Case Ortho Pak Eri

31
BAB I TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki. Fraktur ankle itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula) dan/atau maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai fraktur Pott. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi pergelangan kaki hanya terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah dimengerti bila terjadi gerakan- gerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi pada daerah pergelangan kaki. Bagian-

Transcript of Case Ortho Pak Eri

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah yang

digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini

biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau

akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada

sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki.

Fraktur ankle itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula)

dan/atau maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan

penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis

yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai

fraktur Pott.

Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami

kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi pergelangan kaki hanya

terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka mudah

dimengerti bila terjadi gerakan-gerakan di luar bidang tersebut, dapat menyebabkan fraktur

atau fraktur dislokasi pada daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian yang sering

menimbulkan fraktur dan fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi, endorotasi atau

eksorotasi.

II. ANATOMI

Fraktur ankle didefinisikan oleh Sir Pervical Pott pada tahun 1768, sebagai fraktur

fibula yang disertai dengan kerusakan deltoid. Fraktur bimaleolus didefinisikan oleh

Dupuytren pada tahun 1819 sebagai fraktur ankle tipe supinasi-eversi. Maison-neuve pada

tahun 1840 menjelaskan adanya fraktur spiral pada bagian proksimal fibula, yang

disebabkan oleh rotasi eksternal. Tillaux pada tahun 1872 menemukan terjadinya fraktur

avulse dari insersi tibia ke anterior tibiofibular ligament. Semuanya ini menjadi eponym

tipe tertentu dari fraktur ankle.

Penanganan dan biomekanika fraktur ankle masih menjadi masalah, walaupun telah

ada berbagai publikasi klasifikasi dan makalah. Tujuan akhir penanganan fraktur ankle

adalah memperoleh posisi anatomi ankle mortice dan ankle joint yang stabil, mobile, dan

bebas nyeri. Injuri ankle sangat sering terjadi dan bisa melibatkan struktur tulang serta

ligament. Tingkat keparahan trauma bervariasi dari ankle sprain sampai unstable

bi/trimalleolar fracture, pilon, dan open ankle fractures/ dislocations.

Ankle merupakan modified hinge joint yang terdiri dari tiga tulang (tibia, fibula, dan

talus), serta ligamen-ligamen yang mempersatukan tulang-tulang tersebut. Stabilitas

talocrural ankle joint ditentukan oleh elemen osseus dan ligament yang kuat. Lateral

collateral ligament terdiri dari tiga komponen: anterior talofibular ligament (ATFL),

calcaneofibular ligament (CFL), dan posterior talofibular ligament (PTFL), sementara itu

medial deltoid ligament terdiri dari bagian superficial dan profundus (bagian yang lebih

kuat) yang merupakan medial stabilizers ankle joint.

Ujung distal fibula berada di tibial groove, diperkuat oleh tibiofibular ligament dan

diberi nama syndesmosis. Bagian yang kompleks ini terdiri dari sekelompok ligament-

anteroinferior dan posteroinferior tibiofibular ligament dan yang paling kuat, interosseus

ligament yang merupakan bagian interosseus membrane yang paling tebal. Di sekitar ankle

joint ada 11 tendon dan elemen neurovaskulernya. Tidak ada perlekatan otot atau active

stabilizers, sehingga stabilitas sendi hanya tergantung pada struktur konfigurasi tulang dan

capsuloligament.

Biomekanika

Ligament dan tendon yang berada di sekitar ankle joint memperkuat stabilitas sendi

demikian pula coupled motion pada sagital plane dan lebih sedikit pada frontal plane.

Pergerakan ankle memiliki rentang antara 150 sampai dengan 320 dorsiflexion sampai 15-

300 plantarflexion. Untuk langkah normal hanya diperlukan 100 dorsiflexion dan 200

plantarflexion. Juga ada beberapa pergerakan fibula pada bagian distal tibiofibular joint.

Ankle merupakan weight bearing joint (sendi yang digunakan untuk menyangga berat

badan) yang dapat menahan beban sampai dengan lima kali lipat berat badan selama

berjalan dan berlari. Fibula bisa menahan seperenam berat badan. Fungsi ankle tergantung

pada pemeliharaan hubungan anatomi yang normal antara semua elemen ini, terutama

integritas syndemosis.

