BAB III revisi - Perpustakaan...
Transcript of BAB III revisi - Perpustakaan...
56
BAB III
SUMBER-SUMBER PENGETAHUAN ISLAM
Mengenai sumber pengetahuan dikalangan ilmuwan ada semacam
perbedaan sudut pandang. Mengenai kisaran dari manakah sebenarnya
pengetahuan itu ada. Perbedaan-perbedaan inilah dalam filsafat, baik filsafat Barat
maupun filsafat Islam melahirkan berbagai aliran, yaitu; aliran empirisme,
rasionalisme, dan intusionalisme. Perdebatan seputar dari mana asal (sumber)
ilmu pengetahuan itu muncul dalam filsafat di kupas dalam sebuah ilmu yang
disebut dengan istilah epistemology, di mana epistemologi adalah cabang ilmu
filsafat yang secara khusus membahas dan mempertanyakan dari mana sumber
pengetahuan itu diperoleh.
Ada semacam perbedaan sudut pandang antara filsafat Barat dan filsafat
Timur1 dalam hal epistemologi. Dalam hal ini epistemologi Barat itu lebih
mengistemewakan peranan manusia dalam memecahkan “segala sesuatu”. Di
mana ia lebih mengandalkan kekuatan akal dan indera. Sedangkan epistemologi
Islam gagasan epistemologinya diformulasikan berdasarkan Al-Qur’an dan al-
Sunnah sebagai sumber utama dalam memecahkan “segala sesuatu”.2
Perbedaan sudut pandang tersebut sampai saat ini terus menjadi
perbincangan yang tidak pernah berakhir. Karena setiap pengetahuan yang
dimunculkan, penjelasan secara ilmiah selalu dituntut, dan yang paling utama
yang harus mampu menjelaskan dari manakah pengetahuan itu diperoleh dan
sejauh mana pula tingkat validitasnya.
Pengetahuan Islam yang lebih banyak berpijak pada al-Qur’an, untuk
melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati pada sebuah ayat yang
mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada beberapa ayat Al-
Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata kaifa tersebut
yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan dengan
1 Istilah Filsafat Timur ini lebih dikenal dengan istilah “Filsafat Islam” 2 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik, (Jakarta, Erlanga, t.th), hlm. 103.
57
keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an
Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat-
ayat ini bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah
maksud yang disebut dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan
epistemologi.3
Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka
ayat ini secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari
metode untuk mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang
dimaksudkan dalam hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang
dalam kitab suci al-Qur’an. Di mana secara implisit cara atau metode untuk
memperoleh pengetahuan itu benar adanya disinggung dalam kitab suci al-
Qur’an.4 Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan dicermati dalam satu
keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam (teologi),
akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada al-
Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.
Adanya gagasan epistemologi Islam tak lain itu bertujuan untuk
memberikan ruang gerak bagi pemikir muslim khususnya, supaya bisa keluar dari
jeratan pemahaman dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada
epistemologi Barat. Kesalahan kerangka berfikir tersebut sedini mungkin untuk
diluruskan dan dikembalikan pada asalnya yakni pengetahuan Islam itu lebih
dahulu sukses ketimbang pengetahuan Barat. Dalam dataran idealisme, gagasan
untuk membentuk epistemologi Islam yaitu sebagai upaya untuk penyelamatan
umat dari “keterjebakan intelektual”.
Sebelum diuraikan mengenai sumber-sumber pengetahuan Islam, untuk
menghindari kesalahpahaman mengenai pengertian ilmu, tidak ada salahnya disini
akan dijelaskan apa itu ilmu pengetahuan. Ada berbagai istilah yang digunakan
untuk menyebutkan ilmu pengetahuan. Seperti masalah ilmu, pengetahuan, al ilm
dan sains. Istilah-istilah tersebut karena adanya subyek dan metode pengukuran
yang berbeda dan disiplin intelektual yang dipakai oleh masing-masing ilmuwan.
3 Ibid., hlm. x. 4 Ibid.
58
Ilmuwan Barat lebih senang menyebutnya dengan istilah sains dan ilmuwan Islam
lebih senang menyebutnya dengan istilah ilmu, hal ini merujuk pada bahasa Arab
dari kata “al-Ilm” yang memiliki arti ilmu pengetahuan. Kedua istilah ini tentu
memiliki sumber yang berbeda.
Dalam konteks Islam, sains tidak memiliki kebenaran absolut. Islam
lebih tepat dengan mengambil istilah al- ilm untuk mendefinisikan ilmu
pengetahuan, karena istilah al-Ilm memiliki dua komponen, yaitu; Pertama,
bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-Qur’an yang
memiliki kebenaran mutlak (absolut), yakni kebenarannya tidak diragukan.
Kedua, bahwa metode dalam mempelajari pengetahuan yang sistematis dan
koheren semuanya sama-sama valid, yakni memiliki kebenaran yang dapat
dipakai untuk memecahkan segala masalah yang dihadapi. Al-ilmu ini memiliki
akar sandaran yang lebih kuat ketimbang sains dalam versi Barat. Karena akar
sandaran al-ilm itu secara langsung dari yang Maha berilmu, yakni Tuhan di mana
secara teologis diyakini sebagai Penguasa atas segala sesuatu.
Dalam sumber dan metode ilmu, kelihatannya ilmu pengetahuan Islam
itu bertentangan dengan filsafat dan sains modern yang dikembangkan oleh
ilmuwan Barat. Dalam sumber utama ilmu pengetahuan adalah berasal dari
Tuhan, dan diperoleh melalui saluran indera yang sehat, laporan yang benar yang
disandarkan pada otoritas, akal yang sehat, dan intuisi.5 Dalam hal indera dan akal
sehat tidak terjadi pertentangan yang berarti antara pandangan Barat dan Islam.
Sedangkan pada otoritas intuisi memang terjadi pertentangan mendasar di antara
kedua pandangan tersebut. Karena pengetahuan yang diperoleh melalui cerapan
intuisi dianggap tidak melalui proses perenungan dan tidak terdapat langkah-
langkah yang sistematis serta terkendali, sehingga pengetahuan yang dicapai atau
diperolehnya sulit dipercaya diakui kebenaran dan tingkat validitasnya.
Sedangkan dalam Islam memposisikan intuisi itu sebagai media dan juga sebagai
sumber pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya karena,
5 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, terj. Saiful Muzani, Peny.
Zainal Abidin M. Baqir, (Bandung, Mizan, 1995), hlm. 34
59
intuisi itu merupakan salah saluran untuk memperoleh pengetahuan yang dimiliki
manusia.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya disini yaitu mengenai sumber-
sumber pengetahuan Islam? Dan dari manakah pengetahuan Islam itu diperoleh.
Dalam pengetahuan Islam ada tiga sumber (episteme) yang dipakai akar pijakan
dalam mencapai atau memperoleh suatu ilmu dan sains. Ketiga sumber tersebut
ialah wahyu, akal dan empirisme.
A. Wahyu
Dasar yang paling pokok dalam pengetahuan Islam adalah wahyu.
