Epistemologi, Konsep Dan Eksistensi Hadis

20
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Urgensi hadis nabi—baik dalam studi Islam maupun implementasi ajarannya—bukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri>’ al-Islami> ) setelah al-Qur’a> n. 1 Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Qur’an, 2 hadis membentuk hubungan simbiosis mutualism dengan al-Qur’an sebagai teks sentral dalam peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya. Bersama al-Qur’an, hadis merupakan ‚sumber mata air‛ yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya. Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis, mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses terhadap hadis. Demikian pula, mereka menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam semua aspek kehidupannya. 3 1 DR. Abdullah Hasan al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha> . (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet. 1, 2005) . 3 2 Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-shar’yyah menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}’iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}’iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi’ (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Mu’adz tatkala diutus ke Yaman. Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us} ul al-Fiqh, 37-38 3 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Ri’asah al- ‘Ammah li Idarat al-Buhuts al-‘Ilmiyah wal Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6

description

Makalah ini menjelaskan tiga persoalan penting dan mendasar dalam studi hadis yaitu masalah Epistemologi hadis, Konsep Dan Eksistensi Hadis dari aspek otoritas dan fungsinya dalam Islam

Transcript of Epistemologi, Konsep Dan Eksistensi Hadis

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Urgensi hadis nabibaik dalam studi Islam maupun implementasi

    ajarannyabukanlah hal yang asing bagi kaum muslimin umumnya, apalagi bagi

    kalangan ulama. Hal ini mengingat hadis menempati posisi tertinggi sebagai sumber

    hukum dalam sistem hukum Islam (al-Tashri> al-Islami>) setelah al-Qura>n.1

    Sebagai referensi tertinggi kedua setelah al-Quran,2 hadis membentuk

    hubungan simbiosis mutualism dengan al-Quran sebagai teks sentral dalam

    peradaban Islam bukan hanya dalam tataran normatif-teoritis namun juga

    terimplementasikan dalam konsensus, dialektika keilmuan dan praktek keberagaman

    umat Islam seluruh dunia sepanjang sejarahnya. Bersama al-Quran, hadis

    merupakan sumber mata air yang menghidupkan peradaban Islam, menjadi

    inspirasi dan referensi bagi kaum muslimin dalam kehidupannya.

    Mengingat strategisnya posisi hadis dan urgensi mempelajarinya, maka

    ulama hadis memberikan perhatian serius dalam bentuk menghafal hadis,

    mendokumentasikan dalam kitab-kitab dan mempublikasikannya, menjabarkan

    cabang-cabang keilmuannya, meletakkan kaidah-kaidah dan metodologi khusus

    untuk menjaga hadis dari kekeliruan dan kesalahan dalam periwayatan serta

    melakukan riset-riset untuk meneliti validitas hadis dan melakukan dokumentasi dan

    kodifikasi dengan berbagai macam metode untuk memudahkan akses terhadap hadis.

    Demikian pula, mereka menjelaskan posisi dan urgensi hadis kepada umat dan

    memotivasi umat untuk mempelajarinya dan berpegang teguh kepada sunah dalam

    semua aspek kehidupannya.3

    1 DR. Abdullah Hasan al-Hadisi. Athar al-H{adith al-Nabawy al-Shari>f fi Ikhtila>f al-Fuqaha>. (Beirut :

    Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 2005) . 3 2 Mayoritas ulama sepakat bahwa kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-sharyyah

    menempati posisi kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}iy al-thubut, sementara sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai baya>>n bagi Al-Quran, sementara kedudukan penjelas (al-baya>n) adalah ta>bi (pengikut) bagi yang dijelaskan (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqri>ry menetapkan hal tersebut dalam hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman. Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38 3 Lihat Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-H{adi>th wa al-Muh{addithu>n (Riyadh: Al-Riasah al-

    Ammah li Idarat al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta wa al-Dawah wa al-Iryad, 1404 H/1984 M), 5-6

  • 2

    Dalam konteks konsep keilmuan dewasa ini, ilmu hadis perlu diuraikan

    secara sistematis dari aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya. Demikian pula,

    verifikasi berbagai istilah (term) dan definisinya masing-masing serta yang tidak

    kalah pentingnya adalah argumentasi-argumentasi tentang otoritas hadis serta

    eksistensinya sebagai landasan agama. Hal ini mengingat, tema-tema tersebut tidak

    jarang menjadi kontroversi dalam wacana studi Islam.

    Dalam makalah sederhana ini dibahas tentang konsep hadis, terminologi,

    eksistensi serta otoritas (hujjiyah)-nya dalam syariat Islam sebagai pengantar

    mengkaji berbagai aspek dan cabang ilmu hadis yang cukup luas.

    B. Rumusan Masalah

    1. Apa ontologi dari eksistensi hadis?

    2. Apa saja terminologi yang berkembang seputar hadis?

    3. Bagaimana kategorisasi hadis?

    4. Bagaimana kehujjahan (otoritas) hadis sebagai sumber ajaran Islam?

    5. Bagaimana kedudukan hadis dalam konteks diskusi hadis sebagai landasan

    agama Islam?

  • 3

    BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Ontologi dan eksistesi hadis dalam perspektif kajian keilmuan

    Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti

    sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara sederhana

    ontologi dapat dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu

    yang berwujud (yang ada). 4

    Setiap disiplin ilmu mempunyai objek penelaahan yang

    jelas dan landasan ontologis yang berbeda-beda.

    Adapun epistemologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu episteme dan

    logos yang keduanya berarti teori ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi

    dapat didefiniskan sebagai ilmu yang membahas pengetahuan dan cara atau teknik

    dan prosedur untuk memperolehnya. Landasan epistemologi ilmu adalah metode

    ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan secara

    ilmiah yang disebut ilmu atau pengetahuan ilmiah.5

    Sementara itu, aksiologi atau juga disebut teori nilai,6 adalah ilmu yang

    menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu.7 Landasan penelaahan suatu ilmu terdiri

    dari ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiganya perlu diuraikan dalam upaya

    menggambarkan hakikat keberadaan ilmu.8 Dalam konteks ini, ilmu hadis

    9 sebagai

    suatu pengetahuan ilmiah, tentunya harus memenuhi syarat ontologis, epitemologi

    dan aksiologi tersebut.

    Secara ontologis, eksistensi ilmu hadis berkaitan erat dengan keberadaan

    Nabi Muhammad SAW baik kehidupan maupun ajaran-ajarannyaselain al-

    Quranyang dinilai penting sebagai landasan untuk memahami dan

    mengimplementasikan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif. Ilmu hadis

    adalah ilmu yang membahas tentang hadis Nabi Muhammad SAW yang berupa

    segala informasi yang dikaitkan dengan beliau baik berupa ucapan, perbuatan,

    ketetapan, maupun sifat fisik dan kepribadiannya. Informasi tersebut diriwayatkan

    4 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69 5 Ibid., 74-75

    6 Ibid., 78

    7 Ibid., 79

    8 Ibid., 67

    9 Disebut juga ilmu mus}t}alah al-H}adi>th atau Ilm Us}u>l al-H}adi>th.

  • 4

    dalam bentuk teks yang sebut matan disertai rangkaian periwayatnya yang disebut

    sanad. Jadi, objek yang diteliti adalah sanad dan matan hadis.

