Refrat Herpes Zoster

20
Penatalaksanaan Neuralgia Pascaherpetik pada Herpes Zoster Said Syabri Albana, S.Ked Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mochammad Hoesin Palembang A. Pendahuluan Neuralgia pascaherpetik adalah komplikasi paling umum dan menakutkan pada herpes zoster, serta merupakan penyakit neurologis yang paling umum di Amerika Serikat. Data dari Varicella Zoster Virus Research Foundation di New York menunjukkan bahwa herpes zoster terjadi pada 850.000 orang di Amerika setiap tahunnya. Neuralgia pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri persisten yang terjadi satu bulan setelah penyembuhan ruam hepatic, yang terjadi pada sekitar sepuluh persen pasien dengan herpes zoster.(Watson, 2000) Neuralgia pascaherpetik ditandai dengan nyeri yang terjadi secara spontan, dimana nyeri diprovokasi oleh rangsangan yang ringan, dan nyeri ini terjadi lama setelah penyembuhan ruam herpetik. Banyak pendekatan telah diusulkan untuk mengobati rasa sakit pada masa akut penyakit ini untuk menghindari berkembangnya nyeri menjadi neuralgia pascaherpetik dan untuk meringankan gejala pada neuralgia ini. Namun hanya sedikit dari pendekatan ini yang terbukti bermanfaat, dan neuralgia pascaherpetik pun masih menjadi sumber frustasi bagi pasien ataupun klinisi. Pada penulisan 1

Transcript of Refrat Herpes Zoster

Page 1: Refrat Herpes Zoster

Penatalaksanaan Neuralgia Pascaherpetik pada Herpes Zoster

Said Syabri Albana, S.KedKepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr. Mochammad HoesinPalembang

A. Pendahuluan

Neuralgia pascaherpetik adalah komplikasi paling umum dan menakutkan pada

herpes zoster, serta merupakan penyakit neurologis yang paling umum di Amerika Serikat.

Data dari Varicella Zoster Virus Research Foundation di New York menunjukkan bahwa

herpes zoster terjadi pada 850.000 orang di Amerika setiap tahunnya. Neuralgia

pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri persisten yang terjadi satu bulan setelah

penyembuhan ruam hepatic, yang terjadi pada sekitar sepuluh persen pasien dengan herpes

zoster.(Watson, 2000)

Neuralgia pascaherpetik ditandai dengan nyeri yang terjadi secara spontan, dimana

nyeri diprovokasi oleh rangsangan yang ringan, dan nyeri ini terjadi lama setelah

penyembuhan ruam herpetik. Banyak pendekatan telah diusulkan untuk mengobati rasa

sakit pada masa akut penyakit ini untuk menghindari berkembangnya nyeri menjadi

neuralgia pascaherpetik dan untuk meringankan gejala pada neuralgia ini. Namun hanya

sedikit dari pendekatan ini yang terbukti bermanfaat, dan neuralgia pascaherpetik pun

masih menjadi sumber frustasi bagi pasien ataupun klinisi. Pada penulisan refrat kali ini,

akan dijelaskan mengenai patogenesis neuralgia pascaherpetik serta perkembangan dalam

pengobatannya.(Kost et al, 1996)

B. Epidemiologi

Angka kejadian herpes zoster tergantung pada prevalensi varisela dan belum ada

bukti yang menyebutkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan dengan kontak langsung

dengan orang yang menderita varisela atau herpes zoster. Insiden herpes zoster ditentukan

oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara host dan virus.(Straus et al, 2008)

Salah satu faktor resiko yang terkuat adalah usia tua. Insiden Herpes zoster di

Amerika Serikat diperkirakan sekitar 2-3 kasus per 1000 penduduk per tahun. Insiden yang

sebenarnya secara signifikan mungkin lebih tinggi lagi mengingat banyaknya pasien yang

tidak datang ke pelayanan kesehatan dan banyaknya kasus yang tidak terdiagnosis.