Disini yang menjadi persoalan adalah bisakah wahyu terjadi. Untuk itu, perlu
dijelaskan arti wahyu. Wahyu berasal dari bahasa Arab “Al-Wahy”, dan Al-
Wahy adalah kata asli Arab bukan kata pindahan dari bahasa asing. Kata itu
berarti suara, api dan kecepatan. Makna wahyu secara bahasa adalah sesuatu
yang tersembunyi dan cepat, maksudnya adalah pemberitahuan kepada
seseorang tentang sesuatu secara tersembunyi dan cepat serta bersifat khusus
bagi dia sendiri dan tersembunyi bagi yang lainnya.6
Wahyu adalah kebenaran yang langsung dari Allah kepada seorang
hamba-Nya, dengan kata lain wahyu merupakan komunikasi Tuhan dengan
manusia. Dalam filsafat Tuhan dikatakan mind, akal. Karena Tuhan adalah
akal, akal manusia mempunyai akal tidak mustahil dapat berkomunikasi
dengan Tuhan sebagai akal. Dalam Islam, Tuhan dianggap akal kurang
diterima.. Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta, mestilah suatu
substansi yang mempunyai daya berpikir, maka tidak mustahil daya berpikir
manusia dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan daya berpikir yang
ada pada substansi Tuhan. Kalau ini tidak mustahil, adanya wahyu tidak
mustahil pula.7
Keterangan di atas menunjukkan bahwa, wahyu pada dasarnya
merupakan Firman Allah, sedangkan isi wahyu yang berupa pengetahuan
diturunkan Allah kepada manusia yang telah ditunjuk atau dipilih sendiri
6 Mizka Muhammad Amin, Epistemologi Islam, (Jakarta: UI Press, 1983), hlm. 2 7 Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 14.
60
oleh Allah, dalam hal ini Nabi atau Rasul. Wahyu yang diterima Nabi atau
Rasul adalah berbentuk risalah (ajaran) yang menyangkut berbagai aspek
untuk kebutuhan kehidupan, dan pengetahuan manusia, khususnya hubungan
manusia dengan Allah dalam bentuk masalah keimanan. Wahyu yang
menyangkut risalah hanya ditujukan kepada Nabi atau Rasul, khususnya
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
empat cara :
1. Malaikat memasukkan wahyu ke dalam hatinya, hal ini Nabi tidak melihat sesuatu apapun, hanya merasa sesuatu sudah berada dalam kalbunya.
2. Malaikat menampakkan dirinya sendiri kepada Nabi, seorang laki-laki yang mengucapkan kata-kata kepadanya sehingga beliau mengetahui dan hafal kata-kata itu.
3. Wahyu yang datangnya seperti gemerincingnya lonceng, cara inilah yang amat berat dirasakan Nabi, kadang-kadang pada keningnya keluar keringat, meskipun turunnya di musim dingin yang sangat.
4. Malaikat menampakkan dirinya kepada Nabi dengan rupanya sendiri.8
Agar tidak terjadi salah penafsiran, perlu diberi penjelasan tentang
wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Pertama,
bahwa wahyu yang diturunkan sebelum beliau ditujukan untuk segolongan
umat, tempat dan ruang tertentu. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan
Rasul berbentuk risalah, oleh karena itu sudah tidak bisa diturunkan lagi oleh
Allah kepada siapapun. Ilham yang diturunkan kepada perorangan tidak
menyangkut risalah tetapi menyangkut kebutuhan yang sangat mendesak dan
sangat dibutuhkan penerimanya.9
Dengan adanya perbedaan tersebut ada kesan lain pengetahuan wahyu
tidak dapat diterima oleh manusia awam yang tidak ditunjuk oleh Allah
sebagai utusan-Nya. Untuk menghilangkan tersebut baik dikaji penurunan
wahyu itu sendiri. menurut proses penyampaiannya wahyu diturunkan
melalui jantung hati. belakang tabir dan perantaraan Jibril. Khusus wahyu
yang melalui perantara hanya disampaikan kepada penerima yang pertama
8 Soenaryo, Al-Qur’an, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 16-17. 9 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 55
61
yaitu -Nabi atau Rasul, yang mana Nabi atau Rasul diwajibkan untuk
menyampaikan kepada ummat manusia yang berupa masyarakat.
Wahyu tidak diturunkan langsung kepada masyarakat tetapi melalui
seseorang yang diangkat Tuhan menjadi utusan-Nya. Setelah menerima
wahyu ia berwenang menjelaskan, menafsirkan, memerinci. Kemampuan ini
diperoleh karena ia selalu dekat dengan Tuhan yang mengutus-Nya.10 Dari
sini dapat dipahami bahwa pengetahuan wahyu yang bersifat risalah
diberikan kepada Nabi dan Rasul.
Menurut Rasyid Ridha, wahyu yang telah diberikan oleh Allah
kepada para Rasul-Nya, ialah suatu ilmu pengetahuan yang dikhususkan
kepada mereka dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka kaji
sebelumnya. Disebutkan dalam kitab Al-Masyarik, sebagaimana yang dikutip
oleh Komari, bahwa wahyu itu pada asalnya sesuatu yang diberitahukan
dalam keadaan tersembunyi dan cepat. Maksudnya yaitu diturunkan suatu
pengetahuan ke dalam jiwa dalam sekaligus dengan tidak lebih dahulu timbul
pikiran dan pendahulunya.11
Adapun cara-cara wahyu bisa sampai pada diri manusia yaitu bisa
dicermati dalam ayat al-Qur’an, yaitu pada Surat, as-Syura: 51-52, Q S. as-
Saffat: 102, QS. Al-A’raf: 143, QS. As-Syuara: 192-195, QS. Al-Baqarah:
97, QS. At-Takwir: 19-23, Qs. An-Najm: 10-12, Qs. Ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa wahyu disampaikan dengan berbagai cara sesuai dengan
kehendak Allah, dan hakekat wahyu tidak ada seorangpun yang mengetahui
kecuali Allah dan yang menerimanya. Pengetahuan yang diterima tidak
diragukan lagi kebenarannya, hal ini bisa dicermati melalui sebuah kitab suci
baik al-Qur’an maupun kitab suci yang lain yang diturunkan Allah kepada
para nabi dan rasul yang bisa dijadikan petunjuk umat disepanjang zaman,
sebagaimana al-Qur’an yang sampai ini tak seorangpun yang dapat membuat.
Dan al-Qur’an merupakan kumpulan wahyu Tuhan (pengetahuan) yang
diturunkan secara langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad saw.
10 Mustofa, Sejarah Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994), hlm. 35 11 Komari, Perang dan Damai dalam Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1995), hlm. 39.
