CRS Meningitis Fix

download CRS Meningitis Fix

of 10

description

A case report

Transcript of CRS Meningitis Fix

Cang Yu Ciang (C11050119)

BAB I. LAPORAN KASUS I. KETERANGAN UMUM

Nama

: Ny. CicihUmur

: 45 tahunJenis Kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl. Cihampelas 01 Rt.17 Awi Luar Lumbung Cibeunying JABAR Status Perkawinan: Menikah

Agama

: IslamTanggal Masuk RS: 13 September 2007II. ANAMNESA (Alloanamnesa)

Keluhan Utama : Penurunan KesadaranAnamnesa Khusus :

Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 5 jam SMRS, pasien menurun kesadarannya, pasien menjadi lebih banyak tidur, dipanggil-panggil tidak membuka mata. Keluhan disertai nyeri kepala yang berdenyut terasa sejak 2 minggu SMRS. Keluhan juga disertai panas badan yang naik turun dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan kejang disangkal. Keluhan kelemahan sebelah anggota gerak/baal-baal sesisi tubuh disangkal. Keluhan bicara rero dan mulut mencong tidak ada.Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penurunan berat badan (+)

Riwayat batuk-batuk lama disangkal

Riwayat keringat malam disangkal

Pasien pernah dirawat di ruang 19 A selama 2 minggu pada bulan Juni 2007 dengan diagnosa kerja: Meningitis Serosa ec. TB grade III. Pasien pulang dengan perbaikan. 1,5 bulan terakhir tidak kontrol ke poli dan tidak makan obat. II. PEMERIKSAN FISIK

A. KEADAAN UMUMKesadaran: Somnolen

Tensi

: 120/90 mmHg

Nadi

: 80 x/menit

Pernafasan: 27 x/menit

Suhu

: 37,9 C

Gizi

: KurangB. STATUS INTERNA

Kepala

:

Konjungtiva: anemis - / -

Sklera: ikterik - / -

Leher

: Pembesaran KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat

Thoraks: Bentuk dan gerak simetris,

Jantung : Batas jantung kiri LMCS , Bunyi jantung S1-S2 murni reguler.

Murmur (-) Gallop (-).

Paru-paru: VBS kiri=kanan

Ronkhi -/-, Wheezing -/-

Abdomen: Datar, lembut

Hepar dan Lien tidak teraba Bising usus (+) / tidak meningkat

Ekstremitas: Sianosis -/-, Edema -/-

C. STATUS NEUROLOGIS1. Pemeriksaan UmumKepala

: Normocephal

Collum Vertebra

: Tidak ada deformitasTingkat Kesadaran: Somnolen

Sikap Tubuh

: Normal2. Tanda Rangsang Meningen dan Iritasi Radiks SpinalKaku Kuduk

: +

Laseque/ Kernig: -/-

Brudzinsky I/II/III: -/-/-

3. Saraf OtakN I

: Penciuman

: Baik

NII

: Lapang pandang : Baik

Fundus Okuli

: papil batas kaburN III/IV/VI

: Ptosis

: -/-

Pupil

: bulat isokor ODS 3mm

Refleks cahaya : +/+

Fisura Palpebrae: sama

Posisi mata

: di tengah

Gerakan bola mata : baik kesegala arah

Diplopia

: (-)

N V

: Opftalmikus/maksilaris/motorik : dbn

N VII

: *Motorik

Angkat alis mata: dbn

Memejamkan mata: dbn

Plika naso labialis: +/-, parese N.VII kiri sentral

*Sensorik

Rasa kecap (2/3 bagian depan lidah): Tidak dilakukan

N VIII

: Pendengaran

: Baik

Keseimbangan : Tidak dilakukan

N IX/X

: Suara/bicara

: Berkurang

N XI

: Angkat bahu

: BaikNXII

: Gerakan lidah : Baik

Posisi

: kekiri, Parese N.XII kiri sentral

Atropi

: (-)

Tremor/ Fasikulasi: (-)

4. Motorik

Anggota badan atas 5 4Anggota badan bawah 5 45. Sensorik : dbn6. Vegetatif BAK : KateterBAB : dbn7. Koordinasi

Tremor

: (+)Tes telunjuk hidung : dbnTes tumit lutut

: dbn8. Refleks

Fisiologis : Biceps

: +/+

Triceps

: +/+

Radialis

: +/+

Patella

: +/+

Achilles

: +/+

Abdomen

: Tidak dilakukan

Kremaster

: Tidak dilakukan

Anal

: Tidak dilakukan

Patologis: Babinski

: +/+

Chaddock

: -/-

Hoffman Tromner: -/-

Mendel Bechterew: -/-

Rossolimo

: -/-

Klonus:

