chf

75
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung (Maggioni AP, 2005). Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3–3,7 perseribu penderita pertahun (Santoso A, dkk, 2007). Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Davis RC, dkk, 2000). Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal 1

Transcript of chf

Page 1: chf

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan

merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung

(Maggioni AP, 2005). Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di

rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun

diperkirakan 2,3–3,7 perseribu penderita pertahun (Santoso A, dkk, 2007). Kejadian

gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin

berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan

hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Davis RC, dkk, 2000).

Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta

tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit.

Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini

serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,

penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan

kelangsungan hidup jantung (Davis RC, dkk, 2000).

Berikut ini dilaporkan sebuah kasus tentang Gagal Jantung di RSUD

“Kanjuruhan” kepanjen beserta pembahasannya.

1

Page 2: chf

BAB II

STATUS PENDERITA

2.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn.S

Umur : 47 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Sumberpucung

Status Perkawinan : Menikah

Suku : Jawa

Tanggal MRS : 16 November 2012

2.2 ANAMNESIS

√ : sendiri √ : orang lain

1. Keluhan Utama : Badan lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan dengan keluhan badan lemas

yang dirasakan ± 2bulan yang lalu dan memberat sejak 1 minggu ini.

Pasien juga mengeluh sesak nafas, sesak dirasakan terutama jika pasien

beraktivitas ataupun berjalan jauh dan ketika tidur pasien juga merasa

sesak sehingga pasien merasa lebih nyaman tidur malam dengan memakai

3 susun bantal. Pasien juga mengaku pernah terbangun karena sesak.

Pasien tidak mengeluh nyongsrong jika jalan jauh. Pasien juga mengeluh

batuk kering sejak 1 minggu ini. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri

perut yang dirasakan sehingga nafsu makannya menurun dan merasa mual

setelah makan, tetapi tidak dimuntahkan. Nyeri perut dirasakan sudah 1

minggu ini. BAB dan BAK pasien dalam batas normal.

2

Page 3: chf

3. Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat maag (+)

- Riwayat diabetes melitus (-)

- Riwayat asma (-)

- Riwayat alergi obat/makanan (-)

- Penyakit paru (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga :

- Hipertensi (-)

- Asma (-)

- Penyakit jantung (-)

- Penyakit paru (-)

- DM (-)

- Alergi obat/makanan (-)

- Orang tua pasien meninggal karena sesak.

5. Riwayat Kebiasaan

- Riwayat merokok (+) ± 7 batang / hari

- Minum kopi (+)

- Minum alkohol (-)

- Olah raga (-)

6. Anamnesis Sistem

1. Kulit : kulit gatal (-),lepuh (-), keropeng (-), makula (-), papula (-),

nodula (-).

2. Kepala : sakit kepala (-), pusing (-), rombut rontok (-), luka (-),

benjolan (-)

3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-/-),penglihatan kabur

(-/-), ketajaman penglihatan berkurang (-/-), penglihatan ganda(-).

4. Hidung: Cairan(-/-), mimisan (-/-)

3

Page 4: chf

5. Telinga: pendengaran berkurang (-/-), berdengung (-/-), cairan (-/-),

nyeri(-/-)

6. Mulut : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-)

7. Tenggorokan : nyeri menelan (-), suara serak (-)

8. Pernafasan : sesak nafas (+), batuk (+), mengi (-)

9. Kardiovaskuler: nyeri dada (-), berdebar-debar (-).

10. Gastrointestinal: mual (+), muntah(-), diare (-), nafsu makan

menurun (+) nyeri perut (+)

11. Genitourinaria : BAK ± 3xsehari, warna kuning jernih jumlah dalam

batas normal.

12. Neurologik : lumpuh (-), kaki kesemutan(-), kejang (-)

13. Psikiatrik : emosi stabil (+), mudah marah (-), gelisah (-)

14. Muskolokeletal : kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan

dan kaki (-), nyeri otot (-)

15. Ekstremitas atas : sakit (-), telapak tangan pucat (-), kebiruan (-),

luka (-)

16. Ekstremitas bawah : bengkak (-), sakit (-), telapak kaki pucat (-),

kebiruan (-), luka (-)

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum ( 16 november 2012)

Tampak sesak, kesadaran compos mentis (GCS 456), status gizi kesan

cukup.

