Case GER: Dizziness

46
DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I PENDAHULUAN 2 BAB II SKENARIO KASUS 3 BAB III PEMBAHASAN 6 A. Identitas Pasien 6 B. Analisis Masalah dan Hipotesis 6 C. Anamnesis 7 D. Pemeriksaan Fisik 10 E. Pemeriksaan Penunjang 11 F. Diagnosis 12 G. Patogenesis Kasus 13 H. Tatalaksana 15 I. Prognosis 16 1

description

please use wisely

Transcript of Case GER: Dizziness

Page 1: Case GER: Dizziness

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 1

BAB I PENDAHULUAN 2

BAB II SKENARIO KASUS 3

BAB III PEMBAHASAN 6

A. Identitas Pasien 6

B. Analisis Masalah dan Hipotesis 6

C. Anamnesis 7

D. Pemeriksaan Fisik 10

E. Pemeriksaan Penunjang 11

F. Diagnosis 12

G. Patogenesis Kasus 13

H. Tatalaksana 15

I. Prognosis 16

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindrom Dekondisi (Deconditioning Syndrome) 18

B. Dizziness

BAB V KESIMPULAN 29

BAB VI DAFTAR PUSTAKA 30

1

Page 2: Case GER: Dizziness

BAB I

PENDAHULUAN

Tutorial kasus I sesi 1 mengenai seorang wanita usia lanjut sejak satu minggu ini mengalami

problem tidur. Tutorial sesi 1 dilaksanakan pada hari Jumat,30 November 2012 pukul 10.00-

12.00 WIB dengan :

Tutor : Dr. Lenny Gunawan

Ketua : Ade Laksono

Sekretaris : Disa Edralyn

Tutorial berjalan dengan lancar. Peserta membahas masalah, dasar masalah, anamnesis, dan

hipotesis berdasarkan keluhan-keluhan pasien.

Tutorial kasus I sesi 2 dilaksanakan pada hari Kamis, 3 Desember 2012 pukul 13.00-15.00

WIB dengan:

Tutor : Dr. Lenny Gunawan

Ketua : Disa Edralyn

Sekretaris : Jesika Wulandari

Tutorial berjalan dengan tertib dan lancar. Peserta tutorial membahas masalah yang dialami

pasien, pemeriksaan anjuran, pemeriksaan fisik, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis bagi

kasus pasien.

2

Page 3: Case GER: Dizziness

BAB II

SKENARIO KASUS

Keluhan Utama

Seorang ibu berusia 62 tahun diantar anaknya ke dokter dengan keluhan pusing keleyengan sejak

2 minggu terakhir.

Riwayat Penyakit Sekarang

Seingat pasien sejak kurang lebih 1 tahun lalu, pasien sering merasa nyeri dan kaku pada

tengkuknya. Nyeri terutama dirasakan di sebelah kanan , hilang timbul, kadang nyeri terasa

sampai kepala. Nyeri terutama dirasakan jika pasien banayak aktivitas. Bila istirahat, nyeri

biasanya berkurang. Akhir- akhir ini pasien sering merasa pusing keleyengan. Saat berdiri dan

berjalan tidak terasa stabil. Rasa berputar disangkal. Pasien kemudian pergi ke dokter saraf dan

diberikan beberapa macam obat. Bila minum obat tersebut pasien merasa mengantuk sehingga

lebih banyak berbaring, namun rasa pusingnya berkurang. Pasien pernah jatuh saat mau buang

air kecil di kamar mandi, tapi tidak menimbulkan keluhan berarti. Setelah beberapa kali berobat,

pasien dirujuk ke rehabilitasi medik. Saat ini dari duduk ke berdiri pasien membutuhkan

pertolongan, jalan perlu diawasi karena terasa tidak stabil, kadang- kadang mengompol, naik dan

turun tangga perlu pertolongan. Aktivitas lainnya masih mandiri.

Riwayat Penyakit Dahulu

Sejak kurang lebih 4 tahun lalu, pasien berobat ke dokter saraf karena menderita stres. Pasien

ditipu oleh rekan bisnisnya sehingga rugi milyaran rupiah. Pasien kemudian menjual rumahnya

di jakarta dan pindah ke Bekasi. Saat itu pasien tidak nafsu makan, lemas, sulit tidur, banyak

bengong dan menangis. Pasien juga beberapa kali dirujuk ke dokter jiwa dan mendapatkan

pengobatan dan konseling. Setelah kurang lebih satu tahun, pasien mulai bisa menerima

keadaannya. Tapi semenjak itu pasien mulai menunjukkan perubahan di mana gerakannya

3

Page 4: Case GER: Dizziness

melambat, tidak secepat biasanya, dan wajah tanpa ekspresi. Kadang- kadang timbul gerakan

spontan pada tangan kanan. Gerakan tersebut menghilang saat pasien bergerak. Pasien kemudian

dibawa ke dokter saraf dan diberi obat, di antaranya levodopa dan amlodipin. Keluhan pasien

kemudian berkurang.

Riwayat Keluarga

Tidak ada keluarga yang mederita penyakit seperti pasien. Kakak lelaki pasien menderita darah

tinggi dan stroke.

Riwayat Kebiasaan

Beberapa tahun terakhir, aktivitas pasien sangat berkurang. Pasien lebih banyak berbaring di

tempat tidur dan nonton siaran televisi yang disukai. Gerak pasien juga lebih lambat, lemah, dan

tidak stabil sehingga harus didampingi seorang pembantu. Akhir- akhir ini atas anjuran dokter

saraf pasien melakukan aktivitas jalan pagi selama 15 menit di sekeliling rumah.

Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien sudah pensiun dan tidak melanjutkan

wiraswasta lagi. Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anaknya yang paling kecil. Dari

suaminya pasien dikaruniai tiga orang anak. Anak pertama dan kedua sudah berumah tangga dan

tinggal di rumah sendiri. Suami pasien sudah pensiun. Saat ini pasien dan suaminya hidup dari

uang pensiun dan dari pemberian anak- anak yang sudah bekerja

Pemeriksaan Fisik

Kompos mentis, TD 130/70 mmHg, nadi 90x/m, RR 16x/m, suhu 36, 80C.

