Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

32
Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia Oleh Rum Rosyid, Univ Tanjungpura Pontianak Menolak Kombinasi Transenden Imanen Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978. Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Perumusan landasan filsafat pendidikan senantiasa menuntut kejelasan wawasan masa lalu, kebutuhan-kebutuhan mendesak masa kini, dan harapan subjektif masa depan. Jika wawasan mengenai ketiga dimensi kesejarahan dari suatu bangsa-negara masih kabur dan diselimuti ketidakjelasan, tentu sulit mengharapkan suatu filsafat pendidikan yang jernih dan jelas. Pendidikan memang merupakan lembaga yang sarat dengan beban kesejarahan. Melalui lembaga ini, suatu masyarakat berharap melanggengkan eksistensi dan melestarikan nilai- nilai yang terekam dalam sejarahnya. Lembaga ini pula yang diharapkan memenuhi tuntutan mendesak masa kini akan sumber daya manusia dalam berbagai tingkatan, serta menjadi tempat untuk menempa manusia demi melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan.

Transcript of Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Page 1: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Epistemologi Pragmatisme Pendidikan IndonesiaOleh Rum Rosyid, Univ Tanjungpura Pontianak

Menolak Kombinasi Transenden ImanenPragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 - 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 - 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan.

Perumusan landasan filsafat pendidikan senantiasa menuntut kejelasan wawasan masa lalu, kebutuhan-kebutuhan mendesak masa kini, dan harapan subjektif masa depan. Jika wawasan mengenai ketiga dimensi kesejarahan dari suatu bangsa-negara masih kabur dan diselimuti ketidakjelasan, tentu sulit mengharapkan suatu filsafat pendidikan yang jernih dan jelas. Pendidikan memang merupakan lembaga yang sarat dengan beban kesejarahan. Melalui lembaga ini, suatu masyarakat berharap melanggengkan eksistensi dan melestarikan nilai-nilai yang terekam dalam sejarahnya. Lembaga ini pula yang diharapkan memenuhi tuntutan mendesak masa kini akan sumber daya manusia dalam berbagai tingkatan, serta menjadi tempat untuk menempa manusia demi melanjutkan estafet kepemimpinan di masa depan.

Dengan beban ketiga dimensi kesejarahan itu, diakui atau tidak, filsafat pendidikan, kebijakan, dan sistem kelembagaan di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia) masih merupakan warisan kolonial yang dikembangkan di Barat. Kalau kemudian pendidikan di Barat pun sudah banyak mengalami perombakan, permasalahan di negara bekas jajahan bukan cuma harus mengganti warisan kolonial, tetapi juga menciptakan filsafat pendidikan dan kebijakan sistem pendidikan yang benar-benar sesuai dan dibutuhkan sebagai negara berkembang. Tentu bertujuan baik jika pemerintah melakukan pembandingan dengan perkembangan di negara lain atau negara yang lebih maju. Maka ditetapkanlah berbagai pembakuan dan standar dalam pendidikan, seperti standar nasional pendidikan, standar ujian akhir, standar penilaian, standar pengelolaan, standar pengawasan, sertifikasi guru dosen, dan lain-lain. Namun tujuan baik saja tidak cukup untuk menangani masalah pendidikan yang sedemikian kompleks.

Di balik sebuah tindakan muncullah pertanyaan: tindakan itu baik dan benar atau tidak. Tujuan yang mau dicapai itu baik dan benar atau tidak. Berkaitan benar atau tidak ini ada ukuran atau kriterianya. Secara teologis menurut Thomas Aquinas  bahwa benar dan

Page 2: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

baiknya suatu tindakan itu harus mengantar manusia kepada Allah karena Allah adalah kebenaran (Berfilsafat dan Berteologi Bersama Thomas Aquinas; hlm. 44). Mengantar manusia kepada Allah harus berpedoman pada wahyu-Nya yang tersirat dan tersurat dalam setiap Kitab Suci agama apapun.

KebenaranPragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori itu benar kalau berfungsi (if it works). Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.

Karena kebenaran itu bersumber dari Allah maka ada kebenaran universal yang diakui oleh semua agama. Lebih lanjut Thomas nenandaskan bahwa hal kebenaran itu adalah hasil olahan (analisis) intelektual dalam proses pembelajaran baik secara pribadi maupun secara berkelompok melalui sebuah permenungan atau kontemplasi. Bertens mengungkapkan bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik (Adimassana; 2001). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Piet G.O. bahwa konsep nilai dalam arti sifat yang berharga menurutnya adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990).

Menurut Sinurat, nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan, perasaan adalah aktifitas psikis di mana manusia menghayati nilai (Adimassana; 2001). Yang bernilai menimbulkan perasaan positif dan yang tidak bernilai menimbulkan perasaan negatif. Selaras dengan pemikiran-pemikiran diatas, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai itu the addresse of a yes (Adimassana; 2001). Jadi, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui. Sementara itu, norma adalah aturan atau patokan baik tertulis atau tidak tertulis yang berfungsi sebagai pedoman bertindak. Bila tiap manusia punya suatu sistem nilai dalam dirinya, dan sistem nilai itu dihidupi dan dijadikan pedoman hidup, berarti manusia itu sudah memenuhi kriteria manusia purnawan

Ada beberapa teori tentang kebenaran itu antara lain 1) Teori persetujuan (the correspondent teory of the truth). Teori ini peletak dasarnya adalah Aristoteles yang  menandaskan bahwa sesuatu yang benar itu sesuai dengan yang ada (kenyataan). Sebuah kebenaran didukung dengan fakta-fakta empiris.

Page 3: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

2) Teori Pragmatisme (the pragmatic theory of truth) yang disponsori oleh William James dan Charles Sanders Pierce. Kebenaran menurut mereka sama dengan kegunaan. Sesuatu dikatakan benar bila memungkinkan orang bisa melakukannya dan berguna bagi manusia.

Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan atau diskusi. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.

James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James, pemikir Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif, dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme, berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap fakta-fakta partikular.

Empirisme James adalah Empirisme Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami. Pragmatisme yang diserukan oleh James ini yang juga disebut Practicalisme , sebenarnya merupakan perkembangan dan olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui pengalaman.

