Case Report Bph
-
Upload
anggun-pratissa -
Category
Documents
-
view
47 -
download
9
description
Transcript of Case Report Bph
CASE REPORT BPH
(Benign Prostate Hyperplasia)
I. IDENTITAS
Nama : Tn. D
Umur : 82 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Soreang
Tanggal pemeriksaan : 14 April 2011
II. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis)
Keluhan Utama : Tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik RSUD Soreang dengan keluhan tidak bisa BAK
sejak ± 2 hari SMRS. Pasien mulai merasakan gangguan BAK sejak ±3 bulan
SMRS. Saat ingin BAK pasien harus mengedan dan menunggu lama baru air
kencingnya keluar. Air kencing berwarna kuning jernih dengan pancaran lemah
namun tidak bercabang dan kadang berhenti kemudian keluar lagi. Setelah BAK
kadang ada air kencing yang menetes dan pasien sering merasa BAK nya tidak
tuntas dengan frekuensi kencing yang sering satu kali tiap satu jam. Pasien juga
mengeluhkan sakit pinggang kiri dan kanan.
Keluhan kencing berdarah, kencing batu, nyeri diujung kemaluan saat BAK,
timbul benjolan di lipat paha dan dubur yang disertai perdarahan disangkal. Pasien
mengaku bahwa sudah mendapatkan pengobatan dengan obat – obatan herbal.
Karena keluhan gangguan BAK tersebut, pasien datang ke poliklinik Bedah RSUD
Soreang dan dilakukan pemasangan kateter.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat maag diakui
Riwayat Penyakit keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama dengan
pasien
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit (reguler, equal, isi cukup)
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.5oC
Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata :
Konjungtiva : Tidak anemis
Sklera : Tidak ikterik
Mulut :
Tonsil : T1-T1 Tenang
Pharing : Hiperemis (-)
Leher :
JVP tidak meningkat
KGB tidak teraba
Thorak :
Cor :
o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi : Iktus kordis teraba
o Perkusi : Redup, batas jantung normal
o Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Pulmo :
o Inspeksi : Simetris, dalam keadaan statis dan dinamis
o Palpasi : Fremitus vokal pada hemitoraks kanan- kiri
teraba simetris
o Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks
o Auskultasi : Vesikuler +/+ N, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen :
o Inspeksi : Datar
o Palpasi : Supel, NT/NK/NL -/-/-, hepar dan lien tidak
teraba membesar, Ballotement -/+, Nyeri
ketok CVA -/+
o Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
o Auskultasi : BU normal
Ekstremitas :
Atas : Edema -/-, Sianosis -/-
Bawah : Edema -/-, Sianosis -/-
Status Lokalis
Regio Supra Simfisis :
VU : teraba
Nyeri tekan : -
Regio Genitalia Eksterna :
T.a.k, terpasang kateter
jumlah urin ± 200 ml warna kuning jernih
Rectal Toucher : tidak dilakukan
IV. DIAGNOSIS KERJA
Retensio Urine Et Causa Benign Prostat Hyperplasia (BPH)
V. DIAGNOSIS BANDING
Karsinoma prostat
Urolitiasis
VI. USULAN PEMERIKSAAN
Pemeriksaan darah: Hb, Ht, Leukosit
Urin Rutin
Ureum, Kreatinin
USG Prostat
VII. PENATALAKSANAAN
Konservatif :
Kateterisasi
Antibiotik
Analgetik
Anti Histamin
Ranitidin
Intervensi : tidak dilakukan (pasien menolak)
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
IX. FOLLOW-UP
Tanggal 18 April 2011
Kontrol dengan membawa hasil USG Prostat
o Hasil
Prostat : Ukuran membesar 6.31 x 6.35 x 5.73 cm,
parenkhim homogen, tidak tampak massa, tampak
kalsifikasi.
VU : Kurang terisi penuh, dinding tampak menebal, irreguler,
samar tampak benjolan berbentuk kantung yang
berhubungan dengan dinding bagian posterior.
o Kesan
Pembesaran kelenjar prostat (Volume ± 120ml)
Cystitis kronis dengan suspek divertikel buli
Subyektif : pasien mengeluh susah BAK karena harus mengedan,
masih terasa penuh setelah BAK, menetes di akhir
BAK, dan jadi sering BAK. Saat ini sedang pakai
kateter, jika dilepas maka BAK semakin susah.
