BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Paramater Perencanaan Tebal...

16
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Paramater Perencanaan Tebal Lapisan Konstruksi Perkerasan Menurut Alamsyah (2001), lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu sendiri. Dengan demikian memberikan kenyamanan kepada para pengguna jalan raya selama masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu dalam perencanaan perlu dipertimbangkan seluruh faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan jalan seperti: a. Fungsi jalan b. Perkerasan Jalan (pavement performance) c. Umur rencana d. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan e. Sifat tanah dasar f. Kondisi lingkungan g. Sifat dan banyak material tersedia dilokasi h. Bentuk geometrik lapisan perkerasan 2.1.1 Fungsi Jalan Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Jalan Nomor 38 tahun 2004, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan atas sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder. a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan pelayanan jasa distribusi untuk mengembangkan semua wilayah tingkat nasional dengan semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota. b. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota, ini berarti sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, 4

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Paramater Perencanaan Tebal...

1

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Paramater Perencanaan Tebal Lapisan Konstruksi Perkerasan

Menurut Alamsyah (2001), lapisan perkerasan berfungsi untuk menerima

dan menyebarkan beban lalu lintas tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti

pada konstruksi jalan itu sendiri. Dengan demikian memberikan kenyamanan

kepada para pengguna jalan raya selama masa pelayanan jalan tersebut. Untuk itu

dalam perencanaan perlu dipertimbangkan seluruh faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi fungsi pelayanan konstruksi perkerasan jalan seperti:

a. Fungsi jalan

b. Perkerasan Jalan (pavement performance)

c. Umur rencana

d. Lalu lintas yang merupakan beban dari perkerasan jalan

e. Sifat tanah dasar

f. Kondisi lingkungan

g. Sifat dan banyak material tersedia dilokasi

h. Bentuk geometrik lapisan perkerasan

2.1.1 Fungsi Jalan

Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Jalan Nomor 38

tahun 2004, sistem jaringan jalan di Indonesia dapat dibedakan atas sistem

jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.

a. Sistem jaringan jalan primer adalah sistem jaringan jalan dengan pelayanan

jasa distribusi untuk mengembangkan semua wilayah tingkat nasional dengan

semua simpul jasa distribusi yang kemudian berwujud kota.

b. Sistem jaringan jalan sekunder adalah sistem jaringan jalan dengan peranan

pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat dalam kota, ini berarti sistem

jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang

kota yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer,

4

c. fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan

seterusnya hingga perumahan.

2.1.2 Perkerasan Jalan (pavement performance)

Kinerja perkerasan jalan meliputi 3 hal yaitu:

a. Keamanan, yang ditentukan oleh besarnya gesekan akibat adanya kontak

antara ban dan permukaan jalan, besarnya gaya gesek yang terjadi dipengaruhi

oleh bentuk dan kondisi ban, tekstur permukaan jalan, kondisi cuaca dan

sebagainya.

b. Wujud perkerasan (structural pavement) berhungan dengan kondisi fisik dari

jalan tersebut seperti adanya retak-retak, amblas, alur, gelombang dan

sebagainya.

c. Fungsi pelayanan (functional performance), sehubungan dengan bagaimana

perkerasan tersebut memberikan pelayanan kepada pemakai jalan. Wujud

perkerasan dan fungsi pelayanan umumnya merupakan satu kesatuan yang

dapat digambarkan dengan kenyamanan mengemudi (riding quality).

2.1.3 Umur Rencana

Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan tersebut

dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan yang

bersifat structural. Selama umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan

tetap harus dilakukan, seperti pelapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai lapis

aus.

Umur rencana untuk perkerasan jalan baru umumnya diambil 20 tahun dan

peningkatan jalan selama 10 tahun (Alamsyah, 2001). Umur rencana yang lebih

besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis karena perkembangan lalu lintas yang

terlalu besar dan sukar mendapatkan ketelitian yang memadai.