Sejak pada awalnya, tujuan pendidikan Indonesia yang bercorak pragmatis baik. Dengan penekanan di sektor ekonomi, terutama lewat industrialisasi, negara hendak meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia, dan dari situ, akan dicapai keadilan sosial. Namun, pendidikan menjadi produsen tenaga-tenaga terampil semata, tidak menghasilkan manusia purnawan atau manusia utuh atau manusia terintegrasi(Admin, 2004). Pada masa-masa krisis multidimensional sekarang ini, pendidikan yang bercorak pragmatis itu malahan memperparah keadaan. Mengapa?

Page 4: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Pendidikan pragmatis ini menghasilkan manusia-manusia yang mungkin cerdas dan terampil namun belum tentu berbudi baik. Ada segudang problem yang bisa dijadikan indikator, mulai dari masalah sosial, politik, rasial, lingkungan hidup, ketakwaan, susila, rasa kebangsaan, dan banyak lagi. Masing-masing mengacu pada kesimpulan bahwa sumber daya manusia (yang notabene dihasilkan oleh pendidikan pragmatis) itu kurang dalam segi humaniora.

Pendidikan MoralKurikulum sendiri memposisikan pengajaran bermuatan moralitas (afektif) menjadi bidang studi mati suri, ditempatkan sebagai suplemen bidang studi lainnya. Pengajarannya masuk dalam kategori pendidikan moral (akhlak) yang dalam perspektif pragmatisme-paradigmatik dianggap tertier. Pengajaran moral bersifat kulit, hanya ada sebagai pemenuhan tuntutan idealitas, nir fokus dan nir esensi. Pembentukan karakter bangsa dalam konteks pendidikan harus bermuara pada keunggulan akademis. Tugas utama sekolah adalah membentuk anak-anak yang cerdas, pintar, kritis, yang mampu memahami tatanan sosial masyarakat menjadi lebih baik sehingga mereka mampu terlibat secara aktif dalam kehidupan masyarakat.

a. Tindakan yang dinilai baik dalam teori nilai moral tradisional, suatu tindakan dinilai baik jika dapat menunjang pencapaian tujuan akhir (nilai final) sebagai kebaikan tertinggi yang dicita-citakan. Bagi Dewey, teori tersebut terlalu menyibukkan diri dan berkutat dengan spekulasi tentang tujuan akhir dan standar terakhir untuk menentukan benar salah, baik buruk perilaku manusia. Spekulasi tsb didasarkan pada kepercayaan akan adanya finalitas dari segala sesuatu. Dengan mengkritik spekulasi tentan tujuan akhir tersebut, Dewey mengusulkan apa yang disebut sebagai ”tujuan-tujuan yang dibanyangkan atau direncanakan untuknya ”ends-in-view)”. Tujuan tersebut ditentukan setiap kali ada sesuatu yang harus dilakukan.

Mengajarkan kesantunan, tata krama, membentuk siswa menjadi anak yang saleh dan rajin berdoa, tentu menjadi bagian integral kinerja pendidikan, tetapi ini bukan tugas utama sekolah. Ini adalah tugas semua warga masyarakat Indonesia. Memupuk keingintahuan intelektual, seperti diindikasikan Mendiknas yang baru, merupakan tugas utama sekolah. Kebijakan pendidikan yang dipikirkan secara matang dan berkesinambungan seharusnya menjadi orientasi bagi pemerintah dalam mendesain pendidikan nasional. Kebutuhan sesaat akan tetap berubah, tetapi menciptakan sebuah generasi yang memiliki keunggulan akademis kiranya menjadi tugas abadi setiap lembaga pendidikan.

Menurut Dewey, nilai suatu tujuan banyak ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mencapainya. Ia mengkritik terori moral tradisional yang menilai baik buruknya perilaku manusia berdasar tujuan akhir yang sudah tetap dan baku, cenderung membuat orang tidak kritis dan kreatip untuk melihat kemungkinan adanya tujuan dan nilai baru.Bagi Dewey, memahami tujuan dan kebaikan moral sebagai ends-in- view berarti tidak hanya membuat orang lebih sadar dalam bertindak, kritis dan terbuka terhadap kemungkinan kemungkinan baru, tetapi juga membuak peniulaian terhadap perilaku

Page 5: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

seseorang tidak kejam. Alasan karena situasi kongkrit yang mengkondisikan si pelaku moral ikut dipertimbangkan.

Gagasan tentang ends-in-view tersebut didasarkan atas paham pemikirannya yang ia sebut ”naturalisme empiris”. Dalam pandangan tersebut, manusia manusia digambarkan sebagai organisme yang berinteraksi secara internal dengan lingkungannya. Hidup merupakan proses interaksi dengan alam yang terus berubah. Demikian pula dengan proses interaksiyang terus bewrubah, berkembang dan diperkaya. Ends-in-view itu terbentuk sebagai realisasi dari interaksi tersebut.

Suatu ends-in-view selalu dilihat dalam perspekrif sosial- histori  tertentu dan terbuka terhadap perkembangan selanjutnya. Hal ini karena ends-in-view merupakan suatu keseimbangan yang bergerak. Jadi ada 3 poin yang dapat disimpulkan1. baik buruknya suatu tindakan secara moral tidak tapat dipuituskan secara apriori lepas dari situasi kongkret yang melingkupi tindakan tersebut.2. baik buruknya suatu tindakan perlu dinilai dan diputuskan berdasarkan akibat-akibat tindakan tersebut sebagaimana diproyeksikan dalan ends-in view dalam konteks permasalahan yang dihadapi.3. baik buruknya suatu tindakan tergantung dan apakah tindakan itu bisa mencapai ends-in-view dalam deliberasi moral atau tidak. Tindakan dinilai baik apabila dapat dikenali dari akibat tindakan itu dan kenyataan kongkret yang dialami sebagai pemuasan kebutuhan nyata, perbaikan keadaaan yang menunjang pertumbuhan.

b. Perbuatan Yang Baik Berarti Harus Menunjang Proses Perwujudan Diri Manusia Sebagai Manusia. Suatu tindakan dinilai menunjang perkembangan dan perwujudan diri kalau tindakan itu mewujudkan ends-in-view. Tindakan yang dimaksud adalah tindakan yang dipikirkan masak-masak, serta memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan akibatnya bagi diri sendiri dan orang lain. Dewey juga ber pendapat bahwa  setiap orang perlu memupuk rasa tertarik pada hal-hal yang menunjang kesejahteraan umum sebagai hal yang patas diinginkan bagi perkembangan dan perwujudan dirinya sebagai manusia dan tidak melakukan sesuatu untuk orang lain melulu karena kewajiban.

