d. Cerna Protein
description
Transcript of d. Cerna Protein
Protein (Gizi)
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Protein adalah zat gizi makro yang berfungsi sebagai zat pembangun, zat pengatur
dan penghasil energ. Sebagai zat pembangun tubuh, protein berperan dalam banyak proses
biokimia, seperti proses pembelahan sel, yang membangun jaringan tubuh dalam proses
pertumbuhan. Selain itu, protein seperti enzim dan hormone yang dibangun dari banyak
molekul asam amino, berperan penting dalam proses regulasi, antara lain regulasi metabolism
dan pengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh, dan keseimbangan elektrolit darah.
Protein akan dioksidasi menghasilkan energy apabila karbohidrat dan lemak tidak mencukupi
kebutuhan energy tubuh.
Proses pengolahan dapat menyebabkan perubahan mutu gizi protein . proses pengolahan
yang menggunakan suhu tinggi berakibat pada denaturasi protein yang meningkatkan daya
cerna protein. Sebaliknya, reaksi pencoklatan yang terjadi akibat pemanasan menyebabkan
penurunan nilai gizi protein.
Untuk menentukan kualitas protein suatu pangan dapat dilihat dari
seberapa banyak protein tersebut dapat dicerna dan diserap oleh tubuh.
Suatu protein yang mudah dicerna menunjukan bahwa jumlah asam
amino yang dapat diserap dan digunakan tubuh, karena sebagian besar
akan dibuang oleh tubuh bersama feses ( Muchtadi, 1989 ). Oleh sebab
itu perlu diadakan analisis lebih lanjut mengenai daya cerna protein dari
suatu bahan pangan. Pengukuran daya cerna protein ini menggunakan
hamster, karena diasumsikan bahwa hamster putih memiliki kesamaan
fisiologis dengan manusia. Dalam praktikum ini, ransum sumber protein
yang diberikan kepada hamster adalah ransum rebon, tempe, casein, dan
ransum non protein.
1.2 Tujuan
Menentukan proses pengolahan yang mempengaruhi nilai gizi protein. Selain itu,
menentukan kondisi pengolahan yang menurunkan nilai gizi protein minimal. Tujuan lainnya
yaitu menentukan mutu protein pada system in vivo menggunakan hewan uji dan parameter
protein efficiency ratio (PER), dan menentukan daya cerna protein secara kualitatif dan
enzimatis.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Protein merupakan zat yang paling penting dan dibutuhkan oleh
semua organisme. Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan
merupakan bagian tubuh terbesar setelah air. Protein tersusun atas
beberapa unit zat yang dinamakan “ asam amino” (Almatsier,Sunita.
2003). Mulai abad 20, mulai dilakukan evaluasi terhadap nilai protein
dan komposisi asam amino esensial dalam protein yang dilakukan melalui
evaluasi Nilai Gizi Protein menggunakan hamster percobaan ini
dilakukan secara in vivo percobaan pada hamster (Nasoetion,Amini)
Protein mempunyai peranan penting bagi tubuh sebagai enzim, pertahanan tubuh,
pembentukan dan pertumbuhan tubuh serta sebagai bahan bakar dalam tubuh. Protein
membentuk jaringan – jaringan baru yang selalu terjadi di tubuh pada masa pertumbuhan
juga pada masa kehamilan. Protein sangat berperan penting dalam membentuk jaringan janin
dan pertumbuhan embrio. Jaringan tubuh yang rusak diganti oleh protein sedangkan dalam
bahan bakar tubuh protein mengganti keperluan energi apabila karbohidrat dan lemak tidak
terpenuhi dalam tubuh. Keseimbangan cairan dalam jaringan dan pembuluh darah dapat
menimbulkan tekanan osmotik koloid yang dapat menarik cairan dari jaringan ke dalam
pembuluh darah. Sifat amfoter protein yang dapat bereaksi dengan mengatur keseimbangan
asam basa dalam tubuh. Molekul protein mengandung fosfor, belerang dan unsur – unsur
logam seperti besi dan tembaga dalam pembentukan anti bodi dan pembentukan kompleks
dipengaruhi oleh enzim yang bertindak sebagai plasma ( albumin ) yang sangat berperan
penting bagi tubuh dalam proses daya tahan tubuh terhadap kekebalan penyakit. Didalam
tubuh manusia terdapat komponen – komponen yang lebih kecil yaitu asam amino dan
peptida.
