Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

37
Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu Makalah Filsafat Ilmu Dosen: Prof. Dr. Wuryadi Disusun Oleh: Jamil Suprihatiningrum (08708251009) Ali Imran (08708251013) Cita Indira (08708251021) Sri Wahyu Widyastuti (08708251023) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2008

Transcript of Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

Page 1: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Ilmu

Makalah Filsafat Ilmu

Dosen: Prof. Dr. Wuryadi

Disusun Oleh:

Jamil Suprihatiningrum (08708251009)

Ali Imran (08708251013)

Cita Indira (08708251021)

Sri Wahyu Widyastuti (08708251023)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2008

Page 2: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

1

Pengantar .....

Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara

dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat

sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama

sekaligus sebagai obyek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah

ontologi (apa yang menjadi obyek suatu imu), epistemologi (cara mendapatkan

ilmu), dan aksiologi (untuk apa ilmu tersebut). Ontologi merupakan hakikat yang

ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai

kenyataan dan kebenaran. Epistemologi adalah sarana, sumber, tatacara untuk

menggunakannya dengan langkah-langkah progresinya menuju pengetahuan

(ilmiah). Adapun aksiologi adalah nilai-nilai (value) sebagai tolok ukur kebenaran

(ilmiah), etik, dan moral sebagai dasar normatif dalam penelitian dan penggalian,

serta penerapan ilmu.1

Adapun ruang lingkup filsafat ilmu meliputi:2

1. komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu;

2. sifat dasar ilmu pengetahuan;

3. metode ilmiah;

4. praanggapan-praanggapan ilmiah;

5. sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

Hubungan antara persoalan, aktivitas, dan pengetahuan filsafati dapat dilihat

pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Hubungan antara persoalan, aktivitas, dan pengetahuan filsafati

Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik untuk minimal memahami

berbagai konsep dan teori suatu disiplin ilmiah. Secara substantif fungsi

1 Wibisono, 2001 2 Rizal Mustansyir, 2001: 49-50

Persoalan Filsafati Proses Akal Budi Pengetahuan Filsafati

Metafisis Komprehensif,

spekulatif Pandangan dunia

Epistemologis Analisis, Interpretasi Sistem pemikiran, kebenaran

filsafat

Aksiologis Deskripsi, Preskripsi Kearifan hidup

Page 3: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

2

pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-

masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis

diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengopera-

sionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-

masing.3

Makalah ini mengupas tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi filsafat

ilmu. Tujuan penulisan makalah ini antara lain:

1. mengkaji secara mendalam berbagai pengertian ontologi ilmu;

2. mengkaji salah satu konsep ontologi: the study of the nature of existence and

being in the abstract” atau the science of being and universal order”;

3. mengkaji ontologi sebagai dasar pemikiran filsafat;

4. mengkaji persoalan epistemologi;

5. mengkaji kaitan epistemologi dan cara memperoleh kebenaran/ilmu;

6. mengkaji kaitan epistemologi dengan alur pengetahuan (divergen maupun

konvergen);

7. mengkaji epistemologi sebagai kunci pengembangan ilmu;

8. mengkaji pengertian aksiologi;

9. mengkaji kaitan antara aksiologi dan implementasi sebuah ilmu;

10. mengkaji nilai kemanfaatan sebuah ilmu.

3 Noeng Muhadjir, 1998: 2

Page 4: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

3

Pembahasan .....

A. Pengertian Ontologi Ilmu (Hakikat Ilmu)

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal

dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.

Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti

Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum

membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf

yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam

yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah

pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi

belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).

Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu

yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok

filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut

tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada

alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan

tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula

diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau

keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera.

Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain,

ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud

(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula

oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya

ontologi adalah teori tentang wujud.

Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran

studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi

banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.

Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan

tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan

pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam

setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang

Page 5: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

4

meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka

dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.

Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri (2000: 34 – 35), bahwa

ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan

suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu

berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan

obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris,

karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman

manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca

indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain,

ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu

berorientasi terhadap dunia empiris.

Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan

yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat

tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism

yang terpecah menajdi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism

dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya

menentukan pendapa bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan

bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.4

Dengan demikian, penulis mendapatkan sebuah simpulan bahwa ontologi

merupakan sebuah jawaban atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan. Kita

harus memahami dengan baik masalah-masalah ontologi agar dapat memahami

dengan baik masalah dunia, tempat kita tinggal.

B. Beberapa Konsep Mengenai Ontologi Ilmu

Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda

bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas

benda itu? Apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori

hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam filsafat, antara

lain:

1. Filsafat Materialisme

4 Tim Dosen Filsafat Ilmu, (2000: 12)

Page 6: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

5

2. Filsafat Idealisme

3. Filsafat Dualisme

4. Filsafat Skeptisisme

5. Filsafat Agnostisisme

Jujun S. Suriasumantri (2000: 34 – 35) menyatakan bahwa pokok permasalahan

yang menjadi obyek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (Benar-

Salah), (b) etika (Baik-Buruk), dan (c) estetika (Indah-Jelek). Ketiga cabang utama

filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni, pertama, teori

tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran serta kaitan antara zat

dan pikiran yang semuanya terangkum dalam metafisika; kedua, kajian mengenai

organisasi sosial/ pemerintahan yang ideal, terangkum dalam politik. Kelima

cabang filsafat ini – logika, etika, estetika, metafisika dan politik – menurut

Suriasumantri, kemudian berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang

mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.

Berbeda dengan Kattsoff (1996: 212), ia menyatakan bahwa masalah ontologi

terdiri dari hakikat “yang ada” dan hakikat kenyataan. Adapun hakikat eksistensi

merupakan bidang garapan filsafat alam (kosmologi).

Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan

teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya.

Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap

sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau

konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik

itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun

sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang

berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.

Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan

hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah

”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat universal, berlaku untuk

seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia,

India, China, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea

inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-

idea itu berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang

Page 7: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

6

kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah.

karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari

idea-ideanya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca

indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa ontologi mengkaji tentang “the study of the nature of existence and being in

the abstract” atau “the science of being and universal order”.

Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354 – 430 M). Menurut

Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini

ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa

yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya

itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di

atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah),

dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui

apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak.

Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.

Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut

pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang

demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan

pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?”

yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif.5 Ontologi ini pantas

dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini

dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu

kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).

Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat benda

bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “apa sebenarnya realitas

benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya atau tidak?”. Dari teori

hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran dalam persoalan

keberadaan, yaitu:

5 Soejono Soemargono (1996: 192)

Page 8: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

7

1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)

a. Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental.

Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya

yang tidak dapat diketahui.

b. Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang

masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang)

dan dunia intelek (dunia ide).

c. Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu

substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat

kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah

(empedogles).

2. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran,

yaitu:

a. Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan

yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh

alam.

b. Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang

nyata kecuali materi.

3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan

a. Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa

dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).

b. Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian

alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu

kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.

c. Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan

secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.

d. Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme,

hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki

bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya

sistem yang teratur.

Persoalan keberadaan (being) atau eksistensi (existence) bersangkutan dengan

cabang filsafat metafisika. Istilah metafisika berasal dari kata yunani meta ta physika

yang dapat diartikan sesuatu yang ada di balik atau di belakang benda fisik.

Aristoteles tidak memakai istilah metafisika melainkan proto philosophia (filsafat

Page 9: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

8

pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang

gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.6

Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini

terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya

metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti

adanya Tuhan. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang

sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.7

Persoalan-persoalan metafisik dibedakan menjadi tiga yaitu persoalan ontologi,

persoalan kosmologi, dan persoalan antropologi.8

1. Persoalan-persoalan ontologi diantaranya:

a. Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu?

b. Bagaimana penggolongan dari ada, keberadaan atau eksistensi?

c. Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau keberadaan?

2. Persoalan-persoalan kosmologi (alam) diantaranya:

a. Apa jenis keraturan yang ada di dalam alam?

b. Apakah keteraturan dalam alam seperti halnya sebuah mesin atau

keteraturan yang bertujuan?

c. Apakah hakikat hubungan sebab dan akibat?

d. Apakah ruang dan waktu itu?

3. Persoalan-persoalan antropologi (manusia) diantaranya:

a. Bagaimana terjadi hubungan antara badan dan jiwa?

b. Manusia sebagai mahluk bebas atau tak bebas?

C. Hakikat “ada” dan “eksistensi”

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata “ada” berarti hadir, telah sedia,

sedangkan “keberadaan” berarti hal berada, kehadiran. Hakikat “ada” dan

“keberadaan” diperoleh melalui alur berikut.

6 Tim Dosen Filsafat Ilmu (2000: 31) 7 Ibid, hal 31 – 32 8 Ibid, hal 31 – 32

Page 10: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

9

Gambar 1. Alur hakikat “ada” dan “keberadaan”

Manusia sebagai subjek yang dapat berpikir dan melihat lewat penginderaan

dapat melihat realitas kehidupan sebagai obyek. Dari obyek inilah akan muncul

data indera atau penampakan. Dengan menggunakan data penampakan, manusia

sampai pada suatu intinya yang terdalam yaitu substansi hakikat “ada” dan

“keberadaan”.

D. Hakikat “Ada” dan “Eksistensi” Suatu Ilmu Melalui Proses Abstraksi Yang

Mendasar Untuk Suatu Kebenaran Spekulatif

Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat segala sesuatu dilakukan

dengan suatu metode analisis yang disebut analisis abstraksi. Metode analisis

abstraksi dilakukan setingkat demi setingkat untuk akhirnya sampai pada suatu

pemahaman pengertian “hakikat”. Begitu juga dalam memahami hakikat “ada” dan

“keberadaan” suatu ilmu bisa diperoleh melalui proses analisis abstraksi tersebut.

Metode abstraksi digunakan ontologi untuk mencari kejelasan tentang dunia fakta

seluruhnya sampai pada pengertian yang fundamental. Pengetahuan fundamental

yang dihasilkan oleh ontologi dapat dijadikan dasar untuk membahas kembali

asumsi dasar yang oleh ilmu pengetahuan telah dianggap mapan kebenarannya.

Filsafat spekulatif sesungguhnya hanyalah merupakan sebutan lain dari

metafisika. Menurut perumusan Alfred North Whitehead, filsafat spekulatif adalah

usaha untuk menyusun sebuah system ide-ide umum yang berpautan dan perlu

yang dalam kerangka system itu setiap unsur dari pengalaman dapat ditafsirkan

(Speculative Philosophy is the endeavour to frame a coherent, logic, necessary system

of general ideas in terms of which every element of our experience can be

SENSE/

PENGINDERAAN

REALITAS

(Objek))

DATA INDERA/

PENAMPAKAN

MANUSIA

(Subjek)

Page 11: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

10

interpreted). Dengan demikian, kebenaran spekulasi adalah kebenaran karena

adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan

dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-

error.

Dengan metode analisis abstraksi kita coba untuk menelaah hakikat ”ada” dan

“eksisitensi” ilmu. Sebelum manusia memiliki berbagai ilmu, peristiwa alam yang

terjadi tak dapat dimengerti apalagi diramalkan dan dikuasai. Untuk dapat

menerangkan peristiwa tersebut, manusia lari kepada aneka penjelasan tahyul atau

uraian serba gaib. Misal bila gunung berapi meletus dan mendatangkan

malapetaka maka dia menjelaskan bahwa dewa gunung sedang marah. Dengan

berkembangnya ilmu seperti vulcanology, geografi fisis manusia dapat

menerangkan secara tepat dan cermat berbagai peristiwa yang dijumpai dan bisa

meramalkan peristwa yang belum terjadi.

