BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfSujana ini memakai konsep manajemen...

35
11 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Ada beberapa hasil penelitian yang terlihat menarik dan relevan untuk ditelaah dan diacu dalam penelitian ini. Adapun beberapa hasil penelitian tersebut dapat dicermati sebagai berikut. Penelitian Sujana (2002) berjudul Perumusan Strategi Pengelolaan Obyek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali di Candikuning Baturiti Tabanan. Penelitian Sujana ini memakai konsep manajemen stratejik dan analisis SWOT dalam mengkaji peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang mempengaruhi daya saing objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Tampaknya konsep tersebut relevan untuk diacu dalam penelitian ini. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian masalah pebelitian yang dikaji Sujana tersebut di atas, dan dengan demikian, metode dan teknik yang digunakan juga berbeda. Namun ada data penting dalam hasil penelitiannya itu yang dapat digunakan untuk melengkapi data yantg diperlukan dalam penelitian ini. Penelitian Scott tentang resistensi atau perlawanan kaum tani di Malaysia, hasilnya telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Perlawanan Kaum Tani (1993). Penelitian Scott dalam hal ini memang menjadikan resistensi sebagai fokus kajiannya, sehingga sama dengan fokus kajian dalam penelitian ini. Namun objek yang dikaji loleh Scott berbeda dengan objek yang dikaji dalam penelitian ini. Scott mengkaji resistensi kaum tani terhadap para pihak yang oleh

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … 2.pdfSujana ini memakai konsep manajemen...

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL

PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Ada beberapa hasil penelitian yang terlihat menarik dan relevan untuk

ditelaah dan diacu dalam penelitian ini. Adapun beberapa hasil penelitian tersebut

dapat dicermati sebagai berikut.

Penelitian Sujana (2002) berjudul Perumusan Strategi Pengelolaan Obyek

Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali di Candikuning Baturiti Tabanan. Penelitian

Sujana ini memakai konsep manajemen stratejik dan analisis SWOT dalam

mengkaji peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan yang mempengaruhi daya

saing objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Tampaknya konsep tersebut

relevan untuk diacu dalam penelitian ini. Masalah yang dikaji dalam penelitian ini

berbeda dengan penelitian masalah pebelitian yang dikaji Sujana tersebut di atas,

dan dengan demikian, metode dan teknik yang digunakan juga berbeda. Namun

ada data penting dalam hasil penelitiannya itu yang dapat digunakan untuk

melengkapi data yantg diperlukan dalam penelitian ini.

Penelitian Scott tentang resistensi atau perlawanan kaum tani di Malaysia,

hasilnya telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Perlawanan Kaum

Tani (1993). Penelitian Scott dalam hal ini memang menjadikan resistensi

sebagai fokus kajiannya, sehingga sama dengan fokus kajian dalam penelitian ini.

Namun objek yang dikaji loleh Scott berbeda dengan objek yang dikaji dalam

penelitian ini. Scott mengkaji resistensi kaum tani terhadap para pihak yang oleh

12

12

kaum tani tersebut dianggap merugikan para petani yang menggarap lahan

pertanian, sedangkan penelitian ini mengkaji resistensi masyarakat desa yang

tidak ikut mengelola objek wisata tetapi merasa tidak memperoleh keadilan

karena tidak diberikan pembagian retribusi objek wisata tersebut. Meskipun

demikian, konsep resistensi menurut Scott memberikan inspirasi penting bagi

penelitian ini, sehingga konsepnya itu dirujuk dalam penelitian ini.

Penelitian Mustain mengenai gerakan sosial petani melawan hegemoni

negara, adalah penelitian disertasi yang diterbitkan dalam bentuk buku berjudul

Petani Versus Negara Gerakan Sosial Petani Melawan Hegemoni Negara (2007).

Fokus kajian dalam penelitian Mustain tersebut relatif sama dengan fokus

penelitian ini, yakni resistensi, namun objeknya berbeda, yakni petani yang

mnenggarap lahan pertanian yang berkaitan dengan hak perusahaan. Walaupun

begitu, Mustain dalam penelitiannya menggunakan konsep resistensi menurut

Scott, tentu saja dengan caranya sendiri. Oleh karena itu penelitian Mustain

tersebut dapat memberikan wawasa atau pandangan tersendiri yang bermanfaat

untuk melaksanakan penelitian ini.

Penelitian yang dilakukan oleh Pidada, 2004 dalam tesisnya yang berjudul

Gerakan Sosial Menuju Masyarakat Sipil (Studi Kasus Padanggalak Akibat

Pariwisata di Desa Adat Kesiman). Pendekatan yang dipergunakan dalam

penelitiannya irtu adalah Cultural Studies dan fakta-fakta yang digubnakan untuk

menjawab masalah penelitiannya dibedah berdasarkan Teori Kritis, Teori Konflik

dan Teori Hegemoni. Penelitian ini mengangkat permasalahan yang pernah

terjadi, yakni perlawanan masyarakat sipil di daerah Kesiman terhadap pihak

13

13

pemerintah yang hendak menjadikan daerah pantai Padanggalak, Kesiman sebagai

sarana pariwisata. Akan tetapi, pihak masyarakat ingin mempertahankan karena

kawasan pantai Padanggalak adalah kawasan suci yang sering dimanfaatkan

sebagai tempat melakukan prosesi upacara. Dengan demikian, penelitian yang

dilakukan oleh Pidada ini bermanfaat, baik dalam rangka menyusun konsep

maupun penerapannya dalam penelitian ini. Meskipun sama-sama mengkaji

perlawanan, penelitian ini berbeda dalam hal objeknya, sehingga penelitian ini

dapat dikatakan baru.

Penelitian untuk tesis yang dilakukan oleh Mardika, berjudul Konflik

Kepentingan dalam Kebijakan Pembangunan Pariwisata di Pulau Serangan

(2000). Tesis ini menyoroti resistensi masyarakat terhadap pemerintah dalam

konteks reklamasi pantai dan pembuatan jembatan yang menghubungkan Pulau

Serangan dengan Pulau Bali. Mardika melihat ada dua macam gerakan yang

dialakukan oleh masyarakat yaitu gerakan Progresif-Ekonomi dan Sosio-

Kultural. Tuntutan Progresif-Ekonomi untuk memperoleh kontribusi secara

ekonomi demi mengangkat kesejahteraan masyarakat Serangan. Sedangkan

gerakan Sosio Kultural, dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan

kawasan suci dan kelestarian lingkungan di Pulau Serangan, terkait dengan Pura

Sakenan dan Pura Susunan Wadon. Meskipun objeknya berbeda, perspektif yang

digunakan dalam penelitian Mardika tersebut sama dengan perspektif penelitian

ini yakni perlawanan, namun objeknya berbeda. Dengan demikian di satu sisi

penelitian yang dilakukan oleh Mardika tersebut dapat dijadikan sumber inspirasi

14

14

dalam menggali dan menelaah data untuk penelitian ini, namun di sisi lain

objeknya sama sekali berlainan sehingga hasilnya berbeda pula. .

Penelitian Sukeni berjudul Hegemoni Negara dan Resistensi Perempuan

dalam Pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Bali (2010). Penelitiannya itu

menyoroti kasus pelaksanaan Program Keluarga Berencana di Tejakula, Buleleng,

Bali. Penelitian Sukeni itu adalah penelitian untuk disertasi di Program Kajian

Budaya, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa dalam sosialisasi Program Keluarga Berencana kepada kaum

perempuan dengan menjadikan sistem banjar dan klinik sebagai pintu masuk.

Hegemoni pemerintah berfungsi menyukseskan Program Keluarga Berencana

sekaligus melanggengkan kekuasaan negara dan menumbuhkan disiplin sosial

yang secara politis dapat mengangkat prestise, prestasi pejabat serta

penyeragaman budaya. Dengan demikian penelitian Sukeni juga dapat

memberikan inspirasi tersendiri untuk penelitian ini, terutama terkait dengan

fenomena hegemoni. Namun sebagai objeknya, pelaku hegemoni tidak hanya dari

kalangan pemerintah, sedangkan dalam penelitian ini, pelaku hegemoni yang

disoroti dalam penelitian ini adalah orang-orang dari pihak yang berbeda.

