BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

12
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang menembus abdomen seorang ibu (laparotomy) dan uterus (hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Oxorn, 2010). Menurut Norwitz (2008) bahwa bedah caesarea dilakukan dengan indikasi: bedah caesarea relatif dan bergantung pada penilaian penolong persalinan, adanya kegagalan proses persalinan, dan disproporsi sefalopelvik absolut (cephalopelvic disproportion, CPD) yaitu kondisi klinis ketika janin terlalu besar dibandingkan dengan rongga tulang panggul. Sementara itu, menurut Rasjidi (2009), indikasi persalinan sectio caesarea diantaranya adalah: (1) indikasi mutlak yang dibagi menjadi dua indikasi yaitu indikasi ibu (misalnya panggul sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis serviks, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur uteri) dan indikasi janin (misalnya kelaianan otak, gawat janin, prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sectio caesarea

Sectio Caesarea adalah sebuah bentuk melahirkan anak

dengan melakukan sebuah irisan pembedahan yang

menembus abdomen seorang ibu (laparotomy) dan uterus

(hiskotomi) untuk mengeluarkan satu bayi atau lebih (Oxorn,

2010).

Menurut Norwitz (2008) bahwa bedah caesarea dilakukan

dengan indikasi: bedah caesarea relatif dan bergantung pada

penilaian penolong persalinan, adanya kegagalan proses

persalinan, dan disproporsi sefalopelvik absolut (cephalopelvic

disproportion, CPD) yaitu kondisi klinis ketika janin terlalu besar

dibandingkan dengan rongga tulang panggul.

Sementara itu, menurut Rasjidi (2009), indikasi persalinan

sectio caesarea diantaranya adalah: (1) indikasi mutlak yang

dibagi menjadi dua indikasi yaitu indikasi ibu (misalnya panggul

sempit absolut, kegagalan melahirkan secara normal karena

kurang kuatnya stimulasi, adanya tumor jalan lahir, stenosis

serviks, plasenta previa, disproporsi sefalopelvik, dan ruptur

uteri) dan indikasi janin (misalnya kelaianan otak, gawat janin,

prolapsus plasenta, perkembangan bayi yang terhambat, dan

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

11

mencegah hipoksia janin karena preeklamasi, (2) indikasi

relatif, antara lain: riwayat sectio caesarea sebelumnya,

presentasi bokong, distosia fetal distress, preeklamasi berat,

ibu dengan HIV positif sebelum inpartu atau gemeli, (3) indikasi

sosial, misalnya: berdasarkan pengalaman melahirkan

sebelumnya, takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia

selama persalinan.

Bagi ibu yang melahirkan dengan tindakan sectio caesarea

tidak saja menimbulkan resiko medis tapi juga resiko

psikologis. Resiko medis Sectio Caesarea menurut Kasdu

(dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) infeksi rahim

dan bekas jahitan, dimana luka setelah caesar lebih besar dan

lebih berlapis-lapis. Bila penyembuhan tidak sempurna, kuman

lebih mudah menginfeksi sehingga luka bisa lebih parah, (2)

perdarahan, dimana darah yang hilang lewat sectio caesarea

dua kali lipat dibanding lewat persalinan normal. Kehilangan

darah yang cukup banyak mengakibatkan syok secara

mendadak, (3) resiko obat bius dimana sebagian bayi

mengalami efek dari obat bius yang diberikan doker kepada

ibunya saat caesarea. Setelah dilahirkan bayi biasanya menjadi

kurang aktif dan banyak tidur sebagai efek dari obat bius.

Sedangkan resiko psikologis Sectio Caesarea menurut

Kasdu (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013) antara lain: (1) baby

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

12

blues, biasanya berlangsung selama satu atau dua minggu

yang ditandai dengan perubahan suasana hati, kecemasan,

sulit tidur, konsentrasi menurun, (2) Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) dimana 3% perempuan memiliki gejala klinis

PTSD pada 6 minggu setelah caesarea, (3) sulit pendekatan

kepada bayi, dimana Ibu yang melahirkan secara sectio

caesarea biasanya sulit dekat dengan bayinya. Bahkan jarang

bisa menyusui dibandingkan dengan melahirkan normal karena

rasa tidak nyaman akibat sectio caesarea.

2.2 Kecemasan

Terdapat sejumlah definisi mengenai kecemasan. Menurut

Hawari (2008) kecemasan adalah gangguan alam perasaan

(afektif) yang ditandai dengan perasaan takut atau khawatir

yang mendalam dan berkelanjutan namun tetap realistis,

kepribadian tetap utuh, perilaku dapat terganggu tetapi masih

dalam batas normal. Kecemasan juga didefinisikan sebagai

respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak

diketahui, internal, samar atau konfliktual (Kaplan & Saddock,

dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013).

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

13

Kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif

mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai

reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah

atau tidak adanya rasa mengatasi suatu masalah atau tidak

adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut

pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan

menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis

(Rochman, 2010). Berdasarkan penjelasan di atas dapat

disimpulkan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak menentu

terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui yang

dikaitkan dengan berbagai reaksi stres psikologis.