Pada tahap awal perkembangan filsafat di Yunani, pertanyaan tentang ke-ada-an

atau eksistensi cukup mendomisasi dalam pemikiran para Filsuf dengan

pembahasannya mengenai Bahan dasar dari alam. Ke-ada-an yang mengelilingi

kehidupan manusia banyak sekali, ada yang dapat disentuh oleh pancaindera, ada

juga yang tidak, ada benda mati, tumbuhan, hewan, manusia, pikiran, jiwa yang

beragam perwujudannya. Apakah esensi ke-ada-an semua itu merupakan realitas

sendiri-sendiri, atau hanya penampakan saja dari suatu esensi ke-ada-annya yang

tunggal?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, para filsuf menelaah melalui filsafati

sampai memperoleh hakikat ”ada” dan “eksisitensi” ilmu.

Jika ditinjau dari segi ontologi yang berarti persoalan tentang hakikat

keberadaan ilmu menunjukkan bahwa ilmu selalu berada dalam hubungannya

dengan eksistensi kehidupan manusia, karena ilmu berdasar pada beberapa

asumsi dasar untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang nampak

dalam kehidupan. Asumsi-asumsi dasar tersebut meliputi:

1. dunia itu ada dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada;

2. dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera;

Page 12: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

11

3. fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain

secara kausal.

Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam

hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa

manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan

manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan

pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam

skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir

maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan

dasar pemikiran filsafat.

E. Pengertian Epistemologi

Ontologi berupaya secara reflektif tentang “yang ada”. Adapun epistemologis

membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang

dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini

memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan pondasi

bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung kepada ilmu

tertentu, dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan

pengetahuan dasar. Sebagai contoh, dasar dari semua ilmu empirik adalah prinsip

kausalitas dan kaidah ini menjadi pokok bahasan dalam filsafat, dengan demikian,

filsafat merupakan dasar dan pijakan bagi ilmu-ilmu empirik. Begitu pula, ilmu

logika yang merupakan alat berpikir manusia dan ilmu yang berkaitan dengan cara

berpikir yang benar, diletakkan sebagai pendahuluan dalam filsafat dan setiap

ilmu-ilmu lain, maka dari itu ia bisa ditempatkan sebagai dasar dan asas bagi

seluruh pengetahuan manusia.

Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur

ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat

gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun

ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan

tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi

yang benar, diletakkan setelah epistemologi.

Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang

dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad

Page 13: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

12

sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu

disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara

tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas

dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian

tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Penginderaan, persepsi, dan

ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal

yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang

akal, obyek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran

dan kekeliruan suatu proposisi. "Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang

dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya

terhadap "kebenaran". Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu

yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,

semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan

argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik kulminasi peradaban dan

sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai

dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap

kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan

pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat

dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat

mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau

parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Kalau kita menilik

perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia

acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan

kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial.

Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-

masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha

bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death

do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya." perjalanan

sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acapkali

dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan,

tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Ilmu-ilmu

empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban

utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena metodologi ilmu-ilmu di atas

adalah bercorak empirikal.

Page 14: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

13

Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan

jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek

keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah

eksisten qua eksisten. Sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen

yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang

digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia

absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas

terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa

Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan

persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard.

Pembahasan epistemologi sebagai subordinate dari filsafat menjadi mesti

adanya. Pembahasan epistemologi adalah pengantar menuju pembahasan filsafat.

Tentu saja, harus kita ingat bahwa ilmu logika juga harus rampung untuk

menyepakati bahwa dunia luar terdapat hakikat dan untuk mengenalnya adalah

mungkin. Pembahasan epistemologi sebagai ilmu yang meneliti asal-usul, asumsi

dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu

penting dalam menentukan sebuah model filsafat harus dikedepankan sebelum

membahas perkara-perkara filsafat.

Epistomologi berasal dari bahasa Yunani ”episteme” dan ”logos”. ”Episteme”

berarti pengetahuan (knowledge),”logos” berarti teori. Dengan demikian

epistomologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. (Rizal, 2001: 16).

Epistomologi mengkaji mengenai apa sesungguhnya ilmu, dari mana sumber ilmu,

serta bagaimana proses terjadinya. Dengan menyederhanakan batasan tersebut,

Brameld (dalam Mohammad Noor Syam, 1984: 32) mendefinisikan epistomologi

sebagai “it is epistemologi that gives the teacher the assurance that he is conveying

the truth to his student”. Definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai

“epistomologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia

memberikan kebenaran kepada murid-muridnya”. Disamping itu banyak sumber

yang mendefinisikan pengertian Epistomologi diantarannya:

1. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah

filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan.

Page 15: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

14

2. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang

terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,

metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran

pengetahuan (Ilmiah).

3. Epistomologi adalah cabang atau bagian filsafat yang membicarakan tentang

pengetahuan yaitu tentang terjadinnya pengetahuan dan kesahihan atau

kebenaran pengetahuan.

4. Epistomologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-

sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan.

Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-

kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan

seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?

Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa

faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil?

Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi

mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari

jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang

akan dihadapinya.

Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya

mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami dan

menyadari bahwa:

1. Hakikat itu ada dan nyata;

2. kita bisa mengajukan pertanyaan tentang hakikat itu;

3. hakikat itu bisa dicapai, diketahui, dan dipahami;

4. manusia bisa memiliki ilmu, pengetahuan, dan makrifat atas hakikat itu. Akal

dan pikiran manusia bisa menjawab persoalan-persoalan yang dihadapinya,

dan jalan menuju ilmu dan pengetahuan tidak tertutup bagi manusia.