Pengertian guru tidak sekedar teacher. Guru dihormati karena pengetahuannya, kebijaksanaannya, kemampuannya memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangannya. Ada tanggungjawab moral dan etika yang luhur yang harus dipegang teguh sebagai guru. Guru sebagai profesi diharapkan membentuk organisasi profesi yang bersifat independen. Organisasi profesi sebagaimana dimaksud berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat.Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi.

Pembentukan organisasi profesi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Organisasi profesi guru menetapkan dan menegakkan kode etik guru. Kode etik guru dibentuk untuk menjaga dan meningkatkan kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Kode etik berisi norma dan etika yang mengikat perilaku guru dalam pelaksanaan tugas keprofesionalan. Hadirnya UU guru dan dosen

Page 6: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

seolah telah memberikan payung hukum yang pasti, tapi kenyataannya tidak demikian. Sebab dalam aplikasi kesehariannya, pengajaran moral adalah salah satu poin yang tidak diotonomkan dan masih bersifat sentralistik. Hal itu kemudian berdampak pada langsung dengan kondisi di lapangan. Faktanya, pengajaran di lingkungan sekolah masih bersifat tekstual (textbookish). Belum mampu pada tataran implementatif dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan peserta didik.

Pengajaran masih identik dengan hafalan, penugasan, hukuman, dan lainnya yang bersifat klasik. Meskipun telah berkembang beragam metode pembelajaran variatif dan cenderung memberikan kebebasan kepada peserta didik, seperti Kooperatif, Peta Konsep (Mind Mapping), Think Pair and Share, Kepala Bernomor, Konstruktivistik, dll. Ironisnya, beragam metode pengajaran tersebut masih harus berhadapan dengan nilai UNAS sebagai standar excellent keberhasilan kegiatan pembelajaran peserta didik.Perubahan ini mengajak peserta didik tidak lagi hanya berputar-putar dalam perikehidupan copy paste dan menghafal semata, tapi sudah diajak untuk membaca apa yang dialami dan menuliskan apa diketahui-yakini. Perubahan paradigma baca-tulis ini menuntun peserta didik akan membebaskan pengetahuannya dengan beragam ilmu pengetahuan karena aktifitas baca-tulis. Membaca buku tentu akan mengetahui banyak hal, maka diharapkan para siswa dapat menulis hasil bacaannya lalu kemudian merevitalisasinya kembali sejalan dengan kebebasan pemikiran-keyakinannya, tanpa harus terkorbankan oleh kepentingan dunia usaha atau industrialis semata.

Arah perubahan konsep pengajaran pada tataran selanjutnya, yaitu yang lebih urgen lagi adalah kemanusiaan. Konstruksi pendidikan dengan fokus the man behind the gun merupakan konstruksi yang menjadi tambatan akhir (solutif) untuk membangkitkan Indonesia ke depan. Proses pengajaran (pendidikan) difokuskan pada usaha membangun sumber daya manusia yang berkualitas secara menyeluruh, afektif, kognitif, dan motorik. Pendidikan dituntut mampu untuk memfasilitasinya hingga melahirkan insan kamil yang berakhlaqul al-karimah dan beretos kerja tinggi. Sejatinya, inilah peran dan tanggung jawab guru.

Bahkan salah satu konsep Barat yang sangat populer di dunia pendidikan Indonesia buah pikiran Benjamin Bloom perlu dikritisi. Menurut Bloom, terdapat tiga aspek yang dibina dalam pendidikan, yaitu kognitif (pikiran), afektif (perasaan), dan psikomotorik (gerak tubuh). Akan tetapi, lanjut Prof. Mulyasana, paradigma tersebut tidak dapat digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep teologis Islam seperti dosa, takdir, surga, atau neraka. Sebagai contoh, pengajaran konsep dosa tidak dapat disamakan dengan pengajaran konsep moral yang merupakan bagian pembinaan aspek afektif. Sebab, kesadaran tertinggi dalam moral adalah penyesalan. Penyesalan tidak dapat mencegah kita berbuat dosa.

Dunia pendidikan memerlukan paradigma alternatif selain pandangan Bloom.  Menurut Prof. Mulyasana, paradigma baru ini harus dimulai dengan memandang manusia sebagai satu kesatuan antara aspek fisikal dan mentalnya. Dalam hubungan kesatuan tersebut, tubuh fisikal manusia sebenarnya adalah pelayan dari aspek mentalnya. Karena itu, untuk mendidik manusia, yang terlebih dahulu digarap adalah aspek mentalnya. Aspek mental

Page 7: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

ini, menurut beliau, dapat dibagi ke dalam aspek logika, hati, dan iman. Dengan kekuatan logika, manusia dapat berpikir, bersikap, dan berperilaku secara rasional. Hati dapat menjadi alat banding untuk mengukur kebenaran yang datang dari rasio. Kekuatan ketiga adalah kekuatan iman. Ketika iman bertambah (yazid), maka akan bertambah kebaikan hatinya. Sedangkan ketika iman menurun (yanqush), maka turun pula tingkat kebaikan hatinya.