62
Dari keterangan di atas apabila digambarkan, pengetahuan yang
bersumber dari wahyu yang melahirkan epistemology quranic, yaitu sebagai
berikut:
(Epistemology Qur’anic). 12
Dengan demikian wahyu adalah pengetahuan dan hidayah yang
datang secara langsung dari Allah terhadap mahluk yang dikehendaki-Nya,
yakni para nabi dan rasul, beliau lah orang-orang yang dikehendaki Allah
untuk menerima pengetahuan atau risalah secara langsung dari-Nya, dan
pengetahuan tersebut bisa dijadikan petunjuk bagi umat manusia. Perolehan
pengetahuan ini baik melalui perantara atau tanpa perantara.
B. Akal Manusia adalah makhluk Allah yang paling mulia, karena manusia
adalah satu-satunya makhluk paling sempurna di antara makhluk lain.
Kesempurnaan manusia tersebut adalah karena manusia dibekali Allah
berupa akal. Akal ini pula manusia menanggung amanat Allah di muka bumi
sebagai khalifah, menjaga kelestarian bumi beserta isinya. Manusia juga
dimintai pertanggungjawaban atas semua perbuatan yang dilakukan.
Akal bagi manusia itu sangat penting karena akal berfungsi untuk
berfikir, memahami, merenungkan dan memutuskan mana yang seharusnya
di lakukan dan mana yang seharusnya di tinggalkan.
12 Telah pemikiran Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press,
1990), pemikiran ini hampir senada dengan pemikiran Tosikho Isuzhu, mengenai hubungan manusia dengan Tuhan. Pada dasarnya konsepnya tentang perolehan pengetahuan dalam al-Qur'an itu sama dengan pemikiran Harun Nasution.
Tuhan
Malaikat
Nabi/ Rasul
63
Keberadaan akal dalam al-Qur’an sangat dimuliakan oleh Allah,
terbukti dengan sanjungan-sanjungan yang diberikan oleh Allah kepada
orang yang berakal, karena dengan akalnya manusia mampu mengarahkan
dirinya kepada hakekat, menjauhkan dirinya dari yang batil, tunduk kepada
hukum, menerima perintah dan menjauhi larangan, mengikuti yang baik dan
menjauhi yang buruk.13 Jika manusia mampu menggunakan, membimbing
serta mengarahkan akalnya pada jalan yang baik, maka akal dapat berfungsi
secara baik, tanpa adanya bimbingan akal akan liar sebagaimana akal
binatang. Akal inilah yang membedakan manusia dengan binatang dan yang
memberikan kemuliaan manusia.
Akal yang dimiliki manusia, memiliki beberapa pengertian, akal dapat
diartikan sebagai daya pikir, daya upaya, tipu daya, dan kemampuan untuk
memahami lingkungan.14 Kata “akal” berasal dari bahasa Arab (al-‘aql),
dalam al-Qur'an berbentuk ‘aqala yang berarti mengikat. Al-‘aql juga berarti
al-Hajr, yang memiliki arti menahan, al-Nuha yang artinya kebijaksanaan
yang merupakan lawan dari al-Huma yang artinya lemah pikiran, “akal” juga
berarti al-Qalbu, lebih jauh kata ‘aqala diartikan memahami.15 Dalam hal
ini, secara terminologi “akal” diartikan, yaitu sebagai daya pikir yang ada
dalam diri manusia, dan merupakan salah satu daya dari jiwa yang berarti
pula berfikir, memahami, menelaah, dan mengerti.
Kata ‘aql dan fungsinya tersebut, dalam al-Qur'an lebih banyak
berbentuk kata kerja masa sekarang (mudhari’), dan sekali dalam bentuk
masa lampau (madhi), yaitu berbentuk ‘aqaluh yang terdapat dalam Surat
al-Baqarah ayat 75: "Apakah kamu masih mengingini supaya mereka
percaya padamu, sedang sebagian dari mereka mendengar sabda Allah
yang kemudian mereka palsukan setelah mereka sebenarnya tahu. (QS: al-
13 Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 153-155. 14 Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Bahsa, Dep. Dik. Bud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 14. 15 Abi Al-Fadlil Jamaluddin Muhammad bin Mukrim Ibn Mandlur, Lisan al-Arab,
(Beirut, Darul Shadr, 1990), Juz. 11, hlm. 458.
64
Baqarah: 75). Jumlah kata akal yang tersirat dalam al-Qur’an kurang lebih
disebutkan sebanyak 120 kali 16
Sedangkan kata yang lain yang memiliki kandungan arti yang terkait
dengan potensi daya pikir manusia yaitu:
Pertama, kata ta’qilun, kata ini dalam al-Qur'an disebut 24 kali, di
antaranya terdapat dalam Surat al-Baqarah ayat 242: "Demikian Allah
menerangkan ayat-ayatnya bagimu semua agar kamu mengerti. (QS: al-
Baqarah: 242), kata na’qil kata ini dalam al- Qur'an disebut hanya satu kali,
yaitu dalam Surat al-Mulk ayat 10: "Mereka berkata: "sekiranya kami mau
mendengar dan mau mengerti tidaklah kami menjadi penghuni neraka”.
(QS: al-Mulk: 10), kata ya'qiluha, kata ini dalam al- Qur'an disebut satu kali
yaitu dalam Surat al-Ankabut ayat 43: "Demikianlah perumpamaan-
perumpamaan kami bagi manusia, tetapi yang dapat memahaminya adalah
orang yang tahu. (QS: Al-Ankabut: 43), kata ya’qilun disebut dalam al-
Qur'an sebanyak 22 kali, diantaranya terdapat dalam Surat al-Hajj ayat 46:
"Apakah mereka tidak melakukan perjalanan dipermukaan bumi dan
mereka mempunyai kalbu untuk memahami dan telinga untuk mendengar.
Sesungguhnya bukan mata yang buta tetapi kalbu di dalam dadalah yang
buta”. (QS: al-Hajj: 46).
Kata-kata tersebut dalam al-Qur'an merujuk kepada orang-orang yang
beriman kepada Allah. Orang yang berakal akan mampu merenungi ayat-ayat
(tanda-tanda kebesaran-Nya). Sebaliknya orang-orang yang sesat adalah
mereka yang tidak menggunakan akalnya, dan kesesatannya tersebut
dipandang lebih hina dari pada binatang.
Selain ayat-ayat di atasnya, masih banyak ayat-ayat yang
menggambarkan tentang keberadaan manusia sebagai makhluk berfikir
dengan bentuk kata yang berbeda, (tidak menunjuk pada kata ‘uyulu secara
langsung), misalkan berbentuk kata nazhara, yang berarti melihat secara
abstrak atau berfikir dan merenungkan; Tadabbara, yaitu merenungkan.
16 M. Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufharras Li-Alfadh al-Qur’an Al-Karim, (Kairo:
Dar Al-Fikr, 1981), hlm. 468-469.
65
Tafakkara, yaitu berfikir; Faqiha yaitu mengerti, atau faham; Tadzakkara
yaitu mengingat, memperoleh peringatan, mendapat pelajaran,
memperhatikan dan rnempelajari; Fahima yaitu memahami.