Apabila manusia melontarkan suatu pertanyaan yang baru, misalnya bagaimana

kita bisa memahami dan meyakini bahwa hakikat itu benar-benar ada? Mungkin

hakikat itu memang tiada dan semuanya hanyalah bersumber dari khayalan kita

belaka? Kalau pun hakikat itu ada, lantas bagaimana kita bisa meyakini bahwa apa

Page 16: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

15

yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu

sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas

eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai

untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat

khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indera

lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang

sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-

persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu

asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini,

keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk

lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu

pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan

bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda

tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.

Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan

tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya

kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam

menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-

benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?.

Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan

penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan

keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain,

tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang

dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan

untuk melihat benda-benda yang jauh.

Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu

yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum

(obyek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti

asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan

menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan

pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan

menentukan kebenaran, mengenai hal yang dianggap patut diterima dan apa yang

patut ditolak. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan

Page 17: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

16

kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan

pertanyaan-pertanyaan seperti:

1. Dari manakah saya berasal?

2. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?

3. Apa hakikat manusia?

4. Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?

5. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?

6. Mana pemerintahan yang benar dan adil?

7. Mengapa keadilan itu ialah baik?

8. Pada derajat berapa air mendidih?

9. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?

10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari

jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang

akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan

berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami

dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan nyata dan Hakikat itu bisa dicapai,

diketahui, dan dipahami. Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-

persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran

terhadap obyek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan

sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap

obyek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi

manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda

hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan

makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indera. Semua persoalan ini dibahas

dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah

suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan

pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan

pengetahuan manusia. Pokok Bahasan Epistemologi dengan memperhatikan

definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian

epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.

Page 18: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

17

F. Cakupan Epistomologi

Dalam hal ini, ada dua poin penting akan dijelaskan:

1. Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu

secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus. ilmu yang diartikan sebagai

keumuman penyingkapan dan penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai

subyek dalam epistemologi. Terdapat tiga persoalan pokok dalam epistomologi

yaitu:

a. Apakah sumber-sumber pengetahuan? Dari manakah pengetahuan yang

benar itu datang?

b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang real di luar akal dan

kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini adalah problem penampilan

(appearance) terhadap realitas.

c. Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita membedakan

kebenaran dan kekeliruan? Ini adalah persoalan menguji kebenaran

(verivication). (Titus, 1984: 20-21 dalam Kaelan, 1991:27-28).

2. Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan

makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat

juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda

bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan

adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu

pembahasan di bidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian

ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi.

Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu

sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya penginderaan

adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu

dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu

ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman

mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.

Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan,

pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dengan

Page 19: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

18

demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan

penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.

G. Sejarah epistomologis

Keberadaan epistemologi sebagai cabang mandiri dari filsafat tidak terlalu

banyak menyisakan alur sejarah yang panjang. Secara historis hal itu hanya dapat

dilacak hingga abad ke-17 atau 18 M. Akan tetapi kehadiran tema dan persoalan

epistemologi memiliki jejak yang sangat sepuh setua usia tradisi filsafat di Yunani

kuno. bermula dari sini setidaknya perkembangan epistemilogi hingga saat ini

dapat kita bagi dalam tiga perspektif utama:

1. perspektif klasik

2. perspektif modern

3. perspektif kontemporer

Munculnya perspektif klasik pada ranah epistemologi ini dapat dirunut

semenjak masa pemikiran falsafi yunani kuno, khususnya pada mazhab filsafat

Sokrates, Plato dan Aristoteles serta para pengikutnya. Perspektif ini sempat

berkembang hingga abad pertengahan dan amat diminati oleh para filosof

skolastik. Di sisi lain pandangan klasik ini sempat diadopsi oleh para filosof muslim

bahkan hingga saat ini keabsahannya masih dipertahankan. Sebaliknya di Barat

dengan lahirnya perspketif modern gubahan Descartes, cara pandang klasik

tersebut tak lagi diperdulikan.

Kendati demikian secara substantif tidak banyak perbedaan yang mendasari

kedua perspektif di atas. Perbedaan yang ada sekedar menyangkut persoalan

metode dan cara pandang. Karena keduanya sepakat bahwa keyakinan falsafi dan

matematis merupakan epistem yang diperlukan manusia pada seluruh ranah

pengetahuannya. Bahkan kedua perspektif ini sama-sama berpendapat bahwa

kemestian untuk mencapai derajat yakin, tafsir mengenai yakin dan karakteris-

tiknya merupakan perkara yang telah diakui dan tak dapat diragukan lagi.

Dalam perspektif klasik, prolog wacana epistemologi dimulai dengan

pengakuan atas keberadaan realitas, eksistensi alam nyata, kumungkinan untuk

memperoleh pengetahuan yakin tentangnya, wujudnya kesalahan dan kemampuan

Page 20: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

19

manusia untuk membedakan betul dan salah, benar dan bohong merupakan hal

yang aksiomatis. Oleh karena itu dalam pandangan klasik, persoalan pokok yang

dihadapi adalah permasalahan nilai epistem, yakni bagaimana mewujudkan kriteria

yang sah guna menguji dan menilai setiap proposisi dan memperoleh suatu neraca

yang mampu memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Implikasi

pandangan semacam ini melazimkan kita untuk menerima bahwa pengetahuan

manusia atas realitas adalah perkara yang tak dapat diingkari. Paling tidak manusia

meyakini akan wujud diirinya, keberadaan fakultas kognisi dan mekanis dirinya,

kondisi psikis dan perasaan yang dimilikinya serta kemampuan inderawinya

merupakan sekian hal yang tak mungkin diragukan.

Di lain pihak, perspektif modern epistemologi menjadikan keraguan normatif

sebagai titik tolak kajian epistemologinya. Descartes sebagai arsitek pandangan ini

menjadikan keraguan disegala hal termasuk meragukan eksistensi diri sendiri

sebagai upaya untuk mencapai keyakinan. "Cogito, ergo sum; aku berpikir (ragu)

maka aku ada". Berpegang pada pernyataan inilah Descartes mencapai pada

simpulan bahwa keraguan pada setiap hal meniscayakan kita untuk meyakini

adanya ragu yang tak bisa dipungkiri dan adalah mustahil adanya ragu tanpa

wujudnya peragu. Karena itu menurut Descartes di sinilah pengetahuan yang

meyakinkan akan dijumpa.

