Akiyama, and A. Suzuki, “Fabrication and

characterization of copper oxide-zinc oxide solar cells prepared by

electrodeposition,” J. Phys. Conf. Ser., vol. 433, p. 012024 1–7, 2013.

[19] T. M. Ã, T. Mizuta, H. Takakura, and Y. Hamakawa, “Antireflective

coating fabricated by chemical deposition of ZnO for spherical Si solar

cells,” Sol. Energy Mater. Sol. Cells, vol. 91, pp. 191–194, 2007.

[20] J. Yang, J. Lang, C. Li, L. Yang, Q. Han, Y. Zhang, D. Wang, M. Gao, and

X. Liu, “Effects of substrate on morphologies and photoluminescence

properties of ZnO nanorods,” Appl. Surf. Sci., vol. 255, no. 5, pp. 2500–

2503, Dec. 2008.

[21] F. Adriyanto, P. Sze, and Y. Wang, “ZnO Nanorods on Plastic Substrate

from Zinc Nitrate Hexahydrate and Hexamethylenetetramine Solution,” in

The 9th International Conference on Solid-State and Integrated-Circuit

Technology, 2008, pp. 2–5.

[22] J. Lang, J. Yang, C. Li, L. Yang, Q. Han, Y. Zhang, D. Wang, M. Gao, and

X. Liu, “Synthesis and optical properties of ZnO nanorods,” Cryst. Res.

Technol., vol. 43, no. 12, pp. 1314–1317, 2008.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 122: D2109-Amalia Sholehah.pdf

105

Universitas Indonesia

[23] P. K. Baviskar, P. R. Nikam, S. S. Gargote, A. Ennaoui, and B. R.

Sankapal, “Controlled synthesis of ZnO nanostructures with assorted

morphologies via simple solution chemistry,” J. Alloys Compd., vol. 551,

pp. 233–242, Feb. 2013.

[24] N. Kiomarsipour and R. Shoja Razavi, “Characterization and optical

property of ZnO nano-, submicro- and microrods synthesized by

hydrothermal method on a large-scale,” Superlattices Microstruct., vol. 52,

no. 4, pp. 704–710, Oct. 2012.

[25] Ü. Özgür, Y. I. Alivov, C. Liu, A. Teke, M. A. Reshchikov, S. Do, and V.

Avrutin, “A comprehensive review of ZnO materials and devices,” J. Appl.

Phys., vol. 98, no. 4, p. 041301, 2005.

[26] Z. L. Wang, “Nanostructures of zinc oxide,” J. Phys. Condens. Matter, vol.

16, no. June, pp. 26–33, Jun. 2004.

[27] Z. L. Wang, “Zinc oxide nanostructures: growth, properties and

applications,” J. Phys. Condens. Matter, vol. 16, no. 25, pp. R829–R858,

Jun. 2004.

[28] A. A. M. Farag, M. Cavas, F. Yakuphanoglu, and F. M. Amanullah,

“Photoluminescence and optical properties of nanostructure Ni doped ZnO

thin films prepared by sol – gel spin coating technique,” J. Alloys Compd.,

vol. 509, pp. 7900–7908, 2011.

[29] W.-Y. Su, J.-S. Huang, and C.-F. Lin, “Improving the property of ZnO

nanorods using hydrogen peroxide solution,” J. Cryst. Growth, vol. 310,

no. 11, pp. 2806–2809, May 2008.

[30] M. Wang, C.-H. Ye, Y. Zhang, G.-M. Hua, H.-X. Wang, M.-G. Kong, and

L.-D. Zhang, “Synthesis of well-aligned ZnO nanorod arrays with high

optical property via a low-temperature solution method,” J. Cryst. Growth,

vol. 291, no. 2, pp. 334–339, Jun. 2006.

[31] G.-C. Yi, C. Wang, and W. Il Park, “ZnO nanorods: synthesis,

characterization and applications,” Semicond. Sci. Technol., vol. 20, no. 4,

pp. S22–S34, Apr. 2005.

[32] Z. Fan and J. G. Lu, “Zinc oxide nanostructures: synthesis and properties.,”

J. Nanosci. Nanotechnol., vol. 5, no. 10, pp. 1561–73, Oct. 2005.

[33] A. Goetzberger and V. U. Hoffman, Photovoltaic Solar Energy Generation.

Berlin: Springer, 2005.

[34] M. Grätzel, K. Hara, H. Arakawa, and C. Dssc, “Dye-sensitized solar

cells,” J. Photochem. Photobiol. C Photochem. Rev., vol. 4, no. 2, pp. 145–

153, Oct. 2003.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 123: D2109-Amalia Sholehah.pdf

106

Universitas Indonesia

[35] H. Zhang, J. Feng, J. Wang, and M. Zhang, “Preparation of ZnO nanorods

through wet chemical method,” Mater. Lett., vol. 61, no. 30, pp. 5202–

5205, Dec. 2007.

