ANALISA KASUS

41
ANALISA KASUS Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Seorang pasien yang menderita gagal jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung, nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan; tanda-tanda retensi cairan seperti kongestif paru atau edema tungkai kaki; adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Adanya gejala gagal jantung, yang reversible dengan terapi, dan bukti objektif adanya disfungsi jantung (Eropean society of cardiology 1995). Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Faktor resiko dan Etiologi Berdasarkan Penelitian secara epidemiologi telah mengidentifikasi faktor indenpenden utama untuk Coroner Heart Disease, termasuk: Merokok, peningkatan total dan LDL kolesterol, peninggian tekanan darah, rendahnya kolesterol HDL, Diabetes mellitus, dan penambahan umur. Seorang individu dengan faktor risiko yang lebih tinggi untuk penyakit atherosclerosis. Dengan tambahan, ada beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko CHD yaitu: o Obesity (BMI>30kg/m2)

description

wrre

Transcript of ANALISA KASUS

Page 1: ANALISA KASUS

ANALISA KASUS

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) ditandai oleh sesak nafas dan

fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.

Seorang pasien yang menderita gagal jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung,

nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan; tanda-tanda

retensi cairan seperti kongestif paru atau edema tungkai kaki; adanya bukti objektif dari gangguan

struktur atau fungsi jantung saat istirahat. Adanya gejala gagal jantung, yang reversible dengan terapi, dan

bukti objektif adanya disfungsi jantung (Eropean society of cardiology 1995). Gagal jantung dapat dibagi

menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung juga dapat

dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.

Faktor resiko dan Etiologi

Berdasarkan Penelitian secara epidemiologi telah mengidentifikasi faktor indenpenden utama untuk

Coroner Heart Disease, termasuk: Merokok, peningkatan total dan LDL kolesterol, peninggian tekanan

darah, rendahnya kolesterol HDL, Diabetes mellitus, dan penambahan umur. Seorang individu dengan

faktor risiko yang lebih tinggi untuk penyakit atherosclerosis. Dengan tambahan, ada beberapa faktor

risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko CHD yaitu:

o Obesity (BMI>30kg/m2)

o Abdominal obesity (waist circumference, men>102cm and

o women>88cm;

o waist-hip ratio, men>0.9 and women>0.8)

o aktivitas fisik

o riwayat keluarga dari premature CHD ( saudara laki-laki dengan CHD atau keluarga

dengan CHD <55 tahun dan atau keluarga wanita atau keluarga utama dengan

CHDA<65 tahun)

o etnik tertentu

o faktor psikososial

Page 2: ANALISA KASUS

Faktor risiko kondisional yang berhubungan dengan peningkatan risiko untuk Coroner Heart

Disease (CHD) walaupun kontribusi independen untuk CHD tidak terdokumentasi dengan baik, antara

lain: peningkatan serum triglycerides, peningkatan serum homocysteine, peningkatan serum lipoprotein

(a), Prothrombotic factors (e.g. fibrinogen), Inflammatory markers (e.g. C-reactive proteins). Jika di lihat

dari enam faktor resiko utama perkembangan penyakit infark miokard yaitu : hiperlipidemia, Diabetes

mellitus, darah tinggi, merokok, Jenis kelamin laki- laki, dan riwayat keluarga. Maka dari anamnesa di

dapatkan bahwa pasien pada kasus ini memiliki tiga faktor resiko yaitu pasien merupakan perokok aktif

sejak usia sekitar 30 tahun, pasien berjenis kelamin laki- laki dan memiliki riwayat pola makan yang tidak

baik, seperti suka makan makanan berlemak.

Manifestasi klinis

Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan manifestasi klinis berupa nyeri dada dan sesak

nafas yang dirasakan sejak 4 bulan yang lalu, dan memberat dalam 1 minggu SMRS. Pasien mengeluhkan

nyeri dada yang terasa seperti ditusuk-tusuk saat sesak nafas, dada terasa berat dan panas. Seminggu

sebelumnya pasien juga mengeluhkan cepat lelah saat aktivitas. Berdasarkan teori di beberapa referensi

dijelaskan secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas

saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.

Classifications of Heart Failure

NYHA ACC/AHA

Class Description Class Description

I No symptoms A No structural damage,high risk for developing heart failure

II Symptoms with significant activity B Structural abnormality,no symptoms

III Symptoms with minimal activity C Structural abnormality,previous or current symptoms

IV Symptoms at rest D Refractory symptoms

Page 3: ANALISA KASUS

Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan vital sign pada kasus ini didapatkan keadaan umum pasien: sedang, kesadaran:

compos mentis, tekanan darah: 100/70 mmHg, laju jantung: 26x/ menit, RR: 32x/menit, T: 36,7 0C. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan thorax simetris, bunyi jantung S3 (+), suara vesikuler melemah pada kedua

lapangan paru bawah, suara rhonki pada kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan leher ditemukan adanya

peningkatan TVJ dan distensi vena jugular. Pada pemeriksaan abdomen, ditemukan adanya asites dan

hepatomegali, juga didapatkan edema pada ekstremitas inferior. Seorang pasien yang menderita gagal

jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung, nafas pendek yang tipikal saat istirahat

atau saat melakukan aktifitas disertai atau kelelahan; tanda-tanda retensi cairan seperti kongestif paru atau

edema tungkai kaki; adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat.