    Ilmu hadis umumnya dibagi dua macam yaitu ilmu al-h}adi>th dira>yah atau

    ilmu dira>yah al-h}adi>th dan ilmu al-h}adi>th riwa>yah atau ilmu riwa>yah al-h}adi>th.10

    Ilmu hadis riwayah adalah ilmu yang mencakup informasi tentang perkataan Nabi

    SAW, perbuatan, taqri>r maupun s}ifat beliau, tentang cara periwayatan dengan

    penukilan redaksi secara teliti. Termasuk di dalamnya juga informasi tentang

    sahabat dan tabiin menurut mayoritas ahli hadis.11 Topik pembahasan ilmu riwayat

    hadis adalah perkataan, perbuatan dan sifat-sifat dari segi penukilan. Ilmu ini

    mencakup pembahasan tentang segala yang berpautan dengan lafal dan periwayatan.

    Adapun, Ilmu hadis dirayah adalah ilmu untuk mengetahui hakikat riwayat yang

    mencakup syarat, macam dan hukumnya serta keadaan perawi yang mencakup

    syarat, jenis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. Obyek

    pembahasan ilmu ini adalah sanad dan matan hadis. Ilmu ini dirancang untuk

    mengetahui informasi terkait Nabi SAW dan tata cara periwayatan informasi

    tersebut dan tingkat orisinalitas dan validitasnya.12

    Adapun dari aspek epistemologi, metode untuk memperoleh ilmu hadis ini

    secara substansial juga dibagi menjadi dua menurut pembagian ilmu hadis di atas.

    Ilmu hadis riwayah diperoleh dengan menggunakan metode hafalan dan pencatatan

    karena sifatnya adalah menjaga agar nukilan dari Nabi tidak berubah. Sedangkan

    ilmu dirayah hadits cara memperolehnya adalah dengan melakukan penelitian sanad

    hadits dan matan hadits. Menurut Ibnu Sholah, dari dua cabang ilmu tersebut, ilmu

    hadis dikembangkan dalam pembahasan sekitar 75 cabang ilmu, diantaranya

    marifah al-sahih min al-h}adi>th, marifah al-h}asan, marifah al-d}ai >f, marifah al-

    marfu>, marifah mukhtalaf al-h}adi>th, marifah t}abaqa >t al-ruwah wa al-ulama>.13

    Hamzah al-Malibary meringkas bahwa ilmu hadis mencakup empat bagian utama

    yaitu ilm al-riwayah, qawa>id al-tash}i>h wa al-tali >l, ilm jarh wa al-tadi >l dan fiqh

    10

    Nuruddin Itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 30 11

    Ibid., 31 12

    Abu Muadz Tariq bi Iwad{allah, al-Madkhal ila Ilm al-Hadith (Kairo: Dar Ibn al-Jauzi dan Dar Ibn Affan, cet. 2, 1428 H/2007 M), 22. Muhammad S{iddiq al-Minshawy, Qamus Mustalahat al-Hadith al-Nabawy (Kairo : Dar al-Fadhilah, tt), 80 13

    Ibnu Salah. Marifah Anwa Ulum al-Hadith, ed. Abdul Latif al-Hamum dan Mahir Yasin Fahl (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1, 1423/2002), 78

  • 5

    al-hadi>th.14 Termasuk yang perlu ditambahkan juga adalah cabang ilmu hadis yang

    penting dewasa ini yaitu sejarah perkembangan kodifikasi hadis dan ilmu hadis.

    Dari aspek aksiologi, nilai guna ilmu hadis merujuk kepada kedudukan hadis

    sebagai marjaiyah al-ulya > fi al-Isla>m bada al-Qura>n (referensi/acuan nilai yang

    tertinggi dalam Islam setelah Al-Quran). Kandungan pesan yang termuat dalam

    hadis menjadi landasan dan pedoman keyakinan (akidah), hukum (syariah), dan

    etika dan moralitas (akhlak dan adab) bagi kaum muslimin.15

    Nilai guna ilmu hadis,

    antara lain; (1) untuk mengetahui hadis yang dapat diterima atau ditolak untuk

    istidla>l dan istinba>t} dalam ijtihad dalam berbagai persoalan agama, (2) menguatkan

    ke-thiqah-an (kepastian keyakinan) akan hadis-hadis yang telah diverifikasi

    validitasnya sebagai sesuatu yang benar-benar berasal dari Nabi SAW, (3) sebagai

    keahlian metodologis bagi para pengkaji dan peneliti dalam menyeleksi riwayat-

    riwayat hadis dan informasi sejarah,16

    (4) menjaga orisinalitas ajaran Islam dari

    upaya penyelewengan (tah}ri>f) dan perubahan (tabdi>l) melalui pemalsuan riwayat dan

    penyisipan ajaran khurafat dan isra>iliyya>t, (5) mewaspadai dari ancaman sanksi

    berdusta atas nama Nabi SAW dalam periwayatan hadis.17

    B. Terminologi yang berkembang seputar Hadis

    Dalam referensi ilmu hadis, term yang berkembang dan dipakai luas seputar

    hadis tidak hanya satu yaitu hadis, namun juga al-sunnah, al-khabar dan al-athar.

    Keempat term tersebut ada yang mengartikan sama dan ada pula yang mengartikan

    berbeda. Tentunya, beragam terminologi ini perlu diklarifikasi maknanya sesuai

    dengan definisi dan konteks penggunaan masing-masing agar tidak menimbulkan

    kerancuan dan kesalahan persepsi (misunderstanding).

    1. Hadis

    14

    Hamzah al-Malibary, Ulum al-Hadith fi D{au Tatbi >qa>t Muhadithin al-Nuqa>d (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 1423 H/2003),16 15

    Lihat Israr Ahmad Khan. Authentication of Hadith Redefining the Criteria (London: The International Institute of Islamic Thought, 1431 HH/2010 CE), XIII 16

    Mustafa al-Khan dalam tahqiq Kitab al-Manhal al-Rawy min Taqrib al-Nawawy (tp: Dar al-Malah} li al-Tabaah wa al-Nashr, ttt), 18 17

    Itr, 29-30

  • 6

    Arti kata hadis secara bahasa (etimologis), setidaknya memiliki tiga macam

    arti,18

    yaitu:

    1) Hadis berarti khabar dan berita (al-khabar wa al-naba>), seperti tersebut

    dalam QS. An-Naziat: 15 dan al-Ghasyiyah: 52.