[36] A. Korkin and F. Rosei, Eds., Nanoelectronics and Photonics

Nanostructure Science and Technology. Ontario: Springer, 2008.

[37] S. Baruah and J. Dutta, “pH-dependent growth of zinc oxide nanorods,” J.

Cryst. Growth, vol. 311, no. 8, pp. 2549–2554, Apr. 2009.

[38] E. A. Meulenkamp, “Synthesis and Growth of ZnO Nanoparticles,” vol.

5647, no. 98, pp. 5566–5572, 1998.

[39] Y. Caglar, “Sol – gel derived nanostructure undoped and cobalt doped

ZnO : Structural , optical and electrical studies,” J. Alloys Compd., vol.

560, pp. 181–188, 2013.

[40] M. Guo, P. Diao, and S. Cai, “Hydrothermal growth of perpendicularly

oriented ZnO nanorod array film and its photoelectrochemical properties,”

Appl. Surf. Sci., vol. 249, no. 1–4, pp. 71–75, Aug. 2005.

[41] C. X. Xu, a Wei, X. W. Sun, and Z. L. Dong, “Aligned ZnO nanorods

synthesized by a simple hydrothermal reaction,” J. Phys. D. Appl. Phys.,

vol. 39, no. 8, pp. 1690–1693, Apr. 2006.

[42] E. A. Meulenkamp, “Size Dependence of the Dissolution of ZnO

Nanoparticles,” vol. 4, no. 98, pp. 7764–7769, 1998.

[43] C. Xu, G. Xu, Y. Liu, and G. Wang, “A simple and novel route for the

preparation of ZnO nanorods,” Solid State Commun., vol. 122, no. 3–4, pp.

175–179, Apr. 2002.

[44] S. Aksoy and Y. Caglar, “Superlattices and Microstructures Effect of

ambient temperature on electrical properties of nanostructure n-ZnO / p-Si

heterojunction diode,” SUPERLATTICES Microstruct., vol. 51, no. 5, pp.

613–625, 2012.

[45] H. Zhang, D. Yang, S. Li, X. Ma, Y. Ji, J. Xu, and D. Que, “Controllable

growth of ZnO nanostructures by citric acid assisted hydrothermal

process,” Mater. Lett., vol. 59, no. 13, pp. 1696–1700, Jun. 2005.

[46] Y. Lee, Y. Zhang, S. L. G. Ng, F. C. Kartawidjaja, and J. Wang,

“Hydrothermal Growth of Vertical ZnO Nanorods,” J. Am. Ceram. Soc.,

vol. 92, no. 9, pp. 1940–1945, Sep. 2009.

[47] H. Zhong, J. Wang, M. Pan, S. Wang, Z. Li, W. Xu, X. Chen, and W. Lu,

“Preparation and photoluminescence of ZnO nanorods,” Mater. Chem.

Phys., vol. 97, no. 2–3, pp. 390–393, Jun. 2006.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 124: D2109-Amalia Sholehah.pdf

107

Universitas Indonesia

[48] M. Guo, P. Diao, and S. Cai, “Hydrothermal growth of well-aligned ZnO

nanorod arrays: Dependence of morphology and alignment ordering upon

preparing conditions,” J. Solid State Chem., vol. 178, no. 6, pp. 1864–1873,

Jun. 2005.

[49] J. Lee, J. Chung, and S. Lim, “Improvement of optical properties of post-

annealed ZnO nanorods,” Phys. E Low-dimensional Syst. Nanostructures,

vol. 42, no. 8, pp. 2143–2146, Jun. 2010.

[50] P. J. Goodhew, J. Humpreys, and R. Beanland, Electron Microscopy and

Analysis, 3rd editio. London: Taylor & Francis, 2001.

[51] D. Abou-Ras, M. Nichterwitz, M. J. Romero, and S. S. Schmidt, Advanced

Characterization Tehcniques for Thin Film Solar Cells. Weinheim: Wiley-

VCH Verlag GMbH & Co. KGaA, 2011.

[52] P. Eaton and P. West, Atomic Force Microscopy. Oxford: Oxford

University Press, 2010.

[53] G. Binnig, C. Quate, and C. Gerber, “Atomic Force Microscope,” Physical

Review Letters, vol. 56, no. 9. pp. 930–933, 1986.

[54] B. D. Cullity and S. R. Stock, X-RAY DIFFRACTION, 3rd editio. Notre

Dame, Indiana: Addison-Wisley Publishing Company, Inc., 1956.