Umumnya, dalam 10-20% populasi AS, ada 1 atau lebih yang terinfeksi zoster. Insiden

1

Page 2: Refrat Herpes Zoster

Umur (tahun)Bulan setelah onset zoster

Umur (Tahun)

pada indivisu yang memiliki gangguan imun atau pada orang berusia lanjut akan lebih

tinggi, mungkin mendekati 50%.(Kost et al, 1996)

Faktor resiko lainnya adalah disfungsi imun seluler. Pasien yang mengalami

penekanan sistem imun memiliki resiko 20-100 kali lebih besar dibandingkan pasien

dengan imuno kompeten dengan umur yang sama. Kondisi imuno supresi yang

berhubungan dengan tingginya resiko herpes zoster adalah infeksi human

immunodeficiency virus (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma,

penggunaan kemoterapi, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi

oportunistik pada orang yang terinfeksi HIV, dan pada individu lain, herpes zoster

merupakan pertanda awal adanya defisiensi imun. (Straus et al, 2008)

Resiko terkena neuralgia pascaherpetik meningkat sesuai dengan meningkatnya

umur. Sedikit sekali anak-anak yang terkena neuralgia pascaherpetic, sedangkan berturut-

turut 27, 47, dan 73 persen peningkatan angka kejadian neuralgia pascaherpetik pada orang

dewasa diatas 55, 60, dan 70 tahun. Begitu pula dengan lamanya nyeri yang terjadi pada

pasien neuralgia pascaherpetic terjadi peningkatan sesuai dengan peningkatan umur. Nyeri

yang berlangsung lebih dari satu tahun dilaporkan terjadi 4 persen pada penderita usia

diatas 20 tahun, 22 persen pada penderita diatas 22 tahun, dan 48 persen pada usia diatas

70 tahun. Angka kejadian neuralgia pasca hepertik juga meningkat pada pasien dengan

optalmik zoster dan lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki.(Watson et al,

2000)

Gambar 1. A. Epidemiologi herpes zoster dan neuralgia Pascaherpetik. Angka kejadian herpes zoster per

1000 orang pada praktek kedokteran. B. Persentase pasien dengan nyeri yang tetap berlangsung setelah ruam

herpes zoster. C. Proporsi pasien dengan neuralgia pascaherpetik berdasarkan usia. (Straus et al, 2008)

2

A B C

Page 3: Refrat Herpes Zoster

C. Etiologi

Varicella zoster virus (VZV) adalah anggota keluarga virus herpes. Virus lain yang

patogenik pada manusia adalah herpes simplex virus-1(HSV-1) dan HSV-

2,cytomegalovirus, Eipstein-Barr virus, human herpes virus-6 (HHV-6) dan HHV-7, yang

menyebabkan roseola. Dan Sarkoma Kaposi yang berhubungan dengan virus herpes

dikenal sebagai HHV-8.Gen VZV mengkode sekitar 70 gen yang kebanyakan memiliki

rangkaian DNA dan memiliki fungsi yang homolog dengan gen pada virus herpes lainnya.

Secara cepat produk gen meregulasi replikasi VZV. Produk gen seperti virus-specific

thymidine kinase dan polimerase DNA virus mendukung replikasi virus. (Johnson et al,

2009)

Gambar 2. Varicella zoster virus ( Burns, 2004)

D. Patogenesis

Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi droplet dari

nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau sebelum hari ke-5

setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak virus dan perannya dalam

transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak bersifat infeksius.(James et al, 2006)

Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis posterior

atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus bersembunyi di

dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal ini menyebabkan

timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan dengan ganglion

tersebut. (Straus et al, 2008)

3

Page 4: Refrat Herpes Zoster

Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas tertinggi

untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis sensoris dari T1-L2.

Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno supresi, stres emosional, tumor yang

menyerang ganglion dorsal, trauma lokal atau manipulasi pada pembedahan spinal dan

sinusitis frontal. (Johnson et al, 2009)

Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent, begitu

pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang selanjutnya

memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan neuropeptida yang

terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama fase prodormal dan akut

pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya interneuron inhibitor pada ganglion

spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf perifer sangat penting dalam patogenesis

dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini

hipersensitivitas dan aktif secara spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara

klinis mekanisme ini berakhir pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang tidak

menyenagkan yang terjadi oleh rangasangan normal yang tidak menyakitkan).(Straus et

al, 2008)

Fungsi normal sensoris tubuh mengalami perubahan pada pasien dengan neuralgia

pascaherpetik. Dalam salah satu studi dikatakan hampir semua pasien memiliki daerah

bekas luka yang insensitive untuk nyeri, dengan sensasi yang abnormal terhadap sentuhan

ringan ataupun perubahan suhu pada dermatom yang terkena. Nyeri umumnya dipengaruhi

oleh gerakan (allodynia mekanis) atau perubahan suhu (allodynia hangat ataupun dingin).