Dengan demikian, ankle injuries yang menurunkan tibiotalar contact area akan

menyebabkan peningkatan contact pressure, rasa nyeri pada sendi, dan meningkatkan

degenerasi. Hal ini sering dijumpai pada syndemotic dan bipolar injuries, dengan talar

displacement dimana ankle joint inkongruen dan rentan terhadap terjadinya perubahan

arthritis tanpa penanganan yang adekuat.

Peran struktur ankle yang berbeda telah diteliti secara luas dan kesimpulannya

primary stabilizer pada ankle joint adalah lateral fibular complex dan talus. Tibiofibular

dysfunction menyebabkan talar displacement yang hebat dan berhubungan dengan

perubahan degeneratif.

Ankle ligament injuries sering terjadi (terutama anterior talofibular ligament) dan jika

terjadi bersamaan dengan fraktur ankle, maka waktu penyembuhan akan menjadi lebih

lama. Dengan demikian, jika nyeri tetap ada untuk waktu yang lama setelah terjadinya

penyembuhan fraktur, maka hal ini mungkin terjadi akibat instabilitas sendi, reactive

synositis atau kompresi saraf. Ankle injuries yang samar-samar (hampir tidak terlihat

secara radiografi) seperti fraktur osteochondral atau chondral bisa menimbulkan rasa nyeri.

Maka dalam hal ini disarankan untuk melakukan magnetic resonance imaging (MRI).

Gambar 1. Anatomi Pergelangan Kaki

III. KLASIFIKASI

Dengan adanya penelitian mengenai fraktur ankle selama beberapa dekade, maka ada

banyak klasifikasi yang melibatkan mekanisme injuri dan pola fraktur. Klasifikasi yang

paling sering digunakan adalah Lauge-Hansen dan Weber. Klasifikasi Weber lebih mudah

digunakan secara klinis, namun terlalu sederhana sehingga tidak bisa menjelaskan

mekanisme injuri/fraktur ankle yang kompleks. Kombinasi kedua klasifikasi ini lebih

disukai karena ahli bedah akan bisa menetapkan hubungan antara radiografi fraktur,

mekanisme injuri dan metode penanganan yang optimal.

Klasifikasi Lauge – Hansen

Saat ini, klasifikasi yang paling bisa diterima adalah yang dibuat oleh Lauge-Hansen

pada tahun 1948. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan percobaan, gambaran klinis dan

radiografi dan menunjukkan bahwa tipe fraktur tergantung pada posisi foot dan arah gaya

saat terjadinya injuri. Pemahaman klasifikasi Lauge-Hansen merupakan dasar bagi

penanganan fraktur ankle secara rasional.

Istilah klasifikasi Lauge-Hansen, yang dibuat berdasarkan penelitian dengan

menggunakan cadaver, saat ini dimodifikasi untuk alasan semantik. Eversi foot diubah

dengan istilah external rotation, yang menekankan mekanisme utama fraktur ankle berupa

rotasi yang berlebihan dan posisi talus pada ankle mortice, pada saat injury. Ada lima

kelompok utama fraktur ankle (tabel 1).

Klasifikasi Danis-Weber

Klasifikasi Danis-Weber dibuat berdasarkan tingkat fraktur lateral/fibula, tingkat

kerusakan syndesmosis tibiofibular, dan kemungkinan instabilitas talus (ankle).

Berdasarkan system Danis-Weber, setiap tipe fraktur bisa dihubungkan dengan tipe injuri

yang sesuai dengan klasifikasi Lauge-Hansen (Tabel 2).

Pada fraktur tipe A, terjadi fraktur fibula transversal di bawah joint line, dengan

syndemosis yang intak, dan fraktur tipe ini berhubungan dengan fraktur supinasi-aduksi

Lauge-Hansen.

Fraktur tipe B berupa fraktur pada tingkat ankle joint line, disertai dengan partial

syndemosis injury. Fraktur ini sesuai dengan supination-eversion injury pada klasifikasi

Lauge-Hansen.

Tipe C merupakan fraktur fibula di bagian proksimal tibiofibular joint yang

berhubungan dengan kerusakan syndesnmosis. Ada dua subtype fraktur yang diketahui:

diaphysis (Dupuytren) dan proksimal (Maisonnevue). Fraktur tipe ini sesuai dengan fraktur

pronation-eversion atau pronation-abduction Lauge-Hansen. Fraktur ini memiliki

instabilitas yang paling lemah. Weber mengabaikan bagian medial ankle joint dan

menekankan syndemosis fibula dan tibiofibular.

Segi penting klasifikasi apapun tergantung pada kemampuannya untuk dipraktekkan

secara klinis. Harus ditunjukkan struktur mana yang mengalami kerusakan dan bagian

mana yang harus diperbaiki, bahkan walaupun bagian tersebut tidak terlihat pada X-ray

(lesi ligament).

Yang tidak boleh dilupakan adalah ankle sprain yang merupakan injuri yang paling

sering ditemukan pada ankle, namun injuri ini tidak dibahas pada artikel mengenai fraktur

ankle. Sebagian besar ankle sprain terjadi akibat foot inversion dan injuri terletak pada

lateral ligament complex. Sebagian besar ankle sprain, termasuk grade III, bisa ditangani

dengan gips (cast immobilization).

IV. MEKANISME CEDERA

Pola terjadinya cedera pada pergelangan kaki tergantung dari banyak faktor termasuk

usia pasien, kualitas dari tulang itu sendiri, posisi kaki saat terjadi cedera, arah, dan

besarnya gaya yang harus ditanggung. Menurut Lauge-Hansen, pengaruh pola cedera yang

berhubungan dengan posisi kaki saat cedera dideskripsikan lebih dulu dan arah dari gaya

yang dihasilkan dideskripsikan kemudian. Gaya yang terbentuk pada saat cedera

pergelangan kaki adalah adduksi, abduksi, exorotasi, dan penahanan beban vertikal.

Pronasi dan supinasi adalah posisi kaki selama berotasi di sekeliling aksis dari sendi

subtalaris. Adduksi dan abduksi adalah gaya yang terbentuk pada saat rotasi talus di

sekeliling aksis panjangnya, sementara endorotasi dan exorotasi adalah gerakan rotasional

sekeliling aksis vertikal dari tibia. Mekanisme cedera ini dideskripsikan dengan berbagai

terminologi di bawah ini.

Supinasi-Adduksi

Bersamaan dengan supinasi kaki, struktur lateral menegang. Supinasi berlanjut dan

gaya adduksi dapat menyebabkan ruptur dari ligamentum collateralis atau avulsi

ligamentum-ligamentum dari tempat perlekatannya dengan tulang pada distal fibula, yang

menyebabkan terkilirnya pergelangan kaki. Fibula distal dapat teravulsi menghasilkan

fraktur melintang di bawah level ligamentum syndesmosis yang masih intak. Adduksi yang

lebih jauh membawa talus ke arah medial dari sendi, menghasilkan fraktur vertikal pada

maleolus medialis dan seringkali fraktur impaksi dari permukaan artikulasi medialis tibia.

Gaya ini juga dapat mengakibatkan impaksi atau fraktur osteokondral pada talus atau

cedera pada permukaan artikulasinya.

Supinasi-Exorotasi

Saat kaki berexorotasi atau kaki berendorotasi pada kaki yang supinasi, struktur

lateral dan ligamentum syndesmosis anterior menegang. Sindesmosis anterior biasanya

cedera dengan ruptur ligamen atau avulsi dari tempat insersio tulangnya. Exorotasi

menghasilkan fraktur spiral dari fibula, yang berjalan anteroinferior ke posterosuperior.

Fraktur dapat dimulai di bagian bawah, tepat, atau di atas tempat melekat dari ligamentum

tibiofibularis anterior pada tuberkulum anterior dari fibula. Bila fraktur mulai di bawah

tuberkulum anterior dari fibula, ligamentum tibiofibularis anterior akan tetap utuh. Fraktur

berjalan oblik melalui permukaan artikulasi superior dari fibula. Yang paling umum,

fraktur dimulai pada atau di atas level tuberkulum anterior dan sindesmosis anterior

sebagian atau seluruhnya mengalami disrupsi.

Walaupun jarang, pola supinasi-exorotasi bisa ada pada fraktur fibula yang muncul di

atas level sindesmosis dengan disrupsi dari kedua sindesmosis dan membrana interoseus.

Dengan gaya yang berkelanjutan, talus yang berotasi dapat memberikan tekanan pada

sindesmosis posterior mengakibatkan ruptur ligamentum tibiofibularis posterior atau lebih

umum avulsi dari tuberkulum posterior lateralis. Pada beberapa kasus fraktur fibula dapat

mendekompresi struktur-struktur ini sehingga gaya pada talus diarahkan ke medial dan

tidak ada cedera posterior yang terjadi.

Pada akhirnya, bila terjadi gaya yang cukup besar, terdapat tension pada struktur

medial yang berakibat fraktur avulsi dari maleolus medialis atau ruptur ligamentum

deltoidea. Dengan cedera medial ini, talus bebas untuk bergeser ke lateral.

Pronasi-Abduksi

Pada pronasi, struktur-struktur medial menegang dan mengalami cedera untuk

pertama kalinya. Akan terjadi fraktur avulsi dari maleolus medialis atau ruptur ligamentum

deltoidea. Gaya abduksi kemudian akan menyebabkan ruptur ligamentum syndesmosis atau

avulsi dari tulang tempat melekatnya ligamentum-ligamentum tersebut.

Gaya lateral yang berlanjut dari fraktur talus pada sisi fibula tepat pada atau di atas

level dari sindesmosis dan ruptur membrana interoseus bisa terjadi pada fraktur ini. Fraktur

ini merupakan akibat dari pembengkokan dan antara fraktur oblik atau melintang sebagian

dengan kominusi lateral atau pembentukan buterfly fragment. Pola fraktur fibula ini

menandakan adanya cedera medial yang berhubungan.

Pronasi-Exorotasi

Cedera terjadi pada sisi medial terlebih dahulu. Exorotasi kemudian berakibat pada

ruptur dari ligamentum tibiofibularis anterior atau pada tempat insersio tulangnya, diikuti

fraktur fibula pada level yang sama atau di atas sindesmosis.

Fraktur fibula berbentuk spiral tapi berjalan anterosuperior ke posteroinferior dan

membrana interoseus ruptur pada level fraktur fibula. Dengan rotasi yang berlanjut,

sindesmosis posterior mengalami cedera dengan ruptur ligamen atau fracture avulsi dari

tibia posterolateralis.

Fraktur proximal dari fibula (tipe Maisonneuve) merupakan akibat dari exorotasi.

Ada beberapa variasi pada pola fraktur fibula, yang mencerminkan tipe cedera supinasi-

eksorotasi atau pronasi-exorotasi. Kaki bahkan dapat bergerak dari pronasi relatif ke

supinasi selama cedera timbul.

Titik beban vertikal (Vertical Loading)

Titik beban vertikal mengarahkan talus ke tibia distal. Posisi dari kaki dan kecepatan

penahanan beban mempengaruhi pola cedera yang dapat berkisar dari fraktur terisolasi dari

permukaan anterior atau posterior tibia ke fraktur kompleks, intra artikular dari tibia distal

(fracture pilon).

Dari semua pola cedera di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak kombinasi

cedera tulang dan ligamen. Posisi kaki mempengaruhi lokasi dari derajat inisial cedera

tersebut. Supinasi dari kaki menegangkan struktur lateral. Pronasi kaki menegangkan

struktur medial. Pada sisi lateral, adduksi mengakibatkan cedera pada ligamentum

collateralis lateralis atau avulsi dari fibula distal.

Abduksi diakibatkan oleh fraktur tension, sering dengan kominusi, sementara

exorotasi menghasilkan fraktur spiral yang khas. Cedera pada ligamentum syndesmosis

harus dicurigai ketika terjadi fraktur fibula pada atau di atas level sindesmosis.

Cedera pada sisi medial disebabkan oleh trauma langsung dari talus atau dari tahanan

saat talus berotasi atau bergerak ke lateral mengikuti fibula. Beberapa kombinasi mungkin

terjadi: Ligamentum deltoidea profunda dapat robek. Kolikulus anterior dapat mengalami

avulsi oleh ligamentum deltoidea superfisialis sedangkan ligamentum deltoidea profunda

bisa ruptur atau intak.

Fraktur dari maleolus posterior disebabkan oleh abduksi atau exorotasi, dislokasi

poterior dari talus, titik beban vertikal, atau kombinasi dari gaya-gaya ini. Pada abduksi

atau exorotasi, ligamentum tibiofibularis posterior berada di bawah tekanan dan dapat

ruptur atau lebih umum mengalami avulsi pada sudut posterolateral tibia (segitiga

Volkmann). Maleolus posterior atau posteromedial dapat mengalami fraktur oleh trauma

langsung talus saat berotasi. Disrupsi syndesmosis dapat terjadi akibat exorotasi atau

abduksi. Ligamentum yang terlibat akan ruptur atau mengalami avulsi dari insersionya

pada tulang. Pada cedera yang lebih berat, bagian dari membrana interoseus dapat robek

secara distal atau proximal dan dapat terjadi fractureproximal fibula.Mekanisme ini terjadi

pada sebagian besar cedera pergelangan kaki.

V. DIAGNOSIS

Diagnosis fraktur ankle ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

gambaran radiologis. Pada anamnesis harus ditanyakan mengenai mekanisme injuri,

keadaan medis sebelumnya, dan kegiatan fisik (kebutuhan fungsional pergerakan ankle)

yang merupakan faktor yang paling penting untuk mengambil keputusan metode

penanganan apa yang akan diambil. Mekanisme injuri yang paling sering pada sebagian

besar kasus adalah jatuh. Pemeriksaan fisik mengidentifikasi kasus urgen, open fractures,

gangguan neurovaskuler, dan tanda-tanda terdapatnya sindrom kompartemen. Nyeri tekan

lokal dan stabilitas ankle seharusnya diperiksa. Gambaran radiologis penting untuk

menentukan struktur mana yang mengalami injuri, dan menentukan rencana terapi,

konfirmasi kualitas reduction dan evaluasi hasil penanganan.

Pemeriksaan X-ray awal meliputi tiga proyeksi: anterior-posterior, lateral, dan

mortice view dengan posisi foot internal rotation 150. Kadang-kadang diperlukan

penekanan gambaran radiografi untuk mencari instabilitas lateral atau medial. Three

dimensional computed tomography (3DCT) berguna untuk fraktur pilon. MRI juga berguna

untuk mendeteksi lesi ankle chondral, tendon atau ligamen.

VI. TATALAKSANA

1) Penatalaksanaan non-operatif

a) Reduksi tertutup dan pemasangan cast

Reduksi akurat dari fragment intra-artikular .Pemasangan cast membuat

observasi pembengkakan dan keadaan kulit menjadi tidak memungkinkan, dan

tergeser kembalinya fragmen yang telah direduksi sering terjadi. Pengobatan

dengan cara ini diindikasikan untuk fracture tanpa pergeseran (undisplaced) atau

pada pasien yang tidak dapat banyak bergerak.

b) Traksi

Pergerakan awal dan rehabilitasi sendi.Manajemen dengan traksi mempunyai

syarat bahwa pasien harus tetap di tempat tidur sampai terdapat bukti bahwa union

sudah terjadi.Biasanya minimum 6 minggu. Traksi juga dapat digunakan secara

inisial pada fracture-fracture yang telah direncanakan untuk operasi namun harus

ditunda karena status jaringan lunaknya.Pada kasus-kasus semacam ini efek

ligamentoaxis dari traksi calcaneus dapat menghasilkan reduksi yang cukup dan

mempertahankan panjang sampai intervensi bedah dapat dilakukan dengan aman.

Distraksi dari fraktur menggunakan traksi calcaneus dapat menyebabkan

alignment yang memuaskan bila bagian sentral dari permukaan artikular tidak

remuk dan terimpaksi. Traksi membuat akses langsung dan elevasi kaki

memungkinkan dan dapat dikombinasikan dengan pergerakan awal dan rehabilitasi

sendi.Manajemen dengan traksi mempunyai syarat bahwa pasien harus tetap di

tempat tidur sampai terdapat bukti bahwa union sudah terjadi.Biasanya minimum 6

minggu.

Traksi juga dapat digunakan secara inisial pada fracture-fracture yang telah

direncanakan untuk operasi namun harus ditunda karena status jaringan

lunaknya.Pada kasus-kasus semacam ini efek ligamentoaxis dari traksi calcaneus

dapat menghasilkan reduksi yang cukup dan mempertahankan panjang sampai

intervensi bedah dapat dilakukan dengan aman.

2) Penatalaksanaan operatif

a) Reduksi terbuka dan fiksasi internal (Open Reduction and Internal Fixation)

Tujuan dari pembedahan dijabarkan oleh Ruedi dan Allgower sebagai berikut:

1) Mempertahankan panjang dan stabilitas fibula

2) Memulihkan permukaan sendi tibia

3) Memulihkan kerusakan yang terjadi pada tulang

4) Memperkuat bagian medial tibia

Dalam mengobati fraktur Pilon tibia, banyak cara pembedahan yang dapat

dipilih. Tetapi pengobatan fraktur harus selalu mempertimbangkan kepekaan

jaringan lunak dan manajemen setiap kasus fraktur harus disesuaikan tergantung

status jaringan lunaknya. Penekanan pada reduksi anatomis dari plafon tibia dengan

restorasi permukaan sendi secara umum merupakan tujuan utama pengobatan.

Estimasi derajat osteoporosis dan kominusi harus dipertimbangkan karena kualitas

tulang yang buruk akan menghambat stabilisasi bedah.

Insisi posterolateral digunakan untuk fiksasi fibula. Suatu insisi anteromedial

1 cm medial tendon tibia anterior melengkung ke arah maleolus medialis digunakan

untuk memperbaiki plafon tibia dan metafisis tibia. Care harus digunakan untuk

menguatkan jaringan lunak dan tendon anterior. Care juga harus digunakan untuk

mempertahankan skin bridge 8cm untuk mencegah nekrosis kulit anterior dan

hancurnya luka, terutama pada insisi medial.

Ada 4 prinsip dasar yang dideskripsikan oleh Ruedi sebagai berikut:

1) Langkah pertama adalah reduksi dan stabilisasi fibula. Langkah ini

mengembalikan panjang dan sindesmosis permukaan artikular lateral dan dapat

digunakan sebagai titik referensi rekonstruksi selanjutnya. Teknik reduksi

indirek atau penggunaan distraktor femoral berguna pada fase ini.

2) Permukaan artikular tibia distal kemudian direstorasi secara anatomis dan

distabilkan dengan multiple K-wires. Konfirmasi radiologik dan visual dari

reduksi artikular harus dilakukan.

3) Dilakukan pemasangan implant untuk menstabilkan tibia distal. Pemilihan

implan yang digunakan tergantung dari konfigurasi fraktur. Lag screws

digunakan untuk mengkompresi fragment fraktur. Butress plate digunakan

untuk pada bagian medial untuk mencegah kolaps.

4) Langkah terakhir melibatkan penggunaan transplantasi tulang fibrosa untuk

memperbaiki defek metafisis. Care harus diambil untuk mencegah

devascularisasi tibia anterior. Kemudian splinting dengan Jones type dressing

dengan suplemental plaster, aplikasi kantong es, dan elevasi extremitas

digunakan segera setelah operasi. Latihan pergerakan dimulai segera setelah

dapat ditoleransi oleh pasien, tapi pemberian beban ditunda sampai fracture

telah menyatu biasanya 3-4 bulan post operatif.

b) Fiksasi external

Pada pasien dengan kerusakan jaringan lunak yang signifikan atau pada fracture

terbuka, fixatorexternal dapat digunakan sebagai portable traction device mula-mula.

Reduksi dapat dilakukan dengan distraksi dan ligamentoaxis. Fixatorexternal dapat

digunakan untuk mengobati fracture sampai jaringan lunak membaik dan dapat dilakukan

terapi operatif. Dapat pula digunakan sebagai terapi definitif bila suatu reduksi yang

adekuat dapat dicapai atau terapi operatif lebih jauh dikontraindiikasikan.

Fixatorexternal dapat juga digunakan sebagai penguat medial (medial buttress).

Pada situasi ini, fixatorexternal menggantikan medial buttress plate tapi mengurangi

pentingnya diseksi jaringan lunak dalam jumlah besar. Prinsip dari reduksi terbuka dan

fixasiexternal digunakan dengan reduksi fibula dan restorasi panjang yang dilakukan

terlebih dahulu. Permukaan sendi tibia dapat direduksi secara anatomis dan difixasi

dengan screws. Suatu fixatorexternal diganti dengan plate setelahnya atau tetap dipasang

sebagai terapi definitif. Defek metafiseal apapun yang terjadi dapat ditangani dengan

transplantasi pada waktu operasi dimulai. Dapat juga dilakukan kemudian, terutama bila

fixatorexternalakan diganti dengan plate.

Variasi cara penggunaan fixator atau pin sirkular kecil telah banyak dipakai.

Manuver reduksi ditingkatkan dengan pin kecil untuk mengembalikan permukaan sendi

dan mempertahankan stabilitas tulang. Teknik ini terutama berguna bila luka terbuka

dikontraindikasikan dengan penggunaan fixator internal apapun. Setiap kali

fixatorexternal digunakan, perhatian khusus harus diberikan untuk pin calcaneus untuk

distraksi dari sendi tibiotalaris. Pada pasien yang pergerakan ankle-nya

dikontraindikasikan, sendi dapat didistraksi dan dipertahankan dengan pin calcaneus. Pin

tersebut dapat membantu mengurangi kekakuan sendi.

VII. KOMPLIKASI

a. Komplikasi jangka pendek

Biasanya diakibatkan oleh status cedera jaringan lunak, juga penanganan jaringan

saat pembedahan. Hematoma, kulit yang rusak dan nekrosis jembatan jaringan akan

mempengaruhi penyembuhan luka. Terpaparnya jaringan lunak karena jaringan yang

menutupinya hilang dapat membuat masalah infeksi seperti osteomielitis selain juga

menghambat penyembuhan luka.

Penggunaan penutupan kulit sekunder ketika kehilangan jaringan lunak ataupun

devascularisasi jaringan lunak muncul bisa dipertimbangkan. Cedera terbuka, crush

necrosis, degloving injuries dapat mengakibatkan nekrosis jaringan lunak jangka

panjang, infeksi, non union, atau delayed union

b. Komplikasi jangka panjang

Termasuk osteomielitis,delayed union, malunion, dan non union dari fracture.

Walaupun angka kejadian non union telah berkurang dengan manajemen jaringan

lunak yang baik, transplantasi tulang, dan teknik fixasi yang baik, delayed union masih

sering ditemukan. Malunion sering terjadi terutama pada reduksi fracture non anatomis

atau hilangnya metafisis medial dengan teknik buttressing yang inadekuat. Osteotomi

untuk mengkoreksi malalignment dapat dilakukan kemudian setelah union telah

dicapai, tapi terapi inisial dari medial buttress selama penyembuhan fracture dapat

meminimalisasi malalignment.

Artritis traumatik sering terjadi ketika ada kerusakan artikular yang

signifikan.Kerusakan kartilago artikular tidak boleh diabaikan walaupun rekonstruksi

anatomis telah dilakukan karena artritis traumatik degeneratif dapat terjadi sebagai

sekuelae. Arthrodesis telah diterima secara umum sebagai pengobatan alternatif untuk

masalah ini.

BAB II

LAPORAN KASUS

ANAMNESIS

Identitas

Nama : Tn. S

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 31 tahun

MR : 360215

Seorang pasien laki-laki, 31 tahun datang ke IGD RSAM pada tanggal 25 September

dengan keluhan nyeri dan luka pada pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu post

kecelakaan lalu lintas.

Primary Survei :

A : Clear

B : Spontan, nafas 24x/menit

C : Tekanan darah : 110/70 mmHg, Nadi : 88x/menit, Refilling kapiler <2 detik,

D : Alert, GCS 15

Secondary Survei :

- Nyeri dan luka pada pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu post kecelakaan

lalu lintas.

- Awalnya pasien sedang mengendarai mobil, tiba-tiba mobil yang dikendarainya

menabrak tembok dan pasien mengerem mobilnya dengan kuat lalu berusaha keluar

dari pintu mobilnya.

- Pasien tetap sadar setelah kejadian.

- Mual (-) muntah (-)

-

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Composmentis/ GCS: 15 (E4V5M6)

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 92x/menit, irama teratur

Nafas : 23x/menit, reguler

Suhu : 36,30C

Kepala : Normochepali

Mata : Konjungtiva tidak anemis

Sklera tidak ikterik

Thorak : Dalam batas normal

Abdomen :

Inspeksi : Distensi (-),

Palpasi : Supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), massa (-),

Hepar dan lien dalam batas normal

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Status Lokalis

Regio ankle joint dextra

Look : Luka (+) dengan ukuran 8x5x5 cm, tepi tidak beraturan, dasar tulang

deformitas (+)

Feel : Nyeri tekan (+), refilling kapiler < 2 detik

Movement : ROM terbatas karena nyeri

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium (24/09/2013)

Hemoglobin : 14,3 g/dl

Hematokrit : 39,9 %

Leukosit : 15000/mm3

Trombosit : 238.000/mm3

2. Pemeriksaan Rontgen

DIAGNOSIS

Open fraktur ankle joint dextra Lange Hansen supination adduction (maleolus lateral and medial)

TATALAKSANA

Awasi tanda vital

IVFD Ringer Laktat

Tetagam 1 amp

Antinyeri : Ketorolac 2 x1 amp

Antibiotik profilaksis : Gentamycin 2x500mg

Persiapan pre operative

Operative

o Debridemant luka

o Reposisi : Pemasangan ORIF pada # maleolus

PROGNOSIS

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

BAB III

DISKUSI

Pada pasien ini didapatkan data Tn. S usia 31 tahun mengalami nyeri dan luka pada

pergelangan kaki kanan sejak 2 jam yang lalu setelah kecelakaan lalu lintas. Awalnya pasien

sedang mengendarai mobil, tiba-tiba mobil yang dikendarainya menabrak tembok dan pasien

mengerem mobilnya dengan kuat lalu berusaha keluar dari pintu mobilnya.

Dari anamnesis didapatkan pasien tetap sadar setelah kejadian, sakit kepala tidak ada,

mual dan muntah tidak ada. Hasil anamnesis tersebut menunjukkan pasien tidak mengalami

cedera kepala akibat kecelakaan yang dialaminya. Pasien mengeluh nyeri pada pergelangan kaki

kanan dan sulit untuk digerakkan karena terbatas nyeri. Hal ini dikarenakan daerah tersebut

terdapat kerusakan jaringan karena terjadi diskontinuitas pada tulang sehingga menimbulkan

nyeri.

Dari pemeriksaan fisik pada regio ankle joint dekstra didapatkan luka dengan ukuran

8x5x5 cm dengan tepi tidak beraturan dan memiliki dasar tulang. Pada inspeksi juga ditemukan

deformitas akibat fraktur dan kerusakan jaringan lunak di sekitarnya. Pada palpasi didapatkan

nyeri tekan positif pada daerah sekitar luka. Dan didapatkan refilling kapiler <2 detik yang

artinya masih dalam batas normal. Dari pemeriksaan ini sudah dapat disimpulkan adanya fraktur.

Namun untuk memastikan frakturnya maka dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto

rontgen.

Dari pemeriksaan foto rontgen didapatkan fraktur terbuka pada regio ankle join dekstra

(maleolus medial dan lateral) dengan alignment dan aposisi buruk. Fraktur dislokasi pada ankle

merupakan fraktur intra-artikuler sehingga diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta

mobilisasi sendi yang sesegera mungkin.

Pada pasien ini direncanakan untuk penatalaksanaan secara operatif dengan ORIF (open

reduction internal fixation), namun sebelumnya dilakukan debridement pada luka pasien untuk

membersihkan pinggir-pinggir luka yang kotor. ORIF dipilih karena pada pasien sudah terdapat

luka yang cukup besar dan tidak memungkinkan lagi untuk direduksi secara tertutup.