Konsep PendidikanPola pemikiran Dewey tentang pendidikan sejalan dengan konsepsi instrumentalisme yang dibangunnya, dimana konsep-konsep dasar pengalaman (experinence), pertumbuhan (Growth), eksperimen ( experiment) dna transaksi (trnsaction) memiliki kedekatan yang akrab, sehingga Dewey mendeskripsikan filosofi sebagai teori umum pendidikan dan pendidikan sebagai laboran yang didalamnya perbedaan-perbedaan filosofi menjadi konkrit dan tahan uji. Pendidikan dan filosofi saling membutuhkan satu sama lain; dimana tanpa filosofi, pendidikann kering akan arahan inteligensi. Sebaliknya, tanpa pendidikan, filosofi kehilangan implementasi praktis dan menjadi mandul. Pengalaman merupakan basis dari keduanya, dimana pendidikan didefenisikan sebagai rekonstruksi dan reorganisasi dari pengalaman yang memberi tambahan pada arti pengalaman, dan yang meningkatkan kemampuan untuk mengarahkan pengalaman berikutnya. Dalam pedagogi Creed, Dewey (1897) mendefenisikan itu menjadi lebih singkat, sebagai suatu rekonstruksi yang terus menerus dari pengalaman dan dalam Democracy and Education, Dewey (1961) mendefenisikan pendidikan sebagai penuntun secara inteligensia terhadap perkembangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang melekat pada kebiasaan pengalaman.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut. Sedangkan kebaikan itu terkait erat dengan etika (nilai baik buruknya sesuatu tingkahlaku). Suatu kebaikan normatif harus dirasakan dan diakui oleh umum bukan untuk pribadi atau kelompok tertentu saja. Kebaikan dan kebenaran normatif inilah yang harus diperjuangkan oleh semua orang. Berdasarkan hubungan antara tindakan, kebergunaan, kebenaran dan kebaikan itu di analisis berbagai konsep pendidikan baik pada tataran teoritis maupun pada tataran praktis.

Menurut Dewey dalam Experience and Education, pendidikan merupakan persiapan. Dengan demikian, pendidikan merupakan suatu rekonstruksi pengalaman, dari langkah ke langkah, untuk persiapan berikutnya. Pencapaian goals masa depan disini yang belum diketahui sebelumnya; melainkan didekati secara eksperimental dan dibentuk oleh kosekuensi-konsekuensi. Dalam konteks ini, Dewey mengkritisi segala upaya yang mencoba mendidik anak dengan pencapaian yang sudah pasti, yang memaksa mereka menimbang pola-pola prestasi sebagai antisipasi ke depan. Anak-anak tersebut dididik untuk mencapai warga negara, kejujuran; mereka diajar membaca, berhitung, geografi, karena akan berguna untuk mereka dalam hidupnya. Namun pemikiran ini hanya bisa

Page 8: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

diberlakukan dengan asumsi bahwa ketrampilan yang di pelajari saat ini dapat secara efektif digunakan untuk kepentingan masa depan yang kemungkinan sekali berubah

Jika dielaborasi lebih lanjut, pemikiran diatas dapat diartikan bahwa untuk dapat tertarik pada sesuatu hendaknya terlibat dalam transaksi yaitu dengan mengalami. Tesis ini berlaku baik pada anak maupun berbagai bentuk organisme lain. Pengalaman adalah suatu proses yang bergerak terus menerus dari suatu tahap ke tahapan rekonstruksi sebagaimana problem baru mendorong inteligensi untuk menformulasikan usulan-usulan baru untuk bertindak. Pada prinsipnya, pengembangan pengalaman datang melalui interaksi berbagai aktivitas (means) dimana pendidikan pada dasarnya merupakan suatu proses sosial. Makna sosial dalam pendidikan merupakan penekanan khusus dalam pemikiran Dewey dan menentukan pandangan keduanya , anak di sekolah dan sekolah di masyarakat. Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan kritik terhadap sistem persekolahan tadisional. Yang dapat dijelaskan disini bahwa dalam sekolah tradisional, pusat perhatian berada di luar anak, apakah itu guru, buku, teks dan lain-lain. Kondisi ini merupakan kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup yang tumbuh dalam pengalaman dan dimana dalam kapasitasnya untuk mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan lingkunga. Hasilnya pokok persoalan terisolasi dari anak dan hubungan pribadi menjadi formal, simbolik, statis, mati.

Sekolah menjadi tempat untuk mendengarkan untuk instruksi masal dan selanjutnya terpisah dari hidup. Tataran teoritik berkaitan dengan pemahaman guru terhadap perkembangan dan teori-teori pendidikan kejuruan/vokasi. Pendidikan kejuruan/vokasi mengalami puncak popularitas pada saat Smith-Hughes (1917) mendefinisikan “vocational education was training less than college grade to fit for useful employment (Thompson, 1973, p.107). Di Amerika Serikat pada tahun 1963 pendidikan kejuruan/vokasi diartikan sebagai: Vocational or technical training or retraining which given in schools or classes under public supervision and control or under contract with a State Board or local education agency, and is conducted as part of program designed to fit individuals for gainful employment as semi-skilled or skilled worker or technicians in recognized occupations” (Thompson, 1973, p.109).

Kemudian pada tahun 1968 pengertian pendidikan vokasi di Amerika Serikat diamandemen dengan formulasi baru: Vocational or technical training or retraining which given in schools or classes under public supervision and control or under contract with a State Board or local education agency and is conducted as part of program designed to prepare individuals for gainful employment as semi-skilled or skilled worker or technicians or sub-professionals in recognized occupations and in new and emerging occupation or to prepare individuals for employment in occupation which the Commissioner determines…..” (Thompson, 1973, p.110). Good dan Harris (1960) mendefinisikan “vocational education is education for work-any kind of work which the individual finds congenial and for which society has need”. Asosiasi Vokasi Amerika mendefinisikan: Vocational education as education designed to develop skills, abilities, understandings, attitudes, work habits, and appreciations needed by workers to enter and make progress in employment on useful and productive basis” (Thompson, 1973, p.111).

Page 9: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Dari sejumlah definisi tersebut diatas ada kesamaan pernyataan bahwa pendidikan kejuruan/vokasi menekankan penyiapan peserta didik memasuki dunia kerja. Pendidikan kejuruan/vokasi harus menyiapkan terbentuknya keterampilan/skil, kecakapan, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di masyarakat, dan produktif. Dalam perspektif sosial ekonomi pendidikan kejuruan/vokasi adalah pendidikan ekonomi sebab diturunkan dari kebutuhan pasar kerja, memberi urunan terhadap kekuatan ekonomi. Apapun bedanya berbagai definisi pendidikan kejuruan/vokasi, semuanya ada kesamaan bahwa pendidikan kejuruan/vokasi adalah pendidikan untuk mempersiapkan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja. Pendidikan kejuruan/vokasi harus selalu dekat dengan dunia kerja (Wardiman, 1998, p.35).

Pendidikan kejuruan/vokasi dikembangkan berdasarkan permintan pasar (demand driven) atau penciptaan pasar (market driven). Relevansi program-program pendidikan kejuruan/vokasi dengan pasar kerja serta hubungan yang erat antara employee dengan employer merupakan praksis utama penyelenggaraan pendidikan kejuruan/vokasi. Ada lima hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan pendidikan kejuruan/vokasi yaitu: (1) orientasi keterampilan yang dapat dipasarkan, (2) orientasi lingkungan kerja, (3) orientasi sosial, (4) orientasi exit point (keterampilan khusus), dan (5) orientasi perkiraan karier khusus.

Menurut Wardiman (1998: 32) pendidikan kejuruan/vokasi dikembangkan melihat adanya kebutuhan masyarakat akan pekerjaan. Pendidikan kejuruan/vokasi melayani tujuan sistim ekonomi, peka terhadap dinamika kontemporer masyarakat. Pendidikan kejuruan/vokasi juga harus adaptif terhadap perubahan-perubahan dan difusi teknologi, mempunyai kemanfaatan sosial yang luas. Sebagai pendidikan yang diturunkan dari kebutuhan ekonomi pendidikan vokasi jelas lebih mengarah pada education for earning a living. Pendidikan kejuruan berfungsi sebagai penyesuai diri ”akulturasi” dan pembawa perubahan ”enkulturasi”. Pendidikan kejuruan/vokasi mendorong adanya perubahan demi perbaikan dalam upaya penyesuaian diri dengan perubahan. Hampir semua negara di dunia melakukan reformasi pendidikan kejuruan.

Allen berteori bahwa pendidikan kejuruan akan: (1) Efisien jika lingkungan dimana siswa dilatih merupakan replika lingkungan dimana nanti bekerja; (2) Efektif jika tugas-tugas diklat dilakukan dengan cara, alat, dan mesin yang sama seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu; (3) Efektif jika melatih kebiasaan berpikir dan bekerja seperti di DU-DI; (4) Efektif jika diklat membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulang sehingga sesuai/cocok dengan pekerjaan; (5) Efektif jika gurunya mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan kompetensi pada operasi dan proses kerja yang telah dilakukan; (6) Pada setiap jabatan ada kriteria kemampuan minimum (KKM) yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia dapat bekerja pada jabatan tersebut; (7) Pendidikan kejuruan/vokasi harus memperhatikan permintaan pasar /tanda-tanda pasar.

Tujuan PendidikanFilsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di

Page 10: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

dalam masyarakat. Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial.

Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan. Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.

Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.

Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:· Kesehatan yang baik· Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja· Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan· Persiapan untuk menjadi orang tua· Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial

Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah. Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi.

Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan /memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial.

Page 11: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama. Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.

Kurikulum

Menurut para filsuf pragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang baik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”.

Sikap kita terhadap globalisasi pendidikan, tak cukup hanya mendirikan kelas imersi. Diperlukan pendidikan yang memahami perkembangan industri, perubahan struktur kerja, dan kemampuan pemecahan problem dunia industri. Memburu kemampuan komunikasi, dengan mendirikan kelas imersi, hanya salah satu sisi yang masih jauh dari persoalan substansial globalisasi pendidikan.

Program kelas unggulan menawarkan sarana prasarana pendidikan yang lebih baik, anak-anak yang terpilih, dan guru yang berkualitas. Akan tetapi, apa terobosan baru yang ditawarkan. Kurikulum, buku teks, dan alat evaluasi tetap sama. Tidak ada perombakan kurikulum, bahkan tiada pembelajaran yang lebih kreatif, yang membongkar kebekuan pola pikir siswa. Dengan demikian, sungguh disayangkan, tak ada kebaruan pembentukan intelektualisme yang menerobos kebekuan kultur pada kelas unggulan. Berikan Gengsi Pragmatisme yang terus berkembang dalam pola pikir birokrat pendidikan, guru, masyarakat, dan siswa, dalam kurun waktu lama tak akan memberikan jawaban atas persoalan zaman. Sekolah tidak memberikan apa pun, kecuali gengsi sosial, citra, dan martabat semu.

Metode PendidikanBerpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut: (a) penyadaran suatu masalah, (b) observasi kondisi-kondisi yang hadir, perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan, dan (c) pengetesan melalui eksperimen. Sadar teknis artinya guru mampu memilih teknik pembelajaran yang tepat sesuai dengan karakteristik pendidikan kejuruan/vokasi.

Guru menyadari perubahan pembelajaran konvensional ke pembelajaran berbasis kompetensi. Praksis pembelajaran berbasis kompetensi menekankan siswa untuk mengenal nilai (logos), menginternalisasikan nilai-nilai kedalam hati nurani (etos), dan

Page 12: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

menerapkan nilai-nilai yang dipelajari kedalam kehidupan sehari hari (patos). Pembelajaran berbasis kompetensi menerapkan keutuhan proses knowing, loving dan doing atau acting.

Secara teoritis pendidikan kejuruan/vokasi menekankan penyiapan peserta didik memasuki dunia kerja. Pendidikan kejuruan/vokasi harus menyiapkan terbentuknya keterampilan/skil, kecakapan, perilaku, sikap, kebiasaan kerja, dan apresiasi terhadap pekerjaan-pekerjaan yang dibutuhkan di masyarakat, dan produktif. Maka sadar teknis bagi seorang guru adalah kesadaran untuk melakukan pendampingan kepada siswa dalam pembentukan kompetensi secara utuh seimbang, kompetitif dan melakukan pendampingan pengembangan karir mereka.

Secara teknis seorang guru dituntut melakukan pendampingan dan penguasaan pembelajaran berbasis kompetensi. Tugas utama seorang guru adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Pembelajaran berbasis kompetensi mencakup prinsip-prinsip: (1) Terpusat pada siswa; (2) Berfokus pada penguasaan kompetensi; (3) tujuan pembelajaran spesifik; (4) penekanan pembelajaran pada unjuk kerja/kinerja; (5) pembelajaran lebih bersifat individual; (6) interaksi menggunakan multi metoda: aktif, pemecahan masalah dan kontekstual; (7) pengajar lebih berfungsi sebagai fasilitator; (8) berorientasi pada kebutuhan individu; (9) umpan balik langsung; (10) menggunakan modul; (11) belajar di lapangan (praktek); (12) kriteria penilaian menggunakan acuan patokan (PAP).