    2) Hadis bersinonim dengan al-kala>m, hal ini dapat dirujuk dari firman Allah

    SWT (QS. Az-Zumar: 23) ah}san al-h}adi>th dalam ayat ini artinya ah}san al-

    kala>m (sebaik-baik perkataan). Lihat pula QS. Al-Mursalat: 50

    3) Hadis bermakna al-jadi>d (baru) sebagai lawan dari al-qadi>m (lama). Makna

    ini merupakan arti dasar dari kata al-hadis, yang kemudian digunakan untuk

    al-khabar (berita). Hal ini karena munculnya berita bersifat up to date dan

    berlangsung secara kontinu sebagian demi sebagian sehingga terasa sebagai

    sesuatu yang baru.19

    Konteks penggunaan kata hadis dalam ilmu hadis, tidak terpaut jauh dari

    makna etimologis di atas. Hadis merupakan sesuatu yang berisi informasi (al-khabar

    wa al-naba>) dari kala>m Nabi SAW yang bersifat jadi>d bila dibandingkan dengan

    kala>m Allah SWT. 20

    Adapun secara terminologis, di kalangan ahli hadis, setidaknya ada tiga versi

    pendapat tentang pengertian hadis secara istilah, yaitu:

    (1). Perkataan Nabi SAWselain Al-Qurandan perbuatan, taqri>r, dan sifat-sifat

    khususnya, termasuk gerak dan diamnya, bangun dan tidurnya.21

    Dengan demikian

    hadis hanya terbatas pada hadis marfu> saja. Hadis sinonim dengan sunah Nabi.

    (2). Khusus untuk perkataan Nabi SAW. Dalam hal ini hadis adalah antonim dari

    sunah dimana sunah adalah amalan dan perbuatan Nabi SAW yang diteladani

    (t}ari>qah amaliyah) dan merupakan penjelasan praktis Nabi SAW tentang ajaran Al- 18

    Lihat Ibnu Mandhur., Lisan al-Arab, Vol. 2 (Mesir, maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 507. Majma al-Lughah al-Arabiyah al-Idarah al-At wa ihya al-Turoth, al-Mujam al-Was>it} (Mesir: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, cet. 4, 1425 H/2004 M), 190 . 19

    lihat As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy. Vol. 1, 42. Makna al-h}adi>th sebagai al-jadi>d, merupakan pasangan kata al-qadi>m untuk al-Quran, lihat Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Must }alahuhu; Ard{un wa Dirasatun, 5 20

    Dalam Al-Quran terdapat cukup banyak ayat yang menggunakan kata hadith seperti dalam QS. Al-Thur: 34, Thoha : 9, Al-Dzariyat : 24, Al-Mursalat : 50, Al-Naziat : 15, dll. Sementara di dalam hadis Rasulullah SAW, kata hadith misalnya dapat ditemui dalam riwayat al-Bukhari no. 771 Al-Bukhari. Al-Jami As-Shohih. Vol. 1. Tahqiq Muhibuddin al-Khatib. (Kairo: Al-Maktabah as-Salafiyah, cet. 1, 1400 H), 250. 21

    Al-Sakhawy, Tawd}ih al-Abhar li Tadhkirah Ibn al-Mulqin Fi Ilm al-Athar. Vol. 1. Ed. Abdullah bin Muhammad Abdurrahim al-Bukhary (Saudi: Maktabah Us}ul al-Salaf, cet. 1, 1418 H), 10. Al-Sakhawy. Fath al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadis. Vol. 1. Ed. Abdul Karim al-Khudhair dan Muhammad bin Abdullah Alu Fuhaid (Saudi: Maktabah Ushul as-Salafh, Cet.1, 1418 H), 10

  • 7

    Quran dan bersifat mutawa>tir.22 Definisi ini merujuk kepada pengertian bahasa

    (etimologis) hadis yang berarti al-kala>m (perkataan). Dalam atha>r salaf di kalangan

    ulama hadis terdapat indikasi pembedaan ini. Abdurrahman bin Mahdi ketika

    ditanya tentang Malik bin Anas, al-Auzay dan Sufyan bin Uyainah menjawab:

    Al-Auzay adalah imam dalam masalah sunah tapi bukan imam dalam masalah

    hadis. Sufyan adalah Imam dalam masalah hadis dan bukan imam dalam masalah

    sunah. Adapun Malik adalah imam dalam kedua hal tersebut.23

    (3). Perkataan Nabi SAWselain Al-Quran, perbuatan, persetujuan Nabi atas

    sesuatu hal (taqrir), sifat fisik (khalqiyah) dan akhlak (khuluqiyah) serta seluruh

    informasi yang terkait dengan Nabi SAW baik sebelum diutus sebagai Nabi (qabla

    al-bithah) atau sesudahnya (bada al-bithah), termasuk pula biografi (sirah) dan

    peperangan (ghazawa>t) yang terkait kehidupan dan dakwahnya. Demikian pula,

    hadis mencakup perkataan dan perbuatan sahabat Nabi SAW dan tabiin. Dengan

    demikian hadis meliputi riwayat yang marfu>, mawqu>f dan maqt}u>. 24

    Menurut Nur al-din Itr, definisi yang ketiga adalah definisi yang paling

    tepat.25

    Hal ini dapat dibuktikan dengan realita dalam kitab-kitab hadis yang ada

    yang bukan hanya mencantumkan hadis-hadis yang marfu> kepada Nabi, namun juga

    hadis yang mawqu>f (perkataan shahabat) dan maqt}u> (perkataan tabiin).26 Bahkan

    dapat dikatakan bahwa hampir seluruh ragam jenis kitab-kitab hadis seperti al-

    22

    As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, 5 23

    Ajaj al-Khatib. Al-Sunnah Qabl al-Tadwi>n. (Beirut: Dar al-Fikri, cet. 3, 1400 H/1980 M), 20, Manahij Jamiah al-Madinah al-Alamiyah. Ad-Difa an as-Sunnah. (Kode bahan. GUHD5303). Jamiah al-Madinah al-Alamiyah), 14 24

    Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. Al-Wasith, . 15-16, As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy,. 1/43 . Pengertian yang luas semacam inilah yang dipilih oleh Nuruddin Itr dalam Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), 26 dan Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah dalam al-Wasith fi Ulum wa Mustholah al-Hadis, 16. Dalam konteks penyebutan umum (mutlaq), al-hadis diasosiasikan dengan khobar marfu dari Nabi SAW. Kemudian akan mempunyai makna khusus (muqayyad) jika disertai qari>nah (indikasi lain) tertentu seperti dalam kalimat Hadis Abubakar, hadis Qotadah yang bermakna atsar. (taliq Abu Muazd Thariq bin Audhillah dalam As-Suyuthi. Tadrib al-Rowy fi Syarh Taqrib an-Nawawy, . 42-3), Ali Hasan al-Halaby, An-Nukat ala Nuzhat al-Nadzar, . 52 (footnote) 25

    Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd..., 26 26

    Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasith...., 16

  • 8

    muwatha, al-ja>mi al-s}ahi>h, al-sunan, terkandung di dalamnya hadis nabawi,

    perkataan (aqwa>l) shahabat dan tabiin. 27

    2. Sunnah

    Secara etimologis, Sunnah berarti al-t}ariqah dan al-sirah. 28 yang berarti

    jalan, cara atau metode. Makna asal dari kata al-sunnah bermakna jalan yang dirintis

    dan ditempuh oleh orang terdahulu sehingga menjadi jalan yang selalu diikuti dan

    dilalui oleh orang-orang yang datang kemudian.29

    Sunnah mencakup juga jalan yang

    dilalui hal itu baik ataupun buruk, atau jalan yang ditempuh kemudian diikuti orang

    lain, ataupun cara, arah, mode, peraturan, dan gaya hidup, kebiasaan (tradition)

    dalam hal yang positif ataupun negatif.30

    Rasulullah SAW bersabda:

    Barangsiapa yang mencontohkan suatu sunnah yang baik dalam Islam maka baginya pahala dari perbuatannya dan dari orang-orang yang mengikutinya

    tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Barangsiapa yang mencontohkan

    suatu sunnah yang jelek dalam Islam maka baginya dosa dari perbuatannya dan

    dari orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka

    sedikitpun.31

    27

    Adapun dalam penyebutan secara umum dan kebiasaan para ahli hadis, konteks pemakaian istilah

    hadis adalah segala yang terkait dengan yang bersumber dari Rasulullah SAW dan tidak digunakan

    kepada orang lain selain beliau kecuali jika penyebutannya dalam konteks yang bersifat khusus dan

    tertentu (muqoyyad). Lihat catatan kaki dari Ali Hasan al-Halaby al-Atsary. An-Nukat ala Nuzhat an-Nadzar. . 25. 28

    Al-Jurjany, Mujam al-Tarifa>t, 105Al-Qa>mus al-Muhi>t}, materi sunan, 1558 dan Lisa>n al-Arab Juz 3, 2124 29

    Lisa>n al-Arab Juz 3, 2124 30

    Di dalam ayat-ayat Al-Quran, terdapat beragam penggunaan kata dimaksud seperti; Sunan alladhi>na min qablikum atau jalan orang-orang sebelum kamu (QS. An-Nisa : 26), sunnat al-awwalin (QS. Al-Anfal : 38), wa la>> tajidu li sunnatina> tah{wi>lan (QS. Al-Isra : 77), sunnah Allah (QS. Al-Fath : 23), dll. Secara umum, penggunaan kata sunnah dalam Al-Quran menunjukkan makna al-t}ariqah wa al-adah (jalan yang ditempuh dan kebiasaan yang berlaku). Sementara dalam hadis Rasululah, terdapat dalam hadis Rasulullah SAW : latattabiunna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456 dari Abu Said al-Khudry RA), juga dalam hadis : ............ fa man raghiba an sunnaty fa laisa minny (HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063

    dari Anas bin Malik RA), Hadis : S{allu qabla al-Maghribqala fi al-thalithahliman shaa, karahiyatan an yattakhidhaha al-nas sunnatan (HR. Al-Bukhari dalam al-Fath 3/60, Kitab al-Tauhid, bab al-S{alah qabl al-Maghrib, hadis nomor 1183 dari Ibnu Buraidah RA). Ibnu al-Hajar menjelaskan

    maksud sunnah dalam hadis ini adalah shariatun wa t{ariqatun la>zimah.(ibid). 31

    HR. Muslim 4/2059 Kitab al-Ilm Bab Man Sanna sunnah hasanah aw sayyiah hadis no. 15 (1017).

  • 9

    Dalam istilah sebagian ahli hadis, sunnah adalah apa saya yang dikaitkan

    dengan Nabi SAW saja, namun mayoritas mereka menetapkan bahwa sunnah

    mencakup pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin.32 Dengan

    demikian, sunnah menurut ulama hadis sinonim dengan hadis.

    Adapun para ulama disiplin ilmu lain mendefinisikan hadis dalam perspektif

    keperluan bidang keilmuannya. Ahli Us}u>l fiqh mendefiniskan sunnah sebagai segala

    hal yang datang dari Nabi (selain al-Quran), baik perkataan, perbuatan maupun

    taqri>r yang pantas menjadi dalil hukum shara`. Sementara menurut ahli Fiqih,

    sunnah adalah segala perintah yang datang dari Nabi yang hukumnya bukan fard}u

    atau wajib. Sunnah juga kadang diposisikan sebagai lawan dari bidah.33

    Sementara dalam tataran praktis-aplikatifsebagaimana pendapatItrterm

    sunnah lebih banyak dipakai oleh para ulama ushul fiqh, sementara term hadis, lebih

    banyak dipakai oleh ulama hadis. Menurut ulama ushul fiqh, sunnah lebih banyak

    disebut dalam konteksnya sebagai sumber penetapan syariat (masdar tashri>). 34

    Sementara ulama hadis menggunakan secara luas sebagai kata ganti yang sinomin

    dengan hadis. Dalam hal ini ahli hadis mengkategorikan sifat sebagai bentuk

    sunnah. 35

    S{ubhi S{aleh yang menolak adanya klaim sinonim antara sunnah dan hadis,

    menurut tinjauan etimologis maupun terminologis.36

    Sunnah lebih berkaitan dengan

    perbuatan (afa>l) Nabi SAW dan lebih berorientasi aplikatif-fiqhy (living tradition)

    dari cara hidup (tariqah) Nabi SAW yang menjadi kebiasaannya (al-adah). Hal ini

    didukung keumuman konteks penggunaan term ini dalam hadis-hadis Nabi SAW.37

    32

    Itr, Manhaj al-Naqd..., 28. Namun istilah sunnah lebih banyak berkaitan dengan Nabi SAW dan para sahabat khususnya al-khulafa ar-rashidin. 33

    Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila Tahqiq al-Haq min Ilm al-Usul, 186 34

    Idem, 28 35

    Menurut penulis, memasukkan istilah sifat khilqiyah ke dalam definisi sunnah tidak tepat karena akan janggal jika dipahami dalam konteks hadis alaikum bi sunnatiy.. 36

    Subhi Salih, Ulum al-Hadith wa Must}alahuhu; Ard{un wa Dirasatun, h. 6 37

    Di antaranya hadis Rasulullah SAW : latattabiunna sanana man kana qablakum shibran bi shibrin.. (HR. Al-Bukhari dalam Fath al-Bary 6/495 Kitab al-Anbiya Bab Dhikru Bani Israil, hadis no. 3456 dari Abu Said al-Khudry RA), juga dalam hadis : ............ fa man raghiba an sunnaty fa laisa minny (HR. Bukhari dalam Fath al-Bary 9/104, Kitab al-Nikah, Bab al-Targhib fi al-Nikah, hadis no. 5063

    dari Anas bin Malik RA).

  • 10

    3. Khabar

    Khabar adalah suatu informasi yang berimplikasi pembenaran atau

    pendustaan.38

    Menurut S{ubhi S{a>lih, khabar lebih dekat untuk dianggap sinonim

    dengan hadis karena tahdi>th adalah bentuk ikhba>r dan hadis Rasulullah SAW adalah

    jenis khabar yang marfu> kepada Rasulullah SAW.39 Sejalan dengan pendapat

    tersebut, Itr menilai bahwa hadis, khabar dan athar, ketiganya memiliki arti yang

    sama yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik perkataan,

    perbuatan, ketetapan atau sifat jasmani (fisik), maupun sifat kepribadian (akhlak),

    termasuk pula apa yang disandarkan kepada para sahabat dan tabiin.