Obyektif :
o Keadaan umum : Baik
o TD : 130/80 mmHg
o Nadi : 78 kali/menit
o Respirasi : 24 kali/menit
o Suhu : 37oC
Assesment : BPH
Planning :
o Pengantian kateter
o Lanjutkan terapi konservatif (antibiotik, analgetik, anti
histamin, ranitidin)
Tanggal 27 April 2011
Kontrol setelah terpasang kateter 9 hari
Subyektif : Pasien mengeluh sedikit nyeri pada saluran kencing
Obyektif :
o Keadaan umum : Baik
o TD : 120/80 mmHg
o Nadi : 80 kali/menit
o Respirasi : 22 kali/menit
o Suhu : 37oC
o Status Lokalis :
Regio Supra Simfisis :
- VU : teraba
- Nyeri tekan : -
Regio Genitalia Eksterna :
- T.a.k, terpasang kateter
- jumlah urin ± 250 ml warna kuning jernih
Assesment : BPH
Planning :
o Pengantian kateter
o Lanjutkan terapi konservatif (antibiotik, analgetik, anti
histamin, ranitidin)
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)
DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana kelenjar
periuretral prostat mengalami pembesaran akibat terjadinya hiperplasia sehingga
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. Pembesaran
kelenjar prostat ini akan mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga
menimbulkan gangguan miksi.
ANATOMI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria terletak sebelah inferior
buli-buli dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran, organ ini
menyumbat uretra posterior dan bila mengalami pembesaran pada uretra pars prostatika
sehingga menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gr,
ukuran 3 x 4 x 2,5 cm.
Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :
1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior
Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan
menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-
kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-
abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung
banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior
daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya
perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami
hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.
Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior
(cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium
inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri
tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di
dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral dari vesico prostatic
junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar
periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang
yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).
Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.
FISIOLOGI
Uretra prostat adalah saluran air mani dan mencegah ejakulasi retrograde (yaitu,
ejakulasi sehingga air mani dipaksa mundur ke kandung kemih) dengan menutup dari
leher kandung kemih selama klimaks seksual. Ejakulasi melibatkan kontraksi
terkoordinasi dari berbagai komponen, termasuk otot-otot halus dari vesikula seminalis,
deferentia Vasa, saluran ejakulasi, dan otot-otot ischiocavernosus dan bulbocavernosus.
ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihirotestosteron (DHT) dan proses aging. Beberapa
hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat sbb:
1. Teori dihidrotestosteron
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda
dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH aktivitas enzim 5α-
reduktase dan jumlah resetor androgen lebih banyak. Hal ini menyebabkan sel-sel
prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak
terjadi.
2. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada usia semakin tua kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif
tetap sehingga perbandingan estrogen : testosteron meningkat. Telah diketahui bahwa
estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon
androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian
sel-sel prostat (apoptosis).
3. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan epitel-epitel prostat
secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth
factor) tertentu. Faktor pertumbuhan ini dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh
androgen. Adanya ekspresi berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau
fibroblast growth factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming
growth factor-b (TGF-b), akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
pertumbuhan prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.
4. Berkurangnya kematian sel (apoptosis)
Berkurangnya jumlah sel prostat yang yang mengalami apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat. Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti
faktor-faktor yang menghambat proses apoptosis.
5. Teori stem cell
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis selalu dibentuk sel-se baru.
Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai
kemampuan berproliferasi secara ekstensif. Terjadinya proliferasi se-sel pada BPH
dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi
yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.
6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular budding”
kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.
Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang terjadi pada
embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya
“reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan
sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening of embryonic
induction potential of prostatic stroma during adult hood.
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko yang dominan untuk terjadinya BPH adalah bertambahnya usia
pada pria dan adanya androgen (hormon testosteron).
PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna
melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase
kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala
yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha
adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan
kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung
dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif.
Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika
karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk
berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor
karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (nyeri pada waktu miksi)
Ada juga yang membagi gejala Benign Prostat Hiperplasia menjadi 4 (empat)
grade yaitu:
1. Grade 1 (Congestic)
a. Mula-mula pasien berbulan-bulan atau berthaun-tahun susah BAK dan mulai
mengedan
b. Kalau miksi merasa puas
c. Uine keluar menetes dan pancaran lemah
d. Nocturia
e. Urine keluar malam hari lebih dari normal
f. Ereksi lebih lama dari normal dan libido lebih dari normal.
g. Pada cytoscopy kelihatan hyperemia dari orificium urethra interna. Lambat laun
terjadi varices akhirnya bisa terjadi perdarahan (blooding).
2. Grade 2 (Residual)
a. Bila miksi terasa panas.
b. Dysuri nocturi bertmabah berat.
c. Tidak bisa buanng air kecil (kencing tidak puas)
d. Bisa terjadi infeksi karena sisa air BAK
e. Terjadi panas tinggi dan menggigil.
f. Nyeri pada daerah bagian bawah panggul (menjalar ke ginjal)
3. Grade 3 (Retensi Urine)
a. Ischuria Paradosal
b. Incontinensia Paradosal
4. Grade 4
a. Kandung kemih penuh.
b. Penderita merasa kesakitan Air kencing menetes secara periodic yang di sebut
over flow incontinensia.
c. Pada pemeriksaan fisik yaitu palpasi abdomen bawah untuk meraba ada tumor,
karena bendungan yang hebat.
d. Dengan adanya infeksi penderita bisa menggigil dan panas tinggi sekitar 40-410c
e. Selanjutnya penderita bisa koma.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat
teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan
untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk
melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan
miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra,
fimosis, condiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis.
2. Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain
seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada
perabaan prostat harus diperhatikan :
a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
b. Adakah asimetris
c. Adakah nodul pada prostate
d. Apakah batas atas dapat diraba
e. Sulcus medianus prostate
f. Adakah krepitasi
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat adanya
sel lekosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus diperhitungkan
etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi saluran
kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit,
kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal
dan status metabolik.
b. Pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau ebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA
<4 ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah
Prostate Specific Antigen Density (PSAD) yaitu PSA serum dibagi dengan
volume prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat,
demikin pula bila nilai PSA >10 ng/ml.
4. Pemeriksaan radiologi :
a. Foto polos abdomen
Foto polos otot perut untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di
saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-
buli yang penuh dengan urine sebagai tanda retensi urine.
b. BNO-IVP
- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras
(filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung
distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked
fish).
- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa
hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli
– buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.
- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin
c. Systocopy dan Cystografi
d. MRI atau CT jarang dilakukan
Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam –
macam potongan.
e. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)
- deteksi pembesaran prostat
- mengukur volume residu urin
5. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif
pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a. Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line
c. Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif
6. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)
Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak
dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot
detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan
pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths
Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur.
7. Pemeriksaan Volume Residu Urin
Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat
sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin
yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang
akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.
DERAJAT BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA (BPH)
Ada 3 (tiga) cara untuk mengukur besarnya BPH, yaitu :
1. Rectal Grading
Rectal grading atau rectal toucher dilakukan dalam keadaan buli-buli kosong.
Sebab bila buli-buli penuh dapat terjadi kesalahan dalam penilaian. Dengan rectal toucher
diperkirakan dengan beberapa cm prostat menonjol ke dalam lumen dan rectum.
Menonjolnya prostat dapat ditentukan dalam grade. Pembagian grade sebagai berikut :
0 - 1 cm : Grade 0
1 - 2 cm : Grade 1
2 - 3 cm : Grade 2
3 - 4 cm : Grade 3
Lebih 4 cm : Grade 4
Biasanya pada grade 3 dan 4 batas dari prostat tidak dapat diraba karena benjolan
masuk ke dalam cavum rectum. Dengan menentukan rectal grading maka didapatkan
kesan besar dan beratnya prostat dan juga penting untuk menentukan macam tindakan
operasi yang akan dilakukan. Bila kecil (grade 1), maka terapi yang baik adalah T.U.R
(Trans Urethral Resection) Bila prostat besar sekali (grade 3-4) dapat dilakukan
prostatektomy terbuka secara trans vesical.
2. Clinical grading
Pada pengukuran ini yang menjadi patokan adalah banyaknya sisa urine.
