Bab III Herpes Zoster

18
BAB III HERPES ZOSTER Definisi Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes Zoster 1 Epidemiologi Pada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia lebih tua 2 Etiologi Varicella zoster virus (VZV) merupakan family human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat

description

medis

Transcript of Bab III Herpes Zoster

BAB III HERPES ZOSTER

Definisi Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes Zoster 1 EpidemiologiPada usia di bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat pada usia lebih tua 2

EtiologiVaricella zoster virus (VZV) merupakan family human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles) 2

Patogenesis Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan motorik 1

Gambar 2 Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)Gambaran Klinis

Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama 2-4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder 4Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya. Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena 4

Gambar 3 Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)DermatomDermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan 3Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan tempat kerusakan saraf-saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat muncul sebagai lesi pada dermatom tertentu 3

Gambar 4 Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus)Komplikasi

1. Postherpetic neuralgia

Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling sering terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster dan merusak saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia. Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya sakit dan mati rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang 1

Gambar 5 Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick)

Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau radioterapi, infeksi HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor resiko 1Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit) 1Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat 22. Herpes Zoster OftalmikusHerpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga mempengaruhi cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra juga harus diperhatikan. Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis retina akut 1

Gambar 6 Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick)

Diagnosis

Penegakan diagnosis Herpes Zoster umumnya didasari gambaran klinis. 5 Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya (1) gejala prodromal berupa nyeri, (2) distribusi yang khas dermatomal, (3) vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul, (4) beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus sensorik, (5) tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan herpes simpleks zosteriformis), (6) nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam 21. Pemeriksaan laboratorium a. Tzank smear Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian diwarnai dengan perwarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsas, Wrights,toluidine blue ataupun papanicolaous. Dengan menggunakan mikrokop cahaya akan dijumpai multibucleated giant cells Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84% dan tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virus

Gambar 7 Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zosterb. Direct fluorescent assay (DFA) Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta Dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes simpleks virusc. Polymerase Chain Reaction (PCR) Digunakan jenis preparat seperti scraping dasar vesikel dan apabila sudah terbentuk krusta dapat juga digunakan sebagai preparat, dan CSF Tes ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zosterd. Biopsi kulitHasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intrapidermal dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya lymphocytic infiltrate 1, 2

Diagnosis Banding

1. Herpes simpleks Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi awal HHV asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik berupa varicella. HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi jika sisstem imun tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes simpleks sendiri (HSV), bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat eritematosa, maupun erosi kecil 1 Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas, berupa vesikel serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul, membaik dalam 3-4 hari kemudian 1Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering ditemukan di wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering bermanifestasi sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi pada HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi 12. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal terdapat di daerah setinggi jantung 1,2

Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan Herpes Zoster adalah mempercepat proses penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta mengurangi resiko komplikasi. Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri dapat diberikan analgetik golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500mg per hari, indometasin 3 x 25 mg per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari. Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik. Sedangkan pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut :

1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster oftalmikus). Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis yang akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular lainnya 2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun 3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan pemberian antiviral intravena 4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan pasca transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi dilanjutkan hingga seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps5. Pasien dengan dermatitis atopik berat Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya, seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi. Dosis asiklovir adalah 5 x 800mg per hari dan umumnya diberikan selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan antiviral lainnya adalah valasiklovir 3 x 1000mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x 250 mg per hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir. Obat diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru tidak timbul lagi 1,2 Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak kalamin atau phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah pecah dapat diberikan antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder. Bila lesi bersifat erosif dan basah dapat dilakukan kompres terbuka 1Sebagai edukasi, pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent 2Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut : 1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada malam hari2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100-300 mg per hari 3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin atau antidepresan trisiklik saja 4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya dapat menimbulkan sensasi terbakar; dan5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.

Pada herpes zoster optikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk mencegah paralisis dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari, kemudian perlu dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya dikombinasikan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat kontraindikasi kortikosteroid seperti diabetes mellitus.Pada komplikasi seperti ini, rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan 1, 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia2. Dumasari R. Varicella Dan Herpes Zoster. 2008. Medan : Departemen Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran.3. Baehr M, Frotscher M. Duus Topical Diagnosis In Neurology. 2005. Ed 4th. New York: Thieme.4. Dameria. Pengobatan Herpes Zoster (HZ) Ophtalmica Dextra Dalam Jangka Pendek Serta Pencegahan Postherpetic Neuralgia (PHN). 2014. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia. Jurnal Ilmiah Widya Vol.2 No.3 ISSN 2338-7793.