(Kost et al, 1996)

Rasa nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia pascaherpetik

bersifat neuropatik dan merupakan hasil dari cedera yang terjadi pada susunan saraf tepi

dan perubahan pada penghantaran sinyal pada sistem saraf pusat. Akibat cidera yang

terjadi, sususan saraf yang terkena dapat teraktivasi secara spontan, serta memiliki ambang

aktivasi yang lebih rendah dan memberikan tanggapan yang berlebihan terhadap suatu

rangsangan. Peubahan-perubahan yang terjadi ini begitu rumit sehingga tidak ada

pendekatan terapi tunggal untuk menagani kelainan ini.(Kost et al, 1996)

E. Gejala Klinis

Periode inkubasi virus varisela zoster adalah selama 14 hari (rata-rata 10-23 hari).

1. Gejala prodromal

4

Page 5: Refrat Herpes Zoster

Gejala prodromal yang timbul antara lain: demam, anoreksia, dan kelesuan,

meskipun gejalanya biasanya ringan dan bisa saja tidak berhubungan dengan gejala klasik

pada zoster. Zoster dapat muncul dengan respon sistemik, misalnya Gejalanya meliputi

fenomena sensoris yang menyerang 1 atau lebih dermatom kulit pada hari 1-10, yang

biasanya berupa nyeri atau parestesi meskipun jarang terjadi. Nyeri prodormal dapat

menstimulasi timbulnya sakit kepala, iritis, neuritis brakhialis, nyeri kardiak, apendisitis

atau penyakit intraabdomen lainnya yang dapat menyulitkan diagnosis. Setelah timbulnya

onset gejala prodormal, gejala dan tanda yang akan terjadi selanjutnya meliputi:

Patch eritem yang disertai indurasi, yang mengenai area dermatom yang terlibat.

Limfadenopati regional bisa terjadi pada stadium ini atau sesudahnya.

Lesi yang timbul pada kulit biasanya bersifat unilateral dan alasannya belum

diketahui. (Straus, 2008)

Area yang diinervasi oleh saraf trigeminal, khususnya divisi optalmik dan trunkus

dari T3-L2 adalah area yang paling sering terkena, lesi jarang terjadi pada area distal dari

siku dan lutut. Meskipun lesi individual antara varisela dengan herpes zoster sulit

dibedakan, dimana herpes zoster cenderung berkembang lebih lambat dan biasanya terdiri

dari vesikel dengan dasar eritem. Lesi herpes zoster diawali dengan makula dan papul

eritem yang pertama kali muncul di cabang supervisial dari saraf sensoris yang terkena.

Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam dan berubah menjadi pustul setelah 3 hari. Dan

kemudian mengering dan menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta biasanya bertahan selama

2-3 minggu. Pada individu normal, lesi baru akan muncul dalam 1-4 hari. Ruam akan

lebih parah pada orang berusia tua dan timbul dalam durasi yang singkat pada anak-anak.

(Johnson et al, 2009)

Zoster juga dapat melibatkan sistem motorik. Hal ini terjadi pada 5% kasus dan

umumnya terjadi pada pasien berusia tua dan menderita suatu penyakit keganasan, dan

pada pasien dengan penekanan kranial yang melibatkan saraf spinal. Kelemahan

motorik biasanya diikuti dengan nyeri dan erupsi, mulai dari beberapa hari sampai dengan

beberapa minggu. Penyembuhan secara sempurna diperkirakan sebesar 55% dan dan akan

mengalami peningkatan di masa yang akan datang sebesar 30%. Hernia abdominalis pada

terjadi pada zoster yang melibatkan area motorik T10-T11. Zoster pada area anogenital

berhubungan dengan gangguan defekasi dan urinasi.(James et al, 2006)