2.1.4 Lalu Lintas

Tebal lapisan perkerasan jalan ditentukan dari beban yang akan dipikul,

berarti dari arus lalu lintas yang hendak memakai jalan tersebut. Besarnya arus

lalu lintas dapat diperoleh dari:

5

a. Analisa lalu lintas saat ini hingga diperoleh data mengenai:

1. Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan

2. Jenis kendaraan beserta jumlah tiap jenisnya

3. Konfigurasi sumbu dari setiap kendaraan

4. Beban masing-masing sumbu kendaraan

Pada perencanaan jalan baru perkiraan volume lalu lintas ditentukan dengan

menggunakan hasil survei volume lalu lintas didekat jalan tersebut dan analisa

pola lalu lintas disekitar lokasi jalan tersebut.

b. Perkiraan faktor pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana, antar lain

berdasarkan atas analisa ekonomi dan sosial daerah tersebut.

1. Volume Lalu Lintas

Jumlah kendaraan yang hendak memakai jalan dinyatakan dalam volume

lalu lintas. Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang

melewati satu titik pengamatan selama waktu satu tahun. Untuk

perencanaan tebal lapisan perkerasan, volume lalu lintas dinyatakan dalam

kendaraan/hari/2 arah untuk jalan 2 arah tidak terpisah dan kendaraan/hari/1

arah untuk jalan satu arah atau 2 arah terpisah. Data volume lalu lintas dapat

diperoleh dari pos-pos rutin yang ada disekitar lokasi. Jika tidak terdapat

pos-pos rutin di dekat lokasi atau untuk pengecekan data, perhitungan

volume lalu lintas dapat dilakukan secara manual di tempat-tempat yang

dianggap perlu. Perhitungan dapat dilakukan selama 3x24 jam atau 3x16

jam terus menerus. Dengan memperhatikan faktor hari, bulan, musim

dimana perhitungan dilakukan, dapat diperoleh data lalu lintas harian rata-

rata (LHR) yang representatif.

2. Angka Ekuivalen Beban Sumbu

Jenis kendaraan yang memakai jalan beraneka ragam, bervariasi baik

ukuran, berat total, konfigurasi dan beban sumbu, daya dan lain lain. Oleh

karena itu volume lalu lintas umumnya dikelompokkan atas beberapa

kelompok yang masing-masing kelompok diwakili oleh satu jenis

kendaraan. Pengelompokan jenis kendaraan untuk perencanaan tebal

perkerasan dapat dilakukan sebagai berikut:

6

1. Mobil penumpang, termasuk semua kendaraan dengan berat total 2 ton.

2. Bus

3. Truk 2 as

4. Truk 3 as

5. Truk 5 as

6. Semi trailer

Konstruksi perkerasan jalan menerima beban lalu lintas yang

dilimpahkan melalui roda-roda kendaraan. Besarnya beban dilimpahkan

tersebut tergantung dari berat total kendaraan, konfigurasi sumbu, bidang

kontak antara roda dan perkerasan, kecepatan kendaraan dan sebagainya.

Dengan demikian efek dari masing-masing kendaraan terhadap kerusakan

yang ditimbulkan tidaklah sama. Oleh karena itu perlu adanya beban standar

sehingga semua beban lainnya dapat diekuivalensikan ke beban standar

tersebut.

Beban standar merupakan beban sumbu tunggal beroda ganda seberat

18.000 pon (8,16 ton). Semua beban kendaraan lain dengan beban sumbu

berbeda di ekivalenkan ke beban sumbu standar dengan menggunakan

angka ekivalen beban sumbu (E). Angka ekuivalen kendaraan adalah angka

yang menunjukkan jumlah lintasan dari sumbu tunggal seberat 8,16 ton

yang akan menyebabkan kerusakan yang sama atau penurunan indeks

permukaan yang sama apabila kendaraan tersebut lewat satu kali.

3. Angka Ekuivalen Kendaraan

Berat kendaraan dilimpahkan ke perkerasan jalan melalui roda kendaraan

yang terletak di ujung-ujung sumbu kendaraan. Setiap jenis kendaraan

mempunyai konfigurasi sumbu yang berbeda-beda. Sumbu depan

merupakan sumbu roda tunggal, sumbu belakang dapat berupa sumbu roda

tunggal ataupun sumbu ganda. Dengan demikian setiap jenis kendaraan

akan mempunyai angka ekivalen yang merupakan jumlah angka ekivalen

dari sumbu depan dan sumbu belakang. Beban masing-masing sumbu

dipengaruhi oleh letak titik berat kendaraan dan bervariasi sesuai dengan

muatan dari kendaraan tersebut.