Kecemasan sering kali berkembang selama jangka waktu

dan sebagian besar tergantung pada seluruh pengalaman

hidup seseorang. Peristiwa-peristiwa atau situasi khusus dapat

mempercepat munculnya sarangan kecemasan. Menurut

Daradjat (dalam Rochman, 2010) mengemukakan beberapa

penyebab kecemasan yaitu:

a. Rasa cemas yang timbul akibat melihatnya adanya bahaya

yang mengancam dirinya. Kecemasan ini lebih dekat

dengan rasa takut, karena sumbernya terlihat jelas dalam

pikiran.

b. Cemas atau merasa dosa atau bersalah, karena melakukan

hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

14

Kecemasan ini sering pula menyertai gejala-gejala

gangguan mental, yang kadang-kadang terlihat dalam

bentuk yang umum.

c. Kecemasan yang berupa penyakit dan terlihat dalam

beberapa bentuk. Kecemasan ini disebabkan oleh hal yang

tidak jelas dan tidak berhubungan dengan apapun yang

terkadang disertai dengan perasaan takut yang

mempengaruhi keseluruhan kepribadian penderitanya.

Kecemasan memiliki sejumlah gejala-gejala, seperti

dikemukakan oleh Darajat (dalam Pratiwi dan Suwarti, 2013)

yang mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut:

1. Gejala fisik (fisiologis), yaitu kecemasan yang sudah

mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik,

terutama pada fungsi sistem saraf. Ciri-cirinya yaitu ujung

jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung

cepat, keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur

tidak nyenyak, nafsu makan hilang, kepala pusing, nafas

sesak dan mudah lelah.

2. Gejala mental (psikologis), yaitu kecemasan sebagai gejala-

gejala kejiwaan. Ciri-cirinya adalah takut, tegang, bingung,

khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak bedaya,

rendah hati, tidak tentram, ingin lari dari kenyataan hidup,

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

15

perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri, tidak ada

motivasi, gelisah, takut dan tegang.

Sedangkan menurut Carpenito (dalam Kusumawati, 2010),

sindrom kecemasan bervariasi tergantung dengan tingkat

kecemasan yang dialami seseorang dimana manifestasi

gejalanya terdiri atas kategori:

1. Gejala fisiologis

Peningkatan frekuensi nadi, tekanan darah, nafas,

diaforesis (berkeringat), gemetar, mual, kadang sampai

muntah, sering BAK atau BAB, kadang sampai diare,

insomnia, kelelahan dan kelemahan, kemerahan atau

pucat pada wajah, mulut kering, nyeri khususnya dada,

pinggang, leher, gelisah, pingsan, pusing, rasa panas

dingin.

2. Gejala emosional

Individu merasa ketakutan dan ketidakberdayaan, gugup,

kehilangan proyeksi diri, tegang, tidak dapat rileks, individu

juga memperlihatkan peka terhadap rangsangan, tidak

sabar, mudah marah, mudah menangis, cenderung

menyalahkan orang lain, mengkritik diri sendiri dan orang

lain, menarik diri, kurang inisiatif, dan mengutuk diri sendiri.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

16

3. Gejala kognitif

Tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi

lingkungan, pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu

dari saat ini dan yang akan datang, memblok pikiran atau

ketidak mampuan untuk mengingat, dan perhatian yang

berlebihan.

Kecemasan dalam penelitian ini dikaitkan dengan sectio

caesarea yang akan dihadapi oleh seorang pasien yang

hendak menjalani proses melahirkan. Kecemasan pasien pre

sectio caesare merupakan kecemasan yang spesifik yakni

kekhawatiran terhadap prosedur operasi, prosedur anestesi,

defisit informasi atau kesalah pahaman konsep, kekhawatiran

tentang masalah finansial keluarga, kekhawatiran terhadap diri

dan bayi yang akan dilahirkannya (Gant & Cunningham, 2010).

2.3 Komunikasi Terapeutik

Terdapat sejumlah definisi mengenai komunikasi terapeutik

yang selanjutnya dirangkum oleh penulis sebagai berikut:

komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal

antara perawat dan pasien yang direncanakan secara sadar

sehingga terjadi pertukaran informasi yang efektif, dimana

selama interaksi berlangsung perawat berfokus pada kebutuhan

pasien guna kesembuhan pasien (Videbeck, 2008).

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

17

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan

pribadi pasien ke arah yang lebih positif atau adaptif dan

diarahkan pada pertumbuhan pasien yang meliputi: (1) realisasi

diri, penerimaan diri, dan peningkatan penghormatan diri, (2)

kemampuan membina hubungan interpersonal dan saling

bergantung dengan orang lain, (3) peningkatan fungsi dan

kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai

tujuan yang realistis, (4) rasa identitas personal yang jelas dan

peningkatan integritas diri (Surlia, 2014).