5

Page 6: Refrat Herpes Zoster

2. Neuralgia Pascaherpetik

Kelanjutan dari zoster yang paling sering adalah post-herpetic neuralgia (PHN)

secara umum didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang selama lebih dari 1

bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat

seiring bertambahnya usia. Hal ini terjadi pada sekitar 30% pasien yang usianya di atas 40

tahun dan lebih sering terjadi dengan keterlibatan saraf trigeminal. Nyeri tersebut

memiliki 2 bentuk, yaitu nyeri seperti terbakar yang terus menerus disertai hiperestesi dan

tipe spasmodik yang timbul tiba-tiba. Allodinia, nyeri yang secara normal disebabkan oleh

stimulus nyeri sering merupakan gejala tambahan yang terjadi pada 90% orang dengan

PHN. (James et al, 2006)

Gambar lesi herpes zoster:

Gambar 3. Herpes zoster dengan kelumpuhan otot wajah (Ramsay Hunt syndrome).(Taylor, 2006)

6

Page 7: Refrat Herpes Zoster

Gambar 4. Zoster Optalmik. (Burns, 2004)

F. Diagnosis

Teknik yang sama yang digunakan untuk mendiagnosis varisela juga digunakan

untuk mendiagnosis herpes zoster. Gejala klinis yang muncul biasanya sudah cukup jelas

untuk menegakkan diagnosis dan pengecatan Tzank dapat mengkonfirmsi dugaan

berdasarkan temuan klinis tersebut. Bentuk zoster lainnya seperti herpes simplex juga akan

memberikan hasil positif pada pengecatan Tzank, tapi jumlah lesi yang timbul lebih

sedikit dan derajat nyeri yang timbul lebih rendah.(Burns et al, 2004)

Pada stadium preerupsi, nyeri prodormal pada herpes zoster sering sulit dibedakan

dengan penyebab lain dari nyeri lokal. Setelah terjadi erupsi, lokasi dan karakter dermatom

dari ruam yang timbul, berpasangan dengan nyeri yang timbul sesuai garis dermatom dan

biasanya akan mengarah pada diagnosis yang jelas. (Johnson et al, 2009)

Untuk menegakkan neuralgia pascaherpetik bila didapatkan sebagai nyeri yang

menetap atau berulang selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. (James et al, 2006)

G. Pemeriksaan Laboratorik

Pemeriksaan laboratorik yang dibutuhkan pada kasus herpes zoster antara lain:

1. Preparat Tzank: Apusan dasar vesikel atau cairan vesikel menunjuukkan sel yang

besar dengan nukleus yang banyak pada sel epidermal.

2. Kultur virus: dengan mengisolasi virus varisela zoster

7

Page 8: Refrat Herpes Zoster

3. Direct fluorescence antibody test (DFA), dan atau biopsi kulit dapat membantu

menegakkan diagnosis pada kasus yang atipikal. Tes DFA lebih sensitif

dibandingkan kultur virus konvensional karena labilitas VZV.

Zoster memiliki kecenderungan 7 kali lebih besar pada pasien yang terinfeksi HIV.

Jadi, jika ada indikasi klinis HIV pada pasien, lakukan tes HIV. Penelitian pada

populasi rumah sakit menunjukkan adanya peningkatan insiden zoster pada pasien

dengan kanker, khususnya yang menyerang sistem limforetikuler. Meskipun

demikian, studi prospektif pada pasien yang tidak dirawat di RS tidak menunjukkan

perbedaan dalam insiden antara pasien dengan keganasan dengan pasien tanpa

menderita penyakit keganasan. (Straus et al, 2008)

H. Pemeriksaan Histologi

Diagnosis klinis hampir selalu dapat ditegakkan. Biopsi diindikasikan untuk kasus

yang sulit untuk didiagnosis. Pada kesempatan yang jarang dimana biopsi dibutuhkan,

gambaran histologi yang ditemukan mirip dengan herpes simplek dan varisela

(chickenpox). Degenerasi yang menggelembung (menyerupai balon) dan akantolisis dari

keratinosit menghasilkan timbulnya vesikel intraepidermal. Multinucleated gient cell

dengan materi nuklear pada perifer adalah ciri khasnya. Dengan vaskulitis leukositoklastik

yang mendasari dapat membantu dalam membedakan zoster dari infeksi herpetik lainnya.