Pengukuran ini dilakukan dengan cara, pagi hari pasien bangun tidur disuruh kencing
sampai selesai, kemudian dimasukkan kateter ke dalam kandung kemih untuk mengukur
sisa urine.
Sisa urine 0 cc : Normal
Sisa urine 0 - 50 cc : Grade 1
Sisa urine 50 - 150 cc : Grade 2
Sisa urine >150 cc : Grade 3
Sama sekali tidak bisa kencing : Grade 4
3. Intra Urethra Grading
Untuk melihat seberapa jauh penonjolan lobus lateral ke dalam lumen urethra.
Pengukuran ini harus dapat dilihat dengan penendoskopy dan sudah menjadi bidang dari
urology yang spesifik. Efek yang dapat terjadi akibat BPH :
a. Terhadap urethra
Bila lobus medius membesar, biasanya arah ke atas mengakibatkan urethra pars
prostatika bertambah panjang, dan oleh karena fiksasi ductus ejaculatorius maka
perpanjangan akan berputar dan mengakibatkan sumbatan.
b. Terhadap vesica urinaria
Pada vesica urinaria akan didapatkan hypertropi otot sebagai akibat dari proses
kompensasi, dimana muscle fibro menebal ini didapatkan bagian yang mengalami depresi
(lekukan) yang disebut potensial divertikula.
Pada proses yang lebih lama akan terjadi dekompensasi dari pada otot-otot yang
hypertropi dan akibatnya terjadi atonia (tidak ada kekuatan) dari pada otot-otot tersebut.
Kalau pembesaran terjadi pada medial lobus, ini akan membentuk suatu post prostatika
pouch, ini adalah kantong yang terdapat pada kandung kencing dibelakang medial lobe.
Post prostatika adalah sebagai sumber dari terbentuknya residual urine (urine yang
tersisa) dan pada post prostatika pouch ini juga selalu didapati adanya batu-batu di
kandung kemih.
c. Terhadap ureter dan ginjal
Kalau keadaan urethra vesica valve baik, maka tekanan ke ekstra vesikel tidak
diteruskan ke atas, tetapi bila valve ini rusak maka tekanan diteruskan ke atas, akibatnya
otot-otot calyces, pelvis, ureter sendiri mengalami hipertropy dan akan mengakibatkan
hidronefrosis dan akibat lanjut uremia.
d. Terhadap sex organ
Mula-mula libido meningkat, tapi akhirnya libido menurun.
BPH terbagi dalam 4 (empat) derajat sesuai dengan gangguan klinisnya:
1. Derajat satu, keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1-2 cm, sisa
urine kurang 50 cc, pancaran lemah, necturia, berat +20 gram.
2. Derajat dua, keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nucturia bertambah
berat, panas badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih
menonjol, batas atas masih teraba, sisa urine 50-100 cc dan beratnya +20-40
gram.
3. Derajat tiga, gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba,
sisa urine lebih 100 cc, penonjolan prostat 3-4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat, inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit
keginjal seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
DIAGNOSIS BANDING
1. Kelemahan detrusor kandung kemih
a. kelainan medula spinalis
b. neuropatia diabetes mellitus
c. pasca bedah radikal di pelvis
d. farmakologik
2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :
a. kelainan neurologik
b. neuropati perifer
c. diabetes mellitus
d. alkoholisme
e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)
3. Obstruksi fungsional :
a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi
detrusor dengan relaksasi sfingter
b. ketidakstabilan detrusor
4. Kekakuan leher kandung kemih :
a. fibrosis
5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :
a. hiperplasia prostat jinak atau ganas
b. kelainan yang menyumbatkan uretra
c. uretralitiasis
d. uretritis akut atau kronik
e. striktur uretra
6. Prostatitis akut atau kronis
KOMPLIKASI
1. Apabila buli-buli menjadi dekompensasi akan terjadi retensi urin. Karena
produksi urin terus berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intra vesika meningkat, dapat timbul
hidroureter, hidroefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat
jika terjadi infeksi.
2. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan dalam buli-buli.
Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu
tersebut dapat pula menimbulkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi
pielonefritis.
3. Pada waktu miksi pasien harus mengedan sehingga lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid.
PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-
kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendaatkan
terapi apapun atau hanya nasehat dankonsultasi saja. Namun diantara mereka akhirnya
ada yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya makin parah.