Untuk sebutan orang-orang muslim yang berfikir, al- Qur’an
menggunakan istilah “ulul albab”, yakni orang yang berfikir; “ulul ilm”
orang yang berilmu; “ulul abshar” atau orang yang mempunyai pandangan;
dan “ulul nuha”, orang yang bijaksana.17
Kata "akal " mempunyai hubungan yang erat dengan kata nafs, qalb,
fu'ad, bashirah dan ruh, dengan bentuk korelasi bahwa manusia mempunyai
dimensi ruhani terdiri dari nafs, ‘aql, qalb, fu'ad, bashirah dan ruh. Nafs di
ibaratkan sebagai ruangan yang luas dalam alam ruhani manusia dari dalam
nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai,
menganalisisnya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui
jaringan qalb, fu'ad, aql, bashirah, tetapi semua itu baru berfungsi ketika ruh
dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna.18
Kekuatan akal untuk mengetahui segala sesuatu, menurut Muhammad
Abduh, pada setiap orang mempunyai kekuatan yang berbeda, perbedaan ini
dibagi menjadi dua yaitu akal khawas dan akal awam. Akal khawas adalah
akal yang dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan, sedangkan akal awam
adalah akal yang tidak bisa mencapai seperti apa yang dicapai oleh akal
khawas. Dengan adanya dua macam akal ini maka fungsi wahyu, jika
diterima oleh akal awam, memiliki fungsi informasi, sementara yang
diterima oleh akal khawas berfungsi sebagai konfirmasi. Maksudnya adalah
kalau akal khawas melakukan penyelidikan tentang hal-hal yang ingin
diketahui, maka wahyu berfungsi sebagai alat untuk membenarkan
penyelidikan ketika terjadi chaos. Berbeda dengan akal awam ketika melihat
wahyu, maka wahyu itu merupakan informasi pertama yang ia ketahui,
Perbedaan akal di atas menurut Muhammad Abduh tidak hanya karena faktor
17 Harun Nasution, op. cit., hlm. 39-47. 18 Ahmad Mubarrak, Jiwa dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 134.
66
pengetahuan akan tetapi adanya faktor pembawaan alami di luar kehendak
manusia.19
Menurut Ibn Rusyd akal dibagi menjadi tiga: Pertama akal
Demonstratif (burhani) yang memiliki kemampuan untuk memahami dalil-
dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan
penting serta melahirkan filsafat. Kedua adalah akal logik (mantiqi) yang
sekedar mampu memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga adalah akal
retorik (khitabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat
dan retorik, karena tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir
sistematis.20 Berbeda dengan AI-Kindi yang membagi akal menjadi dua,
yaitu akal praktis dan teoritis.21
Pertama, akal praktis adalah akal yang menerima arti-arti berasal dari
materi yang ditangkap oleh indra, sedangkan akal teoritis adalah akal yang
dapat menangkap arti murni, yaitu arti yang tidak pernah ada dalam materi,
seperti Tuhan, roh dan malaikat Kemudian akal teoritis menurut Ibnu Sina
dibagi lagi menjadi empat, yaitu akal Materiel, Bakat, Aktual dan perolehan.
Pertama, Akal materiel adalah akal yang semata-mata mempunyai potensi
untuk berfikir belum dilatih walaupun sedikit. Kedua, akal bakat yaitu akal
yang sudah mulai dilatih berfikir tentang hal-hal yang abstrak. Ketiga akal
aktual yaitu akal yang telah mampu berfikir hal-hal yang abstrak dan dapat
dikeluarkan setiap saat bila dikehendaki. Keempat, akal perolehan yaitu akal
yang sanggup berfikir tentang hal-hal yang abstrak, dengan tidak
memerlukan daya upaya. Akal perolehan inilah yang dapat menangkap ilmu
pengetahuan dari akal aktif, yang oleh Al- Farabi disebut akal kesepuluh
yaitu malaikat Jibril, sebagaimana terdapat dalam filsafat emanasinya.22
Al-Farabi membagi akal menjadi sepuluh macam yang berawal dari
pancaran Tuhan sebagai wujud pertama berfikir akan dirinya sehingga timbul
19 Yudian Wahyudi Asmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), hlm. 119-122. 20 Poerwantana, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: PT Rosdakarya, 1994), hlm. 207-
210. 21 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 58-63 22 Ibid., hlm. 86-90.
67
wujud kedua yang disebut akal pertama, akal ini berfikir akan dirinya dan
Tuhan, maka muncullah akal kedua dan langit pertama, akal kedua berfikir
akan dirinya dan Tuhan maka muncullah akal ketiga dan bintang-bintang,
akal ini berfikir akan dirinya dan Tuhan maka muncul akal keempat dan
Saturnus, akal keempat berfikir tentang dirinya dan Tuhan maka muncul akal
kelima dan Yupiter, selanjutnya akal kelima berfikir tentang dirinya dan
Tuhan maka muncul akal keenam dan Mars, akal keenam berfikir tentang
Tuhan dan dirinya maka muncul akal ketujuh dan Matahari, akal ketujuh
berfikir tentang dirinya dan Tuhan maka muncul akal kedelapan dan Venus,
akal kedelapan berfikir tentang Tuhan dan dirinya, maka muncul akal
kesembilan dan Mercurius, selanjutya akal kesembilan menghasilkan akal
kesepuluh dan bumi, dan ruh-ruh serta materi pertama yang menjadi dasar
dari empat unsur yaitu: api, udara, air dan tanah. Dan dari akal kesepuluh ini
sudah tidak bisa menghasilkan akal lagi.23
Masalah akal ini, para teologi juga berselisih pendapat tentang
kekuatan akal, diantaranya adalah dua kubu yang saling bertolak belakang
yaitu Mu’tazilah dengan tokoh pendirinya Jaham bin Sofwan dan Asy’ariyah
dengan tokoh pendirinya Imam al-Asy’ari dan Abu Mansyur Al- Maturidi.
Menurut Mu’tazilah akal tanpa adanya wahyu dapat mengetahui adanya
Tuhan, mampu mengetahui adanya kewajiban berterima kasih kepada Tuhan,
mengetahui mana hal yang baik dan yang buruk, serta mampu mengetahui
kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.
Dari keempat hal tersebut menurut Mu’tazilah dapat diketahui tanpa adanya
wahyu. Berbeda dengan pendapat Asy’ariah bahwa akal tanpa adanya wahyu
hanya akan mengetahui satu dari empat hal di atas yaitu hanya akan tahu
tentang adanya Tuhan.
Munculnya perbedaan pendapat mengakibatkan perpecahan dalam
paradigmanya di mana aliran ini pecah menjadi dua, yaitu Maturidiah
Samarkand yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammmad Al-Maturidi,
23 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ictiar Baru Van Hoeve, (Jakarta:
1993), hlm.99.
68
yang berpendapat bahwa akal dapat mengetahui dari tiga dari empat hal di
atas yaitu tahu akan adanya Tuhan, tahu kewajiban berterima kasih pada
Tuhan, mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk.