Paru: vesikuler, ronkhi -/-, Jantung: bunyi jantung I dan II murni, murmur –

Abdomen: supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus + normal

4

Page 5: Case GER: Dizziness

Wajah tampak tidak berekspresi, monoton, mulut terbuka. Postur tubuh kifotik, daerah torakal

deviasi ke arah kiri, lordosis servikal lebih dari normal, panggul kiri lebih tinggi dari panggul

kanan, panjang tungkai kiri dan kanan sama. Kelenturan (fleksibilitas) otot- otot kurang. Spasme

pada otot- otot leher dan punggung disertai nyeri tekan.

Perubahan posisi dari duduk ke berdiri lambat, harus berpegangan, jalan dengan langkah pendek-

pendek dan lambat, keseimbangan kurang( terutama ke depan dan kiri), ayunan tangan saat jalan

kurang, gerak ayunan kaki juga berkurang. Saat menggerakkan ekstremitas secara pasif terasa

adanya tahanan. Kekuatan otot baik.

5

Page 6: Case GER: Dizziness

PEMBAHASAN

A. Identitas Pasien

Nama : -

Usia : 62 tahun

Pekerjaan : pensiunan wiraswasta

Alamat : -

Agama : -

Suku bangsa : -

Status : menikah, suami masih hidup

Jumlah anak : 3 orang anak

B. Analisis Masalah dan Hipotesis

Berdasarkan skenario kasus, pusing dan keliyengan atau dizziness merupakan keluhan utama

yang terdapat pada pasien ini. Dizziness seringkali didefinisikan oleh pasien dengan cara yang

berbeda-beda, seperti pusing, keliyengan, berputar, perasaan seperti akan jatuh, perasaan seperti

akan pingsan (presyncopal sensation) yang diakibatkan karena hipoperfusi pada otak,

disequilibirium, atau imbalance.1

Hipoperfusi pada otak di mana aliran darah ke otak berkurang akan mengakibatkan sensasi

akan pingsan (presyncopal sensation) sampai dengan syncope. Normalnya, perfusi ke otak akan

terus dijaga dengan mempertahankan tekanan darah melalui berbagai respon tubuh. Pada jantung

penurunan tekanan darah oleh baroreseptor, yang terdapat di sinus karotikus dan sinus aortikus,

akan direspon dengan menurunkan impuls parasimpatis dan meningkatkan impuls simpatis

sehingga akan terjadi peningkatan cardiac outpout melalui efek inotropy, dromotropy,dan

6

Page 7: Case GER: Dizziness

chronotropy yang positif.2 Peningkatan impuls saraf simpatis juga akan mengakibatkan

terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang akan meingkatkan resistensi perifer, yang

pada akhirnya bersama dengan peningkatan cardiac output akan meningkatkan tekanan darah2.

Namun, bila mekanisme kerja ini gagal maka akan menimbulkan hioperfusi darah ke otak.

Gagalnya respon kerja ini mengindikasikan terjadinya disfungsi saraf autonom yang dapat

bersifat tiba-tiba dan sementara (neurally mediated syncope) atau menetap (ortostatic

hypotension). Ortostatic hypotension merupakan suatu manifestasi dari autonomic failure karena

proses neurodegenaritve baik pada sistem saraf sentral maupun perifer, seperti pada Parkinson

disease; atau karena neuropati pada saraf autonom perifer (secondary OH), seperti diabetic

neuropathy.3 Gangguan pada jantung, seperti cardiac dysarritmia, valvular heart disease; dan

gangguan pada paru seperti COPD, hipertensi pulmonal, emboli pulmonal; juga dapat

menimbulkan hal yang sama. Begitu juga efek obat-obatan yang menurunkkan resistensi perifer

atau menurunkan volume, seperti pada obat-obatan antihipertensi.

Disequilibirium. Organ yang mengalami gangguan pada disequlibirium adalah vestibulum. Lesi

yang terjadi bisa terdapat pada perifer, baik labirin maupun n. Vestibularis; maupun lesi central

dari jaras n. Vestibularis. Dizziness yang diakibatkan karena vestibular mempunyai ciri khas

yang spesifik, dan disebut juga vertigo.

Imbalance. Ketidakseimbangan non-vestibular (non-vestibular imbalance) seperti akibat

hilangnya proprioseptif sebagai akibat dari neurophaty; dan gangguan dalam berjalan (gait

disorder) seperti akibat Parkinsonism/Parkinson disease juga dapat meimbulkan dizziness.

Jadi, hipotesis pada pasien ini adalah ortostatic hypotension baik primer

(Parkinsonism/Parkinson disease) maupun sekunder (neuropathy saraf autonom perifer sebagai

komplikasi dari DM); gangguan jantung, seperti cardiac dysarritmia, valvular heart disease;

gangguan pulmonal, seperti COPD, hipertensi pulmonal, emboli pulmonal; gangguan vestibular;

gait disorder sebagai akibat dari Parkinsonism/Parkinson disease.

C. Anamnesis

7

Page 8: Case GER: Dizziness

Anamnesis dilakukan dengan cermat dan teliti dengan tujuan mencari comorbid yang ada

pada pasien ini, gangguan yang mendasari, proses perjalanan penyakit dan factor-faktor lain

yang ikut mempengaruhi perjalanan penyakit pasien, selain factor usia yang sudah lanjut.

Mengingat bahwa usia pasien sudah lanjut, dan bila keterangan dari pasien kurang dapat

dipercaya akibat adanya hendaya baik dalam berbahasa, pikiran maupun tingkah laku yang

timbul, maka perlu dilakukan alloanamnesis. Berikut pertanyaan yang dapat diajukan baik pada

autoanamnesis maupun alloanamnesis.

a. Autoanamnesis

Riwayat Gangguan Sekarang

1. Sejak kapan Ibu mengalami pusing keleyengan?

2. Bagaimana sifat pusingnya?

3. Apakah pusingnya disertai nyeri, terutama pada pagi hari? (tumor)

4. Apakah disertai bunyi berdengung? (infeksi)

5. Berapa lama serangan pusing berlangsung?

6. Apakah pusingnya bertambah berat dalam keadaan gelap? (obat)

7. Apakah mampu berjalan saat terjadi serangan? (disequilibrium)

8. Apakah ada perasaan hampir pingsan saat serangan berlangsung? (presinkop)

9. Adakah pandangan buram saat serangan berlangsung?

10. Apakah ada gejala lain selain pusing?

11. Apakah Ibu sedang ada masalah?

12. Apakah ada hal-hal yang menyebabkan timbulnya pusing?

13. Apakah sedang menderita penyakit lain?

14. Apakah sedang mengkonsumsi suatu obat tertentu?

15. Bagaimanakah aktivitas sehari-hari?

Riwayat Gangguan Dahulu

1. Apakah Ibu pernah mengalami masalah serupa sebelumnya?

2. Adakah hal-hal lain yang pernah Ibu derita?

3. Apakah sudah pernah berobat sebelumnya?

8

Page 9: Case GER: Dizziness

4. Bila, iya obat apakah itu?

5. Apakah Ibu pernah menghadapi masalah berat?

Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Apakah Ibu masih bekerja sekarang? Apa kegiatan Ibu sehari-hari?