Gambaran klinis gagal jantung kiri Gambaran klinis gagal jantung kanan

Gejala:

- Penurunan kapasitas aktivitas

- Dipsnu (mengi, ortopnu,PND)

- Letargi dan kelelahan

- Penurunan nafsu makan dan berat badan

Tanda

- Kulit lembab

- TD meningkat, rendah atau normal

- Denyut nadi (takikardi/alternant/aritmia)

- Pergesaran apeks

- Krepitasi paru

Gejala :

- Pembengkakan pergelangan kaki

- Dipsnu (bukan ortopnu atau PND

- Nyeri dada

- Penurunan aktivitas

Tanda :

- Denytu nadi

- Peningkatan JVP

- Edema

- Hepatomegali dan asites

- Gerakan bergelombang parasternal

- S3 atau S4 RV

Page 4: ANALISA KASUS

- Efusi pleura - (efusi pleura)

Manifestasi klinis gagal jantung :

Tampilan klinis yang dominan Gejala Tanda

Edema paru/kongesti Sesak nafas, kelelahan, mudah penat, anorksia

Edema perifer, peningkatan TVJ, hepatomegali. Asites. Bendungan cairan, kakeksia

Edema paru Sesak nafas yang sangat berat saat istirahat

Ronki basah halus atau basah kasar di paru, efusi paru, takikardi, takipnoe

Syok kardiogenik Penurunan kesadaran, lemah, akral dingin

Perfusi perifer yang buruk, TD sistolik <90mmHg, anuria/oliguria

Tekanan darah sangat tinggi Sesak nafas Umumnya peningkatan TD, penebalan dinding ventrikel, kiri dan ejeksi fraksi yang masih baik

Gagal jantung kanan Sesak nafas, mudah lelah Tanda disfungsi ventrikel kanan, peningkatan JVP, edema perifer

Page 5: ANALISA KASUS

Klasifikasi gagal jantung menurut ACC/AHA Klasifikasi fungsional NYHA

Stadium A : memilikiresiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak terdapat tanda atau gejala

Kelas I : Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak

Stadium B : telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan dengan perkembangan gagal jantung, tidak tedapat tanda atau gejala

Kelas II : terdapat batas aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat, namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, plpitasi,atau sesak nafas

Stadium C : gagal jantung yang simptomatis berhubungan dengan penyakit struktural jantung yang mendasari

Kelas III : terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak

Stadium D : penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah mendapat terapi medis maksimal

Kelas IV : tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas

ACC : American College of Cardiology AHA : American College Heart Association Hunt SA et al. circulatiom.2005

NYHA : New York Heart Assiaciation

Page 6: ANALISA KASUS

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif, kriterianya

antara lain :

Diagnosis gagal jantung (1 kriteria mayor + 2 kriteria minor)

Kriteria Mayor Kriteria Minor

Paroksismal nocturnal dyspnoe

Distensi vena leher

Ronkhi paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Peninggian tekanan vena jugularis

Refluks hepatojugular

Edema ekstremitas

Batuk malam hari

Dyspnoe de’effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 normal

Takikardi >120 kali/menit

BB turun >4,5 Kg dalam 5 hari masa terapi

Klasifikasi KILLIP mengenai derajat keparahan gagal jantung:

Page 7: ANALISA KASUS

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus untuk menegakkan diagnosa gagal

jantung kongestif yaitu : pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang memberikan gambaran adanya

inverse gelombang T di sadapan V3, V4, V5, dan V. disertai adanya RVH. Pada kasus ini gambaran

EKG menunjukkan adanya iskemik miocard dan hipertrofi ventrikel kanan. Dari foto thorax didapatkan

adanya cardiomegali dengan CTR 75%, disertai edema paru.

Hal ini sesuai yang didapatkan pada literatur, pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan

untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,

pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan foto

dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran

kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20

mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus.

Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan

adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral,

yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan. Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran

abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat

dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST –

T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada

keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu

pada pasien sangat kecil kemungkinannya. Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang

sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai

struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan

tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan

fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi

tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi

diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli. Pemeriksaan darah perlu

dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya

penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan

mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia

menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain

untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi

Page 8: ANALISA KASUS

peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik

dosis tinggi. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya

abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai

kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP

plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pada kasus didapatkan Total kolesterol yang

meningkat dari jumlah normal (298 mg/dl), hal ini menunjukkan fakltor resiko hiperkolesterolemia

terdapat pada pasien seperti yang dijelaskan pada pembahasan faktor resiko dan etiologi di atas.

Abnormalitas EKG yang sering terlihat pada gagal jantung kongestif

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis

Sinus takikardia Gagal jantung yang terdekompensasi, anemia, demm,hipertiroid

Penilaian klinis dan laboratorium

Aritmia ventrikel Iskemia, infark, kardiomiopati, overdosis digitalis, hipokalemia

Pemeriksaan labaratorium,

angiografi koroner

Iskemia/infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin, angiografi koroner, revaskularisasi

Gelombang Q Infark, kardiomiopati hipertrofi, LBBB

Ekokardiografi, angiografi koroner

Hipertrofi ventrikel kiri Hipertensi, penyakit katup aorta, kardiomiopati hipertrofi

Ekokardiografi, dopler

Page 9: ANALISA KASUS

Diagnosis

Dengan demikian dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan didukung dengan pemeriksaan

penunjang (pada kasus dan perbandingana dengan teori), maka penderita pada kasus ini didiagnosa

dengan CHF ec.IHD + edema paru.