Mutu protein dapat dinilai berdasarkan beberapa parameter mutu protein seperti daya
cerna protein, dan PER ( Protein Efisiensi Ratio). Daya cerna protein merupakan salah satu
parameter mutu protein yang menjelaskan tentang kemudahan protein untuk dihidrolisis
menjadi asam amino pembentuknya. Daya cerna protein dapat dinilai secara invitro dengan
menggunakan berbagai jenis enzim, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif dan
secara in vitro(Anonim,2007).
Protein bermutu tinggi memiliki daya cerna yang tinggi pula. Daya cerna protein
adalah ukuran jumlah asam amino yang diserap dari asupan protein tertentu. Daya cerna
protein menunjukkan tingkat kemudahan protein untuk dipecah menjadi asam amino atau
komponen pembentuknya sehingga mudah diserap tubuh. Nilai kimia tidak menjelaskan
secara tepat cara tubuh memanfaatkan protein, karena protein memiliki daya cerna berbeda.
Jika protein tidak dicerna menjadi bagian lebih kecil seperti asam amino, dipeptida dan
tripeptida, maka asam amino tidak dapt melewati dinding usus halus ke darah, melainkan
dibuang ke feses (Tedjasari, 2005).
Protein yang terdapat dalam bahan pangan mudah mengalami perubahan-perubahan,
antara lain:
1. Dapat terdenaturasi oleh perlakuan pemanasan.
2. Dapat terkoagulasi atau mengendap oleh perlakuan pengasaman.
3. Dapat mengalami dekomposisi atau pemecahan oleh enzim-enzim proteolitik.
4. Dapat bereaksi dengan gula reduksi, sehingga menyebabkan terjadinya warna coklat.
Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhdap struktur
sekunder, tersier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatan-ikatan
kovalen. Karena itu denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen,
interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru molekul protein.
(Winarno, 1992).
Protein bermutu tinggi memiliki daya cerna yang tinggi pula. Daya cerna protein
adalah ukuran jumlah asam amino yang diserap dari asupan protein tertentu. Daya cerna
protein menunjukkan tingkat kemudahan protein untuk dipecah menjadi asam amino atau
komponen pembentuknya sehingga mudah diserap tubuh. Nilai kimia tidak menjelaskan
secara tepat cara tubuh memanfaatkan protein, karena protein memiliki daya cerna berbeda.
Jika protein tidak dicerna menjadi bagian lebih kecil seperti asam amino, dipeptida dan
tripeptida, maka asam amino tidak dapt melewati dinding usus halus ke darah, melainkan
dibuang ke feses (Tedjasari, 2005).
Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino
oleh enzim pencernaan ( protease ) dikenal dengan istilah daya cerna
protein (digestibility). Di dalam tubuh organisme sudah terdapat protein
yang disebut protein endogen yang berasal dari hormone yang
dikeluarkan oleh tubuh kita, namun belum cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh, oleh sebab itu untuk meningkatkan protein tubuh
dibutuhkan konsumsi pangan sumber protein yang cukup ,baik pangan
nabati maupun hewani. Hampir semua bahan pangan hewani seperti
susu, telur, daging, ikan merupakan sumber protein yang baik.
Sedangkan bahan makanan sumber protein nabati terdapat pada kacang
– kacangan terutama kedele dan kacang hijau serta olahannya seperti
tempe dan tahu ( Auliana, 1999 ).
Untuk menentukan kualitas protein suatu pangan dapat dilihat dari seberapa banyak
protein tersebut dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Suatu protein yang mudah dicerna
menunjukan bahwa jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan tubuh, karena
sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses ( Muchtadi, 1989 ). Oleh sebab itu
perlu diadakan analisis lebih lanjut mengenai daya cerna protein dari suatu bahan pangan.
