BAB III TINJAUAN PUSTAKA.doc
Transcript of BAB III TINJAUAN PUSTAKA.doc
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung
2.1.1 Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah
jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang. Untuk
mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu
refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan - perubahan
neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon hemodinamik yang tidak normal
adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload.1,2,3
Beberapa istilah dalam gagal jantung:2
Gagal jantung sistolik dan gagal jantung diastolic
1. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung
memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan
kelemahan, fatiq, kemampuan aktifitas fisik menurun, dan gejala
hipoperfusi lainnya.
2. Gagal jantung diastolic adalah gangguan relaksasi atau pengisian
ventrikel dengan fraksi ejeksi > 50 %. Ada tiga macam gangguan fungsi
diastolic : (a). Gangguan relaksasi, (b), Pseudo-normal, (c), Tipe
restriktif.
Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri
1. Gagal jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan
seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru
kronik, sehingga terjadi kongesti vena sistemik, yang menyebabkan
edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis
2. Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan
vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan orthopnea
12
Gagal jantung akut dan gagal jantung kronis
1. Gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma atau infark miokard yang luas. Curah jantung yang
menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
2. Gagal jantung kronis contohnya adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan
2.1.2 Epidemiologi
Dengan bertambahnya kemajuan tekhnologi kedokteran sejak tahun 1968
kematian karena penyakit jantung menurun. Hal ini barang kali disebabkan karena
sebagian besar penderita hidup setelah serangan jantung tapi kemudian menderita
gagal jantung. Penelitian Framingham menunjukkan mortalitas 5 tahun sebesar 62%
pada pria dan 42% pada wanita.1
Berdasarkan perkiraan tahun 1989, di Amerika Serikat terdapat 3 juta
penderita di AS yang menderita gagal jantung dan setiap tahunnya bertambah dengan
400.000 orang. Walaupun angka-angka yang pasti belum ada untuk seluruh
Indonesia, tetapi dengan bertambah majunya fasilitas kesehatan dan pengobatan dapat
diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah setiap tahunnya.1
2.1.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju penyakit
arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan di negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung katup dan
penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit untuk
menentukan penyebab dari gagal jantung4,5.
13
2.1.4 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.1,8
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi
sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan
meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokonstriksi
perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard
fokal.1,8
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal
yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan
noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang
pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta
berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.1,8
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi
sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks.1,8
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
14
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).1,8,9
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada fungsi
jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis
miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan
peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II
merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat
tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.1,8
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang
berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan
susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai
respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.1,8
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide meningkat
sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja
antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron dan
reabsorbsi natrium di tubulus renal.1,8
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada
gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada pemberian
diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan oleh sel
15
endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung
jawab atas retensi natrium.8,9
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung
koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik,
selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih
kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi
ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan
disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.8,9
2.1.5 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi
berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan New York
Heart Association. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark
miokard akut, dengan pembagian:8
1) Derajat I : Tanpa gagal jantung
2) Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal
paru, S3 galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
3) Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh
lapangan paru.
4) Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan
darah sistolik 90
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena
juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal
16
yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava.
Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus
alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien
yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien
dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).
Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:8,9
1) Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
2) Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
3) Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
4) Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Pembahagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan
fungsonal jantung yaitu:1-9
1) Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa
keluhan.
2) Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih
berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
3) Kelas 3 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas
sehari-hari tanpa keluhan.
4) Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan
aktivitas apapun dan harus tirah baring.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Gambaran Klinik timbul sebagai akibat terjadinya :1-9
Mekanisme kompensasi : berdebar, keringat dingin takikardia
Sindroma low output : lesu, lemah, tak bergairah, bingung, konsentrasi menurun,
gelisah
Sindroma kongesti : sesak nafas edema paru, JVP meninggi, asites,
hepatomegali, edema tungkai, batuk darah
17
Sindroma akibat remodeling : hipertrofi dan dilatasi ventrikel dan atrium, irama
gallop, bising jantung dan sebagainya.
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan Jasmani,
elektrokardiografi, foto toraks, Ekokardiografi Doppler dan kateterisasi. Secara klinis
pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas
saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena jugular, hepatomegali dan
edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga diketahui sekiranya pasien
mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti penyakit arteri koroner yang
signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi, diabetes, gagal ginjal atau
penggunaan alkohol yang signifikan.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra
dalam tubuh seperti suara-suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta
pengkarakteristikan yang hati-hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung,
suara-suara jantung, dan desah jantung.
Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif:2
1) Kriteria Mayor
a) Paroksismal nocturnal dispnea
b) Kardiomegali
c) Irama gallop
d) Distensi vena leher
e) Peningkatan tekanan JVP
f) Refluks Hepato Jugular
g) Ronkhi
h) Edema paru akut
2) Kriteria Minor
a) Edema ekstremitas
18
b) Batuk malam hari
c) Hepatomegali
d) Efusi pleura
e) Takikardi
f) Penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal
g) Dispnea D’effort
Major atau minor2
Penurunan BB ≥ 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan.
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada satu kriteria mayor dan 2 kriteria
minor
2.1.8 Diagnosis Banding
Diagnosis gagal jantung mungkin dapat ditentukan dengan mengamati
beberapa kombinasi manifestasi klinis gagal jantung, bersama dengan karakteristik
yang ditemui dari satu bentuk etiologi penyakit jantung. Gagal jantung sulit
dibedakan dengan penyakit paru. Emboli paru juga ada dalam manifestasi gagal
jantung, tetapi hemoptisis, nyeri dada pleuritik, angkatan ventrikel kiri dan
karakteristik yang tidak cocok antara ventilasi dan perfusi harus mengarah ke
diagnosis ini.
Edema pergelangan kaki mungkin disebabkan oleh vena varikosa, edema
siklik, atau efek gravitasi tetapi pada pasien ini tidak ada hipertensi vena jugularis
saat istirahat atau dengan penekanan di atas abdomen. Edema sekunder terhadap
penyakit ginjal biasa dapat dikenal dengan tes fungsi ginjal yang sesuai dan urinalisis,
serta jarang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena jugularis. Pembesaran hati
dan asites terjadi dalam pasien dengan sirosis hepatitis dan juga dapat dibedakan dari
gagal jantung dengan tekanan vena jugularis yang normal dan tidak adanya refluks
abdominojugularis yang positif.
19
Diagnosis banding untuk gagal jantung dirincikan sebagai berikut:
1) Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
2) Trauma Akut
3) Altitude sickness
4) Asma
5) Syok kardiogenik
6) Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
7) Overdosis Obatan
8) Infark miokard
9) Pneumonia
10) Fibrosis Pulmonal
11) Respiratory failure
12) Sepsis
2.1.9 Klasifikasi Gagal jantung
2.1.9.1 Gagal Jantung Kongestif
2.1.9.1.1 Definisi
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif
yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.1,3
Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk mempertahankan curah
jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan
bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif. Gagal
jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang
adekuat untuk memenuhi kebutuhan jaringan akan oksigen dan nutrisi.1,3
20
2.1.9.1.2 Etiologi
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi
gangguan kemampuan konteraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang
utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah
darah yang dipompa pada setiap konteraksi tergantung pada tiga faktor:1,3
1) Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan
tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.
2) Konteraktillitas mengacu pada perubahan kekuatan konteraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan
kadar kalsium
3) Afterload mengacu pada besarnya tekanan venterikel yang harus dihasilkan
untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh
tekanan arteriol.
Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah
jantung berkurang.
2.1.9.2 Gagal Jantung Kiri
Kongestif paru terjadi pada venterikel kiri, karena venterikel kiri tidak mampu
memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru
menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi
meliputi dispnu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi
S3, kecemasan dan kegelisahan.1
2.1.9.3 Gagal Jantung Kanan
2.1.9.3.1 Definisi
21
Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah
kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak
mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat
mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.1
2.1.9.3.2 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis
Penurunan kontraksi venterikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah (TD), dan penurunan volume darah arteri
yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohurmoral.
Vasokontriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan
tekanan darah, sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraksi jantung
melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi, peninggian
afterload, dan hipertensi disertai dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung
sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dengan demikian terapi
gagal jantung adalah dengan vasodilator untuk menurunkan afterload venodilator dan
diuretik untuk menurunkan preload, sedangkan motorik untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard.1
Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema
dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan,
hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites
(penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan
lemah.1
1. Distensi Vena Jugularis
Bila ventrikel kanan tidak mampu berkompensasi, maka akan terjadi dilatasi
venterikel dan peningkatan volume curah jantung pada akhir diastolik dan terjadi
peningkatan laju tekanan darah pada atrium kanan. Peningkatan ini sebaliknya
memantau aliran darah dari vena kava yang diketahui dengan peningkatan vena
jugularis, dengan kata lain apabila terjadi dekompensasi venterikel kanan maka
22
kondisi pasien dapat ditandai adanya edema tungkai kaki dan distensi vena jugularis
pada leher.
2. Edema
Edema merupakan terkumpulnya cairan di dalam jaringan interstisial lebih
dari jumlah yang biasa atau di dalam berbagai rongga tubuh mengakibatkan gangguan
sirkulasi pertukaran cairan elektrolit antara plasma dan jaringan interstisial. Jika
edema mengumpul di dalam rongga maka dinamakan efusi, misalnya efusi pleura dan
pericardium. Penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal dinamakan asites.
Pada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung
(pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh
kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah
terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke
intestisial.
Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam
mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua
darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki
dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas tungkai dan paha
dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang
terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang
dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan
pitting edema. Pitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah
penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan
paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema.
Grading edema, yaitu:
1+: pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat
2+: pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam waktu 10-15 dtk
3+: lubang yang dalam/6mm, menghilang dalam waktu 1 mnt
4+: lubang yang sangat mendalam/ 8mm berlangsung 2-5 mnt, ekstremitas dep terlalu
terdistruksi
23
3. Pengaruh posisi elevasi kaki ditinggikan terhadap pengurangan edema
Pengaruh posisi kaki ditinggikan 30 derajat terhadap pengurangan edema
adalah dapat membantu resusitasi jantung sehingga suplai darah keorgan-organ
penting seperti paru, hepar, ginjal dapat mengalir secara sempurna.
Tujuan utama dari peninggian posisi ini mencangkup peningkatan suplai
darah arteri ke eksteremitas bawah, pengurangan kongesti vena, mengusahakan
vasodilatasi pembuluh darah, pencegahan komperesi vaskuler (mencegah dekubitus),
pengurangan nyeri, pencapaian atau pemeliharaan integritas kulit.
Tindakan yang digunakan untuk pasien ini untuk mencapai salah satu sasaran
evalusasi dalam hal positif terhadap seberapa efektif nya pengaruh posisi terhadap
pengurangan edema.
2.1.9.4 Gagal jantung akut
1) Penyebab dan faktor presipitasi dari gagal jantung akut:2
Dekompensasi pada GJK yang sudah ada (Kardiomiopati)
Sindrom koroner akut
Krisis hipertensi
Aritmia akut
Regurgitasi valvuler, endokarditis, rupture korda tendinea, perburukan
regurgitasi katup yang sudah ada
stenosis katup aorta yang berat
miokarditis berat akut
tamponade jantung
diseksi aorta
kardiomiopati pascamelahirkan
factor presipitasi non-kardiovaskuler
sindrom high-output
Secara klinis dibagi menjadi:2
24
1) Gagal jantung dekompensasi (de novo atau sebagai gagal jantung kronik yang
mengalami kompensasi) dengan gejala atau tanda gagal jantung akut dengan
gejala ringan dan belum memenuhi syarat untuk syok kardoigenik, edema paru,
atau krisis hipertensi
2) Gagal jantung akut hipertensif : dengan gejala atau tanda gagal jantung + tekanan
darah tinggi, dan gangguan fungsi jantungrelatif dan pada foto toraks terlihat
tanda edema paru akut
3) Edema paru akut kardiogenik yg diperjelas dengan foto toraks dan respiratory
distress berat dengan ronkhi terdengar pada refral lapangan paru dan ortopnea O2
saturasinya <90% sebelum terapi.
4) Syok kardiogenik (ditandai dengan penurunan tek.darah sistolik < 90 mmhgatau
berkurangnya tek.arteri rata-rata>>30 mmhg/ penurunan pengeluaran urin <<0.5
ml/kg/jam, dengan laju nadi lebih dari 60 kali permenitdengan atau tanpa adanya
kongesti organ
5) Dekompensasi akut pada gagal jantung kronik
Klasifikasi gagal jantung akut dapat juga dibagi berdasarkan dominasi:2
1) Forward (kanan dan kiri) AHF
2) Left heart backward failure, yang dominan gagal jantung kiri
3) Right heart backward failure, berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung
sebelah kanan.
Tabel Bukti adanya kongesti dan perfusi rendah
Bukti adanya kongesti Bukti adanya perfusi yang rendah
Orthopnea
Tek.vena jugularis
Edema
Asites
Penyebaran ke-p2 kiri
Tek.nadi sempit
Extremitas dingin
Mengantuk/lemas
Suspek hipotensi atau ACE1
Suspek ↓ kadar + serum
25
Ronkhi halus (jarang)
Gelombang valsava kuadrat
Reflek abdomino jugularis
Salah satu penyebab buruknya fungsi
ginjal
a. Penilaian diagnosis awal harus meliputi:
Pemeriksaan klinis melalui riwayat penyakit
EKG
Foto toraks
Pemeriksaan BNP/NT PRO BNP
Pemeriksaan Laboratorium
b. Penilaian klinis awal harus meliputi:
Preload dan afterload
Adanya komplikasi lain seperti kelainan valvular, aritmia, keadaan
komorbid, yang bersamaan seperti infeksi saluran nafas atas, dan kelainan
ginjal
Segera setelah penilaian awal : pasang iv line, tanda-tanda fisik, ekg,
saturasi o2 , harus dimonitor
2.1.9.5 Gagal jantung kronik
Gagal jantung kronis adalah suatu kondisi patologis, dimana terdapat
kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan.2
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang2
1) Pemeriksaan laboratorik:
a) Darah tepi : Lekositosis
b) Urinalisis : Jumlah Urine berkurang
26
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi.
Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada
gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor
serta obat potassium sparring.
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi
dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel
kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
27
2) Radiografi toraks
Seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik > 50%).
Normalnya perfusi paru terlihat lebih banyak dibasis paru, namun dengan
kongesti vena paru (gagal LV) timbul diversi lobus atas dan, ketik tekanan vena
pulmonalis meningkat > 20 mmhg, terjadi edema interstitial yang menyebabkan
garis septal (Karley B) terutama pada basis. Ketika tekanan meningkat > 25
mmhg, terjadi edema hilar dengan distribusi kupu-kupu atau sayap kelelawar.dan
edema perivaskuler penyebabkan gambaran awan pada pembuluh
darah.pembesaran vena kava superior dan vena azigos dapat terlihat. Bila gagal
jantung menyebabkan efusi plura,maka biasannya bilateral, jika
unilateralcenderung lebih sering pada sebelah kanan. Efusi sisi kiri unilateral
harus difikirkan penyebab keganasan atau infark paru.
3) Elektrokardiografi
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal
dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispnea
pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
4) Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung.
Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda
gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang
berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi
ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia).
28
Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Untuk melihat dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan
diastolic), dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katup
jantung dapat disingkirkan. Regurgitasi mitral seringkali disebabkan pembesaran
ventrikel kiri yang menyebabkan dilatasi anulus mitral.
5) EKG ambulatory jika curiga aritmia
6) Kateterisasi jantung
Curiga pada penyakit jantung koroner, kardiomiopati, infark miokard,
untuk penilaian resistensi vaskuler paru jika transplantasi dibutuhkan. Bila
kateterisasi diindikasikan maka lakukan ventrikulografi kontras dan juga
memberikan pengukuran fungsi LV lain.
7) Tes latihan fisik
Untuk menilai adanya iskemik miokard dan untuk mengukur komsumsi
oksigen maksimum dimana pada gagal jantung kapasitas fungsional menurun,
dan aritmia
2.1.8 Tatalaksana
1) Non-farmakologis1-3
Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab dan bagaimana mengenalserta
upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan.
Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktifitas seksual serta
rehabilitasi
Edukasi pola diet, control asupan garam, air dan kebiasaan alcohol
Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
Mengurangi berat badan dengan pasien obesitas
Hentikan kebiasaan merokok.
Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas, dan humiditas
memerlukan perhatian khusus
29
Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat
tertentu seperti NSAID, antiaritmia kelas 1, verapamil, diltiazem,
dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.
2) Farmakologis
a) Angiotensin-Converting Enzim (penyekat enzim konversi angiotensin)
Terapi awal jika tidak ada retensi cairan, jika dengan retensi cairan dan
diuretic
Harus dititrasi sampai dosis dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti
klinis bukan berdasarkan perbaikan gejala
Harus diberikan jika ditemukan tanda dan gejala gagal jantung, segera
sesudah infark jantung, ↑ survival, ↓ angka reinfark
b) Glikosida Jantung (digitalis)
Indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, baik
dikombinasi dengan digoksin dan penyekat beta.
c) Vasodilator
Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal jantung kronik (III, A).
d) Hidralazin-Isosorbid diningrat
Sebagai tambahan pada pasien,tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi
angiotensin atau penyekat angiotensi dua. dosis besar hidralazin (300 mg) dengan
kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi angiotensin.
e) Nitrat
Tambahan jika ada keluhan angina atau sesak (IIa, C). dengan pemakaian dosis
yang sering, dapat terjadi toleran (takipilaksis), oleh karena itu dianjurkan
interval 8-12 jam.
f) Obat Penyekat Kalsium
Felodipin dan amlodipin tidak direkomendasikan pada gagal jantung sistolik.
hanya digunakan sebagai obat tambahan hipertensi.
30
g) Nesiritid
Memiliki efek dilatasi arteri, vena dan koroner dan menurunkan pre dan
afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik.
h) Inotropik Positif
Tidak dibenarkan pemakaina jangka panjang karna meningkatkan mortalitas.
Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung
dengan penyekat beta mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner namun
disertai efek takiaritmia atrial dan ventrikel dan vasodilatasi berlebihan dapat
menyebabkan hipotensi.
i) Anti-trombotik
Gagal jantung kronik disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli,
bukti adanya thrombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan.
Aspirin harus dihindari dengan gagal jantung yang memburuk.
j) Anti-aritmia
Antiaritmia kelas 1 tidak dianjurkan
Antiaritmia kelas II menurunkan kejadian meti mendadak, kombinasi dengan
amiodaron
Antiaritmia kelas III amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel
aritmia, amiodaron rutin tidak dianjurkan pada gagal jantung
2.1.9 Komplikasi
Pada bayi dan anak yang menderita gagal jantung yang lama biasanya
mengalami gangguan pertumbuhan. Umumnya, berat badan akan mengalami
hambatan yang lebih berat daripada tinggi badan. Pada gagal jantung kiri dengan
gangguan pemompaan pada ventrikel kiri dapat mengakibatkan bendungan paru dan
selanjutnya dapat menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan akibat daripada
kompensasi jantung dan selanjutnya menimbulkan dyspnea. Pada gagal jantung
kanan dapat terjadinya hepatomegali, asites, bendungan pada vena perifer dan
gangguan gastrointestinal.
31
2.1.10 Prognosis
Prognosis CHF tergantung dari derajat disfungsi miokardium. Menurut New
York Heart Assosiation, CHF kelas I-III mempunyai kadar mortalitas 1 tahun sekitar
25% dan kadar mortalitas 5 tahun sekitar 52%. Sedangkan kadar mortalitas 1 tahun
untuk CHF kelas IV adalah sekitar 40%-50%.8
2.2 Stenosis Mitral
2.2.1 Definisi Stenosis Mitral
Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah
dari atrium kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral.
Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul
gangguan pengisian ventrikel kiri pada saat diastol.2
Stenosis Mitral adalah sumbatan katup mitral yang menyebabkan penyempitan
aliran darah ke ventrikel sehingga katup tidak terbuka penuh dan menghalangi aliran
darah.1,2 Pasien dengan stenosis mitral secara khas memiliki daun katup mitral yang
menebal, kommisura yang menyatu, dan korda tendineae yang menebal dan
memendek.2
Gambar Stenosis Mitralis.4
32
2.2.2 Etiologi
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi yang
progresif dari demam reumatik oleh infeksi streptococcus. Diperkirakan 60% stenosis
mitral didasarkan atas penyakit jantung rematik. Penyebab lainnya walaupun jarang
yaitu stenosis mitral kongenital, vegetasi dari systemic lupus eritematosus (SLE),
deposit amiloid, mucopolysaccharhidosis, rheumatoid arthritis (RA), Wipple’s
disease, Fabry disease, akibat obat fenfluramin/phentermin, serta kalsifikasi annulus
maupun daun katup pada usia lanjut akibat proses degeneratif.2,4
2.2.3 Epidemiologi
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada
perempuan dibandingkan dengan pria serta lebih sering pada keadaan gagal ginjal
kronik. Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten)
biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).2
2.2.4 Patologi
Pada stenosis mitral akibat demam rematik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis penutupan katup. Proses
ini akan menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura
serta pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan
menimbulkan distorsi dari apparatus mitral yang normal, mengecilnya area katup
mitral menjadi seperti mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole). Fusi
dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium, sedangkan fusi korda
mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.2
33
Gambar Stenosis Mitral
Pada endokarditis reumatik, daun katup dan korda akan mengalami sikatrik
dan kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda, sehingga menimbulkan
penarikan daun katup menjadi bentuk funnel shape.2
2.2.5 Patofisiologi
Pada keadaan normal katup mitral mempunyai ukuran 4-6 cm2, bila area
orifisium katup berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium kiri
berupa peningkatan tekanan atrium kiri agar aliran transmitral yang normal dapat
terjadi. Stenosis mitral kritis terjadi bila pembukaan katup berkurang hingga menjadi
1 cm2.1 Pada tahap ini diperlukan suatu tekanan atrium kiri sebesar 25 mmHg untuk
mempertahankan cardiac output yang normal.2
Derajat berat ringannya stenosis mitral, selain berdasarkan gradien
transmitral, dapat juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan
antara lamanya waktu antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap.
Berdasarkan luasnya area katup mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:
Minimal : bila area >2,5 cm2
Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2
Sedang : bila area 1-1,4 cm2
Berat : bila area <1,0 cm2
34
Reaktif : bila area <2,0 cm2
Keluhan dan gejala stenosis mitral akan mulai muncul bila luas area katup
mitral menurun sampai seperdua dari normal (<2-2,5 cm2). Hubungan antara gradien
dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat pada tabel
berikut:
Derajat stenosis A2-OS interval Area Gradien
Ringan >110 msec >1,5 cm2 <5 mmHg
Sedang 80-110 msec >1 cm2-1,5 cm2 5-10 mmHg
Berat <80 msec <1 cm2 >10 mmHg
A2-OS: Waktu antara penutupan katup aorta dengan pembukaan katup mitral
Dengan bertambah sempitnya area mitral maka tekanan atrium kiri akan
meningkat bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral <1 cm2 yang
berupa stenosis mitral berat maka akan terjadi limitasi dalam aktifitas.
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada stenosis
mitral. Pada awalnya hipertensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan
atrium kiri, terjadi perubahan pada vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan
neurohormonal seperti endotelin atau perubahan anatomi yaitu remodel akibat
hipertrofi tunika media dan penebalan intima (reactive hypertension).2
2.2.6 Perjalanan Penyakit
Stenosis mitralis merupakan suatu proses progresif kontinyu dan penyakit
seumur hidup. Merupakan penyakit a disease of plateaus yang pada mulanya hanya
ditemui tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu 10 – 20 th
akan diikuti dengan keluhan fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan disabilitas.2
35
Di luar negeri periode laten bisa berlangsung lebih lama sampai keluhan
muncul, sedangkan di Indonesia manifestasi muncul lebih awal, hal ini dapat terjadi
karena tidak atau lambatnya terdeteksi, pengobatan
yang kurang adekuat pada fase awalnya.2
Angka 10 tahun survival pada stenosis mitral yang tidak diobati berkisar 50%-
60%, bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80%. Dari kelompok
ini 60% tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila simptom muncul
biasanya ada fase plateu selama 5-20 tahun sampai keluhan itu benar-benar berat,
menimbulkan disabilitas. Pada kelompok pasien kelas III-IV prognosis jelek dimana
angka hidup dalam 10 tahun < 15%.2
Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang baik (25% angka harapan
hidup 10 tahun) dibanding pada kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup 10
tahun). Risiko terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat pada fibrilasi
atrium.2
2.2.7 Manifestasi Klinis
Kebanyakan penderita mitral stenosis bebas keluhan dan biasanya keluhan
utama berupa sesak napas dan dapat juga berupa fatigue. Pada stenosis mitral yang
bermakna dapat mengalami sesak pada aktifitas sehari-hari, paroksismal nokturnal
dispnea, ortopnea atau oedema paru yang tegas. Hal ini akan dicetuskan oleh berbagai
keadaan meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian
diastole, termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktivitas seksual,
kehamilan serta fibrilasi atrium dengan respon ventrikel cepat.2
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sering
terjadi pada stenosis mitral, yaitu 30-40%. Sering terjadi pada usia yang lebih lanjut
atau distensi atrium yang akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium kiri, dan hal
ini tidak berhubungan dengan derajat stenosis.2
Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisis yang dapat terjadi karena
apopleksi pulmonal akibat rupturnya vena bronchial yang melebar, sputum dengan
36
bercak darah pada saat serangan paroksismal nocturnal dispneu, sputum seperti karat
(pink frothy) oleh karena adanya edema paru yang jelas, infark paru, dan bronchitis
kronis oleh karena edema mukosa bronkus.2
Manifestasi klinis dapat juga berupa komplikasi stenosis mitral seperti
tromboemboli, infektif endokarditis atau simtomatis karena kompresi akibat besarnya
atrium kiri seperti disfagia dan suara serak.2
2.2.8 Diagnosis
2.2.8.1 Anamnesa :
Diagnosis dari mitral stenosis ditegakkan dari riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti foto thoraks, elektrokardiografi (EKG) atau
ekokardiografi.2,3 Gejala khas stenosis mitral adalah dispneu, terutama akibat
pengurangan komplians vascular pulmonalis.5 Dari riwayat penyakit biasanya
didapatkan adanya:
1. Riwayat demam rematik sebelumnya, walaupun sebagian besar penderita
menyangkalnya.
2. Orthopneu
3. Dyspneu d’effort
4. Paroksismal nokturnal dispneu
5. Aktifitas yang memicu kelelahan / mudah lelah
6. Hemoptisis
7. Nyeri dada
8. Palpitasi
9. Edem paru
10. Kemudian, timbul payah ventrikel kanan yang dicerminkan oleh distensi vena,
pembesaran hati dan edema perifer
11. (gejala ini bias diperberat) oleh insufisiensi tricuspid fungsional.2,3,5
37
2.2.8.2 Pemeriksaan fisik :
Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
1. Sianosis perifer dan wajah
2. Bising diastol kasar (Diastolic rumble) pada daerah mitral.
3. Bising S1 meningkat.
4. Distensi vena jugularis
5. Nadi naik turun dengan cepat /irregular dan terdapat tekanan nadi yang lebar.
6. Respiratory distress
7. Digital clubbing
8. Systemic embolization
9. Tanda-tanda kegagalan jantung kanan seperti asites, hepatomegali dan oedem
perifer2,5,6
2.2.8.3 Pemeriksaan penunjang :
Dari pemeriksaan foto thoraks : didapatkan pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis, penonjolan vena pulmonalis dan tanda-tanda
bendungan pada lapangan paru. Edema intertisial berupa garis kerley terdapat pada
30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg, pada 70% bila tekanan atrium
kiri >20% mmHg. Temuan lain dapat berupa garis Kerley A serta klasifikasi pada
daerah katub mitral :
1. Pembesaran atrium kiri, sehingga tampak adanya double counter di
sepanjang garis jantung.6,7
2. Vena –vena pulmonalis melebar karena bertambah isinya dan tampak pada
photo sebagai pembuluh darah lebar dan pendek di atas hilus dengan
dengan arah ke atas.7,8
3. Otot ventrikel kanan mengalami hipertrofi. Lama kelamaan hipertrofi ini
akan diikiuti oleh dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ventrikel kanan ini
akan Nampak pada foto jantung pada posisi lateral dan pada posisi PA.8
38
4. Vascular paru baik yang arterial ataupun venous tampak bertambah
melebar.8
5. Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan. Pada keadaan
stenosis mitral yang berat, ventrikel kiri dapat menjadi kecil, begitu pula
aorta, karena kekurangan volume darah.8
6. Pembuluh darah paru bertambah terutama di daerah suprahilar kanan.8
7. Vena-vena tampak sebagai pembuluh darah yang pendek, lebar di hilus
kanan kiri bagian atas.8
Gambar photo thorax stenosis mitral posisi PA.9
Gambar moderate stenosis mitral posisi PA.10
39
Gambar photo thorax stenosis mitral posisi lateral dan CT-scan.9
Dari Ekokardiografi Doppler merupakan modalitas pilihan yang paling sensitive
dan spesifik untuk diagnosis stenosis mitral. Dengan Doppler dapat ditentukan
gradient dari mitral, serta ukuran dari area mitral dengan cara mengukur “pressure
half time” terutama bila struktur katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga
pengukuran dengan planimetri tidak dimungkinkan.2
Dari Ekokardiografitransesofageal merupakan pemriksaan ekokardiografi dengan
menggunakan transuder endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas,
terutama untuk struktur katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Dengan
ekokardiografi transesofagus lebih sensistif dalam dalam deteksi thrombus pada
atrium kiri atau terutama sekali apendiks atrium kiri.2
Kateterisasi merupakan standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat ringan
stenosis mitral. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer untuk prosedur
pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan balon.2
40
Dari pemeriksaan EKG dapat terlihat adanya gelombang P mitral berupa takik pada
gelombang P dengan gambaran QRS kompleks yang normal. Pada tahap lebih lanjut
dapat terlihat perubahan aksis frontal yang bergeser ke kanan dan kemudian akan
terlihat gambaran RS pada hantaran prekordial kanan.6,7
Dari pemeriksaan ekokardiografi akan memperlihatkan:
Ekokardiografi 2-D :
1. Sumbu pendek (kanan) yang menunjukan mengecilnya area katup mitral
menjadi bentuk mulut ikan ( fish mouth) atau lubang kancing (button hole).2
2. Sumbu panjang menunjukan dooming area mitral dan fusi dari korda.2
Gambar fish mouth dan dooming.2
Ekokardiografi transesofageal potongan 4- ruang :
1. Menunjukan penebalan daun katup mitral dengan fusi korda mengakibatkan
penyempitan dari orifisium sekunder.2
41
Gambar katup mitral.2
2. Berkurangnya permukaan katup mitral.3
3. Berubahnya pergerakan katup posterior.3
4. Penebalan katup akibat fibrosis dan multiple mitral valve echo akibat
kalsifikasi.3
2.2.8 Diagnosis Banding
1) Insufisiensi mitral
Bentuk jantung pada insufisiensi mitral ini hampir sama dengan stenosis
mitral. Pada insufisiensi mitral, ventrikel kiri nampak besar; sedang pada
stenosis mitral ventrikel kiri normal atau mengecil.
2) Regurgitasi Aorta
Hipertrofi ventrikel kiri yang jelas, pengurangan bunyi jantung pertama (S1)
dan tidak adanya opening snap pada auskultasi menyokong kearah regurgitasi
aorta.
42
2.2.9 Penatalaksanaan
Stenosis mitral merupakan kelainan mekanis, oleh karena itu obat-obatan
hanya bersifat suportif atau simtomatis terhadap gangguan fungsional jantung, atau
pencegahan terhadap infeksi. Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan
penisilin, eritromisin, sefalosporin sering digunakan untuk demam rematik atau
pencegahan endokardirtis. Obat-obatan inotropik negatif seperti ß-blocker atau Ca-
blocker, dapat memberi manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi
keluhan pada saat frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan.2
Fibrilasi atrium pada stenosis mitral muncul akibat hemodinamik yang
bermakna akibat hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta
frekuensi ventrikel yang cepat. Pada keadaan ini pemakaian digitalis merupakan
indikasi, dapat dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium.2
Antikoagulan warfarin sebaiknya digunakan pada stenosis mitral dengan
fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus untuk
mencegah fenomena tromboemboli.2
Valvotomi mitral perkutan dengan balon, pertama kali diperkenalkan oleh
Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun 1994 diterima sebagai prosedur klinik.
Mulanya dilakukan dengan dua balon, tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan
dalam teknik pembuatan balon, prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan
prosedur satu balon.2
Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup (komisurotomi) pertama kali
diajukan oleh Brunton pada tahun 1902 dan berhasil pertama kali pada tahun 1920.
Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukan secara terbuka karena adanya mesin
jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat jelas antara pemisahan komisura, atau
korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat dilakukan dengan lebih baik.
Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil apakah itu reparasi atau
penggantian katup mitral dengan protesa.2
Indikasi untuk dilakukannya operasi adalah sebagai berikut:2
43
1. Stenosis sedang sampai berat, dilihat dari beratnya stenosis (<1,7 cm2) dan
keluhan,
2. Stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal,
3. Stenosis mitral dengan resiko tinggi terhadap timbulnya emboli, seperti:
Usia tua dengan fibrilasi atrium,
Pernah mengalami emboli sistemik,
Pembesaran yang nyata dari appendage atrium kiri.
Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu:2
1. Closed mitral commissurotomy, yaitu pada pasien tanpa komplikasi.
2. Open commissurotomy (open mitral valvotomy), dipilih apabila ingin dilihat
dengan jelas keadaan katup mitral dan apabila diduga adanya trombus di dalam
atrium.
Gambar open mitral valvotomy
3. Mitral valve replacement, biasa dilakukan apabila stenosis mitral disertai
regurgitasi dan kalsifikasi katup mitral yang jelas.
44
2.2.10 Prognosis
Apabila timbul atrium fibrilasi prognosisnya kurang baik (25% angka harapan
hidup 10 tahun) dibandingkan pada kelompok irama sinus (46% angka harapan hidup
10 tahun). Hal ini dikarenakan angka resiko terjadinya emboli arterial secara
bermakna meningkat pada atrium fibrilasi.2
2.3 Reumatik Heart Disease
2.3.1 Defenisi Rheumatic Heart Disease
Demam rematik merupakan reaksi peradangan yang dapat mengenai banyak
organ tubuh terutama jantung , sendi , kulit , jaringan subcutan dan sistem saraf pusat
yang disebabkan oleh infeksi grup A Streptococcus beta hemolitikus dengan masa
inkubasi 1- 3 minggu.
2.3.2 Insidensi
Banyak didapat pada anak-anak dan orang usia muda ( 5 – 15 tahun ) .
Demam rematik ini sudah berkurang di negara berkembang pada beberapa tahun
terakhir ini, tapi masih merupakan penyakit yang penting di negara berkembang.
2.3.3 Etiologi demam rematik
Penyakit ini terjadi setelah infeksi saluran nafas bagian atas oleh streptokokus
beta hemolitikus grup A, disini sebagai reaksi jawaban atas antigen yang dikeluarkan
streptokokus dan dibentuklah antibodi. Jadi perubahan-perubahan yang menimbulkan
manifestasi demam rematik adalah reaksi imunologis antara antigen – antibodi.
Antigen reaksi silang adalah molekul streptococcus grup A yang menyerupai
molekul inang dan selama infeksi menginduksi respons imun terhadap jaringan inang.
Molecular mimicry adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan reaksi
silang imunologis antara inang dan antigen bakteri. Reaksi silang ini bisa disebabkan
oleh antibodi maupun sel T yang dapat bereaksi baik dengan komponen streptococcus
maupun dengan antigen jaringan.
45
Molecular mimicry antara inang dan antigen bakteri:
Sequence asam amino identik yang dimiliki molekul jaringan inang dan
molekul bakteri. Antibodi mengenali struktur yang mirip, seperti protein M
streptococcus dan protein myosin, keratin, tropomyosin, vimentin, dan laminin milik
inang, keduanya memiliki region yang identik 40%. Reaksi silang antar molekul yang
berbeda, seperti DNA dan protein, atau karbohidrat dan peptida. Dalam demam
rematik, antibodi terhadap streptococcus grup A yang bereaksi terhadap jaringan
jantung (heart-reactive Ab) bertahan ada pada pasien-pasien yang mengalami
rekurensi, dan ada hubungan antara titer heart-reactive Ab dengan rekurensi demam
rematik. Heart-reactive Ab dilaporkan menurun dalam 5 tahun sejak awal serangan
demam rematik. Protein yang terdapat pada dinding sel dan membran sitoplasma
streptococcus grup A merupakan antigen reaksi silang dengan myocardium (molekul
myosin), N-acetylglucosamine, dan laminin. Polisakarida streptococcus grup A
merupakan antigen reaksi silang dengan glikoprotein katup jantung. Kapsul asam
hyaluronat streptococcus grup A merupakan antigen reaksi silang dengan jaringan
sendi. Antigen reaksi silang dari protein M dan polisakarida streptococcus grup A
menimbulkan antibodi reaksi silang dan sel T reaksi silang terhadap berbagai antigen
inang seperti myosin, tropomyosin, keratin, vimentin, dan laminin serta molekul
MHC klas II.
2.3.4 Manifestasi Klinik
Sangat bervariasi, kadang-kadang sukar ditemukan pada saat pasien datang
pertama kali berobat, karena masa laten infeksi kuman streptococcus dan munculnya
demam rematik akut cukup singkat (terutama artritis dan eritema marginatum) dan
akan lebih lama bila ada chorea, sedangkan karditis dengan nodul subkutan
diantaranya.