Sementara itu, menurut Indrawati dkk (dalam Kasana, 2014)

bahwa tujuan komunikasi terapeutik adalah untuk membantu

pasien yaitu mengurangi beban perasaan dan pikiran serta

dapat mengambil tindakan yang efektif untuk pasien, membantu

mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan diri sendiri.

Sedangkan manfaat dari komunikasi terapeutik adalah untuk

mendorong dan menganjurkan kerja sama antara perawat dan

pasien melalui hubungan perawat-pasien, mengidentifikasi dan

mengungkap perasaan serta mengkaji masalah dan juga

mengevaluasi tindakan yang dilakukan perawat, memberikan

pengertian tingkah laku perawat dan membantu pasien

mengatasi masalah yang dihadapi, dan mencegah tindakan

yang negatif terhadap pertahanan diri pasien.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

18

Ada tiga hal mendasar yang memberi ciri-ciri komunikasi

terapeutik yaitu sebagai berikut (Taufik dan Juliane, 2010): (1)

ikhlas (genuineness) dimana semua perasaan negatif yang

dimiliki oleh pasien baru bisa diterima dan pendekatan individu

dengan verbal maupun non verbal akan memberikan bantuan

kepada pasien untuk mengkomunikasikan kondisinya secara

tepat, (2) empati (empathy) yang meliputi sikap jujur dalam

menerima kondisi pasien, obyektif dalam memberikan penilaian

terhadap kondisi pasien dan tidak berlebihan, (3) hangat

(warmth) sehingga pasien bisa mengekspresikan perasaannya

lebih mendalam. Ada beberapa prinsip komunikasi terapeutik

menurut Priyanto (2009) yaitu : klien (dalam hal ini pasien)

harus merupakan fokus utama dari interaksi, tingkah laku

professional mengatur hubungan terapeutik, hubungan sosial

dengan klien harus dihindari, kerahasiaan klien harus dijaga,

kompetensi intelektual harus dikaji untuk menentukan

pemahaman, memelihara interaksi yang tidak menilai dan

hindari membuat penilaian tentang tingkah laku klien dan

memberi nasehat, memberi petunjuk klien untuk

menginterpretasikan kembali pengalamannya secar rasional,

telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan

hindari perubahan subyek/topik jika perubahan isi topik tidak

merupakan sesuatu yang sangat menarik klien, implementasi

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

19

intervensi berdasarkan teori, dan membuka diri hanya

digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan

terapeutik.

2.4 Pengaruh Komunikasi Terapeutik terhadap Tingkat

Kecemasan Pasien Pre Sectio Caesarea

Operasi atau pembedahan merupakan masa kritis dan

menghasilkan kecemasan. Menurut Taylor (dalam Liza dkk,

2014) bahwa kecemasan dapat dikurangi dengan tindakan

keperawatan yang berfokus pada komunikasi terapeutik

terutama bagi pasien selain keluarganya. Kemampuan

komunikasi terapeutik penting dalam mengidentifikasi dan

mengatasi kecemasan pasien preoperasi. Hal ini sesuai

pendapat Warsini dkk (2015) bahwa salah satu faktor yang

dapat menurunkan tingkat kecemasan pasien pre-operasi yaitu

dengan memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien

tersebut. Pasien adalah individu dengan kebutuhan perasaan,

dan keperawatan adalah proses interpersonal dan terapeutik,

dimana perawat memiliki peran yang cukup penting dalam

mempengaruhi, menurunkan kecemasan melalui proses

komunikasi.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

20

2.5 Kerangka Konseptual

Berdasarkan uraian tinjauan pustaka di atas maka dapat

dibuat kerangka konseptual seperti tampak pada gambar 1

berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Konseptual

Gambar 1 di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

persalinan dengan cara sectio caesarea dapat mengakibatkan

berbagai resiko bagi si ibu seperti infeksi rahim dan bekas

jahitan, pendarahan dan resiko obat bius. Adanya berbagai

kemungkinan resiko tersebut, tentunya akan menimbulkan

kecemasan pre sectio caesarea. Dengan adanya berbagai

resiko tersebut maka diperlukan mekanisme koping yaitu cara

yang dilakukan oleh individu dalam menyelesaiakan masalah,

menyesuaikan diri terhadap perubahan, respon terhadap

situasi yang mengancam. Mekanism koping dapat digolongkan

Kecemasan pre sectio caesarea

Komunikasi

terapeutik

Stressor (resiko

Sectio Caesarea)

Mekanisme koping

maladaptif/ adaptif

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sectio caesarea

21

kedalam mekanisme koping aditif (yang mendukung fungsi

integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan) dan

maladaptif (yang menghambat fungsi integrasi, memecah

pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai

lingkungan). Dalam melaksanakan mekanisme koping

diperlukan komunikasi terapeutik yang ditujukan untuk

mengurangi kecemasan pasien pre sectio caesarea.

2.6 Hipotesis

Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

H0: komunikasi terapeutik tidak mempunyai pengaruh terhadap

kecemasan pasien pre sectio caesarea

H1: komunikasi terapeutik mempunyai pengaruh negatif

terhadap kecemasan pasien pre sectio caesarea