2. Apakah Ibu masih berkomunikasi dengan teman-teman? (ditanyakan untuk mengtahui

hubungan sosial pasien)

3. Apakah Ibu tinggal bersama keluarga?

Riwayat Keluarga

1. Apakah ada keluarga yang menderita hal yang serupa?

b. Alloanamnesis

Riwayat Gangguan Sekarang

1. Apakah pasien sedang stress atau sedang menghadapi masalah?

2. Apakah pasien mengkonsumsi obat-obat tertentu? Bila iya, apakah dosisnya teratur?

3. Bagaimanakah lingkungan di sekitar pasien?

4. Adakah faktor-faktor yang membuat pasien menjadi pusing?

Riwayat Gangguan Dahulu

1. Apa sajakah masalah yang pernah terjadi pada pasien?

2. Pernahkah dirawat atau mengkonsumsi obat-obat tertentu sebelumnya?

Riwayat Kehidupan Pribadi

1. Bagaimana sifat dan sikap pasien sehari-hari?

2. Adakah perubahan sikap yang terjadi pada pasien?

3. Bagaimana sikap pasien dalam menghadapi menghadapi masalah?

9

Page 10: Case GER: Dizziness

4. Bagaimana aktivitas sehari-hari yang dilakukan pasien? Apakah pasien

membutuhkan pertolongan orang lain? (untuk menilai produktivitas pasien dalam

melakukan activities of daily living)

Riwayat Penyakit Keluarga

1. Apakah ada anggota keluarga mengalami masalah yang serupa dialami pasien?

D. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Kompos mentis → normal

Tekanan darah : 130/70 → normal

Nadi : 90x/menit → normal

Pernapasan : 16x/menit → normal

Suhu : 36,8◦C → normal

Paru : vesikuler, rongki -/- → normal

Jantung : bunyi jantung I dan II murni, murmur (-) → normal

Abdomen : supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus (+) → normal

Wajah nampak tidak berekspresi, monoton, mulut terbuka → kemungkinan karena

efek samping obat, yaitu gejala distonia akut dan parkinsonism.

Postur tubuh kifotik, daerah torakal deviasi ke kiri, lordosis servikal lebih dari normal →

Osteoporosis yang menyebabkan adanya fraktur patologis ada pasien ini.

10

Page 11: Case GER: Dizziness

Panggul kiri lebih tinggi dari kanan, panjang tungkai kanan dan kiri sama → kemungkinan

akibat riwayat pasien yang pernah jatuh dan tidak direposisi dengan benar.

Kelenturan (fleksibilitas) otot-otot kurang. Spasme pada otot-otot leher dan punggung

disertai nyeri tekan → kemungkinan karena postur tubuh pasien yang kurang baik karena

riwayat kebiasaan dan aktivitas pasien yang sangat kurang.

Perubahan posisi dari duduk ke berdiri lambat, harus berpegangan → curiga adanya

hipotensi orthostatik.

Jalan dengan langkah pendek-pendek dan lambat → gejala parkinson.

Keseimbangan kurang (terutama ke depan dan ke kiri) → disequilibrium dan kompensasi

dari postur tubuhnya yang kifotik dan daerah torakal yang deviasi ke arah kiri.

Ayunan tangan saat jalan kurang, gerak ayunan kaki juga berkurang → terjadi kekakuan

karena adanya proses degeneratif pada lansia.

Saat menggerakkan ekstremitas secara pasif terasa adanya tahanan → cogwheel

phenomenon

Kekuatan otot baik. → normal.

E. Pemeriksaan Penunjang

Geriatric depression scale: 9

Geriatric depression scale atau skor penapisan depresi dapat digunakan sebagai salah satu

pedoman diagnosis depresi pada lansia. Geriatric depression scale berisi pertanyaan-

pertanyaan yang dapat menggakbarkan bagaimana perasaan pasien satu minggu terakhir.

Skor 5-9 menunjukkan kemungkinan depresi dan skor lebih dari 10 menyatakan bahwa

pasien depresi.

11

Page 12: Case GER: Dizziness

MMSE (Mini Mental State Examination) : 25

MMSE adalah sebuah bentuk tes sederhana untuk menilai status mental pasien yang menilai

kemampuan orientasi, registrasi, atensi dan kalkulasi, recall atau mengingat kembali, bahasa

atau oenyebutan, konstruksi/visuospasial. Nilai MMSE 0-9 menandakan severe cognitive

impairment. Skor 10-20 menandakan moderate cognitive impairment. Skor 21-25

menandakan mild cognitive impairment. Skor 26-30 normal atau no cognitive impairment.

Pada pasien ini ditemukan skor 25 makan tergolong mild cognitive impairment.

Index Barthel: 16

Index Barthel merupakan sebuah parameter atau alat ukur status fungsional pasien yang

menilai activities of daily living. Dengan intepretasi skor 0-4 adalah ketergantungan penuh.

5-8 adalah ketergantungan berat. 9-11 ketergantungan sedang. 12-19 ketergantungan ringan.

20 adalah mandiri. Pasien ini memiliki skor 16 pada index Barthel yang berarti pasien

memiliki ketergantungan ringan.

X-ray Servikal

1. vertebra servikal berdeviasi ke kanan

2. osteoporosis

3. spondylosis servikal dengan penyempitan foramen vertebralis C5-C6 bilateral

Hasil x-ray di atas menunjukkan bahwa vertebra servikal pasien berdeviasi ke kanan yang

diakibatkan oleh keadaan osteoporotic pada tulang vertebra servikal pasien. Hal ini pula

yang kemungkinan menyebabkan presentasi regio torakal pasien terlihat berdeviasi ke kiri

pada hasil inspeksi. Spondylosis servikal pada pasien dapat disebabkan pula oleh keadaan

tulang yang osteoporotic serta degenerasi diskus intervertebralis yang akan berakibat pada

penyempitan pada foramen vertebralis.

12

Page 13: Case GER: Dizziness

Selain pemeriksaan penunjang di atas, kami menganjurkan pemeriksaan berikut ini pada

pasien.

Evaluasi tanda vital, terutama tekanan darah untuk membuktikan adanya hipotensi

ortostatik.

CT Scan untuk menyingkirkan diagnosis sindrom Parkinson selain Parkinson Diseases.

F. Diagnosis

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang kelompok kami

menetapkan diagnosis kerja yaitu Deconditioning Syndrome .Pada pasien ini didapati

bermacam gangguan antara lain dari faktor fisik sendiri berupa kekakuan otot yang

disebabkan oleh penyakit Parkinson pada pasien, ketidakseimbangan, nyeri tulang

(osteoporosis) dan masalah kaki yang dapat menyebabkan imobilisasi. Selain itu penyebab

lain dari imobilisasi yang terdapat pada pasien ini antara lain spondyolisis, faktor psikologis

berupa depresi yang diderita pasien empat tahun lalu juga diperkuat dari hasil alloanamnesis

yang menerangkan bahwa aktivitas pasien mulai berkurang dan lebih banyak berbaring di

tempat tidur.4

G. Patogenesis Skenario

Berdasarkan anamnesis yang telah dilakukan pada pasien, diketahui bahwa kurang lebih 4

tahun yang lalu pasien berobat ke dokter saraf karena menderita stress yang dipicu oleh

kerugian milyaran rupiah. Lalu pada pasien muncul gejala-gejala depresi, sehingga dokter

saraf merujuk pasien ke dokter jiwa. Setelah diberikan pengobatan di dokter jiwa baik

farmakologi dan terapi konseling, setahun kemudian pasien sudah mulai bisa menerima

keadaannya, tetapi semenjak itu pasien mulai menunjukkan gejala-gejala Parkinson seperti

wajah tanpa ekspresi dan gerakan melambat, dan juga gerakan-gerakan spontan, yang

dicurigai adalah efek samping dari pengobatan yang diberikan oleh dokter jiwa, atau

memang pasien mengidap penyakit Parkinson yang manifestasinya mirip dengan efek

samping beberapa obat-obatan yang diberikan oleh dokter jiwa.

13

Page 14: Case GER: Dizziness

Setelah terjadi gejala Parkinson, pasien kembali dibawa ke dokter saraf dan diberikan obat

levodopa yang berfungsi untuk menekan gejala-gejala Parkinson, dan amlodipin yang

kemungkinan diberikan untuk mengobati hipertensi yang dialami pasien (keluarga pasien

memiliki riwayat hipertensi dan stroke), yang kemudian dikatakan pasien keluhannya

berkurang. Ini menguatkan hipotesis bahwa pasien menderita penyakit Parkinson yang dapat

disebabkan oleh stress, depresi, dan juga proses neurodegenerative yang akan bermanifestasi

sebagai bradikinesia, rigiditas, tremor, dan hilangnya refleks postural pada pasien.5

Semenjak 1 tahun lalu, pasien sering merasa nyeri dan kaku pada tengkuk, terutama di

sebelah kanan, hilang timbul, dan kadang nyeri terasa sampai ke kepala dan dirasa terutama

bila pasien banyak aktivitas. Bila beristirahat nyeri akan berkurang. Akhir-akhir ini pasien

sering merasa pusing keleyengan (dizziness), dan saat berdiri dan berjalan terasa tidak stabil,

hal ini kemungkinan karena adanya hipotensi postural yang dialami pasien. Bila pasien

meminum obat yang diberi oleh dokter saraf setelah pasien pergi ke dokter saraf, pasien

merasa ngantuk sehingga lebih banyak berbaring, namun rasa pusingnya berkurang.

Kemungkinan obat yang diberikan dokter saraf memiliki efek sedative sehingga membuat

pasien merasa mengantuk, sehingga menyebabkan pasien mengurangi aktivitas dan lebih

banyak berbaring, dibarengi dengan adanya hilangnya refleks postural menandakan bahwa

kemungkinan pasien jatuh ke dalam keadaan imobilisasi (deconditioning syndrome), dan

nyeri yang dialami dapat dicurigai sebagai karakteristik nyeri yang disebabkan oleh

hipertensi, atau kekakuan sendi karena jarang digerakkan.6

Pasien mengatakan juga bahwa pasien pernah jatuh saat mau buang air kecil di kamar

mandi, tapi tidak menimbulkan keluhan berarti. Setelah beberapa kali berobat, pasien

dirujuk ke rehabilitasi medik dan saat ini dari duduk ke berdiri pasien membutuhkan

pertolongan, jalan perlu diawasi karena terasa tidak stabil, kadang-kadang mengompol, dan

naik turun tangga perlu pertolongan.

Berdasarkan informasi di atas dapat diinterpretasikan pasien menderita dizziness berupa

disekuilibrium, yaitu suatu rasa dari tidak kukuh atau ketidakseimbangan dengan ciri-ciri

adanya gangguan keseimbangan dan kesulitan mempertahankan postur saat berdiri dan

14

Page 15: Case GER: Dizziness

berjalan.7 Disekuilibrium ini seringkali disebabkan oleh adanya gangguan kontrol motorik,

dan beberapa defisit sensoris tunggal atau multipel, dan pada pasien ini yang paling mungkin

adalah gangguan sistem saraf pusat yang mempengaruhi mobilitas seperti penyakit

Parkinson.8

Untuk keterangan hipotensi postural dan kadang-kadang mengompol, dapat terjadi

kemungkinan bahwa semakin bertambahnya usia, refleks baroreseptor dan refleks miksi

yang diatur oleh sistem saraf otonom semakin berkurang, sehingga bisa memunculkan gejala

seperti berikut.

Keterangan dari riwayat kebiasaan yang menjelaskan bahwa beberapa tahun terakhir pasien

aktivitasnya sangat berkurang dan lebih banyak berbaring menjelaskan bahwa pasien sangat

besar kemungkinannya untuk jatuh ke dalam kondisi imobilisasi (deconditioning syndrome).

Kondisi imobilisasi (deconditioning syndrome) yang dapat dipicu karena penyakit

Parkinson, depresi, dan rasa nyeri baik karena kekakuan sendi, akan menimbulkan

komplikasi seperti osteoporosis yang menyebabkan hilangnya massa tulang yang berpotensi

menimbulkan kekacauan postur pada pasien dan juga proses degeneratif pada pasien

ditambah aktivitas yang kurang sangat memungkinkan terjadinya spondylosis cervical.