- Patella: +/+

- Achilles: +/+

Regresi: Glabela

: -

Mencucut mulut: -

Palmomental

: -

IV. RESUMEKeluhan Utama : Penurunan KesadaranRiwayat Penyakit SekarangSejak 5 jam SMRS, pasien menurun kesadarannya, pasien menjadi lebih banyak tidur, dipanggil-panggil tidak membuka mata. Keluhan disertai nyeri kepala yang berdenyut terasa sejak 2 minggu SMRS. Keluhan juga disertai panas badan yang naik turun dirasakan sejak 2 minggu SMRS. Keluhan kejang disangkal. Keluhan kelemahan sebelah anggota gerak/baal-baal sesisi tubuh disangkal. Keluhan bicara rero dan mulut mencong tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat penurunan berat badan (+)

Riwayat batuk-batuk lama disangkal

Riwayat keringat malam disangkal

Pasien pernah dirawat di ruang 19 A selama 2 minggu pada bulan Juni 2007 dengan diagnosa kerja: Meningitis Serosa ec. TB grade III. Pasien pulang dengan perbaikan. 1,5 bulan terakhir tidak kontrol ke poli dan tidak makan obat. V. Diagnosa Kerja Meningitis Serosa ec. TB grade III dengan komplikasi arteritis + susp. TuberkulomaVI. Usulan Pemeriksaan

Pemeriksaan LED, PPD 5TU

Pemeriksaan SGOT, SGPT

CT Scan kepala dengan kontras

VII. Terapi

Intra Vena Fluid Drip NaCl 0,9% 2 Ampul 20 gtt/menitO2 3liter/menitNGT, Kateter, diet TKTPRHEZ

Dexametason 4 x 1 IV

Ranitidin 3 x 1 IVCeftriakson 1 x 2gr IV Skint TestVIII. Prognosis Quo ad vitam : Ad Bonam

Quo ad functionam : Ad Bonam

BAB II. PEMBAHASAN1. Pasien didiagnosa sebagai Meningitis Serosa ec. TB grade III karenaMeningitis adalah suatu infeksi yang mengenai arakhnoid, piameter, dan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel yang dapat terjadi secara akut ataupun kronis. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, atau fungi, dan pathogen spesifik yang terlibat dalam proses infeksi ini bergantung pada banyak faktor, khususnya umur dan status imun tubuh.Dari hasil laporan kasus, bakteri penyebab meningitis terbanyak adalah Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria meningitidis atau meningococcus yang merupakan bakteri penyebab meningitis yang paling berbahaya yang merupakan sebab utama morbiditas dan mortalitas dari infeksi bakteri akut di seluruh dunia.

Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan serebrospinal yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.

1. Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai cairan serebrospinalis yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa, dan disebut juga sebagai meningitis tuberkulosis. Penyebab lain seperti lues, virus, Toxoplasma gondii, Ricketsia, maupun jamur.

2. Meningitis purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain: Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus haemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa.Meningitis Tuberkulosa

Merupakan manifestasi klinis paling sering dari infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang mengenai arakhnoid, piamater, dan cairan serebrospinal di dalam sistem ventrikel. Pada anak-anak, dihasilkan dari bakteriemia yang mengikuti fase inisial dari tuberkulosis paru primer. Pada orang dewasa, dapat terjadi bertahun-tahun setelah infeksi primer. Meningitis tuberkulosa selalu merupakan sekunder dari penyakit tuberkulosa pada organ lainnya. Fokus primer biasanya terdapat di paru-paru, namun dapat juga terjadi di kelenjar limfe, tulang, sinus nasalis, GI tract, atau organ-organ lainnya. Onset biasanya sub akut.