    Jika dilacak lebih jauh, terdapat sisi perbedaan ruang lingkup dari ketiga term

    tersebut bila disebutkan secara mutlak40

    . Khabar adalah yang paling luas ruang

    lingkupnya. Hal ini merujuk kepada makna bahasa, domain content khabar

    mencakup informasi apa saja, bukan hanya terkait Nabi SAW sampai generasi

    tabiin, namun juga khabar tentang peristiwa, tokoh, dan tempat tertentu selain

    Nabi, Sahabat dan tabiin. Dalam praktek para perawi pun, mereka tidak membatasi

    periwayatan hanya informasi Nabi SAW tetapi juga selain Nabi SAW dan dua

    generasi pertama Islam.

    4. Athar

    Dalam Nukhbat al-Fikar, Ibnu Hajar mensinyalir adanya pendapat sebagian

    muhadithin yang mengkhususkan istilah atha>r untuk khabar yang mawqu>f dan

    maqthu.41 Menurut An-Nawawi, khabar yang marfu ataupun mawqu>f semuanya

    disebut athar. Beliau menolak bahwa pendapat para ulama fiqh negeri Khurasan

    yang membedakan bahwa athar untuk khabar yang mawqu>f.42 Itr sepakat pendapat

    al-Nawawi dengan alasan bahwa istilah athar sinonim dengan hadis yang bukan

    hanya marfu, tapi juga mawqu>f dan maqthu.43

    Walaupun dalam pemakaianya istilah atha>r bersifat global yang mencakup

    hadis Nabi. Namun, jika pemakaiannya bersamaan dengan penyebutan istilah hadis,

    38

    Khabar Ahad fi al-Hadith al-Nabawy, 29 39

    Subhi Salih, Ulum.. 10 40

    Disebutkan dalam bentuk satuan kata yang tidak dilekatkan (id}afah)-kan dengan kata Nabi atau Rasulullah. 41

    Ibnu Hajar, Nukhbat al-Fikar, ed. Abd al-Hamid bin Salih alu awaj (Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. 1, 2006 M), 326 42

    As-Suyuthi, Tadrib al-Rawy (Kairo: Dar al-Hadith, 1431 H), 147 4343

    Itr, Manhaj..., 29

  • 11

    maka atha>r lebih menunjukkan makna perkataan sahabat, tabiin dan tabi al-tabiin

    (al-qurun al-thalathah al-mufad}alah).44

    Sebagai kesimpulan dari sub bahasan ini, berikut urutan ruang lingkup dari

    yang paling luas cakupan maknanya ke paling sempit dari keempat istilah tersebut;

    Sebagai catatan pulasejalan dengan pendapat S{ubhi S{a>lihdiskursus

    tentang perbedaan antara istilah hadis, khabar, sunnah dan athar tidak terlalu urgen

    dan substansial untuk diperdebatkan. 45

    Dalam tataran aplikasi, perbedaan arti

    masing-masing dapat dipahami dalam konteks kalimat dan pembahasannya.

    C. Macam-macam Kategori hadis :46

    Kategorisasi hadis cukup beragam. Hal ini merujuk kepada perspektif

    tinjauannya yang berbeda-beda. Berikut ringkasan kategori tersebut:

    44

    Atha>r dari tiga generasi ini menjadi penting dalam wacana keislaman dengan adanya persaksian Rasulullah SAW terhadap mereka sebagai generasi terbaik. Lihat Shahih al-Bukhari Juz 2 . 251, hadis

    nomor 2651, 2652. 45

    Ibid, 11 46

    Lihat Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, Taisir Must}alah al-Hadi>th (Iskandariyah: Markaz al-Huda li al-Dirasa>t, cet. 7, 1405 H), Ima>d Ali Jumah, Must}alah al-Hadith al-Muyassar (Riyad} : Maktabah al-Malik Fahd al-Wataniyah, cet. 1, 2005)

    hadis

    dari aspek informasi matan

    Fi'ly

    Qauly

    Taqriry

    Sifat

    Hammy

    dari aspek kuantitas

    periwayatan

    Mutawatir

    Lafdhi

    Maknawi

    Amaly

    Ahad

    Mashhur

    Aziz

    Gharib

    dari aspek kualitas

    Sahih

    Li dhatihi

    li Ghairihi

    Hasan

    Li dhatihi

    li Ghairihi

    Da'if

    shadid

    khafif

    maudu

    dari aspek narasumber

    Qudsy

    Nabawy (marfu')

    mauquf

    maqtu'

    dari aspek

    aplikatif

    nasikh

    rajih

    muhkam

    non-aplikatif

    mansukh

    marjuh

    mutawaqqaf fih

    Khabar Atha>r Hadis Sunnah

  • 12

    D. Kehujjahan/otoritas hadis (H{{ujjiyah al-Hadith)

    Kata hujjjah menurut bahasa adalah alasan atau bukti, yaitu sesuatu yang

    menunjukkan kepada kebenaran atas tuduhan atau dakwaan, dikatakan juga hujjah

    dengan dalil.47

    Adapun, landasan normatif dan logis bagi kehujahan (otoritas) hadis

    sebagai mas}dar (sumber) dan marja (rujukan) bagi ajaran Islam adalah sebagai

    berikut;

    1. Landasan Al-Quran

    a. Adanya pelimpahan otoritas kepada Rasulullah SAW untuk

    menjelaskan (tabyi>n) al-Quran.48

    Allah SWT mewajibkan manusia

    untuk mengikuti wahyu dan sunnah Rasul-Nya. Sunnah merupakan

    pengajaran Allah SWT (al-h}ikmah) kepada Rasul-Nya yang menyertai

    pewahyuan al-Quran yang setara dengan wahyu itu sendiri.49

    Kalau

    al-Quran adalah wahyu matlu, maka sunnah merupakan wahyu ghair

    al-matluw 50.

    b. Pemberian otoritas penetapan hukum (tashri) kepada Rasulullah

    disertai ancaman bagi yang sengaja menyelisinya.51

    Perintah untuk

    berhukum kepada keputusannya ketika terjadi perbedaan pendapat

    dan perselisihan.52

    Tidak ada alternatif pilihan lain bagi orang yang

    beriman untuk menyelisihi keputusan (qad}a>) itu.53 Menurut al-

    Shafii, keputusan (qad}a>) Rasulullah tersebut dalam bentuk sunnah

    yang tidak disebutkan secara tekstual dalam al-Quran.54

    Penegasan

    otoritas hukum ini disertai ancaman penegasian iman55

    , penetapan

    sifat hipokrit dalam keimanan (nifa>q) bagi mereka tidak

    mengakuinya,56

    serta ancaman keras berupa pembiaran dalam

    47

    Al-Jurjany. Mujam Al-Tarifa>t, ed. Muhammad S{iddiq al-Minshawy (Kairo: Dar al-Fad{ilah, ttp), 73 48

    QS. 16: 44 49

    Imam al-Shafii berpendapat bahwa ayat-ayat yang menyebut al-Kitab berarti al-Quran dan al-

    hikmah berarti al-Sunnah. Di antara ayat-ayat yang menyebut tentang hal ini yaitu QS. 4: 113, 2

    :129, 231, 3: 164, 62: 2, 33: 34. Lihat al-Shafii, Al-Risalah, 73-76 50

    Al-Quran, 53: 3-4, Ibnu Hazm, Al-Ihkam 1/97 51

    Ibid., 24: 63, 4: 65, 59: 7 52

    Ibid., 4: 59 53

    Ibid., 33:36 54

    Ibid, 83 55

    Ibid., 3: 65 56

    Ibid., 3: 61

  • 13

    kesesatan dan vonis neraka bagi yang membenci ajaran Rasulullah

    SAW.57

    c. Penetapan hak ketaatan kepada Rasulullah SAW. Kewajiban taat

    tersebut sebagaimana kewajiban taat kepada Allah SWT.58

    Tentunya, menaati Rasulullah berarti menaati ajarannya yang

    terdokumentasikan dalam hadis.

    d. Penetapan Rasululah sebagai teladan (uswah h}asanah) yang dicontoh

    dan diikuti peri kehidupannya,59

    disertai penegasan bahwa Beliau

    adalah pribadi agung yang layak diteladani.60

    Mengikutinya

    merupakan manifestasi cinta kepada Allah .61

    2. Landasan Hadis

    a. Al-Quran dan Sunnah sebagai warisan pusaka Nabi yang wajib

    dipegang teguh.