- hari pertama setelah gejala

- NYHA : 3-4

- ACC/AHA : Stadium C

- Killip : 3

- RF : merokok, pola makanan yang tidak sehat

Penatalaksanan

Prinsip penatalaksanaan CHF adalah mengurangi beban jantung dan mengoreksi penyebab gagal

jantung yang terjadi, pada pasien dengan memperbaiki kembali aliran pembuluh koroner sehingga

reperfusi dapat mencegah kerusakan miokard lebih lanjut. Pada kasus ini pasien diterapi dengan

pemberian oksigen nasal 2 L/I, IVFD RL 10 gtt/I, dopamine sampai TD>110/80mmHg, Injeksi

Furosemid 1amp/12 jam, Captopril 2x25 mg, KSR 2x 600 mg.

Dari tinjauan kepustakaan, Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan

secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan karena akan saling melengkapi

untuk penatalaksanan paripurna penderita gagal jantung. Pemberian loop diuretik intravena seperti

furosemid akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis.

Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh

prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bila memungkinkan.

Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta tekanan pengisian

ventrikel dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak

sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri

koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan

arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian

intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam. Sodium nitropusside dapat digunakan

sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang

Page 10: ANALISA KASUS

disertai krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguanfu fungsi

hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit. Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.

Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan ventrikel. Pemberiannya akan

memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan

menurunkan kadar epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan

tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume karena

berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan

infus 0,01 μg/kg/menit. Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut yang

disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan atau vasodilator digunakan pada penderita

gagal jantung akut dengan tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka

inotropik dan atau vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan akan dapat

meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila tekanan arteri

rata - rata > 65 mmHg. Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah

splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik beta sehingga

terjadi peningkatan laju dan curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor

adrenergik alfa dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi. Pemberian dopamin

akan merangsang reseptor adrenergik dan menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik

(vasodilatasi) dan meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 μg/kg/mnt, untuk meningkatkan

curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang telah mendapat terapi penyekat beta,

dosis yang dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt. Phospodiesterase inhibitor menghambat

penguraian cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek vasodilatasi perifer dan inotropik jantung.

Yang sering digunakan dalam klinik adalah milrinone dan enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi

penderia gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan

inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075

μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25 – 0,75 μg/kg bolus kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt. Pemberian

vasopressor ditujukan pada penderita gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik dengan tekanan

darah < 70 mmHg. Penderita dengan syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90 mmHg atau

terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30 mmHg selama 30 menit. Obat yang biasa digunakan adalah

epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.

Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.

Diuretik tiazid tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi juga mengurangi retensi garam dan air

sehingga memperbaiki beban volume berlebih yang umum terdapat pada gagal jantung kongestif; tetapi

mungkin kurang berguna pada pen-

Page 11: ANALISA KASUS

derita gagal jantung yang terutama karena gangguan fungsi diastolik, karena kontraksi volume

intravaskuler menyebabkan penurunan lebih lanjut pengisian ventrikel kiri.

Antiadrenergik Sentral

Efek bervariasi, klonidin mungkin mempunyai beberapa sifat inotropik negatif, dan alfa-metildopa

mempunyai efek sedikit saja.

Antiadrenergik Perifer

Prazosin dan doxazosin rnempunyai efek yang menguntungkan pada gagal jantung.

Penyekat ACE

Merupakan obat yang baik untuk gagal jantung. Obat bereaksi pendek seperti kaptopril lebih dianjurkan

paling tidak pada fase awal. Tetapi obat golongan ini yang telah diteliti meningkatkan lama hidup pada

penderita gagal jantung klas IV ialah enalapril.

ACE inhibitor memiliki efek antihipertensi yang baik dengan efk samping yang relatif jarang. Penelitian

menunjukkan bahwa ACE inhibitor tidak mempengaruhi profil lipoprotein dan glukosa darah, bahkan

cenderung meningkatkan kolesterol HDL dan menurunkan kolesterol total dan trigliserid. ACE inhibitor

bekerja dengan cara menghambat enzim konversi angiotensin, sehingga angiotensin II yang seharusnya

berasal dari angiotensin I tidak terbentuk. Penyekat Beta merupakan kontraindikasi pada penderita dengan

gagal jantung kongestif laten maupun manifes akibat gangguan fungsi sistolik. Sebaliknya mungkin

berguna pada beberapa penderita gagal jantung kongestif karena gangguan fungsi diastolik.

Antagonis Kalsium

Efek menghilangkan beban jantung dengan antagonis kalsium sering tapi tidak selalu mengatasi efek

inotropik negatif obat tersebut. Merupakan pilihan utama pada gagal jantung dengan gangguan fungsi

diastolik. Data terakhir melaporkan bahwa antagonis kalsium memperbaiki relaksasi ventrikel pada awal

diastol dan menormalkan kembali pengisian ventrikel.

Antagonis kalsium mempunyal dua efek pada pengisian ventrikel: memperbaiki relaksasi diastolik awal

dan juga memperbaiki compliance diastolik akhir sebagai hasil berkurangnya LVH.