Lamanya demam rematik akut jarang melebihi 3 bulan, tetapi bila ada
karditis akan berlangsung 6 bulan atau lebih. Kadang-kadang karditis ditemukan
pada serangan pertama demam rematik. Bila ringan (tanpa karditis), akan sembuh
46
sebelum usia 25 tahun, tetapi bila berat (ada karditis), pengobatannya akan
berlangsung seumur hidup.
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis demam rematik tergantung dari manifestasi major dan minor dan
culture /titer antibody streptococcus ( Jones criteria . updated 1992 . AHA ) :
Manifestasi major :
- Karditis
- Polyarthritis
- Chorea
- Erythema marginatum
- Subcutaneous nodule
Manifestasi minor :
- Arthralgia
- Fever
- Riwayat pernah menderita demam rematik
- LED meningkat
- C-reactive protein positif
- PR interval memanjang
kultur positive dari tenggorokan dan titer antibody streptococcal meningkat.
Kriteria Diagnosa Demam Rematik
1. dua gejala Major.
2. satu gejala Major dengan dua gejala Minor.
47
Karditis
Merupakan manifestasi klinis yang penting dengan insiden 40 – 50 % ,
bisa mengenai endokardium, miokardium dan perikardium. bila lebih
berat akan terjadi kardiomegali dengan murmur sistolik di katup mitral
( jarang di katup aorta ) dan gagal jantung . Takikardia adalah gejala awal
dari miokarditis . Demam rematik bila menyerang endokardium disebut
rhematic endocarditis = verrucous valvulitis terutama pada (menurut
urutan seringnya) katup mitral, katup aorta, jarang katup trikuspid dan
tidak pernah katup pulmonal. Bila demam rematik mengenai perikardium
akan didapatkan cairan pada perkardium dan pada auskultasi terdengan
perikardial friction rub dan ada sakit dada. Dengan kata lain karditis dapat
diduga bila ditemukan ; bising jantung, kardiomegali, gagal jantung dan
pericardial friction rub . pada EKG ; PR interval memanjang, AV BLOK ,
VES, dan atrial fibrilasi.
Polyarthritis : pada 50 – 60 % penderita.
Biasanya sendi besar yang terkena dan berpindah-pindah tanpa adanya
cacat sendi.
Misal : sendi lutut, pergelangan tangan , pergelangan kaki , bahu dan siku
nyeri timbulnya tiba-tiba dengan frekwensi nyeri meningkat dalam 12 –
24 jam yang diikuti reaksi radang (bengkak, panas, kemerahan). nyeri
akan hilang secara perlahan-lahan.(jarang lebih 1 minggu). Bila diberikan
aspirin tidak membaik dalam 24 – 48 jam , maka diagnosis demam remtik
diragukan .
Chorea : (sydenham’s chorea)
Merupakan manifestasi neurologi ; gerakan-gerakan yang cepat tidak
beraturan tanpa disadari yang akan ditemukan pada wajah dan anggota
48
gerak tubuh yang biasanya unilateral disertai kelemahan otot-otot , emosi
yang labil. Gerakan-gerakan ini menghilang saat tidur.
Erythema Marginatum:
Jarang ditemukan , kira-kira didapat 5 %, berupa makula,besarnya
bermacam-macam, batas tepinya tajam dengan bagian centralnya pucat.
Tidak nyeri dan tidak gatal. Ditemukan pada badan, leher dan proksimal
extrimitas , tidak pernah pada muka.
Subcutaneous Nodule:
Besarnya nodul kecil ,kira-kira 0,5 – 2 cm, bundar, tidak nyeri tekan,
ditemukan pada daerah tonjolan extensor sendi-sendi lutut , bahu, tangan
dan daerah prosesus spinatus vertebrae thoracal dan lumbal. Arthralgia
dan Fever adalah tidak spesifik untuk demam rematik. Jadi kriteria minor
ini untuk menyokong diagnosa demam rematik bila hanya ditemukan satu
manifestasi major. Panas badan biasa nya > 39 derajat celcius.
2.3.6 Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang
· Hb, hematokrit, lekosit, LED, C-raective protein
· EKG serial
· Echocardiography : melihat anatomi ,katup-katup jantung,
pericardial effusion dan fungsi jantung.
· X foto thorax
· Titer ASTO dan anti- Deoxy-ribonuclease B
2.3.7 Komplikasi
· Tromboemboli yang dapat menimbulkan stroke dan Deep Vein
Thrombosis
· Subakut Bakterial Endokarditis
49
· Fibrilasi Ventrikel
2.3.8 Penatalaksanaan
Istirahat mutlak
Makanan lunak.
Aspirin dosis tinggi.
Benzanthine Penicillin G 1,2 juta U / IM selama 10 hari. Kemudian
diberikan profilaktik sbb: untuk yang ringan 1 bulan sekali (sampai
umur 25 tahun), untuk yang berat (dengan karditis) 3 minggu sekali
(seumur hidup). Bisa diberikan penicillin V 125 – 250 mg po 2x/hari.
Sulfadiazine 0,5 gram po,1x/ hari dengan Berat badan < 27 kg. dan 1
gram 1x/hari bila > 27 kg.
Erythromycin 250 mg po,2x/hari ( untuk pasien alergi penicillin )
Corticosteroid pada kasus yang berat.
Pencegahan sekunder
Bila demam rematik akut telah sembuh, maka masalah utama adalah
pencegahan sekunder.
2.3.9 Prognosa
Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi streptococcus teratasi.
Prognosa sangat baik bila karditis sembuh. Sebaliknya prognosa jelek bila karditisnya
lebih berat.
Penyakit jantung rematik angka survival < 40 %. Sedangkan demam rematik
tanpa karditis survival > 40 %
50