    Aku telah tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara.

    Kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada

    keduanya, yaitu Kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. 62

    b. Penegasan Rasulullah SAW tentang otoritas pribadinya sebagai

    utusan (Rasul) Allah dalam persoalan hukum (tashri>). Hal ini untuk

    membantah pendapat mungkir al-h}adi>th yang telah disinyalir oleh

    Rasulullah SAW akan muncul.

    .

    57

    Ibid., 3:115 58

    Lihat al-Quran, 3:: 64, 4: 59, 69, 80, 8: 60, dll. 59

    Ibid., 33:21 60

    Ibid., 68:4 61

    Ibid., 3: 31 62

    HR. Malik dalam al-Muwatha (2/899) secara mursal, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/93)

    secara mutashil marfu dan disahihkan al-Albani dalam Sahih al-Jami no. 2937. Merujuk takhrij

    Rabi bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M) h. 15

  • 14

    Ketahuilah, boleh jadi ada seseorang yang sampai kepadanya suatu

    hadis dariku dalam keadaan dia duduk di atas sofanya kemudian

    berkata Cukuplah antara kami dan kalian Al-Quran (sebagai otoritas hukum), apa yang kita dapatkan ketetapan halalnya (itu saja) yang

    kita halalkan dan apa saja ketetapan haramnya, maka itulah yang

    diharamkan. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW adalah sama kedudukannya sebagaimana yang diharamkan

    Allah. 63

    c. Penegasan kedudukan sunnah yang setara dengan al-Quran sebagai

    wahyu Allah.

    64

    .

    Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan al-Kitab dan sesuutu yang

    setara dengannya (yaitu al-hikmah berupa al-sunnah)

    d. Penjelasan tentang konsekwensi taat dan maksiat terhadap ajaran

    (sunnah) Rasulullah SAW.

    65.

    Semua pengikutku akan masuk surga kecuali yang enggan. Mereka

    (para Sahabat) bertanya; Siapa yang enggan, wahai Rasulullah?. Rasulullah bersabda: Siapa yang taat kepadaku masuk surga dan siapa

    yang mendurhakaiku maka berarti dia enggan.

    e. Penegasan Rasulullah kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada

    sunnahnya dan sunnah para al-khulafa al-Rashidin.

    .

    Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan

    taat walaupun kepada seorang hamba habsyi (yang berkulit hitam).

    Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang masih hidup

    sesudahku maka akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka

    hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk. Peganglah sunnah itu dengan erat

    dan gigitlah dengan gigi geraham kalian (jangan sampai terlepas).

    63

    HR. Ibn Majah (1/6) hadis no. 12, disahihkan al-Albany dalam Sahih Ibn Majah hadis no. 12, juga

    al-Tirmidzi dalam hadis no. 2664. Merujuk takhrij Rabi bin Hady al-Madkhaly dalam Hujjiyah Khabar al-Ahad fi al-Aqaid wa al-Ahkam (Kairo: Dar al-Minhaj, cet. 1, 2005 M), 15 64

    HR. Ibn Majah nomor. 4604 65

    HR. al-Bukhari dalam al-Jami al-Sahih, Kitab al-Itisam hadis no. 7280.

  • 15

    jauhilah inovasi dalam cara beribadah, karena setiap inovasi semacam

    itu adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat. 66

    f. Kondisi umat yang jelek jika pemimpin tidak mengimplementasikan

    petunjuk dan sunnah Rasulullah.

    .Akan ada sesudahku para pemimpin yang tidak berpedoman

    kepada petunjukku dan tidak bejalankan sunnahku dan akan hadir di

    tengah-tengah mereka tokoh-tokoh yang hatinya seperti hati syetan

    dalam tampilan fisik manusia.67

    3. Landasan Al-Ijma

    Ijma (konsensus) ulama bahwa hadis sahih merupakan hujah bagi umat

    Islam.68

    Mereka sepakat bahwa al-sunnah al-mut}ahharah memiliki independensi

    dalam penetapan hukum syariat dan produk hukumnya berkedudukan sama

    dengan al-Quran dalam penetapan hal dan haram.69

    Dalam tataran realitas, terdapat ijma kaum muslimin sepanjang masa

    untuk meneladani Nabi SAW dan menjadikan sunnahnya sebagai landasan

    berfatwa dan memutuskan hukum sejak masa sahabat,70

    tabiin dan generasi

    berikutnya sampai dewasa ini.71

    66

    HR. Abu Dawud no. 3991 67

    HR. Muslim no. 3435 68

    S{ubhi S{a>lih, 291 69

    Ash-Shaukany. Irshad al-Fuhul Ila> Tahqiq al-Haq min Ilm al-Us}ul , Vol. 1,(Riyadh: Dar Fadilah, cet. 1, 1421 H/2000),187 70

    Al-Amidy mencatat beberapa kejadian para sahabat sebagai bentuk ijma mereka tentang kewajiban ittiba kepada Rasulullah SAW, antara lain; Kasus perbedaan pendapat di kalangan para sahabat tentang kewajiban mandi junub bagi orang yang berhubungan suami istri tanpa inzal, Umar menanyakan masalah itu kepada Aisyah dan mendapatkan jawaban bahwa dirinya dan Rasulullah

    melakukan hal itu dan mandi. Hadis ini dijadikan dalil oleh Umar dan para sahabat lainnya. Demikian

    pula pernyataan Umar di hadapan para sahabat lainya bahwa seandainya dia tidak melihat Rasulullah

    mencium Hajar aswad maka dia tidak akan melakukannya. Lihat Al-Amidy, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, ed. Abdul Razzaq al-Afify (Riya>d} : Dar Al-S{amiy, cet. 1, 1424 H/2003 M), 1/206 71

    Wahbah al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh (Beirut : Dar al-Fikr al-Muas}ir, 1419 H/1999 M), 40

  • 16

    4. Landasan Logika (al-Maqu>l)

    Dalil al-Maqu>l yang bisa diajukan untuk menetapkan potensi hujji>yah dari

    sunnah Rasulullah SAW, antara lain; (1) Tidak mungkin beramal dengn hanya

    mengandalkan ketentuan hukum yang bersifat global dalam al-Quran tanpa

    penjelasan sunnah. Proses penyampaian risalah wahyu oleh Nabi SAW melibatkan

    pembacaan al-Quran dan penjelasan dengan sunnah. Sehingga, tidak cukup

    mengambil salah satu dan meninggalkan yang lain.72

    Bahkan, menurut al-Auzay (w.

