case report BPH

30
I. IDENTITAS UMUM Nama : Tn E Umur : 69 tahun Diagnosa : Retensi Urine ec. BPH Tindakan : Operasi TURP A. ANAMNESA Seorang pria, 69 tahun sejak 1 bulan SMRS mengeluh BAK lemah, sering, sedikit-sedikit, terutama pada malam hari yang disertai dengan tenaga mengedan.. Satu minggu SMRS sama sekali tidak bisa BAK, sehingga harus dipasang catheter di RSHS. Riwayat asma, alergi obat, hipertensi, paru disangkal. Pasien sebelumnya tidak mengetahui adanya penyakit jantung. B. PEMERIKSAAN FISIK Kesadaran Komposmentis , aktifitas biasa T 120/80 mmHg N: 68 x/mnt RR: 20x/mnt S:36,5 oC Kepala: Konjunctiva tak anemi, sclera tak ikterik Pupil bulat isochor Leher : JVP tak meninggi, KGB tak membesar Thoraks: Bentuk dan gerak simetris Cor dan Pulmo dbn 1

description

case report

Transcript of case report BPH

LAPORAN KASUS

PAGE 19

I. IDENTITAS UMUM

Nama: Tn E

Umur: 69 tahun

Diagnosa: Retensi Urine ec. BPH

Tindakan: Operasi TURP

A. ANAMNESASeorang pria, 69 tahun sejak 1 bulan SMRS mengeluh BAK lemah, sering, sedikit-sedikit, terutama pada malam hari yang disertai dengan tenaga mengedan.. Satu minggu SMRS sama sekali tidak bisa BAK, sehingga harus dipasang catheter di RSHS.

Riwayat asma, alergi obat, hipertensi, paru disangkal. Pasien sebelumnya tidak mengetahui adanya penyakit jantung.B. PEMERIKSAAN FISIKKesadaran Komposmentis , aktifitas biasaT 120/80 mmHg N: 68 x/mnt RR: 20x/mnt S:36,5 oC

Kepala: Konjunctiva tak anemi, sclera tak ikterik

Pupil bulat isochor

Leher : JVP tak meninggi, KGB tak membesar

Thoraks: Bentuk dan gerak simetris

Cor dan Pulmo dbn

Abdomen: datar dan lembut

H/L tak teraba , BU + normal

Extremitas: cyanosis -/-

Edema -/-Status Urologis : ginjal kiri-kanan tak teraba, nyeri ketok -/-, buli-buli kosong, terpasang foley catheter efektif, pada rectal tuse teraba massa prostate 40-60 gram kenyal , simetris.

C. LABORATORIUM DAN PENUNJANGHb: 13,0 gr% L: 5500 Ht: 41 Tr: 178.000Ureum/Kreatinin: 21/0,8 Na/K: 136/4,5 GDs 77 BT/CT : 2/4Urine rutine : eritrosit + , leukosit +

Ro Thoraks: pembesaran jantung tanpa bendungan paru

EKG: OMI anteroseptalTFP : retriksi ringanUSG : menunjang adanya hipertropi prostate 50 grD. DIAGNOSA

Retensi urine ec. BPHF. KONSUL ANESTESI

Jawaban konsul anestesi:

Prinsif setuju tindakan anestesi, saran :

- Puasa 6 jam pre op

- Sedia darah

Pasien ini ASA IIII. PERMASALAHAN1.Geriatra2.OMI anteroseptal

3. LVH

4.Tes fungsi paru restriktif ringan

III. PROSEDUR ANESTESI

1.Blokade Regional dengan teknik spinal (subarachnoid)

2.Setelah dipasang IV line, monitor dan oksigen kanul 2,5 liter/menit, pasien diloading cairan dengan NaCL 0,9% 500 cc dan koloid 250 cc.