Penelitian Suteja (2003) berjudul Konflik Kepentingan dalam

Pembangunan Pariwisata (Studi Kasus Garuda Wisnu Kencana Cultural Park di

Desa Ungasan, Kecamatan Kuta Selatan, Provinsi Bali). Penelitian untuk tesis itu

mempergunakan teori konflik dan teori hegemoni. Hasilnya juga menunjukkan

adanya resistensi yang bersifat Progresif-Ekonomi, yakni berupa tuntutan

masyarakat agar warga mereka dapat ditampung dalam perekrutan lapangan

15

15

pekerjaan dan mampu mengangkat ekonomi mereka. Dengan demikian, penelitian

Suteja tersebut juga dapat dijadikan sumber inspirasi dalam melakukan penelitian

ini.

Penelitian yang dilakukan Wirata berjudul Hegemoni Pemerintah dan

Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara

(2010). Hasil penelitian untuk disertasi Kajian Budaya itu menunjukkan bahwa

telah terjadi resistensi yang dilatarbelakangi oleh adanya suatu ketidak puasan

penganut Wetu Telu Suku Sasak Bayan akibat adanya dominasi kekuasaan

pemerintah dalam konteks kehidupam agama Islam. Resistensi itu berupa

penolakan shalat berjemaah dan pengajian agama, naik haji ke Tanah Suci

Mekkah, dan melempar masjid Islam lima waktu serta penolakan secara halus

dengan tidak menyekolahkan anak-anaknya di madrasah atau di pondok

pesantren. Hasil penelitian Wirata tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber

inspirasi dalam penelitian ini, terutama untuk mencermati strategi yang dilakukan

dalam resistensi.

Penelitian yang dilakukan oleh Jayanti berjudul Resistensi Terhadap

Kebijakan Pemerintah atas Penutupan Kegiatan Galian C di Daerah Aliran

Sungai (DAS) Unda Klungkung, Sebuah Kajian Budaya (2009). Hasil penelitian

tersebut menunjukkan adanya suatu perlawanan warga masyarakat yang

berprofesi sebagai penggali pasir di lokasi proyek galian C. Resistensi itu terjadi

berkaitan erat dengan adanya penutupan kegiatan galian C di daerah aliran sungai

Unda oleh Pemerintah Daerah Klungkung. Alasan penerintah dalam hal ini

bahwa penutupan itu dilakukan karena pasir di lokasi tersebut dianggap telah

16

16

habis dan sudah terlalu dalam serta mengancam lingkungan. Dengan demikian,

penelitian Jayanti itu pun dapat dijadikan sumber inspirasi untuk melaksanakan

penelitian ini, mengingat bahwa pada intinya resistensi itu terjadi dalam konteks

perebutan sumberdaya ekonomi.

2.2 Konsep

Mely G. Tan (1989 : 21) menegaskan bahwa konsep sebenarnya adalah

definisi singkat tentang fakta yang perlu diamati. Sejalan dengan pendapat ini,

Ratna (2010 : 279-280) mengemukakan bahwa keseluruhan kata dalam judul dan

rumusan masalah penelitian dianggap sebagai konsep sehingga perlu dijelaskan

secara singkat. Konsep yang dimaksud dalam hal ini adalah konsep operasional

untuk penelitian ini. Satuan konsep tidak selalu terdiri atas satu kata melainkan

bisa juga terdiri atas lebih dari satu kata. Mengikuti pendapat ini, maka ada

beberapa satuan atau unit konsep yang bersumber dari judul dan rumusan

masalah penelitian ini yang perlu definisikan atau dijelaskan. Satuan konsep yang

bersumber dari judul penelitian ini adalah ”resistensi masyarakat desa

Candikuning”, dan ”manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali”,

sedangkan yang bersumber dari rumusan masalah penelitian ini meliputi konsep

”strategi resistensi” dan konsep ”implikasi resistensi”.

2.2.1 Resistensi Masyarakat Desa Candikuning

Mengingat bahwa belum ada penelitian yang mengkaji resistensi

masyarakat Desa Candikuning, maka satuan konsep tentang ”resistensi

17

17

masyarakat Desa Candikuning” dalam penelitian ini diformulasikan dengan

mengacu kepada gagasan Scott (1993 : 302), tentang pengertian istilah resistensi

yang dikemukakannya dalam konteks penelitiannya mengenai perlawanan kaum

tani di Malaysia, yakni sebagai berikut.

”....tiap (semua) tindakan oleh (para) anggota kelas itu dengan maksuduntuk melunakkan atau menolak tuntutan-tuntutan (misalnya sewa, pajak,penghormatan) yang dikenakan pada kelas itu oleh kelas-kelas yang lebihatas (misalnya tuan tanah, negara, pemilik mesin, pemberi pinjaman uang)atau untuk mengajukan tuntutan-tuntutannya sendiri (misalnya pekerjaan,lahan, kemurahan hati, penghargaan) terhadap kelas-kelas atasan ini.”

Berdasarkan gagasan Scott tersebut, konsep operasional tentang resistensi

masyarakat Desa Candikuning dalam penelitian ini adalah tindakan yang

dilakukan oleh masyarakat Desa Candikuning agar tuntutan-tuntutannya terhadap

pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali terpenuhi. Secara

singkat, yang dimaksud dengan masyarakat Desa Candikuning dalam hal ini

adalah masyarakat yang ada di wilayah Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti,

Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Wilayah desa ini berbatasan langsung dengan

lokasi objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali, dan sama-sama merupakan

bagian dari wilayah Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Dilihat dari jenis

atau bentuk desanya, masyarakat Desa Candikuning ini merupakan masyarakat

Desa Pakraman dan sekaligus merupakan masyarakat Desa Dinas.

1.2.2 Pihak Manajemen Objek Wisata Kebun Raya Eka Karya Bali

Pengertian mengenai manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya

Bali dalam hal ini disusun dengan mengacu kepada pengertian mengenai istilah-

istilah terkait pada beberapa sumber bacaan yang terlihat relevan dengan

18

18

kenyataan yang hendak dikonsepsikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 :

870) memuat dua macam pengertian tentang manajemen, yaitu 1) penggunaan

sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; 2) pimpinan yang

bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi. Mengingat

perusahaan dan organisasi biasanya juga menggunakan sumber daya tertentu,

maka atas dasar dua macam pengertian ini bisa dikatakan bahwa manajemen

merupakan pimpinan suatu perusahaan dan organisasi yang bertanggung jawab

atas penggunaan sumber daya tertentu untuk mencapai sasaran yang telah

ditetapkan.

Berkenaan dengan istilah pimpinan, Koentjaraningrat (1980 : 191-102)

memberikan penjelasan secara rinci mengenai istilah ini. Dalam konteks ini ia

menegaskan bahwa pimpinan dapat merupakan suatu kedudukan sosial, tetapi

juga suatu proses sosial. Sebagai kedudukan sosial, pimpinan merupakan suatu

kompleks hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang (pemimpin,

rektor, kepala, direktur, ketua, panglima, raja, dan sebagainya), sedangkan sebagai

proses sosial, pimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh orang-orang

untuk menyebabkan aktivitas warga masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial

khusus dalam masyarakat dalam peristiwa-peristiwa sosial. Segala tindakan itu

berlaku sebagai suatu proses mulai dari perencanaan, pertimbangan alternatif,

pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, pengawasan pelaksanaan, hingga

pada pengawasan akibat pelaksanaan. Tampaknya, pengertian pimpinan sebagai

proses sosial tadi dapat disejajarkan dengan pengertian pimpinan sebagaimana

19

19

dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1075), yakni sebagai

bimbingan, tuntunan.

Berdasarkan pengertian mengenai manajemen dan pimpinan di atas,

maka pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali dapat diartikan

sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan tertentu dan telah berperan dalam

lembaga yang mengelola objek wisata tersebut, yang secara formal bernama UPT

Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI. Mereka terdiri

atas kepala lembaga tersebut bersama jajarannya, melakukan berbagai kegiatan

dalam pengelolaan Kebun Raya Eka Karya Bali, dengan menggunakan berbagai

sumber daya tertentu untuk memenuhi keperluan dalam pengelolaan objek wisata

Kebun Raya Eka Karya Bali. Sumberdaya tersebut antara lain meliputi sumber

daya fisik, seperti jalan dan tempat parkir serta sumber daya ekonomi, yaitu uang

retribusi yang dipungut dari para pengunjung onjek wisata Kebun Raya Eka

Karya Bali.

Objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali merupakan salah satu dari

empat Kebun Raya yang berada di bawah naungan Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI). Sesuai dengan namanya, yakni objek wisata Kebun Raya Eka

Karya Bali menetapkan visinya, yaitu menjadi kebun raya terbaik kelas dunia

yang menjadi referensi nasional dan internasional dalam bidang konservasi ex-situ

tumbuhan pegunngan tropika dan pelayanan dalam aspek botani, pendidikan

lingkungan, holtikultura, landskap, dan pariwisata.

20

20

1.2.3 Strategi Resistensi

Konsep strategi resistensi yang dimaksud dalam hal ini tentu saja strategi

resistensi masyarakat Desa Candikuning. Konsep ini dikonstruksi berdasarkan

acuan yang kiranya relevan. Perlu ditegaskan bahwa salah satu acuan dalam hal

ini adalah kamus yang dijadikan sumber inspirasi dalam merumuskan konsep.

Jadi arti istilah dalam kamus itu dijadikan dsumber inspirasi dalam mengartikan

istilah yang dikonsepsikan dalam penelitian ini. Salah satu arti istilah strategi

sebagaimana tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 1340),

yaitu sebagai rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran

khusus. Mengacu kepada pengertian ini dan pengertian mengenai resistensi

masyarakat Desa Candikuning sebagaimana dipaparkan di atas, maka konsep

strategi resistensi masyarakat Desa Candikuning dalam penelitian ini dapat

didefinisikan sebagai rencana yang dibuat serta dianggap cermat dan

dilaksanakan oleh warga masyarakat Desa Candikuning melalui kegiatan tertentu

untuk memenuhi keinginannya atau tuntutannya terhadap pihak manajemen objek

wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.

1.2.4 Implikasi Resistensi

Konsep implikasi dalam hal ini mengacu kepada pengertian istilah

implikasi yang dikemukakan oleh Keraf (1985), dan menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (2008). Menurut Keraf (1985 : 8), ”implikasi adalah

rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah dirangkum dalam fakta atau

evidensi itu sendiri”. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa implikasi berada

21

21

dalam suatu fakta. Meskipun ada dalam suatu fakta, kiranya implikasi tidaklah

bersifat eksplisit melainkan implisit. Sifat implisitnya itu sesuai pula dengan

pengertian implikasi yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008 : 529),

yakni sebagai ”yang termasuk atau tersimpul; yang disugestikan, tetapi tidak

dinyatakan : apakah ada – dalam pertanyaan itu?”. Berdasarkan pengertian ini

dapat dikatakan bahwa implikasi bersifat implisit karena tidak dinyatakan dalam

suatu fakta tetapi sudah termasuk atau tersimpul dan disugestikan dalam suatu

fakta. Oleh karena implikasi berada dalam suatu fakta tetapi bersifat implisit,

maka untuk mengetahui dan memahami implikasi yang ada dalam suatu fakta,

justru faktanya itu perlu dicermati. Jadi, implikasi tidaklah sama dengan dampak,

pengaruh, dan akibat, namun karena implikasi disugestikan, tampaknya implikasi

bisa pula berdampak atau berpengaruh terhadap sesuatu hal yang berkaitan

dengan implikasi tersebut.

Berdasarkan pengertian tentang implikasi di atas, maka secara operasional,

implikasi resistensi dalam penelitian ini dikonsepsikan sebagai hal-hal yang pada

dasarnya sudah terangkum atau termasuk, tersimpul, terlibat, dan disugestikan

tetapi tidak dinyatakan dalam fakta-fakta mengenai berbagai dimensi resistensi

masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun

Raya Eka Karya Bali. Secara singkat dapat dikatakan, implikasi resistensi

masyarakat Desa Candikuning bisa berada dalam berbagai dimensi/aspek

resistensinya itu, tetapi bisa juga berada dalam manajemen objek wisata Kebun

Raya Eka Karya Bali, mengingat resistensi itu dilakukan terhadap pihak

manajemen objek wisata tersebut.

22

22

1.3 Landasan Teori

Sesuai dengan sebutannya, landasan teori tentu saja tidak sama dengan

teori. Oleh karena itu, konstruksi landasan teori untuk penelitian perlu didasarkan

atas pengertian yang jelas tentang landasan teori. Berkenaan dengan hal ini,

bahan-bahan bacaan mengenai metodologi penelitian kualitatif menunjukkan

adanya beberapa versi pemikiran tentang landasan teori dalam suatu penelitian.

Berdasarkan bahan-bahan bacaan tersebut diketahui bahwa landasan teori yang

disebut juga kerangka teori diperlukan dalam penelitian sebagai titik berangkat

dan landasan bagi peneliti dalam menganalisis dan memahami realitas yang

ditelitinya (Irawan, 2006 : 39). Isi kerangka teori adalah teori-teori yang relevan

dengan masalah yang dikaji dan difungsikan sebagai alat bantu dalam menemukan

pemecahan atau untuk mendapatkan jawaban yang dapat diandalkan atas masalah

yang dikaji (Suriasumantri, 1984 : 316; Irawan, 2006 : 39), atau teori-teori yang

relevan untuk menganalisis objek (Ratna, 2010 : 218). Namun teori-teori tersebut

merupakan pilihan peneliti berdasarkan alasan atau argumentasi yang

meyakinkan. Berdasarkan teori-teori pilihan itulah kerangka teoretis yang

meyakinkan disusun dengan alur-alur pikiran yang logis hingga membuahkan

kesimpulan berupa hipotesis (Suriasumantri, 1984 : 322; Mely G Tan, 1989 : 21),

dan dalam konteks ini pula kerangka teoritis dalam penelitian kualitatif dianggap

sama dengan hipotesis (Irawan, 2006 : 38). Secara teknis, penyusunan kerangka

teoretis menunjukkan bahwa peneliti memulainya dengan membaca semua teori

yang relevan dengan fokus/masalah penelitiannya dilanjutkan dengan membuat

23

23

sintesis (“menyatukan”) berbagai teori itu menjadi kerangka teori versinya sendiri

(Irawan, 2006 : 46).

Serupa dengan pengertian mengenai landasan teori di atas, Ratna (2010 :

281) memaparkan secara gamblang tentang landasan teori dalam penelitian tesis

dan disertasi. Dalam paparannya itu ia menegaskan bahwa pada landasan teori,

teori-teori yang relevan untuk menganalisis objek dikemukakan dalam kaitannya

dengan penggunaannya secara praktis, bagaimana diaplikasikan dalam penelitian.

Untuk itu teori yang digunakan dijabarkan bagaimana konsep-konsepnya,

penggagasnya, dan sebagainya.

Berdasarkan pemikiran tentang landasan teori atau kerangka teori tadi,

maka teori-teori yang tampaknya relevan untuk dipakai sebagai acuan pokok

dalam pembuatan kerangka teori untuk penelitian ini adalah teori resistensi, teori

semiotika, teori multikulturalisme, dan teori konflik sosial. Teori resistensi jelas

relevan karena penelitian ini mengkaji masalah resistensi, sedangkan teori

semiotika merupakan teori yang sebagaimana diketahui melihat segala sesuatu

sebagai suatu tanda dari berbagai sudut, termasuk dari sudut pemaknaannya yang

dilakukan oleh pemakai tanda yang bersangkutan (Hoed, 2008 : 3). Oleh karena

itu, teori semiotika juga merupakan acuan relevan dalam penelitian untuk disertasi

Kajian Budaya sebagai ilmu yang mempelajari praktik-praktik pemaknaan

(Barker, 2005) dan berparadigma kritis. Selain itu, mungkin dalam membangun

dan menerapkan strategi resistensinya, masyarakat Desa Candikuning berpegang

pada makna-makna berbagai objek yang mereka hasilkan melalui praktik

pemaknaan terhadap berbagai objek tertentu. Begitu juga teori multikulturalisme

24

24

tampak relevan karena menekankan bahwa untuk bisa hidup damai, orang yang

berbeda-beda dalam berbagai hal justru perlu saling menghargai. Namun

jangkauan teori ini juga sampai pada berbagai hal yang bisa mengganggu asas

multikulturalisme sehingga terjadi resistensi sebagaimana halnya yang dilakukan

oleh masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata

Kebun Raya Eka Karya Bali. Selain itu, teori konflik sosial juga tampak relevan

karena resistensi pada dasarnya juga bernunasa konflik sosial.

2.3.1 Teori Resistensi

Teori resistensi yang digunakan sebagai salah satu acuan pokok dalam

landasan teori ini adalah teori resistensi yang digagas oleh Scott (1993). Namun

untuk melengkapinya digunakan pula pandangan-pandangan teoretis lain yang

dianggap relevan. Dalam konteks ini, Scott (1993 : 268) menjelaskan bahwa ada

perlawanan yang dilakukan oleh petani dengan menampilkan ancaman terhadap

negara. Ini berarti resistensi tersebut mirip dengan resistensi yang dilakukan oleh

masyarakat Desa Candikuning dengan cara memberikan ancaman terhadap pihak

manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali yang pada dasarnya

merupakan ikon ataupun representasi pemerintah atau negara. Secara lebih jauh,

dalam bukunya yang lain sebagaimana dirujuk oleh Mustain (2007 : 23), Scott

memberikan penjelasan tentang berbagai hal yang melatarbelakangi atau

mendorong serta bentuk-bentuk dan strategi resistensi atau perlawanan, yakni

sebagai berikut.

”Meluasnya peran negara dalam proses transformasi pedesaanmengakibatkan, Pertama, perubahan hubungan antara petani lapisan kaya

25

25

dan lapisan miskin: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.Perubahan demikian melahirkan berbagai bentuk perlawanan kaum lemahdalam menghadapi hegemoni kaum kaya maupun negara. Kedua,munculnya realitas kaum miskin untuk membentuk kesadaran melakukanperlawanan dalam berbagai bentuk yang merupakan pembelotan kultural.Ketiga, terbangunnya senjata gerakan perlawanan menghadapi kaum kayamaupun negara. Senjata yang digunakan dengan caranya sendiri, khaskaum lemah seperti menghambat, pura-pura menurut, pura-pura tidaktahu, perusakan, berlaku tidak jujur, mencopet, masa bodoh, membuatskandal, membakar, memfitnah, sabotase, yang mengakhiri pertentangansecara kolektif.”

Kutipan ini, selain menunjukkan berbagai hal yang melatari bentuk-

bentuk resistensi, juga menunjukkan strategi yang disebut senjata khas kaum

lemah dalam menghadapi hegemoni kaum kaya ataupun negara. Jika

diadaptasikan dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, tampaklah

gagasan yang ada dalam kutipan ini dapat digunakan untuk memformulasikan

dugaan atau hipotesis kerja yang penting, terutama dalam mengkaji rumusan

masalah pertama dan kedua dalam penelitian ini. Dugaan atau hipotesis kerja

yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa (a) yang melatari atau mendorong

masyarakat Desa Candikuning melakukan resistensi terhadap pihak manajemen

objek wisata Kebun Raya Eka Karya adalah berkembangnya sikap dan perilaku

hegemonik pihak manajemen objek wisata yang merupakan ikon ataupun

representasi pemerintah atau negara tersebut terhadap masyarakat Desa

Candikuning; (b) munculnya kesadaran masyarakat Desa Candikuning untuk

melakukan resistensi dengan cara yang kurang sesuai dengan ketentuan-ketentuan

yang sudah membudaya secara universal; (c) berdasarkan kesadarannya itu

mereka mampu membangun dan menggunakan ”senjata” sebagai strategi

26

26

resistensi atau perlawanan, tetapi dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya sesuai

dengan peraturan, norma, dan nilai budaya yang berlaku secara universal.

Terkait dengan pemikiran di atas tampaknya teori ”tindakan individu yang

rasional” dan teori ”insentif selektif” relevan juga untuk menjelaskan alasan

masyarakat melakukan resistensi dengan caranya sendiri. Dua teori ini

mengasumsikan bahwa setiap manusia pada dasarnya rasional dan dengan

demikian mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektifitas dalam melakukan

setiap tindakan, termasuk tindakan dalam melakukan gerakan sosial. Dalam

konteks ini, teori tentang “tindakan individu yang rasional” menyatakan bahwa

individu-individu dalam kehidupan bermasyarakat memiliki pertimbangan

rasional dan kesadaran akan adanya keuntungan yang dapat diperoleh melalui

tindakan-tindakannya (Yunita, 1986 : 67). Demikian juga “teori insentif selektif”

menjelaskan bahwa keikutsertaan seseorang dalam suatu gerakan sosial banyak

dipengaruhi oleh jenis, bentuk, dan isi harapan-harapan yang bakal

menguntungkan : insentif selektif (Mustain, 2007 : 49). Dengan demikian maka

dapat dikatakan bahwa motivasi dan/atau prinsip-prinsip yang berlaku dalam

gerakan sosial bersifat materialistik atau ekonomistik yang mencerminkan

karakter ideologi kapitalisme yang sebagasimasna diketahui mementingkan

perolehan keuntungan. Mengikuti pendapat Habermas (dalan Thompson, 2007 :

450), motivasi dan prinsip-prinsip gerakan sosial seperti itu dapat dilihat sebagai

cerminan dari apa yang disebut “rasio instrumental”, yakni pemikiran yang

memposisikan objek-objek sebagai alat untuk memenuhi kepentingan yang

bersifat materialistik ataupun ekonomistik.

27

27

Berdasarkan asumsi teori-teori rasionalitas dan teori tindakan individu

rasional sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat pula diduga bahwa selain

dilatari oleh tiga hal yang telah disebutkan di atas, ideologi kapitalisme dan rasio

instrumental juga ikut bekerja di balik tindakan perlawanan atau resistensi

masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun

Raya Eka Karya Bali.

2.3.2 Teori Konflik

Sholihan (2007 : 6-7), memberikan penjelasan tentang konflik secara

gamblang. Menurutnya, secara konseptual konflik dibedakan dengan kekerasan.

“Konflik (conflict) adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau

kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang

bertentangan. Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata, dan

sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan

lingkungan, dan/atau menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan

potensinya”. Menurutnya, cakupan konflik amatlah luas, dari level konflik

interpersonal hingga level kelompok, orgaisasi, komunitas dan lain-lain; dan

meliputi hubungan sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik muncul akibat

ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini. Misalnya status sosial,

kekayaan, dan akses terhadap sumber daya , serta kekuasaan yang tidak adil

mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi, pengangguran,

kemiskinan, tekanan dan kejahatan.

28

28

Memang konflik dapat dibedakan dengan kekerasan, namun keduanya

berkaitan. Keterkaitannya itu terlihat dari adanya kenyataan bahwa tidak jarang

terjadi konflik yang disertasi dengan atau bernuansa kekerasan. Selain itu,

keterkaitannya itu juga tercermin dari arti kata konflik dan kata kekerasan. Arti

kata konflik sebagaimana dikemukakan oleh Pruitt dan Rubin (2004 : 9), yakni

sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide,

dan lain-lain. Sedangkan kekerasan juga dapat diartikan sebagai berikut.

“Semua hal yang mengarah pada sikap mengingkari keberadaan oranglain, yang ujung-ujungnya adalah kematian orang lain. Bukan hanyakematian fisik, melainkan juga kematian jati dirinya. Tidak lagi melihatorang itu sebagai seseorang, sebagai manusia, tetapi sebagai benda atauseekor binatang yang dapat diperlakukan semaunya, diperkosa akhirnyadibunuh” (Smelin, 2003 : 9).

Khusus mengenai sumber konflik antaretnis atau antargolongan/umat

agama, Koentjaraningrat (1989 : 337-338) menegaskan bahwa paling sedikit ada

lima macam sumber untuk konflik, yakni sebagai berikut.

1) Konflik bisa terjadi, kalau warga dari dua suku-bangsa masing-masing

bersaing dalam mendapatkan lapangan mata pencaharian hidup yang

sama.

2) Konflik juga bisa terjadi kalau warga dari satu suku-bangsa mencoba

memaksakan unsur-unsur kebudayaannya kepada warga dari suatu

suku-bangsa lain.

3) Konflik yang sama dasarnya, tetapi lebih fanatik dalam wujudnya, bisa

terjadi kalau warga dari suatu suku-bangsa mencoba memaksakan

konsep-konsep agamanya terhadap warga dari suku-bangsa lain yang

berbeda agama.

29

29

4) Konflik terang akan terjadi kalau satu suku bangsa berusaha

mendominasi suatu suku bangsa lain secara politis.

5) Potensi konflik terpendam ada dalam hubungan antara suku-suku-

bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

Menurut pendapat para ahli, masyarakat multikultural sarat dengan

potensi konflik, bahkan di dalamnya kerap terjadi peristiwa konflik. Hal ini

berkaitan dengan interaksi antara para anggota masyarakat multikultural yang

mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagaimana dikemukakan Leliweri

(2001: 208) perbedaan kebudayaan menyangkut berbagai aspek, yakni “(1)

keyakinan; (2) perasaan/sentimen; (3) tujuan, sasaran, dan cita-cita; (4) norma; (5)

kedudukan dan peranan; (6) tingkatan atau pangkat; (7) kekuasaan atau pengaruh;

(8) sanksi; (9) sarana atau fasilitas; dan (10) tekanan-ketegangan”. Perbedaan-

perbedaan ini bisa melahirkan sikap prasangka etnik ataupun prasangka

kelompok, sebagaimana terlihat pada stereotip antaretnik ataupun antarkelompok

sosial, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi karena

sebagaimana dikemukakan Geertz (1999) dan Kleden (1999), manusia selalu

terikat pada kebudayaannya masing-masing, baik dalam arti kebudayaan sebagai

aspek kognitif (model of atau model tentang – atau kebudayaan sebagai sistem

pengetahuan dan sistem makna), maupun kebudayaan sebagai aspek evaluatif

(model for atau model untuk – aspek evaluatif kebudayaan).

Biasanya dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti

itu bisa muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu,

secara tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok

30

30

lain dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria

(Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian orang biasanya memandang

bahwa yang tinggi atau yang baik adalah diri sendiri dan kelompoknya ( Berry,

1999; Sudagung, 2001).

Penilaian secara subjektif seperti itu dapat menguatkan paham kekitaan

dan kemerekaan dan secara mudah dapat memunculkan eksklusivisme atas dasar

kesukubangsaan, kedaerahan, dan keagamaan. Akibatnya, muncul aneka gejala

sosial, yakni :

Di kampung-kampung, desa-desa, di dalam suku-suku, etnik-etnik, umat-umat beragama, di antara para pendatang dan penduduk asli, dan bahkandi antara para mahasiswa di universitas-universitas ada orang yang tidakbersedia untuk menerima saudara sebangsa yang berbeda suku, agama,atau tempat kelahirannya. Kita saksikan kebencian antarkelompok, usahamemaksakan cita-cita kelompoknya sendiri kepada semua, penawaransolusi-solusi eksklusivistik, disertai dengan sikap intoleransi,marginalisasi, kekerasan hati, brutalitas, pengusiran mereka yang “lain”(Magnis-Suseno, 2006: 215).

Lebih lanjut penilaian seperti itu jelas tidak hanya berpotensi untuk menyulitkan

atau menghambat upaya membangun persatuan dan kesatuan atau kerjasama,

melainkan bisa juga berujung pada munculnya masalah konflik laten ataupun

terbuka. Contohnya adalah konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia,

seperti di Poso, Ambon, dan lain-lain yang merupakan konflik berlatarkan

eksklusivisme kesukubangsaan bercampur dengan persaingan memperebutkan

modal ekonomi dan modal politik (Trijono, 2001; Magnis-Suseno, 2006).

Masalah konflik antara kelompok-kelompok seperti itu biasanya sulit

diselesaikan meskipun dilakukan dengan berbagai upaya dalam rangka

memelihara persatuan dan kesatuan. Contoh mengenai betapa sulitnya mengatasi

31

31

atau meniadakan masalah konflik seperti itu adalah sebagaimana yang telah

terjadi dalam hubungan antaretnik di Indonesdia. Dengan pemberlakuan politik

bhinneka tunggal ika (berbeda tetapi tetap satu juga) untuk memelihara persatuan

dan kesatuan di Indonesia ternyata kehidupan masyarakat lebih banyak

kebhinnekaannya daripada ketunggalikaannya (Danandjaja,1988). Menurut

Abdullah (2006), implikasi politik bhinneka tunggal ika di Indonesia justru

menempatkan kebudayaan-kebudayaan yang beragam di berbagai tempat tidak

mendapat tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk

diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat antara lain pemisahan diri,

konflik, dan teror.

Kemultikulturalan yang mengandung potensi konflik seperti itu bisa juga

dilihat pada masyarakat Bali, antara lain karena masyarakat Bali biasanya

memilah warga masyarakat menjadi dua macam, yaitu warga muwed, adalah

warga asli, orang dalam atau kita (in-group); dan warga tamiu, adalah orang lain,

orang luar, mereka (out-group). Berkenaan dengan pemilahan antara in-group

dan out-group, Dayakisni dan Yuniardi (2004) menjelaskan bahwa dalam

konteks in-group, maka familiaritas, keintiman, dan kepercayaan sangat tinggi;

sebaliknya dalam konteks out-group, maka familiaritas, keintiman, dan

kepercayaan sangat rendah sehingga kecurigaan orang-orang dari suatu kelompok

tertentu terhadap orang-orang dari kelompok lain sangat besar, bahkan selalu

menghantui hubungan mereka. Menurut Atmadja (2005 : 271), dengan pemilahan

warga asli (muwed) dan pendatang (tamiu) itu, dalam masyarakat Bali terbentuk

pemaknaan bahwa “warga muwed, orang dalam atau kita adalah baik, tidak jahat,

32

32

dan status sosial tinggi, sedangkan warga tamiu, orang luar atau mereka adalah

buruk, jahat, dan status sosial rendah”. Selain itu, pemilahan orang Bali menurut

wangsa menjadi empat kelompok klen (brahmana, ksatria, wesya, dan jaba), pada

dasarnya berpotensi konflik bahkan sudah pernah terjadi pertentangan atau

konflik laten ataupun konflik terbuka, terutama antara anggota kelompok

brahmana, ksatria, dan wesya (tri wangsa) dengan anggota kelompok jaba pada

tahun 1920-an (Bagus, 1969; Geertz, 1981; Atmadja, 1987).

Latar belakang dan proses terjadinya konflik seperti itu perlu dicermati

secara lebih mendalam agar dapat ditentukan strategi penanggulangannya melalui

pengelolaan konflik secara profesional. Selain dengan mengacu pemikiran para

ahli tentang konflik sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampaknya teori

konstruksi realitas sosial juga dapat digunakan untuk mencermati proses

terjadinya konflik. Hamad (2004 : 12), secara ringkas dan jelas mengemukakan

pemikiran Berger dan Thomas Luckmann tentang proses konstruksi realitas, yakni

sebagai berikut.

”Proses konstruksi realitas dimulai ketika seorang konstruktor melakukanobjektivikasi terhadap suatu kenyataan yakni melakukan persepsi terhadapsuatu objek. Selanjutnya hasil dari pemaknaan melalui proses persepsi itudiinternalisasikan ke dalam diri seorang konstruktor. Dalam tahap inilahdilakukan konseptualisasi terhadap suatu objek yang dipersepsi. Langkahterakhir adalah melakukan eksternalisasi atas hasil dari proses perenungansecara internal tadi melalui pernyataan-pernyataan. Alat membuatpernyataan tersebut tiada lain adalah kata-kata atau konsep atau bahasa”(Hamad, 2004 : 12).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses konstruksi realitas meliputi tiga

tahapan. Pertama, objektivikasi yang menunjukkan adanya praktik pemaknaan

melalui persepsi terhadap suatu objek. Kedua, internalisasi yang menunjukkan

33

33

adanya konseptualisasi terhadap suatu objek yang sebelumnya telah

dipersepsikan. Ketiga, eksternalisasi yang menunjukkan pernyataan-pernyataan

tentang hasil perenungan atas hasil pemaknaan suatu objek.

Jika pemikiran mengenai proses konstruksi realitas tadi diacu dalam

mencermati konflik maka konflik tersebut bisa tampak sebagai peristiwa yang

dilatari kekeliruan dalam proses konstruksi realitas sosial yang yang berkaitan

dengan konflik tersebut. Kekeliruan dalam hal ini bisa berawal ketika suatu

pihak, melakukan pemaknaan melalui persepsinya terhadap sesamanya. Dikatakan

bisa keliru karena sebagaimana dikatakan oleh Sears, Freedman, dan Peplau

(1985 : 52), dalam melakukan persepsi orang cenderung membentuk kesan

panjang lebar atas orang lain hanya berdasarkan informasi terbatas. Kesan

panjang lebar berdasarkan informasi yang terbatas itulah berpeluang terjadinya

kekeliruan. Oleh karena itu, pemaknaan dan hasilnya berupa makna yang

diperoleh melalui proses persepsi itu juga bisa hanya berdasarkan pengetahuan

yang terbatas mengenai objek yang dimaknai. Ini berarti makna atau pemahaman

atas sesamanya itu tadi juga mengandung kekeliruan atau merupakan

kesalahpahaman. Sedangkan sebagaimana dikemukakan oleh Barker (2014 : 168),

“makna memandu tindakan kita atau kita gunakan sebagai penjelasan dan

pembenaran atas tindakan kita tersebut”. Dengan demikian, kesalahpahaman tadi

akan memandu tindakan dalam memperlakukan sesamanya. Dalam konteks inilah

bisa terjadi konflik berbasis kesalahpahaman antara sesama warga masyarakat

yang berbeda-bedas identitasnya.

34

34

Meskipun di satu sisi konflik dapat dilihat sebagai suatu masalah yang

bisa mengganggu ketenangan, ternyata di sisi lainnya, konflik juga bisa

bermanfaat. Menurut pendapat Weber sebagaimana dibahas oleh Laeyendecker

(1983 : 324), konflik merupakan dasar atas integrasi sosial dan perubahan sosial,

bahkan merupakan unsur dasar dan tidak dapat dilenyapkan dalam kehidupan

budaya manusia. Dengan kata lain, konflik merupakan keniscayaan (Sholihan,

2007 : 3), juga bisa dimanfaatkan untuk membangun suasana kehidupan damai

melalui integrasi sosial. Oleh karena itu, dengan tepat Jamil (2007 : v)

menegaskan bahwa “kita nyata-nyata membutuhkan konflik. Banyak literatur,

terutama dalam dunia bisnis yang memperhatikan efek yang menguntungkan dari

konflik”.

2.3.3 Teori Semiotika

Hoed, dalam bukunya berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya

(2008 : 3) menyatakan ”semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam

kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat

sebagai tanda yang harus kita beri makna”. Jadi suatu tanda akan bermakna jika

dimaknai. Makna yang dimaksudkan dalam hal ini mengacu kepada gagasan de

Saussure, yakni yang menyatakan makna tanda, yakni isi tanda yang dipahami

oleh manusia pemakai tanda. Ini berarti, makna suatu tanda tidaklah berada pada

tanda itu, melainkan pada benak manusia yang memaknainya. Jika tanda itu

adalah sebuah istilah, maka sebagaimana dikatakan oleh Mulyana (2006 : 21),

35

35

”makna suatu istilah, sebagaimana kata, pada dasarnya bersifat arbitrer. Makna

terdapat dalam benak si pengguna istilah tersebut”.

Terkait dengan hal ini, Derrida berpendapat bahwa makna suatu tanda

diperoleh sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu (Hoed, 2008 :

68). Kehendak pemakai tanda dalam hal ini sinomim dengan kemauan, keinginan,

dan harapan yang kiranya berkaitan dengan kepentingannya. Sejalan dengan

pendapat ini, Hamad (2004 : 19-20) juga menjelaskan bahwa makna suatu tanda

yang muncul dalam wacana memang bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari

satu orang ke orang lain. Ini berarti, pemakai tanda akan memaknai tanda itu

sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks ini pendapat Karl Marx tentang

makna sebagaimana dikutip oleh Laeyendecker (1983 : 244) menarik untuk

dicermati, bahwa ”mata dan telinga baru memperoleh maknanya yang penuh

bilamana ada sesuatu yang dapat dilihat dan didengar”. Jika mata dan telinga

dalam hal ini diposisikan sebagai suatu tanda, maka makna tanda-tanda ini akan

bersesuaian dengan kepentingan pemakainya (pemilik mata dan telinga) yang

memakai mata dan telinganya sebagai alat untuk melihat dan mendengarkan

sesuatu yang ingin dilihat dan didengarkannya sesuai dengan kepentingannya.

Dengan demikian, perlakuan berupa tindakan ataupun perbuatan terhadap suatu

tanda akan sesuai dengan makna tanda itu yang oleh pemakainya dikonstruksi

berdasarkan kepentingannya. Dalam konteks ini, Schluchter sebagaimana dikutip

oleh Laeyendecker (1983 : 325) menjelaskan hubungan antara kepentingan dan

tindakan manusia, yakni sebagai berikut.

”Kepentingan-kepentingan yang bersifat material dan ideallah, danbukannya gagasan-gagasan, yang langsung menguasai tindakan manusia.

36

36

Tetapi gambaran-gambaran dunia yang diciptakan oleh gagasan-gagasan,sering kali, sebagai penjaga wesel, menentukan jalur-jalur yang dilaluioleh tindakan yang digerakkan oleh dinamika kepentingan-kepentingan”.

Berdasarkan pemikiran terurai di atas dapat diduga bahwa para warga

masyarakat Desa Candikuning pada dasarnya merupakan pemakai sekaligus

pemberi makna terhadap berbagai tanda tertentu, baik berupa kata-kata, kalimat,

perbuatan, benda, dan lain-lain yang ada dalam pengelolaan objek wisata Kebun

Raya Eka Karya Bali. Tatkala memberi makna atau memaknai tanda-tanda

tersebut, mereka berpegang pada kepentingan yang hendak mereka penuhi

melalui resistensi terhadap pihak manajemen objek wisata tersebut. Dengan

demikian, resistensi yang pada intinya merupakan tindakan yang mereka lakukan

itu dapat dikatakan sebagai ekspresi kepentingan mereka.

Paparan di atas menggambarkan bahwa orang dapat menanggapi sesuatu

tanda sesuai dengan makna tanda yang telah dimaknainya. Tanggapannya itu bisa

direalisasikan melalui percakapan dengan menggunakan bahasa untuk

membicarakan sesuatu dalam rangka mencapai kepentingan atau tujuan tertentu.

Penggunaan bahasa untuk membicarakan sesuatu dapat disebut wacana dalam arti

sebagaimana dikemukakan oleh Aminuddin (2002 : 29) sebagai berikut.

”wacana sebagai sasaran kajian secara konkret merujuk pada realitaspenggunaan bahasa yang disebut ’teks’. Teks sebagai perwujudan konkretwacana terbentuk oleh untaian kalimat yang mempunyai komposisi,urutan, dan ciri distribusi tertentu”.

Dengan demikian, wacana dalam arti seperti itu perlu mengkaji untuk memahami

praktik pemaknaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sehubungan

dengan hal ini, Hamad (2004 : 19-20) menjelaskan bahwa melalui analisis wacana

kritis dapat diketahui makna suatu tanda yang muncul dalam wacana memang

37

37

bisa berubah-ubah dan berbeda-beda dari satu orang ke orang lain. Hal ini dapat

disebabkan oleh konteks penggunaan tanda tersebut, yaitu ideologi, kepentingan,

waktu, dan ruang). Sejalan dengan pemikiran ini, Derrida (dalam Hoed, 2008 :

68) dengan konsep dekonstruksinya menjelaskan bahwa perubahan pemaknaan

terhadap suatu tanda sesuai dengan kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu.

Oleh karena itu, Derrida berpendapat bahwa untuk mengetahui makna lain atau

makna baru suatu tanda, maka makna tanda yang telah dikondisikan melalui

proses pembudayaan secara massal dapat ”ditunda”.

Sekiranya pemikiran mengenai dinamika praktik pemakaan dan wacana

yang berkontekstual dengan pelaku, waktu, uang, dan kepentingan sebagaimana

dipaparkan di atas dapat dijadikan acuan penting dalam memahami praktik-

praktik pemaknaan serta makna yang dihasilkan oleh para pihak yang terlibat

dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap pihak manajemen objek

wisata Kebun Raya Eka Karya Bali. Para pihak dalam hal ini bisa meliputi

individu-individu anggota dan tokoh masyarakat Desa Candikuning dan para

pemimpin atau manajer Kebun Raya Eka Karya Bali beserta jajarannya. Dinamika

praktik pemaknaan yang dilakukan oleh para pihak ini, selain bisa terjadi pada

babak awal, bisa pula terjadi pada babak lanjutan dari resitensi tersebut, sehingga

praktik-praktik pemaknaan itu bisa pula dilihat sebagai implikasi resistensi

tersebut dalam arti sebagaimana dijelaskan pada paparan mengenai konsep di atas.

Secara lebih jauh, melalui pemahaman terhadap wacana yang berkembang

di masyarakat dapat pula dipahami ideologi yang tersembunyi di balik wacana itu.

Sebab sebagaimana dikemukakan oleh Althusser (dalam Faruk, 2002 : 142),

38

38

wacana adalah ideologi dalam praktik; tidak ada ideologi tanpa wacana dan tidak

ada wacana tanpa ideologi. Selain itu, Althusser (dalam Takwin, 2003 : 99)

berpendapat bahwa, ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan yang tidak

hanya terdapat pada tataran negara atau dalam hubungan negara dengan rakyat,

hubungan majikan dengan buruh, melainkan juga dalam hubungan antara orang

per orang sehari-hari di mana saja. Selanjutnya, Althusser (dalam Takwin, 2003 :

101), menegaskan bahwa dalam hubungan kekuasaan selalu terdapat usaha saling

menguasai dan saling menekan. Setiap penindasan menimbulkan usaha pada

pihak tertindas untuk melepaskan diri. Salah satu alat yang perlu ada dalam upaya

pembebasan ini adalah ideologi, suatu kepercayaan yang dibangun untuk

menggerakkan kelompok yang tertindas. Berkenaan dengan hubungan kuasa,

Foucault sebagaimana dikatakan Takwin (2003 : 130) melihat pengetahuan

ditentukan oleh kekuasaan, sehingga kebenaran merujuk kepada sebuah ”rezim

kebenaran” yang sedang bertahta. Upaya untuk saling menguasai dan untuk

melepaskan diri dari penindasan bisa juga dilakukan dengan strategi politik

identitas, dalam arti memakai identitas kelompok atau individu untuk memperoleh

perlakuan yang lebih adil dari kelompok atau individu lain (Sparringa, 2006 : 5-

6).

Althusser (2008 : 21), sebagaimana dijelaskan pula oleh Faruk (2002 :

137-139) berpendapat, bahwa untuk mengamankan hubungan antar kelas dan

dengan demikian kekuasaan dapat dipegang dalam waktu lama, maka pihak kelas

yang berkuasa mengembangkan dua macam ideologi. Pertama, ideologi yang

tampil dengan aparat-aparat negara yang represif (repressive state apparatus,

39

39

RSA ), yang bekerja secara represif lewat penggunaan kekerasan (militer, polisi,

penjara, pengadilan dan lain-lain) sebagai upaya untuk mengamankan bentuk-

bentuk sosial yang ada. Kedua, ideologi yang tampil dengan aparat-aparat negara

ideologis (ideological state apparatus, ISA) yang bekerja tidak terutama dengan

menggunakan kekerasan melainkan dengan memainkan ideologi dan/atau wacana

secara persuasif atau hegemonik. Dalam konteks inilah Althuser berpandangan

bahwa tidak ada kelas yang dapat memegang kekuasaan dalam waktu lama tanpa

melakukan hegemoni atas dan dalam ISA. Dikatakan demikian, karena yang

mempersatukan atau yang dapat menjamin harmoni antara yang satu dengan yang

lain dalam ISA itu adalah ideologi yang berkuasa sebagai semacam perekat bagi

bersatunya anggota-anggota masyarakat. Mengacu gagasan Bourdieu (dalam

Harker, t.t. : 117; Fashri, 2007 : 98-99), maka dapat dikatakan bahwa kesuksesan

para anggota kelompok dominan untuk melancarkan hegemoninya ditentukan

juga oleh modal budaya, ekonomi, sosial, dan modal simbolik yang mereka

miliki, yaitu sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, misalnya pemilikan benda-

benda budaya dan status sosial.

Pemikiran teoretis ini memungkinkan untuk menambah kemampuan

peneliti dalam menggali dan menganalisis data tentang wacana, ideologi, relasi

kuasa, permainan politik identitas serta pemilikan dan penggunaan aneka modal

yang mungkin berkembang dalam resistensi masyarakat Desa Candikuning

terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.

40

40

2.3.4 Teori Multikulturalisme

Berbicara tentang multikulturalisme berkaitan erat dengan apa yang

disebut masyarakat mulktikultural, sebab multikulturalisme dibutuhkan untuk

membangun kedamaian dalam kehidupan masyarakat multikultural. Masyarakat

mukltikultural berbeda dengan masyarakat plural. Sebagaimana dikemukakan

oleh Atmadja (2008 : 19-20), masyarakat plural mengacu pada suatu susunan

masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok yang memiliki ciri-ciri budaya

yang berbeda-beda satu sama lain, namun interaksi sosial lintas kelompok tersebut

relatif sangat minim. Masyarakat multikultural adalah masyarakat plural, tetapi

interaksi lintas kelompok sosial yang ada di dalamnya relatif intensif.

Dalam hubungan antara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam

masyarakat multikultural bisa melahirkan pandangan-pandangan subjektif

(stereotipe), prasangka, jarak sosial, dan sikap diskriminasi. Hal ini bisa terjadi

karena dalam interaksi antara anggota kelompok yang berbeda seperti itu bisa

muncul penilaian antarkelompok secara subyektif. Dalam penilaian itu, secara

tidak sadar suatu kelompok cenderung memandang orang dari kelompok lain

dengan menggunakan kelompok dan kebiasaannya sendiri sebagai kriteria

(Bennett, 1990 : 81). Dalam keadaan demikian orang biasanya memandang

bahwa yang tinggi atau yang baik adalah dirinya sendiri dan kelompoknya

(Atmadja, 2010 : 377).

Penilaian seperti itu berpotensi untuk menyulitkan atau menghambat

upaya membangun persatuan dan kesatuan, bahkan bisa juga berujung pada

munculnya masalah konflik, baik konflik laten maupun konflik terbuka yang

41

41

berawal dari resistensi suatu kelompok terhadap kelompok yang lainnya. Konflik

dalam hal ini biasanya dilatarbelakangi oleh eksklusivisme kelompok bercampur

dengan upaya memperebutkan berbagai sumberdaya, antara lain sumberdaya

ekonomi (Koentjaraningrat, 1984 : 377-378). Selain itu, menurut pendapat para

ahli sebagaimana diulas oleh Atmadja (2008 : 22-23), ada beberapa hal yang

dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi sosial yang mengganggu upaya

implementasi multikulturalism. Di antaranya : (a) eksklusivisme kelompok atau

kedaerahan; (b) mutual distrust, yaitu bentuk hubungan tidak sehat yang

kemunculannya didasarkan pada masa lalu yang dianggap tidak menyenangkan

sehingga memunculkan keinginan untuk balas dendam dan ketidakpercayaan

kepada kelompok lainnya; (c) inequality frustration terjadi dalam bentuk

perasaan diperlakukan tidak fair oleh kelompok lainnya.

Dalam rangka menanggulangi masalah ini maka upaya yang terkait

dengan pelembagaan tentang pengetahuan, nilai, sikap, dan perilaku yang

berlandaskan doktrin multikulturalisme sangat penting. Tujuannya bukan untuk

meniadakan keragaman, melainkan memberikan penyadaran bahwa keragaman

adalah sesuatu yang menyatu dengan kehidupan manusia. Keragaman tidak bisa

dilenyapkan sebagaimana yang berlaku pada strategi asimilasi, melainkan harus

dikelola agar tidak menimbulkan masalah, termasuk masalah yang mendorong

terjadinya resistensi dan/atau konflik yang kedamaian. Berdasarkan doktrin

multikulturalisme memang memungkinkan pengelolaan keberagaman itu

menghasilkan hubungan harmonis karena di balik keragaman selalu ada titik temu

atau bahkan kesamaan sehingga terjadi tumpang tindih antara kesamaan dan

42

42

perbedaan. Dalam konteks inilah kesamaan perlu ditumbuhkembangkan guna

mewujudkan kehidupan yang harmonis berasaskan multikulturalisme.

Multikulturalisme adalah gerakan sosio-intelektual yang mempromosikan nilai-

nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan pentingnya penghargaan

pada setiap kelompok yang mempunyai kultur berbeda. Orientasinya adalah

kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai, egaliter,

toleran, saling menghargai, saling menghormati, tanpa ada konflik dan kekerasan,

tanpa mesti menghilangkan kompleksitas perbedaan yang ada (Burhanuddin,

2003: 86).

Ada berbagai macam definisi multikulturalisme, namun pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai doktrin yang mempromosikan keberagaman

antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun, damai,

egaliter, toleran, saling menghargai, dan saling menghormati. Bersamaan dengan

itu masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati diri mereka secara

optimal, tanpa dinisbikan oleh yang lainnya. Dengan meminjam gagasan Atmadja

(2008 : 26) dapat dikatakan bahwa jika pertemuan kode, simbol atau kebudayaan

antarsuatu kelompok sosial semakin luas titik singgungnya, maka semakin besar

peluang mereka untuk mendapatkan titik pandang bersama. Bersamaan dengan itu

maka konflik pun dapat diminimalisasikan. Jika terjadi hal yang sebaliknya, yakni

titik temu kode, simbol atau kebudayaan mengecil, maka titik pandang bersama

pun mengecil, sehingga peluang bagi munculnya kesalahpahaman yang berlanjut

pada resistensi dan masalah konflik bahkan disintegrasi menjadi semakin sulit

dihindarkan. Kode, simbol atau kebudayaan dalam arti tatanan kenyataan yang

43

43

ideasional yang disosialisasikan guna menumbuhkembangkan kesadaran lintas

kultur, bisa dilakukan lewat revitalisasi maupun revivalisasi terhadap kearifan

lokal yang bersifat universal yang berlaku pada kelompok-kelompok yang

berbeda. Agar kearifan lokal itu bisa bermanfaat, maka dia harus nyambung

dengan sistem sosiobudaya masyarakat setempat melalui proses komunikasi.

Dengan mengikuti gagasan ’teori tindakan komunikatif’ menurut Habermas

(dalam Thompson, 2007 : 449), penggunaan bahasa secara komunikatif sangatlah

penting dalam penyampaian pesan-pesan. Dikatakan penting karena dengan cara

itu memungkinkan terjadinya kesepahaman serta hubungan yang berkesetaraan.

Teori multikulturalisme sebagaimana dipaparkan di atas kiranya dapat

dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi dalam mencari, menjelaskan, dan

memahami pemikiran para pihak terkait dalam resistensi masyarakat Desa

Candikuning terhadap pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya

Bali. Di dalamnya termasuk pemikiran, baik yang berpotensi untuk membangun

maupun yang berpotensi mengganggu upaya menjalin hubungan sosial yang

harmonis.

2.4 Model Penelitian

Model dapat diartikan sebagai rekonstruksi suatu kenyataan dalam rangka

memahami apa yang terjadi dalam kenyataan tersebut (Laeyendecker, 1983 : 68-

69), namun kenyataan itu terlampau kompleks untuk dipahami sepenuhnya oleh

manusia yang tidak sempurna (Steger, 2006 : 28). Oleh karena itu, suatu model

tidaklah memuat semua hal melainkan hanya hal-hal tertentu saja yang terjadi

44

44

dalam kenyataan sesuai dengan tujuan pembuatan model tersebut. Dengan

berpegang pada pengertian tentang model di atas, maka model penelitian ini

dibuat untuk memahami fenomena yang menjadi fokus penelitian ini berdasarkan

landasan teori yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, model penelitian

ini dapat ditampilkan sebagai berikut.

Model Penelitian

Keterangan tanda:Hubungan tyimbal balikPeran

Model penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa ada

hubungan timbasl balik antara masyarakat Desa Candikuning dan objek wisata

Kebun Raya Eka Karya Bali. Selain itu ada juga hubungan timbal balik antara

pihak manajrmen objek wisata kebun Raya Eka Karya Bali dan pihak

Masyarakat DesaCandikuning

Manajemen ObyekWisata Kebun Raya

Eka Karya Bali

Resistensi Masyarakat DesaCandikuning terhadap Manajemen

Obyek Wisata Kebun Raya Eka KaryaBali

1 . Dasar/Latar Belakang Resistensi2 . Strategi Resistensi3. Implikasi Resistensi

Objek Wisata KebunRaya Eka Karya Bali

45

45

manajemen objek wisata tersebut. Berdasarkan hubungan-hubungan tersebut

terjadi interaksi yang bernuansa sikap kontradiktif antara masyarakat Desa

Candikuning dan pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Eka Karya Bali.

Dalam interaksi tersebut timbul resistensi masyarakat Desa Candikuning terhadap

pihak manajemen objek wisata Kebun Raya Ekakarya Bali. Penelitian ini hendak

mengkaji tiga aspek resistensi tersebut, yaitu (1) hal-hal yang

mendasari/melatarbelakanginya, (2) strategi yang dibangun dalam resistensi

tersebut, dan (3) implikasi resistensi tersebut, baik dalam kehidupan masyarakat

Desa Candikuning maupun dalam manajemen objek wisata Kebun Raya Eka

Karya Bali.