2. Tanda Vital

Tensi : 130/80mmHg

Nadi : 100 x / menit

Pernafasan : 24x /menit

Suhu : 36,8oC

4

Page 5: chf

3. Kulit

Turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), venektasi (-), petechie (-), spider nevi

(-), hiperhidrosis (-)

4. Kepala

Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-),

atrofi m. temporalis (-), makula (-), papula (-), nodula (-), kelainan mimik

wajah / bells palsy (-)

5. Mata

Conjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), eksoftalmus (-),Jofroy sign (-),

stelwag (-), darlymple (-), von grafe (-), staring (-)

6. Hidung

Nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-), epistaksis (-/-).

7. Mulut

Bibir pucat (-), bibir cianosis (-), gusi berdarah (-).

8. Telinga

Nyeri tekan mastoid (-/-), sekret (-/-), pendengaran berkurang (-/-).

9. Tenggorokan

Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-).

10. Leher

JVP meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar limfe (-),

Kelenjar tiroid teraba difus, konsistensi kenyal padat, tidak panas, nyeri,

bruit (-)

11. Thoraks

Normochest, simetris, pernapasan abdominothoracal, retraksi (-), spider

nevi (-), pulsasi infrasternalis (-), sela iga melebar (-).

Cor :

Inspeksi : ictus cordis tak tampak

Palpasi : ictus cordis kuat angkat

Perkusi : batas kiri atas : SIC II Linea Para Sternalis Sinistra

5

Page 6: chf

batas kanan atas : SIC II Linea Para Sternalis Dextra

batas kiri bawah :SIC VI 1 cm medial Linea

midclavicula sinistra

batas kanan bawah: SIC V Linea Para Sternalis Dextra

pinggang jantung : SIC III Linea Para Sternalis Sinistra

(batas jantung terkesan membesar)

Auskultasi: Irama reguler, Heart Rate 100x/mnt

Bunyi jantung I–II intensitas normal, bising (-)

Pulmo :

Statis (depan dan belakang)

Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronkhi +/+)

Dinamis (depan dan belakang)

Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan kiri

Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar vesikuler, suara tambahan (ronkhi +/+)

12. Abdomen

Inspeksi : perut tampak mendatar, tidak ada pembesar hepar dan lien

Palpasi : Supel (+), Hepar teraba 2 jari Bawah Arkus kostarum,

perabaan kenyal, padat, permukaan rata, pinggir tajam, nyeri tekan (-),

bruit (-), Hepatojugular Refluk (-). Ballotement ginjal (-), Nyeri tekan (+)

di epigastrium

Perkusi : timpani, meteorismus (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

13. Ektremitas

palmar eritema (-/-)

6

Page 7: chf

akral dingin Oedem

- -

- -

- -

- -

14. Sistem genetalia: dalam batas normal.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.4.1 Elektrokardiografi

LVH

2.4.2 Foto Thorak (17 Oktober 2012)

Kardiomegali (+)

2.4.3 Laboratorium

(16 November 2012) (17 November 2012)

- Hb : 10,9g/dl (N: 13,5-18) ECG : HF e.c Iskemia lateral anterior

Fc. III

- Hematokrit 32,9 % (N: 40%-54%)

- Eritrosit 3,75 juta/mm (N: 4,5-6,5 juta/mm)

- Lekosit : 5.200 sel/mm (N: 4000-11000 sel/mm)

- Hitung Jenis 16/1/35/35/13

- LED : 70 mm/ jam (N: 15mm/jam)

- Trombosit : 270.000 cell/mm (N: 150000-450.000 cell/mm)

- GDS : 95 mg/dl (N:<140 mg/dl)

- SGOT : 15 µ/l (N: < 43 µ/l )

- SGPT : 12 µ/l (N: < 43 µ/l )

- Ureum : 59 mg/dl (N: 20-40 mg/dl)

- Kreatinin : 1,03 mg/dl (N: 0,6-1,1 mg/dl)

Kesimpulan : Anemia Ringan + Eosinofilia + LED meningkat dengan kadar

ureum meningkat ringan dengan general weekness due to inflamasi parasit.