Pengobatan trombolitik

Saat ini ada beberapa macam obat trombolisis, yaitu streptokinase, urokinase, aktivator

plasminogen jaringan yang direkombinasi (r-TPA) dan anisolylated plasminogen activator complex

Page 12: ANALISA KASUS

(ASPAC). r- TPA bekerja lebih spesifik pada fibrin dibandingkan streptokinase dan waktu paruhnya lebih

pendek. Penelitian menunjukkan bahwa secara garis besar, semua obat trombolitik bermamfaat namun r-

TPA menyebabkan penyulit perdarahan otak sedikit lebih tinggi dibandingkan steptokinase. Karena

sifatnya, steptokinase dapat menyebabkan reaksi alergi dan juga hipotensi akibat dilatsi pembuluh darah.

Karena itu streptokinase tidak boleh diulangi bila dalam 1 tahun sebelumnya sudah diberikan atau

penderita dalam keadaan syok.

Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam, Quo ad Sanactionam: dubia, Quo ad Functionam: dubia.

Berdasarkan literatur, penentuan prognosis pada gagal jantung sangatlah kompleks. Variable-variabel

yang paling konsisten sebagai outcome independen dicantumkan dalam tabel dibawah ini.

Demografik Klinis Elektrokardiografik

Umur lanjut*

Etiologi iskemik*

Berhasil resusitasi pada sudden death*

Hipotensi*

NYHA kelas fungsional III-IV*

Baru dirawat di RS karna gagal jantung

Takikardi

Gelombang Q

QRS lebar*

Hipertrofi LV

Aritmia ventrikel yang kompleks

Kompliance buruk

Gangguan ginjal

Diabetes

Anemia

PPOK

Takikardia

Ronki paru

Stenosis aorta

BMI rendah

Ganggaun pernafasan berhubungan tidur

Variabilitas denyut jantung rendah

T-wave alternant

Fibrilasi atrial

Page 13: ANALISA KASUS

Penyakit Jantung Koroner

1.Five year mortality from CHD in to

risk (whitehall civil Servants Study

18.240 males 40 to 64 yaer). (From

Rose Getal, Myocardial ischaemia,

risk factors and death from coronary

heart disease, lancet 1977 : 1 : 150-

109) Baseline

No. Ischaemia Ischaemia

Overall mortality 1.2% 9.1%

Systolic BP > 160 mmHg 1.9% 5.9%

Serum cholesterol

> 6,76 mmol

1.3% 8.4%

Smokers 1.4% 4.7%

Penyakit jantung koroner ( PJK ) merupakan problema kesehatan utama di negara maju.

Di Indonesia telah terjadi pergeseran kejadian Penyakit Jantung dan pembuluh darah dari urutan

ke-l0 tahun 1980 menjadi urutan ke-8 tahun 1986. Sedangkan penyebab kematian tetap

menduduki peringkat ke-3. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya Penyakit Jantung

Koroner sehingga usaha pencegahan harus bentuk multifaktorial juga. Pencegahan harus

diusahakan sedapat mungkin dengan cara pengendalian faktor faktor resiko PJK dan merupakan

hal yang cukup penting dalam usaha pencegahan PJK, baik primer maupun sekunder.

Pencegahan primer lebih ditujukan pada mereka yang sehat tetapi mempunyai resiko tinggi,

sedangkan sekunder merupakan upaya memburuknya penyakit yang secara klinis telah diderita.

Berbagai Penelitian telah dilakukan selama 50 tahun lebih dimana didapatlah variasi insidens

PJK yang berbeda pada geografis dan keadaan sosial tertentu yang makin meningkat sejak tahun

1930 dan mulai tahun 1960 merupakan Penyebab Kematian utama di negara Industri. Mengapa

didapatkan variasi insidens yang berbeda saat itu belum diketahui dengan pasti, akan tetapi

didapatkan jelas terjadi pada keadaan keadaan tertentu. Penelitian epidemiologis akhirnya

mendapatkan hubungan yang jelas antara kematian dengan pengaruh keadaan sosial, kebiasaan

merokok, pola diet, exercise, dsb yang dapat dibuktikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

terjadinya PJK antara lain: umur, kelamin ras, geografis, keadaan sosial, perubahan masa,

kolesterol, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, exercise, diet, perilaku dan kebiasaan lainnya,

stress serta keturunan.

Page 14: ANALISA KASUS

Ketiga faktor ini saling mempengaruhi dan memperkuat resiko PJK akan tetapi dapat

diperbaiki dan bersifat reversibel bila upaya pencegahan betul-betul dilaksanakan.

Faktor Faktor Resiko Penyakit Janting Koroner

A. Faktor Utama

1. Hipertensi

Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK. Penelitian di

berbagai tempat di Indonesia (1978) prevalensi Hipertensi untuk Indonesia berkisar 6-15%,

sedang di negara maju mis : Amerika 15-20%. Lebih kurang 60% penderita Hipertensi tidak

terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik.

Penyebab kematian akibat Hipertensi di Amerika adalah Kegagalan jantung 45%,

Miokard Infark 35% cerebrovaskuler accident 15% dan gagal ginjal 5%. Komplikasi yang terjadi

pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama

terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertropi dari tunika media

diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan

terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai

miokardium, arteri dan arterial sistemik, arteri koroner dan serebral serta pembuluh darah ginjal.