    157 H)73

    , al-Quran lebih membutuhkan (penjelasan) sunnah daripada sebaliknya

    (al-Kitab ah{waju ila> al-sunnah min al-sunnah ila> al-Kita>b).74 Yahya bin Abi Kathi>r

    (w. 129 H)75

    menegaskan bahwa sunnah adalah penentu hukum bagi al-Quran (al-

    Sunnah qa>d}iyatun ala> al-Kita>b).76 (2) Jika perbuatan Nabi mengandung probabilitas

    hukum; wajib untuk diikuti atau sebaliknya tidak wajib. Maka mengambil

    kemungkinan wajib lebih utama dan lebih hati-hati (ikhtiya>t}) dari perbuatan

    meninggalkan kewajiban,77

    (3) Martabat nubuwwah adalah level yang tinggi dan

    mulia. Manusia yang terpilih adalah pemilik sifat-sifat yang agung. Mengikuti

    perbuatannya adalah bentuk kemuliaan. (4) Perbuatan Nabi SAW di atas kebenaran

    adalah suatu keniscayaan, maka meninggalkan kebenaran adalah kesalahan dan

    kebatilan. 78

    Perlu ditegaskan bahwa, kewajiban taat kepada Rasul bukan hanya ketika

    beliau hidup, namun juga setelah wafatnya. Sebab, perintah taat bersifat universal

    dan mutlaq tanpa dibatasi waktu dan tempat tertentu. 79

    Di dalam hadis-hadis di

    atas, secara eksplisit Rasulullah memerintahkan untuk berpegang teguh kepada

    sunnahnya setelah wafat beliau. Untuk itu pula, Rasulullah SAW memotivasi

    72

    Wahbah Al-Zuhaily, Al-Wajiz, 40 73

    Abu Amr, Abdurrahman bin Amr bin Yuhmad. Seorang syaikh al-Islam. Pada zamannya menjadi Ima>m (tokoh terkemuka dan rujukan) bagi penduduk negeri Syam di bidang hadis dan fiqh. Berguru kepada Qata>dah, Alqamah, Al-Zuhry, Abu Jafar al-Ba>qir, At}a bin Abi Raba>h}, Makh}u>l, dll. Muridnya antara lain; Sufyan al-Thaury, Syubah dan Imam Malik. Lihat Siyar Alam Nubala. Ed.

    Al-Arnaut, dkk (Beirut: Muassasah al-Risalah, cet 3, 1405) vol. 7, 107-108 74

    Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah wa Makanatuha fi tashri al-Islamy (Beirut: al-maktab al-Islamy, cet.3, 1402 H/1982 M), 387 75

    seorang imam ha>fidh. Yang menjadi muridnya antara lain al-Auzay, Mamar bin Rasyid, Aban bin yazid, dll. Ayub al-Sakhtiyany berkata: Saya tidak melihat ada orang yang lebih pakar (a>lim) di Kota

    Madinah setelah al-Zuhry daripada Yahya bin Abi Kathi>r. Abu Sahl al-Maghrawy. Mausuah Mawa>qif al-Salaf fi al-Aqidah.. Vol. 2 (Kairo: al-Maktabah al-Islamiyah, ttp), 219 76

    Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 189 77

    Hal ini bisa dianalogikan dengan orang yang lupa apakah sudah mengerjakan suatu shalat fardhu

    atau belum. Maka orang tersebut mengambil pilihan belum dan segera mengerjakannya. 78

    Al-Amidy, Al-Ihkam, 1/237-238. Ash-Shaukany, Irshad al-Fuhul, 1/ 203-207 79

    Mustafa al-Sibai, Al-Sunnah, 55

  • 17

    umatnya untuk memperhatikan periwayatan hadis-hadis yang disampaikannya baik

    perhatian berbentuk riwa>yah maupun dira>yah.80 Rasulullah SAW bersabda:

    Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengarkan sesuatu dari kami kemudian menyampaikannya seperti apa yang didengarnya. Boleh jadi orang yang

    disampaikan kepadanya sesuatu lebih paham dari orang yang mendengarnya

    (langsung dari sumber).81

    Motivasi juga berbentuk informasi tentang kedudukan yang mulia bagi para

    ahli hadis yang mengemban misi sebagai penjaga eksistensi sumber syariat dalam

    matan-matan riwayat. Rasulullah SAW bersabda:

    Ilmu ini akan diemban oleh orang-orang yang adil di setiap generasi. Mereka menolak penyimpangan yang dilakukakan orang-orang yang ekstrim, pemalsuan

    yang disisipkan (intih{a>l) dari para pendusta (al-mubt{ilu>n) dari sekte-sekte yang bidah dan interpretasi (tawi>l) dari orang-orang bodoh.82

    E. Diskursus tentang Eksistensi Hadis sebagai Landasan Agama

    Kedudukan (manzilah) sunnah dalam adillah ash-sharyyah menempati posisi

    kedua setelah Al-Quran karena (1) al-Quran bersifat qat}iy al-thubut, sementara

    sunnah bersifat z}anniyah al-thubut, sehingga yang qat}iy diutamakan daripada yang

    z}anny, (2) karena sunnah berfungsi sebagai penjelas (bayan) bagi Al-Quran,

    sementara kedudukan penjelas (al-bayan) adalah adjektif (ta>bi) bagi yang dijelaskan

    80

    Ilmu riwa>yah al-hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan proses dan mekanisme transmisi

    (periwayatan) hadis. Sedangkan Ilmu dira>yah hadith adalah ilmu hadis yang berkaitan dengan cara mengetahui kondisi dan kualitas sanad (perawi) hadis dan matan (yang diriwayatkan)nya. Lihat

    Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Al-Wasi>t} fi Ulu>m wa Must}ola>h al-H{adi>th (Jeddah : Alam al-Marifah li an-Nasyr wa at-Tauzi, Cet. 1, 1403 H/1983 M), . 24-25. Nuruddin itr, Manh}aj al-Naqd fi Ulu>m al-h}adith (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet. 3, 1418 H/1997 M), . 30-32 81

    Muhammad bin Isa At-Tirmidzi. Sunan Al-Tirmi>dzi>, Juz 5, ed. Ahmad Muhammad Syakir, dkk. (Beirut: Dar Ihya Al-Turats al-Araby, tanpa tahun), . 34 82

    Sulaiman bin Ahmad al-Thobary. Musnad Al-Samiyin. Juz 1, ed. Hamdy bin Abdul Majid as-Salafy (Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cet. 1, 1405 H/1984 M), . 344. Hadis Hasan ghorib, lihat catatan Abu Muadz dalam Jalaluddin As-Suyuthi. Tadri>b al-Ro>wy fi Syarh taqri>b al-Nawawi>, Juz 1, (al-Riyadh: Dar al-Ashimah, 1423 H), . 511