2.5 DIAGNOSIS

Decompentatio Cordis

Differensial Diagnosis

7

Page 8: chf

G. PENATALAKSANAAN

1. Non Medika mentosa

a. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakitnya

b. Tirah baring

c. Posisi semifowler

d. Kurangi intake cairan dan garam

2. Medikamentosa

- O2 2 - 4 liter/menit

- IVFD RL 12 tts/mnt

- Inj Farsix (10mg/2ml) 2x1 amp

- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp 50 mg iv

- Inj cefotaxime 3x1 amp

- Inj. Neurobion 1x1 amp drip

- Po : Antasid Syr 1x1 cth

- Po : ISDN 3x1

- Po: Aspilet 1x 80 mg

8

Page 9: chf

H. FOLLOW UP

Nama : Tn.S, 47 tahun

Diagnosis : Decompentatio Cordis

Tabel flowsheet penderita

Tanggal S O A P

1 17/11/2012 Lemas (+), demam (+), Sesak (+),Nyeri perut (+),Mual (+)

T : 130/80N :100 x/mntS : 38,4oCRR: 24x/mntThorax:Rh : + + + +Abdomen:NT(+) epigastriumEKG : Iskeni lateral anterior

General weekness

OF

- O2 2 - 4 liter/menit

- IVFD RL 12 tts/mnt

- Inj Farsix (10mg/2ml)

1x1 amp

- Inj Neurobion 1x1 amp

drip

- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

- Inj.cefotaxime 3x1 amp

- Po: Antasid syr 1x1 cth

- Po: ISDN 1x1

- Po: Aspilet 1x 80 mg

2 18/8/2011 Lemas (+), Sesak (+),Nyeri perut (+),

T : 140/100N :112 x/mntS : 36,8 oCRR : 22x/m Thorax:Rh : + + + +Wheesing: + + + +

Abdomen:NT(+) epigastrium

General weekness

Terapi lanjut

3 19/8/2011 Sesak (+) ↓Nyeri perut (+)Bengkak kaki (+).

T : 110/80N : 112 x/mntS : 37RR: 22 x/mntThorax:Rh : + +

CHF Inj. Cefotaxime (stop)Po: anyasyd 4x II cthPo: Alprazolam 0-0-1Furocemid 1x1Letonal 0-0-1Lisinopril 1,25 mg 1-0-0

9

Page 10: chf

+ +Abdomen:NT(-) Extremitas:Edema - - + +EKG: iskemi lateral anterior

Bisoprolol 1x 1,25 mgISDN 5 mg 1x1

4 20/8/2011 Sesak (+)↓Bengkak kaki (-)

T : 110/80N : 108 x/mntS : 36,5RR: 20x/mntEdema - -

+ +

CHF Terapi tetap

5 21/8/2011 Keluhan - T: 130/70N: 112 x/mntS: 36,4RR: 20x/ mnt

CHF BLPL- anyasyd 4x II cthPo: Alprazolam 0-0-1Furocemid 1x1Letonal 0-0-1Lisinopril 1,25 mg 1-0-0Bisoprolol 1x 1,25 mgISDN 5 mg 1x1Aspilet 50 mg 1x1

10

Page 11: chf

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan

darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme

tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian

jantung yang tinggi atau kedua-duanya (Shah, dkk 2007)

Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung

tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan

metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik

vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal (Shonenblick dkk,

1989).

3.2. Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi

penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit

arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di

Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup

jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab

terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan

penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta

kardiomiopati dan sebab lain (10%) (Lip dkk, 2000).

Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang

dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan

serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai

faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Lip dkk, 2000).

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya

gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang

mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka

kejadiannya semakin meningkat.

11

Page 12: chf

Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung

pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui

beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel

kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic,

meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk

terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri

berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis

hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut (Lip dkk, 2000).

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan

oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup

ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori

fungsional: dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi.

Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan

atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,

penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati

hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski

secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut

miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang

berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik

obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance

ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi

diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati

peripartum menyebabkan gagal jantung akut (Lip dkk, 2000).

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab

utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.

Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban

awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan

beban akhir) (Harbanu dkk, 2007).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan

dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri.

12

Page 13: chf

Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan (Harbanu dkk,

2007).

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal

jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang

berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung

alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga

dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat

menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat

antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek

toksik langsung terhadap otot jantung (Harbanu dkk, 2007).

2.3 Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai

setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa

kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit

jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk

menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat

berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki

onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau

memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan

hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal

ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan

kardiomiopati genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu

kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai

penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik

atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi

bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui

dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik,

hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah

banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas

jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur

13

Page 14: chf

kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga

kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit. Transisi

pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi

berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan

perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling

ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1.

Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan

pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas

pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem

syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka

pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik

sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan

mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal

sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan

dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi

dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.

Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung

Dikutip dari: (Mann DL, 2008)

Mekanisme Neurohormonal

14

Page 15: chf

Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model

neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi

berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan

efek kerusakan jantung dan sirkulasi (Mann DL, 2008).

Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor

arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.

Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada

sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik

dalam mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis

pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan

pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik

dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2.

Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun

maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan

perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi

maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas

ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu

timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai

berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini

akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian

dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi

sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar

norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,

meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan

tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat

menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka

15

Page 16: chf

pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun

akan terjadi maladaptasi (Hess dkk, 2007).

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi

norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan

dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik

yang berlangsung lama (Hess dkk, 2007).

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.

Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal

jantung.

Dikutip dari : (Floras JS, 2004)

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-

angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,

berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,

dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan

renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari

angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua

16

Page 17: chf

asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan

dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses

rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 3. Aktivasi

reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi

aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan

vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin

(Hess dkk, 2007).

Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Dikutip dari: Weber KT dkk, 2011

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan

sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama

dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan

fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan

mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal

zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron (Hess dkk, 2007).

17

Page 18: chf

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi

dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif

lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis

vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler

dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu

disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin

yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem

kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir

inflamasi pada jaringan (Hess dkk, 2007).

C. Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen

species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari

ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,

agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis

factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit,

proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi

sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO (Hess dkk, 2007).

D. Bradikinin

Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam

pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor

B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan

reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi

pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.1,5

E. Remodeling Ventrikel Kiri

Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal

menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang

progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan

ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting

pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada

miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri (Hess dkk, 2007).

18

Page 19: chf

Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 4. Remodeling

berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan

rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan

yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan

peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada

sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi

konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume

ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara

seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan

dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik (Hess dkk,

2007).

Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam

perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi

jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling

penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke

potensial aksi. Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan

fase plateu dan meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya

proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas

pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum

sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium

sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun (Hess dkk,

2007).

Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung

pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses

kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi

membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat

berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran

plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka

19

Page 20: chf

dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran

(Hess dkk, 2007).

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan

saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang

terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur

membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase.

Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses

kontraksi-eksitasi pada gagal jantung (Hess dkk, 2007).

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada

gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel

pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka

pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang

berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian

menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung (Hess dkk, 2007).

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap

hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ, 1999

20

Page 21: chf

3.3 Klasifikasi Gagal jantung Kronis

Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional, NYHA mengklasifikasikan

gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa.

Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa

gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II,

sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki

beberapa anak tangga dapat dimasukan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional

gagal jantung menurut NYHA tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal

jantung menurut ACC/AHA. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional,

sementara stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal

jantung, terlepas dari status fungsionalnya.

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural

dan kerusakan otot jantung.

Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan

aktivitas fisik.

Stage

A

Memiliki risiko tinggi mengembangkan

gagal jantung. Tidak ditemukan

kelainan struktural atau fungsional,

tidak terdapat tanda/gejala.

Kelas

I

Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas

yang umum dilakukan tidak menyebabkan

kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage

B

Secara struktural terdapat kelainan

jantung yang dihubungkan dengan

gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala

gagal jantung.

Kelas

II

Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas

fisik yang umum dilakukan

mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau

sesak nafas.

Stage

C

Gagal jantung bergejala dengan

kelainan struktural jantung. Kelas

III

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat

istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas

ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi,

atau sesak nafas.

Stage

D

Secara struktural jantung telah

mengalami kelainan berat, gejala gagal

jantung terasa saat istirahat walau telah

mendapatkan pengobatan.

Kelas

IV

Tidak dapat beraktivitas tanpa

menimbulkan keluhan. Saat istirahat

bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik,

keluhan bertambah berat.

Dikutip dari: Mann DL,2008

21

Page 22: chf

3.4 Diagnosis Gagal Jantung Kronis

Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan

pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal

jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat

gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail (Hess, 2007).

ANAMNESAGejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan

lelah (Hess, 2007). Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh

rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan

komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi.

Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat,

seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang

semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini

kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti

paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau

intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor

juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi

karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada

timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan

nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi

semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi

tricuspid (Hess, 2007).

ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA

Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar

dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak

saat aktivitas (Hess, 2007). Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan

duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh

redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi

sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru.

Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali

22

Page 23: chf

terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang

relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru

dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik

kelainan paru yang memberat pada posisi tidur (Hess, 2007).

Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan

batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari

tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND

antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada

arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada

intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan

orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki

menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang

menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.

Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)

berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing

sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan

penyebab pulmoner wheezing lainnya (Shah dkk, 2007).

EDEMA PULMONER AKUT

Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai

akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat

menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi

edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal

jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang

disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan

(Shah dkk, 2007).

RESPIRASI CHEYNE STOKES

Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada

gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang

rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat

respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan

23

Page 24: chf

PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas

yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali

dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau

keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat (Shah dkk,

2007).

Tabel 3 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.

Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas (%)

Spesifitas (%)

(+) Predictive Value (%)

Anamnesa

Mudah sesak 66 52 23 Orthopnea 21 81 2 Nocturnal dyspnea 33 76 26 Riwayat bengkak 23 80 22Pemeriksaan Fisik Takikardi 7 99 6 Ronkhi 13 99 6 Edema 10 93 3 Ventricular gallop (S3) 31 95 61 Distensi Vena Jugularis 10 97 2Thorax Foto (Chest X-Ray) Cardiomegaly 62 67 32Anamnesa 66 52 23 Mudah sesak 21 81 2 Orthopnea 33 76 26 Nocturnal dyspnea 23 80 22Dikutip dari: Harlan WR dkk,

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan

secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau

satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika

kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti

hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan

minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 3.

24

Page 25: chf

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegaliEfusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menitDikutip dari: Mann DL,2008

PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi

pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu

menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya

sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil

hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah

tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik (Mann,2008).

KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL

Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki

keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa

menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya

nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak.

Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada

gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa

berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa

meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non

spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi

perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir

dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan (Shah, 2007).

25

Page 26: chf

PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS DAN LEHER

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,

dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena

jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o.

Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang

dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus

sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap

awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara

abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk

hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup

tricuspid (Mann, 2008)

PEMERIKSAAN PARU

Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan

dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki

dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing

ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi

spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi

seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika

pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien

sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah

meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler

pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada

pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi

pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya

ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada

yang kiri (Mann, 2008).

PEMERIKSAAN JANTUNG

Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan

informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali,

titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space

26

Page 27: chf

(ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri

yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat).

Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya

disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar

dan teraba pada apex (Hes, 2007).

Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi

dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal

kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada

pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan

seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung

keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan

disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan

pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut (Mann, 2008)

PEMERIKSAAN ABDOMEN DAN EKSTRIMITAS

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan

gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan

dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat

timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan

sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium (Mann, 2008).

Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium

lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal

jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan)

hepar dan hipoksia hepatoselular (Mann, 2008).

Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau

demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah

mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,

beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar

pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada

pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang

27

Page 28: chf

berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang

bertambah (Mann, 2008).

KAKEKSIA KARDIAK

Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat

badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti,

kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya

adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah

yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa penuh di abdomen,

meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya

absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia

maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk (Mann, 2008).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain

adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT,

dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung

karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi

gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi

ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan

hemodinamik) (Mann,2008).

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,

namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat

ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik

kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat

hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan

kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin

angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan

dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan

elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia

(Mann,2008).

28

Page 29: chf

Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan

meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan,

hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah

menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal

jantung.

Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua

pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik

dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan

BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding

jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh

yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal

Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP

meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik

peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan

berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.

Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas

fungsionalnya (Hess, 2007)

Gambar 4. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung menurut kelas

fungsionalnya.

29

Page 30: chf

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan

gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate

(GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan

klasifikasi kelas fungsional (Mann, 2008).

Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat

hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine

aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat

memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia (Mann,

2008).

Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk

mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume

urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal dan yang mendapat diuretic (Mann, 2008).

PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi,

selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat

dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR)

yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran

diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal

jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang

mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan

dilatasi dari aorta asenden (Mann, 2008).

Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran

hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal

jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya

Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang

timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat

adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena

tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak

ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung

30

Page 31: chf

kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik

untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan

temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau

tekanan arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga

merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan

terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan

penyebab dan implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis

Kelainan Penyebab Implikasi Klinis

Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel

kanan, atria, efusi perikard

Ekhokardiografi, doppler

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,

kardiomiopati hipertropi

Ekhokardiografi, doppler

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian

ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian

ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan

peningkatan pengisian tekanan

jika ditemukan bilateral, infeksi

paru, keganasan

Pikirkan diagnosis non kardiak

Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik Mitral stenosis atau gagal

jantung kronis

Dikutip dari : Mann DL dkk, 2008

ELEKTROKARDIOGRAMPemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien

yang dicurigai gagal jantung (Hes, 2007). Dampak diagnostik elektrokardiogram

(ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup

tinggi. Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal

jantung (Hes, 2007). Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan.

Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right

bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau

perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti

takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole

31

Page 32: chf

ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis

yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat

dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya

tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24-

atau 48- jam (Mann, 2008).

PEMERIKSAAN UJI LATIH BEBAN JANTUNG

Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan dalam

diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien yang tidak

mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai

pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi

prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara progresif

ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal,

uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan

kemampuan aerobik pasien dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada

pasien dengan gagal jantung (Hes, 2007). Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk

menentukan ambang batas metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme

pasien beralih dari aerob ke anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara

praktis prinsip perhitungannya ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi

saat intensitas latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya

gejala berat seperti sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang

penting. Puncak Vo2 <10 ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi,

>18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai diantaranya adalah zona abu-

abu dengan risiko sedang. Data prognostik untuk puncak Vo2 pada wanita masih

terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai batasan untuk menentukan kapan pasien

dengan gagal jantung yang progresif harus dipertimbangkan untuk menjalani

transplantasi jantung. Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo2 max

dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status pelatihan aerobik.

Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien dengan Vo2 max yang rendah

(<14 ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang cukup baik. Karena hal

32

Page 33: chf

tersebut beberapa peneliti telah mengusulkan angka prediksi persentase Vo2

dibandingkan nilai absolut Vo2 max (Hes, 2007).

Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan latihan

yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan

submaksimal atau symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes

walking test menjadi popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur

jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana pasien

dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat, atau berhenti.

Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan faktor independen yang

berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Karena

kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk

menilai efektivitas suatu terapi.

ECHOCARDIOGRAPHY

Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan

untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan

mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress

farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara

cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan

penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung

echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan

aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate

imaging, dan cardiac motion analysis (Mann, 2008).

Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-

ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan

perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai

fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel 5

mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal jantung.

33

Page 34: chf

Tabel 5. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung

TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIK DISFUNGSI DIASTOLIK

Ukuran dan bentuk ventrikel

Ejeksi fraksi ventikel kiri

(LVEF)

Gerakan regional dinding

jantung, synchronisitas

kontraksi ventrikular

Remodelling LV (konsentrik

vs eksentrik)

Hipertrofi ventrikel kiri atau

kanan (Disfunfsi Diastolik :

hipertensi, COPD, kelainan

katup)

Morfolofi dan beratnya

kelainan katup

Mitral inflow dan aortic

outflow; gradien tekanan

ventrikel kanan

Status cardiac output

(rendah/tinggi)

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

berkurang <45%

Ventrikel kiri membesar

Dinding ventrikel kiri tipis

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri

Regurgitasi ringan-sedang

katup mitral*

Hipertensi pulmonal*

Pengisian mitral berkurang*

Tanda-tanda meningkatnya

tekanan pengisian ventrikel*

Ejeksi fraksi ventrikel kiri

normal > 45-50%

Ukuran ventrikel kiri

normal

Dinding ventrikel kiri tebal,

atrium kiri berdilatasi

Remodelling eksentrik

ventrikel kiri.

Tidak ada mitral

regurgitasi, jika ada

minimal.

Hipertensi pulmonal*

Pola pengisian mitral

abnormal.*

Terdapat tanda-tanda

tekanan pengisian

meningkat.

Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.

Dikutip dari: Mann DL, 2008

3.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung Kronis

Tujuan pengobatan dari gagal jantung kronis:

a) Menurunkan mortalitas

b) Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup

c) Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,

remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi

cairan, dan perawatan di rumah sakit.

ALGORITMA TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIS

Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat pada

skema tata laksana gagal jantung kronik pada Gambar 5.

34

Page 35: chf

Gambar 5. Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada penatalaksanaan

gagal jantung akut. Dikutip dari:Dickstain dkk, 2008

TERAPI NONFARMAKOLOGIS

PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)

Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal

jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien,

kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat

didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan

stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi

dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu diberi

pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih (Dickstain dkk, 2008).

Tabel 6. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita Gagal

Jantung.

Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri

Definisi dan etiologi gagal

jantung

Memahami penyebab gagal jantung dan mengana keluhan-keluhan

timbul

Gejala-gejala dan tanda-

tanda gagal jantung

Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung

Mencatat berat badan setiap hari

35

Page 36: chf

Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan

Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai anjuran

Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat digunakan

Mengenal efek samping yang umum obat

Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah

Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas

Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi

Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur

Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan

Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan membuat

keputusan realistik

Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008

TERAPI FARMAKOLOGIS

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar

bertujuan mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload,

meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi

farmakologis ini tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat

golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat

ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti

menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi

sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan

mortalitas pasien gagal jantung membaik (Hes, 2007).

ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITORS(ACEI)

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran

terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien

dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI

memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka

masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka

keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus

dimulai sebelum pasien pulang rawat.

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

36

Page 37: chf

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

Riwayat adanya angioedema

Stenosis bilateral arteri renalis

Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L

Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)

Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi

meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang

dimonitoring ketat.

Tabel 7. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis

Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008

37

Page 38: chf

ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER(ARB)

Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB

direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap

simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali

telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi

ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan

gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).

Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.

Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif

pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB

mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat

perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus

dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14

Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien

dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.

Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang

tidak toleran terhadap ACEI (Dickstain dkk, 2008).

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%

Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun

sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

38

Page 39: chf

β-bloker / PENGHAMBAT SEKAT-β

Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya

gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi

gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus

diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB

meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat

akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika

memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai

secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.

Meningkatkan LVEF

Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan

disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.

Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika

diindikasikan).

Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis). Inisiasi

terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien yang

baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik dengan terapi

lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di

rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontranindikasi).

AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker),

sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

39

Page 40: chf

Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg, metoprolol

CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi jika

diberikan dalam setting rawat jalan.

Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum

pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB

(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien

degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat

perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih

(<50x/menit).

Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat

tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-

50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau

dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

DIURETIK

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai

tanda dan gejala kongesti.

Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda

dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.

Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan

biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus

disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang

cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.

Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten,

namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia,

hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium,

natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala (Dickstain dkk, 2008).

Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

40

Page 41: chf

Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan

risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan

bersamaan.

Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron

digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya

tidak dibutuhkan.

Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium

termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB.

Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari.

Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh

diberikan pada supervisi yang cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid

karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan

natriuresis.

Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat

perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan

dosis pemberian dapat dilihat pada tabel 7.

Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal

telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan

untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah

mungkin. Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik

dapat dilihat pada tabel 8.

Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat

badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus

selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk

mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.

Tabel 8. Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya

41

Page 42: chf

Keterangan:

*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas.

** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diuretic

Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008

Tabel 8. Keadaan yang mungkin terjadi pada pemberian diuretik jangka panjang, dan

tindakan yang disarankan

ANTAGONIS ALDOSTERON

Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan

gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi

yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%

Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan

meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau

hiperkalemia.

42

Page 43: chf

HYDRALIZIN & ISOSORBIDE DINITRAT

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-

ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan

ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan

gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau

Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat

mengurangi risiko kematian.

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis

adalah :

Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.

Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak

dapat ditoleransi.

Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal

berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).

Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :

Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.

Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan bila

terdapat hipotensi simtomatik.

Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan

pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari,

atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu, pertimbangkan

untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi (kecuali

ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak

membutuhkan intervensi.

Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –

pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA),

jangan teruskan H-ISDN.

43

Page 44: chf

GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)

Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat

digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan

LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol

tekanan darah.

Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,

terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan

kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan

gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka

mortalitas.

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan

meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas

dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium

intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi

kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi

ventrikel kiri.

Menstimulasi baroreseptor jantung

Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan

penekanan sekresi renin dari ginjal.

Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal

tone.

Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan saat

aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)

yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan

antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat

dipertimbangkan.

44

Page 45: chf

ANTIKOAGULAN (ANTAGONIS VIT-K)

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada

pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal

tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus

disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.

Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus

intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya

tromboembolisme sistemikKelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Temuan yang perlu diingat :

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,

termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi

risiko stroke dengan 60-70%.

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi

antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,

seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.

Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada

mereka yang memiliki katup prostetik.

Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin

dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko perawatan

kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi aspirin,

dibandingkan warfarin.

45

Page 46: chf

46

Page 47: chf

DAFTAR PUSTAKA

Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation.

BMJ;320:297-300

Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: History and

epidemiology. BMJ;320:39-42.

Jhunz. 2009. Mengapa Diabetes Melitus Meningkatkan Resiko Terjadinya Penyakit

Kardiovaskular. http://chibijhunz.blogspot.com/2009/01/mengapa-diabetes-

melitus-meningkatkan.html. Diakses tanggal 25 januari 2011.

Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological

management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements;7

(Supplement J):J15-J20.

Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart

failure. Full text the task force on acute heart failure of the european society of

cardiology. Eur Heart J.

Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi.

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007.

Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.

Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi

Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp:

299-300.

47

Page 48: chf

Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di

Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008.

Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,

Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.

Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.

Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,

editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw

hill; 2008. p. 1443.

Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart

Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of

angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;

320:104-7.

Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan

September 2007. P.85-93.

Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in

Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's

Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.

Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl

J Med. 1999; 341:1276

Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and

treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology.

European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

48

Page 49: chf

49