Imobilisasi juga akan menyebabkan timbulnya rasa nyeri pada sendi karena adanya

kontraktur karena lama tidak digerakkan, sehingga menjelaskan mengapa pada pasien

terlihat spasme pada otot-otot, kelenturan berkurang, dan gangguan gaya jalan. Imobilisasi

(deconditioning syndrome), bersama dengan penyakit Parkinson, juga menyebabkan

hipotensi postural pada pasien sehingga menjelaskan keluhan dizziness yang dialami pasien

ini.6

Depresi dan proses neurodegenerative Penyakit Parkinson aktivitas yang sangat

berkurang, riwayat trauma, efek sedasi dari obat yang diberi dokter imobilisasi yang lama

osteoporosis, spondylosis cervical, kekacauan postur tubuh yang disebabkan oleh

osteoporosis, kelemahan otot, kontraktur sendi sehingga nyeri, dan hipotensi postural

15

Page 16: Case GER: Dizziness

disekuilibrium yang bermanifestasi sebagai pusing keleyengan, gangguan keseimbangan dan

kesulitan mempertahankan postur terutama saat berdiri dan berjalan.

H. Tatalaksana

Non medika mentosa

1. Olahraga teratur Berenang, salah satu latihan pilihan karena melibatkan semua otot dan sendi di

lingkungan gravitasi rendah;

Memperlambat gerakan otot memperluas latihan seperti peregangan, yoga, pendakian,

tai chi, Pilates metode.

2. Anjuran terapi hormonal (estrogen)Terapi hormon estrogen bertujuan untuk membantu panyerapan kalsium.

3. Rehabilitasi pada penyakit ParkinsonSeperti latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstinsi trunkus, latihan frankle

untuk berjalan menapakan kaki pada tanda tanda-tanda di lantai, latihan isometrik unutk

otot quadriceps femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga

dan bangkit dari kursi.

Medikamentosa

1. Agonis dopamine (Bromocriptine, Pergolide, Pramixole, Ropinirol)Obat yang memiliki efek serupa dopamine pada reseptor D1 maupun D2. Di dalam

badan tidak akan mengalami konversi, sehinga dapat digunakan sebagai obat tunggal

pengganti levodopa.

2. Antikolinergik ( Benztropin, Triheksilfenidil, Biperiden)Obat ini menghambat aksi neurotransmiter otak yang disebut asitilkolin. Obat ini

membantu mengkoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin, sehingga dapat

mengurangi gejala tremor.

3. Antioksidan

16

Page 17: Case GER: Dizziness

Antioksidan diberikan untuk memproteksi dan menangkal radikal bebas yang masuk ke

dalam tubuh si pasien.

4. Antiinflamasi (ibufrofein)

Antiinflamasi untuk mengatasi nyeri leher pada pasien ini.

5. Relaksan otot (Carisoprodol, metocarbamol)

Obat relaksan untuk mengatasi spasme yang dialami oleh pasien pada lehernya.

6. Vitamin D

Vitamin D yang diberikan ntuk membantu pembentukan tulang.

I. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam

Masalah-masalah yang ada pasien umumnya tidak mengancam kehidupan, namun tetap ada

resiko dikarenakan fungsi otak dan musculoskeletal yang menurun dapat meningkatkan resiko

terjadinya kecelakaan yang dapat mengancam jiwa.

Ad Functionam : ad Malam

Sel saraf merupakan salah satu sel yang sulit regenerasi, seiring bertambahnya umur maka

kemampuan regenerasi sel saraf akan berkurang dan mempersulit proses penyembuhan.

Sedangkan pada sistem musculoskeletal proses destruksi lebih cepat dari proses konstruksi hal

ini akan mempersulit dalam penanganan fraktur pada geriatri.

Ad Sanationam : Dubia ad Malam

Proses penyembuhan pada orang tua akan terjadi lebih lambat, walaupun efek samping dari

obat-obatan dapat diatasi namun resiko terjadinya Parkinson tetap tinggi karena adanya proses

degenerative pada sistem saraf.

17

Page 18: Case GER: Dizziness

18

Page 19: Case GER: Dizziness

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

A. SINDROM DEKONDISI (DECONDITIONING SYNDROME)

DEFINISI

Sindrom Dekondisi adalah suatu kumpulan gejala yang merupakan akibat dari penurunan

kapasitas fungsional atau penurunan kemampuan dari fungsi-fungsi tubuh disebabkan oleh

imobilisasi atau degenerasi yang bersifat fisiologis.

EPIDEMIOLOGI

Efek dari sindrom dekondisi pada pasien dengan imobilisasi yang lama bisa terjadi pada semua

orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang-orang lanjut usia, atau pascaoperasi yang

membutuhkan tirah baring lama. Dampak yang terutama muncul ialah dekubitus mencapai 11%

dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, perawatan emboli paru berkisar 0,9%,dimana tiap

200.000 orang meninggal pertahunnya.

ETIOLOGI

Biasanya sindrom dekondisi terjadi akibat penyakit yang diderita oleh pasien-pasien yang

memerlukan tirah baring jangka lama, seperti pasien koma/tidak sadarkan diri, patah tulang

belakang atau kaki. Sindrom ini dapat disebabkan oleh karena:

1. Kelainan atau lesi neuromuskular, seperti paralisis

2. Keperluan ortopedik

3. Sakit parah yang memerlukan bed rest

4. di tempat dengan gravitasi kecil dalam waktu yang lama seperti di luar angkasa

19

Page 20: Case GER: Dizziness

5. Berada di tempat dengan gravitasi yang lebih rendah dalam waktu yang lama, seperti

duduk atau berbaring dengan lama.

Selain itu, berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi

terutama pada usia lanjut. Berikut merupakan penyebab umum imobilisasi pada usia lanjut yang

menimbulkan sindrom dekondisi:

Gangguan Muskuloskeletal

Artritis

Osteoporosis

Fraktur (femur)

Gangguan Neurologis

Stroke

Penyakit Parkinson

Neuropati

Disfungsi Sereberal

Penyakit Kardiovaskular Gagal Jantung Kongesif

Penyakit Jantung Koroner (nyeri dada)

Penyakit Paru PPOK

Faktor Sensorik Gangguan Penglihatan

Lain-lain Malnutrisi

Depresi

EFEK IMOBILISASI JANGKA LAMA

Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau

impairment (gangguan pada alat/organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental. Imobilisasi dapat

juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus-menerus selama 5

hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis. Di dalam praktek medis imobilisasi digunakan

untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan

ketidakberdayaan. Imobilisasi yang lama dan inaktivitas dapat mengurangi aktivitas metabolik.

20

Page 21: Case GER: Dizziness

Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan fungsi dari berbagai sistem tubuh dengan

manifestasi klinis berbagai macam. Sistem organ tubuh yang dapat berdampak dari sindrom

dekondisi ini adalah sistem kardiorespirasi, sistem muskuloskeletal, sistem susunan saraf, sistem

gastrointestinal, sistem genitourinaria.

1. Sistem Kardiovaskular

Perubahan pada sistem kardiovaskular yang terjadi pada imobilisasi disebabkan karena

kurangnya stimulus gravitasi. Imobilisasi dapat menyebabkan penurunan total bloodvolume,

volume plasma, dan hemoglobin yang disebabkan karena diuresis. Dengan demikian maka

viskositas darahpun meningkat, hal ini menyebabkan darah menjadi kental dan ditambah

dengan penurunan aliran vena pada akhirnya akan meningkatkan resiko terjadinya

tromboemboli. Selain itu dapat juga terjadi manifestasi berupa:

Peningkatan heart rate

Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan aktivitas dari sistem saraf simpatis. Dengan

meningkatnya heart rate, akan menyebabkan penurunan waktu pengisian diastolik dan

penurunan waktu ejeksi sistolik 

Penurunan waktu pengisian diastolik

Disebabkan karena meurunan aliran koroner jantung dan penurunan oksigen yang

tersedia untuk otot jantung

Penurunan curah jantung

Penurunan stroke volume

Penurunan fungsi ventrikel kiri

Hipotensi ortostatik 

Dimulai setelah 3 minggu dalam masa imobilisasi dan ini disebabkan karena excessive

pooling dari darah pada ekstremitas bawah danpenurunan sirkulasi darah

20 hari atau lebih dari bed rest dapat menyebabkan penurunan 25% dari stroke volume

dan peningkatan 20% dari heart rate2.

2. Sistem Kardiopulmonal

21

Page 22: Case GER: Dizziness

Pada system kardiopulmonal dapat terjadi penurunan FRC, volume residual dan FEV. Hal

ini bisa menyebabkan penurunan transport oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan tubuh.

Selain itu, imobilisasi yang disertai penurunan aktivitas dapat menyababkan sekresi lendir

yang berasal dari paru-paru ikut terganggu sehingga dapat mempengaruhi distribusi udara di

paru-paru. Di samping itu, dapat pula terjadi hal-hal seperti berikut:

Penurunan volume tidal

Penurunan kemampuan untuk mengkontraksikan otot pernafasan untuk mencapai

inspirasi penuh

Penurunan kekuatan otot pernafasan

Meningkatnya respiratory rate untuk mengompensasi penurunan kapasitas respirasi

Penurunan venstilasi dan peningkatan perfusi yang menyebabkan AV shunting dan

menurunkan oksigenasi

Ketidakmampuan untuk membersihkan lendir, sehingga terjadi akumulasi yang mana

dapat menutup jalan nafas dan menyebabkan atelektasis dan meningkatkan resiko

terjadinya pneumonia

3. Integument

Imobilisasi dikatakan sebagai faktor resiko utama pada munculnya luka dekubitus baik di

rumah sakit maupun di komunitas. Kondisi ini dapat meningkatkan waktu penekanan

pada jaringan kulit, menurunkan sirkulasi dan selanjutnya mengakibatkan luka dekubitus.

Efek pada kulit yang timbul akibat sindrom ini adalah:

Celular necrosis pada area tertentu

Ulkus dekubitus dan komplikasinya seperti: infeksi, osteomyelitis, septicemia, anemia,

kehilangan protein dan periostitis)

Pencegahan dekubitus dapat dilakukan dengan membalikan pasien setiap 2 jam.

4. Sistem Muskuloskeletal

22

Page 23: Case GER: Dizziness

a. Kekuatan Otot

Total imobilisasi, dapat secara bertahap mengurangi sekitar 0,7 sampai 1,5 persen daritotal

kekuatan otot. Penurunan ini, biasanya terjadi setelah minggu pertama imobilisasi. Selain

itu, tidak semua otot memunculkan penurunan yang sama. Penurunan kekuatan otot ini

disebabkan oleh atrofi dari otot.

Derajat keparahan dari atrofi otot ini tergantung dari kausa dan lamanya terjadi imobilisasi.

Contohnya pada lesi pada lower motor neuron, terjadi penururnan muscle bulk sebesar 90-

95 persen. Sedangkan lesi pada upper motor neuron hanya menurunkan muscle bulk sebesar

30-35 persen. Atrofi terjadi pada serat otot tipe 1 dan 2, tetapi tipe 1 lebih berperan dalam

atrofi yang disebabkan oleh imobilisasi. Pada atrofi, jika proses pemulihan tidak terjadi

maka serat otot akan digantikan oleh jaringan ikat. Proses ini dapat dimulai sejak 1 minggu

dari imobilisasi, dan hal ini dapat menyebabkan terjadinya kontraktur. Posisi juga

memegang peranan penting dalam proses ini. Otot yang di imobilisasi dalam posisi yang

memendek juga akan menyebabkan terjadinya penurunan yang lebih cepat.

b. Sendi

Imobilisasi juga dapat memengaruhi sendi. Kartilago hialin pada sendi mendapatnutrisi dari

pergerakan cairan synovial yang didapat pada pergerakan sendi. Selama terjadi imobilisasi,

proses ini berhenti. Dan hal itu menyebabkan kekurangan nutrisi pada kartilago hialin, dan

akhirnya terjadi penuruann ketebalan dari kartilago pada persendian sebanyak 9 persen

setelah 11 minggu.

Kontraktur menyebabkan kehilangan range of motion (ROM) dari sendi. Itu dapat

disebabkan oleh ketegangan dari jaringan ikat, otot dan kapsul sendi atau bisa juga dari

kelainan sendi. Namun, pada orang yang di imobilisasi, faktor mekanis merupakan

faktoryang penting. Apabila otot dipertahankan dalam kondisi sedang memendek, serat otot

dan jaringan ikat beradaptasi pada kondisi memendek tersebut dan akhirnya menyebabkan

kontraktur. Selain hal di atas dapat juga terjadi:

Penurunan massa tulang karena meningkatnya resorbsi tulang

Kehilangan tulang trabekular yang lebih dari tulang kortikal

Peningkatan resiko fraktur, dan nyeri punggung kronis

Osteoporosis karena meningkatnya resorbsi tulang

23

Page 24: Case GER: Dizziness

5. Sistem Saraf

Perubahan sistem saraf pada umunya disebabkan oleh karena inaktivitas dan penurunan

stimulasi sensoris. Pada awalnya, gejalanya dapat berupa penurunan atau reaksi yang tidak

semestinya terhadap rangasangan dari luar. Aktivitas pada kortikal dan sistem autonom juga

berkurang. karena itu, stimulasi sensori, aktivitas, dan latihan dapat dilakukan untuk

menghindari hal ini. Selain itu dapat juga terjadi:

Gelisah

Depresi

Gangguan tidur

Gangguan koordinasi dan keseimbangan

Gangguan tingkah laku

Neuropati kompresi

6. Sistem Gastrointestinal

Pada sistem GIT dapat menimbulkan efek seperti:

Anoreksia

Malnutrisi

Konstipasi

Penurunan motilitas usus

Refluks esofagus

Aspirasi saluran napas

Peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal

7. Sistem Metabolik dan Endokrin

Perubahan metabolik dan endokrin disebabkan oleh tidak adanya stimulasi gravitasi. Pada

saat imobilisasi terjadi penurunan basal metabolic rate. Biasanya hormon tiroid akan

meningkat sedangkan yang lainnya seperti, ACTH, norepinefrin, kortikosteroid, dan

aldosteron biasanya akan menurun. Selain itu, karena adanya penurunan masa otot dan

24

Page 25: Case GER: Dizziness

demineralisasi tulang, maka kalsium, kreatinin, magnesium , dan fosfor akan diekskresikan

dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu terjadi juga:

Negative nitrogen balance

Intoleransi glukosa

Hiperkalsemia

Penurunan hormon paratiroid

Batu ginjal

Gangguan circardian rythm

Gangguan hormon pertumbuhan

Peningkatan plasma rennin

8. Sistem Genitourinaria

Pada sistem genitourinaria, efek dari imobilisasi yang lama akan menyebabkan:

Penurunan miksi

Meningkatnya resiko UTI

Meningkatnya resiko pembentukan kalkulus

Penurunan GFR

9. Sistem Imunologi

Mekanisme pasti bagaimana imobilisasi memengaruhi sistem imun masih belum

diketahui. Namun dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa imobilisasi yang lama

dapat menyebabkan terjadinya penurunan level antibodi sehingga lebih rentan terhadap

infeksi.

ORGAN EFEK

Muskuloskeletal Osteoporosis, penurunan masa tulang, hilangnya

kekuatan otot, kontraktur, degenerasi sendi rawan,

ankilosis, berkurangnya volum sendi

Kardiopulmonal dan pembuluh darah Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi

miokard, intoleren terhadap ortostatik, penurunan

pengambilan oksigen maksimal (VO2 max),

25

Page 26: Case GER: Dizziness

deconditioning jantung, penurunan volum plasma,

atelektasis paru, pneumonia, peningkatan vena stasis,

peningkatan agregasi trombosit, dan hiperkoagulasi.

Integumen Peningkatan resiko ulkus dekubitus dan maserasi

kulit

Metabolik dan Endokrin Keseimbangan nitrogen negative, hiperkalsiuria,

natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin

(intoleransi glukosa), hiperlipidemia sera penurunan

absorbsi dan metabolisme vitamin dan mineral.

Neurologi dan Psikiatri Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan

sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi

kognitif.

Gastrointestinal dan Urinarius Inkontenensia urin, infeksi saluran kemih,

pembentukan batu kalsium, distensi kandung kemih,

impaksi feses, konstipasi, penurunan motilitas usus,

refluks esofagus, aspirasi saluran nafas dan

peningkatan perdarahan gastrointestinal.

PENATALAKSANAAN

Farmakologis berupa obat-obatan diberikan sesuai dengan sistem organ tubuh yang terkena.

Selain farmakologis, fisioterapi juga memegang peranan penting dalam penatalaksaan sindrom

dekondisi ini. Tujuan dari rehabilitasi medik pada kasus ini adalah untuk mencegah perburukan

sindrom dekondisi dan mengembalikan kemampuan fungsional secara optimal, sehingga bagi

pasien yang terkena penyakit yang dideritanya diharuskan tirahbaring dalam jangka lama tidak

mengalami gangguan-gangguan pada berbagai macam sistem tubuh.

26

Page 27: Case GER: Dizziness

Program Rehabilitasi Medik

Program Terapi Fisik

o Progam ini berguna untuk mengembalikan flexibilitas sendi, mencegah

kontraktur, dan persiapan sebelum dilakukan terapi latihan (remedial exercise),

dapat diberikan Terapi panas Kering (dry heat) dengan lampu infra red, lampu

biasa, botol air panas dan bantal pemanas listrik.

o Memberikan Terapi Latihan (remedial exercise) pasif, yang meliputi Latihan

Lingkup Gerak Sendi (ROM exercise), Latihan Penguatan Otot (strengthening

exercise) dan Latihan pernafasan (breathing exercise).

o Kalau keadaan pasien sudah memungkinkan, dapat diberikan terapi latihan aktif,

yakni melatih mobilisasi bertahap dengan latihan miring kanan-kiri (rolling),

dilanjutkan dengan latihan duduk (sitting balance), dan latihan jalan (ambulasi)

diberikan jiak sudah memungkinkan.

Program Terapi Okupasi

o Mengadakan evaluasi, melatih dan mengembangkan kemampuan pasien

untuk melakukan aktivitas sehari-hari (AKS) dan aktivitas yang sederhana sampai

aktivitas yang kompleks.

o Jika diperlukan, dapat diberikan edukasi menelan, miksi, dan defekasi.

Program Psikologi

o Mengadakan evaluasi dan memperbaiki keadaan psikologis pasien yang

berhubungan dengan penyakit atau keadaan yang diderita pasien, disesuaikan

dengan kapasitas intelektual pasien.

o Evaluasi demensia, depresi, dan gangguan fungsi kognitif jikalau ada.

27

Page 28: Case GER: Dizziness

B. DIZZINESS9

Dizziness (pusing kepala) merupakan salahsatu bentuk keluhan yang sering digunakan

olehpasien untuk menerangkan bahwa pada dirinya terjadi rasa tak nyaman atau tak

menyenangkan sehingga terganggu keseimbangan tubuhnya. Istilah dizziness memberikan

pengertian yang bervariasi, tergantung pada keadaan atau penyakit yang mendasari. Secara garis

besar dizziness dapat dibagi dalam 4 kategori, yang digunakan untuk petunjuk evaluasi klinik :

a. Vertigo (spinning = berputar): terjadi pada pergerakan atau perubahan posisi. Hal ini

menunjukkan adanya gangguan pada sistem vestibular.

b. Dysequilibrium (imbalance = tidak seimbang): menimbulkan perasaan khawatir akan

jatuh. Hal ini menunjukkan suatu gangguan neurologis, tetapi bisa juga refleks gangguan

vestibular.

c. Near-sinkop (fainting = lemah seperti hampir pingsan): perasaan seperti akan kehilangan

kesadaran. Umumnya disebabkan oleh gangguan sistem kardiovaskuler.

d. Nonspecific dizziness : Suatu rasa pusing yang tidak spesifik, bukan gambaran dari suatu

penyakit organik. Keluhan pusing ini tidak menggambarkan ketiga kategori yang

diterangkan diatas. Umumnya merupakan keluhan penyakit psikogenik.

EPIDEMIOLOGI

Keluhan pusing kepala (dizziness) memang hal yang sangat umum, namun dari studi yang

dilaporkan ternyata insidensi dan prevalensinya sangat sedikit. Umumnya keluhan dizziness

berhubungan dengan peningkatan risiko kematian. Pada usia lanjut, dizziness sering disertai

dengan keluhan seperti akan kehilangan kesadaran (sinkop). Oleh karena itu dizziness dan sinkop

merupakan keluhan yang saling berpasangan.

28

Page 29: Case GER: Dizziness

ETIOLOGI

Neurologis: Perifer (labirin atau saraf kokleovestibular): Vestibulopati, penyakit Meniere,

efek toksis medikamentosa (aminoglikosida, diuretik, quinidin, salisilat), pascatrauma,

benign paroxysmal position vertigo.

Sentral (batang otak, serebelum, dan serebrum): iskemia, infark, perdarahan,

demielinisasi (multipel sklerosis, pasca infeksi, paraneoplastik), tumor ( meningioma,

metastasis), seizures (menghilangkan) lobus temporal, efek toksis dari obat: fenitoin,

litium, benzodiazepin.

Sistemik: 1). Kardial, misalnya pada hipotensi, 2). Toksin (arsen), 3). Metabolik (diabetes

melitus, hipotiroid)

Psikiatrik: ansietas, psikotik, dan gangguan afektif

Penyebab multipel

Dilaporkan bahwa 38% keluhan dizziness pada usia lanjut disebabkan oleh neurologis

perifer, 11% gangguan neurologis sentral, 8% pasien dengan penyakit sistemik, 32%

pasien dengan kelainan psikiatrik, 13% adanya defisit sensoris multipel, dan 9% tak

diketahui penyebabnya. Evaluasi diagnostik dari keluhan dizziness pada usia lanjut dapat

ditelusuri melalui algoritme terlampir.

PENGOBATAN

Terapi dizziness tergantung pada penyakit dasarnya. Pengobatan simtomatik seperti sedatif hanya

berefek terbatas, sedangkan kemungkinan efek samping seperti jatuh dan rasa bingung sangat

meningkat pada usia lanjut, padahal usia lanjut umumnya menderita berbagai masalah seperti

instability, impairment in vision and hearing yang sangat rentan terhadapa obat-obatan.

Anamnesis yang teliti sangat diperlukan dalam menentukan pengobatan di samping pemeriksaan

fisik dan penunjang.

Pada benign paroxysmal position vertigo (BPPV), menurut Lipzitd dkk. desensitasi dengan

latihan suatu seri gerakan perpindahan posisi dapat memperbaiki keadaan dizzine

BAB V

29

Page 30: Case GER: Dizziness

KESIMPULAN

Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita deconditioning syndrome. Pada pasien ini

didapati bermacam gangguan antara lain dari faktor fisik sendiri berupa kekakuan otot yang

disebabkan oleh penyakit Parkinson pada pasien, ketidakseimbangan, nyeri tulang (osteoporosis)

dan masalah kaki yang dapat menyebabkan imobilisasi. Selain itu penyebab lain dari imobilisasi

yang terdapat pada pasien ini antara lain spondyolisis, faktor psikologis berupa depresi yang

diderita pasien empat tahun lalu Diagnosis dan keluhan- keluhan ini ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, riwayat penyakit dahulu, dan riwayat

penyakit sekarang. Penatalaksanaan umum pada pasien ini dengan farmakoterapi dan non

farmako terapi. Bila dilakukan penatalaksanaan dengan benar dan pasien beserta keluarganya

mau mengikuti apa yang dianjurkan dokter dengan baik, prognosis pada pasien ini diharapkan

menjadi baik.

BAB VI

30

Page 31: Case GER: Dizziness

DAFTAR PUSTAKA

1. Walker MF, Daroff RB. Dizziness and Vertigo. Longo, Fauci, Kasper, editors. Harrison’s

Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill Companies; 2012; p.178.

2. Sherwood L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2011. p.330-

9.

3. Low AP, Engstrom JW. Disorders of the Autonomic Nervous System. Longo, Fauci,

Kasper, editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill

Companies; 2012; p. 3351-5.

4. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.

Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 859.

5. Rahayu RA. Penyakit Parkinson. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,

Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta: InternaPublishing;

2009. p. 852-3

6. Setiati S, Roosheroe AG. Imobilisasi Pada Usia Lanjut. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed.

Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 859-62.

7. Sudarsky L. Gait and Balance Disorders. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser

SL, Jameson JL, Loscalzo J, Editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18 th ed.

United States of America: McGrawHill; 2012. p. 194.

8. Probosuseno, Husni NA, Rochmah W. Dizziness pada Lanjut Usia. In: Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. 5th ed. Jakarta: InternaPublishing; 2009. p. 827-8.

9. Rochmah W, Probosuseno. Dizzeness dan Sinkop. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV.

Jakarta: FKUI; 2006. P.1372.

31