BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....
Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
1. Masalah Penelitian
Peradaban masyarakat mengalami perubahan sejak terjadinya pertemuan
para bangsa. Masyarakat yang sifatnya dinamis terus membentuk sebuah
pembaharuan tindakan sosial. Popper mencoba untuk membahas bentuk
masyarakat yang dilatar belakangi oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi secara
global. Bentuk masyarakat menurut Popper dibedakan menjadi dua, yaitu:
masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (Popper, vol.1, 1947: 152).
Masyarakat tertutup merupakan masyarakat yang magis, kolektif atau
tribal. Dalam masyarakat terbuka bentuk prilaku masyarakat menjadi dinamis.
Perubahan bentuk masyarakat didahului oleh gejala sosial yang membentuk suatu
realitas baru. Perubahan dinamika masyarakat menuju masyarakat terbuka juga
berdampak pada kehidupan sosial yang terbentuk secara otomatis. Dampak yang
ditimbulkan berupa segala bentuk efek samping dari kemajuan ilmu, teknologi,
telekomunikasi, sosial politik, sosial ekonomi, pendidikan. Beberapa hal yang
disebutkan itu merupakan bentuk nyata dari dinamika masyarakat, berupa sistem
yang saling memengaruhi satu sama lainnya.
Dinamika masyarakat terbuka memiliki orientasi terhadap hubungan
sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial yang otomatis tersistem. Hubungan
2
sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial merupakan sumber dari penelaahan
lebih lanjut dari pandangan sosio epistemologi. Kajian sosio epistemologi banyak
dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tentang sistem sosial dan
kebudayaan untuk melihat pengaruhnya bagi pengetahuan manusia. Dinamika
sosial budaya mendorong kreativitas pikiran dalam mengembangkan teori
pengetahuan untuk memperbaharui klaim-klaim pengetahuan menjadi sebuah
revolusi pengetahuan yang dinamis.
Popper menginginkan bentuk masyarakat terbuka yang menjunjung tinggi
demokrasi. Masyarakat terbuka menurut Popper tidak dapat terwujud dengan
sempurna karena bentuk negara demokrasi yang dicita-citakan Popper adalah
tahapan untuk mencapai kesempurnaan (Popper, vol.1, 1947: 157). Cita-cita
Popper merupakan kritik terhadap pandangan Plato, Hegel, dan Karl Marx yang
utopis tentang wujud masyarakat. Titik pijak Popper tentang masyarakat terbuka
menggunakan cara berpikir falsifikasi untuk memperoleh bentuk masyarakat yang
tidak komunis, marxis, maupun utopis (Popper, vol.1, 1947: 241).
Epistemologi masyarakat terbuka mencoba untuk melihat lebih jauh
sistem dan gejala yang terbentuk dalam dinamika masyarakat. Pada kajian
epistemologi, sumber pengetahuan dijadikan acuan dasar. Epistemologi modern
mencoba untuk memperluas pandangan pengetahuan ke arah sosial. Sosio
epistemologi bertujuan untuk mengembangkan sistem pengetahuan dan keilmuan
masyarakat pada praxis emansipatorisnya sebagai jembatan humanisasi (Watloly,
2013: 69).
3
Sosio epistemologi Karl R. Popper dalam relevansinya di Yogyakarta
setelah reformasi merupakan kajian untuk melihat dan memetakan kondisi
kultural masyarakat ilmiah setelah permasalahan sosial politik di masa Orde Baru
dengan latar belakang sejarah panjang. Kondisi kultural sangatlah dipengaruhi
oleh dinamika masyarakat yang terjadi, sehingga pergerakan masyarakat secara
terus menerus dan perlahan membentuk tradisi baru. Tradisi masyarakat organik
pada masyarakat tertutup mendapat benturan dari sistem sosial masyarakat,
sehingga berevolusi menjadi masyarakat terbuka.
Yogyakarta pada masa Pra Reformasi memiliki sistem sosial masyarakat
tertutup. Hal ini ditandai dengan pengaruh kekuasaan rezim Soeharto, di mana
keadaan masyarakat di bawah hegemoni Soeharto, dan semua berlangsung dengan
komando Soeharto. Bidang-bidang dibatasi, terutama dalam kaitannya dengan
agama, partai, pers. Semua harus sesuai perintah dari Soeharto, sehingga hal ini
memengaruhi cara berpikir masyarakat menjadi primordialisme. Perubahan cara
berpikir masyarakat menjadi primordialisme, yang menganggap kelompok, ethnis,
agamanya merupakan yang lebih unggul, membutuhkan waktu yang tidak singkat.
Hal ini ditandai dengan masa jabatan Soeharto menjadi kepala negara yang
panjang dan membentuk hegemoni sehingga berdampak pada pembatasan pada
hal-hal yang dianggap merugikan untuk rezim Orde Baru.