3.Pasien dengan posisi duduk, marker dimana akan dilakukan tusukan, aseptic- antiseptic, dilakukan tusukan pada lokasi Lumbal 3-4, analgesi setinggi segmen thorakal 8.4.Anestesi lokal bupivacain/marcaine konsentrasi 0,5% hyperbaric, jumlah 2,5 cc . Waktu mulai suntikan jam 08.35; analgesi jam 08.45; operasi mulai jam 08.50 WIB.

5.Letak penderita lithotomi.

6.Medikasi diberikan midazolam 2,5 mg. Cairan yang digunakan NaCl 0,9% 1 abu, koloid 1 labu dan RL 1 labu.

7.Lama operasi 1 jam, jumlah perdarahan 300 cc, tekanan darah berkisar 100-110 mmHg/ 60-80 mmHg, Nadi 60-80 x/menit, respirasi 12-16 x/menit.

8.Keadaan pasca operasi : CM, T 110/70 mmHg, Nadi 88x/mnt, RR 12x/mnt, obesrvasi KU, TNRS dan diuresis, pasien tidak puasa, tirah baring 1x24 jam, infuse NaCl 0,9% 20 gtt/mnt, cek HB post operasi bila kurang dari 10 gr% transfusi.IV. TINJAUAN PUSTAKABPH

BPH (Benign Prostatic Hyperplasia), merupakan tumor jinak yang paling sering terjadi pada pria, terjadi peningkatan pertumbuhan kelenjar prostat sehubungan dengan meningkatnya umur. Prostat merupakan suatu kelenjar berbentuk segitiga, yang melingkupi uretra di dasar vesika urinaria. Karena posisi anatomis ini, pembesaran dari prostat akan menekan uretra bagian proksimal.

TURP (Transurethral resection of the Prostat)

TURP merupakan terapi primer dari gejala BPH. Tindakan ini diawali dengan sistoskopi untuk menentukan kelainan yang ada dan mengetahui ukuran dari kelenjar prostat. Resectoscope merupakan suatu alat khusus dengan memiliki elektrode yang dapat memotong dan mengkoagulasi jaringan, dapat dimasukkan ke dalam vesika urinaria melalui sistoskop yang dimodifikasi, kemudian jaringan prostat yang menghalangi uretra pars prostatika di reseksi. Irigasi kontinyu di daerah vesika urinaria dan uretra prostatika memungkinkan lapangan operasi yang jelas, dan untuk mengeluarkan jaringan yang direseksi dan darah.

Kelenjar prostat merupakan suatu jaringan yang kaya pembuluh darah sinus vena, yang terbuka saat reseksi prostat dilakukan. Jika tekanan cairan irigasi selama tindakan TURP melebihi tekanan di vena, terjadi absorpsi cairan irigasi ke dalam intravaskular melalui sinus sinus vena yang terbuka ini. Kebutuhan akan irigasi cairan yang besar selama tindakan TURP dengan potensi terjadinya absorpsi dari cairan ini dapat menimbulkan suatu komplikasi yang serius.

Cairan irigasi yang ideal untuk digunakan selama TURP adalah yang isotonis dan nonhemolitik jika diabsorpsi. Juga tidak bersifat elektrolitik karena penggunaan alat elektrik, transparan untuk memungkinkan pandangan yang jelas untuk operator, tidak dimetabolisme, tidak toksik, diekskresi cepat dan tidak mahal. Terdapat beberapa jenis cairan irigasi, tetapi sebagian besar bersifat hipoosmolar (osmolaliti serum normal antara 280 300 mOsm/L) dan bersifat asam (pH antara 4,5 6,5).