Penyakit ini dapat dibagi ke dalam beberapa stadium, yaitu :

Stadium I: nyeri kepala, gelisah, anoreksia, demam, gangguan tingkah laku

Stadium II: gejala TTIK, defisit neurologis fokal (parese N. II, IV, VI, VII), meningismus ( hemiparesis, qudraparesis, ataksia, disartria)

Stadium III: demam tinggi, respirasi iregular, distonia, komaTanda dan Gejala Meningitis Tuberkulosa

GejalaTanda

ProdromalAnorexia

Penurunan berat badan

Batuk

Keringat malam hari

CNSNyeri kepala

Meningismus

Perubahan tingkat kesadaranAdenopati (paling sering servikal)

Suara tambahan pada auskultasi paru (apices)

Tuberkel koroidal

Demam (paling tinggi pada sore hari)

Rigiditas nuchal

Papil edema

Defisit neurologis fokal

Tuberculin skin test (+)

Pada pasien ini dipikirkan suatu meningitis karena dari gejala klinis adanya sakit kepala, panas badan sebelumnya dan kaku kuduk (Trias Meningitis). Diagnosa meningitis serosa pada pasien ini didasarkan pada : Anamnesa : Nyeri kepala disertai panas badan hilang timbul sejak 2 minggu, Riwayat penurunan berat badan (+).

Dari pemeriksaan fisik : ditemukannya kaku kuduk, disertai adanya defisit neurologik fokal berupa parese N.VII kiri sentral, parese N.XII kiri sentral.

Menurut British Medical Research Council 1948, pasien ini dimasukkan kedalam grade III karena adanya rangsang meningeal, defisit neurologi fokal berupa parese N.VII kiri sentral, parese N.XII kiri sentral dan adanya penurunan kesadaran sopor sampai koma pada pasien.

Jadi dari gejala klinis yang ada dan menurut British Medical Research Council 1948 dipikirkan pasien ini menderita meningitis serosa dengan penyebab curiga kuman tuberkulosa grade III dengan komplikasi arteritis dan susp.tuberkuloma.2. Patomekanisme terjadinya Meningitis Serosa pada pasien iniMeningitis tuberkulosa tidak berkembang secara akut dari penyebaran tuberkel bacilli ke meningen secara hematogen, melainkan merupakan hasil dari pelepasan tuberkel bacilli ke dalam rongga subarakhnoid dari lesi kaseosa subependimal. Selama fase inisial dari infeksi, sejumlah kecil tuberkel berukuran seperti biji tersebar di dalam substansi otak dan meningen. Tuberkel-tuberkel ini cenderung membesar dengan bersatu dan tumbuh besar, dan biasanya caseating, lembut dan membentuk eksudat. Kemungkinan lesi kaseosa untuk menyebabkan meningitis ditentukan dari kedekatan jarak lesi dengan rongga subarakhnoid dan kecepatan enkapsulasi fibrosa berkembang akibat resistensi imun dapatan. Foci caseosa subependymal dapat terus tak bergejala selama berbulan-bulan bahkan tahunan tetapi kemudian dapat menyebabkan meningitis melalui pelepasan bacilli dan antigen tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid.Gambaran klinis meningitis tuberkulosa dapat berupa sindroma meningitis akut memberikan gejala koma, peningkatan tekanan intrakranial, kejang dan defisit neurologis fokal atau berupa slowly progressive dementing illness. Ketika infeksi berupa sindroma meningitis akut, tanda dan gejala karakteristiknya adalah nyeri kepala, malaise, meningismus, papil edema, muntah, bingung, kejang, dan defisit saraf kranial. Pasien dirawat dengan letargi atau stupor dapat menjadi koma dalam hitungan hari. Demam dapat muncul, dapat pula tidak muncul.

Meningitis tuberkulosa dapat pula tampak sebagai slowly progressive dementing illness dengan defisit memori dan perubahan perilaku yang khas pada penyakit lobus frontalis, berupa abulia, dan inkontinensia urin dan fecal. Bentuk ini merupakan bentuk meningitis tuberkulosa yang banyak ditemukan. Defisit saraf kranialis dan konvulsi juga terjadi pada meningitis tuberkulosa subakut. Kadang ada riwayat anorexia, batuk, berkeringat pada malam hari dan penurunan berat badan dalam waktu beberapa hari sampai beberapa bulan, akibat perkembangan gejala infeksi susunan saraf pusat.

Ensefalopati tuberkulosa juga dijelaskan sebagai sindroma konvulsi, stupor atau koma, gerakan involunter, paralysis, dan spasme atau rigiditas deserebrasi dengan atau tanpa gejala klinis meningitis atau kelainan CSS pada meningitis tuberkulosa. Secara patologis tampak edema difus dari cerebral white matter dengan hilangnya neuron dalam gray matter, leukoencephalopathy hemorrhagic, atau encephalomyelitis demyelinating pasca infeksi. Sindroma ini terutama tampak pada anak dengan tuberkulosis milier atau diseminata.

