Bab III Analisa Kasus

9
BAB III ANALISA KASUS 1. Indikasi rawat ICU a. Sesak napas berat Setelah 3 hari perawatan di ruang paviliun pasien mengalami sesak berat yang ditandai dengan adanya suara napas yang berat. Telah dilakukan 3 kali nebulizer untuk membantu melonggarkan jalan napas namun tidak ada perbaikan, sehingga ditakukkan terjadi gagal napas akut, untuk mengantisipasi hal tersebut pasien dibawa ke ICU agar pernapasan dapat diawasi dengan ventilator dan jika sewaktu-waktu dibutuhkan intubasi untuk membantu pernapasan dapat langsung dilakukan di ICU. b. Hemoptoe Selama perawatan pasien juga mengalami batuk yang berbuih disertai bercak darah, hal ini menunjukkan adanya edema pulmonal pada pasien. Keadaan ini harus segera dikoreksi dengan pemberian diuretik yang termonitor dengan baik dengan menggunakan siring pump. Pemberian diuretic secara intensive dapat dilakukan di ICU dengan alat dan tenaga yang memadai.

description

vbnm,

Transcript of Bab III Analisa Kasus

Page 1: Bab III Analisa Kasus

BAB III ANALISA KASUS

1. Indikasi rawat ICU

a. Sesak napas berat

Setelah 3 hari perawatan di ruang paviliun pasien mengalami sesak berat

yang ditandai dengan adanya suara napas yang berat. Telah dilakukan 3 kali

nebulizer untuk membantu melonggarkan jalan napas namun tidak ada

perbaikan, sehingga ditakukkan terjadi gagal napas akut, untuk

mengantisipasi hal tersebut pasien dibawa ke ICU agar pernapasan dapat

diawasi dengan ventilator dan jika sewaktu-waktu dibutuhkan intubasi

untuk membantu pernapasan dapat langsung dilakukan di ICU.

b. Hemoptoe

Selama perawatan pasien juga mengalami batuk yang berbuih disertai

bercak darah, hal ini menunjukkan adanya edema pulmonal pada pasien.

Keadaan ini harus segera dikoreksi dengan pemberian diuretik yang

termonitor dengan baik dengan menggunakan siring pump. Pemberian

diuretic secara intensive dapat dilakukan di ICU dengan alat dan tenaga

yang memadai.

c. Pengawasan hemodinamik

Tekanan darah yang tidak stabil pada pasien dapat memperburuk keadaan.

Sehingga dibutuhkan pengawasan keseimbangan cairan yang masuk dan

keluar, serta monitoring tanda-tanda vital yang ketat. Hal ini bertujan agar

pasien tidak jatuh kedalam fase syok. Mengingat usia pasien yang sudah tua

dan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol, kemampuan kompensasi

jantung terhadap perubahan hemodinamik sudah menurun.

Page 2: Bab III Analisa Kasus

2. Diagnosis yang tepat

Saat pasien dipindahkan dari ruangan diagnose pada pasien ini adalah

HHD+CHF+post op ca kolon 2 tahun yang lalu+edema pulmonal+anemia.

Diagnose HHD ditegakkan berdasarkan anamnesa pasien memiliki riwayat

hipertensi yang tidak terkontrol serta dari pemeriksaan tanda-tanda vital

didapatkan tekanan darah 170/91 menurut JNC VII pasien ini masuk kedalam

kriteria hipertensi grade II.

Keluhan sesak napas (dispnoe) pada pasien awalnya diduga CHF diagnose ini

ditegakkan dari keluhan tersebut yang membaik jika posisi pasien didudukkan

serta posisi tidur yang memperberat keluhan (orthopnoe), selain sesak napas

pasien juga mengeluh batuk berbuih yang disertai bercak darah yang berwarna

pink dan dari pemeriksaan fisik didapatkan rhonki pada kedua lapang paru

serta pemeriksaan penunjang ro thoraks didapatkan gambaran edema pulmonal

dan kardiomegali.

Pasien juga di diagnosa kanker kolon, diagnosa ini ditegakan berdasarkan

anamnesa adanya riwayat operasi kolon 2 tahun yang lalu. Diagnosa ini

didukung dari pemeriksaan laboratorium tumor marker kolon yaitu CEA

dengan hasil 466, 11 ng/ml dengan nilai normal <5 ng/ml.

