BRONKIOLITIS
-
Upload
gustianballack -
Category
Documents
-
view
214 -
download
10
Transcript of BRONKIOLITIS
BRONKIOLITIS
I. Definisi
Bronkiolitis merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita
bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun, rata-rata ditemukan pada usia 6
bulan.[1] Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang pada
umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi
bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi,
takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.[2]
II. Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Synctial Virus (RSV) yaitu
sekitar 60-90% dari kasus yang ada, dan penyebab yang lain yaitu oleh virus Parainfluenzae
tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah
penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat
menimbulkan epidemi.[1,2] Belum ada sumber yang mengatakan bahwa bakteri sebagai
penyebab bronkiolitis, namun terkadang sulit untuk membedakan pneumonia bakteri
dengan bronkiolitis.[3]
Virus Respiratory Syncytial (RSV) adalah sejenis virus yang merupakan sub family
pneumovirus, family Paramyxoviridae, termasuk dalam ordo Mononegavirales yang
merupakan virus RNA. Virus ini merupakan penyebab terpenting ISPA bawah pada bayi
dan anak. Ada dua sub tipe yang dikenal yaitu tipe A dan B. RSV tersusun atas RNA rantai
tunggal teridiri atas 10 macam mRNA. Masing-masing terdiri dari 10 jenis protein virus.
Delapan daripdanya merupakan protein struktural dan dua non struktural. Tujuh protein
besar yang menyusun protein structural tersebut adalah protein L,G,F,N,P,M, dan SH.
Protein non structural adalah protein NS1 dan NS2. Tiga dari protein structural merupakan
protein permukaan transmembran yaitu protein F glikosilat (fusion), protein G (attachment)
dan protein SH.[4]
1
Agen infeksius utama yang terdapat pada RSV adalah:
Virion, yaitu suatu nukleokapsul yang terdapat di dalam “amplop” lipid, bersifat labil
terhadap sinar ultraviolet.
Glikoprotein F (fusion), yang dapat menghambat pembentukan sinsitium pada biakan
jaringan.
Protein G (attachment) adalah suatu glikoprotein, dapat dikenali melalui terbentuknya
antibody spesifik terhadapnya.
Protein F dan G merupakan antigen permukaan utama virus yang bersifat labil terhadap
perubahan suhu dan paparan sinar ultraviolet. Pada suhu 55 oC virus akan segera mati, pada
suhu 37 oC dapat bertahan hingga 24 jam dan pada suhu 4 oC dapat bertahan dalam waktu 1
minggu.
III. Epidemiologi
Bronkiolitis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi
pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh
karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.[2,5] Meningkatnya kejadian ISPA bawah karena
RSV juga dipengaruhi oleh musim. Di Negara industry bermusim dingin, puncak terbanyak
kejadian bronkiolitis yaitu pada musim dingin. Di Arab puncak kejadian infeksi RSV juga
terjadi pada musim dingin. Di Negara tropis, epidemic terjadinya bronkiolitis terjadi pada
musim penghujan. Untuk di Indonesia, angka kejadian RSV belum diketahui secara pasti.[5]
Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan perempuan, namun bronkiolitis berat
lebih sering pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-
laki, status ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif,
berada pada tempat penitipan anak atau tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya
antibody maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. RSV
menyebar melalui droplet dan inokulasi atau kontak langsung, seseorang biasanya aman
apabila berjarak lebih dari 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang
besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seseorang penderita dapat
menularkan virus tersebut selama 10 hari.[2,5]
2
IV. Patofisiologi
RSV adalah single stranded RNA yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari
RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G yang mengikat sel dan protein F yang
menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini
merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen
RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan
menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring
kemudian menyebar dari saluran napas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran
langsung pada epitel saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa
bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel
silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan
pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia
juga menganggu gerakan mukosilier, mucus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel
epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap allergen atau
iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang
menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel
saluran napas juga meningkatkan ekspresi intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)
dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus
menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi
sel-sel debris dan mucus serta spasme otot polos saluran napas.[2,5]
Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,
menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta
meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem
pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,
hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran
napas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan
dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara.
Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara
saluran napas meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi
3
terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi
dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir dua kali di atas normal.
Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.[2,5]
Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkioliotis bila terserang infeksi
virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin
merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat
transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan
meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi
‘cumulative immunity’ sehingga anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih
tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.[2,5]
Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran
napas dan asma, yaitu (1) infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil
seringkali disertai wheezing, (2) penderita wheezing berulang yang disertai dengan
penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksim virus saluran napas pada
saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler.
Respon antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda
mempunyai respon imun yang lebih buruk. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak
dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan
sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam secret nasofaring 45% anak yang terinfeksi
RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV
pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.[2]
V. Gejala Klinis
Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas disertai
batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu tubuh atau hanya
subfebril.[3] Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu
makan berkurang. Kemudian timbul distress napas yang ditandai oleh batuk paroksismal,
wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan
minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar
yang menderita infeksi saluran napas atas yang ringan.[2]
4
Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang
mengalami hipotermi. Terjadi distress napas dengan frekuensi napas lebih dari 60 kali per
menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat napas
cuping hidung, penggunaan otot-otot bantu napas pernapasan dan retraksi. Retraksi
biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).
Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa
stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma
karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Pada beberapa pasien dengan bronkilitis
didapatkan konjunctivitis ringan, otitis media, serta faringitis.[2]
Ada bentuk bronkiolitis yang kronis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus
atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids, sulfur oxide). Gejalanya ditandai dengan
karakteristik gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau
bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses
penyembuhan mengarah ke penyakit paru kronis. Gambaran histopatologisnya yaitu
hipertrofi dan timbunan infiltrate meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi
jaringan otot dan elastic dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi,
alveoli overdistensi, atelektasis, dan fibrosis.[2]
VI. Pemeriksaan Penunjang
Tes Laboratorium
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan
peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.
Pemeriksaan Radiologis
Gambaran radiologic mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat
paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,
mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto
lateral, didapatlkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada
pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung
yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter
5
anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh
darah paru tampak tersebar.[2]
VII. Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis didasarkan pada gambaran klinis, umur penderita dan adanya
epidemic dalam masyarakat.
Kriteria bronkiolitis terdiri dari:
a. Wheezing pertama kali,
b. Umur 24 bulan atau kurang,
c. Pemeriksaan fisis sesuai dengan gambaran infeksi, misalnyan batuk, pilek, demam,
dan
d. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.[2,5]
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment
Instrument (RDAI) yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu
wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang
dari 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Tabel 1. Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)[2]
SKOR Skor
Maksimal0 1 2 3 4
Wheezing
-Ekspirasi
Inspirasi
Lokasi
(-)
(-)
(-)
Akhir
Sebagian
≤2 dr4 lap paru
½
Semua
≥3dr4lap paru
¾ Semua 4
2
2
Retraksi
-Supraklavikular
-Interkostal
-Subkostal
(-)
(-)
(-)
Ringan
Ringan
Ringan
Sedang
Sedang
Sedang
Berat
Berat
Berat
3
3
3
Total 17
6
VIII. Diagnosis Banding
Diagnosis banding bronkiolitis yaitu, asma bronchial, pneumonia, aspirasi benda
sing, refluks gastroesofageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis. Asma bronchial
merupakan diagnosis banding yang sering dan hampir sama dengan gejala yang dialami
pada bronkiolitis.Tabel 2. Beberapa perbedaan asma bronkiolitis dan asma[2]
ASMA BRONKIOLITIS
Penyebab
Umur
Sesak berulang
Onset sesak
ISPA atas
Atopi keluarga
Alergi lain
Respon bronkodilator
Eosinofil
Hiperreaktifitas bronkus
>2 tahun
Ya
Akut
+/-
Sering
Sering
Cepat
Meningkat
Virus
6 bulan – 2 tahun
Tidak
Insidious
Selalu +
Jarang
-
Lambat
Normal
IX. Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif yaitu oksigenasi,
pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan
biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan per oral yang adekuat. Bayi dengan
bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita dengan resiko tinggi harus
dirawat inap, yaitu berusia kurang dari 3 bulan, premature, kelainan jantung, kelainan
neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi umin, distress napas,. Tujuan perawatan di
rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila
diperlukan pemberian antivirus.
7
Tabel 3. Terapi Bronkiolitis (RSV): rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and
Quality (AHRQ).[2]
Clear evidence for effectiveness
Supportive care
Supplemental oxygen
Possibly effective
Nebulized ipratropium bromide (atroven) with or without nebulized albuterol (proventil)
Oral or inhaled corticosteroid
Parental dexamethasone
Nebulized epinephrine
Possibly effective for most severe cases
Helium-oxygen combination
Surfactant
Probably ineffective
Aerosolized ribavirin (Virazole)
Antibiotics (unless patient has a clear focus or bacterial infection)
Nebulized furosemide
RSV-Ig (RespiGam)
Inhaled interferon alfa-2a (Roferon-A)
rhDNAse
Beberapa kategori diatas berbeda dengan rekomendasi pengobatan yang dikeluarkan senter
lain. American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan penggunaan
kortikosteroid untuk pengobatan RSV, yang kemungkinan efektif menurut AHRQ.
Terapi Oksigen
oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang
sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap
oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit),
masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan
8
staurasi oksigen dengan pulse oxymetri (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%.
Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan
lama perawatan di rumah sakit.[2]
Pendeirta bronkilitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada
kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan
tekanan positif paru. CPAP mungkin memberikan keuntungan dengan cara membuka
saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat
yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-
frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).[2]
Terapi Cairan
Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet
sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan. Kenaikan suhu dan
status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas,
distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian restriksi
cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat
SIADH (Sindrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan
koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.
Antibiotik
Apabila terdapat perubahan kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau
pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan
cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum luas.
Pemberian antibiotic secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan
penyakit bronkiolitis. Akan tetapi, keterlambatan mengetahui virus RSV atau virus lain
sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi
terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.
Antivirus (Ribavirin)
Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktifitas virus
termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus ke dalam
protein virus dan menekan aktifitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari
setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin
9
menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih
bermanfaat pada fase awal infeksi.[2]
Bronkodilator
Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkilitis telah lama diperdebatkan selama
hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan
bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta 2 agonis sangat
berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek
bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik,
nmengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga
efektifitas dari mukosilier akan lebih baik. [2,5]
Tabel 4. Bronkodilator Simpatomimetik untuk inhalasi.[2]
Jenis obat Potensi Selektivitas
Reseptor β2
Efek puncak
(menit)
Lama kerja
(Jam)
Epinephrine +4 0 2 1-1,5
Isoproterenol +4 0 3-15 1-2
Metaproterenol +4 +3 30-60 3-4
Terbutalin +4 +4 60 4
Salbutamol +4 +4 30-60 4-6
Fenoterol +4 +4 30-60 4-6
Kortikosteroid
Penelitian meta analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi
dengan bronkilitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan
lama timbulmnya gejala. Pemberian kortikosteroid oral 1 mg/kgbb pada bayi usia 8
minggu-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam
pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.
X. Komplikasi
Otitis media sering ditemukan menyertai infeksi RSV. Penyulit gagal napas hingga
memerlukan bantuan ventilator sering terjadi pada bayi dan anak dengan kelainan jantung 10
bawaan, defsisensi imun, dan bayi prematur. Bayi dengan bronkilitis memiliki resiko tinggi
kelainan respirasi pada 48 jam pertama setelah onset batuk dan sesak, kemudian bisa pula
terjadi apneu dan asidosis respirasi. Bayi dengan bronkilotis disertai penyakit congenital
seperti penyakit jantung bawaan, displasi bronkopulmonal, dan immnudefisiensi
memebrikan prognosis yang buruk, bahkan kematian. Bayi dengan bronkilitis bisa
berkembang menjadi asma bronchial bila disertai adanya riwayat atopi dalam keluarga.[3,4]
XI. Prognosis
Prognosis penyakit ISPA bawah katrena RSV sangat dipengaruhi oleh usia, adanya
kelainan congenital, status imunitas, dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan yang
berpngaruh meningkatkan morbiditas adalah sosioekonomi yang rendah, perokok pasif,
pemukiman yang padat dan kumuh, tidak mendapat ASI, anak dititipkan di taman
pengasuhan anak.[4]
XII. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan
polusi udara, membatasi penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan
cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan
bayi atau anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi
dan anak kecil dari kontak penderita ISPA. Penelitian penggunaan vaksin RSV
menggunakan virus hidup dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi
yang adekuat.[2,5]
DAFTAR PUSTAKA
11
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
1985. Bronkiolitis Akut dalam Buku 3 Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.
2. Setiawati, landia, Retno Asih S, Makmuri MS. 2005. Naskah Lengkap Continuing
Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV
“Hot Topics In Pediatrics”: Kuliah Tata Laksana Bronkiolitis. Surabaya: Divisi
Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya.
3. Kliegman, Robert M, MD, Richard E Behrman MD, Hal B Jenson MD, Bonita F
Stanton MD. 2007. Acute Bronchiolitis and Inflamation of The Airway in Nelson
Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Elsevier’s Health Sciences Right
Departement.
4. Soetadji, Anindita. 2001. Deteksi Virus Respiratory Syncytial Menggunakan Test
Pack Immediate Care Diagnostic Pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut BAwah pada
ANka di RSUP Dr Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Dokter Spesialis fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
5. Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. 2007. Tata Laksana
Bronkiolitis. http://cpddokter.com/home
12
13