(Straus et al, 2008)

Pada herpes zoster stadium akut, terjadi inflamsi pada kulit serta

serabut saraf ganglion dorsal. Inflamasi pada serabut saraf perifer

terjadi selama seminggu sampai sebulan dan biasanya menyebabkan

demielinisasi, degenerasi wallerian , dan sclerosis. Pada akhirnya

mungkin menyebabkan parut pada kulit, saraf perifer, dan serabut saraf

ganglion dorsal. Perubahan patologis juga terlihat pada system saraf

pusat, yaitu degenerasi akut pada dorsal-horn tulang belakang,

unilateral dan segmental myelitis leptomeningitis, dan keterlibatan

segmen tulang belakang pada tingkat berdekatan dengan lesi kulit yang

terkena. Pada pasien yang telah terkena herpes zoster, atropi dorsal-

horn biasanya ditemukan pada autopsi pasien yang mengalami

neuralgia pascaherpetik.(Kost et al, 1996)

8

Page 9: Refrat Herpes Zoster

I. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada herpes zoster dapat dibagi berdasarkan 2 gejala klinis

1. Stadium prodormal/nyeri lokal: Nyeri prodormal herpes zoster dapat mirip seperti

gejala migren, penyakit kardiak atau paru, abdomen akut, atau penyakit yang

menyerang vertebra.

2. Erupsi dermatom: infeksi zoster bentuk lain seperti herpes zoster, alergi tumbuh-

tumbuhan, dermatitis kontak, impetigo bulosa, erisipelas.(Hefta et al, 1997)

J. Penatalaksanaan

Tujuan utama pada terapi pasien dengan herpes zoster adalah : 1. Membatasi luas,

lama, dan tingkat keparahan nyeri serta ruam pada dermatom primer. 2. Mencegah

timbulnya penyakit penyerta, dan 3. Mencegah terjadinya neuralgia pascaherpetik.

1. Penatalaksanaan Khusus:

a. Agen antiviral

Untuk individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya reaktivasi infeksi

VZV, acyclovir oral dapat menurunkan insiden herpes zoster. Untuk vesikel yang

masih aktif, diberikan pengobatan antiviral yang dimulai kurang dari 72 jam yang

akan mempercepat penyembuhan lesi kulit, mengurangi durasi nyeri akut dan

mengurangi frekuensi PHN. (Hefta et al, 1997)

Pada infeksi primer: Acyclovir topikal-obat yang menghambat polimerase DNA

virus herpes efektif hanya pada durasi singkat dari penyakit, obat ini harus

diberikan sesegera mungkin pada pasien yang mulai menunjukkan gejala.

Steroid (prednisolon 40-60 mg/hari) diberikan selama stadium akut dari herpes

zoster dan mengurangi nyeri dan postherapetic neuralgia.

Pada infeksi sekunder: diberikan 1/1000 potassium permanganate atau topikal

atau antibiotik sistemik.( Buxton et al, 2003)

b. Pengobatan herpes zoster akut

Tujuan pengobatan pada herpes zoster akut adalah untuk meminimal nyeri,

mengurangi pertahanan virus, mempercepat pertumbuhan krusta dan mempercepat

proses penyembuhan luka, mencegah dan meminimalkan terjadinya PHN.6

c. Pengobatan pada stadium prodromal

9

Page 10: Refrat Herpes Zoster

Diawali dengan pemberian agen antiviral setelah diagnosis herpes zoster

ditegakkan, kemudian dilanjutkan dengan pemberian analgetik. (Hefta et al, 1997)

2. Penatalaksanaan Neuragia Pascaherpetik :

Saat pertama kasi didiagnosis, neuralgia pascaherpetik sulit untuk diobati. Untungnya,

penyakit ini dapat sembuh sendiri pada beberapa pasien, walaupun penyembuhan terjadi

setelah beberapa bulan.

A. Pengobatan Topikal

Topikal anestesi menggunakan lidocaine 5% secara signifikan menunjukkan

pengurangan rasa nyeri pada neuralgia pascaherpetik pada suatu uji klinis terkontrol.