Sedangkan hal yang keempat yaitu mengetahui kewajiban berbuat baik dan
meninggalkan hal yang buruk tidak dapat diketahui oleh akal. Maturidiah
yang kedua adalah Maturidiah Bukhara yang dimotori oleh Imam All
Muhammad Al-Baidlawi, menurut aliran ini akal hanya mengetahui dua hal
yaitu: mengetahui adanya Tuhan dan hal yang baik serta hal yang buruk,
sedangkan untuk mengetahui kewajiban berterima kasih pada Tuhan dan
kewajiban menjalankan hal yang baik dan buruk hanya dapat diketahui
dengan bantuan wahyu.24
Dawam Rahardja dalam bukunya Ensiklopedi al-Qur’an
mengemukakan bahwa, orang yang berakal atau ulul albab mempunyai
fikiran (mind), yang luas atau mendalam, mempunyai perasaan (heart) yang
peka, sensitif, atau yang halus perasaannya, mempunyai daya pikir (intelek)
yang tajam atau kuat, memiliki pandangan yang dalam atau wawasan
(insight) yang luas dan mendalam, memiliki pengertian (understanding) yang
akurat, tepat atau luas, dan memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu
mendekati kebenaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan
adil. Jadi ulul albab adalah seseorang yang mempunyai otak yang berlapis-
lapis dan sekaligus memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya.25
Sebagaimana fungsinya kedudukan akal dalam epistemologi, yaitu
sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pada dasarnya akal adalah
sumber pengetahuan manusia, karena manusia itu pandai berpikir maka ia
mampu menyerap pengetahuan yang dibentuk oleh pikiran (rasio/akal) nya.
Dalam rasionalis idealis, bahwa pengetahuan akal melebihi pengetahuan
pengalaman, sedangkan rasionalis kritis, mengatakan bahwa akal mengolah
pengalaman sambil meresap pada obyek itu sendiri.
24 Harun Nasution, op. cit., hlm. 76-77. 25 Dawam Raharja, Ensiklopedi Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 557.
69
Tidaklah mudah membuat definisi akal sebagai suatu metode untuk
memperoleh pengetahuan. Rasionalis berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal. Bukan rasionalisme mengingkari
pengalaman, melainkan dipandang sejenis perangsang bagi pikiran, para
penganut rasionalis yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak pada ide
kita. Dan bukannya pada barang tertentu. Jika kebenaran mengandung makna
ide yang sesuai dengan kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh lewat akal budi saja.
Bagi penganut rasionalis, dapat juga disebut intelektualisme, yang
menyangkal adanya pengalaman inderawi. Sebagaimana Leibniz
mengatakan, bahwa pengetahuan inderawi pada hakekatnya tak lain adalah
pengetahuan budi, tetapi masih setengah tidur. Rupanya manusia masih
menerima kesan dari panca indera, namun dalam proses penyadaran yang
dilakukan secara filsafat. Nampaklah segala pengetahuan sudah tercakup
dalam kehidupan batin kita, yang semula nampak seolah-olah datang dari
luar (pengalaman, empiris). Pada hakekatnya dikembangkan oleh akal budi
dengan menimba dari akar-akarnya sendiri.26
Akal dan indera dalam kaitannya dengan pengetahuan satu dan yang
lainnya tidak dipisahkan secara tajam, satu dengan yang lain bahkan saling
berhubungan. Akal budi tidak dapat menyerap sesuatu dan panca indera tidak
memikirkan sesuatu. Bila keduanya bergabung maka timbullah pengetahuan.
Menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi adalah kebutaan, dan pikiran
tanpa isi sama dengan keji.
Disini terlihat, bahwa akal dan indera saling mengisi dalam
memperoleh pengetahuan, akal berperan sebagai pengolah apa yang telah
diserap oleh indera.Mengenai aktivitas akal disebut berpikir, berpikir
merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya
dimuka bumi ini. disini timbul masalah apakah berpikir itu? Secara umum
maka setiap perkembangan ide dan konsep dasi sebagainya disebut berpikir.
26 C.A. Van Peursen, Orientasi di Alam Filsafat, terj. Dick Hartoko, (Jakarta: Gramedia,
1980), hlm. 24.
70
Di mana seseorang berpikir sungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan
konsep yang dipikirkannya berkelana tanpa arah, namun ditujukan pada arah
tertentu yaitu pengetahuan.
Dalam masalah ide, istilah itu telah kita temui dari Plato. Dia
mengatakan bahwa manusia masuk dalam dua dunia yaitu dunia pengalaman
dan dunia ide. Yang ada di dunia ide sifatnya satu dalam macamnya tetapi
tak berubah. Ide itu merupakan suatu yang sungguh-sungguh ada.
Konsep berpikir melalui ide merupakan perkembangan gambaran
mental manusia dalam bentuk pertimbangan khusus yang memantulkan apa
yang bersifat umum clan yang bersifat hakiki dalam rangka menangkap
berbagai masalah yang sedang dihadapi manusia.27
Karena dalam berpikir manusia menggunakan akal, maka yang perlu
kita ketahui adalah apakah akal budi itu? Ratio (Latin) akal (bahasa Arab
'aqli) budi (Sanskerta) akal budi (persatuan Arab dan Sansekerta) Nous
(Yunatu) li'asio» (Perancis) Reason (Inggris). AM budi adalah potensi dalam
rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit mengenai
teoritis realita kosmis, yang mengelilingi dalam mana ia sendiri juga
termasuk dan itulah secara praktis merubah dan mempengaruhinya.
Disini dapat diterangkan, bahwa akal merupakan potensi yang
terdapat dalam rohani manusia berhubungan dengan rohani dalam pemikiran
Islam, rohani mempunyai unsur-unsur jiwa, nafsu, kalbu dan roh; Masing-
masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Naf.'su adalah yang paling banyak
perannya dalam rangka manusia melakukan kegiatan. Nafsu terdiri dari nafsu
amarah, lawwamah, mutrnainnah,, raadlyah, mardijah, kaamilah.
Dilihat dari fungsinya, bahwa nafsu dapat mengetahui sesuatu.
Sehingga dari nafsu dapat mengetahui tahu, nafsu dapat memperoleh
pengetahuan karena memiliki kemampuan masing-masing dalam
memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini; kemampuan akal sebagaimana
dijelaskan oleh Ibn Khaldun, bahwa akal adalah sebuah timbangan yang
cermat yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya, tetapi mengenakan
27 Miska Muhamamd Amin, op. cit., hlm. 27.
71
akal untuk menimbang soal-soal yang berhubungan dengan ke-Esaan Allah
dan hidup diakhirat atau hakikat kenabian atau sifat-sifat Ketuhanan atau
lain-lain yang terletak di luar kesanggupan akal, adalah sama dengan
mempergunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung, ini
berarti tidaklah timbangan itu sendiri tidak boleh dipercaya. Dari pengertian
di atas, bahwa akal sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan walau
memilih kelemahan dan keterbatasan terbatas.