Air destilasi merupakan cairan irigasi yang digunakan para urologis pada akhir akhir ini. Hal ini karena air destilasi bersifat nonkonduktif dan tidak mengganggu lapangan operasi. Tetapi karena memiliki tonisitas yang rendah, bila diabsorpsi masif kedalam intravaskular dapat menyebabkan hemolisis, hemoglobinemia, dan gagal ginjal. Absorpsi cairan ini dalam jumlah besar juga dapat menyebabkan dilusional hiponatremi. Emmet dkk menunjukkan penurunan 75% angka mortalitas saat memberikan cairan pengganti yang bersifat nonhemolitik dibandingkan terhadap air destilasi. Selain itu juga air destilasi digunakan untuk tindakan tindakan transurethra yang tidak menimbulkan terbukanya vena sinus dan tidak berhubungan dengan absorpsi cairan irigasi (contohnya sistoskopi ).

Larutan seperti sorbitol, manitol, glisin, urea, dan glukosa telah ditambahkan ke air, untuk membuat osmolalitasnya mendekati plasma. Sangat penting bagi seorang anestesiologis untuk mengetahui jenis cairan irigasi yang digunakan selama tindakan endoskopi, karena absorpsi dari cairan irigasi ini dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi perioperatif. Urea tidak lama digunakan sebagai cairan irigan, karena dapat menembus bebas ke ruang ekstraselular dan intraselular dan menyebabkan peningkatan dari konsentrasi urea darah. Larutan elektrolit seperti Ringer Laktat atau NaCl tidak akan menyebabkan imbalance elektrolit bila diabsorpsi, tetapi tidak dapat digunakan dengan peralatan elektrokauter karena terionisasi dan dapat mengkonduksi arus listrik. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa, dan penggunaan zat ini dapat menimbulkan hiperglikemi. Sorbitol juga dikonversi menjadi laktat, sehingga dapat menyebabkan asidosis sistemik, atau dapat menimbulkan diuresis osmotik dan menimbulkan keadaan dehidrasi dan hiperosmolar. Larutan glukosa memiliki komplikasi yang mirip seperti sorbitol.

Glisin merupakan suatu asam amino nonesensial yang normal berada dalam sirkulasi. Dimetabolisme di hati, dengan cara Deaminasi oksidatif menjadi amonia dan asam glikolik. Depresi status mental dan koma sekunder akibat hiperammonia telah dilaporkan terjadi setelah tindakan TURP menggunakan glisin sebagai cairan irigasi. Tingkat Amonia darah setinggi 834 1000 uM/L ( Normal 11 35 uM/L) pernah didapatkan, walaupun depresi sistem syaraf pusat ini terjadi transien dan pasien pulih dalam 24 48 jam. Peneliti lain telah mengobservasi terjadinya hiperoksaluri yang berhubungan dengan penggunaan glisin. Hiperoksaluria menyebabkan pasien berada dalam keadaan resiko terjadinya deposisi Kalsium oksalat di ginjal jika pemberian cairan maintenan tidak diberikan dengan baik pada periode postoperatif. Gangguan penglihatan, termasuk pandangan yang kabur dan kebutaan transien, telah dilaporkan terjadi setelah penggunaan glisin sebagai cairan irigasi. Hilangnya penglihatan setelah tindakan TURP dianggap terjadi sekunder akibat edema serebral akibat hipervolemi dan hiponatremi yang terjadi akibat absorpsi cairan irigasi. Walaupun terjadi mekanisme sentral akibat edema serebral yang menimbulkan gangguan penglihatan ini, pasien memiliki refleks pupil terhadap cahaya yang normal. Jika didapatkan pasien dengan kebutaan setelah TURP dan dengan pupil yang nonreaktif, kemungkinan disebabkan dari kelainan gangguan di jalur depan mata dibandingkan akibat edema serebral. Glisin bekerja sebagai neurotransmiter inhibitor di otak, medula spinalis, dan retina. Peningkatan glisin serum dapat meningkatkan aksi inhibisi di retina dan menyebabkan kebutaan transien sesuai dengan gambaran klinis dari pasien. Tampaknya gangguan penglihatan yang timbul setelah TURP dapat disebabkan lebih dari satu penyebab.