Pengukuran daya cerna protein ini menggunakan hamster, karena diasumsikan bahwa
hamster putih memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia. Dalam praktikum ini, ransum
sumber protein yang diberikan kepada hamster adalah ransum rebon, tempe, casein, dan
ransum non protein.
PER adalah rasio efisiensi protein yang menunjukkan tingkat kemanfaatan protein
pangan yang dikonsumsi. PER pada system in vitro, Nisbah efisiensi protein menunjukkan
tingkat kemanfaatan protein pangan yang dikonsumsi. Ukuran PER dapat dinilai secara
perhitungan, seperti C-PER (Computed Protein efficiency Ratio). Penentuan C-PER
dilakukan untuk pangan yang memiliki nilai PER antara 0.67-3.22. Cara penentuan C-PER,
yaitu 1) tentukan daya cerna in vitro sampel dan kasein baku dengan multi enzim, 2)
menentukan kadar AAE sampel dan kasein baku (g AAE/100 gr protein), 3) menentukan
persentase masing-masing AAE terhadap pola acuan FAO/WHO dengan rumus sebagai
berikut:
% AAE = x daya cerna
Bila perhitungan (3) lebih kecil atau sama dengan 100%, maka dilanjutkan ke 5) untuk
menentukan nilai bobot masing-masing AAE.
5) menghitung nilai X dan Y dengan rumus X = jumlah notasi Y
sebagai jumlah bobot.
6) Menentukan skor AAE contoh dan kasein baku dengan cara Y dibagi X.
7) menentukan SPC =
8) menentukan nilai C-PER dengan rumus :
C-PER= -2.1074 + 7.1312 (SPC) – 2. 5188 (SPC)2
Sedangkan pengukuran PER secara in vivo dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut : PER =
Penentuan PER menggunakan tikus uji memerlukan waktu yang lama. Penilaian mutu protein
dengan ukuran PER in vivo dapat dilakukan pada hewan uji tikus. Tidak seperti C-PER,
penentuan PER in vivo menggunakan tikus uji memerlukan waktu lebih lama, yaitu sekitar
28 hari. Namun ukuran PER in vivo dapat menjelasknan pengaruh protein terhadap
pertambahan bobot badan. (Tejasari; 2005)
Pemberian pakan secara ad libitum maksudnya adalah memberikan makanan kepada
hamster sampai pada saat dimana hewan dalam kondisi kenyang dan enggan lagi makan
meski makanan disekitarnya masih ada. Metode pemberian pakan seperti ini biasa diterapkan
pada tahap hewan yang masih kecil atau benih. Namun perlu diperhatikan bahwa pakan
tersisa yang tidak dimakan ini bisa berubah menjadi racun dan mencemari. Apalagi jika
jumlahnya terlalu banyak. Jika demikian, tidak mustahil, hewan akan keracunan dan akhirnya
pada mati semua.
Untuk kandungan nutrisi pelet, yaitu Protein 16-19 %, Serat kasar 10
%, Air 12%, Lemak 5%, Ca 1%, Phosfor 0.7%, vitamin B compleks, C dan
mineral. Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang
terkandung dalam tempe antara lain vitamin B1 (tiamin), B2 (riboflavin), asam pantotenat,
asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin), dan B12 (sianokobalamin). Nilai Kandungan
gizi Wortel per 100 g (3.5 oz), yaitu Energi 173 kJ (41 kcal), Karbohidrat 9 g, Gula 5 g, Diet
serat 3 g, Lemak 0,2 g, Protein 1 g, Vitamin A equiv. 835 mg (93%), Beta-karoten 8285 mg
(77%), Thiamine (Vit. B1) 0.04 mg (3%), Riboflavin (Vit. B2) 0,05 mg (3%), Niacin, (Vit.