Dalam al-Qur’an dapat dicermati dalam sebagian ayat Allah sangat
menghargai akal manusia, bahkan Allah marah terhadap manusia yang tidak
mau menggunakan akalnya, bisa dicermati dalam al-Qur’an Surat Yunus ayat
100. Allah berfirman:
وما كان لنفس أن تؤمن إال بإذن الله ويجعل الرجس على الذين ال يعقلون
Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS. Yunus: 100).28
Selain ayat tersebut bisa dicermati dalam ayat lain bahwa Allah itu
menganjurkan manusia untuk menggunakan akalnya, ayat-ayat tersebut bisa
dicermati dalam Surat al-Baqarah ayat 70, al-An’ am: 116, Qs. Yunus: 36,
Qs. Al-Mujadalah: 14, al-Ankabut: 63. Al-Maidah: 58. Al-Furqon: 44. As-
Syu’ara: 28, QS. Al-Haj: 46, QS. Ali Imran: 190-191, QS. Ar-Rum: 8, QS.
Al-Ankabut: 43, QS. Qaf: 6-1, QS. Al-Fathir: 27-28, QS. al-A’raf: 185, QS.
Ar-Rad: 3, QS. An0Nahl: 11, QS. Az-Zumar: 42, Al-Jatsiyah: 12, QS.
Ibrahim: 19, Al-Mulk: 10, dan lain sebagainya.29 Ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa Allah itu sangat menghargai akal manusia, karena
manusia yang mau menggunakan akalnya dia akan mampu mengungkap
segala ciptaan-Nya, dan dia akan mampu menemukan dan menciptakan
28 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Al-WAAH,
t.th), hlm. 322. 29 Al-Qur’an, Juz. 1-30.
72
sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia yang lain, seperti perkembangan
teknologi pada saat ini. 30
Dengan akal manusia dapat berfikir, menganalisa dan membuktikan.
Dengan akal pula seseorang dapat menyingkap realitas-realitas ilmiah, sebab
akal merupakan salah satu pintu pengetahuan. Tidak semua pengetahuan itu
diwahyukan, akan tetapi ada pula yang harus di deduksi oleh akal melalui
penelitian dan percobaan (eksperimen). Dengan memfungsikan akal untuk
mengetahui hal-hal yang belum diketahui, adalah satu keharusan, karena
sesuatu yang dapat diterima oleh akal (masuk akal), itu adalah pengetahuan
yang terbaik, dan dianggap benar. Pengetahuan yang diperoleh melalui akal
merupakan bagian dari sumber pengetahuan, karena tidak semua
pengetahuan itu diwahyukan, disinilah akal dituntut untuk bekerja keras
memikirkan hal-hal yang belum diketahui sebelumnya, dengan bantuan akal
pengetahuan yang benar akan dapat diperoleh.31 Sesuatu yang diproses
melalui akal dan nalarnya, akan terhindar dari prangsa dan keragua-raguan.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Yunus ayat 36. Allah berfirman.
ني منغال ي ا إن الظنإال ظن مهأكثر بعتا يملونوفعا يبم ليمع ئا إن اللهيش قالح
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (Qs. Yunus: 36).32
Dalam ayat lain Allah berfirman “demikianlah Allah menerangkan
kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukumnya) supaya kamu memahami. (QS.
Al-Baqarah: 242). Dari beberapa ayat ini menunjukkan bahwa memberikan
kebebasan pada akal, yaitu untuk memikirkan apa-apa yang belum diketahui,
dan mencermati apa-apa yang sudah diketahui (yakni hukum-hukum Allah)
yang sudah diwahyukan agar seseorang menjadi yakin akan kebesaran Allah
30 Zakiyah Daradjat, dkk, Islam Untuk Disiplin Ilmu, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998),
hlm.20-24. 31 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyu Asmin,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 248. 32 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 312.
73
SWT. Jadi tidak diragukan lagi bahwa akal merupakan sarana untuk
memperoleh pengetahuan (al-ilm), karena al-Qur’an tidak mempersoalkan,
justru al-Qur’an sangat menghargai akal manusia.
Proses terjadinya pengetahuan dengan melalui perantara akal. Hal ini
dapat dibandingkan antara epistemologi Barat dengan filsafat Islam. Dalam
hal ini dapat digambarkan pada skema dibawah ini.
Gambar I Gambar II
(Epistemologi barat) (Epistemologi Qur’anic)
Dari sketsa kedua bentuk epistemologi tersebut, bahwa sumber
pengetahuan menurut al-Qur’an (pengetahuan Islam), akal merupakan
sumber pengetahuan, akan tetapi tidak menjadi sumber yang paling mutlak,
menurut al-Qur’an kalam tuhan (wahyu) adalah sumber pengetahuan yang
paling mutlak.
C. Empirisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos yang berasal dari kata
empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata
Yunaninya, pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman inderawi. Manusia
tahu es dingin karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya.
John Locke (1632-1704), bapak aliran ini pada zaman modern
mengemukakan dengan teori tabula rasa yang secara bahasa berarti meja lilin.
Akal
Obyek
Indera
Intuisi
Tuhan/ Wahyu
Obyek
Indera
Akal
74
Maksudnya ialah bahwa manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan,
lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki
pengetahuan. Mula-mula tangkapan indera yang masuk itu sederhana, lama-
kelamaan ruwet, lalu tersusunlah pengetahuan berarti. Berarti, bagaimana pun
kompleks (ruwet)-nya pengetahuan manusia, ia selalu dapat dicari ujungnya
pada pengalaman indera. Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera
bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber
pengetahuan yang benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi
tumpuan aliran ini adalah metode eksperimen.33
Pengetahuan yang diperoleh yaitu hasil hubungan antara subyek dengan
obyek melalui pengalaman, sehingga hal ini mudah dibuktikan dan diuji
kebenarannya. Dalam hal ini John Locke membedakan bahwa pengalaman itu
bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman lahiriah (sensation) dan
pengalaman batin (relfexion), yang keduanya saling berhubungan, karena segala
sesuatu yang berada di luar diri kita dapat menimbulkan ide-ide dalam diri
kita34.
Dalam hal ini empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan
peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu
sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Sehingga aliran pengetahuan yang
diperoleh melalui data empiric itulah yang dianggap paling benar.35
Sebagaimana David Hume ia mengukur kebenaran dengan pengalaman sebagai
alat ukur.36 Menurutnya semua pengetahuan itu dimulai dari pengalaman indera
sebagai dasar. Baginya kesan (impression) sama dengan pengindraan
(sensation), sebagaimana Locke hal ini adalah basis pengetahuan. 37
Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman maupun indera itu
ternyata memiliki kelemahan. Kelemahan pertama ialah indera teratas. Benda
33 Louis O. Katsoff, Pengantar Filsafat, terj. Sujono Soemargono, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1992), hlm. 137. 34 Harun Haddieijon, Seri Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 36. 35 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1994) hlm. 138. 36 Ibid., hlm. 142. 37 Ibid.
75
yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan
kemampuan dalam melihat, dari sini akan terbentuk pengetahuan yang salah.