Untuk dapat belajar secara tuntas, perlu dikembangkan prinsip pembelajaran (1) learning by doing (belajar melalui aktivitas/kegiatan nyata, yang memberikan pengalaman belajar bermakna) yang dikembangkan menjadi pembelajaran berbasis produksi, (2) Individualized learning yaitu pembelajaran dengan memperhatikan keunikan setiap individu, dan (3) memanfaatkan lingkungan sebagai tempat dan sumber belajar efektif; (4) Memperjelas relevansi dan keterkaitan materi dengan kebutuhan sehari-hari dalam masyarakat; (5) Memberi kesempatan siswa berkembang secara utuh optimal sesuai kemampuan; (6) Diselenggarakan dengan pengalaman nyata dan dalam lingkungan otentik; (7) Isi materi sesuai karakteristik siswa; (8) Media dan sumber belajar tersedia dalam jumlah yang cukup; (9) Pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa bukan bagi guru.

Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

Peranan Guru dan SiswaPeserta didik adalah sebuah organisme yang rumit, yang mampu tumbuh. Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlalu banyak mencampuri

Page 13: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

urusan minat kebutuhan peserta didik. Eksistensi guru, dengan segala kompleksitas kapasitas pribadi maupun lembaga pendidikan tempatnya mengabdi, kian jauh termarjinalkan dengan penentuan nilai yang pragmatis. Eksistensi guru ditentukan dengan keberhasilannya mendampingi siswa yang lulus Ujian Nasional (UNAS), selembar surat keterangan lolos sertifikasi, serta besaran dana insentif yang tak pernah pasti pencairannya. Padahal, mengingat tanggung jawab paedagogis yang ada di pundak guru, maka standar eksistensi yang pragmatis ini mensejajarkan guru dengan produk atau komoditas tertentu yang bisa di-make up, di-up grade, di-install, bahkan didaur ulang. Serangan dehumanisasi eksistensi dan peran guru menguburkan pesonanya yang memiliki peran besar dalam mewujudkan tujuan Indonesia bersama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pragmatisme-paradigmatik makin menyesakkan guru ketika berhadapan dengan dua permasalahan krusial, yaitu perannya dalam wilayah pedagogis (afektif) dengan sains (kognitif dan motorik) yang berbenturan dengan social reality society. Hubungan nilai-nilai pendidikan dengan sains terkait dengan value kehidupan manusia. Guru dituntut untuk mampu menjembatani dan mengeksplorasi materinya dengan aspek-aspek kehidupan sains serta kondisi social reality society. Guru sebagai pendidik berhadapan dengan tekanan kurikulum yang mengajak untuk mengubur bersama-sama kebebasan individu peserta didiknya dengan mengaburkan posisi materi ajar sebagai dogma, menggantikannya dengan tuntutan untuk mampu mengimplementasikan materi ajar itu sesuai kebutuhan dalam social reality society.

Pada masa lalu, kalangan terdidik (intelektual) membawa amanah menjadi agent of change namun hari ini, kalangan terdidik tak lebih sebagai objek dari perubahan dalam social reality society itu sendiri. Guru dijajah oleh kurikulum yang menuntut untuk mampu membimbing peserta didik agar menjadi individu yang usefull dalam masyarakat saat ini. Pengajaran-pengajaran keilmuan berbasis pragmatis menjadi primadona dan mengalahkan pendidikan moral serta spiritual. Tuntutan ini menunjukkan bahwa kurikulum juga melakukan dehumanisasi pada peserta didik, secara pragmatis, peserta didik dipandang sebagai produk yang cepat saji dan dapat dinikmati oleh publik.Padahal, guru memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat yang beradab, berakhlak mulia, serta memiliki karakter pribadi yang utuh (insan kamil).

Pada episode inilah, guru mengalami kegamangan dalam terus menjalankan peran dan kewajibannya dalam lingkungan sekolah; menjadi pendidik, menjadi pengajar, ataukah menjadi pelatih? Kata Guru dalam bahasa sanskerta secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu Gu artinya darkness dan Ru artinya light (Wikipedia encyclopedia). Sangat menarik ternyata kata Guru tersusun dari dua suku kata yang bermakna berlawanan yaitu gelap versus terang/bercahaya/bersinar, kemuraman versus keceriaan/kemahardikaan. Secara harafiah guru atau pendidik adalah orang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan. Dalam Wikipedia encyclopedia dinyatakan “A guru (Sanskrit) is a person who is regarded as having great knowledge, wisdom and authority in a certain area, and uses it to guide others”. Jadi guru adalah seseorang yang dihormati karena pengetahuannya,

Page 14: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

kebijaksanaannya, kemampuannya memberikan pencerahan, kewibawaan dan kewenangannya.

Kata guru sebagai kata benda (noun) berarti pengajar (teacher) atau seorang Master dalam spiritual. Sebagai kata benda bermakna pemberi pengetahuan. Sebagai kata sifat (adjective) berarti berat “heavy” atau “weighty”. Jadi guru bermakna seseorang yang memiliki pengetahuan berbobot, berat, dan padat. Berbobot dengan kearifan spiritual, keseimbangan spiritual, berbobot karena kualitasnya yang bagus teruji dilapangan, kaya dengan pengetahuan. Kata guru berakar dari Sanskrit “gri” berarti memuji dan “gur” yang artinya mengangkat “to raise, “to lift up”, atau “to make an effort.”Dalam American Heritage Dictionary guru diartikan sebagai: (1) Hinduism & Tibetan Buddhism A personal spiritual teacher; (2) A teacher and guide in spiritual and philosophical matters. A trusted counselor and adviser; a mentor. A recognized leader in a field: the guru of high finance. An acknowledged and influential advocate, as of a movement or idea.

Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.Untuk membantu siswa guru harus berperan:a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Field trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.b. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifikc. Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalahd. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.e. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.

Guru dalam pengertian sistem pendidikan Indonesia adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (pasal 1 ayat 1 UU No.14 Tahun 2005). Guru dalam konteks UU No.14 Tahun 2005 lebih memiliki makna sebagai pekerjaan atau kegiatan profesi yang lebih mendekati makna teacher. Profesi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.

Manusia secara alamiah pada mulanya adalah “gu” yaitu tidak berpengetahuan atau gelap. Dalam posisi ini sering disebut masih belum memiliki arah atau orientasi. Setelah menjalani pendidikan ia akan menjadi “ru” atau terang, bercahaya, bersinar, ringan karena disinari oleh pengetahuan yang dimilikinya. Proses transformasi dari “gu” ke “ru”

Page 15: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

atau gelap (awidya) menuju terang (widya) berjalan secara terus menerus tanpa henti sebagai proses long life education. Widya dalam hal ini dapat juga berarti pengetahuan.Pendapat Rektor UIN Jakarta Prof. Komarudin Hidayat bahwa guru yang berhenti belajar harus berhenti mengajar sangat beralasan. Karena kemampuan untuk mentransformasikan “gu” menjadi “ru” akan kehilangan orientasi dalam waktu dan jamannya. Guru yang berhenti belajar bertentangan dengan logos, etos, patos guru. Guru sebagai pribadi dituntut selalu meng-update pengetahuannya.

Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”. Eksistensi guru, dengan segala kompleksitas kapasitas pribadi maupun lembaga pendidikan tempatnya mengabdi, kian jauh termarjinalkan dengan penentuan nilai yang pragmatis.

Eksistensi guru ditentukan dengan keberhasilannya mendampingi siswa yang lulus Ujian Nasional (UNAS), selembar surat keterangan lolos sertifikasi, serta besaran dana insentif yang tak pernah pasti pencairannya. Padahal, mengingat tanggung jawab paedagogis yang ada di pundak guru, maka standar eksistensi yang pragmatis ini mensejajarkan guru dengan produk atau komoditas tertentu yang bisa di-make up, di-up grade, di-install, bahkan didaur ulang. Serangan dehumanisasi eksistensi dan peran guru menguburkan pesonanya yang memiliki peran besar dalam mewujudkan tujuan Indonesia bersama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan. Pada gilirannya pragmatisme-paradigmatik makin menyesakkan guru ketika berhadapan dengan dua permasalahan krusial, yaitu perannya dalam wilayah pedagogis (afektif) dengan sains (kognitif dan motorik) yang berbenturan dengan social reality society. Hubungan nilai-nilai pendidikan dengan sains terkait dengan value kehidupan manusia. Guru dituntut untuk mampu menjembatani dan mengeksplorasi materinya dengan aspek-aspek kehidupan sains serta kondisi social reality society. Guru sebagai pendidik berhadapan dengan tekanan kurikulum yang mengajak untuk mengubur bersama-sama kebebasan individu peserta didiknya dengan mengaburkan posisi materi ajar sebagai dogma, menggantikannya dengan tuntutan untuk mampu mengimplementasikan materi ajar itu sesuai kebutuhan dalam social reality society.

Pada masa lalu, kalangan terdidik (intelektual) membawa amanah menjadi agent of change namun hari ini, kalangan terdidik tak lebih sebagai objek dari perubahan dalam social reality society itu sendiri. Guru dijajah oleh kurikulum yang menuntut untuk mampu membimbing peserta didik agar menjadi individu yang usefull dalam masyarakat saat ini. Pengajaran-pengajaran keilmuan berbasis pragmatis menjadi primadona dan mengalahkan pendidikan moral serta spiritual. Tuntutan ini menunjukkan bahwa

Page 16: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

kurikulum juga melakukan dehumanisasi pada peserta didik, secara pragmatis, peserta didik dipandang sebagai produk yang cepat saji dan dapat dinikmati oleh publik.Padahal, guru memiliki tanggung jawab untuk membentuk masyarakat yang beradab, berakhlak mulia, serta memiliki karakter pribadi yang utuh (insan kamil). Pada episode inilah, guru mengalami kegamangan dalam terus menjalankan peran dan kewajibannya dalam lingkungan sekolah; menjadi pendidik, menjadi pengajar, ataukah menjadi pelatih.

KepustakaanAlif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa

Ideologi , Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007. http://aliflukmanulhakim.blogspot.com

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at 11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/

Adnan Khan(2008), Memahami Keseimbangan Kekuatan Adidaya , By hati-itb September 26, 2008 , http://adnan-globalisues.blogspot.com/

Al-Ahwani, Ahmad Fuad 1995: Filsafat Islam, (cetakan 7), Jakarta, Pustaka Firdaus (terjemahan Pustaka Firdaus).

Ary Ginanjar Agustian, 2003: Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (edisi XIII), Jakarta, Penerbit Arga Wijaya Persada.

_________2003: ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al Ihsan, (Jilid II), Jakarta, Penerbit ArgaWijaya Persada.

A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, yogyakarta, 2003 Avey, Albert E. 1961: Handbook in the History of Philosophy, New York, Barnas &

Noble, Inc.Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.

Yogjakarta. Hal. 28Budiman, Hikmat 2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta. Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Culture

and Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra& William P Lebra. University of Hawaii. Hawai.

Center for Civic Education (CCE) 1994: Civitas National Standards For Civics and Government, Calabasas, California, U.S Departement of Education.    Dawson, Raymond, 1981, Confucius , Oxford University Press, Oxford Toronto,

Melbourne D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi,

Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982Edward Wilson. 1998. Consilience : The Unity of Knowledge. NY Alfred. A Knof.Fakih, Mansour, Dr, Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi . Pustaka Pelajar.

Yogyakarta : 1997

Page 17: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Fritjof Capra. 1982. The Turning of Point; Science, Society and The Rising Culture. HaperCollins Publiser. London.

Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980 Kartohadiprodjo, Soediman, 1983: Beberapa Pikiran Sekitar Pancasila, cetakan ke-4,

Bandung, Penerbit Alumni. Kelsen, Hans 1973: General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell Lasiyo, 1982/1983, Confucius , Penerbit Proyek PPPT, UGM Yogyakarta --------, 1998, Sumbangan Filsafat Cina Bagi Peningkatan Kualitas Sumber Daya

Manusia , Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta

--------, 1998, Sumbangan Konfusianisme Dalam Menghadapi Era Globalisasi , Pidato Dies Natalis Ke-31 Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

McCoubrey & Nigel D White 1996: Textbook on Jurisprudence (second edition), Glasgow, Bell & Bain Ltd.

Mohammad Noor Syam 2007: Penjabaran Fislafat Pancasila dalam Filsafat Hukum (sebagai Landasan Pembinaan Sistem Hukum Nasional), disertasi edisi III, Malang, Laboratorium Pancasila.

---------2000: Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia (Wawasan Sosio-Kultural, Filosofis dan Konstitusional), edisi II, Malang Laboratorium Pancasila. Murphy, Jeffrie G & Jules L. Coleman 1990: Philosophy of Law An Introduction to

Jurisprudence, San Francisco, Westview Press.mcklar(2008), Aliran-aliran Pendidikan, http://one.indoskripsi.com/node/ Posted July

11th, 2008 Nawiasky, Hans 1948: Allgemeine Rechtslehre als System der rechtlichen Grundbegriffe,

Zurich/Koln Verlagsanstalt Benziger & Co. AC.Notonagoro, 1984: Pancasila Dasar Filsafat Negara, Jakarta, PT Bina Aksara, cet ke-6.Radhakrishnan, Sarpavalli, et. al 1953: History of Philosophy Eastern and Western,

London, George Allen and Unwind Ltd.    Roland Roberton. 1992. Globalization Social Theory and Global Culture. Sage

Publications. London. P. 85-87Sudionokps(2008)Landasan-landasan Pendidikan, http://sudionokps.wordpress.comTitus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta : 1984 UNO 1988: Human Rights, Universal Declaration of Human Rights, New York, UNO UUD 1945, UUD 1945 Amandemen, Tap MPRS – MPR RI dan UU yang berlaku. (1966;

2001, 2003)Widiyastini, 2004, Filsafat Manusia Menurut Confucius dan Al Ghazali, Penerbit

Paradigma, YogyakartaWilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Ya'qub, Hamzah, 1978, Etika Islam , CV. Publicita, Jakarta Wilk, Kurt (editor) 1950: The Legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, New

York, Harvard College, University Press.Andersen, R. dan Cusher, K. (1994). Multicultural and intercultural studies, dalam

Teaching Studies of Society and Environment (ed. Marsh,C.). Sydney: Prentice-Hall  

Page 18: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Banks, J. (1993). Multicultural education: historical development, dimensions, and practice. Review of Research in Education, 19: 3-49.

Boyd, J. (1989). Equality Issues in Primary Schools. London: Paul Chapman Publishing, Ltd.

Burnett, G. (1994). Varieties of multicultural education: an introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education, Digest, 98.

Bogdan & Biklen (1982) Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn BaconCampbell & Stanley (1963) Experimental & Quasi-Experimental Design for Research.

Chicago Rand McNellyCarter, R.T. dan Goodwin, A.L. (1994). Racial identity and education. Review of

Research in Education, 20:291-336.

Cooper, H. dan Dorr, N. (1995). Race comparisons on need for achievement: a meta analytic alternative to Graham's Narrative Review. Review of Educational Research, 65, 4:483-508.

Darling-Hammond, L. (1996). The right to learn and the advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic education. Educational Researcher, 25, 6:5-Dewantara,

Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum, London: Routledge & Kegan Paul.

Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review of Research in Education, 19:51 -98.

Gordon, Thomas (1974) Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. WydenpubHasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper presented at UNESCO

Seminar on Decentralization. Unpublished.

Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources Development. Paper presented at International Conference on Issues in Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards the Year 2020. Unpublished.

Henderson, SVP (1954) Introduction to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997

Highet, G (l954), Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.PembangunanKi Hajar (1936). Dasar-dasar pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian

Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Page 19: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.PressKi Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis LuhurKi Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila,

Jakarta:Depdikbud

Ki Hajar, Dewantara (1945). Pendidikan, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Ki Hajar, Dewantara (1946). Dasar-dasar pembaharuan pengajaran, dalam Karya Ki Hajar Dewantara Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa.

Kuhn, Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago Univ.

Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars

Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung

Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School. ERIC Digest. ED 348196.

Print, M. (1993). Curriculum Development and Design. St. Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.

Raka JoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta, Depdikbud

Rosyid, Rum (1995) Kesatuan, Kesetaraan, Kecintaan dan Ketergantungan : Prinsip-prinsip Pendidikan Islami, Suara Almamater No 4/5 XII Bulan Juli 7 Agustus, Publikasi Ilmiah, Universitas Tajungpura, Pontianak

Rum Rosyid(2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian I : Beberapa Tantangan Menuju Masyarakat Informasi, Penerbit KAMI , Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian II : Perselingkuhan Dunia Pendidikan Dan Kapitalisme, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian III : Epistemologi Pragmatisme Dalam Pendidikan Kita, Penerbit KAMI, Pontianak.

Rum Rosyid (2010) Pragmatisme Pendidikan Indonesia Bagian IV : Peradaban Indonesia Evolusi Yang Tak Terarah, Penerbit KAMI , Pontianak.

Twenticth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964

http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_contenthttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan.htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/defaulthttp://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlhttp://stishidayatullah.ac.id/index2.phphttp://macharos.page.tl/Pragmatisme Pendidikan, .htmhttp://www.blogger.com/feeds/7040692424359669162/posts/default

Page 20: Epistemologi Pragmatisme Pendidikan Indonesia

http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.htmlAliran-Aliran Filsafat Pendidikan Modern, http://panjiaromdaniuinpai2e.blogspot.comKoran Tempo, 12 November 2005 , Revolusi Sebatang Jerami.http://www.8tanda.com/4pilar.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://filsafatkita.f2g.net/sej2.htm di down load pada tanggal 2 Desember 2005 http://spc.upm.edu.my/webkursus/FAL2006/notakuliah/nota.cgi?kuliah7.htm l di down

load pada tanggal 16 November 2005 http://indonesia.siutao.com/tetesan/gender_dalam_siu_tao.php di down load pada tanggal

16 November 2005 http://storypalace.ourfamily.com/i98906.html di down load pada tanggal 16 November

2005 http://www.ditext.com/runes/y.html di down load pada tanggal 2 Desember 2005

Dari Buku Pragmatisme Pendidikan IndonesiaBeberapa Tantangan Menuju Masyarakat InformasiOleh : Rum RosyidDosen FKIP Universitas TanjungpuraDirektur Global Equivalency for Education