Komplikasi terhadap jantung Hipertensi yang paling sering adalah Kegagalan Ventrikel Kiri,

PJK seperti angina Pektoris dan Miokard Infark. Dari penelitian 50% penderita miokard infark

menderita Hipertensi dan 75% kegagalan Ventrikel kiri akibat Hipertensi. Perubahan hipertensi

khususnya pada jantung disebabkan karena :

a. Meningkatnya tekanan darah

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga

menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan

ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.

b. Mempercepat timbulnya arterosklerosis

Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap

dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis

koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard

infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.

Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kejadian PJK pada

hipertensi sering dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik.

Page 15: ANALISA KASUS

Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan

hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard infark. Juga

pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami miokard infark

mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang normotensi dengan miokard infark.

Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan Tekanan darah

diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada kelompok tekanan darah diastolik 90-104

mmHg dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan pada tekanan darah diastolik

105 mmHg 4x lebih besar. Penelitian stewart 1979 & 1982 juga memperkuat hubungan antara

kenaikan takanan darah diastolik dengan resiko mendapat miokard infark. Apabila Hipertensi

sistolik dari Diastolik terjadi bersamaan maka akan menunjukkan resiko yang paling besar

dibandingkan penderita yang tekanan darahnya normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster

juga melaporkan bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan Tekanan darah sistolik diastolik

dibandingkan Tekanan darah Diastolik saja.

Pemberian obat yang tepat pada Hipertensi dapat mencegah terjadinya miokard infark

dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga diperhatikan efek samping dari obat- obatan dalam

jangka panjang. oleh sebab itu pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang jauh lebih

baik untuk menurunkan resiko PJK. Tekanan darah yang normal merupakan penunjang

kesehatan yang utama dalam kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta

pemasukan Na dan K yang seluruhnya adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan pola

kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan Tekanan darah sistolik,

seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang dengan kesegaran jasmani yang

optimal tekanan darahnya cenderung rendah. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan pada

dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka kematian PJK sebayak 25%. Keadan ini

mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian betablocker dan

bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok.

Page 16: ANALISA KASUS

2. Hiperkolesterolemia

Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena termasuk faktor

resiko utama PJK di samping Hipertensi dan merokok. Kadar Kolesterol darah dipengaruhi oleh

susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat

mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah Keturunan, umur, dan jenis

kelamin, obesitas, stress, alkohol, exercise. Beberapa parameter yang dipakai untuk mengetahui

adanya resiko PJK dan hubungannya dengan kadar kolesterol darah:

a. Kolesterol Total.

Kadar kolesterol total yang sebaiknya adalah ( 200 mg/dl, bila > 200 mg/dl

berarti resiko untuk terjadinya PJK meningkat . Kadar kolesterol Total

normal Agak tinggi

(Pertengahan)

Tinggi

< 200 mg/dl 2-239 mg/dl >240 mg/dl

Kadar LDL Kolesterol

Normal Agak tinggi

(Pertengahan)

Tinggi

< 130 mg/dl 130-159 mg/dl >160 mg/dl

c. HDL Koleserol :

HDL (High Density Lipoprotein) kolesterol merupakan jenis kolesterol yang

bersifat baik atau menguntungkan (good cholesterol) : karena mengangkut

kolesterol dari pembuluh darah kembali ke hati untuk di buang sehingga

mencegah penebalan dinding pembuluh darah atau mencegah terjadinya proses

arterosklerosis. Kadar HDL Kolesterol

Normal Agak tinggi

(Pertengahan)

Tinggi

< 45 mg/dl 35-45 mg/dl >35 mg/dl

Page 17: ANALISA KASUS

Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi

mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol

makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar

dibandingkan laki – laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada

diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok cenderung lebih mudah

terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok.

Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun

pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti

merokok 10 tahun.

B. FAKTOR RESIKO LAINNYA

1. Umur Dan Jenis Kelamin

Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK. Sebagian besar

kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya

umur. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada laki-

laki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause ( 45-0

tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar

kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki.

Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki

dan 1 dari 17 perempuan . Ini berarti bahwa laki-laki mempunyai resiko PJK 2-3 X lebih besar

dari perempuan.

2. Geografis

Resiko PJK pada orang Jepang masih tetap merupakan salah satu yang paling rendah di

dunia. Akan tetapi ternyata resiko PJK yang meningkat padta orang jepang yang melakukan

imigrasi ke Hawai dan Califfornia . Hal ini menunjukkan faktor lingkungan lebih besar

pengaruhnya dari pada genetik.

Page 18: ANALISA KASUS

3. Ras

Perbedaan resiko PJK antara ras didapatkan sangat menyolok, walaupun bercampur baur

dengan faktor geografis, sosial dan ekonomi . Di Amerika serikat perbedaan ras perbedaan antara

ras caucasia dengan non caucasia ( tidak termasuk Negro) didapatkan resiko PJK pada non

caucasia kira-kira separuhnya.

4. Diet

Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan

makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan

kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang

umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar

kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika.

5. Obesitas

Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan > 21 % pada

perempuan . Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan

hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol .

Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari BB ideal. penderita yang

gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi

berat badan melalui diet ataupun menambah exercise.

6. Exercise

Exercise dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolaterol koroner

sehingga resiko PJK dapat dikurangi. Exercise bermanfaat karena :

• Memperbaiki fungsi paru dan pemberian 02 ke miokard

• Menurunkan BB sehingga lemak tubuh yang berlebihan berkurang bersama-sama dengan

menurunkan LDL kolesterol.

