BRONKIOLITIS

20
BRONKIOLITIS I. Definisi Bronkiolitis merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun, rata-rata ditemukan pada usia 6 bulan. [1] Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang pada umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada. [2] II. Etiologi Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Synctial Virus (RSV) yaitu sekitar 60-90% dari kasus yang ada, dan penyebab yang lain yaitu oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. [1,2] Belum ada sumber yang mengatakan bahwa bakteri sebagai penyebab bronkiolitis, namun terkadang sulit untuk membedakan pneumonia bakteri dengan bronkiolitis. [3] Virus Respiratory Syncytial (RSV) adalah sejenis virus yang merupakan sub family pneumovirus, family Paramyxoviridae, 1

Transcript of BRONKIOLITIS

Page 1: BRONKIOLITIS

BRONKIOLITIS

I. Definisi

Bronkiolitis merupakan suatu sindrom obstruksi bronkiolus yang sering diderita

bayi dan anak kecil yang berumur kurang dari 2 tahun, rata-rata ditemukan pada usia 6

bulan.[1] Bronkiolitis adalah infeksi akut saluran pernapasan kecil atau bronkiolus yang pada

umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala-gejala obstruksi

bronkiolus. Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi,

takipnea, retraksi, dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada.[2]

II. Etiologi

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Synctial Virus (RSV) yaitu

sekitar 60-90% dari kasus yang ada, dan penyebab yang lain yaitu oleh virus Parainfluenzae

tipe 1,2, dan 3, Influenzae B, Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah

penyebab utama bronkiolitis dan merupakan satu-satunya penyebab yang dapat

menimbulkan epidemi.[1,2] Belum ada sumber yang mengatakan bahwa bakteri sebagai

penyebab bronkiolitis, namun terkadang sulit untuk membedakan pneumonia bakteri

dengan bronkiolitis.[3]

Virus Respiratory Syncytial (RSV) adalah sejenis virus yang merupakan sub family

pneumovirus, family Paramyxoviridae, termasuk dalam ordo Mononegavirales yang

merupakan virus RNA. Virus ini merupakan penyebab terpenting ISPA bawah pada bayi

dan anak. Ada dua sub tipe yang dikenal yaitu tipe A dan B. RSV tersusun atas RNA rantai

tunggal teridiri atas 10 macam mRNA. Masing-masing terdiri dari 10 jenis protein virus.

Delapan daripdanya merupakan protein struktural dan dua non struktural. Tujuh protein

besar yang menyusun protein structural tersebut adalah protein L,G,F,N,P,M, dan SH.

Protein non structural adalah protein NS1 dan NS2. Tiga dari protein structural merupakan

protein permukaan transmembran yaitu protein F glikosilat (fusion), protein G (attachment)

dan protein SH.[4]

1

Page 2: BRONKIOLITIS

Agen infeksius utama yang terdapat pada RSV adalah:

Virion, yaitu suatu nukleokapsul yang terdapat di dalam “amplop” lipid, bersifat labil

terhadap sinar ultraviolet.

Glikoprotein F (fusion), yang dapat menghambat pembentukan sinsitium pada biakan

jaringan.

Protein G (attachment) adalah suatu glikoprotein, dapat dikenali melalui terbentuknya

antibody spesifik terhadapnya.

Protein F dan G merupakan antigen permukaan utama virus yang bersifat labil terhadap

perubahan suhu dan paparan sinar ultraviolet. Pada suhu 55 oC virus akan segera mati, pada

suhu 37 oC dapat bertahan hingga 24 jam dan pada suhu 4 oC dapat bertahan dalam waktu 1

minggu.

III. Epidemiologi

Bronkiolitis sering mengenai anak usia di bawah 2 tahun dengan insiden tertinggi

pada bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh

karena RSV terbanyak pada usia 2 bulan.[2,5] Meningkatnya kejadian ISPA bawah karena

RSV juga dipengaruhi oleh musim. Di Negara industry bermusim dingin, puncak terbanyak

kejadian bronkiolitis yaitu pada musim dingin. Di Arab puncak kejadian infeksi RSV juga

terjadi pada musim dingin. Di Negara tropis, epidemic terjadinya bronkiolitis terjadi pada

musim penghujan. Untuk di Indonesia, angka kejadian RSV belum diketahui secara pasti.[5]

Insiden infeksi RSV sama pada laki-laki dan perempuan, namun bronkiolitis berat

lebih sering pada laki-laki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-

laki, status ekonomi yang rendah, jumlah anggota keluarga yang besar, perokok pasif,

berada pada tempat penitipan anak atau tempat-tempat umum yang ramai, rendahnya

antibody maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu. RSV

menyebar melalui droplet dan inokulasi atau kontak langsung, seseorang biasanya aman

apabila berjarak lebih dari 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang

besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seseorang penderita dapat

menularkan virus tersebut selama 10 hari.[2,5]

2

Page 3: BRONKIOLITIS

IV. Patofisiologi

RSV adalah single stranded RNA yang berukuran sedang (80-350 nm), termasuk

paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari

RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G yang mengikat sel dan protein F yang

menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Kedua protein ini

merangsang antibody neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam strain antigen

RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan

menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2-5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring

kemudian menyebar dari saluran napas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran

langsung pada epitel saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa

bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel

silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadinya edema submukosa dan

pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus. Virus yang merusak epitel bersilia

juga menganggu gerakan mukosilier, mucus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel

epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap allergen atau

iritan sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P) yang

menyebabkan kontraksi otot polos pada saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel

saluran napas juga meningkatkan ekspresi intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1)

dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus

menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran napas, akumulasi

sel-sel debris dan mucus serta spasme otot polos saluran napas.[2,5]

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem

pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia,

hiperkapnea, asidosis metabolic sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran

napas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan

dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada aliran udara.

Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara

saluran napas meningkat pada fase inspirasi maupun fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi

3

Page 4: BRONKIOLITIS

terdapat mekanisme klep hingga udara akan terperangkap dan menimbulkan overinflasi

dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat hampir dua kali di atas normal.

Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.[2,5]

Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkioliotis bila terserang infeksi

virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin

merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat

transien dan tidak lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan

meningkatkan resistensi terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi

‘cumulative immunity’ sehingga anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih

tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.[2,5]

Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran

napas dan asma, yaitu (1) infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak kecil

seringkali disertai wheezing, (2) penderita wheezing berulang yang disertai dengan

penurunan tes faal paru, ternyata seringkali mengalami infeksim virus saluran napas pada

saat bayi/usia muda. Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan seluler.

Respon antibody sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda

mempunyai respon imun yang lebih buruk. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak

dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan

sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam secret nasofaring 45% anak yang terinfeksi

RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV

pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.[2]

V. Gejala Klinis

Bronkiolitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas disertai

batuk pilek untuk beberapa hari, biasanya tanpa disertai kenaikan suhu tubuh atau hanya

subfebril.[3] Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu

makan berkurang. Kemudian timbul distress napas yang ditandai oleh batuk paroksismal,

wheezing, sesak napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan

minum. Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar

yang menderita infeksi saluran napas atas yang ringan.[2]

4

Page 5: BRONKIOLITIS

Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang

mengalami hipotermi. Terjadi distress napas dengan frekuensi napas lebih dari 60 kali per

menit, kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat napas

cuping hidung, penggunaan otot-otot bantu napas pernapasan dan retraksi. Retraksi

biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru).

Terdapat ekspirasi yang memanjang, wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa

stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar dan lien teraba akibat pendorongan diafragma

karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Pada beberapa pasien dengan bronkilitis

didapatkan konjunctivitis ringan, otitis media, serta faringitis.[2]

Ada bentuk bronkiolitis yang kronis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus

atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids, sulfur oxide). Gejalanya ditandai dengan

karakteristik gambaran klinis dan radiologis hilang timbul dalam beberapa minggu atau

bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang berulang. Proses

penyembuhan mengarah ke penyakit paru kronis. Gambaran histopatologisnya yaitu

hipertrofi dan timbunan infiltrate meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi

jaringan otot dan elastic dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi,

alveoli overdistensi, atelektasis, dan fibrosis.[2]

VI. Pemeriksaan Penunjang

Tes Laboratorium

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien dengan

peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.

Pemeriksaan Radiologis

Gambaran radiologic mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat

paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,

mungkin atelektasis (patchy atelectasis) atau pneumonia (patchy infiltrates). Pada x-foto

lateral, didapatlkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada

pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung

yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter

5

Page 6: BRONKIOLITIS

anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horizontal, pembuluh

darah paru tampak tersebar.[2]

VII. Diagnosis

Diagnosis bronkiolitis didasarkan pada gambaran klinis, umur penderita dan adanya

epidemic dalam masyarakat.

Kriteria bronkiolitis terdiri dari:

a. Wheezing pertama kali,

b. Umur 24 bulan atau kurang,

c. Pemeriksaan fisis sesuai dengan gambaran infeksi, misalnyan batuk, pilek, demam,

dan

d. Menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.[2,5]

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress Assessment

Instrument (RDAI) yang menilai distress napas berdasarkan 2 variabel respirasi yaitu

wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat, bila skor kurang

dari 3 dimasukkan dalam kategori ringan. Tabel 1. Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)[2]

SKOR Skor

Maksimal0 1 2 3 4

Wheezing

-Ekspirasi

Inspirasi

Lokasi

(-)

(-)

(-)

Akhir

Sebagian

≤2 dr4 lap paru

½

Semua

≥3dr4lap paru

¾ Semua 4

2

2

Retraksi

-Supraklavikular

-Interkostal

-Subkostal

(-)

(-)

(-)

Ringan

Ringan

Ringan

Sedang

Sedang

Sedang

Berat

Berat

Berat

3

3

3

Total 17

6

Page 7: BRONKIOLITIS

VIII. Diagnosis Banding

Diagnosis banding bronkiolitis yaitu, asma bronchial, pneumonia, aspirasi benda

sing, refluks gastroesofageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis. Asma bronchial

merupakan diagnosis banding yang sering dan hampir sama dengan gejala yang dialami

pada bronkiolitis.Tabel 2. Beberapa perbedaan asma bronkiolitis dan asma[2]

ASMA BRONKIOLITIS

Penyebab

Umur

Sesak berulang

Onset sesak

ISPA atas

Atopi keluarga

Alergi lain

Respon bronkodilator

Eosinofil

Hiperreaktifitas bronkus

>2 tahun

Ya

Akut

+/-

Sering

Sering

Cepat

Meningkat

Virus

6 bulan – 2 tahun

Tidak

Insidious

Selalu +

Jarang

-

Lambat

Normal

IX. Penatalaksanaan

Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif yaitu oksigenasi,

pemberian cairan untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan

biasanya bisa rawat jalan dan perlu diberikan cairan per oral yang adekuat. Bayi dengan

bronkiolitis sedang sampai berat harus dirawat inap. Penderita dengan resiko tinggi harus

dirawat inap, yaitu berusia kurang dari 3 bulan, premature, kelainan jantung, kelainan

neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi umin, distress napas,. Tujuan perawatan di

rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan mengatasi komplikasi, atau bila

diperlukan pemberian antivirus.

7

Page 8: BRONKIOLITIS

Tabel 3. Terapi Bronkiolitis (RSV): rekomendasi dari Agency for Healthcare Research and

Quality (AHRQ).[2]

Clear evidence for effectiveness

Supportive care

Supplemental oxygen

Possibly effective

Nebulized ipratropium bromide (atroven) with or without nebulized albuterol (proventil)

Oral or inhaled corticosteroid

Parental dexamethasone

Nebulized epinephrine

Possibly effective for most severe cases

Helium-oxygen combination

Surfactant

Probably ineffective

Aerosolized ribavirin (Virazole)

Antibiotics (unless patient has a clear focus or bacterial infection)

Nebulized furosemide

RSV-Ig (RespiGam)

Inhaled interferon alfa-2a (Roferon-A)

rhDNAse

Beberapa kategori diatas berbeda dengan rekomendasi pengobatan yang dikeluarkan senter

lain. American Academy of Pediatrics (AAP) tidak merekomendasikan penggunaan

kortikosteroid untuk pengobatan RSV, yang kemungkinan efektif menurut AHRQ.

Terapi Oksigen

oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang

sangat ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap

oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit),

masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan

8

Page 9: BRONKIOLITIS

staurasi oksigen dengan pulse oxymetri (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%.

Pemberian oksigen pada saat masuk sangat berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan

lama perawatan di rumah sakit.[2]

Pendeirta bronkilitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada

kasus gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan

tekanan positif paru. CPAP mungkin memberikan keuntungan dengan cara membuka

saluran napas kecil, mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat

yang tidak membaik dengan ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-

frequency jet ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).[2]

Terapi Cairan

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infuse dan diet

sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan. Kenaikan suhu dan

status hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas,

distress napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian restriksi

cairan 2/3 dari kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat

SIADH (Sindrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan

koreksi terhadap kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

Antibiotik

Apabila terdapat perubahan kondisi umum penderita, peningkatan lekosit atau

pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan

cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spectrum luas.

Pemberian antibiotic secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan

penyakit bronkiolitis. Akan tetapi, keterlambatan mengetahui virus RSV atau virus lain

sebagai penyebab bronkiolitis dan menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi

terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi alasan untuk memberikan antibiotika.

Antivirus (Ribavirin)

Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktifitas virus

termasuk RSV. Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus ke dalam

protein virus dan menekan aktifitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari

setelah gejala timbul atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin

9

Page 10: BRONKIOLITIS

menghambat replikasi virus selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih

bermanfaat pada fase awal infeksi.[2]

Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkilitis telah lama diperdebatkan selama

hampir 40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan

bronkiolitis adalah bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta 2 agonis sangat

berguna pada penyakit dengan penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek

bronkodilatasi, mengurangi pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik,

nmengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga

efektifitas dari mukosilier akan lebih baik. [2,5]

Tabel 4. Bronkodilator Simpatomimetik untuk inhalasi.[2]

Jenis obat Potensi Selektivitas

Reseptor β2

Efek puncak

(menit)

Lama kerja

(Jam)

Epinephrine +4 0 2 1-1,5

Isoproterenol +4 0 3-15 1-2

Metaproterenol +4 +3 30-60 3-4

Terbutalin +4 +4 60 4

Salbutamol +4 +4 30-60 4-6

Fenoterol +4 +4 30-60 4-6

Kortikosteroid

Penelitian meta analisis tentang penggunaan kortikosteroid sistemik pada bayi

dengan bronkilitis menunjukkan perbaikan dalam hal gejala klinis, lama perawatan dan

lama timbulmnya gejala. Pemberian kortikosteroid oral 1 mg/kgbb pada bayi usia 8

minggu-23 bulan dengan bronkiolitis sedang-berat, terdapat perbaikan klinis pada 4 jam

pertama dan penurunan jumlah pasien yang dirawat pada kelompok studi.

X. Komplikasi

Otitis media sering ditemukan menyertai infeksi RSV. Penyulit gagal napas hingga

memerlukan bantuan ventilator sering terjadi pada bayi dan anak dengan kelainan jantung 10

Page 11: BRONKIOLITIS

bawaan, defsisensi imun, dan bayi prematur. Bayi dengan bronkilitis memiliki resiko tinggi

kelainan respirasi pada 48 jam pertama setelah onset batuk dan sesak, kemudian bisa pula

terjadi apneu dan asidosis respirasi. Bayi dengan bronkilotis disertai penyakit congenital

seperti penyakit jantung bawaan, displasi bronkopulmonal, dan immnudefisiensi

memebrikan prognosis yang buruk, bahkan kematian. Bayi dengan bronkilitis bisa

berkembang menjadi asma bronchial bila disertai adanya riwayat atopi dalam keluarga.[3,4]

XI. Prognosis

Prognosis penyakit ISPA bawah katrena RSV sangat dipengaruhi oleh usia, adanya

kelainan congenital, status imunitas, dan pengaruh lingkungan. Faktor lingkungan yang

berpngaruh meningkatkan morbiditas adalah sosioekonomi yang rendah, perokok pasif,

pemukiman yang padat dan kumuh, tidak mendapat ASI, anak dititipkan di taman

pengasuhan anak.[4]

XII. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan

polusi udara, membatasi penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan

cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan

bayi atau anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi

dan anak kecil dari kontak penderita ISPA. Penelitian penggunaan vaksin RSV

menggunakan virus hidup dan synthetic peptide sampai saat ini tidak memberikan proteksi

yang adekuat.[2,5]

DAFTAR PUSTAKA

11

Page 12: BRONKIOLITIS

1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

1985. Bronkiolitis Akut dalam Buku 3 Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian

Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia.

2. Setiawati, landia, Retno Asih S, Makmuri MS. 2005. Naskah Lengkap Continuing

Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV, Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak IV

“Hot Topics In Pediatrics”: Kuliah Tata Laksana Bronkiolitis. Surabaya: Divisi

Respirologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya.

3. Kliegman, Robert M, MD, Richard E Behrman MD, Hal B Jenson MD, Bonita F

Stanton MD. 2007. Acute Bronchiolitis and Inflamation of The Airway in Nelson

Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Elsevier’s Health Sciences Right

Departement.

4. Soetadji, Anindita. 2001. Deteksi Virus Respiratory Syncytial Menggunakan Test

Pack Immediate Care Diagnostic Pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut BAwah pada

ANka di RSUP Dr Kariadi. Semarang: Program Pendidikan Dokter Spesialis fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

5. Continuing Profesional Development Dokter Indonesia. 2007. Tata Laksana

Bronkiolitis. http://cpddokter.com/home

12

Page 13: BRONKIOLITIS

 

13