Bab i pi PENYEBAB SCHIZOPHRENIA PADA ANAK DILIHAT DARI POLA ASUH DALAM KELUARGA
-
Upload
tyaseta-sardjono -
Category
Education
-
view
639 -
download
0
description
Transcript of Bab i pi PENYEBAB SCHIZOPHRENIA PADA ANAK DILIHAT DARI POLA ASUH DALAM KELUARGA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan sehari-hari sering ditemukan orang-orang yang memiliki
gangguan komunikasi, halusinasi dan delusi yang berlebihan, salah satu diantaranya
yaitu Schizophrenia. Schizophrenia adalah kekacauan jiwa yang ditandai dengan
kehilangan kesadaran dalam hidup yang ditandai dengan adanya halusinasi, khayalan
(kepercayaan yang salah), pikiran abnormal yang mengganggu kerja dan fungsi sosial
(Wayan Westa, 2007).
Schizophrenia merupakan sekumpulan fenomena mental dan perilaku yang dapat
menyerang jati diri seseorang, memutus hubungan yang erat antara pemikiran dan
perasaan serta mengisinya dengan persepsi yang terganggu, cara berpikir yang salah,
dan konsepsi yang tidak logis (Chaplin, 2000).
Sekitar satu persen dari populasi Amerika Serikat terkena Schizophrenia, dengan
jumlah keseluruhan lebih dari dua juta jiwa (APA, Cowan dan kandel, dalam Anita,
2004). Menurut hasil penelitian multinasional World Health Organization (WHO)
terdapat sekitar dua puluh empat jiwa di seluruh dunia mengidap Schizophrenia
(Olson, dalam Wulan, 2008). Berdasarkan laporan kesehatan mental pada tahun
2003-2004, sebanyak 4.684 pasien Schizophrenia (pada tahun 2003 sebanyak 1.072
jiwa dan 3.612 jiwa pada tahun 2004). Menurut psikolog Prof. Dr. Dadang Hawari
(2001), jumlah penderita schizophrenia di Indonesia adalah tiga sampai lima per 1000
penduduk. Mayoritas penderita berada di kota besar. Ini terkait dengan tingginya stres
yang muncul di daerah perkotaan. Schizophrenia menyerang anak-anak usia 6 (enam)
hingga 14 tahun (24.74%), orang dewasa usia 20 hingga 40 tahun (11.35%) menurut
Rob Nicolson, M.D., Frances B. Brookner, Psy.D., dkk (dalam medicastore, 2007).
Schizophrenia biasanya berkembang pada masa remaja akhir atau dewasa awal awal
usia 20 tahun-an, pada masa di mana otak sudah mencapai kematangan yang penuh.
Pada sekitar tiga dari empat kasus, tanda-tanda pertama dari Schizophrenia tampak
pada usia 25 tahun, tepatnya pada saat orang mulai keluar dari lingkungan keluarga
1
2
menuju ke dunia luar (Cowan & Kandel; Harrop & Trower, dalam Rachma Wulan,
2008).
Schizophrenia yang menyerang anak-anak usia 6 (enam) hingga 14 tahun diawali
dengan terjadinya pengurangan minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya
kesulitan dalam memenuhi tanggung jawab di kehidupan sehari-hari. Pada mulanya,
anak tampak menjadi kurang peduli akan penampilannya. Mereka tidak mandi secara
teratur atau menggunakan pakaian yang sama secara berulang-ulang. Seiring dengan
berjalannya waktu, perilaku mereka menjadi bertambah aneh dan terjadi penurunan
dalam performa kerja dan tugas sekolah. Pembicaraan mereka semakin tidak jelas dan
melantur. Perilaku menjadi semakin aneh seperti menimbun makanan,
mengumpulkan sampah, atau berbicara sendiri dijalan adalah awal dimana gangguan
mulai menjadi akut yang disertai dengan halusinasi, waham, dan meningkatnya
perilaku yang aneh. Apabila Schizophrenia dibiarkan maka anak akan mengalami
kesulitan dalam berpikir atau berbicara dengan tidak jelas, dan menyimpan ide yang
tidak biasa yang tidak dapat diterima secara akal sehat dan tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku di masyarakat, seperti keyakinan tentang telepati atau
pandangan akan masa depan (dalam Hillary, 2007).
Berkembangnya pola kronis, yang ditandai dengan terjadinya episode-episode
akut dan berlanjutnya hendaya kognitif, emosional, dan motivasional antarepisode
(Wiersma dkk, dalam Anita, 2004). Diantara episode-episode akut, orang yang
mengalami skizofrenia mungkin tetap tidak dapat berpikir secara jernih dan mungkin
kehilangan respons emosional yang sesuai terhadap orang-orang dan peristiwa-
peristiwa dalam hidupnya (Mandal, Pandey, & Prasad, dalam Wulan, 2008).
Keluarga yang memiliki kerabat yang menderita Schizophrenia cenderung tidak
dapat menerima keadaan, mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
penderita dan pola asuh yang baru, bahkan keluarganya mengasingkan penderita ke
rumah sakit jiwa. Fenomena ini diperparah dengan lingkungan sekitar penderita yang
mencela, dan mengucilkan penderita Schizophrenia (dalam Wulan, 2008).
Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter dapat menjadikan anak mengalami
Schizophrenia, hal ini dapat terjadi karena orang tua tidak memberikan kesempatan
kepada anak untuk berpendapat, menjaga jarak dengan anak, mengejar anak dengan
3
tuntutan orang tua. Hal ini dapat menyebabkan anak mulai mengalami pengurangan
minat dalam aktivitas sosial dan meningkatnya kesulitan dalam memenuhi tanggung
jawab di kehidupan sehari-hari, menjadi kurang peduli akan penampilannya dengan
tidak mandi secara teratur, tidak menyikat gigi, menggunakan pakaian yang sama
secara berulang-ulang, terjadi penurunan-penurunan dalam performa kerja dan tugas
sekolah, pembicaraan anak semakin tidak jelas dan melantur, anak suka berperilaku
tidak wajar seperti menimbun makanan, mengumpulkan sampah, atau berbicara
sendiri dijalan, kemudian muncul halusinasi, waham, dan meningkatnya perilaku
yang aneh sebagai gejala dari Schizophrenia (dalam Anita, 2004). Apabila
Schizophrenia dibiarkan maka anak akan mengalami kesulitan dalam berpikir atau
berbicara dengan jelas, dan menyimpan ide yang tidak biasa, seperti keyakinan
tentang telepati atau pandangan akan masa depan (American Journal Of Psychiatri,
2008).
Keluarga merupakan pembentuk kepribadian yang sangat berpengaruh dalam
proses perkembangan anak, hal ini disebabkan karena orang tua mempunyai pola
asuh untuk anak-anaknya guna merawat, mengajarkan cara berinteraksi dan
bersosialisasi, mengacarkan bagaimana bertingkah laku yang dapat diterima dalam
norma masyarakat. Pengasuhan merupakan suatu proses mengembangkan dan
memanfaatkan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai untuk merencanakan kapan
akan memiliki anak, melahirkannya, membesarkannya dan memberikan kasih sayang
untuknya (Morrison, 2004). Pada pola asuh otoriter dengan ciri orang tua tidak
memberikan kesempatan kepada anak untuk berpendapat, selalu dikejar tuntutan
orang tua akan menyebabkan timbulnya rasa tertekan pada anak (Hardy & Heyes
dalam Khotimah, 2007), ditambah lagi dengan adanya komunikasi double-blind ,
apabila ini dibiarkan maka kemungkinan anak akan merasa stress, frustasi, tertekan
sehingga dapat menjadi penyebab dari munculnya Schizophrenia (Nevid, 2005).
Menurut Baumrind (dalam Berk, 1994) pola asuh Authoritarian dimana Orang tua
berlaku sangat ketat dan mengontrol anak dengan mengajarkan standar dan tingkah
laku. Pola asuh ini mengakibatkan kurangnya hubungan yang hangat dan komunikatif
dalam keluarga. Anak dari pola asuh ini cenderung moody, murung, ketakutan, sedih,
menggambarkan kecemasan dan rasa tidak aman dalam berhubungan dengan
4
lingkungannya, menunjukkan kecenderungan bertindak keras saat tertekan dan
memiliki harga diri yang rendah, yang memungkinkan munculnya Schizophrenia.
Pada umumnya orang yang terkena Schizophrenia disebabkan karena rasa tertekan,
stress, frustasi, merasa terbuang, takut.
Dua sumber utama yang berperan sebagai sumber stres dalam keluarga yang
dapat meningkatkan risiko Schizophrenia pada pasien yang memiliki kerentanan
genetis yaitu komunikasi double-blind (komunikasi dimana orang tua menjaga jarak
dengan anak) dan ekspresi emosi yang negatif dalam keluarga (menolak anak,
membentak anak, menyakiti anak baik secara fisik maupun psikologis). Apabila
kedua sumber stres ini tidak dapat di atasi, maka akan membuat Schizophrenia
semakin berkembang menjadi semakin kompleks (dalam Nevid, 2005).
5
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimanakah pola asuh yang diterapkan oleh orang tua yang memiliki anak
Schizophrenia?
2. Apakah yang dapat menyebabkan anak terkena Schizophrenia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengetahui pola asuh pada orang tua yang memiliki anak Schizophrenia.
2. Mengetahui penyebab anak sehingga terkena Schizophrenia.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan dalam bidang psikologi yaitu dalam bidang psikologi klinis
khususnya dalam psikologi abnormal, psikologi pendidikan, psikologi
perkembangan yang menitik beratkan pada pola asuh keluarga penderita
schizophrenia.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi pola asuh pada
keluarga Schizophrenia, sehingga diharapkan keluarga mengetahui cara
menangani penderita, dapat merawat, membantu penderita dalam
mengembangkan cara-cara yang lebih kooperatif dan tidak terlalu
konfrontatif dalam berhubungan dengan lingkungan, serta membantu
dalam proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya dapat mencegah
kambuhnya Schizophrenia.