Dari hasil laboratoruim darah lengkap didapatkan Hb 7,3 gr/dl dengan nilai

normal 12-16 gr/dl. Penyebab anemia diduga akibat defisiensi nutrisi,

mengingat pasien tidak mau makan dan mual muntah sejak ±1 bulan yang lalu.

Untuk membuktikan hal tersebut dilakukan pemeriksaan lanjutan yakni sediaan

apusan darah tepi (SADT) untuk melihat morfologi sel darah pasien. Dari hasil

SADT didapatkan morfologi sel darah merah normokrom mikrositer.

Gambaran normokrom pada SDTA menunjukkan kualitas Hb normal

sedangkan gambaran mikrositer menunjukkan kualitas zat pembentuk eritrosit

menurun. Hal ini dapat dijumpai pada anemia defisinsi. Defisiensi dapat berupa

defisiensi zat besi, asam folat, vitamin B12, eritropoetin, piridoksin dan

protein.

Page 3: Bab III Analisa Kasus

Pada tanggal 2 Mei telah dilakukan pemeriksaan laboratorium kimia darah

untuk menilai fungsi hati dan fungsi ginjal. Dari pemeriksaan tersebut

didapatkan fungsi hati dalam batas normal, sedangkan fungsi ginjal meningkat,

hal ini dilihat dari ureum 253 mg/dl (13-44 mg/dl) dan kreatinin 9,35 mg/dl

(0,9-1,3 mg/dl). Dari nilai tersebut didapatkan laju filtrasi glomerulus (LFG)

4,5ml/1,73m2/ menit melalui formulasi sebagai berikut:

LFG= (140-usia)xBB/72xCr

= (140-72)x45/72x9,35

= 4,5ml/1,73m2/menit

Hal ini menunjukan gagal ginjal stadium akhir. Gagal ginjal pada pasien

tersebut adalah gagal ginjal kronik karena didapatkan riwayat hipertesni yang

lama dan tidak terkontrol yang menyebabkan hipoperfusi pada ginjal yang

lama kelamaan akan merusak system autoregulasi ginjal yang berakhir pada

keagagalan ginjal kronik.

Selain itu gambaran anemia juga merupakan salah satu gejala dari gagal ginjal

kronik. Anemia pada gagal ginjal kronik terjadi karena penurunan jumlah

eritropoetin yang merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan sel

darah merah. Gambaran SADT pada gagal ginjal kronik ialah normokrom

mikrositik, hal ini sesuai dengan hasil SADT pada pasien tersebut. Sehingga

gagal ginjal kronik merupakan salah satu penyebab anemia pada pasien.

3. Tatalaksana yang tepat

Tatalaksana yang diberikan pada pasien sebagai berikut;

Hari pertama di ICU

- Oksigenasi dengan masker 6 L/ menit

- Cairan resusitasi 1000cc/24 jam

- Awasi hemodinamik

- Lasix pakai siring pump 20mg/jam

- Levofloxacine 500mg/12jam

- Digoksin, aspilet, amlodipine, spironolaktone (konsul internis)

Page 4: Bab III Analisa Kasus

Oksigen diberikan untuk membantu pernapasan pasien. Pasien dengan sesak

berat ditakutkan mengalami hipoksia jaringan, sehingga pemberian oksigen

harus adekuat agar tidak terjadi kerusakan jaringan.

Kebutuhan cairan per hari pada pasien dihitung berdasarkan berat badan dan

kebutuhan per jam dengan formulasi sebagai berikut:

Kebutuhan cairan per hari= 2ml/kgBB/jam

= 2ml x 45kgx 24 jam

= 2160 cc /hari

Tetapi pada pasien dengan kondisi gangguan jantung disertai edema pulmonal

kebutuhan cairan dibatasi 750-1000 cc/hari untuk meringankan beban jantung

dan tidak memperberat edema paru ataupun menambah edema di tempat lain.

Lasix merupakan golongan diuretik yang bekerja mengurangi beban kerja

jantung dengan mengurangi jumlah preload melalui sekresi air di ginjal.