• Membantu menurunkan tekanan darah

• Meningkatkan kesegaran jasmani.

Page 19: ANALISA KASUS

Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner

Manifestasi klinis PJK bervariasi tergantung pada derajat aliran dalam arteri koroner. Bila

aliran koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan, tidak akan timbul keluhan atau manifestasi

klinis.

Aterosklerosisi koroner

Pembuluh arteri, semakin bertambahnya umur dalam arteri juga terjadi proses seperti

penebalan lapisan intima, berkurangnya elastisitas, penumpukan kalsium dan bertambahnya

lapisan intima .

Menurut WHO pada tahun 1958, ”Perubahan variabel intima arteri yang merupakan

akumulasi fokal lemak, kompleks karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan fibrous

dan deposit kalsium yang kemudian diikuti oerubahan lapisan media”.

Pembuluh arteri koroner terdiri dari tiga lapisan yaitu :

1. Tunika intima yang terdiri dari dua bagian. Lapisan tipis sel –sel endotel merrupakan

lapisan yang memberrikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan

subendotelium. Sel ini menghasilakan prostadgandin, heparin dan aktivator plasminogen

yang membantu mencegah agregasi trombasit dan vasokonstriksi. Dan juga jaringan ikat

yang memisahkan dengan lapisan yang lain.

2. Tunika media merupakan lapisan otot dibagian tengan dinding arteri yang mempunyai

tiga bagian; bagian sebelah dalam disebut membran elastin internal kemudian jaringan

fibrus otot polos dan sebelah luar memberana elastika eksterna.

3. Tunika adventisia umumnya mengandung jaringan ikat dan dikelilingi oleh vasa vasorum

yaitu jaringan arteriol.

Pada pembuluh koroner terlihat penonjolan yang diikuti dengan garis lemak(fatty streak)

pada intima pembuluh yang timbul sejak umur di bawah 10 tahun. Pada kebanyakan orang umur

30 tahun garis lemak ini tumbuh lebih progresif menjadi fibrous plaque yaitu suatu penonjolan

jaringan kolagen dan sel – sel nekrosis. Lesi ini padat, pucat berwarna kelabu yang disebut

ateroma. Lesi kompleks terjadi apabila pada plak fibris timbul nekrosis dan terjadi perdarahan

Page 20: ANALISA KASUS

trombosis, ulserasi, kalsifikasi atau aneurisma. Hipotesis terjadinya ateroskelerosis adalah 1)

Teori infiltrasi/incrustation, 2) Teori pertumbuhan klonal/clonal growth (Benditt), dan 3) Teori

luka/respons to injury.

Aterosklerosis biasanya timbul pada tempat – tempat dimana terjadi turbulens yang

maksimum seperti pada percabangan, daerah dengan tekanan tinggi, daerah yang pernah kena

trauma dimana terjadi deskuamasi endotel yang menyebabkan adesi trombosit.

Berbagai keadaan akan mempengaruhi antara pasokan dan kebutuhan, pada dasarnya melalui

mekanisme sederhana, yaitu 1) Pasokan berkurang meskipun kebutuhan tak bertambah dan 2).

Kebutuhan meningkat, sedangkan pasokan tetap.

Bila arteri koroner mengalami gangguan penyempitan (stenosis) atau penciutan (spasme),

pasokan arteri koroneria tidak mencukupi kebutuhan, secara populer terjadi ketidak seimbangan

antara pasok (supply) dan kebutuhan (demend), hal ini akan memberikan gangguan. Manifestasi

gangguan dapat bervariasi tergantung kepada berat ringannya stenosis atau spasme, kebutuhan

jaringan saat istiraha ataupun aktif serta luasnya daerah yang terkena.

Dalam keadaan istirahat, meskipun arteri koroner mengalami stenosis lumen sampai 60 %

belum menimbulkan gejala sebab aliran darah koroner masih mencukupi kebutuhan jaringan.

Pada keadaan ini sering tidak menimbulkan keluhan, sering disebut penyakit jantung koroner

laten (Silent ischemia). Bila terjadi peningkatan kebutuhan jaringan aliran yang tadinya

mencukupi menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan hipoksia jaringan yang akan

menghasilakan peningkatan hasil metabolisme misalnya asam laktat. Akan menimbulakan

manifestasi klinis nyeri dada, rasa berat, rasa tertekan, panas, rasa tercekik, tak enak dada, capek

kadang – kadang seperti masuk angin. Manifestasi angina yang timbul setelah aktivitas fisik

disebut effort angina.

Gradasi beratnya nyeri dada telah dibuat olehCanadian Cardiovascular Societyf

sebagai berikut :

Page 21: ANALISA KASUS

Kelas I

Aktivitas sehari –hari seperti jalan kaki, berkebun, naik tangga 1- 2 lantai dan lain–lain tak

menimbulkan nyeri dada. Nyeri dada baru timbul pada latihan yang berat, berjalan cepat serta

terburu – buru waktu kerja atau berpergian .

Kelas II

Aktivitas sehari-hari agak terbatas, misalnya angina pektoris timbul bila melakukan lebih berat

dari biasanya, seperti jalan kaki 2 blok, naik tangga lebih dari 1 lantai atau terburu-buru, berjalan

menanjak.

Kelas III

Aktivitas sehari-hari nyata terbatas, angina timbul bila berjalan 1-2

blok, naik tangga 1 lantai dengan kecepatan yang biasa.

Kelas IV

Angina Pektoris bisa timbul waktu istirahat sekalipun. Hampir semua aktivitas dapat

menimbulkan angina, termasuk mandi, menyapu dan berjalan.

Sebaliknya angina pektoris dapat timbul dalam keadaan istirahat, yang berarti proses

stenosis melebihi 60% baik oleh penyempitan yang kritis(90%) maupun bertambah oleh karena

faktor spasme arteri koroner sendiri di tempat yang tadinya tidak menimbulkan gejala. Angina

bentuk ini disebut sebagai angina dekubitus, angina at rest atau dalam bentuk angina prinzmetal.

-Kelas I. Angina yang berat untuk pertama kali, atau mungkin bertambah, beratnya nyeri dada.

-Kelas II. Angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam 1 bulan, tapi tak ada

serangan angina dalam waktu 48 jam terakhir.

-Kelas III. Adanya serangan angina waktu istirahat dan terjadinya secara akut baik sekali atau

lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.

Pasokan berkurang sehingga menimbulkan hipoksia baik oleh karena secara anatomis ada

penyempitan yang menyebabkan aliran darah berkurang (penyempitan melampaui 80% saat

Page 22: ANALISA KASUS

iastirahat) atau penyempitan kuarang dai 80% tetapi menjadi kritis karena penigkatan kebutuhan

akibat aktifitas fisik maupun psikis. Bila proses kritis tersebut berlangsung lama maka hipoksia

jaringan akan berlanjut terus, tidak hanya menimbulkan gangguan yang reversibel tetapi malahan

lebih jauh lagi. Otot jantung akan mengalami kerusakan, jaringan mati atau nekrosis (infark

miokard)

Infark miokard

Infark miokard terbagi atas miokard infark dengan elevasi ST (STEMI) dan miokard infark tanpa

elevasi ST(NSTEMI)

Miokard infark dengan elevasi ST (STEMI)

Umumnya terjadi karena aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi

trombus pada plak arterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi secara cepat pada

lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetus oleh beberapa faktor yang akan dijelaskan di

bawah. Pada sebagian besar, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau

ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga trombus mural

pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri. koroner. Plak koroner cenderung

mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI

gambaran patologis klasik terrdiri dari fibrin rich red trombus. Selanjutnya pada lokasi ruptur

plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, seretonisn) memicu aktivitas trombosit, yang

selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriksi lokal yang

poten). Selain itu aktivitas trombosit memicu perubahan konfirmasi reseptor glikoprotein Iib/IIIa

sehingga mempunyai afenitas tinggi terhadap asam amino pada protein adhesi yang larut

(integrin) seperti faktor von Willenbrand (vWF) dan fibrinogen dimana keduanya merupakan

molekul yang dapat mengikat platelet, mengahasilkan ikatan silang dan agregasi platelet.

Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII

dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin, yang mengakibatkan

mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami

oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada keadaan yang jarang, STEMI

dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri

koroner yang disebabkan emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme arteri

koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Page 23: ANALISA KASUS

Diagnosa

Dignosa STEMI ditegakkan berdasarkan;

Anamnesis, apakah adanya gejala nyeri dada yang harus dibedakan denngan

nyeri dada bukan jantung, jika berasal dari jantung harus dibedakan apakah

berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis juga apakah ada riwayat infark

sebelumnya serta faktor – faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes, merokok,

riwayat keluarga yang menderita sakit jantung koroner dan juga adanya stress.

Terdapat faktor pencetus sebelumnya seperti aktivitas fisik berat, stress emosi.

Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, dilaporkan bahwa pada

pagi hari juga dapat terjadi dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Nyeri dada

Nyeri dada tipikal(angina) merupakan gejala kardial pasien IMA dan merupakan

pertanda awal dalam pengelolaan pasien. Sifat nyeri dada angina adalah sebagai

berikut

• Lokasi

: berada pada substernal, retrosternal, dan prekordial

• Sifat nyeri

: rasa sakit seperti ditekan, terbakar, ditindih benda berat seperti ditusuk, diperas atau dipelintir

• Penjalaran

: ke lenngan kiri dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut dapat

juga ke lengan kanan.

• Adanya faktor pencetus : aktivitas fisik, emosi, udara dinggin dan sesudah makan.

• Gejala yang menyertai : keringat dingin, cemas, lemas, mual, muntah serta sulit bernafas.

• Nyeri membaik atau menghilang dengan istirahat atau memakan obat nitrat

Nyeri juga terdapat pada perikarditis akut, emboli paru, gangguan gastroinstestinal

dan lain sebagainya. Tetapi nyeri STEMI tidak selalu ditemukan pada diabetes

melitus dan usia lanjut

Page 24: ANALISA KASUS

Pemeriksaan fisik

Pasien terlihat cemas, pada ekstrimitas pucat dan dingin. Kombinasi nyeri dada

>30 menit dan banyak keringat dicurigai STEMI. Peningkatan suhu sampai 38o C,

disfungsi ventrikulas S4 dan S3gallop, penurunan instensitas bunyi jantung

pertama dan spit paradoksial bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur

midsistolik.

EKG

Terdapat elevasi segmen ST diikuti perubahan sampai inversi gelombang T,

kemudian muncul peningkatan gelombang Q minimal di dua sadapan.

Dilakukan 10 menit setelah pasien datang ke IGD.

Pemeriksaan laboratorium

Pertanda adanya nekrosis jantung, selnya akan mengelurakan enzim yang dapat

dapat diukur

• CKMB (creatinine kinase MB) : meningkat 3 jam setelah miokard infark

dan mencapai puncak dalam 10 – 24 jam dan kembali normal dalam 2 – 4

hari. Operrasi jantung, miokarditis dan injuri otot juga meningkatkan

CKMB.

• cTn (cardiac specifik troponin) T dan I; meningkat setelah 2 jam setelah

infark miokard, dan mencapai puncak setelah 10 – 24 jam dan cTn T

masih dapat dideteksi setelah 5 – 14 hari sedangkan cTn I setelah 5 -10

hari.

Pemeriksaan enzim lainnya.

• Mioglobin mencapai puncak setelah miokard infark dalam 4 – 8 jam.

• Creatini kinase meningkat setelah setelah 3 – 8 jam mencapai puncak setelah 10 – 36 jam dan

kembali normal dalam 3 – 4 hari.

• Lactc dehydrogenase (LDH) men igkat setelah 24 – 28 jam mencapai puncak 3 – 6 hari

kembali normal dalam 8 – 14 hari

Page 25: ANALISA KASUS

Juga terjadi leukositosis polimorfonuklear yang terjadi dalam beberapa jam setelah nyeri dan

menetap dalam 3 -7 hari, leukosit dapat mencapai 12000 – 15000/ul.

Penatalaksanaan

Tatalaksana Pra Rumah Sakit

Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolonggan medis, pemberian

fibrinolitik pra hospital hanya bisa dilakukan jika ada paramedis di ambulan yang

sudah terlatih menginterprestasikan EKG.

Tatalaksana di ruang Emergensi

Mencakup mengurangi /menghilangkan nyeri dada, referfusi segera, triase .Secara umum dapat

diberikan Oksigen, dapat diberikan pada pasien tanpa komplikasi selama 6 jam pertama.

Nitrogliserin (NTG) sublingual, merupakan dilatasi pembuluh darah.

Morfin, merupakan obat untuk menghilangkan nyeri, dengan dosis 2 – 4 mg.

Aspirin, inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar

tromboksan A2, dosis 160 – 325 mg di ruang emergensi.

Penyekat beta, jika morfin tidak berhasil menghilangkan nyeri.

Miokard infark Tanpa elevasi ST (NSTEMI)

Angina pektoris tidak stabil (unstable angina = UA) dan NSTEMI merupakan

suatu kesinambungn dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran kelinis

sehingga pada prinsipnya penatalaksanaannya tidak berbeda. Diagnosa NSTEMI

ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti addanya

nekrosis berupa peningkatan enzim – enzim jantung.

Evaluasi klinis

Sama seperti STEMI, berupa nyeri dada yang khas.

EKG

Defiasi segmen ST

Page 26: ANALISA KASUS

Enzim – enzim jantung

Memiliki kesamaan dengan STEMI, berupa peningkatan TnT dan I, CKMB, CK

LDH.

Penatalaksanaan.

Pada pasien harus diistirahatkan, empat utama terapi yang harus dipertimbangkan

pada setiap pasien NSTEMI. Terapi antiiskemia (nitrat sublingua atau penyekat beta)

Terapi antiplatelet (aspirin, klopidogrel atau antagonis GP IIb/IIIa)

Terapi antikoagulan (Unfaractionated Heparin atau low Molecular Weigh Heparin) .

Page 27: ANALISA KASUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar,T.B.,Sutomo,K. Penatalaksanaan penderita infark miokard akut. Naskah

Ceramah Ilmiah RS st.Elisabeth Medan.1987

2. Brown CT. Penyakit Ateroslerotik Koroner. dalam : Price SA, Wilson

LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2005.

3. Hanafiah,A.: Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner. Buku Makalah simposium

Penyakit Jantung Koroner FKUI/RSJ Harapan Kita.1986.

4. Kasiman,s: Faktor Resiko utama Penyakit Jantung Koroner. Kumpulan makalah

Rehabilitasi dan Kualitas Hidup. Simposium rehabilitasi Jantung Indonesia 11 Perki,

Jakarta 1988.

5. Kasiman, s, St.Bagindo.AA,Haroen,TRH:Beberapa langkah pengobatan Penyakit

Jantung Koroner. Buku Naskah Temu Ilmiah Masalah PJK. FKUSU 1986, 11-47.

6. Kasiman,s.,Yamin,w., Haroen,T.R.: High density and Low density lipoprotein cholesterol

in Myocardial infarction at Dr.Pirnga Marulam P. Gagal jantung. dalam : Sudoyo AW,

Setiohadi B, Setiani S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi 3. Jakarta : Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia ; 2006.

7. Gray, Huon H. Lecture Notes Kardiologi Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga;

2005.

8. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksnan

Penyakit Kardiovaskuler di Indonesia. Jakarta : PERKI; 2009.

9. Lily Ismudiati Rilantono,dkk. Buku Ajar Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia,2004.

Page 28: ANALISA KASUS

10. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical. 8th

Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000 (Buku asli diterbitkan tahun

1996).

11. Karim, Syukri. EKG dan Penanggulangan beberapa penyakit Jantung Untuk Dokter

Umum. Jakarta : FKUI ; 1996.