Kendati demikian perbedaan kedua perspektif di atas bukan hanya terbatas

pada persoalan metode epistemik yang ditawarkan. Tapi yang lebih mendasar lagi

adalah perbedaan dalam menafsirkan hakikat dan kriteria kebenaran. Di mata para

pemikir klasik hakikat diartikan sebagai kesesuaian antara nalar dengan realitas.

Akan tetapi menurut Descartes terjemahan klasik semacam ini harus ditolak.

Descartes beranggapan bahwa manusialah yang merupakan neraca yang

menentukan benar tidaknya suatu pengetahuan. Dengan kata lain, melalui

pemilahan biner antara obyek dan subjek, perspektif modern menganggap bahwa

epistem yakin dapat dicapai melalui subjektisasi obyek. Artinya, obyek di luar diri

kita tak lain adalah tayangan nalar yang dimunculkan oleh subjek (aku) dan bukan

suatu pengungkapan nyata obyek sebagai mana adanya.

Berbeda halnya dengan kedua perspektif di atas. Perspektif kontemporer

merupakan cara pandang epistemik yang lahir dalam tradisi filsafat analitik anglo-

saxon. dalam perspektif kontemporer secara metodologis gaya penyajian dan

Page 21: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

20

kajian epistemogis yang diajukan melazimkan adanya analisa bahasa atas setiap

terminus yang dipakai. kerena itu telaah epistemologi mereka diawali dengan

definisi dan analisa kata epistemik. Bersandar pada metode analitik, epistemologi

kontemporer berupaya untuk menafsirkan hakikat pengetahuan dengan cara

mengkaji setiap rukun dari definisi epistem yang dihasilkan. Umumnya mereka

membongkar secara analitis term epistemik ke dalam formula TBJ (True, Believe,

Justification). Di samping itu persoalan semacam skeptisme dan kemungkinan untuk

memperoleh pengetahuan yang telah terdefinisikan sebelumnya, merupakan

beberapa tema pokok lain dalam epistemologis kontemporer.

Secara substansial, terdapat perbedaan yang tajam antara perspektif

kontemporer dengan dua perspektif sebelumnya. Hampir seluruh pendukung

pandangan kontemporer telah berputus asa untuk mencapai suatu keyakinan dan

berusaha untuk menjustifikasi dan melogiskan pengetahuan manusia lepas dari

bingkai yakin. Sebagai solusinya mereka menjadikan wujud realitas sebagai

praasumsi yang harus diakui. Sebaliknya para pendahulu perspektif kontemporer

beranggapan bahwa pencapaian pada derajat yakin dan meyakini adanya realitas

merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat diragukan.

Epistemologi ilmu, meliputi sumber, sarana, tatacara menggunakan sarana

tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan

landasan ontologik akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam

menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernuft),

pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan

sarana yang dimaksud dalam epistemologi, sehingga dikenal model-model

epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, dan positivisme.

Ditunjukkan pula bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik

beserta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah) itu seperti teori koherensi,

korespondensi, pragmatis, dan teori intersubjektif.9 Berikut adalah aliran-aliran

dalam epistemologis.

1. Rationalisme

Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau

ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 – 1650), yang membedakan

9 Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2000: 12)

Page 22: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

21

adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir,

adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous

ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza

(1632-1677), Leibniz (1666-1716).

2. Empirisme

Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui

pengalaman indera. Indera memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam

empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi

pengalaman. Tokohnya antara lain:

a. John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan

menjadi dua macam yaitu: (a) pengalaman luar (sensation), yaitu

pengalaman yang diperoleh dari luar, dan (b) pengalaman dalam, batin

(reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana

yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih

kompleks.

b. David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume

berpendapat bahw ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-

sensasi sederhana atau ide–ide yang kompleks dibentuk dari kombinasi ide-

ide sederhana atau kesan–kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian

berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.

3. Realisme

Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa obyek-obyek

yang kita serap lewat indera adalah nyata dalam diri obyek tersebut. Obyek-obyek

tersebut tidak tergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak

tergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi

interaksi tersebut mempengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada

sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti

menyadari. Tokoh aliran ini antara lain: Aristoteles (384-322 SM), menurut

Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda kongkrit atau dalam proses-proses

perkembangannya. Dunia yang nyata adalah dunia yang kita cerap. Bentuk (form)

Page 23: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

22

atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian

aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh George

Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme,

subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak

tergantung pada diketahuinya obyek tersebut.

4. Kritisisme

Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari

empiri (yang meliputi indera dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan,

mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan

waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan

akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-

1804). Kant mensintesakan antara rasionalisme dan empirisme.

5. Positivisme

Tokoh aliran ini diantaranya adalah August Comte,yang memiliki pandangan

sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dkelompokkan menjadi tiga

tahap, yaitu:

a. Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau

pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh tahyul-

tahyul sehingga subjek dengan obyek tidak dibedakan.

b. Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan

memikirkan kenyataan akan tetapi belum mampu membuktikan dengan

fakta.

c. Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan

hukum-hukum dan saling hubungan lewat fakta. Maka pada tahap ini

pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta (Harun

H, 1983: 110 dibandingkan dgn Ali Mudhofir, 1985: 52, dlm Kaelan, 1991: 30)

6. Skeptisisme

Menyatakan bahwa pencerapan indera adalah bersifat menipu atau

menyesatkan. Namun pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme

Page 24: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

23

medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman

diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).