Pada masa peralihan pemerintahan terjadi dinamika sosial yang berbeda,
khususnya pada saat terjadinya pergolakan politik 1998. Masyarakat Yogyakarta
yang dikenal sebagai kota istimewa dengan bentuk pemerintahan dan kesultanan
memiliki ciri khas. Masyarakat Yogyakarta sangatlah cepat menyesuaikan diri
4
dengan perubahan atas adaptasi individu masyarakat dari para pendatang yang
bermukim di kota ini. Dinamika masyarakat di Yogyakarta dapat dilihat dari
dimulainya perubahan politik masa Orde Baru ke Reformasi yang berimbas pada
perubahan dalam segala segi kehidupan.
Reformasi di Yogyakarta merupakan tonggak dari dinamika masyarakat
Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta terlepas dari hegemoni Soeharto dan
memasuki tahapan baru untuk menata kembali sistem sosial masyarakat yang
sebelumnya mengalami pembatasan. Masyarakat Yogyakarta yang multikultur
dijadikan sebagai keistimewaan bagi Yogyakarta. Diawali oleh kampanye
menyuarakan damai oleh Partai Amanat Nasional (PAN) di Yogyakarta. Bentuk
kampanye PAN merupakan cara untuk menyuarakan eklektisme budaya Jawa
yang dapat menghormati dan fleksibel terhadap beragam etnis, agama, dan
kebudayaan dari pendatang yang tinggal di Yogyakarta. Pendatang mulai banyak
masuk ke Yogyakarta sejak adanya Universitas sebagai payung dari institusi
pendidikan tinggi untuk mewadahi masyarakat multikultur.
Sultan tidak tinggal diam pada saat terjadi demo besar di Jl. Solo
bertepatan dengan deklarasi Reformasi di Yogyakarta. Sultan langsung turun
tangan ke Jl. Solo untuk memberikan penjelasan bahwa Yogyakarta aman dan
damai. Fakta lainnya adalah tingginya harga tanah di Yogyakarta dikarenakan
Yogyakarta terhindar dari kerusuhan dan terorisme. Yogyakarta sebagai kota
damai dilatar belakangi oleh cara berpikir Sultan yang dipengaruhi tradisi budaya
Jawa. Gagasan pandangan hidup yang didasarkan kultural Jawa terdapat pada
pandangan mistik dan transendental tentang keselarasan antara manusia dengan
5
dirinya sendiri, sesama, dan alam semesta serta dengan Tuhan. Hubungan
mikrokosmos dengan makrokosmos sangatlah kuat dalam budaya Jawa
(Nurhayati dkk, 2006: 64).
Masa setelah Reformasi di Yogyakarta merupakan masa pembaharuan dari
sistem pemerintahan daerah karena pelaksanaan pilkada, amandemen undang-
undang, dan pada masa ini merupakan tonggak awal pembaharuan dari runtuhnya
masa Orde Baru. Pola pembaharuan yang terjadi pada masa setelah Reformasi
memberikan perubahan pada dinamika masyarakat. Pengaruh atau dampak yang
ditimbulkan dengan adanya dinamika masyarakat Yogyakarta setelah Reformasi
tampak pada keadaan sosial masyarakat, semua ini menimbulkan dampak yang
signifikan. Perubahan pada sistem sosial masyarakat menjadi titik balik dari
dinamika yang dialami. Sistem sosial masyarakat membentuk sebuah perubahan
cara pandang dalam pengetahuan dari bentuk gejala sosial. Hal ini akan
memengaruhi pola sosial masyarakat jangka panjang karena akan terjadi
perubahan pola sosial masyarakat lama menjadi pola sosial masyarakat baru.
Sosio epistemologi Popper yang berbentuk masyarakat terbuka memberikan
sumbangan penting bagi masa depan masyarakat ilmiah dengan gejala-gelaja
sosial yang ditimbulkan.
2. Perumusan Masalah
a. Apa pengertian dan permasalahan utama sosio epistemologi ?
b. Apa yang menjadi kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund Popper ?
6
c. Apa relevansi sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi dinamika
masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004 ?
3. Keaslian Penelitian
Peneliti telah melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan pihak-pihak lain terkait masyarakat terbuka Karl
R. Popper. Penelurusan dilakukan dengan dua jalan, yakni penelusuran literatur
kepustakaan dan penelusuran keterangan literatur melalui internet. Penelusuran
kepustakaan mendapatkan penelitian Ichwan Supandi Azis dengan judul “Konsep
Pengetahuan Menurut Karl Raimund Popper (dalam komparasi dengan penelitian
Auguste Comte), pada tahun 1999, untuk memperoleh jenjang Master di Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini merupakan studi komparasi
antara pemikiran Popper dengan Auguste Comte yang dipengaruhi oleh pemikiran
positivisme. Pemikiran Popper dengan Auguste Comte ada perbedaan yang
mendasar. Popper mendasarkan pemikirannya pada rasionalisme kritis dan
empirisme kritis, sedangkan Comte berpijak pada landasan empirik positivistik.