Manitol merupakan suatu diuretik osmotik, kadang digunakan sebagai cairan irigasi, dapat menyebabkan dehidrasi dan hiperosmolalitas jika diabsorpsi dalam jumlah yang banyak ke dalam sirkulasi. Selain itu juga dapat terjadi ekspansi cairan intravaskular jika manitol diabsorpsi.

TEKNIK ANESTESIRegional anestesi direkomendasikan sebagai tehnik anestesi pada TURP dan digunakan > 70% tindakan TURP di Amerika Serikat. Tehnik anestesi ini memungkinkan pasien tetap awake, sehingga dapat memfasilitasi diagnosis dini terjadinya sindrom TUR atau ekstravasasi cairan irigasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya penurunan kejadian perdarahan jika dilakukan dalam regional anestesi, sementara dari penelitian lain tidak menemukan perbedaan berarti jika digunakan regional anestesi atau dengan anestesi umum.

Penggunaan regional anestesi yang bekerja lama dibandingkan dengan anestesi umum untuk pasien TURP juga berhubungan dengan perbaikan dalam pengendalian nyeri postoperatif dan menurunkan pemberian obat nyeri postoperatif. Bowman dkk menemukan bahwa hanya 15% pasien yang dilakukan spinal anestesi saat TURP memerlukan obat anti nyeri selain asetaminofen, dan jika dengan anestesi umum kebutuhan obat anti nyeri postoperatif meningkat empat kali lipat.

Sebuah penelitian prospektif yang membandingkan efek anestesi umum dengan regional anestesi terhadap fungsi kognitif mendapatkan hasil yang signifikan adanya penurunan status mental pada kedua grup selama 6 jam setelah tindakan, tetapi tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam 30 hari pertama setelah operasi. Ghoneim dkk menemukan bahwa tipe anestesi (anestesi umum atau regional anestesi) tidak mempengaruhi perilaku postoperatif pasien yang mengalami prostatektomi, histerektomi atau perbaikan sendi.

Morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien dengan umur yang lebih dari 90 tahun tidak dipengaruhi oleh jenis anestesi yang digunakan. Penelitian tentang kejadian iskemi miokardial perioperatif pada pasien yang menjalani operasi transurethral dinilai dengan monitor Holter, mendapatkan bahwa insidensi dan durasi iskemi miokardial meningkat selama tindakan TUR tetapi tidak berbeda hasilnya apakah dilakukan dengan regional anestesi atau anestesi umum. Penelitian yang kedua menunjukkan bahwa terjadinya silent iskemi miokardial tidak berhubungan dengan outcome pada pasien yang menjalani operasi TURP. Sehingga TURP dapat dilakukan dengan aman dengan kedua tehnik ini, dan perencanaan anestesi sebaiknya disesuaikan dengan keadaan inividual masing masing pasien.

Jika anestesi regional digunakan, ketinggian dermatom segmen torakal 10 cukup baik untuk memblok nyeri akibat distensi vesika urinaria oleh cairan irigasi. Dan jika vesika urinaria tidak diisi penuh ketinggian pada S3 dapat digunakan pada 25% dari pasien. Anestesi spinal lebih sering digunakan dibandingkan dengan anestesi epidural lumbal, karena dengan anestesi epidural lumbal segmen sakral kadang tidak terblok dengan adekwat. Jika yang dipilih tehnik regional, perlu juga diwaspadai adanya metastase kanker ke vertebra lumbal yang merupakan kontra indikasi untuk anestesi regional.