7

4. Faktor Pertumbuhan Lalu Lintas

Jumlah kendaraan yang memakai jalan bertambah dari tahun ke tahun.

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan lalu lintas adalah perkembangan

daerah, bertambahnya kesejahteraan masyarakat, naiknya kemampuan

membeli kendaran dan sebagainya. Faktor pertumbuhan lalu lintas

dinyatakan dalam persen per tahun.

5. Lintas Ekuivalen

Kerusakan perkerasan jalan raya pada umumnya disebabkan oleh

terkumpulnya air dibagian perkerasan jalan, dan karena repetisi dari lintasan

kendaraan. Oleh karena itu perlulah ditentukan berapa jumlah repetisi beban

yang akan memakai jalan tersebut. Repetisi beban dinyatakan dalam

lintasan sumbu standard, yang dinamakan lintas ekivalen. Lintas ekivalen

dapat dibedakan atas:

1. Lintas ekivalen pada saat jalan tersebut dibuka (lintas ekuivalen awal

umur rencana atau LEP).

2. Lintas ekivalen pada akhir umur rencana adalah besarnya lintas ekivalen

pada saat jalan tersebut membutuhkan perbaikan secara structural (lintas

ekivalen akhir umur rencana atau LEA).

3. Lintas ekivalen selama umur rencana yakni jumlah lintas ekivalen yang

akan melintasi jalan tersebut selama masa pelayanan dari saat dibuka

sampai akhir umur rencana.

6. Penggolongan Kelompok Jenis Kendaraan

Dalam tata cara pelaksanaan survei dan penghitungan arus lalu lintas secara

manual disebutkan, bahwa jumlah contoh yang diambil adalah seluruh

kendaraan yang lewat dan dikelompokkan dalam:

1. Kendaraan Ringan: Kendaraan Roda 2 atau 3 (Motor dan sejenisnya)

2. Kendaraan Sedang (Light Vehicle, LV), adalah semua jenis kendaraan

bermotor roda empat, meliputi:

a. Mobil penumpang, yaitu kendaraan bermotor yang beroda empat

yang digunakan untuk angkutan penumpang dengan maksimum

8

sepuluh orang termasuk pengemudi (sedan,station wagon, jeep,

combi, opelet, dan sub urban).

b. Pick up, mobil hantaran, dan truk, di mana kendaraan jenis ini

beroda empat dan dipakai untuk angkutan barang dengan berat total

(kendaraan + barang) kurang dari 2,5 ton.

3. Kendaraan Berat (Heavy Vehicle, HV), adalah semua jenis kendaraan

bermotor beroda empat atau lebih, meliputi:

a. Minibus, semua kendaraan yang digunakan untuk angkutan

penumpang dengan jumlah tempat duduk 20 buah (termasuk

pengemudi).

b. Bis, semua kendaraan yang digunakan untuk angkutan penumpang

dengan jumlah tempat duduk untuk 40 orang atau lebih (termasuk

pengemudi).

4. Truk, termasuk dalam golongan dalam kendaran ini adalah semua

kendaraan angkutan bermotor beroda empat atau lebih dengan berat total

lebih dari 2,5 ton; misalnya truk 2 as, truk 3 as, truk tanki, mobil

gandeng, triller, dan semi triller.

2.1.5 Sifat Tanah Dasar

Sub grade atau lapisan tanah dasar merupakan lapisan tanah yang paling

atas, dimana diletakkan lapisan dengan material yang lebih baik. Sifat tanah dasar

ini mempengaruhi ketahanan lapisan diatasnya dan mutu jalan secara keseluruhan.

Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya dukung tanah dasar,

dari cara sederhana sampai pada cara yang agak rumit seperti CBR, Modulus

Resilient (MR), dan DCP. Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan

perencanaan tebal lapisan perkerasan ditentukan dengan mempergunakan CBR.