B3) 1.2 mg (8%), Vitamin B6 0,1 mg (8%), Folat (Vit. B9) 19 mg (5%), Vitamin C 7 mg
(12%), Kalsium 33 mg (3%), Besi 0,66 mg (5%), Magnesium 18 mg (5%), Fosfor 35 mg
(5%), Kalium 240 mg (5%), Sodium 2,4 mg (0%)
Berikut adalah kandungan gizi pada kecambah per 100 gram, yaitu Energi 50,00 kal,
Protein 5,70 gram, Lemak 0,10 gram, Karbohidrat 10 gram, Kalsium 32 mg, Potasium 235
mg, Seng 960 mg, Asam folat 160 mg, Fosfor 96 mg, Kalium 125 mg, Zat besi 1,10 mg,
Vitamin A 13.00 RE, Vitamin B 10.13 mg, Vitamin B 20,15 mg, Vitamin C 20,00 mg, Niacin
1,00 mg, Serat 0,70 gram.
Pada kwaci atau biji bunga matahari, kandungan gizinya yaitu :
Zat Gizi Biji bunga matahari
Energi (kkal) 570
Protein (g) 22,78
Lemak (g) 49,57
Lemak jenuh (g) 5,20
Lemak tidak jenuh tunggal
(g)
9,46
Lemak tidak jenuh ganda
(g)
32,73
Karbohidrat (g) 18,76
Kalsium (mg) 116
Fosfor (mg) 705
Besi (mg) 6,77
Kalium (mg) 689
Natrium (mg) 3
Tembaga (mg) 1,75
Vitamin C (mg) 1,4
Sumber: www.nutritionanalyzer.com
BAB 3. PROSEDUR ANALISIS
3.1 Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah menetukan proses pengolahan yang mempengaruhi
nilai gizi protein. Selain itu, menentukan kondisi pengolahan yang menurunkan nilai gizi
protein minimal. Tujuan lainnya yaitu menentukan mutu protein pada system in
vivo menggunakn hewan uji dan parameter protein efficiency ratio (PER), dan menentukan
daya cerna protein secara kualitatif enzimatis.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan diantaranya yaitu neraca analitik, bak, kandang hamster, tempat
makan dan minum.
3.2.2 Bahan
Adapun bahan-bahan yng digunakan yaitu pakan bermutu protein tinggi (wortel, kuaci,
toge dan tempe) dan hewan uji (hamster).
3.3 Prosedur Analisa
Protein sempurna, protein yang mengandung asam amino esensial secara cukup dan
lengkap, sangat diperlukan untuk pembentukan jaringan. Konsumsi pangan sumber protein
sempurna akan berdampak pada peningkatan berat badan, yang menunjukkan kemanfaatan
protein bagi pertumbuhan. Nisbah pertambahan berat badan hewan uji akibat sejumlah
protein yang dikonsumsinya ditentukan sebagai nilai PER.
BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
4.1 Hasil Pengamatan
Tanggal Kandang X (gr) Y (gr) Berat Hanster (gr)
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
31 Okt A - 19,056 - - -
B - 30,077 - - -
C - 36,106 - - -
01 Nop A 2,18 20,180 92,8 92,4 92,7
B 4,36 34,360 111,9 111,8 111,5
C 2,167 38,167 113,3 113,2 112,8
02 Nop A 30,739 3,215 - - -
B 51,526 5,640 - - -
C 38,609 1,161 - - -
03 Nop A 8,165 36,000 98,9 99,8 98,7
B 12,164 60,000 121,6 121,7 121,5
C 5,348 72,000 124,2 124.1 124,2
04 Nop A 12,097 36,052 - - -
B 17,274 60,119 - - -
C 0,298 72,077 - - -
05 Nop A 11,870 18,357 97,5 97,6 97,6
B 17,754 45,499 125,3 125,3 125,3
C 11,997 60,615 130,1 130,1 130,1
06 Nop A 25,131 36,047 - - -
B 12,850 60,352 - - -
C 20,053 72,260 - - -
07 Nop A 25,216 36,010 103,41 103,43 103,39
B 13,820 60,024 132,89 132,83 132,95
C 20,053 72,046 135,42 135,01 135,52
08 Nop A 12,814 18,022 - - -
B 11,226 30,316 - - -
C 11,230 36,094 - - -
09 Nop A 7,395 36,152 111,2 111,5 111,8
B 10,932 60,401 141,8 141,3 141,7
C 16,933 72,940 138,3 157,9 138,5
10 Nop A 19,370 36,104 - - -
B 18,330 60,085 - - -
C 12,171 72,105 - - -
11 Nop A 17,8274 36,048 120,548 120,624 120,71
B 1,54314 60,153 136,323 146,272 146,56
C 8,5643 72,197 129,123 129,532 129,244
12 Nop A 20,220 36,020 - - -
B 13,470 60,156 - - -
C 7,370 72,197 - - -
13 Nop
A 18,357 36,080 123,4 132,2 132,2
B 15,010 60,730 155,6 156 155,28
C 13,880 72,250 132,5 132,3 132,2
4.2 Hasil Perhitungan
BAB 5. PEMBAHASAN
Penentuan nilai PER dilakukan dalam 4 tahap, yaitu persiapan hewan uji, persiapan
pakan hewan uji, penimbangan berat badan hewan uji, dan perhitungan PER. Pada perlakuan
persiapan hewan uji, hewan yang digunakan adalah hamster. Sebelum dilakukan percobaan,
hamster tersebut diadaptasi terlebih dahulu diruangan yang telah ditentukan. Pada masa
adaptasi dilakukan selama 2 hari, hamster diberi pakan yang disiapkan yaitu pellet, tempe,
wortel dan toge sebagai sumber protein nabati.
Pada persiapan pakan hewan uji. Data kadar zat gizi tersebut digunakan dalam
perhitungan pakan hewan uji.
Pada penimbangan berat badan hewan uji, berat badan hewan uji ditimbang setiap 2
hari sekali. Sedangkan banyaknya pakan yang dikonsumsi ditimbang setiap hari. Pakan dan
minuman diberikan secara ad libitum,
Data perubahan berat badan, dan jumlah pakan yang dikonsumsi digunakan untuk
menetapkan nilai PER pakan yang dianalisis mutu proteinnya. Perhitungan nilai PER
dihitung untuk setiap kelompok hewan uji, dengan rumus:
PER = pertambahan berat badan (gram) : Jumlah protein yang dikonsumsi (gram)
PROTEIN
A. Protein
Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti bahan
makronutrien lainnya (karbohidrat, lemak), protein ini berperan lebih penting dalam
pembentukan biomolekul daripada sumber energi. Namun demikian apabila organisme
sedang kekurangan energi, maka protein ini dapat juga di pakai sebagai sumber energi.
Keistimewaan lain dari protein adalah strukturnya yang selain mengandung N, C, H, O,
kadang mengandung S, P, dan F
B. Metode Evaluasi Gizi Protein
1. Analisa protein dengan secara in vivo
Protein adalah bagian dari semua dari sel hidup dan merupakan bagian terbesar
tubuh setelah air. Semua enzim, zat pembawa dalam darah, matriks, intraseluler dan
sebagian besar hormone tersusun atas protein. Dalam membentuk protein jaringan
dibutuhkan sejumlah asam amino dan tergantung pada macam asam amino sesuai
dengan jaringan yang akan dibentuk. Asam amino ini didapat dari makanan sesudah
diserap melalui darah dan sebagian disintesa dalam tubuh atau merupakan hasil
katabolisme atau perombakan dari protein jaringan yang sudah rusak ( Auliana, R. 1999
). Protein mempunyai fungsi khas yang tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain, yaitu
membangun serta memelihara sel-sel dan jaringan tubuh.
Untuk menentukan kualitas protein suatu pangan dapat dilihat dari seberapa
banyak protein tersebut dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Suatu protein yang
mudah dicerna menunjukan bahwa jumlah asam amino yang dapat diserap dan
digunakan tubuh, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses
( Muchtadi, 1989 ). Oleh sebab itu perlu diadakan analisis lebih lanjut mengenai daya
cerna protein dari suatu bahan pangan. Pengukuran daya cerna protein ini
menggunakan tikus, karena diasumsikan bahwa tikus putih memiliki kesamaan
fisiologis dengan manusia. Dalam praktikum ini, ransum sumber protein yang diberikan
kepada tikus adalah ransum rebon, tempe, casein, dan ransum non protein.
Evaluasi Nilai Gizi Protein in vivo dilakukan dengan cara biologis pada hewan uji
(tikus putih, mencit, ayam dan manusia). Parameter nilai gizi protein yang dihitung
secara in vivo adalah nisbah efisiensi protein, nisbi protein akhir, pemanfaatan protein
bersih, nilai protein akhir, nisbi protein akhir dan nilai biologis protein.
Evaluasi menggunakan Tikus Percobaan. Terdapat lima macam “Basic Stock” tikus
putih ( Albino Normay rat, Rattus Norvegicus ) yang biasa digunakan sebagai hewan
percobaan di laboratorium, yaitu Long evans, Osborne Mendel, Shermen, Sprague
Dewley dan Wistar.
Beberapa sifat karakteristik tikus percobaan adalah:
1. Noctural, berarti aktif pada malam hari, tidur pada siang hari
2. Tidak mempunyai kantung empedu ( gall bladder )
3. Tidak dapat mengeluarkan isi perutnya ( muntah )
4. Tidak pernah berhenti tumbuh, walaupun kecepatannya menurun setelah berumur
100 hari
Zat – zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tikus hampir sama dengan
manusia, yaitu karbohidrat yang terdiri dari pati, gula, dan selulosa. Lemak esensial
( terutama linoleat dan linolenat karena karbohidrat dapat disintesis dalam tubuhnya
dari linoleat ). Bila kekurangan asam lemak esensial kulitnya bersisik, pertumbuhannya
terhambat dan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian ( Muchtadi.1989 ).
Protein asam amino esensial bagi tikus ada 10 macam, yaitu: lisin, histidin,
triptofan, fenilalanin, leusin, isoleusin, treonin, methionin, valin dan arginin. Arginin
sesungguhnya dapat disintesis dalam tubuh tikus, tetapi hanya cukup untuk
pemeliharaan dan tidak cukup untuk pertumbuhan maksimum. Mineral atau elemen
organik, terdiri dari makro elemen kalsium, fosfor, magnesium, kalium, natrium, chlor
dan belerang. Sedangkan mikro elemen terdiri dari besi, tembaga, kobalt, mangan,
selenium, iod, seng dan molibdenum (Muchtadi.1989).
Kandang tikus harus berlokasi pada tempat yang bebas dari suara ribut, dan
terjaga dari asap industri atau polutan lainnya. Suhu optimum ruangan untuk tikus
adalah 22 – 240 C dan kelembaban udara 50 – 60 %, dengan ventilasi yang cukup
( jangan ada jendela terbuka ). Cahaya harus diusahakan agar terdapat keadaan 12 jam
gelap dan 12 jam terang (di daerah tropis seperti di Indonesia, hal ini tidak merupakan
masalah). Ukuran kandang yang standar adalah 7×9, 5×7 inci, yaitu untuk 1 ekor tikus.
Kandang harus terbuat dari bahan yang tidak mudah berkarat. Tempat makanan harus
dibuat cukup besar untuk “ad litum feeding”. Demikian juga tempat minum, harus
mudah dicapai oleh tikus; botol tempat air minum harus dibersihkan setiap 1 minggu
sekali ( Muchtadi.1989 ).
Dalam penggunaan tikus sebagai hewan percobaan, harus diperhatikan
penanganannya, tikus tidak boleh ditangani dengan meggunakan alat, artinya harus
dipegang dengan tangan dan jangan dipegang dengan ekornya. Tikus harus dipegang
dengan cara menempatkan telapak tangan pada punggungnya, ibu jari serta telapak
tangan untuk memegang kaki – kaki depan dibawah lehernya ( Muchtadi. 1989 ).
Umumya yang digunakan adalah tikus – tikus yang baru disapih (umur ± 21 hari ).
Sebelum percobaan dimulai harus dilakukan masa adaptasi selama 4 – 5 hari untuk
membiaskan tikus pada lingkungan laboratorium. Selain itu, pada masa adaptasi ini
dapat digunakan pengamatan apakah tikus dapat terus digunakan dalam percobaan
( tidak sakit ) ( Muchtadi. 1989 ).
Pada masa adaptasi ini biasanya diberikan “ semi syntetic diet “ atau ransum yang
digunakan sebagai kontrol, yaitu kasein atau laktalbumin sebagai sumber proteinnya,
dicampur dengan bahan – bahan lain (karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral).Bahan –
bahan makanan tersebut hanya boleh dicampurkan apabila akan digunakan dan untuk
menjaga agar tidak terjadi perubahan akibat pengaruh fisik, kimia atau mikrobiologis.
Sebaiknya bahan –bahan tersebut disimpan pada suhu 4o C didalam refrigerator
(Muchtadi.1989).
Penentuan PER ( Protein Efficiency Ratio ) dan NPR ( Net Protein Ratio )
PER yang dikembangkan oleh Osborne, Mendel, dan Ferry pada tahun 1919 adalah
prosedur evaluasi nilai gizi protein yang paling banyak digunakan. Bahkan juga telah
diterima sebagai metode resmi FDA ( Food and Drug Administration, USA ) dalam
penentuan mutu protein untuk tujuan “Nutrition Labelling”. Prosedur yang digunakan
untuk penetuan PER adalah metode yang terdapat dalam AOAC ( 1984 ).
PER adalah suatu pengujian 28 hari dengan kasein ANRC ( Animal Nutrition
Research Council ) sebagai protein reverensi. Berat tikus dan konsumsi ransum harus
diukur secara berkala ( umumnya berat badan tikus tiap 2 hari, sedangkan konsumsi
ransum diukur tiap hari ). Tikus harus diberi kandang masing – masing ( 1 ekor dalam 1
kandang ) dan diberi ransum serta air minum ad libitum yang berarti tikus – tikus
tersebut diberi keleluasaan kapan saja mereka mau makan dan minum serta jumlahnya
tidak dibatasi.
Perhitungan PER dilakukan dengan menggunakan rumus :
Pertambahan Jumlah BB
Jumlah Protein yang Dikonsumsi
Prosedur PER yang ditetapkan oleh AOAC ini mempunyai beberapa masalah,
antara lain adalah komposisi ransum. Dimana hal ini banyak dimodifikasi disesuaikan
dengan ketersediaan bahan – bahan ditempat si peneliti. Telah diteliti bahwa yang
paling berpengaruh terhadap nilai PER adalah kadar protein dalam ransum. Oleh
karena keseragaman ditetapkan bahwa kadar protein ransum adalah 100 %.
NPR ( Net Protein Ratio ) dikembangkan oleh Bender dan Doel pada tahun 1957
dengan tujuan untuk memecahkan masalah – masalah teoritis yang terdapat pada PER.
Dalam penentuan NPR, baik ransum maupun persyaratan tikus yang digunakan sama
dengan yang terdapat pada penentuan PER. Bedanya adalah pada NPR ditambahkan 1
grup tikus yang diberi ransum non protein dan percobaan hanya dilakukan selama 10
hari.
NPR dihitung dengan menggunakan rumus :
Konsumsi protein uji
Penurunan berat dihitung sebagai angka rata – rata penurunan berat badan dari grup tikus yang menerima
ransum non protein. NPR dihitung untuk tiap – tiap ekor tikus dan nilai rata – ratanya dihitung untuk tiap grup.
Selanjutnya nilai NPR rata – rata tersebut dinyatakan sebagai persentase dari nilai NPR kasein sebagai grup kontrol.
1. Analisa protein dengan secara in vitro
Analisa protein secara in vitro dilakukan secara kimiawi, mikrobiologis dan
enzimatis. Analisis kimia dilakukan untuk mengetahui kadar protein, dan komposisi
asam amino esensial (skor kimia). Analisis biokimia dilakukan untuk mengukur
ketersediaan lisin, daya cerna, nisbah efesiensi protein (PER). Nilai kimia protein
pangan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Daya cerna protein menentukan mutu protein karena menunjukan kemudahan
protein untuk dihidrolisis menjadi asam amino pembentuknya. Daya cerna dapat dinilai
secara in vitro dengan mnggunakan berbagai jenis enzim, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif