BAB III revisi - Perpustakaan...

26
56 BAB III SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN ISLAM Mengenai sumber pengetahuan dikalangan ilmuwan ada semacam perbedaan sudut pandang. Mengenai kisaran dari manakah sebenarnya pengetahuan itu ada. Perbedaan-perbedaan inilah dalam filsafat, baik filsafat Barat maupun filsafat Islam melahirkan berbagai aliran, yaitu; aliran empirisme, rasionalisme, dan intusionalisme. Perdebatan seputar dari mana asal (sumber) ilmu pengetahuan itu muncul dalam filsafat di kupas dalam sebuah ilmu yang disebut dengan istilah epistemology, di mana epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang secara khusus membahas dan mempertanyakan dari mana sumber pengetahuan itu diperoleh. Ada semacam perbedaan sudut pandang antara filsafat Barat dan filsafat Timur 1 dalam hal epistemologi. Dalam hal ini epistemologi Barat itu lebih mengistemewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala sesuatu”. Di mana ia lebih mengandalkan kekuatan akal dan indera. Sedangkan epistemologi Islam gagasan epistemologinya diformulasikan berdasarkan Al-Qur’an dan al- Sunnah sebagai sumber utama dalam memecahkan “segala sesuatu”. 2 Perbedaan sudut pandang tersebut sampai saat ini terus menjadi perbincangan yang tidak pernah berakhir. Karena setiap pengetahuan yang dimunculkan, penjelasan secara ilmiah selalu dituntut, dan yang paling utama yang harus mampu menjelaskan dari manakah pengetahuan itu diperoleh dan sejauh mana pula tingkat validitasnya. Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan 1 Istilah Filsafat Timur ini lebih dikenal dengan istilah “Filsafat Islam” 2 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta, Erlanga, t.th), hlm. 103.

Transcript of BAB III revisi - Perpustakaan...

56

BAB III

SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN ISLAM

Mengenai sumber pengetahuan dikalangan ilmuwan ada semacam

perbedaan sudut pandang. Mengenai kisaran dari manakah sebenarnya

pengetahuan itu ada. Perbedaan-perbedaan inilah dalam filsafat, baik filsafat Barat

maupun filsafat Islam melahirkan berbagai aliran, yaitu; aliran empirisme,

rasionalisme, dan intusionalisme. Perdebatan seputar dari mana asal (sumber)

ilmu pengetahuan itu muncul dalam filsafat di kupas dalam sebuah ilmu yang

disebut dengan istilah epistemology, di mana epistemologi adalah cabang ilmu

filsafat yang secara khusus membahas dan mempertanyakan dari mana sumber

pengetahuan itu diperoleh.

Ada semacam perbedaan sudut pandang antara filsafat Barat dan filsafat

Timur1 dalam hal epistemologi. Dalam hal ini epistemologi Barat itu lebih

mengistemewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala sesuatu”. Di

mana ia lebih mengandalkan kekuatan akal dan indera. Sedangkan epistemologi

Islam gagasan epistemologinya diformulasikan berdasarkan Al-Qur’an dan al-

Sunnah sebagai sumber utama dalam memecahkan “segala sesuatu”.2

Perbedaan sudut pandang tersebut sampai saat ini terus menjadi

perbincangan yang tidak pernah berakhir. Karena setiap pengetahuan yang

dimunculkan, penjelasan secara ilmiah selalu dituntut, dan yang paling utama

yang harus mampu menjelaskan dari manakah pengetahuan itu diperoleh dan

sejauh mana pula tingkat validitasnya.

Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk

melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang

mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al-

Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut

yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan

1 Istilah Filsafat Timur ini lebih dikenal dengan istilah “Filsafat Islam” 2 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik, (Jakarta, Erlanga, t.th), hlm. 103.

57

keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an

Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat-

ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah

maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan

epistemologi.3

Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka

ayat ini secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari

metode untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang

dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang

dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk

memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al-

Qur’an.4 Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu

keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi),

akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-

Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.

Adanya gagasan epistemologi Islam tak lain itu bertujuan untuk

memberikan ruang gerak bagi pemikir muslim khususnya, supaya bisa keluar dari

jeratan pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada

epistemologi Barat. Kesalahan kerangka berfikir tersebut sedini mungkin untuk

diluruskan dan dikembalikan pada asalnya yakni pengetahuan Islam itu lebih

dahulu sukses ketimbang pengetahuan Barat. Dalam dataran idealisme, gagasan

untuk membentuk epistemologi Islam yaitu sebagai upaya untuk penyelamatan

umat dari “keterjebakan intelektual”.

Sebelum diuraikan mengenai sumber-sumber pengetahuan Islam, untuk

menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian ilmu, tidak ada salahnya disini

akan dijelaskan apa itu ilmu pengetahuan. Ada berbagai istilah yang digunakan

untuk menyebutkan ilmu pengetahuan. Seperti masalah ilmu, pengetahuan, al ilm

dan sains. Istilah-istilah tersebut karena adanya subyek dan metode pengukuran

yang berbeda dan disiplin intelektual yang dipakai oleh masing-masing ilmuwan.

3 Ibid., hlm. x. 4 Ibid.

58

Ilmuwan Barat lebih senang menyebutnya dengan istilah sains dan ilmuwan Islam

lebih senang menyebutnya dengan istilah ilmu, hal ini merujuk pada bahasa Arab

dari kata “al-Ilm” yang memiliki arti ilmu pengetahuan. Kedua istilah ini tentu

memiliki sumber yang berbeda.

Dalam konteks Islam, sains tidak memiliki kebenaran absolut. Islam

lebih tepat dengan mengambil istilah al- ilm untuk mendefinisikan ilmu

pengetahuan, karena istilah al-Ilm memiliki dua komponen, yaitu; Pertama,

bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-Qur’an yang

memiliki kebenaran mutlak (absolut), yakni kebenarannya tidak diragukan.

Kedua, bahwa metode dalam mempelajari pengetahuan yang sistematis dan

koheren semuanya sama-sama valid, yakni memiliki kebenaran yang dapat

dipakai untuk memecahkan segala masalah yang dihadapi. Al-ilmu ini memiliki

akar sandaran yang lebih kuat ketimbang sains dalam versi Barat. Karena akar

sandaran al-ilm itu secara langsung dari yang Maha berilmu, yakni Tuhan di mana

secara teologis diyakini sebagai Penguasa atas segala sesuatu.

Dalam sumber dan metode ilmu, kelihatannya ilmu pengetahuan Islam

itu bertentangan dengan filsafat dan sains modern yang dikembangkan oleh

ilmuwan Barat. Dalam sumber utama ilmu pengetahuan adalah berasal dari

Tuhan, dan diperoleh melalui saluran indera yang sehat, laporan yang benar yang

disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi.5 Dalam hal indera dan akal

sehat tidak terjadi pertentangan yang berarti antara pandangan Barat dan Islam.

Sedangkan pada otoritas intuisi memang terjadi pertentangan mendasar di antara

kedua pandangan tersebut. Karena pengetahuan yang diperoleh melalui cerapan

intuisi dianggap tidak melalui proses perenungan dan tidak terdapat langkah-

langkah yang sistematis serta terkendali, sehingga pengetahuan yang dicapai atau

diperolehnya sulit dipercaya diakui kebenaran dan tingkat validitasnya.

Sedangkan dalam Islam memposisikan intuisi itu sebagai media dan juga sebagai

sumber pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena,

5 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Peny.

Zainal Abidin M. Baqir, (Bandung, Mizan, 1995), hlm. 34

59

intuisi itu merupakan salah saluran untuk memperoleh pengetahuan yang dimiliki

manusia.

Yang menjadi pertanyaan selanjutnya disini yaitu mengenai sumber-

sumber pengetahuan Islam? Dan dari manakah pengetahuan Islam itu diperoleh.

Dalam pengetahuan Islam ada tiga sumber (episteme) yang dipakai akar pijakan

dalam mencapai atau memperoleh suatu ilmu dan sains. Ketiga sumber tersebut

ialah wahyu, akal dan empirisme.

A. Wahyu

Dasar yang paling pokok dalam pengetahuan Islam adalah wahyu.

Disini yang menjadi persoalan adalah bisakah wahyu terjadi. Untuk itu, perlu

dijelaskan arti wahyu. Wahyu berasal dari bahasa Arab “Al-Wahy”, dan Al-

Wahy adalah kata asli Arab bukan kata pindahan dari bahasa asing. Kata itu

berarti suara, api dan kecepatan. Makna wahyu secara bahasa adalah sesuatu

yang tersembunyi dan cepat, maksudnya adalah pemberitahuan kepada

seseorang tentang sesuatu secara tersembunyi dan cepat serta bersifat khusus

bagi dia sendiri dan tersembunyi bagi yang lainnya.6

Wahyu adalah kebenaran yang langsung dari Allah kepada seorang

hamba-Nya, dengan kata lain wahyu merupakan komunikasi Tuhan dengan

manusia. Dalam filsafat Tuhan dikatakan mind, akal. Karena Tuhan adalah

akal, akal manusia mempunyai akal tidak mustahil dapat berkomunikasi

dengan Tuhan sebagai akal. Dalam Islam, Tuhan dianggap akal kurang

diterima.. Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, mestilah suatu

substansi yang mempunyai daya berpikir, maka tidak mustahil daya berpikir

manusia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan daya berpikir yang

ada pada substansi Tuhan. Kalau ini tidak mustahil, adanya wahyu tidak

mustahil pula.7

Keterangan di atas menunjukkan bahwa, wahyu pada dasarnya

merupakan Firman Allah, sedangkan isi wahyu yang berupa pengetahuan

diturunkan Allah kepada manusia yang telah ditunjuk atau dipilih sendiri

6 Mizka Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 2 7 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 14.

60

oleh Allah, dalam hal ini Nabi atau Rasul. Wahyu yang diterima Nabi atau

Rasul adalah berbentuk risalah (ajaran) yang menyangkut berbagai aspek

untuk kebutuhan kehidupan, dan pengetahuan manusia, khususnya hubungan

manusia dengan Allah dalam bentuk masalah keimanan. Wahyu yang

menyangkut risalah hanya ditujukan kepada Nabi atau Rasul, khususnya

wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui

empat cara :

1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hatinya, hal ini Nabi tidak melihat sesuatu apapun, hanya merasa sesuatu sudah berada dalam kalbunya.

2. Malaikat menampakkan dirinya sendiri kepada Nabi, seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal kata-kata itu.

3. Wahyu yang datangnya seperti gemerincingnya lonceng, cara inilah yang amat berat dirasakan Nabi, kadang-kadang pada keningnya keluar keringat, meskipun turunnya di musim dingin yang sangat.

4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi dengan rupanya sendiri.8

Agar tidak terjadi salah penafsiran, perlu diberi penjelasan tentang

wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Pertama,

bahwa wahyu yang diturunkan sebelum beliau ditujukan untuk segolongan

umat, tempat dan ruang tertentu. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan

Rasul berbentuk risalah, oleh karena itu sudah tidak bisa diturunkan lagi oleh

Allah kepada siapapun. Ilham yang diturunkan kepada perorangan tidak

menyangkut risalah tetapi menyangkut kebutuhan yang sangat mendesak dan

sangat dibutuhkan penerimanya.9

Dengan adanya perbedaan tersebut ada kesan lain pengetahuan wahyu

tidak dapat diterima oleh manusia awam yang tidak ditunjuk oleh Allah

sebagai utusan-Nya. Untuk menghilangkan tersebut baik dikaji penurunan

wahyu itu sendiri. menurut proses penyampaiannya wahyu diturunkan

melalui jantung hati. belakang tabir dan perantaraan Jibril. Khusus wahyu

yang melalui perantara hanya disampaikan kepada penerima yang pertama

8 Soenaryo, Al-Qur’an, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 16-17. 9 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 55

61

yaitu -Nabi atau Rasul, yang mana Nabi atau Rasul diwajibkan untuk

menyampaikan kepada ummat manusia yang berupa masyarakat.

Wahyu tidak diturunkan langsung kepada masyarakat tetapi melalui

seseorang yang diangkat Tuhan menjadi utusan-Nya. Setelah menerima

wahyu ia berwenang menjelaskan, menafsirkan, memerinci. Kemampuan ini

diperoleh karena ia selalu dekat dengan Tuhan yang mengutus-Nya.10 Dari

sini dapat dipahami bahwa pengetahuan wahyu yang bersifat risalah

diberikan kepada Nabi dan Rasul.

Menurut Rasyid Ridha, wahyu yang telah diberikan oleh Allah

kepada para Rasul-Nya, ialah suatu ilmu pengetahuan yang dikhususkan

kepada mereka dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka kaji

sebelumnya. Disebutkan dalam kitab Al-Masyarik, sebagaimana yang dikutip

oleh Komari, bahwa wahyu itu pada asalnya sesuatu yang diberitahukan

dalam keadaan tersembunyi dan cepat. Maksudnya yaitu diturunkan suatu

pengetahuan ke dalam jiwa dalam sekaligus dengan tidak lebih dahulu timbul

pikiran dan pendahulunya.11

Adapun cara-cara wahyu bisa sampai pada diri manusia yaitu bisa

dicermati dalam ayat al-Qur’an, yaitu pada Surat, as-Syura: 51-52, Q S. as-

Saffat: 102, QS. Al-A’raf: 143, QS. As-Syuara: 192-195, QS. Al-Baqarah:

97, QS. At-Takwir: 19-23, Qs. An-Najm: 10-12, Qs. Ayat-ayat tersebut

menunjukkan bahwa wahyu disampaikan dengan berbagai cara sesuai dengan

kehendak Allah, dan hakekat wahyu tidak ada seorangpun yang mengetahui

kecuali Allah dan yang menerimanya. Pengetahuan yang diterima tidak

diragukan lagi kebenarannya, hal ini bisa dicermati melalui sebuah kitab suci

baik al-Qur’an maupun kitab suci yang lain yang diturunkan Allah kepada

para nabi dan rasul yang bisa dijadikan petunjuk umat disepanjang zaman,

sebagaimana al-Qur’an yang sampai ini tak seorangpun yang dapat membuat.

Dan al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Tuhan (pengetahuan) yang

diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad saw.

10 Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hlm. 35 11 Komari, Perang dan Damai dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1995), hlm. 39.

62

Dari keterangan di atas apabila digambarkan, pengetahuan yang

bersumber dari wahyu yang melahirkan epistemology quranic, yaitu sebagai

berikut:

(Epistemology Qur’anic). 12

Dengan demikian wahyu adalah pengetahuan dan hidayah yang

datang secara langsung dari Allah terhadap mahluk yang dikehendaki-Nya,

yakni para nabi dan rasul, beliau lah orang-orang yang dikehendaki Allah

untuk menerima pengetahuan atau risalah secara langsung dari-Nya, dan

pengetahuan tersebut bisa dijadikan petunjuk bagi umat manusia. Perolehan

pengetahuan ini baik melalui perantara atau tanpa perantara.

B. Akal Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia, karena manusia

adalah satu-satunya makhluk paling sempurna di antara makhluk lain.

Kesempurnaan manusia tersebut adalah karena manusia dibekali Allah

berupa akal. Akal ini pula manusia menanggung amanat Allah di muka bumi

sebagai khalifah, menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Manusia juga

dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukan.

Akal bagi manusia itu sangat penting karena akal berfungsi untuk

berfikir, memahami, merenungkan dan memutuskan mana yang seharusnya

di lakukan dan mana yang seharusnya di tinggalkan.

12 Telah pemikiran Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press,

1990), pemikiran ini hampir senada dengan pemikiran Tosikho Isuzhu, mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya konsepnya tentang perolehan pengetahuan dalam al-Qur'an itu sama dengan pemikiran Harun Nasution.

Tuhan

Malaikat

Nabi/ Rasul

63

Keberadaan akal dalam al-Qur’an sangat dimuliakan oleh Allah,

terbukti dengan sanjungan-sanjungan yang diberikan oleh Allah kepada

orang yang berakal, karena dengan akalnya manusia mampu mengarahkan

dirinya kepada hakekat, menjauhkan dirinya dari yang batil, tunduk kepada

hukum, menerima perintah dan menjauhi larangan, mengikuti yang baik dan

menjauhi yang buruk.13 Jika manusia mampu menggunakan, membimbing

serta mengarahkan akalnya pada jalan yang baik, maka akal dapat berfungsi

secara baik, tanpa adanya bimbingan akal akan liar sebagaimana akal

binatang. Akal inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan yang

memberikan kemuliaan manusia.

Akal yang dimiliki manusia, memiliki beberapa pengertian, akal dapat

diartikan sebagai daya pikir, daya upaya, tipu daya, dan kemampuan untuk

memahami lingkungan.14 Kata “akal” berasal dari bahasa Arab (al-‘aql),

dalam al-Qur'an berbentuk ‘aqala yang berarti mengikat. Al-‘aql juga berarti

al-Hajr, yang memiliki arti menahan, al-Nuha yang artinya kebijaksanaan

yang merupakan lawan dari al-Huma yang artinya lemah pikiran, “akal” juga

berarti al-Qalbu, lebih jauh kata ‘aqala diartikan memahami.15 Dalam hal

ini, secara terminologi “akal” diartikan, yaitu sebagai daya pikir yang ada

dalam diri manusia, dan merupakan salah satu daya dari jiwa yang berarti

pula berfikir, memahami, menelaah, dan mengerti.

Kata ‘aql dan fungsinya tersebut, dalam al-Qur'an lebih banyak

berbentuk kata kerja masa sekarang (mudhari’), dan sekali dalam bentuk

masa lampau (madhi), yaitu berbentuk ‘aqaluh yang terdapat dalam Surat

al-Baqarah ayat 75: "Apakah kamu masih mengingini supaya mereka

percaya padamu, sedang sebagian dari mereka mendengar sabda Allah

yang kemudian mereka palsukan setelah mereka sebenarnya tahu. (QS: al-

13 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 153-155. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahsa, Dep. Dik. Bud, Kamus Besar

Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 14. 15 Abi Al-Fadlil Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Mandlur, Lisan al-Arab,

(Beirut, Darul Shadr, 1990), Juz. 11, hlm. 458.

64

Baqarah: 75). Jumlah kata akal yang tersirat dalam al-Qur’an kurang lebih

disebutkan sebanyak 120 kali 16

Sedangkan kata yang lain yang memiliki kandungan arti yang terkait

dengan potensi daya pikir manusia yaitu:

Pertama, kata ta’qilun, kata ini dalam al-Qur'an disebut 24 kali, di

antaranya terdapat dalam Surat al-Baqarah ayat 242: "Demikian Allah

menerangkan ayat-ayatnya bagimu semua agar kamu mengerti. (QS: al-

Baqarah: 242), kata na’qil kata ini dalam al- Qur'an disebut hanya satu kali,

yaitu dalam Surat al-Mulk ayat 10: "Mereka berkata: "sekiranya kami mau

mendengar dan mau mengerti tidaklah kami menjadi penghuni neraka”.

(QS: al-Mulk: 10), kata ya'qiluha, kata ini dalam al- Qur'an disebut satu kali

yaitu dalam Surat al-Ankabut ayat 43: "Demikianlah perumpamaan-

perumpamaan kami bagi manusia, tetapi yang dapat memahaminya adalah

orang yang tahu. (QS: Al-Ankabut: 43), kata ya’qilun disebut dalam al-

Qur'an sebanyak 22 kali, diantaranya terdapat dalam Surat al-Hajj ayat 46:

"Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan

mereka mempunyai kalbu untuk memahami dan telinga untuk mendengar.

Sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi kalbu di dalam dadalah yang

buta”. (QS: al-Hajj: 46).

Kata-kata tersebut dalam al-Qur'an merujuk kepada orang-orang yang

beriman kepada Allah. Orang yang berakal akan mampu merenungi ayat-ayat

(tanda-tanda kebesaran-Nya). Sebaliknya orang-orang yang sesat adalah

mereka yang tidak menggunakan akalnya, dan kesesatannya tersebut

dipandang lebih hina dari pada binatang.

Selain ayat-ayat di atasnya, masih banyak ayat-ayat yang

menggambarkan tentang keberadaan manusia sebagai makhluk berfikir

dengan bentuk kata yang berbeda, (tidak menunjuk pada kata ‘uyulu secara

langsung), misalkan berbentuk kata nazhara, yang berarti melihat secara

abstrak atau berfikir dan merenungkan; Tadabbara, yaitu merenungkan.

16 M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufharras Li-Alfadh al-Qur’an Al-Karim, (Kairo:

Dar Al-Fikr, 1981), hlm. 468-469.

65

Tafakkara, yaitu berfikir; Faqiha yaitu mengerti, atau faham; Tadzakkara

yaitu mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,

memperhatikan dan rnempelajari; Fahima yaitu memahami.

Untuk sebutan orang-orang muslim yang berfikir, al- Qur’an

menggunakan istilah “ulul albab”, yakni orang yang berfikir; “ulul ilm”

orang yang berilmu; “ulul abshar” atau orang yang mempunyai pandangan;

dan “ulul nuha”, orang yang bijaksana.17

Kata "akal " mempunyai hubungan yang erat dengan kata nafs, qalb,

fu'ad, bashirah dan ruh, dengan bentuk korelasi bahwa manusia mempunyai

dimensi ruhani terdiri dari nafs, ‘aql, qalb, fu'ad, bashirah dan ruh. Nafs di

ibaratkan sebagai ruangan yang luas dalam alam ruhani manusia dari dalam

nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai,

menganalisisnya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui

jaringan qalb, fu'ad, aql, bashirah, tetapi semua itu baru berfungsi ketika ruh

dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna.18

Kekuatan akal untuk mengetahui segala sesuatu, menurut Muhammad

Abduh, pada setiap orang mempunyai kekuatan yang berbeda, perbedaan ini

dibagi menjadi dua yaitu akal khawas dan akal awam. Akal khawas adalah

akal yang dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan akal awam

adalah akal yang tidak bisa mencapai seperti apa yang dicapai oleh akal

khawas. Dengan adanya dua macam akal ini maka fungsi wahyu, jika

diterima oleh akal awam, memiliki fungsi informasi, sementara yang

diterima oleh akal khawas berfungsi sebagai konfirmasi. Maksudnya adalah

kalau akal khawas melakukan penyelidikan tentang hal-hal yang ingin

diketahui, maka wahyu berfungsi sebagai alat untuk membenarkan

penyelidikan ketika terjadi chaos. Berbeda dengan akal awam ketika melihat

wahyu, maka wahyu itu merupakan informasi pertama yang ia ketahui,

Perbedaan akal di atas menurut Muhammad Abduh tidak hanya karena faktor

17 Harun Nasution, op. cit., hlm. 39-47. 18 Ahmad Mubarrak, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 134.

66

pengetahuan akan tetapi adanya faktor pembawaan alami di luar kehendak

manusia.19

Menurut Ibn Rusyd akal dibagi menjadi tiga: Pertama akal

Demonstratif (burhani) yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil-

dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan

penting serta melahirkan filsafat. Kedua adalah akal logik (mantiqi) yang

sekedar mampu memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga adalah akal

retorik (khitabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat

dan retorik, karena tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir

sistematis.20 Berbeda dengan AI-Kindi yang membagi akal menjadi dua,

yaitu akal praktis dan teoritis.21

Pertama, akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti berasal dari

materi yang ditangkap oleh indra, sedangkan akal teoritis adalah akal yang

dapat menangkap arti murni, yaitu arti yang tidak pernah ada dalam materi,

seperti Tuhan, roh dan malaikat Kemudian akal teoritis menurut Ibnu Sina

dibagi lagi menjadi empat, yaitu akal Materiel, Bakat, Aktual dan perolehan.

Pertama, Akal materiel adalah akal yang semata-mata mempunyai potensi

untuk berfikir belum dilatih walaupun sedikit. Kedua, akal bakat yaitu akal

yang sudah mulai dilatih berfikir tentang hal-hal yang abstrak. Ketiga akal

aktual yaitu akal yang telah mampu berfikir hal-hal yang abstrak dan dapat

dikeluarkan setiap saat bila dikehendaki. Keempat, akal perolehan yaitu akal

yang sanggup berfikir tentang hal-hal yang abstrak, dengan tidak

memerlukan daya upaya. Akal perolehan inilah yang dapat menangkap ilmu

pengetahuan dari akal aktif, yang oleh Al- Farabi disebut akal kesepuluh

yaitu malaikat Jibril, sebagaimana terdapat dalam filsafat emanasinya.22

Al-Farabi membagi akal menjadi sepuluh macam yang berawal dari

pancaran Tuhan sebagai wujud pertama berfikir akan dirinya sehingga timbul

19 Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,

1995), hlm. 119-122. 20 Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Rosdakarya, 1994), hlm. 207-

210. 21 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 58-63 22 Ibid., hlm. 86-90.

67

wujud kedua yang disebut akal pertama, akal ini berfikir akan dirinya dan

Tuhan, maka muncullah akal kedua dan langit pertama, akal kedua berfikir

akan dirinya dan Tuhan maka muncullah akal ketiga dan bintang-bintang,

akal ini berfikir akan dirinya dan Tuhan maka muncul akal keempat dan

Saturnus, akal keempat berfikir tentang dirinya dan Tuhan maka muncul akal

kelima dan Yupiter, selanjutnya akal kelima berfikir tentang dirinya dan

Tuhan maka muncul akal keenam dan Mars, akal keenam berfikir tentang

Tuhan dan dirinya maka muncul akal ketujuh dan Matahari, akal ketujuh

berfikir tentang dirinya dan Tuhan maka muncul akal kedelapan dan Venus,

akal kedelapan berfikir tentang Tuhan dan dirinya, maka muncul akal

kesembilan dan Mercurius, selanjutya akal kesembilan menghasilkan akal

kesepuluh dan bumi, dan ruh-ruh serta materi pertama yang menjadi dasar

dari empat unsur yaitu: api, udara, air dan tanah. Dan dari akal kesepuluh ini

sudah tidak bisa menghasilkan akal lagi.23

Masalah akal ini, para teologi juga berselisih pendapat tentang

kekuatan akal, diantaranya adalah dua kubu yang saling bertolak belakang

yaitu Mu’tazilah dengan tokoh pendirinya Jaham bin Sofwan dan Asy’ariyah

dengan tokoh pendirinya Imam al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al- Maturidi.

Menurut Mu’tazilah akal tanpa adanya wahyu dapat mengetahui adanya

Tuhan, mampu mengetahui adanya kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,

mengetahui mana hal yang baik dan yang buruk, serta mampu mengetahui

kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Dari keempat hal tersebut menurut Mu’tazilah dapat diketahui tanpa adanya

wahyu. Berbeda dengan pendapat Asy’ariah bahwa akal tanpa adanya wahyu

hanya akan mengetahui satu dari empat hal di atas yaitu hanya akan tahu

tentang adanya Tuhan.

Munculnya perbedaan pendapat mengakibatkan perpecahan dalam

paradigmanya di mana aliran ini pecah menjadi dua, yaitu Maturidiah

Samarkand yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammmad Al-Maturidi,

23 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ictiar Baru Van Hoeve, (Jakarta:

1993), hlm.99.

68

yang berpendapat bahwa akal dapat mengetahui dari tiga dari empat hal di

atas yaitu tahu akan adanya Tuhan, tahu kewajiban berterima kasih pada

Tuhan, mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.

Sedangkan hal yang keempat yaitu mengetahui kewajiban berbuat baik dan

meninggalkan hal yang buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Maturidiah

yang kedua adalah Maturidiah Bukhara yang dimotori oleh Imam All

Muhammad Al-Baidlawi, menurut aliran ini akal hanya mengetahui dua hal

yaitu: mengetahui adanya Tuhan dan hal yang baik serta hal yang buruk,

sedangkan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih pada Tuhan dan

kewajiban menjalankan hal yang baik dan buruk hanya dapat diketahui

dengan bantuan wahyu.24

Dawam Rahardja dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur’an

mengemukakan bahwa, orang yang berakal atau ulul albab mempunyai

fikiran (mind), yang luas atau mendalam, mempunyai perasaan (heart) yang

peka, sensitif, atau yang halus perasaannya, mempunyai daya pikir (intelek)

yang tajam atau kuat, memiliki pandangan yang dalam atau wawasan

(insight) yang luas dan mendalam, memiliki pengertian (understanding) yang

akurat, tepat atau luas, dan memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu

mendekati kebenaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan

adil. Jadi ulul albab adalah seseorang yang mempunyai otak yang berlapis-

lapis dan sekaligus memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya.25

Sebagaimana fungsinya kedudukan akal dalam epistemologi, yaitu

sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya akal adalah

sumber pengetahuan manusia, karena manusia itu pandai berpikir maka ia

mampu menyerap pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran (rasio/akal) nya.

Dalam rasionalis idealis, bahwa pengetahuan akal melebihi pengetahuan

pengalaman, sedangkan rasionalis kritis, mengatakan bahwa akal mengolah

pengalaman sambil meresap pada obyek itu sendiri.

24 Harun Nasution, op. cit., hlm. 76-77. 25 Dawam Raharja, Ensiklopedi Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 557.

69

Tidaklah mudah membuat definisi akal sebagai suatu metode untuk

memperoleh pengetahuan. Rasionalis berpendirian bahwa sumber

pengetahuan terletak pada akal. Bukan rasionalisme mengingkari

pengalaman, melainkan dipandang sejenis perangsang bagi pikiran, para

penganut rasionalis yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak pada ide

kita. Dan bukannya pada barang tertentu. Jika kebenaran mengandung makna

ide yang sesuai dengan kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada dalam

pikiran kita dan hanya dapat diperoleh lewat akal budi saja.

Bagi penganut rasionalis, dapat juga disebut intelektualisme, yang

menyangkal adanya pengalaman inderawi. Sebagaimana Leibniz

mengatakan, bahwa pengetahuan inderawi pada hakekatnya tak lain adalah

pengetahuan budi, tetapi masih setengah tidur. Rupanya manusia masih

menerima kesan dari panca indera, namun dalam proses penyadaran yang

dilakukan secara filsafat. Nampaklah segala pengetahuan sudah tercakup

dalam kehidupan batin kita, yang semula nampak seolah-olah datang dari

luar (pengalaman, empiris). Pada hakekatnya dikembangkan oleh akal budi

dengan menimba dari akar-akarnya sendiri.26

Akal dan indera dalam kaitannya dengan pengetahuan satu dan yang

lainnya tidak dipisahkan secara tajam, satu dengan yang lain bahkan saling

berhubungan. Akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak

memikirkan sesuatu. Bila keduanya bergabung maka timbullah pengetahuan.

Menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi adalah kebutaan, dan pikiran

tanpa isi sama dengan keji.

Disini terlihat, bahwa akal dan indera saling mengisi dalam

memperoleh pengetahuan, akal berperan sebagai pengolah apa yang telah

diserap oleh indera.Mengenai aktivitas akal disebut berpikir, berpikir

merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya

dimuka bumi ini. disini timbul masalah apakah berpikir itu? Secara umum

maka setiap perkembangan ide dan konsep dasi sebagainya disebut berpikir.

26 C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia,

1980), hlm. 24.

70

Di mana seseorang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan

konsep yang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun ditujukan pada arah

tertentu yaitu pengetahuan.

Dalam masalah ide, istilah itu telah kita temui dari Plato. Dia

mengatakan bahwa manusia masuk dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman

dan dunia ide. Yang ada di dunia ide sifatnya satu dalam macamnya tetapi

tak berubah. Ide itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada.

Konsep berpikir melalui ide merupakan perkembangan gambaran

mental manusia dalam bentuk pertimbangan khusus yang memantulkan apa

yang bersifat umum clan yang bersifat hakiki dalam rangka menangkap

berbagai masalah yang sedang dihadapi manusia.27

Karena dalam berpikir manusia menggunakan akal, maka yang perlu

kita ketahui adalah apakah akal budi itu? Ratio (Latin) akal (bahasa Arab

'aqli) budi (Sanskerta) akal budi (persatuan Arab dan Sansekerta) Nous

(Yunatu) li'asio» (Perancis) Reason (Inggris). AM budi adalah potensi dalam

rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit mengenai

teoritis realita kosmis, yang mengelilingi dalam mana ia sendiri juga

termasuk dan itulah secara praktis merubah dan mempengaruhinya.

Disini dapat diterangkan, bahwa akal merupakan potensi yang

terdapat dalam rohani manusia berhubungan dengan rohani dalam pemikiran

Islam, rohani mempunyai unsur-unsur jiwa, nafsu, kalbu dan roh; Masing-

masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Naf.'su adalah yang paling banyak

perannya dalam rangka manusia melakukan kegiatan. Nafsu terdiri dari nafsu

amarah, lawwamah, mutrnainnah,, raadlyah, mardijah, kaamilah.

Dilihat dari fungsinya, bahwa nafsu dapat mengetahui sesuatu.

Sehingga dari nafsu dapat mengetahui tahu, nafsu dapat memperoleh

pengetahuan karena memiliki kemampuan masing-masing dalam

memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini; kemampuan akal sebagaimana

dijelaskan oleh Ibn Khaldun, bahwa akal adalah sebuah timbangan yang

cermat yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya, tetapi mengenakan

27 Miska Muhamamd Amin, op. cit., hlm. 27.

71

akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan ke-Esaan Allah

dan hidup diakhirat atau hakikat kenabian atau sifat-sifat Ketuhanan atau

lain-lain yang terletak di luar kesanggupan akal, adalah sama dengan

mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung, ini

berarti tidaklah timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Dari pengertian

di atas, bahwa akal sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan walau

memilih kelemahan dan keterbatasan terbatas.

Dalam al-Qur’an dapat dicermati dalam sebagian ayat Allah sangat

menghargai akal manusia, bahkan Allah marah terhadap manusia yang tidak

mau menggunakan akalnya, bisa dicermati dalam al-Qur’an Surat Yunus ayat

100. Allah berfirman:

وما كان لنفس أن تؤمن إال بإذن الله ويجعل الرجس على الذين ال يعقلون

Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS. Yunus: 100).28

Selain ayat tersebut bisa dicermati dalam ayat lain bahwa Allah itu

menganjurkan manusia untuk menggunakan akalnya, ayat-ayat tersebut bisa

dicermati dalam Surat al-Baqarah ayat 70, al-An’ am: 116, Qs. Yunus: 36,

Qs. Al-Mujadalah: 14, al-Ankabut: 63. Al-Maidah: 58. Al-Furqon: 44. As-

Syu’ara: 28, QS. Al-Haj: 46, QS. Ali Imran: 190-191, QS. Ar-Rum: 8, QS.

Al-Ankabut: 43, QS. Qaf: 6-1, QS. Al-Fathir: 27-28, QS. al-A’raf: 185, QS.

Ar-Rad: 3, QS. An0Nahl: 11, QS. Az-Zumar: 42, Al-Jatsiyah: 12, QS.

Ibrahim: 19, Al-Mulk: 10, dan lain sebagainya.29 Ayat-ayat tersebut

menunjukkan bahwa Allah itu sangat menghargai akal manusia, karena

manusia yang mau menggunakan akalnya dia akan mampu mengungkap

segala ciptaan-Nya, dan dia akan mampu menemukan dan menciptakan

28 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-WAAH,

t.th), hlm. 322. 29 Al-Qur’an, Juz. 1-30.

72

sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia yang lain, seperti perkembangan

teknologi pada saat ini. 30

Dengan akal manusia dapat berfikir, menganalisa dan membuktikan.

Dengan akal pula seseorang dapat menyingkap realitas-realitas ilmiah, sebab

akal merupakan salah satu pintu pengetahuan. Tidak semua pengetahuan itu

diwahyukan, akan tetapi ada pula yang harus di deduksi oleh akal melalui

penelitian dan percobaan (eksperimen). Dengan memfungsikan akal untuk

mengetahui hal-hal yang belum diketahui, adalah satu keharusan, karena

sesuatu yang dapat diterima oleh akal (masuk akal), itu adalah pengetahuan

yang terbaik, dan dianggap benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal

merupakan bagian dari sumber pengetahuan, karena tidak semua

pengetahuan itu diwahyukan, disinilah akal dituntut untuk bekerja keras

memikirkan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya, dengan bantuan akal

pengetahuan yang benar akan dapat diperoleh.31 Sesuatu yang diproses

melalui akal dan nalarnya, akan terhindar dari prangsa dan keragua-raguan.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Yunus ayat 36. Allah berfirman.

ني منغال ي ا إن الظنإال ظن مهأكثر بعتا يملونوفعا يبم ليمع ئا إن اللهيش قالح

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Qs. Yunus: 36).32

Dalam ayat lain Allah berfirman “demikianlah Allah menerangkan

kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukumnya) supaya kamu memahami. (QS.

Al-Baqarah: 242). Dari beberapa ayat ini menunjukkan bahwa memberikan

kebebasan pada akal, yaitu untuk memikirkan apa-apa yang belum diketahui,

dan mencermati apa-apa yang sudah diketahui (yakni hukum-hukum Allah)

yang sudah diwahyukan agar seseorang menjadi yakin akan kebesaran Allah

30 Zakiyah Daradjat, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),

hlm.20-24. 31 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyu Asmin,

(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 248. 32 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 312.

73

SWT. Jadi tidak diragukan lagi bahwa akal merupakan sarana untuk

memperoleh pengetahuan (al-ilm), karena al-Qur’an tidak mempersoalkan,

justru al-Qur’an sangat menghargai akal manusia.

Proses terjadinya pengetahuan dengan melalui perantara akal. Hal ini

dapat dibandingkan antara epistemologi Barat dengan filsafat Islam. Dalam

hal ini dapat digambarkan pada skema dibawah ini.

Gambar I Gambar II

(Epistemologi barat) (Epistemologi Qur’anic)

Dari sketsa kedua bentuk epistemologi tersebut, bahwa sumber

pengetahuan menurut al-Qur’an (pengetahuan Islam), akal merupakan

sumber pengetahuan, akan tetapi tidak menjadi sumber yang paling mutlak,

menurut al-Qur’an kalam tuhan (wahyu) adalah sumber pengetahuan yang

paling mutlak.

C. Empirisme

Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata

empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh

pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata

Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia

tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.

John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern

mengemukakan dengan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin.

Akal

Obyek

Indera

Intuisi

Tuhan/ Wahyu

Obyek

Indera

Akal

74

Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan,

lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki

pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-

kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun

kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya

pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera

bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber

pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi

tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.33

Pengetahuan yang diperoleh yaitu hasil hubungan antara subyek dengan

obyek melalui pengalaman, sehingga hal ini mudah dibuktikan dan diuji

kebenarannya. Dalam hal ini John Locke membedakan bahwa pengalaman itu

bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman lahiriah (sensation) dan

pengalaman batin (relfexion), yang keduanya saling berhubungan, karena segala

sesuatu yang berada di luar diri kita dapat menimbulkan ide-ide dalam diri

kita34.

Dalam hal ini empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan

peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu

sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Sehingga aliran pengetahuan yang

diperoleh melalui data empiric itulah yang dianggap paling benar.35

Sebagaimana David Hume ia mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai

alat ukur.36 Menurutnya semua pengetahuan itu dimulai dari pengalaman indera

sebagai dasar. Baginya kesan (impression) sama dengan pengindraan

(sensation), sebagaimana Locke hal ini adalah basis pengetahuan. 37

Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman maupun indera itu

ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan pertama ialah indera teratas. Benda

33 Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Sujono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 1992), hlm. 137. 34 Harun Haddieijon, Seri Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 36. 35 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 138. 36 Ibid., hlm. 142. 37 Ibid.

75

yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan

kemampuan dalam melihat, dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.

Kelemahan kedua ialah indera tertipu. Pada orang yang sakit malaria, gula

rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan

empiris yang salah juga. Kelemahan ketiga ialah obyek yang menipu, contohnya

ilusi, fatamorgana. Jadi, obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh

alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan

inderawi yang salah. Kelemahan keempat berasal dari indera clan obyek sekaligus.

Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara

keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara

keseluruhan. Jika kita melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau,

dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.

Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan in dera manusia. Oleh

karena itu, muncul aliran rasionalisme. Ada aliran lain yang mirip dengan

empirisme: sensasionalisme. Sensasi artinya rangsangan inderawi. Secara kasar,

sensasi sama dengan pengalaman inderawi.38

Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera.

Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya

manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera

menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan

indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain.

Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera merupakan

gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.39

Dalam aliran empirisme dijelaskan, bahwa inderalah satu-satunya

instrumen yang dapat menghubungkan kita dengan suatu obyek. Tanpa panca

indera, kemungkinan kita memandang suatu obyek dalam satu ketiadaan.

Kalau panca indera tersebut salah maka ia tahu kesalahan tersebut dengan

cara eksperimen dan akal hanya mengikutinya. Akal sendiri tanpa melalui

panca indera bahkan tanpa ini hakekat tidak dapat diresapi. Sesuai apa yang

38 Ibid., hlm. 12-13. 39 Anton Bakker dan Kharis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:

Kanisisus, 1990), hlm. 21.

76

dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak ada sesuatu sebelum itu ada pada

alat indera.40

Pengetahuan indera adalah pengetahuan yang diperoleh manusia

melalui kelima inderanya, yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan

lidah. Pengetahuan inderawi disebut sebagai pengetahuan empiris. Dalam

sejarah epistemologi Barat sebagaimana yang dipelopori Roger Bacon, John

Locke, David Hume dan sejumlah pengikutnya.

Pengetahuan empiris diperoleh melalui pengetahuan pribadi, yang di

dapat melalui, melihat, mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan

suasana jiwa, yakni apa saja yang didapat melalui pengalaman inderanya,

yaitu dari apa yang dilihat, dirasakan, sesuai dengan bentuknya.

Dalam pengalaman ada dua macam sensasi, pertama yaitu sensasi

dalam yang bersifat subyektif seperti keinginan, rasa dan pikiran. Yang

kedua sensasi kita terhadap dunia luar seperti penglihatan, bau dan cicipan,

dan lain sebagainya. Selanjutnya, untuk mengetahui jenis pengetahuan

indera dalam Islam, perlu dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki

manusia. bentuk manusia itu terdiri dari Jasmani dan Rohani, jasmani dalam

tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai bentuk panca indera seperti,

hidung, mata, perasaan (kulit), tangan dan telinga. Islam memandang, panca

indera manusia terdiri dari indera dalam dan indera luar, keduanya

mempunyai fungsi sendiri-sendiri. 41

Dari proses penginderaan itu kiranya diambil suatu pengertian, bahwa

indera menangkap kesan dan masukan dalam pikirannya, kemudian diproses

oleh ketiga indera lainnya dikeluarkan untuk menjadi pengertian oleh indera

pengikat. Seperti halnya akal, indera juga mempunyai kelemahan.

Pengalaman menipakan pengetahuan yang telah samar dijadikan dasar bagi

teori pengetahuan yang sistematis. Sebuah teori yang menitik beratkan pada

persepsi panca indera, kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera

manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.

40 Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiology Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Rosda Karya, 1989), hlm. 15.

41 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 123.

77

Walaupun indera terbatas dalam memperoleh pengetahuan; namun

kedudukannya sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan

yang diperoleh melalui perantara indera, pengetahuan ini tidak bertentangan

dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah: Dan sesungguhnya kami

tinggalkan dari padanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang

berakal. (al-Ankabut: 29). Ayat ini mengandung pengertian, bahwa Tuhan

menyeru kepada manusia yang berakal supaya memikirkan apa-apa yang ada

di alam sejauh yang dia ketahui. Dalam ayat lain yang menjelaskan

bagaimana fungsi indera untuk memperoleh pengetahuan, hal ini sesuai

firman Allah dalam Surat Al-Ghassiyah: 17-20):

لقتخ فون إلى الإبل كينظر17(أفلا ي ( تفعر فاء كيمإلى السو)إلى ) 18و

تصبن فال كي19(الجب ( تطحس فض كيإلى الأرو)20(

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.. (QS. Al-Ghassiyah : 17-20)42

Pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, banyak sekali tersirat

dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat al-Mu’minun: 80, as-

Syuara’: 28, al-Furqon: 44, QS. al-Baqarah: 170, QS. al-Anfal: 22, QS.

Yunus: 36, QS. Al-Furqon: 45, QS. As-Syamy: 1, QS. An-Naba’: 13, QS.

Nuh: 16, QS. Ibrahim: 33, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang

menyerukan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, yang

bisa dipakai sebagai petunjuk, inovasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.43

Dari ketiga sumber pengetahuan di atas. Teori pengetahuan, menurut

al-Qur’an atau disebut sebagai pengetahuan qur’anik (epistemology qurqnic).

Dalam hal ini Muhammad Iqbal menggambarkan bagaimana proses

terjadinya pengetahuan, menurutnya adalah mengangkat ketiga potensi

manusia: yaitu serapan panca indera, kemampuan akal, dan kemampuan

42 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 1055. 43 Al-Qur’an, Juz 1-30.

78

intuisi secara serempak. Dengan demikian menurutnya ketiga hal tersebut

sama-sama penting dan sama-sama dapat digunakan untuk mencari dan

memperoleh pengetahuan, walaupun memiliki kemampuan yang berbeda

dalam menyerap pengetahuan. Hal ini tampak berbeda sebagaimana yang

digambarkan dalam epistemologi Barat, yang memisah-misahkan ketiga

potensi tersebut (akal, indera (pengalaman), dan intuisi). sebagaimana

dipahami Danusiri, yang ia pahami dari pemikiran Iqbal bahwa proses

terjadinya pengetahuan yang benar yaitu sebagaimana ia gambarkan dibawah

ini:

Proses pengetahuan sebagaimana skema di atas menggambarkan

bahwa, pengetahuan Islam itu berangkat dari kesadaran uluhiyyat, yakni

pengetahuan islam itu selalu mengacu pada wahyu Tuhan (al-Qur’an)

ataupun ilham/ intuisi, kemudian menuju ke indera, selanjutnya menuju ke

akal, dan berakhir kepada kesadaran uluhiyyat kembali, yakni berasal dari

Tuhan dan kembali pada Tuhan, yang pada gilirannya akan melahirkan

pengetahuan yang saraf akan nilai (moral, etika, ibadah dan lain

sebagainya).44

44 Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

hlm. 63-66.