Anestesi lokal dapat juga digunakan untuk memfasilitasi TURP, pada pasien denga ukuran kelenjar prostat yang kecil sampai sedang. Tehnik ini adalah dengan cara menginfiltrasikan 1 3 ml obat anestesi lokal (0,25% bupivacain, 1% lidocain) ke leher vesika urinaria dan bagian lateral kelenjar prostat untuk memblok pleksus syaraf hipogastrika inferior, melalui suntikan transurethral dari lokal anestesi sampai ke kelenjar di sepanjang urethra pars prostatika. Dengan tehnik anestesi ini operator dapat mengeluarkan sebagian kecil jaringan prostat dengan rasa kurang nyaman yang minimal pada pasien. Hal ini dilaporkan sulit dilakukan pada pasien dengan ukuran kelenjar yang besar, dan disarankan digunakan pada pasien dengan resiko tinggi yang tidak dapat dilakukan tindakan anestesi regional atau umum.

PREOPERATIFKondisi kardiovaskular pasien perlu diperiksa secara lengkap selain pemeriksaan organ lainnya. Pemeriksaan EKG dan rontgen thoraks dilakukan untuk mengetahui kemungkinan adanya iskemi atau infark miokardial, dan kemungkinan kongestif heart failure. Jika pasien memiliki keluhan dan gejala yang mengarah adanya suatu kelainan kardiovaskular, pemeriksaan yang lebih lengkap tentang kapasitas jantung sebaiknya dilakukan.

Obat obatan antihipertensi dan antiangina sebaiknya dilanjutkan sampai mendekati hari operasi, untuk menghindari terjadinya rebound hipertensi dan angina akibat penghentian mendadak obat obatan ini.

Pasien dengan kelainan jantung iskemik diberikan sedasi untuk mencegah takikardi dan hipertensi karena kecemasan, yang dapat menambah terjadinya iskemi miokardial. Dapat diberikan lorazepam 0,5 1 mg oral, memberikan efek sedasi yang cukup tanpa mengakibatkan depresi sistem kardiopulmonar.

DURANTE OPMonitor yang harus digunakan dalam memonitor pasien ini meliputi :

EKG kontinyu.

Tekanan darah otomatis noninvasif

Kateter Swan-Ganz : khusus pada pasien dengan gangguan disfungsi ventrikel kiri dan hipertensi pulmonar.

CVP : jika pasien memiliki fungsi ventrikel kiri yang baik

Termometer

End Tidal CO2, jika dilakukan dalam anestesi umum.

Pulse oksimeteri.

Tehnik anestesi regional merupakan tehnik yang sebaiknya dipilih, karena memiliki keuntungan :

1. Memungkinkan monitoring perubahan mental pasien dan tanda tanda sindrom TURP.

2. Menyebabkan vasodilatasi dan pooling darah di perifer sehingga mengurangi beratnya overload di sirkulasi.

3. Mengurangi perdarahan.4. Memungkinkan analgesia postoperatif, dan mengurangi insidensi hipertensi dan takikardi saat rekoveri dibandingkan dengan anestesi umum. Absorpsi yang cepat dari larutan irigasi dalam jumlah besar dapat menyebabkan Sindrom TURP. Merupakan suatu gejala adanya peningkatan cairan intravaskular dengan efek dari perubahan osmolalitas. Perlu mendapatkan intervensi segera jika didapatkan tanda tanda selama monitoring dilakukan. Ditandai adanya :

a. Kardiopulmonar :

Hipertensi

- Bradikardi

Disritmi

- Distress pernafasan

Sianosis

- Hipotensi

Syok

- Kematian

b. Ginjal dan hematologis : - Hiperglisinemi

- Hiperammonemi

- Hiponatremi

- Hipoosmolalitas

- Hemolisis/anemi

- Gagal ginjal akut

Kematian

c. Sistem syaraf Pusat :

Mual / muntah

- Bingung / gelisah

Kebutaan

- Ticks / kejang

Letargis / paralise

- Koma

Dilatasi / nonreaktif pupil - Kematian

Sindrom TURP dapat terjadi beberapa menit operasi baru dimulai atau beberapa jam setelah operasi selesai. Pasien mengeluh pusing, sakit kepala, mual, sesak nafas, nafas dangkal. Kemudian menjadi gelisah dan mengalami penurunan kesadaran. Dapat terjadi peningkatan tekanan darah yang diikuti penurunan tekanan darah disertai nadi, yang bila tidak cepat diintervensi dapat menimbulkan kardiak arrest.

Komplikasi komplikasi lain yang mungkin timbul dalam periode intraoperatif harus diketahui dini untuk memudahkan ketepatan pengambilan keputusan intervensi.

POST OPERASIPemeriksaan terhadap pasien pada periode operatif semaksimal mungkin dilakukan dengan memperhatikan kelainan medis lain yang didertita pasien. Meliputi anamnesa gejala yang mungkin berhubungan dengan sindrom TURP dan komplikasi lain, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium penunjang untuk kepentingan diagnosa dini terjadinya sindrom TURP dan komplikasi lainnya.SINDROMA TURPSindrom TURP (Sindrom intoksikasi air) merupakan suatu kumpulan gejala adanya gangguan neurologi dan Kardiopulmonal yang terjadi akibat absorpsi cairan irigasi >=2 L selama tindakan TUR, khususnya TURP. Bagian yang penting dari sindrom ini adanya distres pernafasan yang sekunder akibat ekspansi volume dari absorpsi cairan irigasi ke intravaskular yang cepat, Dilusi elektrolit dan protein akibat cairan irigasi yang bebas elekttrolit, dan gejala yang berhubungan dengan tipe dari cairan irigasi.

Jumlah cairan irigasi yang diabsorpsi berbanding lurus dengan jumlah dan ukuran vena vena yang terbuka, Lamanya tindakan reseksi, Tekanan hidrostatik cairan irigasi, dan tekanan vena di permukaan irigan dengan darah. Untuk mencegah absorpsi yang banyak dari cairan irigan, disarankan lamanya reseksi dibatasi < 1 jam, dan tinggi dari kantung cairan irigasi tidak lebih dari 30 cm di atas meja operasi saat awal reseksi , dan tidak lebih dari 15 cm pada saat akhir tindakan. Dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan cairan irigasi yang dilabel dengan etanol, dapat melakukan penilaian yang akurat jumlah cairan yang diabsorpsi selama TURP. Dengan metode ini, jumlah etanol yang dicampurkan dengan cairan irigasi dan yang kemudian diabsorpsi, dideteksi dengan mengukur konsentrasi etanol dalam udara ekspirasi pasien. Konsentrasi etanol dalam udara ekspirasi pasien merupakan refleksi dari tingkat absorpsi dari cairan irigasi. Jika didapatkan kadar etanolnya tinggi, operator diberi tahu dan operasi dihentikan.

Manifestasi klinis dari Sindrom TURP bervariasi dari gejala yang ringan (gelisah, mual, nafas pendek, pusing), sampai berat (kejang, koma, hipertensi, bradikardi atau kolaps kardiovaskular). Pada pasien yang awake dengan blok regional, Gejala trias klasik dari sindrom ini adalah peningkatan tekanan sistolik atau diastolik akibat peningkatan laju nadi, bradikardi dan perubahan status mental. Selama tindakan dengan anestesi umum, banyak tanda dan gejala sindrom ini tertutupi sehingga membuat diagnosa sindrom ini pada pasien dengan anestesi umum lebih sulit. Tanda awal hipertensi dan bradikardi merupakan hasil dari overload volume yang akut dan dapat menyebabkan kegagalan jantung kiri, edema pulmonar, dan kolaps kardiovaskular. Jika absorpsi cairan irigasi yang bebas elektrolit ini berlanjut, dapat terjadi hiponatremi dilusional dan edema serebral. Penurunan yang akut dari kadar Natrium serum merupakan penyebab berbagai tanda dan gejala yang timbul dari sindrom TURP ini.

Kadar Natrium serum 120 Meq/L menyebabkan terjadinya gejala sistem syaraf pusat akibat edema dan disfungsi sel neuron. Perubahan menjadi gelisah dan bingung berkembang terus sehingga dapat terjadi kejang dan koma jika terjadi penurunan terus dari kadar natrium serum.Hiponatremi juga mengganggu sistem elektrofisiologi dari sel sel jantung. Perubahan eletktrokardiografiterlihat saat kadar Natrium serum kurang dari 115 Meq/L dan dapat terjadi kardiak arrest jika berada pada nilai mendekati 100 Meq/L. Kadar < 100 mEq/L juga dapat menyebabkan hemolisis intravaskular yang akut.Perubahan yang cepat dari kadar Natrium serum ini mempunyai pengaruh yang sangat jelek dibandingkan dengan penurunan kadar natrium yang bersifat kronis. Hiponatremi akut dari sindrom TURP dapat memperlambat dan mencegah bangun dari anestesi umum.

Gejala yang timbul akibat absorpsi larutan irigasi yang spesifik dapat memperberat gejala dari sindrom TURP ini. Misalnya jika jumlah besar glisin diabsorpsi, dapat terjadi ensefalopati akibat sekunder peningkatan kadar amonia darah. Dan bila digunakan sorbitol dapat menimbulkan keadaan hiperglikemi dan koma, khususnya pada pasien yang memiliki riwayat diabetes.

Intervensi yang cepat penting dilakukan jika komplikasi neurologis dan kardiovaskular diketahui.

Tindakan Untuk Mengatasi Sindroma TURP Suport oksigen dan sirkulasi

Beritahu operator dan hentikan tindakan secepatnya

Pertimbangkan pemasangan monitor invasif jika terjadi ketidakstabilan kardiovaskular

Periksa elektrolit, kreatinin, glukosa dan anlisa gas darah

Pasang EKG 12 Lead

Terapi gejala ringan (konsentrasi Na >120 Meq/L) dengan pembatasan cairan dan loop diuretik (furosemid)

Terapi gejala yang berat (Konsentrasi Na < 120 Meq/L) dengan NaCl 3% IV dengan kecepatan 120 Meq/L.Oksigenasi, ventilasi dan support sirkulasi dari pasien diberikan dan kondisi kondisi yang mungkin diterapi dan dapat menjadi penyebab seperti koma diabetik, hiperkarbi atau interaksi obat harus difikirkan. Operator harus diberitahu adanya perubahan dari status pasien sehingga tindakan dapat dihentikan secepat mungkin. Secepatnya dilakukan pemeriksaan elektrolit darah, kreatinin, glukosa dan analisa gas darah. Beratnya gejala yang timbul menentukan tindakan yang harus diambil akibat keadaan hiponatremi. Jika gejalanya ringan, dan diperkirakan kadar Natrium > 120 mEq/L, tindakan restriksi cairan dan penggunaan loop diuretik seperti furosemid dapat mengembalikan kadar Natrium kembali normal. Terapi menggunakan NaCl hipertonis dilakukan jika terjadi lesi demielinisasi sistem syaraf pusat akibat peningkatan osmolalitas plasma yang cepat dan didapatkan gejala yang berat dan mengancam jiwa. Larutan NaCl 3 % diberikan per infus dengan kecepatan tidak melebihi 100 ml/jam dan dihentikan secepatnya jika didapatkan kadar Na serum telah lebih dari 120 mEq/L. Jika hal ini telah terjadi, terapi dilanjutkan dengan pembatasan cairan dan pemberian loop diuretik. Peningkatan Na serum sebaiknya tidak melebihi 12 mEq/L dalam waktu 24 jam. Kejang yang terjadi diterminasi menggunakan midazolam 2 4 mg, diazepam 3 5 mg atau tiopental 50 100 mg. Fenitoin 10 20 mg/kg intravena tidak lebih dari 50 mg permenit.

KOMPLIKASI TURPPerdarahan akibat tindakan TURP berasal dari sinus sinus vena yang terbuka atau berasal dari tempat perdarahan arteri yang tidak jelas. Perkiraan perdarahan selama TURP sulit untuk dinilai karena darah bercampur dengan sebagian besar cairan irigasi. Secara umum perdarahan yang terjadi selama dilakukan reseksi sekitar 2 -4 ml/menit dan sebanding dengan jumlah jaringan prostat yang direseksi. Karena perdarahan jumlah perdarahan sulit dinilai, untuk menentukan kapan diperlukan tindakan tranfusi selain pemeriksaan tanda vital pasien perlu diperiksa hemoglobin serial dan tingkat hematokrit. Insidensi tranfusi intraoperatif dari TURP sampai 2,5%, sehingga pemeriksaan golongan darah preoperatif perlu dilakukan.

Perdarahan abnormal setelah TURP terjadi < 1%. Hal ini sering terjadi jika TURP dilakukan pada pasien yang disebabkan karena kanker prostat dan mungkin disebabkan karena adanya pelepasan tromboplastin, yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada sel kanker prostat, dan > 6 % mengalami DIC subklinis. Trombogenik stimulus ini dapat menyebabkan terjadinya disseminated intravascular coagulation (DIC) yang difase awal terjadi hiperkoagubilitas dan sekunder diikuti dengan terjadinya fibrinolisis. Pembentukan fibrin yang berlanjut ini dan fibrinolisis akan menyebabkan perdarahan akibat berkurangnya faktor faktor koagulasi dan platelet. Tindakan untuk mengatasi hal ini bersifat suportif, termasuk dengan memberikan transfusi plasma dan platelet untuk mengganti faktor faktor yang kurang. Penyebab lain dari perdarahan postoperatifsetelah TURP adalah akibat adanya pelepasan tisue plasminogen activator dari prostat. Faktor ini mengaktivasi sistem koagulasi dan mengubah plasminogen menjadi plasmin, yang akhirnya menyebabkan fibrinolisis. Walaupun faktanya perdarahan yang banyak setelah TURP tidak selalu berhubungan langsung dengan tingkat terjadinya fibrinolisis, salah satu tindakan adalah dengan memberikan aminocaproic acid, suatu inhibitor fibrinolisis. Pemberian aminocaproic acid yang disarankan adalah 4 5 gr diinfuskan selama 1 jam diikuti dengan infus lanjutan sebesar 1 gr/jam selama 8 jam sampai perdarahan teratasi.

Perforasi dari kapsel prostat terjadi 1 2 % dari seluruh pasien yang dilakukan TURP, menyebabkan ekstravasasi cairan ke ekstraperitoneal. Komplikasi ini lebih sering terjadi pada tindakan TURB (transurethral resection of the bladder. Hal ini disebabkan karena tertembusnya dinding vasika urinaria oleh resectoscope atau dari over distensi VU karena cairan irigasi. Gejala yang timbul mual, diaforesis dan nyeri retropubik atau abdomen bawah. Perforasi ekstraperitoneal dan intraperitoneal yang besar ditandai oleh adanya hipotensi / hipertensi akut yang tidak diketahui penyebabnya disertai nyeri perut menyeluruh pada pasien awake. Pada pasien dengan anestesi umum disertai dengan adanya tanda tanda bradikardi sebagai efek Vagal.

Terjadinya demam saat perioperatif diduga akibat bakteremia sekunder akibat penyebaran bakteri melalui sinus sinus vena yang terbuka akibat TURP dan adanya kontak dengan kateter urine. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya septikemi dan syok septik. Pasien diberi antibiotik profilaksis sebelum tindakan operatif (biasanya gentamisin atau cephazolin), dan dilanjutkan 2 3 hari setelah kateter dicabut. Resiko terjadinya ini meningkat bila digunakan irigasi dengan tekanan yang tinggi selama tindakan, dan secara signifikan berkurang insidensinya jika dipertahankan tekanan irigasi