[55] M. Mekhnache, A. Drici, L. S. Hamideche, H. Benzarouk, A. Amara, L.

Cattin, J. C. Bernède, and M. Guerioune, “Superlattices and

Microstructures Properties of ZnO thin films deposited on ( glass , ITO and

ZnO : Al ) substrates,” Superlattices Microstruct., vol. 49, no. 5, pp. 510–

518, 2011.

[56] R. Rusdi, A. A. Rahman, N. S. Mohamed, N. Kamarudin, and N.

Kamarulzaman, “Preparation and band gap energies of ZnO nanotubes,

nanorods and spherical nanostructures,” Powder Technol., vol. 210, no. 1,

pp. 18–22, Jun. 2011.

[57] V. D. Mote, Y. Purushotham, and B. N. Dole, “Williamson-Hall analysis in

estimation of lattice strain in nanometer-sized ZnO particles,” J. Theor.

Appl. Phys., vol. 6, no. 1, p. 6, 2012.

[58] A. Khorsand Zak, W. H. Abd. Majid, M. E. Abrishami, and R. Yousefi,

“X-ray analysis of ZnO nanoparticles by Williamson–Hall and size–strain

plot methods,” Solid State Sci., vol. 13, no. 1, pp. 251–256, Jan. 2011.

[59] J. Torrent and V. Barrón, “Diffuse Reflectance Spectroscopy,” in Methods

of Soil Analysis,Part 5. Mineralogical Methods, no. 5, A. L. Ulery and L.

R. Drees, Eds. Madison, WI: Soil Science Society of America, Inc., 2008,

pp. 367–385.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 125: D2109-Amalia Sholehah.pdf

108

Universitas Indonesia

[60] J. Tauc, R. Grigorovici, and A. Vancu, “Optical Properties and Electronic

Structure of Amorphous Germanium,” Phys. Status Solidi, vol. 15, no. 2,

pp. 627–637, 1966.

[61] N. Ghobadi, “Band gap determination using absorption spectrum fitting

procedure,” Int. Nano Lett., vol. 3, no. 1, p. 2, 2013.

[62] D. Souri and K. Shomalian, “Band gap determination by absorption

spectrum fitting method (ASF) and structural properties of different

compositions of (60−x) V2O5–40TeO2–xSb2O3 glasses,” J. Non. Cryst.

Solids, vol. 355, no. 31–33, pp. 1597–1601, Sep. 2009.

[63] M. Thambidurai, N. Muthukumarasamy, N. Sabari Arul, S. Agilan, and R.

Balasundaraprabhu, “Dye-sensitized ZnO nanorod based

photoelectrochemical solar cells with natural dyes extracted from Ixora

coccinea, Mulberry and Beetroot,” J. Mater. Sci. Mater. Electron., vol. 22,

no. 11, pp. 1662–1666, Mar. 2011.

[64] R. Pietruszka, B. . Witkowski, G. Luka, L. Wachniki, S. Gieraltowska, K.

Kopalko, E. Zielony, P. Bieganski, E. Placzek-Popko, and M. Godlewski,

“Photovoltaic properties of ZnO nanorods/p-type Si heterojunction

structures,” Beilsteein J. Nanotechnol., 2014.

[65] X. Wu, H. Chen, L. Gong, F. Qu, and Y. Zheng, “Low temperature growth

and properties of ZnO nanorod arrays,” Adv. Nat. Sci. Nanosci.

Nanotechnol., vol. 2, no. 3, p. 035006, Jul. 2011.

[66] Q. Ahsanulhaq, J. H. Kim, J. H. Kim, and Y. Hahn, “Seedless Pattern

Growth of Quasi-Aligned ZnO Nanorod Arrays on Cover Glass Substrates

in Solution.,” Nanoscale Res. Lett., vol. 5, no. 3, pp. 669–74, Jan. 2009.

[67] D. Vernardou, G. Kenanakis, S. Couris, E. Koudoumas, E. Kymakis, and

N. Katsarakis, “pH effect on the morphology of ZnO nanostructures grown

with aqueous chemical growth,” Thin Solid Films, vol. 515, no. 24, pp.

8764–8767, Oct. 2007.

[68] T. H. Meen, W. Water, Y. S. Chen, W. R. Chen, L. W. Ji, and C. J. Huang,

“Growth Of ZnO Nanorods by Hydrotherothermal Method Under Different

Temperatures,” 2007 IEEE Conf. Electron Devices Solid-State Circuits, pp.

617–620, 2007.

[69] M. Ali Yıldırım and A. Ateş, “Influence of films thickness and structure on

the photo-response of ZnO films,” Opt. Commun., vol. 283, no. 7, pp.

1370–1377, Apr. 2010.