Dengan menggunakan koyo berukuran 10cm x 14cm yang mengandung lidocaine 5%

sebagai bahan dasar, perekat ,dan bahan-bahan polister sebagai tambahan sehingga mudah

digunakan dan tidak mengakibatkan efek samping dari lidocaine. Koyo ini dapat

digunakan sampai tiga lembaran koyo untuk menutupi daerah yang terasa nyeri selama 12

jam perhari. Kerugian penggunaan koyo ini terdapat pada daerah yang ditutupi, seperti

kemerahan ataupun ruam pada kulit, serta membutuhkan biaya yang besar. (Straus et al,

2008)

Capsaicin dalam dosis tinggi dapat menghilangkan zat P, yaitu suatu

neurotransmitter yang berfungsi sebagai kemomediator antara impuls dari nosireseptor di

perifer ke sistem saraf pusat. Pada suatu uji klinis penggunaan capsaicin topical

dalamwaktu 4 minggu menunjukkan efek yang signifikan dalam meredakan nyeri pada

pasien neuralgia pascaherpetik, dimana 75 persen patien menunjukkan penyembuhan rasa

nyeri. Sayangnya obat salep ini banyak menyebabkan luka bakar pada banyak pasien.

(Kost et al, 1996)

B. Pengobatan Sistemik

Gabapentin menunjukkan angka yang signifikan dalam menurunkan gejala nyeri

pada neuralgia pascaherpetik, yaitu menghilangkan gejala pada 41-43 persen pasien

dengan neuralgia pascaherpetic berbanding 12 – 23 persen pasien yang menggunakan

placebo. Efek samping yang paling sering pada Gabapentin yaitu somnolen, pusing, dan

edema perifer.

10

Page 11: Refrat Herpes Zoster

Pregabalin menunjukkan dapat menghilangkan gejala pada 50 persen pasien yang

menggunakannya berbanding dengan 20 persen pada placebo. Pusing, somnolen, dan

edema perifer merupakan efek samping utama penggunaan obat ini, namun pregabalin

memiliki komplikasi yang lebih minimal dan onset kerja yang lebih cepat dibandingkan

dengan gabapentin. (Straus et al, 2008)

Tricyclic antidepressant merupakan komponen penting dalam pengobatan neuralgia

pascaherpetik. Karena kemampuanya menghambat pengambilan kembali norepinephrine

dan serotonin, obat ini menurunkan nyeri dengan meningkatkan penghambatan pada

serabut saraf spinal pada persepsi rasa nyeri. Pada lima uji klini penggunaan tricycclic

antidepressant untuk pengobatan neuralgia pascaherpetik dilaporkan menurunkan sampai

menghilangkan rasa nyeri pada 47 sampai 67 persen pasien dengan neuralgia

pascaherpetik. Nortripytyline dan desipramine adalah obet alternative untuk amitriptyline

karena memiliki efek samping yang lebih minimal.(Kost et al,1996)

Dalam suatu uji klinis, desipramine yang merupakan selective inhibitor of

norepinephrine reuptake juga dilaporkan secara signifikan mengurangi rasa sakit pada

pasien neuralgia pasca herpetic pada pemberian selama tiga sampai enam minggu. Namun

obat ini belum dibandingkan dengan amitriptyline.(Kost et al,1996)

Obat-obat antikonvulsan dapat menurunkan nyeri pedih pada komponen nyeri

neuropatik. Dalam sebuah studi terkontrol, sebagian besar pasien yang diobati dengan

fenitoin dan natrium valproat melaporkan penurunan gejala nyeri neuralgia pascaherpetik.

Dalam studi double-blind terkontrol, karbamazepin dilaporkan dapat mengurangi nyeri

pedih tetapi tidak efektif untuk sakit yang terus menerus.(Kost et al,1996)

3. Intervensi Nonpharmacologi

Prosedur pembedahan saraf merupakan jalan terakhir yang dapat diambil dalam

pengobatan neuralgia pascaherpetik dengan nyeri yang tidak tertahankan. Dalam suatu

penelitian kecil dinyatakan pemberian stimulasi listrik pada cordotomy thalamus dan

anterolateral yang dimaksudkan untuk mengganggu jalur spinotalamikus dapat

menurunkan nyeri pada pasien dengan neuralgia pascaherpetik.

Elektrokoagulasi pada cabang saraf dorsal pada daerah yang terkena pernah

dilakukan, namun teknik ini memiliki resiko besar karena dapat menyebabkan hemiparese

berkepanjangan dan defisit sensorik sehingga konsensus baru-baru ini tidak menganjurkan

penggunaan teknik ini.