Tuhan/ Wahyu

Akal

Indera

Intuisi / ilham

Obyek

79

D. Ilham/ Intuisi Disamping pengetahuan berasal dari wahyu, akal dan empirisme ada

sumber lain yang disebut “ilham”. Dalam al-Qur’an “ilham” dijelaskan

dalam Surat as-Syams: 8. M. Abduh mengemukakan ilham adalah perasaan

halus yang jiwa merasa yakin lalu mendorongnya kepada apa yang dicari,

tanpa merasa atau mengetahui dari mana datangnya. Ilham hampir serupa

dengan perasaan halus, tanpa duka dan suka, yakni satu pengetahuan atau

perasaan halus (insting) yang mendorong untuk mengetahui tanpa merasa

dari mata pengetahuan itu datang.45

Sedangkan perseorangan dapat menerima ilham disebabkan

kebutuhan yang sangat mendesak oleh penerimanya. Contoh ilham yang

diturunkan kepada ibu Nabi Musa yang menyelamatkan bayinya dengan cara

menghanyutkan ke sungai Nil. Pengetahuan ilham dalam artian umum, sama

dengan wahyu yang disampaikan lewat hati sanubari. Namun dalam arti

khusus, keduanya memiliki perbedaan yaitu terletak pada cara

penyampaiannya. Kalau wahyu lewat perantara sedang ilham tidak melalui

perantara.

Ilham dan intuisi berhubungan dengan pengetahuan yang ada dalam

tasawuf, ilham itu sendiri memainkan peranan yang sangat penting dalam

segala pengetahuan. Satu-satunya jalan yang mengetahui realitas adalah

melalui ilham. yang melaporkan kehidupan dinamis dunia yang selalu dalam

perubahan dan pembaharuan. Sifat yang kreatif hakiki dari alam akan hilang

dalam pengetahuan yang berdasarkan pemikiran, hanya pengetahuan ilham

yang memberikan laporan yang benar. Melalui intuisi kita memperoleh

penghayatan tentang batin alam.46

Dalam faham intuisi dijelaskan bahwa dalam alam ini ada dua

realitas. Pertama, alam inderawi dan alam intuisi. Alam intuisi tidak dapat

dijangkau melalui observasi, karena berkaitan dengan alam kejiwaan, di sini

intuisi dapat mendengar atau melihat dengan jarak jauh yang disebut telepati

45 Ibid., hlm. 38-40. 46 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 117-118

80

dan filosof menyebutnya dengan indera keenam, sedang para sufi

menyebutnya al-Ilm al-Huduri (ilmu kehadiran), yakni Tuhan melimpahkan

pengetahuan-Nya kepada manusia yang dikehendaki untuk menerima

limpahan pengetahuan tersebut secara langsung, atau manusia yang dengan

sengaja mau mengusahakan untuk memperoleh limpahan secara langsung

dari Tuhan.47

Ilham dapat pula disebut dengan inspirasi-inspirasi (bisikan batin

yang timbul dengan sendirinya). Pengertian lain ilham disebut juga sebagai

petunjuk Tuhan yang hadir dalam hati atau diri manusia, di sini harus ada

keyakinan bahwa petunjuk itu memang berasal dari Tuhan. Dalam hal ini ada

dua macam bentuk pengetahuan yang bersumber dari ilham itu bisa

ditangkap oleh diri manusia, pertama datang sendiri dan yang kedua melalui

permohonan yang sungguh-sungguh.48

Dari pengertian di atas, bahwa inspirasi diperoleh manusia secara

spontan bertumpu pada tempat bergantung. Jadi pengetahuan dapat diperoleh

dengan cara mencari pengalaman terlebih dahulu. Pengetahuan inspirasi

adalah pengetahuan yang disertai dengan ide sedangkan ilham adalah

petunjuk Tuhan yang datang dengan sendirinya.

Dalam pengetahuan Islam, Ilham dan wahyu merupakan sumber

pengetahuan paling pokok, setelah akal dan indera. Karena kedua bentuk

pengetahuan tersebut (ilham/wahyu) merupakan pengetahuan secara

langsung dari Tuhan, dan pengetahuan ini pasti benar adanya. Pengetahuan

ilham ini dapat digambarkan sebagai berikut.

47Amin Syukur, dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), hlm.71-72. 48 Notonagoro, Asas-asas Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Filsafat UGM,

1969), hlm. 25.

Tuhan

Obyek

Intuisi/ ilham

(Epistemology sufistic)

81

Dari skema perolehan pengetahuan di atas dapat dipahami bahwa

Tuhan merupakan sumber pertama dalam pengetahuan. Ketika Tuhan

menurunkan ilmu kepada manusia dan manusia mampu menangkap sinyal-

sinyal ilmu atau mampu merasakan suatu pengetahuan baru dan ini diyakini

kebenarannya, dan tidak tahu dari mana sumbernya, inilah yang disebut

pengetahuan yang diperoleh melalui perantara ilham atau intuisi.

Pengetahuan intuitif atau ilham yang diusahakan, dalam epistemologi sufistik

dijelaskan, bahwa pengetahuan semacam ini bisa diperoleh apa bila

seseorang telah mampu membuka tabir (hijab) yang menghalangi antara diri

manusia dengan diri Tuhan.

Dalam al-Qur’an yang terkait dengan pengetahuan yang diperoleh

melalui perantara ilham, bisa dicermati dalam ayat al-Qur’an Surat Maryam

ayat 11, QS. As-Syams: 8, QS. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah

memberikan petunjuk, informasi, bimbingan, dan pengetahuan secara

langsung kepada hambanya. Ilham dan intuisi, al-Qur’an menyebutkan

keduanya merupakan pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan

kebenarannya, karena pengetahuan tersebut hadir secara langsung dari Allah

SWT.

Dengan demikian ilham merupakan anugerah Tuhan yang masih tetap

terbuka bagi siapa saja yang berusaha memperolehnya. Dalam pandangan

mufassir, ilmu yang diperoleh melalui ilham dapat diperoleh melalui usaha

penjernihan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, rutinitas ini seharusnya

disertai dengan usaha lahiriah dengan memanfaatkan fungsi indera dan akal,

agar hasil yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan

validitasnya. Sehingga belajar dengan menggunakan metode demikian akan

mengantarkan pelakunya pada tarap kesempurnaan berpikir yang merupakan

hidayah dan ma’unah dari Allah subhânahû wa ta’âlâ.