7. Pragmatisme

Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan namun

mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari

pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah

dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran

ini, antara lain: C.S Pierce (1839- 1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah

manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu

rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran

yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita saksikan. (Ali Mudhofir, 1985:

53, dalam Kaelan 1991: 30). Tokoh lain adalah William James (1824-1910, dalam

Kaelan 1991: 30), menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal adalah

ditentukan oleh akibat praktisnya.

H. Metodologi memperoleh pengetahuan

Jenis–jenis pengetahuan dapat dibedakan menjadi:

1. Dari keilmiahannya

a. pengetahuan ilmiah, yang memiliki beberapa ciri pengenal sebagai berikut:

1) berlaku umum,

2) mempunyai kedudukan mandiri,

3) mempunyai dasar pembenaran,

4) sistematik, dan

5) intersubjektif.

b. pengetahuan nir ilmiah. dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat

dibedakan menjadi:

1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge,common sense knowledge)

Pengetahuan ini bersifat subjektif, artinya amat terikat pd subjek yang

mengenal. Sehingga memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk

memperolehnya bersifat normal, tidak ada penyimpangan.

2) Pengetahuan ilmiah

Pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik

dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas. Kebenarannya

Page 25: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

24

bersifat relatif, karena selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh

hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan kata lain kebenarannya

selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian paling

akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan di

bidangnya.

3) Pengetahuan filsafati

Pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran

filsafati. Sifat pengetahuannya mendasar dan menyeluruh dengan model

pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah

absolut inter-subjektif. Maksud absolut inter-subjektif adalah nilai

kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu

merupakan pendapat yang melekat pada pandangan seorang filsuf serta

mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan

metodologi pemikiran yang sama.

4) Pengetahuan agama

Pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama

tertentu. Sifat dari pengetahuan ini adalah dogmatis, artinya pernyataan

dalam ayat-ayat kitab suci memiliki nilai kebenaran sesuai dengan

keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan kebenaran

maksud dari ayat dalam kitab suci bersifat absolut, meskipun dalam

implikasi pemaknaannya mungkin berkembang secara dinamik sesuai

dengan perkembangan waktu dan pemahaman orang yang

memaknakannya.

Karakteristik pengetahuan dapat dibedakan menjadi:

pengetahuan inderawi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas sense

(indera) atau pengalaman manusia sehari-hari.

pengetahuan akal budi, yaitu pengetahuan yang didasarkan atas kekuatan

ratio.

pengetahuan intuitif, yaitu pengetahuan yang memuat pemahaman secara

cepat.

pengetahuan kepercayaan/pengetahuan otoritatif, yaitu pengetahuan yang

dibangun atas dasa kredibilitas seorang tokoh atau sekelompok orang yang

dianggap profesional dalam bidangnya.

Page 26: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

25

Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi

jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk

menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud

metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu

hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian

epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan

metode analisa sejarah.

I. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu-Ilmu Lain

1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu

yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang

digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal

sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan

memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan

dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah,

karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan,

maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu

hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih

perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang

diragukan.

2. Hubungan epistemologi dengan Filsafat. Pengertian umum filsafat adalah

pengenalan terhadap eksistensi (ontologi), realitas eksternal, dan hakikat

keberadaan. Sementara filsafat dalam pengertian khusus (metafisika) adalah

membahas kaidah-kaidah umum tentang eksistensi[9]. Dalam dua pengertian

tersebut, telah diasumsikan mengenai kemampuan, kodrat, dan validitas akal

dalam memahami hakikat dan realitas eksternal. Jadi, epistemologi dan ilmu

logika merupakan mukadimah bagi filsafat.

3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi)

ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan

penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu

tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab

suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu

Page 27: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

26

tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan

agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan

hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan

pembahasan epistemologi.

J. Syarat Ilmu Pengetahuan

Syarat ilmu pengetahuan merupakan pembatas atau ukuran suatu penelitian

dapat dipertanggungjawabkan sebagai ilmu. Beberapa syarat pokok ilmu

pengetahuan, adalah:

1. Ada obyeknya, obyek tertentu yang diselidiki sebagaimana adanya (obyektif).

2. Obyek tersebut diselidiki dengan menggunakan metode atau cara tertentu. Jadi

syarat yang kedua adalah metodis.

3. Penelitian demi penelitian akan selalu menghasilkan kesimpulan, yang telah

diketahui, disusun, diorganisasi, diklasifikasi, digolong-golongkan. Dari

kesimpulan muncullah asas umum, asas khusus (berupa dalil, thesis, prinsip,

aksioma, hukum). Semua ini merupakan satu sistematika. Jadi syarat ketiga

adalah adanya sistematika keilmuan (sistematis)

4. Semua aktivitas penelitian ilmiah dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan

manusia. Syarat keempat adalah kecenderungan berkembang, dinamis, dan

manfaat. Jadi hasrat penelitian ilmu pengetahuan bukan semata-mata di dorong

oleh hasrat ingin tahu (science for the seek of science atau intellect par

excellence). Manusia terdorong melakukan penelitian untuk kesejahteraan

manusia lahir dan batin, untuk mengembangkan kepribadian. Kepribadian

orang berilmu seperti pepatah: seperti padi, makin berisi makin menunduk,

semakin berilmu, makin sabar, rendah hati, makin baik, arif bijaksana. Dapat

pula dikatakan syarat keempat adalah tujuan yang luhur. Dari keempat syarat

diatas, menunjukkan perwujudan ilmiah berlaku bagi semua jenis ilmu.

K. Obyek Epistomologi

Obyek material epistomologi adalah pengetahuan, sedangkan obyek formalnya

adalah hakikat pengetahuan. Setiap perangkat aturan untuk menguji berbagai

Page 28: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

27

tuntutan yang dapat menjadikan kita memilliki pengetahuan harus benar-benar

mapan, karena definisi tentang ”kepercayaan”, ”kebenaran” merupakan masalah

yang tetap dan terus ada, sehingga teori pengetahuan merupakan suatu bidang

utama dalam penyelidikan filsafat. Definisi ilmu pengetahuan, beberapa

pengertian/definisi mengenai ilmu pengetahuan:

1. Webster’s New Word Dictionary, yang artinya: ”Ilmu pengetahuan: semua yang

telah diamati atau dimengerti oleh jiwa (pikiran) belajar, dan sesuatu yang telah

jelas”.