Dengan demikian diharapkan dapat menurunkan tekanan darah pada pasien.

Selain itu, lasix juga berperan dalam mengeluarkan cairan pada edema paru

sehingga diharapkan edema paru berkurang dan sesak pada pasien akan

berkurang. Dosis lasix yang diberikan pada pasien adalah 20 mg/jam, dalam

satu hari pemberian lasix sebanyak 480 mg. Hal ini sesuai dengan dosis

pemberian lasix dengan dosis minimal 50 mg/ hari dan dosis maksimal 600

mg/hari.

Levofloxacine merupakan antibiotik spektrum luas. Antibiotik digunakan

untuk pengobatan infeksi pada pasien. Hal ini didukung dari hasil laboratorium

darah lengkap, yakni leukosit 18.300 /µl. Levofloxacine diberikan untuk

membunuh bakteri gram positif dan gram negative karena pada pasien tersebut

belum dilakukan pemeriksaan mikrobiologi kultur darah penyebab infeksi.

Hari kedua di ICU

- Oksigenasi dengan masker 6 L/ menit

- Cairan D5% 500cc/24 jam

Page 5: Bab III Analisa Kasus

- Lasix pakai siring pump 20mg/jam

- Spironolakton2 1x100mg

- Amlodipine 1x10mg

- Inf. Levofloxacine 1x500mg

- Inalapril 1x5mg

- Konsul hasil lab ureum creatinine ke dr Ronald, Sp.PD

- Pukul 16.00 wib lapor dr Ronald, SP.PD

Advice: HD cyto

- Pukul 21.00 WIB konsul dr Yusnita, Sp.An

Advice cek darah lengkap, U/C 6 jam post HD

Penggantian cairan dari ringer laktat menjadi dekstrose 5% disebabkan oleh

terjadinya peningkatan kalium dalam darah. Ringer laktat mengandung

elektrolit yang salah satunya adalah kalium ditakutkan akan meningkatkan

kadar kalium dalam darah. Sedangkan cairan dekstrose tidak mengandung

elektrolit dan bersifat hipotonis yang akan menarik cairan ke dalam intraseluler

sehingga diharapkan konsentrasi kalium di dalam darah akan menurun.

Pemberian spironolakton pada pasien kurang tepat, karena spironolaktone

merupakan golongan diuretic yang hemat kalium. Halini dapat memperberat

keadaan hiperkalemi pada pasien.

Amlodipine merupakan obat antihipertensi golongan Calsium channel blocker

(CCB) yang kerjanya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah perifer

sehingga menurunkan resistensi perifer dan sebagai dampaknya tekanan darah

akan turun. Dosis pemberian amlodipine pada pasien sudah tepat yakni 1 x 10

mg.

Inalapril merupakan obat anti hipertensi golongan ACE-inhibitor yang kerjanya

menghambat angiotensin I converting enzyme (ACE) yakni enzim yang berperan

dalam mengubah angiotensi I menjadi angiotensin II. Dimana angiotesnin II akan

berperan dalam sekresi hormone ADH dan aldosteron yang akan menyebabkan

Page 6: Bab III Analisa Kasus

peningkatan jumlah cairan yang berdampak pada peningkatan teakanan darah. Hal

ini dapat dicegah dengan pemberian ACE-inhobitor.

Tindakan hemodialisa pada pasien sesuai dengan anjuran internist sudah sesuai

dengan indikasi hemodialisa. Hal ini dilihat dari jumlah LFG pada pasien yang

<15ml/1,73m2/menit yakni 4,5ml/1,73m2/menit.

Hari ketiga di ICU

- IVFD RL 1000cc/24 jam

- Levofloxacine 500mg/12jam

- Amlodipine 1x10mg

- Cek U/C

- Rencana USG abdomen

- ACC pindah ke ruangan

USG pada pasien dilakukan untuk melihat apakah terdapat massa di rongga

abdomen pasien. Pemeriksaan ini untuk menilai kanker colon yang yang

pernah dialami pasien sudah sembuh atau kanker tumbuh kembali.

Pasien dipindah keruangan karena kondisi pasien sudah stabil dan keadaan

hemodinamik pasien stabil sehingga tidak diperlukan pemantauan yang ketat

dengan monitor.