3. Gambaran CSS pada meningitis tuberkulosa

Abnormalitas CSS yang ditemukan pada meningitis tuberkulosa:

1. Peningkatan jumlah leukosit antara 10-500 sel/mm dengan limfosit predominan

2. Peningkatan konsentrasi protein antara 100-500 mg/dl

3. Penurunan konsentrasi glukosa (< 50% gula darah)

4. Kultur positif pada 75 % kasus membutuhkan 3-6 minggu untuk tumbuh

5. Penurunan konaentrasi klorida

6. Rasio bromida serum/cairan serebrospinal yang rendah

7. Assay asam tuberculostearic positif

4. Faktor resiko pada meningitis tuberkulosaFaktor resiko untuk meningitis tuberkulosa :

Usia

Alkoholisme

Infeksi dengan human immunodeficiency virus (HIV) Malnutrisi

Status imunosupresi

Penyalahgunaan obat

Tuna wisma.

5. Pemeriksaan penunjang meningitis tuberkulosaPemeriksaan penunjang untuk meningitis tuberkulosa:

1. Tuberculin skin test2. Foto roentgen: adenopati hilar, ,infiltrasi nodular lobus atas, pola milier

3. Computed tomography atau Magnetic Resonance Imaging: hidrosefalus & basilar meningeal enhancement pasca kontras

4. Pemeriksaan cairan serebrospinal: limfositik pleositosis, pewarnaan tahan asam dan kultur

5. Pemeriksaan mata untuk koroid tuberkel

6. Pewarnaan urin dan sputum dan kultur untuk bakteri tahan asam

6. Bagaimana penatalaksanan pada pasien ini?

a. Obat Anti Tuberkulosa

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat anti tuberkulosa secara umum yang dipakai (di Indonesia) secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Nama ObatDosis harianDosis berkala 3X

BB50 kgSeminggu

Isoniazid/INH (H)

Paling baik menembus sawar darah otak300 mg400 mg600 mg

Rifampisin

Profilaksis meningitis oleh karena Meningokokus/Haemophylus infuenza450 mg600 mg600 mg

Pirazinamid (Z)1500 mg2000 mg2-3 g

Streptomosin (S) i.m750 mg1000 mg1000 mg

Etambutol (E)1000 mg1500 mg1-1,5 g

Etionamid (T)500 mg750 mg-

Pengobatan yang diberikan pada pasien meningitis tuberkulosa adalah pengobatan kategori I yang ditujukan terhadap :

kasus tuberkulosis paru baru dengan sputum BTA positif

penderita TB paru, sputum BTA negative, roentgen positif dengan kelainan paru luas

kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat separti meningitis, tuberkulosis diseminata, perikarditis, peritonitis, pleuritis, spondilitis dengan gangguan neurologist, kelainan paru yang luas dengan BTA negative, tuberkulosis usus, tuberkulosis genitourinarius

Pengobatan tahap intensif adalah dengan paduan RHZE (E). Bila setelah 2 bulan BTA menjadi negative, maka diteruskan dengan tahap lanjutan. Bila setelah 2 bulan masih tetap positif maka tahap intensif diperpanjang lagi selama 2-4 minggu dengan 4 macam obat. Pada populasi dengan resistensi primer terhadap INH rendah, tahap intensif cukup diberikan 3 macam obat saja yaitu RHZ. Hal ini karena secara teoritis pemberian Isoniazid, Rifampisin, dan Pirazinamid akan memberikan efek bakterisid yang terbaik.

Pengobatan tahap lanjutan adalah dengan paduan 4RH atau 4R3H3. Pasien dengan tuberkulosis berat (meningitis, tuberkulosis diseminata, spondilitis dengan gangguan neurologist), R dan H harus diberikan setiap hari selama 6-7 bulan (6R7H7 atau 7 R7H7).

b. Steroid

Pada pasien dengan penurunan kesadaran dan peningkatan tekanan intracranial, kortikosteroid dapat menguntungkan, karena patofisiologi koma dan peningkatan tekanan intracranial sama pada kedua penyakit itu. Pada pasien dengan presentasi meningitis yang subakut, kortikosteroid mungkin sedikit menguntungkan bila edema serebri dan peningkatan tekanan intracranial bukan merupakan etiologi dari komplikasi neurologis.

Dexamethasone menurunkan edema otak, menurunkan resistensi outflow CSS, menurunkan produksi sitokin inflamasi, menurunkan jumlah leukosit, sehingga masa inflamasi di ruang subarakhnoid berkurang, dan meminimalisasi kerusakan di sawar darah otak.

Dexamethasone direkomendasikan pada kasus meningitis tuberkulosa dengan telah adanya salah satu komplikasi di bawah ini :

1. Penurunan kesadaran;

2. Papiledema;

3. Defisit neurologis fokal; dan atau

4. Tekanan pembukaan CSS lebih besar dari 300 mmH2O

Dosis dexamethasone adalah 10 mg bolus intravena kemudian 4x 5mg intravena selama 2-3 minggu, selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.

7. Komplikasi pada pasien dengan meningitis tuberkulosa?

Meningitis tuberkulosa dapat memberikan berbagai macam komplikasi seperti berikut:

Kelumpuhan saraf otak

Proses patologis pada meningitis tuberkulosa diawali oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap pelepasan bakteri atau antigennya dari tuberkel ke dalam rongga subarakhnoid. Hal ini menyebabkan terbentuknya eksudat tebal dalam rongga subarakhnoid yang bersifat difus, terutama berkumpul pada basis otak. Eksudat berpusat di sekeliling fossa interpedunkularis, fissure silvii; meliputi kiasma optikus dan meluas di sekitar pons dan serebelum. Secara mikroskopis, awalnya eksudat terdiri dari leukosit polimorfonuklear, eritrosit, makrofag dan limfosit disertai timbulnya fibroblast dan elemen jaringan ikat. Eksudat yang tebal ini juga dapat menimbulkan kompresi pembuluh darah pada basis otak dan penjeratan saraf kranialis. Kelumpuhan saraf otak yang tersering ialah N VI, diikuti dengan N III, N IV dan N VII, dan bahkan dapat terjadi pada N VIII dan N II.

Kerusakan pada N II berupa kebutaan, dapat disebabkan oleh lesi tuberkulosisnya sendiri yang terdapat pada N Optikus atau karena penekanan pada kiasma oleh eksudat peradangan atau karena akibat sekunder dari edema papil atau hidrosefalusnya. Neuropati optic ialah istilah umum untuk setiap kelainan atau penyakit yang mengenai saraf optic yang diakibatkan oleh proses inflamasi, infiltrasi, kompresi, iskemik, nutrisi maupun toksik. Neuropati optic toksik dapat terjadi karena paparan zat beracun, alcohol, atau sebagai akibat komplikasi dari terapi medikamentosa. Gejala klinisnya antara lain adanya penurunan tajam penglihatan yang bervariasi (mulai dari penurunan tajam penglihatan yang minimal sampai maksimal tanpa persepsi cahaya), gangguan fungsi visual berupa kelainan lapang pandang. Pada pengobatan tuberkulosis dapat terjadi neuropati optic, yang paling sering karena Etambutol, tetapi Isoniazid dan Streptomisin juga dapat menyebabkan hal tersebut.

Kerusakan pada N VIII umumnya lebih sering karena keracunan obat streptomisinnya dibandingkan karena penyakit meningitis tuberkulosanya sendiri.

Arteritis

Infiltrasi eksudat pada pembuluh darah kortikal atau meningel menyebabkan proses inflamasi yang terutama mengenai arteri kecil dan sedang sehingga menimbulkan vaskulitis.

Secara mikroskopis, tunika adventitia pembuluh darah mengalami perubahan dimana dapat ditemukan sel-sel radang tuberkulosis dan nekrosis perkejuan, kadang juga dapat ditemukan bakteri tuberkulosis. Tunika intima juga dapat mengalami transformasi serupa atau mengalami erosi akibat degenerasi fibrinoid-hialin, diikuti proliferasi sel sub endotel reaktif yang dapat sedemikian tebal sehingga menimbulkan oklusi lumen. Vaskulitis dapat menyebabkan timbulnya spasme pada pembuluh darah, terbentuknya thrombus dengan oklusi vascular dan emboli yang menyertainya, dilatasi aneurisma mikotik dengan rupture serta perdarahan fokal. Vaskulitis yang terjadi menimbulkan infark serebri dengan lokasi tersering pada distribusi a. serebri media dan a. striata lateral.

Hidrosefalus

Hidrosefalus merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dari meningitis tuberkulosa dan dapat saja terjadi walaupun telah mendapat terapi dengan respon yang baik. Hampir selalu terjadi pada penderita yang bertahan hidup lebih dari 4-6 minggu. Hidrosefalus sering menimbulkan kebutaan dan dapat menjadi penyebab kematian yang lambat. Perluasan inflamasi pada sisterna basal menyebabkan gangguan absorpsi CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dapat pula terjadi hidrosefalus obstruksi (hidrosefalus non komunikans) akibat dari oklusi aquaduktus oleh eksudat yang mengelilingi batang otak, edema pada mesensefalon atau adanya tuberkuloma pada batang otak atau akibat oklusi foramen Luschka oleh eksudat.

Hidrosefalus komunikans dan non komunikans dapat terjadi pada meningitis tuberkulosa. Adanya blok pada sisterna basalis terutama pada sisterna pontis dan interpedunkularis oleh eksudat tuberkulosis yang kental menyebabkan gangguan penyerapan CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus komunikans. Gejalanya antara lain ialah ataksia, inkontinensia urin dan demensia. Dapat juga terjadi hidrosefalus non komunikans (obstruktif) akibat penyumbatan akuaduktus atau foramen Luschka oleh eksudat yang kental. Gejala klinisnya ialah adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti penurunan kesadaran, nyeri kepala, muntah, papiledema, refleks patologis (+) dan parese N VI bilateral.

Arakhnoiditis

Adalah suatu proses peradangan kronik dan fibrous dari leptomeningen (arakhnoid dan pia mater). Biasanya terjadi pada kanalis spinalis. Arakhnoiditis spinal dapat terjadi karena tuberkulosa, terjadi sebelum maupun sesudah munculnya gejala klinis meningitis tuberkulosis. Bila tuberkel submeningeal pecah ke dalam rongga subarakhnoid, akan menyebabkan penimbunan eksudat dan jaringan fibrosa sehingga terjadi perlengketan di leptomeningen medulla spinalis. Gejala klinis timbul akibat adanya kompresi local pada medulla spinalis atau terkenanya radiks secara difus.

Arakhnoiditis spinal paling sering mengenai pertengahan vertebra thorakalis, diikuti oleh vertebra lumbalis dan vertebra servikalis. Biasanya perlekatan dimulai dari dorsal medulla spinalis. Gejala pertama biasanya berupa nyeri spontan bersifat radikuler, diikuti oleh gangguan motorik berupa paraplegi atau tetraplegi. Gangguan sensorik dapat bersifat segmental di bawah level penjepitan. Kemudian dapat terjadi retensi kandung kemih. Pemeriksaan penunjang untuk arakhnoiditis dapat dengan mielografi. Bisa didapatkan blok parsial atau total, dapat juga memberikan gambaran tetesan lilin.

SIADH (Sindrome Inappropriate Anti Diuretic Hormon)

SIADH adalah peningkatan anti diuretic hormon (arginine vasopressin) yang berhubungan dengan hiponatremia tanpa terjadinya edema maupun hipovolemia. Pengeluaran ADH tidak sejalan dengan adanya hipoosmolalitas. Pasien diduga SIADH jika konsentrasi urin > 300 mOsm/kg dan didapatkan hiponatremi tanpa adanya edema, hipotensi orthstatik, atau tanda-tanda dehidrasi. Semua penyebab hiponatremi lain harus sudah disingkirkan.

SIADH merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pada meningitis tuberkulosis. Kemungkinan hal tersebut terjadi karena reaksi peradangan lebih banyak pada basis otak atau basil TBC sendiri host response terhadap organisme penyebab. Terjadi peningkatan produksi hormon antidiuretik dengan akibat terjadi retensi cairan yang dapat menimbulkan tanda-tanda intoksikasi cairan. Sekuele

Dapat terjadi sekuele hemiparesis spastik, ataksia, dan paresis saraf cranial persisten. Pada 50 % anak dengan kejang pada saat meningitis dapat meninggalkan sekuele gangguan kejang. Atrofi N Optikus dapat terjadi dengan gangguan visual yang bervariasi sampai buta total. Syringomielia dapat terjadi komplikasi pada masa konvalesen sebagai akibat dari vaskulitis pembuluh darah medulla spinalis karena mielomalasia iskemik. Berbagai gangguan endokrin dapat terjadi sebagai akibat dari arteritis atau kalsifikasi dan infark selanjutnya pada proksimal hipotalamus dan kelenjar pituitary.DAFTAR PUSTAKA

1. Adams and Victor, Principles of Neurology, 8th edition, McGraw Hill, 2005.2. Lumbantobing, Neurologi Klinik, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2001.

3. Lindsay et al, Neurology and Neurusurgery Ilustrated, 4th edition, Churcill Livingstone, 2004.

4. Greenstein, Neuroscience Neuroanatomy and NeuroPhysiology, Thieme New York, 2000.

5. www.e-medicine.com (diakses melalui internet tanggal 02 Oktober 2007)PAGE 10