Nilai CBR diperoleh dari pemeriksaan contoh tanah yang telah disiapkan di

laboratorium atau langsung di lapangan. Dalam perencanaan perkerasan kaku

CBR digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar

(modulus of subgrade reaction : k)

9

2.1.6 Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan dimana lokasi jalan tersebut berada mempengaruhi

lapisan perkerasan jalan dan tanah dasar antara lain:

a. Berpengaruh terhadap sifat teknis konstruksi perkerasan dan sifat komponen

material konstruksi perkerasan.

b. Pelapukan bahan material.

c. Mempengaruhi penurunan tingkat kenyamanan dari perkerasan jalan.

Faktor utama yang mempengaruhi konstruksi perkerasan jalan adalah air

yang berasal dari hujan dan pengaruh perubahan temperatur akibat perubahan

cuaca.

2.1.7 Sifat Material Lapisan Perkerasan

Perencanaan tebal lapsisan perkerasan ditentukan juga dari jenis lapisan

perkerasan. Hal ini ditentukan dari tersedianya material di lokasi dan mutu

material tersebut.

2.1.8 Bentuk Geometrik Lapisan Perkerasan

Bentuk geometrik lapisan perkerasan jalan mempengaruhi cepat atau

lambatnya aliran air meninggalkan lapisan perkerasan jalan. Pada umunya dapat

dibedakan atas:

a. Konstruksi berbentuk kotak (boxed construction)

Lapisan perkerasan diletakkan di dalam lapisan tanah dasar. Kerugian dari

jenis ini adalah air yang jatuh dari atas permukaan perkerasan dan masuk

melalui lubang-lubang pada perkerasan, lambat keluar karena tertahan oleh

material tanah dasar (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Konstruksi Berbentuk Kotak Jalan (Alamsyah, 2001).

10

b. Konstruksi penuh sebadan jalan (full width construction)

Lapisan perkerasan diletakkan di atas tanah dasar pada seluruh badan jalan.

Keuntungannya, air yang jatuh dapat segera dialirkan keluar lapisan perkerasan

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Konstruksi Penuh Sebadan Jalan (Alamsyah, 2001).

2.2 Perencanaan Perkerasan Jalan (Pavement Design)

Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah

dasar (subgrade), yang berfungsi untuk yang menopang beban lalu lintas. Jenis

konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada dua jenis, yaitu:

1. Perkerasan lentur (flexible pavement)

2. Perkerasan kaku (rigid pavement)

Selain dari dua jenis tersebut sekarang telah banyak digunakan jenis

gabungan (composite pavement), yaitu perpaduan lentur dan kaku. Perencanaan

konstruksi perkerasan juga dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru

dan untuk peningkatan (jalan lama yang sudah pernah diperkeras).

2.3 Lapisan Perkerasan Lentur

Perkerasan lentur (flexible pavement) adalah perkerasan yang menggunakan

bahan ikat aspal, yang sifatnya lentur terutama pada saat panas. Aspal dan agregat

ditebar dijalan pada suhu tinggi (sekitar 100 0C). Perkerasan lentur menyebarkan

beban lalu lintas ketanah dasar yang dipadatkan melalui beberapa lapisan sebagai

berikut:

11

Gambar 2.3 Susunan lapisan perkerasan lentur (ideal).

2.4 Lapisan Perkerasan Kaku

Lapisan perkerasan kaku (rigid pavement) merupakan perkerasan jalan

beton semen atau secara umum disebut perkerasan kaku, terdiri atas plat (slab)

beton semen sebagai lapis pondasi dan lapis pondasi bawah (bisa juga tidak ada)

di atas tanah dasar. Dalam konstruksi perkerasan kaku, plat beton sering disebut

sebagai lapis pondasi karena dimungkinkan masih adanya lapisan aspal beton di

atasnya yang berfungsi sebagai lapis permukaan.

Sebelum mulai melakukan perencanaan perkerasan kaku terlebih dahulu

diketahui secara garis besar tentang perkerasan kaku ini. Prosedur perencanan

perkerasan kaku didasarkan atas perencanan yang dikembangkan oleh NAASRA

(National Association of Australian State Road Authorities). Susunan lapisan pada

perkerasan kaku umumnya seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.4 Susunan lapisan perkerasan kaku.

12

Metode perencanaan yang diambil untuk menentukan tebal lapisan

perkerasan didasarkan pada perkiraan sebagai berikut:

a. Kekuatan lapisan tanah dasar yang dinamakan nilai CBR atau Modulus

Reaksi Tanah Dasar (k).

b. Kekuatan beton yang digunakan untuk lapisan perkerasan.

c. Prediksi volume dan komposisi lalu lintas selama usia rencana.

d. Ketebalan dan kondisi lapisan pondasi bawah (sub base) yang diperlukan

untuk menopang konstruksi, lalu lintas, penurunan akibat air dan

perubahan volume lapisan tanah dasar serta sarana perlengkapan daya

dukung permukaan yang seragam dibawah dasar beton.

Adapun perkersan kaku terbagi dalam dua jenis yakni:

1. Perkerasan beton semen.

Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai perkerasan yang mempunyai

lapisan dasar beton dari Portland Cement (PC) menurut NAASRA ada lima

jenis perkerasan kaku yaitu:

a. Perkerasan beton semen bersambung tanpa tulangan

b. Perkerasan beton semen bersambung dengan tulangan

c. Perkerasan beton semen menurus dengan tulangan

d. Perkerasan beton semen dengan tulangan serat baja (fiber)

e. Perkerasan beton semen pratekan

2. Perkerasan kaku dengan permukaan aspal.

Jenis perkerasan kaku dengan permukaan aspal adalah salah satu dari jenis

komposit.

Ketebalan rencana permukaan aspal pada perkerasan kaku dihitung dengan:

a) Menentukan ketebalan dari jenis perkerasan beton semen yang tidak lajim

digunakan metode detail yang baru diperkenalkan ini (mengabaikan bahwa

perkerasan permukaannya menggunakan aspal).

b) Mengurangi ketebalan perkerasan beton semen setebal 10 mm untuk setiap

25 mm permukaan aspal yang digunakan.

13

Untuk perencanaan tebal perkerasan kaku, daya dukung tanah dasar

diperoleh dengan nilai CBR, seperti halnya pada perkerasan lentur, meskipun

pada umumnya menggunakan nilai (k) yaitu modulus reaksi tanah dasar.

Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan

grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar,

yaitu

MR = 1.500 x CBR.................................................................... (2.1)

k = MR

19,4 ............................................................................... (2.2)

dengan :

MR : modulus of resilient

k : modulus of subgrade reaction,

CBR : california bearing ratio,

Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan grafik pada

Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Koreksi Modulus Efektif Reaksi Tanah Dasar untuk Potensial

Hilangnya Dukungan Fondasi Bawah (Suryawan, 2009).

14

Tabel 2.1 Loss of Support Factors (Suryawan, 2009)

No. Tipe Material LS

1 Cament Treated Granular Base ( E = 1.000.000 – 2.000.000 psi ) 0 – 1

2 Cament Aggregate Mixtures ( E = 500.000 – 1.000.000 psi ) 0 – 1

3 Asphalt Treated Base ( E = 350.000 – 1.000.000 psi ) 0 – 1

4 Bituminous Stabilized Mixtures ( E = 40.000 – 300.000 psi ) 0 – 1

5 Lime Stabilized ( E 20.000 – 70.000 psi ) 1 – 3

6 Unbound Granular Materials ( E = 15.000 – 45.000 psi ) 1 – 3

7 Fine Grained / Natural subgrade materials (E =3.000 – 40.000 psi) 2 – 3

Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar (k) dapat menggunakan

hubungan nilai CBR dengan k seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.5 Hubungan antara k dan CBR (Oglesby dan Hiks 1996, dalam

Suryawan 2009).

Secara umum perkerasan jalan harus cukup kuat untuk memenuhi dua syarat

yaitu:

a. Secara keseluruhan, perkerasan jalan harus cukup kuat untuk memikul berat

kendaraan yang akan melaluinya.

b. Permukaan jalan harus dapat menahan terhadap gaya gesekan dan keausan

dari roda kendaraan, juga terhadap pengaruh air dan hujan.

Bilamana perkerasan jalan tidak mempunyai kekuatan secukupnya secara

keseluruhan yakni tidak memenuhi syarat (a) di atas maka jalan tersebut akan

mengalami penurunan dan penggeseran, baik pada perkerasan jalan maupun pada

tanah dasar. Akhirnya jalan tersebut akan bergelombang dan berlubang hingga

rusak.

15

Apabila perkerasan jalan tidak mempunyai lapisan aus yang kuat seperti

syarat (b) maka permukaan jalan akan mengalami kerusakan yang pada awalnya

berupa lubang-lubang kecil dan akan bertambah banyak dan besar sampai

perkerasannya akan rusak secara keseluruhan.

Perencanaan perkerasan jalan sebetulnya merupakan hal rumit, dan cara

yang umum digunakan sekarang untuk perencanaan perkerasan adalah metode

empiris, yaitu cara yang tidak berdasarkan pada teori yang benar-benar tepat,

ataupun pada cara penentuan kekuatan tanah yang teliti. Cara-cara ini berdasarkan

sebagian pada teori dan sebagian pada pengalaman dan masing-masing cara

tersediri dalam menentukan kekuatan tanah. Jadi kekuatan tanah yang ditentukan

adalah sifat empiris yang dimaksudkan khusus untuk cara yang berkaitan dan

tidak dapat dipakai pada cara lain.

2.5. Penetapan CBR Lapangan melalui Pengujian dengan Alat DCP

Cara CBR ini dikembangkan oleh California State Highway Department

sebagai cara untuk menilai kekuatan tanah dasar pada suatu jalan (subgrade).

Kemudian cara ini digunakan dan dikembangkan lebih lanjut oleh badan-badan

lain, terutama U.S Army Coprs of Engineers.

Dengan cara ini suatu percobaan penetrasi atau disebut percobaan CBR di

pergunakan untuk menilai kekuatan tanah dasar atau bahan lain yang hendak

dipakai untuk pembuatan perkerasan. Nilai CBR yang diperoleh kemudian dipakai

untuk menentukan tebal lapisan perkerasan yang diperlukan di atas lapisan yang

nilai CBR nya ditentukan. Jadi dianggap bahwa di atas suatu bahan dengan nilai

CBR tertentu, perkerasan tidak boleh kurang dari suatu nilai tertentu.

CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapis

tanah dasar mengacu pada spesifikasi. Akan tetapi tanah dasar dengan nilai CBR

5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui geoteknik, dengan CBR

kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan,

masalah yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan bertambah,

atau masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut.

16

Dynamic Cone Penetrometer disingkat DCP adalah alat yang digunakan

untuk mengukur daya dukung tanah dasar jalan langsung di tempat. Daya dukung

tanah dasar tersebut diperhitungkan berdasarkan pengolahan atas hasil tes DCP

yang dilakukan dengan cara mengukur berapa dalam (mm) ujung konus masuk ke

dalam tanah dasar tersebut setelah mendapat tumbukan palu geser pada landasan

batang utamanya. Korelasi antara banyaknya tumbukan dan penetrasi ujung konus

dari alat DCP ke dalam tanah akan memberikan gambaran kekuatan tanah dasar

pada titik-titik tertentu. Makin dalam konus yang masuk untuk setiap tumbukan

artinya makin lunak tanah dasar tersebut. Pengujian dengan menggunakan alat

DCP akan menghasilkan data yang setelah diolah akan menghasilkan CBR

lapangan tanah dasar pada titik yang ditinjau.

Menurut Harison, J.A., Correlation of CBR and Dynamic Cone

Penetrometer Strength Measurement of Soils. Australian Road Research

16(2), Juni, (1986) dalam menentukan dan memperkirakan nilai CBR tanah

atau bahan granular dapat menggunakan beberapa metode, namun yang

cukup akurat dan paling murah sampai saat ini adalah dengan Penetrasi Konus

Dinamis atau dikenal dengan nama Dynamic Cone Penetrometer (DCP). Di

samping itu DCP adalah salah satu cara pengujian tanpa merusak atau Non

Destructive Testing (NDT), yang digunakan untuk lapis pondasi batu pecah,

pondasi bawah sirtu, stabilisasi tanah dengan semen atau kapur dan tanah

dasar.

Kelebihan menggunakan Dynamic Cone Penetrometer (DCP):

1. Menentukan kekakuan dalam mm/pukulan.

2. Perubahan lapisan tanah dapat diketahui melalui perubahan kemiringan.

3. Meminimalisir gangguan permukaan tanah.

4. Informasi kekuatan dan desain dapat dikorelasikan dengan uji lainnya (CBR,

dll).

5. Biaya murah dan waktu yang dibutuhkan sedikit (cepat).

17

Kekurangan menggunakan Dynamic Cone Penetrometer (DCP):

1. Tidak dapat digunakan pada batuan keras, aspal, maupun beton.

2. DCP dapat rusak bila dilakukan pada lapisan tanah keras secara berulang-

ulang atau pembuangan lapisan yang tidak sempurna.

3. Tidak dapat mengukur kelembaban maupun kepadatan (hanya untuk

mengukur kekakuan).

Pengujian dengan menggunakan alat DCP akan menghasilkan data yang

setelah diolah akan menghasilkan CBR lapangan tanah dasar pada titik yang

ditinjau. Data CBR digunakan sebagai salah satu masukan dalam proses

perencanaan jalan yaitu:

1. Penentuan tebal perkerasan (full depth pavement) untuk bagian jalan yang

direncanakan akan mendapatkan penanganan pelebaran jalan

2. Penentuan tebal lapis ulang (overlay) di atas jalan aspal apabila tidak dapat

disediakan/tidak terdapat data Benkelman Beam.

3. Penentuan tebal perkerasan untuk bagian jalan yang harus direkonstruksi.

4. Penentuan tebal perkerasan jalan baru.

CBR lapangan tanah dasar pada pelebaran jalan jika pada tanah dasar

dengan kedalaman sampai dengan 1 meter terdapat beberapa lapisan tanah dengan

daya dukung (nilai CBR) yang berbeda, maka nilai CBR lapangan pada titik

tersebut diperhitungkan berdasarkan nilai CBR yang mewakili nilai-nilai CBR

lapisan-lapisan tanah tersebut.

CBR lapangan tanah dasar pada jalan aspal jika dihadapi kondisi tidak

terdapat alat Benkelman Beam untuk mendapatkan data rebound deflection jalan

aspal guna keperluan overlay design, maka dapat digunakan alat DCP untuk

mengumpulkan data-data lapangan. CBR yang diperoleh dari perhitungan hasil

survey dengan alat DCP digunakan sebagai salah satu masukan untuk

memperhitungkan kebutuhan overlay yang prinsipnya adalah memanfaatkan nilai

sisa perkerasan lama.

CBR lapangan tanah dasar di bawah perkerasan jalan yang direkonstruksi

atau jalan baru. Prinsip sama dengan penentuan CBR lapangan tanah dasar pada

pelebaran jalan, hanya pengambilan lokasi titik-titik uji saja yang berbeda.

18

Perhitungan nilai CBR dapat dilakukan dengan cara grafis maupun cara

analitis. Prosedur cara grafis sebagai berikut:

1. Tentukan nilai CBR terendah.

2. Tentukan berapa banyak nilai CBR yang sama atau sama besar dari masing-

masing nilai CBR dan kemudian disusun secara tabelaris mulai dari nilai

CBR terkecil sampai yang terbesar.

3. Angka terbanyak diberi nilai 100%, angka yang lain merupakan persentase

dari 100%.

4. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.

5. Nilai CBR segmen adalah nilai pada keadaan 90%.

Perhitungan nilai CBR cara analitis adalah dengan menggunakan rumus:

CBRsegmen = CBRrata-rata – (CBRmaks- CBRmin) / R……………………………...(2.3)

Dengan: CBRsegmen = Nilai CBR dalam satu segmen (%),

CBRrata-rata = Nilai CBR rata-rata tiap titik dalam satu segmen

(%),

R = Nilai berdasarkan jumlah titik pengamatan,

CBRmaks = Nilai CBR terbesar dari satu segmen (%),

CBRmin = Nilai CBR terkecil dari satu segmen (%).

Besarnya nilai R dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Nilai R untuk perhitungan CBR segmen.

Jumlah Titik Pengamatan Nilai R

2

3

4

5

6

7

8

9

>10

1,41

1,91

2,24

2,48

2,67

2,83

2,98

3,08

3,18

19