11

Page 12: Refrat Herpes Zoster

Data dari sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa etil klorida semprot yang

dengan cepat dapat menguap dan menyebabkan sensasi beku serta memberikan stimulasi

listrik pada saraf dikatakan dapat menghilangkan rasa sakit pada beberapa pasien neuralgia

pascaherpetik. (Kost et al, 1996)

Pada suatu penelitian uji klinis terkontrol penggunaan intratektal

methylprednisolone-lidokain dilaporkan memberikan efek yang sangat baik dalam

menurunkan rasa nyeri pada neuralgia pascaherperik yaitu sebesar 90 persen pasien, hal ini

berbading dengan 6 persen pada pasien yang hanya mendapatkan lidokain intratektal. Pada

kelompok yang mendapatkan metilprednisolon-lidokain intratektal jugamenunjukkan

perbaikan akan allodynia yang dialaminya yaitu sebesar 70 persen, berbanding dengan 25

persen pada pasien yang hanya mendapatkan lidokain intratektal. Dasar dari penelitian ini

didasarkan pada proses inflamasi yang terjadi pada pasien neuralgia pascaherpetik. Selama

penelitian ini, tidak ada pencatatan efek samping berat yang terjadi seperti arachnoiditis

ataupun efek neurotoksik dari prednisolono sendiri. (Kotani et al, 2000)

K. Kesimpulan

Neuralgia Pascaherpetik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap atau berulang

selama lebih dari 1 bulan setelah onset zoster. Ini jarang terjadi pada anak-anak dan

insidennya meningkat seiring bertambahnya usia. Patogenesis yang terjadi pada kelainan

ini begitu rumit sehingga tidak ada pendekatan terapi tunggal untuk menagani kelainan ini.

Sehingga neuralgia pascaherpetik pun masih menjadi sumber frustasi bagi pasien ataupun

klinisi.

Banyak pendekatan telah diusulkan untuk mengobati rasa sakit pada masa akut

penyakit ini untuk menghindari berkembangnya nyeri menjadi neuralgia pascaherpetik dan

untuk meringankan gejala pada neuralgia ini. Namun hanya sedikit dari pendekatan ini

yang terbukti bermanfaat.

Ketika seorang dokter mengobati pasien dengan neuralgia posherpetik, maka harus

dimulai dengan pengobatan yang paling sederhana dan teraman, seperti koyo lidokain 5%

dan kemudian jika perlu mencoba salah satu antidepresan, seperti nortriptyline, atau

antikonvulsan seperti gabapentin. Pasa saat yang bersamaan juga mungkin dapat dicoba

penggunaan opioid oral. Penggunaan intratektal kortikosteroid sebaiknya diberikan pada

pasien yang tidak memiliki respon terhadap tindakan lainnya. Dengan harapan dimasa

depan dengan langkah-langkah pencehagan seperti vaksinasi awal, serta pengobatan yang

12

Page 13: Refrat Herpes Zoster

agresif terhadap herpes zoster dapat mengurangi angka kejadian kasus neuralgia

pascaherpetik.(Watson, 2000)

DAFTAR PUSTAKA

Burns,Tony. 2004. Rook’s textbook of Dermatology, 7th edition. Chapter 25. USA:25.25

Buxton, Paul K. . ABC of Dermatology, 4th edition. London: 92.

Hefta, Joseph& Robert Laffler. 1997. Color Atlas and Synopsis of Clinical

Dermatology, 3th edition . United State of America:1616.

James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrew’s Diseases of Skin, 10th edition. Chapter

19.Canada: 379.

Johnson RA, Klaus W. 2009. Fitzpatrick In colour atlas and synopsis of clinical

dermatology, 6th ed. New York (NY): McGraw-Hill Companies: 837–45.

Kotani N, Kushikata T, Hashimoto H, Kimura F, Muraoka M, Yadono M, et al. 2000.

Intrathecal Methylprednisolone for intractable postherpetic neuralgia. The New

England Journal of Medicine.

Kost RG, Straus SE. 1996. Postherpetic Neuralgia Pathogenesis, Treatment, and

Prevention. The New England Journal of Medicine.

Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. 2008. Varicella and Herpes Zoster.

Didalam Fitzpatrick Dermatology in General Medicine, 7th edition.

Chapter 194.USA:1885

Taylor & Francis. 2006. Atlas of Women’s Dermatology, 1st edition. United Kingom:166.

Watson CPN. 2000. A New Treatment for Postherpetic Neuralgia. The New England

Journal of Medicine.

13