Tujuan terapi adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2) meningkatkan kualitas
hidup, (3) mengurangi obstruksi ifravesika, (4) mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi
gagal ginjal, (5) mengurangi volume residu urin setelah miksi, (6) mencegah progresifitas
penyakit.
1. Watchfull waiting
Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai
sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan
atau minuman yang dapat mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat), (3) batasi penggunaan
obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedas
dan asin, (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya
apakah menjadi lebih baik, selain itu juga dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu
urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertamba jelek daripada sebelumnya, mungkin
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa, dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik
dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/ dihirotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α –reduktase.
a. Penghambat adrenergik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin,
afluzosin, atau yang lebih selektif α1 tamsulosin. Dosis dimulai 1 mg/ hari
sedangkan dosis tamsulosin 0,2-0,4 mg/ hari. Penggunaan antagonis α1
adrenergik karena secara selektif mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa
merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang
banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat dan
kapsul prostat sehingga terjadi relaksasi di daerah prostat. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
urin dan gejala-gejala berkurang. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing-pusing, capek, sumbatan hidung, dan rasa lemah.
b. Penghambat 5α –reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (Proscar) dengan dosis 1 x 5 mg/ hari.
Obat golongan ini dapat menghambat pementukan DHT sehingga prostat yang
membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada
golongan penghambat α dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat
besar. Efek samping obat adalah libido menurun, ginekomastia, dan dapat
menurunkan nilai PSA (masking effect).
c. Fitoterapi
Yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya Pygeum
africanum, Saw palmetto, Serenoa repeus. Efek diharapkan terjadi setelah
pemberian 1-2 bulan.
3. Terapi bedah
Jenis pengobatan ini paling tinggi efektivitasnya. Intervensi bedah yang dapat
dilakukan meliputi Transurethral Resection of the Prostate (TURP), Transurethral
Insision of the Prostate (TUIP), prostatektomi terbuka, dan prostatektomi dengan laser.
1. TURP
TURP masih merupakan standar emas. Indikasi TURP adalah gejala-gejala
sedang sampai berat, volume prostat <90 g dan pasien cukup sehat untuk
menjalani operasi. Komplikasi TURP jangka pendek adalah perdarahan, infeksi,
hiponatremia, atau retensi karena bekuan darah. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah striktur uretra, ejakulasi retrogarad, atau impotensi.
2. TUIP
Bila volume prostat tidak teralu besar ( 30 gram/kurang ) atau ditemukan
kontraktur leher vesika atau prostat fibrotik dapat dilakukan TUIP. Indikasi TUIP
adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/ kecil.
Komplikasinya ejakulasi retrograd.
3. Prostatektomi
a. Prostatektomi Supra pubis
adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Yaitu
suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar prostat diangkat
dari atas.
b. Prostatektomi Perineal
adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara ini
lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk biopsi
terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung,
drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal,
hemostatik di bawah penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden
syok lebih rendah, serta ideal bagi pasien dengan prostat yang besar, resiko
bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih. Pada pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dengan rektal.
Lebih jauh lagi inkontinensia, impotensi, atau cedera rectal dapat mungkin
terjadi dari cara ini. Kerugian lain adalah kemungkinan kerusakan pada
rectum dan spingter eksternal serta bidang operatif terbatas.
c. Prostatektomi retropubik
adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan suprapubik
dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara
arkus pubis dan kandung kemih tanpa tanpa memasuki kandung kemih.
Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak tinggi dalam pubis.
Meskipun darah yang keluar dapat dikontrol dengan baik dan letak bedah
labih mudah untuk dilihat, infeksi dapat cepat terjadi dalam ruang retropubis.
Kelemahan lainnya adalah tidak dapat mengobati penyakit kandung kemih
yang berkaitan serta insiden hemorargi akibat pleksus venosa prostat
meningkat juga osteitis pubis. Keuntungan yang lain adalah periode
pemulihan lebih singkat serta kerusakan spingter kandung kemih lebih
sedikit.