  • 18

    (al-mubayyan), (3) secara normatif, Rasulullah SAW secara taqriry menetapkan hal

    tersebut dalam hadis Muadz tatkala diutus ke Yaman.83

    Dari aspek kedudukannya dalam wacana agama, hadis memiliki beberapa

    fungsi yaitu:

    1- Hadis sebagai penguat dan penegas keterangan Al-Quran. Contohnya hadis

    Rasulullah SAW yang melarang perbuatan syirik, bunuh diri, saksi palsu,

    durhaka kepada orang tua84

    menegaskan dan memperkuat larangan tersebut

    dalam Al-Quran.85

    2- Hadis sebagai mubayyin bagi al-Quran. Dalam hal ada tiga bentuk, yaitu

    (a) penjelasan terperinci atas petunjuk Al-Quran yang bersifat global

    (mujma>l), seperti hadis yang merinci teknis pelaksaan sholat86 yang

    diperintahkan dalam Al-Quran87

    , (b) mengkhususkan (lex specialis)

    petunjuk yang bersifat umum (a>m) dari Al-Quran. Seperti hadis larangan

    menikahi seorang wanita dengan bibinya dalam semasa88

    sebagai

    pengkhususan dan pembatasan atas Surat an-Nisa ayat 2489. Dan yang

    ketiga (c) hadis sebagai muqayyid (membatasi dengan persyaratan) sesuatu

    yang bersifat mutlak dalam Al-Quran, seperti hadis yang menerangkan

    tentang bagian tangan yang dipotong dalam hukuman bagi pencuri adalah

    telapak sampai pergelangan tangan sebagai taqyid kata yad dalam Al-

    Quran 5:38.

    3- Hadis sebagai na>sikh (meng-abrogasi) hukum al-Quran, seperti hadis La

    was{iyyah li wa>rith sebagai na>sikh terhadap QS. 2: 180.90

    4- Hadis sebagai penetap hukum baru yang tidak disinggung oleh al-Quran.

    Seperti; hukuman rajam bagi pezina muhsan, keharaman perhiasan emas

    83

    Wahbah al-Zuhaily, al-Wajiz fi Us}ul al-Fiqh, 37-38 84

    Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 2/251, hadis no. 2653 ;

    85 Sebagai contoh al-Quran, 31: 13 dan 4: 48 tentang larangan syirik. 22: 30 dan 25: 72 tentang

    larangan perkataan dusta, 17: 23-24 dan 47: 22-23 tentang larangan durhaka kepada kedua orang tua,

    4: 29, 17: 33, dan 5: 32, tentang larangan membunuh jiwa. 86

    Lihat hadis-hadis dalam Sahih al-Jami pada juz 1 mulai Kitab al-Wudhu sampai Kitab as-Sahwi 87

    al-Quran, 2: 43, 83,110, 4: 88, 10: 87, 24: 56, 30: 31, dll 88

    Al-Bukhari, al-Jami al-Sahih 3/365, hadis no. 5108 dan 5109

    89

    Di antara penggalan ayatnya :

    90 Wahbah al-Zuhaily. Al-Wajiz, 38-39. Ini adalah pendapat mayoritas ulama selain Imam ash-Shafii

  • 19

    dan sutra bagi laki-laki, kewajiban zakat fitrah, keharaman daging keledai

    jinak, dll.91

    Selaras dengan keluasan wacana al-Quran, komprehensitas ruang lingkup

    pembahasan hadis juga mencakup semua aspek dan dimensi kehidupan manusia.

    Tema-tema hadis mencakup persoalan aqidah (teologi), hukum (yuridis), akhlak

    (moralitas dan etika), sejarah (historis), dll. Demikian pula mencakup persoalan-

    persoalan manusia dalam kehidupan individu (privat), keluarga, masyarakat dan

    bernegara. Dengan demikian, hadis berperan penting dan luas sebagai landasan

    wacana agama dalam segala dimensi dan aspeknya.

    Mengingat strategisnya posisi hadis tersebut, Imam Al-Nawawi rah}imahullah

    menegaskan: Di antara bidang keilmuan yang paling penting adalah ilmu yang

    berkenaan dengan ilmu hadis terapan yaitu pengetahuan tentang matan hadis dari

    aspek sahi>h, hasan dan d}ai>f-nya, muttas{il, mursal, munqathi, mud}al, maqlu>b,

    mashhu>r, ghari>b, azi>z, mutawa>tir, dstnya. Hal ini didasari kenyataan bahwa

    syariat Islam dilandaskan atas al-Qura>n dan sunah-sunah yang diriwayatkan. Di

    atas sunahlah dibangun mayoritas hukum-hukum fikih, karena sebagian besar ayat-

    ayat yang mengatur masalah furu> (fikih-pen) masih bersifat mujma>l (global)

    sementara penjelasannya terdapat dalam sunah yang menetapkan perincian

    hukumnya secara tegas (muh{kama>t). Di samping itu, dari aspek implementasi, para

    ulama sepakat bahwa syarat bagi seorang mujtahid yang bertugas sebagai qa>d{i

    (hakim pengadilan) maupun mufti (ulama pemberi fatwa) haruslah memiliki

    kompetensi keilmuan tentang hadis-hadis hukum. Kenyataan inimenurut an-

    Nawawimenegaskan bahwa studi hadis adalah ilmu yang paling mulia, dan cabang

    kebaikan yang paling utama, dan bentuk qurbah (bernilai pendekatan diri) kepada

    Allah karena ilmu tersebut menghimpun segala aspek penjelasan terkait seorang

    makhluk Allah SWT yang paling muliayaitu Nabi Muhammad SAW. 92

    91

    Idem., 39 92

    Abu Zakariya, Yahya bin Syarf an-Nawawi. Muqaddimah Syarh al-Nawawi ala> Shahi>h Muslim, Juz 1 (Kairo: Al-Matbaah al-Mishriyah bi al-Azhar, Cet. 1, 1347 H/1929 M), . 3-4

  • 20

    BAB III

    PENUTUP

    Simpulan

    1. Ilmu hadis adalah ilmu yang memenuhi konsep filsafat ilmu, baik dari aspek

    ontologi, epistomologi dan aksiologi. Secara ontologi, eksitensi hadis

    berkaitan erat dengan eksistensi Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa

    risalah Islam yang mendapat otoritas untuk membentuk aturan syariat.

    2. Istilah hadis, sunnah, athar dan khabar adalah istilah yang sering dianggap

    sinonim. Pada aspek tertentu bermakna berbeda, terutama jika disebutkan

    bersamaan dalam satu kalimat (idha ijtamaa iftaraqa). Perbedaan definisi

    juga bergantung perspektif dan tinjuan keilmuan masing-masing bidang.

    3. Kategorisasi hadis cukup beragam, bergantung aspek tinjauannya. Ada

    tinjauan dari aspek kuantitas periwayatan, kualitas validitas, narasumber

    yang menjadi sandaran informasi, dll.

    4. Kedudukan hadis sebagai sumber tashri sangat kuat secara normatif,

    konsensus maupun secara rasional.

    5. Dalam wacana hadis sebagai landasan agama, hadis memiliki otoritas hukum

    yang independen, selain sebagai penegas, penjelas, pengikat dan pembatas

    cakupan hukum al-Quran.