Kelemahan kedua ialah indera tertipu. Pada orang yang sakit malaria, gula
rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan
empiris yang salah juga. Kelemahan ketiga ialah obyek yang menipu, contohnya
ilusi, fatamorgana. Jadi, obyek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia ditangkap oleh
alat indera; ia membohongi indera. Ini jelas dapat menimbulkan pengetahuan
inderawi yang salah. Kelemahan keempat berasal dari indera clan obyek sekaligus.
Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara
keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara
keseluruhan. Jika kita melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau,
dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya.
Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan in dera manusia. Oleh
karena itu, muncul aliran rasionalisme. Ada aliran lain yang mirip dengan
empirisme: sensasionalisme. Sensasi artinya rangsangan inderawi. Secara kasar,
sensasi sama dengan pengalaman inderawi.38
Pengetahuan inderawi dimiliki manusia melalui kemampuan indera.
Kemampuan itu diperoleh manusia sebagai makhluk biotik, berkat inderanya
manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di alam ini. Indera
menghubungkan manusia dengan hal-hal yang konkrit material. Pengetahuan
indera bersifat parsial, disebabkan perbedaan indera dengan yang lain.
Namun pengetahuan inderawi sangat dibutuhkan karena indera merupakan
gerbang pertama untuk pengetahuan yang utuh.39
Dalam aliran empirisme dijelaskan, bahwa inderalah satu-satunya
instrumen yang dapat menghubungkan kita dengan suatu obyek. Tanpa panca
indera, kemungkinan kita memandang suatu obyek dalam satu ketiadaan.
Kalau panca indera tersebut salah maka ia tahu kesalahan tersebut dengan
cara eksperimen dan akal hanya mengikutinya. Akal sendiri tanpa melalui
panca indera bahkan tanpa ini hakekat tidak dapat diresapi. Sesuai apa yang
38 Ibid., hlm. 12-13. 39 Anton Bakker dan Kharis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisisus, 1990), hlm. 21.
76
dikatan John Locke, bahwa pada akal tidak ada sesuatu sebelum itu ada pada
alat indera.40
Pengetahuan indera adalah pengetahuan yang diperoleh manusia
melalui kelima inderanya, yakni mata, hidung, perasaan (kulit), telinga dan
lidah. Pengetahuan inderawi disebut sebagai pengetahuan empiris. Dalam
sejarah epistemologi Barat sebagaimana yang dipelopori Roger Bacon, John
Locke, David Hume dan sejumlah pengikutnya.
Pengetahuan empiris diperoleh melalui pengetahuan pribadi, yang di
dapat melalui, melihat, mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan
suasana jiwa, yakni apa saja yang didapat melalui pengalaman inderanya,
yaitu dari apa yang dilihat, dirasakan, sesuai dengan bentuknya.
Dalam pengalaman ada dua macam sensasi, pertama yaitu sensasi
dalam yang bersifat subyektif seperti keinginan, rasa dan pikiran. Yang
kedua sensasi kita terhadap dunia luar seperti penglihatan, bau dan cicipan,
dan lain sebagainya. Selanjutnya, untuk mengetahui jenis pengetahuan
indera dalam Islam, perlu dijelaskan jenis-jenis indera yang dimiliki
manusia. bentuk manusia itu terdiri dari Jasmani dan Rohani, jasmani dalam
tubuh manusia dilengkapi dengan berbagai bentuk panca indera seperti,
hidung, mata, perasaan (kulit), tangan dan telinga. Islam memandang, panca
indera manusia terdiri dari indera dalam dan indera luar, keduanya
mempunyai fungsi sendiri-sendiri. 41
Dari proses penginderaan itu kiranya diambil suatu pengertian, bahwa
indera menangkap kesan dan masukan dalam pikirannya, kemudian diproses
oleh ketiga indera lainnya dikeluarkan untuk menjadi pengertian oleh indera
pengikat. Seperti halnya akal, indera juga mempunyai kelemahan.
Pengalaman menipakan pengetahuan yang telah samar dijadikan dasar bagi
teori pengetahuan yang sistematis. Sebuah teori yang menitik beratkan pada
persepsi panca indera, kiranya melupakan kenyataan bahwa panca indera
manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.
40 Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiology Ilmu dalam Perspektif Al-Qur’an, (Bandung: Rosda Karya, 1989), hlm. 15.
41 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 123.
77
Walaupun indera terbatas dalam memperoleh pengetahuan; namun
kedudukannya sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan. Pengetahuan
yang diperoleh melalui perantara indera, pengetahuan ini tidak bertentangan
dengan al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah: Dan sesungguhnya kami
tinggalkan dari padanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang
berakal. (al-Ankabut: 29). Ayat ini mengandung pengertian, bahwa Tuhan
menyeru kepada manusia yang berakal supaya memikirkan apa-apa yang ada
di alam sejauh yang dia ketahui. Dalam ayat lain yang menjelaskan
bagaimana fungsi indera untuk memperoleh pengetahuan, hal ini sesuai
firman Allah dalam Surat Al-Ghassiyah: 17-20):
لقتخ فون إلى الإبل كينظر17(أفلا ي ( تفعر فاء كيمإلى السو)إلى ) 18و
تصبن فال كي19(الجب ( تطحس فض كيإلى الأرو)20(
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan dan bumi, bagaimana ia dihamparkan.. (QS. Al-Ghassiyah : 17-20)42
Pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, banyak sekali tersirat
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana dalam surat al-Mu’minun: 80, as-
Syuara’: 28, al-Furqon: 44, QS. al-Baqarah: 170, QS. al-Anfal: 22, QS.
Yunus: 36, QS. Al-Furqon: 45, QS. As-Syamy: 1, QS. An-Naba’: 13, QS.
Nuh: 16, QS. Ibrahim: 33, dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang
menyerukan bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman, yang
bisa dipakai sebagai petunjuk, inovasi untuk kemajuan ilmu pengetahuan.43
Dari ketiga sumber pengetahuan di atas. Teori pengetahuan, menurut
al-Qur’an atau disebut sebagai pengetahuan qur’anik (epistemology qurqnic).
Dalam hal ini Muhammad Iqbal menggambarkan bagaimana proses
terjadinya pengetahuan, menurutnya adalah mengangkat ketiga potensi
manusia: yaitu serapan panca indera, kemampuan akal, dan kemampuan
42 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 1055. 43 Al-Qur’an, Juz 1-30.
78
intuisi secara serempak. Dengan demikian menurutnya ketiga hal tersebut
sama-sama penting dan sama-sama dapat digunakan untuk mencari dan
memperoleh pengetahuan, walaupun memiliki kemampuan yang berbeda
dalam menyerap pengetahuan. Hal ini tampak berbeda sebagaimana yang
digambarkan dalam epistemologi Barat, yang memisah-misahkan ketiga
potensi tersebut (akal, indera (pengalaman), dan intuisi). sebagaimana
dipahami Danusiri, yang ia pahami dari pemikiran Iqbal bahwa proses
terjadinya pengetahuan yang benar yaitu sebagaimana ia gambarkan dibawah
ini:
Proses pengetahuan sebagaimana skema di atas menggambarkan
bahwa, pengetahuan Islam itu berangkat dari kesadaran uluhiyyat, yakni
pengetahuan islam itu selalu mengacu pada wahyu Tuhan (al-Qur’an)
ataupun ilham/ intuisi, kemudian menuju ke indera, selanjutnya menuju ke
akal, dan berakhir kepada kesadaran uluhiyyat kembali, yakni berasal dari
Tuhan dan kembali pada Tuhan, yang pada gilirannya akan melahirkan
pengetahuan yang saraf akan nilai (moral, etika, ibadah dan lain
sebagainya).44
44 Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm. 63-66.