[70] K. V Gurav, U. M. Patil, S. M. Pawar, J. H. Kim, and C. D. Lokhande,

“Controlled crystallite orientation in ZnO nanorods prepared by chemical

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 126: D2109-Amalia Sholehah.pdf

109

Universitas Indonesia

bath deposition : Effect of H 2 O 2,” J. Alloys Compd., vol. 509, no. 29, pp.

7723–7728, 2011.

[71] A. K. Zak, W. H. Majid, H. Z. Wang, R. Yousefi, A. M. Golsheikh, and Z.

F. Ren, “Ultrasonics Sonochemistry Sonochemical synthesis of hierarchical

ZnO nanostructures,” Ultrason. - Sonochemistry, vol. 20, no. 1, pp. 395–

400, 2013.

[72] S. Ameen, M. S. Akhtar, Y. S. Kim, O.-B. Yang, and H.-S. Shin,

“Influence of seed layer treatment on low temperature grown ZnO

nanotubes: Performances in dye sensitized solar cells,” Electrochim. Acta,

vol. 56, no. 3, pp. 1111–1116, Jan. 2011.

[73] M. Breedon, C. Rix, and K. Kalantar-zadeh, “Seeded growth of ZnO

nanorods from NaOH solutions,” Mater. Lett., vol. 63, no. 2, pp. 249–251,

Jan. 2009.

[74] A. H. Yuwono, B. Munir, A. Ferdiansyah, A. Rahman, and W. Handini,

“Dye Sensitized Solar Cell with Conventinally Annealed and Post-

Hydrothermally Treated Nanocrystalline Semiconductor Oxide TiO2

Derived from Sol Gel Process,” Makara Teknol., vol. 14, no. 2, pp. 53–60,

2010.

[75] G. Kenanakis, D. Vernardou, E. Koudoumas, and N. Katsarakis, “Growth

of c-axis oriented ZnO nanowires from aqueous solution: The decisive role

of a seed layer for controlling the wires’ diameter,” J. Cryst. Growth, vol.

311, no. 23–24, pp. 4799–4804, Dec. 2009.

[76] N. Ye and C. C. Chen, “Investigation of ZnO nanorods synthesized by a

solvothermal method, using Al-doped ZnO seed films,” Opt. Mater.

(Amst)., vol. 34, no. 4, pp. 753–756, Feb. 2012.

[77] E. Amoupour, A. A. Ziabari, H. Andarva, and F. E. Ghodsi, “Influence of

air / N2 treatment on the structural , morphological and optoelectronic traits

of nanostructured ZnO : Mn thin films,” Superlattices Microstruct., vol. 65,

pp. 332–343, 2014.

[78] L. Xu, G. Zheng, J. Miao, and F. Xian, “Dependence of structural and

optical properties of sol–gel derived ZnO thin films on sol concentration,”

Appl. Surf. Sci., vol. 258, no. 19, pp. 7760–7765, Jul. 2012.

[79] R. H. Zhang, E. B. Slamovich, and C. A. Handwerker, “Controlling growth

rate anisotropy for formation of continuous ZnO thin films from seeded

substrates,” Nanotechnology, vol. 24, pp. 195603–195610, 2013.

[80] A. A. Ziabari and F. E. Ghodsi, “Growth , characterization and studying of

sol – gel derived CdS nanoscrystalline thin films incorporated in

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 127: D2109-Amalia Sholehah.pdf

110

Universitas Indonesia

polyethyleneglycol : Effects of post-heat treatment,” Sol. Energy Mater.

Sol. Cells, vol. 105, pp. 249–262, Oct. 2012.

[81] A. Z. Simoes, C. S. Riccardi, M. L. Dos Santos, F. Gonzalez Garcia, E.

Longo, and J. A. Varela, “Effect of annealing atmosphere on phase

formation and electrical characteristics of bismuth ferrite thin films,”

Mater. Res. Bull., vol. 44, pp. 1747–1752, 2009.

[82] Y. T. Prabhu, K. V. Rao, V. S. S. Kumar, and B. S. Kumari, “X-ray

Analysisof Fe doped Zno Nanoparticles by Williamson-Hall and Size-

Strain Plot,” Int. J. Eng. Adv. Technol., vol. 2, no. 4, pp. 268–274, 2013.

[83] S. J. Ikhmayies and R. N. Ahmad-Bitar, “An investigation of the bandgap

and Urbach tail of vacuum-evaporated SnO 2 thin films,” Renew. Energy,

vol. 49, pp. 143–146, 2013.

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.

Page 128: D2109-Amalia Sholehah.pdf

111

Universitas Indonesia

LAMPIRAN

Sintesis nanostruktur..., Amalia Sholehah, FT UI, 2015.