4. Terapi invasif minimal
Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Dilatasi Balon Transuretral (TUBD)
High-intensity Focused Ultrasound
Ablasi Jarum Transuretra (TUNA)
Stent Prostat
PEMBAHASAN
I. Mengapa pasien ini didiagnosa dengan Benign Hyperplasia Prostate (BPH)?
Pasien ini didiagnosa dengan Benign Hyperplasia Prostate (BPH) karena:
a.Dari anamnesis:
o Keluhan tidak bisa BAK sejak ± 2 hari SMRS.
o Pasien mulai merasakan gangguan BAK sejak ±3 bulan SMRS.
o Saat ingin BAK pasien harus mengedan dan menunggu lama baru air
kencingnya keluar.
o Air kencing berwarna kuning jernih dengan pancaran lemah namun tidak
bercabang dan kadang berhenti kemudian keluar lagi.
o Setelah BAK kadang ada air kencing yang menetes dan pasien sering
merasa BAK nya tidak tuntas dengan frekuensi kencing yang sering satu
kali tiap satu jam.
b. Dari pemeriksaan fisik:
o Regio Supra Simfisis:
VU : teraba
Nyeri tekan : -
o Regio Genitalia Eksterna:
T.a.k, terpasang kateter
jumlah urin ± 200 ml warna kuning jernih
o Rectal Toucher : tidak dilakukan
c.Dari pemeriksaan penunjang:
o Kontrol dengan membawa hasil USG Prostat
Hasil
Prostat : Ukuran membesar 6.31 x 6.35 x 5.73 cm, parenkhim
homogen, tidak tampak massa, tampak kalsifikasi.
VU : Kurang terisi penuh, dinding tampak menebal, irreguler,
samar tampak benjolan berbentuk kantung yang berhubungan
dengan dinding bagian posterior.
Kesan
Pembesaran kelenjar prostat (Volume ± 120ml)
Cystitis kronis dengan suspek divertikel buli
II. Faktor resiko apa saja yang terdapat pada pasien ini?
Faktor resiko yang dominan pada pasien ini untuk terjadinya BPH adalah
bertambahnya usia yaitu 82 tahun.
III. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada pasien ini?
Komplikasi yang terjadi pada pasien ini adalah Cystitis kronis dengan suspek
divertikel buli
IV. Terapi apa yang dilakukan?
Tujuan terapi medikamentosa adalah (1) mengurangi resistensi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergik alfa, dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen statik
dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/ dihirotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α –reduktase.
Pada pasien ini tidak diberikan terapi medikamentosa berupa penghambat
adrenergik alfa dan penghambat 5 α –reduktase, karena secara klinis efektivitas obat
masih diragukan serta ukuran prostat yang terlalu besar membuat pengobatan secara
medikamentosa kurang bermakna.
Terapi yang sebaik dilakukan adalah terapi bedah dengan cara Protatektomi
Perineal. Prostatektomi Perineal adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam
perineum. Cara ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk
biopsi terbuka. Keuntungan yang lain memberikan pendekatan anatomis langsung,
drainage oleh bantuan gravitasi, efektif untuk terapi kanker radikal, hemostatik di bawah
penglihatan langsung,angka mortalitas rendah, insiden syok lebih rendah, serta ideal bagi
pasien dengan prostat yang besar, resiko bedah buruk bagi pasien sangat tua dan ringkih.
Akan tetapi pada pasien ini tidak dilakukan terapi bedah karena pasien menolak
dengan alasan umur yang sudah tua.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki B. Hiperplasia prostat dalam: Dasar – dasar urologi., Edisi ke – 2.
Jakarta: Sagung Seto. 2003. p. 69 – 85
2. De Jong W, Sjamsuhidajat R, Buka Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta EGC,
1997 hal 1059-64
3. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. Schwart’z Principles of surgery. 8 th Edition.
Sngapore : The McGraw-hill Companies.Inc.2005
4. Ramon p,Setiono, Rona, Buku Ilmu Bedah Fakultas kedokteran Universitas
Padjajaran ; 2002 ;203-207
5. Sabiston, David Sabiston : Buku Ajar Bedah. Alih Bahasa : Petrus. Timan. EGC.
1994.
6. Sapardan Subroto. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
7. Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada
University Press, 1992.
8. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In :Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s
urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1998.p.1429-52.
9. Mansjoer A, Kapita Selekta Kedokeran, Edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius, 2000
hal 329-34
10. Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah
Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.