2. Runes dalam ”Dictionary of Philosophy”: “Ilmu pengetahuan berhubungan

dengan “tahu” (yang diketahui), kebenaran yang dimengerti. Lawan dari

pendapat, tetapi di bawah tarafnya jika dibandingkan dengan kebenaran”.

3. ”American Peoples Encyclopedia”: ”Ilmu pengetahuan, suatu kesadaran penuh

dan terbuktikan dari suatu kebenaran mengenai sesuatu: bersifat praktis, suatu

kesadaran yang teratur, tersusun tentang apa pun yang secara definitif dapat

diterima sebagai realita”.

Ilmu pengetahuan meliputi, baik yang ada dalam perbendaharaan kebudayaan

manusia maupun dalam pribadi-pribadi cendekiawan. Ilmu akan selalu mengalami

proses perkembangan sejalan dengan perkembangan kepribadian manusia

cendekiawan itu melalui segala usaha penelitian dan pengembangan yang mereka

laksanakan. Antara ilmu pengetahuan dan kepribadian ada aksi positif saling

membina. Semakin banyak tantangan sosial, alamiah, hidup dan sebagainya,

semakin berkembang pula ilmu pengetahuan, sebab pada hakikatnya pengetahuan

adalah usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup lahir dan batin.

Ilmu yang telah dimiliki seseorang akan mendorong pribadi untuk lebih dinamis,

energik dalam menjelajahi ”lautan ilmu yang tak terbatas”, semakin berilmu

pribadi seseorang semakin haus, semakin tahu manusia, semakin manusia tersebut

merasa bodoh. Dengan demikian menunjukkan ilmu memiliki watak dinamis,

progresif, menjadi asas pembina kepribadian. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa epistemologis merupakan kunci pengembangan ilmu.

Ilmu yang berkembang di dalam masyarakat dapat menjadi faktor luar yang

membantu perkembangan potensi pribadi manusia. Dengan pengertian (teoretis)

dan penguasaan (praktik) ilmu pengetahuan, sebagai prestasi manusia yang ideal

Page 29: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

28

tercapai. Masuk dalam kategori ini adalah kemampuan kreatif, karya kebudayaan

dan ilmiah merupakan prestasi kepribadian. Pengetahuan dan manusia merupakan

satu integritas, pengetahuan adalah fungsi kepribadian manusia.

L. Landasan Aksiologi Ilmu

Landasan aksiologi ilmu menyangkut permasalahan pertama, apakah ilmu

mendekatkan manusia pada kebenaran Tuhan itu sendiri. Kedua, apakah ilmu

bermanfaat bagi kehidupan manusia itu sendiri. Ketiga, apakah ilmu itu bebas nilai

atau tidak bebas nilai, sebab nilai-nilai menyatu dengan ilmu itu sendiri.

M. Makna Aksiologi Ilmu

Makna aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan

kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan,

termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi,

dan aksiologi. Aksiologi ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat

nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang

kefilsafatan.

Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari

pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah

memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan

kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk

sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan

malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas

persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan

mengancam keselamatan umat manusia.10

N. Hakikat dan Makna Nilai

Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:

orang dapat mengatakan bahwa:11

10 Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2000: 91) 11 Kattsoff, (1996: 331)

Page 30: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

29

1. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif

Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang

diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada

pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan

“subjektivitas”.

2. Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat

dalam ruang dan waktu

Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui

akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.

3. Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan

Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa “nilai” memiliki bermacam makna,

diantaranya:12

1. Mengandung nilai (artinya berguna)

2. Merupakan nilai (artinya “baik” atau “benar” atau “indah”)

3. Mempunyai nilai (artinya, merupakan obyek keinginan, mempunyai kualitas

yang dapat menyebabkan orang mengambil sikap “menyetujui”, atau

mempunyai sifat nilai tertentu)

4. Memberi nilai (artinya, menanggapi sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau

sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu).

O. Kegunaan dan Nilai Ilmu

Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untk kebaikan manusia tanpa

merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama

dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan

dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai

kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi

kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan

berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu

merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang

obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan

12 Ibid (1996: 332)

Page 31: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

30

keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan

dirinya sendiri.

Ilmu merupakan wahana dalam menjawab semua permasalahan (sampai batas

tertentu), berdasarkan pemahaman yang dimiliki sekaligus ilmu mampu

memprediksikan masa depan walaupun banyak hal yang kadang terjadi di luar

dugaan. Peradaban manusia sekarang ini tak lepas dari perkembangan ilmu dan

teknologi. Berkat kemajuan ilmu dan teknologi, pemenuhan kebutuhan manusia

bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan

kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,

pendidikan, dan komunikasi.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang

mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi ilmu bukan saja

menimbulkan gejala dehumanisasi, namun bahkan kemungkinan mengubah

hakikat kamanusiaan itu sendiri, atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi

merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga

menciptakan tujuan hidup itu sendiri. “bukan lagi Goethe yang menciptakan Faust.”

Meminjamkan perkataan ahli ilmu jiwa terkenal Carl Gustav Jung,” melainkan faust

yang menciptakan Goethe.”

Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari

alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat

seharusnya: untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dimana batas

wewenang penjelajahan keilmuan? Ke arah mana perkembangan keilmuan harus

diarahkan? Pertanyaan semacam ini jelas tidak merupakan urgensi bagi ilmuan

seperti Copernicus, Galileo dan ilmuwan seangkatannya; namun bagi ilmuan yang

hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan

hidup dalam bayangan kekhawatiran perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan

ini tak dapat dielakkan. Dan untuk menjawan pertanyaan ini maka ilmuan berpaling

kepada hakikat moral.

Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh kaum ilmuwan dan humanis.

Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain:

untuk apa ilmu digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun

pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan

Page 32: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

31

tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya

tidak berarti bahwa perkembangan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang

gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya dibatasi.

Sebenarnya sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-

masalah moral namun dalam perspektif yang berbeda. Ketika Copernicus (1473-

1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa

“bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti apa

yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral

(yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik

ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain,

terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-

nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran diluar bidang keilmuan di antaranya

agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang

berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo (1564-

1642), oleh pengadilan agama tersebut, dipaksa untuk mencabut pernyataanya

bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.

Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela

mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap

benar. Peradaban telah menyaksikan sokrates di paksa meminum racun dan John

Huss dibakar. Dan sejarah tidak berhenti di sini: kemanusiaan tak pernah urung di

halangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka ilmuwan mudah

sekali tergelincir dapat melakukan prostitusi intelektual. Penalaran secara rasional

yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini berganti

dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. “segalanya

punya moral,” kata Alice dalam petualangannya di negeri ajaib, “asalkan kau

mampu menemukannya.” (adakah yang lebih kemerlap dalam gelap; keberanian

yang esensial dalam avontur intelektual?).

Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keimuan suatu

pengetahuan yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini

dimungkinkan karena adanya kemampuan manusia melakukan artikulasi dan

manipulasi terhadap kejadian-kejadian alam untuk kepentingannya. Kepentingan

manusia sangat ditentukan oleh motif dan kesadaran yang ada pada manusia itu

sendiri. Jadi fokus persoalan ilmu pengetahuan pada tingkat aksiologis ini ada pada

Page 33: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

32

manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat

membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya

ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran

aksiologis.

Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah

berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa

ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan

kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan

pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan

operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?13

Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah

hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu

sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek

negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk

mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut

dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan

menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat

hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan

mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati

nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang

melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan

mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.

13 Jujun S. Suriasumantri (1996: 34-35)

Page 34: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

33

Penutup .....

Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak

mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang

tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah

segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan

diidentifikasi menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan

yang tidak bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh

manusia disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa

diukur secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengan

kata lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah

sebaliknya.

Realitas materi mempunyai banyak ciri-ciri yaitu;

1. terbatas ruang dan waktu;

2. dapat dibagi;

3. tersusun oleh sesuatu yang lain;

4. memiliki ukuran kuantitatif (dapat diukur secara kuantitatif).

Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain

sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh dari

realitas nonmateri adalah akal, jiwa, pikiran dll.

Pentingnya pembahasan ontologis berkaitan dengan pembuktian kebenaran

pikiran dari isi yang dikandung oleh pikiran. Apakah sebuah pengetahuan sesuai

dengan realitas atau tidak. Jika tidak, maka pengetahuan tersebut bernilai salah.

Selain itu ontologi juga digunakan untuk menetapkan batas-batas dari obyek

pengetahuan atau ilmu yang sedang dibahas. Jika obyeknya adalah materi, maka

batasannya juga harus materi. Jika obyeknya nonmateri, maka batasannya juga

nonmateri.

Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat

menghukumi bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas

tentang kursi misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat

kursi itu, misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain

sebagainya.

Page 35: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

34

Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan

pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu

apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak. Jika

tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh

orang lain.

Secara garis besar, dalam epistemologi cara mendapatkan pengetahuan ada

dua yaitu secara ilmiah dan secara tidak ilmiah. Pengetahuan secara ilmiah bukan

berarti lebih benar dari pengetahuan secara tidak ilmiah. Pembagian ini hanya

didasarkan pada dapat atau tidaknya semua orang memperoleh pengetahuan

tersebut.

Pengetahuan secara ilmiah didapat melalui dua hal yaitu secara rasional dan

secara empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara mendapatkan

pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Adapun pengetahuan secara

empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataan

empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut karena semua

manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi. Potensi akal manusia

mutlak sama, sedangkan potensi inderawi manusia tidak mutlak sama tetapi

mempunyai kemiripan yang erat.

Pengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah bisa terjadi dengan berbagai

cara seperti melalui wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang

dipercaya. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari

oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang-

orang yang tidak mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya.

Aksiologi membahas tentang nilai suatu pengetahuan. Nilai dari sesuatu

tergantung pada tujuannya. Maka pembahasan tentang nilai pengetahuan tidak

dapat dipisahkan dari tujuannya. Masing-masing manusia memang mempunyai

tujuan sendiri. Namun pasti ada kesamaan tujuan secara obyektif bagi semua

manusia. Begitu juga dengan pengetahuan. Semua pengetahuan memiliki tujuan

obyektif.

Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari

pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari

Page 36: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

35

kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau

untuk merusak diri.

Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda. Pertama

adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini disebut

sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran bersifat

relatif (Relativisme).

Pembahasan tentang aksiologi begitu penting karena jika pengetahuan yang

didapatkan manusia tidak dapat dipastikan atau dimutlakkan kebenarannya, maka

bagaimana mungkin manusia dapat menyusun sebuah ilmu. Bagaimana pula

manusia akan menentukan pilihan jika antara satu pilihan dengan pilihan lain

bernilai sama, yaitu relatif.

Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika

dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relatif

panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika

dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari

pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu

pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah. Jika suatu

pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu

juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan

pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.

Page 37: Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Ilmu

36

Referensi .....

Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan.

Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan.

Surabaya: Pancasila Usaha Nasional.

Noeng Muhadjir. (2001). Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif.

Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.

Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset.

S. Burhanudin. (1997). Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Rineka

Cipta.

Suparlan Suhartono. (2007). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Kelompok Penerbit Ar-

Ruzz Media.

Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

The Liang Gie. (2000). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2000) . Filsafat Ilmu. Yogyakarta:

Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat.