BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasarrepository.poltekkes-tjk.ac.id/336/3/6....
Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasarrepository.poltekkes-tjk.ac.id/336/3/6....
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Konsep Kebutuhan Dasar
Kenyamanan atau rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan
yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah
dan nyeri). Kenyamanan harus dipandang secara holistik yang mencakup
empat aspek yaitu:
1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan
sosial.
3. Psikososial, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri
sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan.
4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
Dalam meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat lebih
memberikan kekuatan, harapan, dorongan, hiburan, dukungan dan bantuan.
Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini
disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi
yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukkan dengan
timbulnya gejala dan tanda pada pasien (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
7
1. Gangguan Rasa Nyaman
a. Definsi gangguan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan
sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan emosional
(SDKI PPNI, 2016).
b. Penyebab gangguan rasa nyaman:
1) Gejala penyakit
2) Kurang pengendalian situasional/lingkungan
3) Ketidakadekuatan sumber daya
4) Kurangnya privasi
5) Gangguan stimulus lingkungan
6) Efek samping terapi (misal medikasi, radiasi dan kemoterapi)
c. Gejala dan tanda mayor
Subjektif: Mengeluh tidak nyaman
Objektif: Gelisah
d. Gejala dan tanda minor
Subjektif:
1) Mengeluh sulit tidur dan mengeluh lelah
2) Tidak mampu rileks
3) Mengeluh kedinginan/kepanasan
4) Merasa gatal
5) Mengeluh mual
Objektif:
1) Menunjukkan gejala distres
2) Tampak merintih/menangis
3) Pola eleminasi berubah
4) Postur tubuh berubah
5) Iritabilitas
e. Kondisi klinis terkait:
1) Penyakit kronis dan Keganasan
2) Distres psikologis, Kehamilan (SDKI PPNI, 2016).
8
2. Gangguan Rasa Nyaman Nyeri
a. Pengertian nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual
atau potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan
jaringan tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
Nyeri adalah pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan (SDKI PPNI, 2016).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan
nyeri merupakan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan,
presepsi nyeri seseorang sangat ditentukan oleh pengalaman dan status
emosionalnya. Presepsi nyeri bersifat sangat pribadi dan subjektif. Oleh
karena itu, suatu rangsang yang sama dapat dirasakan berbeda oleh dua
orang yang berbeda bahkan suatu rangsang yang sama dapat dirasakan
berbeda oleh satu orang karena keadaan emosionalnya yang berbeda.
b. Fisiologi nyeri
Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,
presepsi, dan relaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls
melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis
dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di
dalam masa berwarna abu-abu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri
dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri
sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks
serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses
informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta
asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri (Wahyudi &
Abd.Wahid, 2016).
9
c. Klasifikasi nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Tabel 2.1 Klasifikasi Nyeri
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Nyeri akut adalah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung kurang dari
kurang 3 bulan.
Nyeri kronis adalah pengalaman sensorik
atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau
lambat dan berintensitas ringan hingga
berat dan konstan, yang berlangsung
lebih dari 3 bulan.
Penyebab nyeri akut antara lain:
1) Agen pencedera fisiologis (mis:
inflamasi, iskemia, meoplasma)
2) Agen pencedera kimiawi (mis:
terbakar, bahan kimia iritan)
3) Agen pencedera fisik (mis: abses,
amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur
operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan)
Penyebab nyeri kronis antara lain:
1) Kondisi muskuloskeletal kronis
2) Kerusakan sistem saraf
3) Penekanan saraf
4) Infiltrasi tumor
5) Ketidakseimbangan
neuromedulator, dan reseptor
6) Gangguan imunitas (mis: neuropati
terkait HIV, virus vericella-zoster)
7) Gangguan fungsi metabolik
8) Riwayat posisi kerja statis
9) Peningkatan indeks massa tubuh
10) Kondisi pasca trauma
11) Tekanan emosional
12) Riwayat penganiayaan (mis: fisik,
psikologis, seksual)
13) Riwayat penyalahgunaan obat/zat.
Sumber: (SDKI PPNI, 2016).
d. Respons terhadap nyeri
Reaksi terhadap nyeri terdiri atas respons fisiologis, psikologis, dan
perilaku yang terjadi setelah mempresepsikan nyeri.
1) Reaksi fisiologis
Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang
otak dan talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai
bagian dari respons stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga
sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-
fight”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada
cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respons
fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus secara tipikal
akan melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis
10
menghasilkan suatu aksi. Respons fisiologis terhadap nyeri sangat
membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri berat yang
menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu
mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal.
Dengan demikian klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda-tanda fisik (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
2) Reaksi psikologis
Respons psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien
tentang nyeri. Klien yang mengartikan nyeri sebagai sesuatu yang
“negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka,
ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah atau
frustasi. Sebaliknya, bagi klien yang memiliki presepsi yang
“positif” cenderung menerima nyeri yang dialaminya (Zakiyah,
2015).
3) Respons perilaku
Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang
khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri dapat
ditunjukkan oleh pasien sebagai respons perilaku terhadap nyeri.
Respons tersebut seperti: menkerutkan dahi, gelisah, memalingkan
wajah ketika diajak bicara (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
1) Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai
kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat
yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan
secara verbal dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.
Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki risiko tinggi
mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat
adanya komplikasi penyakit dan degeneratif.
11
2) Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak
boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam
situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak
berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri.
3) Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah
suatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih
perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya menentukan
perilaku psikologis seseorang. Dengan demikian hal ini dapat
mempengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga
terjadilah presepsi nyeri.
4) Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi presepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya
pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respons nyeri yang
menurun.
5) Makna nyeri
Individu akan mempresepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan
tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
6) Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan presepsi nyeri tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas
tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah
penatalaksanaan nyeri yang serius.
12
7) Gaya koping
Individu yang memiliki lokus kendali internal mempresepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan
mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya,
individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempresepsikan
faktor lain di dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai
individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu
peristiwa.
8) Keletihan
Rasa keletihan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan prespsi
nyeri.
9) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun
tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri
dengan lebih mudah di masa datang.
10) Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat dan bagaimana sikap mereka
terhadap klien dapat memengaruhi respons nyeri. Pasien dengan
nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun
nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
f. Efek yang ditimbulkan oleh nyeri
Nyeri merupakan kejadian ketidaknyamanan yang dalam
perkembangannya akan mempengaruhi berbagai komponen dalam tubuh.
Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan pengaruhnya
pada aktivitas sehari-hari (Andarmoyo, 2017).
13
1) Tanda dan gejala
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang
berupaya untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan.
Sangat penting untuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat
awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan frekuensi
pernapasan meningkat (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
2) Efek fisik
a) Nyeri akut
Pada nyeri akut, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat
mempunyai efek yang membahayakan diluar ketidaknyamanan
yang disebabkannya. Selain merasakan ketidaknyamanan dan
mengganggu, nyeri akut yang tidak kunjung mereda dapat
memengaruhi sistem pulmonary, kardiovaskuler,gastrointestinal,
endokrin, dan imunologik (Andarmoyo, 2017).
b) Nyeri kronis
Seperti halnya nyeri akut, nyeri kronis juga mempunyai efek
negatif dan merugikan. Supresi atau penekanan yang terlalu
lama pada fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri kronis dapat
meningkatkan pertumbuhan tumor (Andarmoyo, 2017).
3) Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan
gerakan tubuh yang khas dan berespons secara vokal serta
mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali
meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi,
mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian
tubuh sampai dengan menghindari percakapan, menghindari kontak
sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri
(Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
14
4) Pengaruh pada aktivitas sehari-hari
Pasien mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi
dalam aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam melakukan
tindakan higiene normal dan dapat mengganggu aktivitas sosial dan
hubungan seksual (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
g. Penanganan nyeri
1) Penanganan nyeri farmakologis
a) Analgesik narkotik
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium
seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat memberikan efek
penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini mengaktifkan
penekan nyeri endogen pada susunan saraf pusat. Namun
penggunaan obat ini menimbulkan efek menekan pusat
pernapasan di medulla batang otak sehingga perlu pengkajian
secara teratur terhadap perubahan dalam status pernapasan jika
menggunakan analgesik jenis ini (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
b) Analgesik non narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan
ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti
inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini menyebabkan
penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostalglandin
dari jaringan yang mengalami atau inflamasi. Efek samping
yang paling umum terjadi adalah gangguan pencernaan seperti
adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster (Wahyudi &
Abd.Wahid, 2016).
15
2) Penanganan nyeri non farmakologis
a) Distraksi
Distraksi adalah memfokuskan perhatian pasien pada
sesuatu selain nyeri, atau dapat diartikan lain bahwa distraksi
adalah suatu tindakan pengalihan perhatian pasien ke hal-hal di
luar nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokus
pada nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien
terhadap nyeri bahkan meningkatkan toleransi terhadap nyeri.
Distraksi diduga dapat menurunkan presepsi nyeri dengan
menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan
lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak.
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk
menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.
Berikut jenis-jenis teknik distraksi:
1. Distraksi visual/penglihatan
Yaitu pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke
dalam tindakan-tindakan visual atau melalui pengamatan.
2. Distraksi audio/pendengaran
Yaitu pengalihan perhatian selain nyeri yang diarahkan ke
dalam tindakan melalui organ pendengaran.
3. Distraksi intelektual
Yaitu pengalihan perhatian selain nyeri yang dialihkan ke
dalam tindakan-tindakan dengan menggunakan daya
intelektual yang pasien miliki (Andarmoyo, 2017).
b) Relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan
mental dan fisik dari ketegangan dan stres sehingga dapat
meningkatkan toleransi terhadap nyeri. Teknik relaksasi yang
sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat,
berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas
dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat
16
dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat
bersama setiap inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dan ekhalasi
(“hembuskan, dua, tiga”). Pada saat perawat mengajarkan ini,
akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama
pasien pada awalnya. Napas yang lambat, berirama, juga dapat
digunakan sebagai teknik distraksi. Hampir semua orang dengan
nyeri mendapatkan manfaat dari metode-metode relaksasi.
Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk
melawan keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan
nyeri akut dan yang meningkatkan nyeri (Andarmoyo, 2017).
c) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi
seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk
mencapai efek positif tertentu. Tindakan ini membutuhkan
konsentrasi yang cukup. Upayakan kondisi lingkungan klien
mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan, kebisingan, bau
menyengat, atau cahaya yang sangat terang perlu
dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk
berkonsentrasi. Beberapa klien lebih rileks dengan cara menutup
matanya (Andarmoyo, 2017).
h. Pengukuran nyeri
1) Skala penilaian numerik
Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala ini sangat efektif untuk digunakan
saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik.
Gambar 2.1 pengukuran skala nyeri
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
17
Keterangan:
Tabel 2.2 Skala Nyeri
0 Tidak ada nyeri (merasa normal).
1 Nyeri hampir tidak terasa (nyeri sangat ringan). Sebagian besar tidak pernah
berfikir tentang rasa sakit, seperti gigitan nyamuk.
2 Tidak menyenangkan. Nyeri ringan, seperti cubitan ringan pada kulit.
3 Bisa ditoleransi. Nyeri sangat terasa, seperti suntikan oleh dokter.
4 Menyedihkan. Kuat, nyeri yang dalam, seperti sakit gigi atau rasa sakit dari
sengatan lebah.
5 Sangat menyedihkan. Kuat dalam, nyeri yang menusuk, seperti kaki terkilir.
6 Intens. Kuat dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampak
memengaruhi sebagian indra, menyebabkan tidak fokus, komunikasi terganggu.
7 Sakit intens. Sama seperti skala 6, rasa sakit benar-benar mendominasi indra, tidak
mampu berkomunikasi dengan baik dan tidak mampu melakukan perawatan diri.
8 Benar – benar mengerikan. Nyeri sangat kuat dan sangat mengganggu sampai
sering mengalami perubahan perilaku jika nyeri terjadi.
9 Menyiksa tak tertahankan. Nyeri sangat kuat, tidak bisa ditoleransi dengan terapi.
10 Nyeri tak terbayangkan dan tak dapat diungkapkan. Nyeri sangat berat sampai tidak
sadarkan diri.
Dikelompokkan menjadi: Tabel 2.3 Pengelompokan Skala Nyeri
Skala Nyeri Grade Interpretasi
1-3 Nyeri ringan Nyeri bisa ditoleransi dengan
baik/tidak mengganggu aktivitas
4-6 Nyeri sedang Mengganggu aktivitas fisik.
7-9 Nyeri berat Tidak mampu melakukan aktivitas
secara mandiri.
10 Nyeri sangat berat Malignan/nyeri sangat hebat dan tidak
berkurang dengan terapi/obat-obatan
pereda nyeri dan tidak dapat
melakukan aktivitas.
Sumber: (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
B. Tinjauan Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian nyeri yang faktual dan tepat dibutuhkan untuk
menetapkan data dasar, menegakkan diagnosis keperawatan yang tepat,
menyeleksi terapi yang cocok, dan mengevaluasi respons klien terhadap
terapi. Keuntungan pengkajian nyeri bagi klien adalah nyeri dapat
diidentifikasi, dikenali sebagai suatu yang nyata, dapat diukur, dan dapat
dijelaskan serta digunakan untuk mengevaluasi perawatan (Andarmoyo,
2017).
18
a. Identitas klien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
b. Alasan masuk rumah sakit
Yaitu keluhan utama pasien saat masuk rumah sakit dan saat
dikaji. Pasien mengeluh nyeri, dilanjutkan dengan riwayat kesehatan
sekarang, dan kesehatan sebelum (Wahyudi & Wahid, 2016).
c. Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma
kepala disertai penurunan tingkat kesadaran, salah satunya nyeri
(Muttaqin, 2011).
d. Riwayat kesehatan sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma langsung ke
kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun
(GCS < 15), konklusi, muntah, takipnea/dispnea, sakit kepala, wajah
simetris/tidak, lemah, luka di kepala, paralisis, akumulasi sekret pada
saluran pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang (Muttaqin, 2011).
e. Riwayat kesehatan dahulu
Berisi pengalaman penyakit sebelumnya, apakah memberi
pengaruh pada penyakit yang diderita sekarang, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obatan antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2011).
f. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu diketahui apakah ada anggota keluarga lainnya yang
menderita sakit yang sama seperti klien, dikaji pula mengenai
19
adanya penyakit keturunan yang menular dalam keluarga (Muttaqin,
2011).
g. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk
menilai proses emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons
atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat (Muttaqin, 2011).
h. Pengkajian nyeri
Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif. Data yang
terkumpul secara komprehensif dapat dijadikan sebagai acuan dalam
menentukan manajemen nyeri yang tepat.
Tabel 2.4 Komponen Pengkajian Nyeri JCAHO
P (provoking incident) 1. Faktor pencetus atau penyebab
2. Faktor yang meringankan: teknik atau
keadaan yang dapat menurunkan nyeri
3. Faktor yang memperberat: teknik atau
keadaan yang dapat meningkatkan nyeri
Q (Quality/Quantity) Deskripsi nyeri yang dirasakan seseorang,
karakteristik nyeri.
R (Region/Relief) Regio yang mengalami nyeri, dapat
ditunjukkan dengan gambar.
S (Severity) Kekuatan dari nyeri dengan menggunakan
skala nyeri.
T (Time) Waktu timbul nyeri, periode (durasi) nyeri
dirasakan.
Penatalaksanaan nyeri saat ini Penatalaksanaan yang digunakan untuk
mengontrol nyeri, hasil, dan keefektifan.
Riwayat penatalaksanaan
nyeri sebelumnya
Riwayat penatalaksanaan nyeri, baik
intervensi medis maupun nonmedis.
Dampak nyeri Perubahan gaya hidup seperti tidur, nutrisi,
dan sebagainya.
Tujuan mengontrol nyeri Harapan tentang tingkat nyeri, toleransi, dan
pemulihan.
Sumber : (Zakiyah, 2015)
i. Riwayat nyeri
Saat mengkaji nyeri, perawat harus memberikan pasien
kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap
nyeri dan situasi tersebut dengan cara atau kata-kata mereka sendiri.
Langkah ini akan membantu perawat memahami makna nyeri pada
20
pasien, pengkajian riwayat nyeri meliputi beberapa aspek, antara
lain:
1) Lokasi: untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, perawat
bisa memberikan bantuan dengan gambar tubuh untuk pasien
agar bisa menandai bagian mana yang dirasakan nyeri.
2) Intensitas nyeri: cara menentukan intensitas nyeri pasien,
biasanya paling banyak menggunakan skala nyeri biasanya
dalam rentang 0-5 atau 0-10. Angka „0‟ menandakan tidak
adanya nyeri dan angka tertinggi adalah nyeri „terhebat‟ yang
dirasakan pasien.
3) Kualitas nyeri: terkadang nyeri yang dirasakan bisa seperti,
tertusuk-tusuk, teriris benda tajam, disetrum dan rasa terbakar.
Perawat dapat mencatat kata-kata yang digunakan pasien dalam
menggambarkan nyerinya.
4) Pola: pola nyeri meliputi, waktu, durasi, dan kekambuhan
interval nyeri. Maka, perawat perlu mengkaji kapan nyeri
dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang,
dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5) Faktor presipitasi: terkadang, aktivitas tertentu dapat memicu
munculnya nyeri. Seperti, aktivitas berlebih yang mengkibatkan
timbulnya nyeri dada, selain itu faktor lingkungan, suhu
lingkungan dapat berpengaruh terhadap nyeri, stresor fisik dan
emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.
6) Gejala yang menyertai: nyeri juga bisa menimbulkan gejala
yang menyertai, seperti mual, muntah, dan pusing.
7) Pengaruh pada aktivitas sehari-hari: dengan mengetahui sejauh
mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian pasien akan
membantu perawat dalam memahami prespektif pasien tentang
nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri,
yaitu pola tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan dan
aktivitas diwaktu senggang.
21
8) Sumber koping: setiap individu memiliki strategi koping
berbeda-beda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat
dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya, atau pengaruh
agama dan budaya.
9) Respon afektif: respon afektif pasien terhadap nyeri bervariasi,
bergantung pada situasi, derjat dan durasi nyeri, dan faktor
lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut,
lelah, depresi, atau perasaan gagal pada diri pasien (Mubarak &
Chayatin, 2008).
j. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara lengkap dan
menyeluruh.
1) Ukur suhu tubuh, tekanan darah, nadi, serta tinggi dan berat
badan pada setiap pemeriksaan.
2) Amati seluruh tubuh pasien untuk melihat keberadaan lesi kulit,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas tusukan jarum, perubahan
warna dan ada tidaknya oedema.
3) Lakukan pemeriksaan status mental untuk mengetahui orientasi
pasien, memori, komprehensi, kognisi dan emosi pasien
terutama sebagai akibat dari nyeri.
4) Pemeriksaan sendi selalu lakukan pemeriksaan di kedua sisi
pasien apabila kemungkinan untuk mendeteksi adanya asimetri.
Lakukan palpasi untuk mengetahui area spesifik dari nyeri.
5) Pemeriksaan sensorik, menggunakan diagram tubuh sebagai alat
bantu dalam menilai nyeri terutama untuk menentukan letak dan
etiologi nyeri.
22
2. Diagnosis Keperawatan
a. Menurut SDKI (2016), diagnosa keperawatan yang muncul
berhubungan dengan gangguan rasa nyaman nyeri adalah :
1) Nyeri dan Kenyamanan: Nyeri Akut berhubungan dengan agen
pencedera fisik: Trauma
Nyeri akut: pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual/fungsional, dengan onset
mendadak/lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan.
b. Berdasarkan diagnosa NANDA NIC NOC 2016 masalah yang
muncul pada gangguan rasa nyaman nyeri adalah:
1) Gangguan rasa nyaman nyeri: Nyeri akut berhubungan dengan
Agen cedera fisik (trauma pada kepala).
3. Perencanaan/Intervensi Keperawatan
Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain:
a. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman individu.
b. Meningkatkan kemampuan individu untuk dapat melakukan aktivitas
fisik yang diperlukan untuk penyembuhan (misal: batuk dan napas
dalam, ambulasi).
c. Mencegah timbulnya gangguan tidur (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
Tabel 2.5 Intervensi Nyeri Akut Menurut SIKI 2018
Diagnosis
keperawatan
Intervensi Utama Intervensi
Pendukung
1. Nyeri akut ,
intervensi
utama:
a. Manajemen
nyeri
b. Pemberian
analgesik
Manajemen nyeri, yaitu
mengidentifikasi dan mengelola
pengalaman sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan atau fungsional dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas
ringan hingga berat dan konstan.
Observasi:
1) Identifikasi lokasi, karakteristik,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2) Identifikasi skala nyeri.
1) Dukungan
pengungkapan
kebutuhan.
2) Edukasi efek
samping obat.
3) Edukasi
manajemen nyeri.
4) Edukasi proses
penyakit.
5) Edukasi teknik
napas
23
3) Identifikasi respons nyeri non verbal.
4) Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri.
5) Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri.
6) Identifikasi pengaruh budaya
terhadap respon nyeri.
7) Identifikasi pengaruh nyeri pada
kualitas hidup.
8) Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan.
9) Monitor efek samping penggunaan
analgetik.
Terapeutik:
1) Berikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri ( mis:
TENS, hipnosis, akupresur, terapi
musik, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain), teknik distraksi dan
teknik relaksasi.
2) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis: suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3) Fasilitasi istirahat & tidur.
4) Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi:
1) Jelaskan penyebab, metode, dan
pemicu nyeri.
2) Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3) Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4) Anjurkan menggunakan analgetik
secara tepat
5) Ajarkan teknik non farmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi:
1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika
perlu
6) Manajemen
kenyamanan
lingkungan.
7) Pemantauan nyeri.
8) Pemberian obat.
9) Pengaturan posisi.
10) Teknik distraksi
11) Teknik relaksasi
12) Teknik imajinasi
terbimbing.
Sumber: Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018.
24
Tabel 2.6 Intervensi Nyeri Akut Menurut NIC NOC 2016 No Diagnosis
keperawatan
Tujuan / kriteria Rencana keperawatan
1 a) Nyeri akut
berhubungan
dengan agen
cedera fisik
(trauma pada
kepala )
Tujuan
Pain level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil:
1) Secara subyektif
melaporkan/ mengatakan
nyeri berkurang dengan
skala nyeri 1-2 dan
menyatakan rasa nyaman
setelah nyerinya
berkurang
2) Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan
teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
3) Mengatakan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan manajemen
nyeri.
4) Mampu mengenali nyeri
(skala, intensitas,
frekuensi dan tanda
nyeri).
5) Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang.
6) Tanda vital dalam rentang
normal.
7) Tidak mengalami
gangguan tidur
1) Kaji nyeri secara
komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, dan
kulitas.
2) Kaji faktor-faktor
yang meningkatkan
dan meringankan
nyeri.
3) Kaji pengalaman
nyeri klien dimasa
lampau.
4) Kaji tindakan
penanganan yang
diupayakan untuk
menurunkan nyeri.
5) Kaji tanda-tanda
vital (TD, N, R, S)
6) Berikan informasi
yang akurat
mengenai nyeri klien
(penyebab,
penanganan, dsb.)
7) Ajarkan tindakan
peredaan nyeri
nonfarmakologi
(misal: stimulasi
kutaneus, kompres
hangat, kompres
dingin, masase
kutaneus, distraksi,
relaksasi dsb).
8) Libatkan keluarga
dalam perawatan
klien.
9) Kolaborasi dengan
dokter, pemberian
analgesik
Sumber: ( NANDA NIC - NOC, 2016)
25
4. Pelaksanaan/Implementasi Nyeri
Implementasi keperawatan merupakan komponen dari proses
keperawatan yang merupakan kategori dari perilaku keperawatan di
mana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan.
Pengertian tersebut menekankan bahwa implementasi adalah melakukan
atau menyelesaikan suatu tindakan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Terdapat berbagai tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi
rasa nyeri. Implementasi lebih ditunjukkan pada:
a. Upaya perawatan dalam meningkatkan kenyamanan,
b. Upaya pemberian informasi yang akurat,
c. Upaya mempertahankan kesejahteraan,
d. Upaya tindakan peredaan nyeri nonfarmakologis, dan
e. Pemberian terapi nyeri farmakologis (Andarmoyo, 2017).
5. Evaluasi Nyeri
Evaluasi keperawatan adalah tahapan terakhir dari proses
keperawatan untuk mengukur respons klien terhadap tindakan
keperawatan dan kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan.
Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan masalah nyeri
dilakukan dengan menilai kemampuan dalam merespons rangsangan
nyeri, diantaranya:
a. Klien menyatakan adanya penurunan rasa nyeri,
b. Mendapatkan pemahaman yang akurat mengenai nyeri,
c. Mampu mempertahankan kesejahteraan dan meningkatkan
kemampuan fungsi fisik dan psikologis yang dimiliki,
d. Mampu menggunakan tindakan-tindakan peredaan nyeri
nonfarmakologis,
e. Mampu menggunakan terapi yang diberikan untuk mengurangi rasa
nyeri (Andarmoyo, 2017).
26
C. Tinjauan Konsep Penyakit
1. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala yang disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif dan dapat
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Brain
Injury Assosiation of America, 2006).
Trauma kepala/cedera kepala merupakan trauma yang mengenai
tengkorak yang menyebabkan kerusakan otak mulai dari ringan sampai
berat (Ikhya Ulya dkk, 2017). Menurut berat-ringannya trauma, cedera
kepala dibagi sebagai berikut (Krisanty, et al., 2016):
a. Cedera kepala ringan
1) Nilai GCS 13-15.
2) Amnesia kurang dari 30 menit.
3) Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada.
4) Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari.
b. Cedera kepala sedang
1) Nilai GCS 9-12.
2) Penurunan kesadaran 30 menit-24 jam.
3) Terdapat trauma sekunder.
4) Gangguan neurologis sedang.
c. Cedera kepala berat
1) Nilai GCS 3-8.
2) Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari.
3) Terdapat cedera sekunder: kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan
dan atau hematoma intrakranial.
27
Perdarahan yang sering ditemukan pada kasus cedera kepala yaitu:
a. Epidural hematoma (EDH)
Perdarahan duramater dan skull. Frekuensi kejadian epidural
hematoma (EDH) sekitar 1-2% dari insiden cedera kepala. Tanda dan
gejala yang terjadi pada pasien dengan EDH adalah:
1) Sakit kepala
2) Penurunan kesadaran secara mendadak
Pola penurunan kesadaran disertai dengan fase lucid interval (pada
tahap awal tidak sadar, kemudian pasien sadar kembali sekitar lima
menit sampai enam jam yang disebut sebagai fase lucid interval, dan
secara cepat pasien akan mengalami penurunan kesadaran kembali).
3) Adanya hemiparese kontralateral
4) Dilatasi pupil ipsilateral
5) Brakikardia
6) TIK meningkat
7) Tekanan darah meningkat
8) Pola pernapasan abnormal
b. Subdural hematoma (SDH)
Perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
mengakibatkan akumulasi darah antara duramater dan arachnoid mater
atau disebut sebagai rongga subdural. Sumber perdarahan berasal dari
sinus vena dan korteks serebral. Perdarahan pada subdural ini memiliki
angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
perdarahan intrakranial lainnya. Subdural hemtoma (SDH) lebih sering
dibandingkan dengan epidural hematoma (EDH) yaitu sekitar 10-20 %
dari jumlah trauma kepala. Tanda dan gejala pada pasien dengan SDH
adalah sebagai berikut:
28
1) Sakit kepala dan memberat seiring dengan meningkatnya perdarahan
2) Diameter pupil tidak sama antara kanan dan kiri yang
mengindikasikan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
3) Penurunan tingkat kesadaran (akut) atau progresif
4) Kebingungan (confuse)
5) Kelemahan di salah satu sisi tubuh secara akut (hemiparese)
6) Dilatasi pupil secara akut
7) Refleks babinski positif
8) Peningkatan suhu tubuh
9) Mual dan atau muntah
10) Peningkatan TIK
c. Subarachnoid hemorrhage (SAH)
Perdarahan subaraknoid (subaraknoid hemoragik/SAH) merupakan
perdarahan yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah subaraknoid
sehingga menimbulkan akumulasi darah di antara membran araknoid
dan piamater yang mengelilingi jaringan otak atau disebut sebagai
ruang subaraknoid. Tanda dan gejala yang terdapat pada pasien dengan
perdarahan subaraknoid atau SAH adalah sebagai berikut:
1) Biasanya tanpa gejala
2) Sakit kepala hebat
3) Penurunan tingkat keasadaran
4) Muntah
5) Kejang
6) Kaku leher
7) Mengantuk (drowsiness)
8) Koma
9) Kebingungan (confusion)
10) Perdarahan pada bola mata (perdarahan intraokular)
11) Fotofobia (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).
29
2. Anatomi Fisiologi
Struktur kepala terdiri atas bagian berikut.
a. Skalp (kulit kepala)
b. Skull (tengkorak)
c. Jaringan ikat yang melindungi otak (meningen: duramater, arachnoid
mater, piamater)
d. Jaringan otak
e. Cairan serebrospinal
f. Kompartmen vaskular
Skalp atau kulit kepala merupakan bagian yang melindungi tengkorak
dan memiliki jaringan vaskular yang banyak dan rawan terjadi perdarahan
saat terjadi laserasi. Tengkorak merupakan bagian tulang yang kaku dan
keras serta berfungsi melindungi otak dari mekanisme trauma kepala. Jika
mengalami cedera, maka dapat menyebabkan pembengkakan pada otak. Di
dalam rongga kepala, otak mengapung pada cairan serebrospinal sehingga
memungkinkan terjadinya pergerakan pada saat terjadi mekanisme cedera
atau mengelami benturan.
Otak diselimuti oleh jaringan fibrosa yang terdiri dari atas duramater
(tough mother), kemudian lapisan yang lebih tipis yaitu arakhnoid yang
terletak di bawah duramater dan mengandung pembuluh darah arteri dan
vena, serta lapisan yang lebih tipis lagi yaitu piamater (soft mother), yang
terletak di bawah arakhnoid dan melekat pada permukaan otak langsung.
Cairan serebrospinal (CSS) berada di bawah arakhnoid dan piamater.
Otak, cairan serebrospinal (CSS), dan darah yang berada dalam
pembuluh darah, merupakan komponen yang mengisi rongga kepala. Jika
terjadi peningkatan salah satunya, maka akan berpengaruh pada dua
komponen lainnya. Hal ini sangat berperan penting dalam patofisiologi
trauma kepala. Jika terjadi trauma, seperti halnya jaringan lainnya, otak
akan mengalami pembengkakan. Oleh karena kapasitas ruang yang tidak
berubah, jika terjadi pembengkakan atau bertambahnya cairan dalam
rongga tengkorak, maka akan menyebabkan peningkatan tekanan.
30
Cairan serebrospinal berisi nutrisi yang membasahi otak dan spinal
cord atau sumsum tulang belakang. Cairan spinalis diproduksi di ventrikel
otak secara terus-menerus rata-rata 0,33 ml/menit. Jumlah normal cairan
serenrospinal 125-150 ml. Cairan serebrospinal bersirkulasi di arakhnoid
dan subaraknoid kemudian cairan serebrospinal akan diabsorbsi kembali.
Jika ada yang menghambat aliran cairan serebrospinal dapat menyebabkan
akumulasi cairan spinal dalam otak (hidrosefalus) dan meningkatkan
tekanan intrakranial (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).
3. Etiologi Cedera Kepala
Trauma kepala/cedera kepala secara umum disebabkan oleh beberapa
hal berikut ini kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan
pada kepala, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau
cedera saat lahir (NANDA NIC NOC 2015-2017). Mekanisme cedera
kepala meliputi :
a. Cedera akselerasi, terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (mis: alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang
ditembakkan ke kepala).
b. Cedera deselerasi, terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
c. Cedera coup-countre coup, terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukuli dibagian
belakang kepala
d. Cedera rotasional, terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar neuron dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan
peregangan atau robeknya memfiksasi otak dengan bagian dalam
rongga tengkorak (Nurarif & Kusuma, 2016).
31
4. Patofisiologi Cedera Kepala
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan sekunder.
a. Cedera primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan,
karena tenaga kinetik mengenai kranium atau otak. Cedera primer
dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus. Cedera fokal
menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur tengkorak,
laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral. Sedangkan cedera difus
menyebabkan cedera mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axonal injury (Diagnosis NANDA NIC NOC 2015-2017).
b. Cedera kepala sekunder
Kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari
kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia,
pembengkakan otak, TTIK (Tekanan Tinggi IntraKranial),
hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanisme nya, kerusakan
ini dapat dikelompokkan atas dua yaitu: kerusakan hipoksik-
iskemik menyeluruh dan pembengkakan otak menyeluruh
(Japardi, 2004).
32
Gambar 2.2 pathway cedera kepala
Trauma kepala
Ekstra kranial
Terputusnya kontinuitas
jaringan kulit, otot & vaskuler
Perdarahan hemastoma
Perubahan sirkulasi CSS
Peningkatan TIK
Gilus medialis lobus
temporalis tergeser
Gangguan kesadaran
Mesen falon tertekan
Herniasi ulkus
Tulang kranial Intra kranial
Ketidak efektifan bersihan jalan
nafas
- Bersihan jalan nafas
- Obstruksi jalan nafas
- Disepnea
- Henti nafas
- Perubahan pola nafas
kejang
- Perubahan autoregulasi
- Oedema serebral
Jaringan otak rusak (kontusio,
laserasi) Terputusnya kontinuitas
jaringan tulang
Nyeri akut
Gangguan neurologis
vokal
Defisit neurologis
Gangguan presepsi
sensori
Resiko infeksi Gangguan suplai darah
Resiko perdarahan
- Mual muntah
- Papilodema
- Pandangan kabur
- Penurunan fungsi
pendengaran
- Nyeri kepala
Iskemia
Hipoksia
Kerusakan memori
Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan otak
Kerusakan mobilitas
fisik
Ansietas
Kompresi medullaoblongata
Tonsil cerebrum
bergeser
imobilisasi
Resiko cedera
Resiko kekurangan
volume cairan
Sumber : (Nanda NIC-NOC, 2016)
33
5. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Gejala klinis dari trauma kepala ditentukan oleh derajat cedera dan
lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat
gangguan, kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada
penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya
beberapa menit saja.
a. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
1) Skor skala koma glasgow 15 (sadar penuh, alternatif dan orientatif).
2) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala
6) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.
b. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
1) Skor skala koma glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)
2) Konfusi
3) Amnesia pasca trauma
4) Muntah
5) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battel, mata rabun,
hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal)
6) Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
1) Skor skala koma glasgow 3-8 (koma)
2) Penurunan derajat kesadaran secara progresif
3) Tanda neurologis fokal
4) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
(Manurung, 2018).
34
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Laboratorium
1) GDA untuk menentukan adanya masalah vantilasi atau oksigenisasi
dan peningakatan tekanan intrakranial (TIK).
2) Kimia/elektrolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan yang
memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju metabolisme dan
diaforesis dapat menyebabkan peningkatan natrium (hipernatremia)
b. Pencitraan
1) CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma,
kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran jaringan
otak.
2) MRI lebih sensitif untuk memeriksa defisit neurologis yang tidak
terdeteksi oleh CT scan. (Diagnosis NANDA NIC NOC, 2015-
2017).
7. Penatalaksanaan Medis
Penanganan cedera kepala: (Nurarif & Kusuma, 2016).
a. Stabilisasi koardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-
Breathing-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia akan
cenderung memperhebat peninggian TIK dan menghasilkan prognosis
yang lebih buruk.
b. Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.
c. Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah (syok).
d. Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya.
e. Tindakan pemeriksaan diagnostic seperti: sken tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
35
8. Komplikasi Cedera Kepala
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan trauma kepala ada dua,
yaitu komplikasi jangka pendek dan komplikasi jangka panjang.
a. Komplikasi jangka pendek: terjadinya perdarahan serebral,
hematom, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), infeksi, dan
kejang.
b. Komplikasi jangka panjang: terjadinya perubahan perilaku,
gangguan fungsi saraf kranial, dan kecacatan sesuai area otak
yang mengalami kerusakan (Ulya, K, N, & Drajat, 2017).