Tuhan/ Wahyu
Akal
Indera
Intuisi / ilham
Obyek
79
D. Ilham/ Intuisi Disamping pengetahuan berasal dari wahyu, akal dan empirisme ada
sumber lain yang disebut “ilham”. Dalam al-Qur’an “ilham” dijelaskan
dalam Surat as-Syams: 8. M. Abduh mengemukakan ilham adalah perasaan
halus yang jiwa merasa yakin lalu mendorongnya kepada apa yang dicari,
tanpa merasa atau mengetahui dari mana datangnya. Ilham hampir serupa
dengan perasaan halus, tanpa duka dan suka, yakni satu pengetahuan atau
perasaan halus (insting) yang mendorong untuk mengetahui tanpa merasa
dari mata pengetahuan itu datang.45
Sedangkan perseorangan dapat menerima ilham disebabkan
kebutuhan yang sangat mendesak oleh penerimanya. Contoh ilham yang
diturunkan kepada ibu Nabi Musa yang menyelamatkan bayinya dengan cara
menghanyutkan ke sungai Nil. Pengetahuan ilham dalam artian umum, sama
dengan wahyu yang disampaikan lewat hati sanubari. Namun dalam arti
khusus, keduanya memiliki perbedaan yaitu terletak pada cara
penyampaiannya. Kalau wahyu lewat perantara sedang ilham tidak melalui
perantara.
Ilham dan intuisi berhubungan dengan pengetahuan yang ada dalam
tasawuf, ilham itu sendiri memainkan peranan yang sangat penting dalam
segala pengetahuan. Satu-satunya jalan yang mengetahui realitas adalah
melalui ilham. yang melaporkan kehidupan dinamis dunia yang selalu dalam
perubahan dan pembaharuan. Sifat yang kreatif hakiki dari alam akan hilang
dalam pengetahuan yang berdasarkan pemikiran, hanya pengetahuan ilham
yang memberikan laporan yang benar. Melalui intuisi kita memperoleh
penghayatan tentang batin alam.46
Dalam faham intuisi dijelaskan bahwa dalam alam ini ada dua
realitas. Pertama, alam inderawi dan alam intuisi. Alam intuisi tidak dapat
dijangkau melalui observasi, karena berkaitan dengan alam kejiwaan, di sini
intuisi dapat mendengar atau melihat dengan jarak jauh yang disebut telepati
45 Ibid., hlm. 38-40. 46 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 117-118
80
dan filosof menyebutnya dengan indera keenam, sedang para sufi
menyebutnya al-Ilm al-Huduri (ilmu kehadiran), yakni Tuhan melimpahkan
pengetahuan-Nya kepada manusia yang dikehendaki untuk menerima
limpahan pengetahuan tersebut secara langsung, atau manusia yang dengan
sengaja mau mengusahakan untuk memperoleh limpahan secara langsung
dari Tuhan.47
Ilham dapat pula disebut dengan inspirasi-inspirasi (bisikan batin
yang timbul dengan sendirinya). Pengertian lain ilham disebut juga sebagai
petunjuk Tuhan yang hadir dalam hati atau diri manusia, di sini harus ada
keyakinan bahwa petunjuk itu memang berasal dari Tuhan. Dalam hal ini ada
dua macam bentuk pengetahuan yang bersumber dari ilham itu bisa
ditangkap oleh diri manusia, pertama datang sendiri dan yang kedua melalui
permohonan yang sungguh-sungguh.48
Dari pengertian di atas, bahwa inspirasi diperoleh manusia secara
spontan bertumpu pada tempat bergantung. Jadi pengetahuan dapat diperoleh
dengan cara mencari pengalaman terlebih dahulu. Pengetahuan inspirasi
adalah pengetahuan yang disertai dengan ide sedangkan ilham adalah
petunjuk Tuhan yang datang dengan sendirinya.
Dalam pengetahuan Islam, Ilham dan wahyu merupakan sumber
pengetahuan paling pokok, setelah akal dan indera. Karena kedua bentuk
pengetahuan tersebut (ilham/wahyu) merupakan pengetahuan secara
langsung dari Tuhan, dan pengetahuan ini pasti benar adanya. Pengetahuan
ilham ini dapat digambarkan sebagai berikut.
47Amin Syukur, dan Masyaruddin, Intelektualisme Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm.71-72. 48 Notonagoro, Asas-asas Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fak. Filsafat UGM,
1969), hlm. 25.
Tuhan
Obyek
Intuisi/ ilham
(Epistemology sufistic)
81
Dari skema perolehan pengetahuan di atas dapat dipahami bahwa
Tuhan merupakan sumber pertama dalam pengetahuan. Ketika Tuhan
menurunkan ilmu kepada manusia dan manusia mampu menangkap sinyal-
sinyal ilmu atau mampu merasakan suatu pengetahuan baru dan ini diyakini
kebenarannya, dan tidak tahu dari mana sumbernya, inilah yang disebut
pengetahuan yang diperoleh melalui perantara ilham atau intuisi.
Pengetahuan intuitif atau ilham yang diusahakan, dalam epistemologi sufistik
dijelaskan, bahwa pengetahuan semacam ini bisa diperoleh apa bila
seseorang telah mampu membuka tabir (hijab) yang menghalangi antara diri
manusia dengan diri Tuhan.
Dalam al-Qur’an yang terkait dengan pengetahuan yang diperoleh
melalui perantara ilham, bisa dicermati dalam ayat al-Qur’an Surat Maryam
ayat 11, QS. As-Syams: 8, QS. Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah
memberikan petunjuk, informasi, bimbingan, dan pengetahuan secara
langsung kepada hambanya. Ilham dan intuisi, al-Qur’an menyebutkan
keduanya merupakan pengetahuan yang bisa dipertanggung jawabkan
kebenarannya, karena pengetahuan tersebut hadir secara langsung dari Allah
SWT.
Dengan demikian ilham merupakan anugerah Tuhan yang masih tetap
terbuka bagi siapa saja yang berusaha memperolehnya. Dalam pandangan
mufassir, ilmu yang diperoleh melalui ilham dapat diperoleh melalui usaha
penjernihan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, rutinitas ini seharusnya
disertai dengan usaha lahiriah dengan memanfaatkan fungsi indera dan akal,
agar hasil yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
validitasnya. Sehingga belajar dengan menggunakan metode demikian akan
mengantarkan pelakunya pada tarap kesempurnaan berpikir yang merupakan
hidayah dan ma’unah dari Allah subhânahû wa ta’âlâ.