Metodologi Popper adalah deduktif falsifikatif, dengan solusi tentatifnya problem
solving, sedangkan Comte menggunakan metode induktif verifikatif dengan
andalannya observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Titik temu keduanya ada
pada kesamaan tujuan, yakni pengembangan, kemajuan, dan kebenaran yang ingin
dicari. Pemikiran Popper secara intensif dapat dijadikan sebagai mitra dialog dan
sarana kritik terhadap setiap problem yang timbul.
7
Penelusuran kepustakaan mendapatkan penelitian Soedarso, dengan judul
“Filsafat Demokrasi Karl Popper Dan Relevansinya Bagi Pengembangan
Demokrasi Indonesia”, pada tahun 2010, untuk memperoleh jenjang Doktor di
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memaparkan filsafat
demokrasi Karl Popper dan relevansinya bagi pengembangan demokrasi di
Indonesia. Tema ini penting untuk mendukung proses demokratisasi yang sedang
berlangsung di Indonesia, guna mengokohkan landasan teoritik serta menyediakan
bahan-bahan kritis bagi pengembangannya. Penelitian ini menunjukan bahwa
menurut Popper dasar demokrasi adalah masyarakat terbuka, yakni suatu
masyarakat yang dibangun atas pengakuan kemanusiaan universal, kesetaraan hak
dan sifat kontrol terhadap kekuasaan. Hakikat demokrasi bukan pada
penyeragaman tetapi pengakuan atas perbedaan, bukan pula mekanisme
penyelesaian konflik kelas dalam masyarakat tetapi bagaimana menciptakan
komunikasi kritis antar komponenn di dalamnya. Relevansi filsafat demokrasi
Karl Popper terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia terletak pada
penekanan penyatuan dua persoalan yakni teoritik dan praksis, yang kemudian
diketahui bahwa penekanaan pada satu aspek teoritik saja seperti penyatuan
ideologis sebagaimana terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru justru
menghasilkan pemerintahan totaliter, serta menyisakan persoalan baru bagaimana
mengakomodasi adanya realitas plural dalam teori dan praksis demokrasi
Indonesia. Demokrasi Indonesia era Reformasi mengikuti langkah rasionalisme
kritis dengan menolak tindakan revolusioner yang juga mengembangkan filsafat
8
demokrasi Pancasila melalui jalan amandemen konstitusional dan perbaikan
secara terus menerus proses serta kelembagaan demokrasi.
Penelusuran kepustakaan mendapatkan majalah Prisma tentang pemikiran
sosial ekonomi, dengan judul “Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau
Persoalan?” (Vol. 30, No. 1, tahun 2011). Majalah ini membahas banyak hal
tentang masyarakat terbuka Karl R. Popper secara luas dari perspektif politik,
ekonomi, pendidikan tetapi tidak cukup mendalam dan hanya review singkat atas
tema tersebut.
Penelusuran melalui sumber kepustakaan mendapatkan penelitian untuk
memperoleh jenjang Master yang dilakukan oleh Canggih Gumanky Farunik di
Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2013. Judul penelitian
yang dilakukan adalah “Dasar Epistemologi Ilmu Kognitif Dalam Tinjauan
Pemikiran Tiga Dunia Karl Raimund Popper”. Peneliti melihat bahwa pemikiran
Tiga Dunia merupakan salah satu pemikiran terpenting Popper, karena merupakan
dasar ontologis dan juga dasar epistemologis dari filsafat Popper. Pemikiran Tiga
Dunia Popper digunakan untuk melihat dasar epistemologis dari ilmu kognitif.
Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan pengertian dan permasalahan utama di
dalam ilmu kognitif, dan juga menemukan dasar epistemologis di dalam ilmu
kognitif. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah pemikiran Tiga Dunia
Popper membagi realitas yang terdiri dari dunia fisik sebagai dunia pertama, dunia
proses pemikiran sebagai dunia kedua, dan dunia hasil proses pemikiran sebagai
dunia ketiga. Bentuk epistemologi dari ilmu kognitif dalam tinjauan pemikiran
Tiga Dunia Popper, menjelaskan bahwa pengetahuan objektif didapatkan melalui
9
pemahaman atas ”thought content”, kemudian dikritisi oleh justifikasi kebenaran,
tanpa melibatkan proses justifikasi moral.
Penelusuran kepustakaan yang dilakukan juga mendapatkan penelitian
Fuad, dengan judul “Kebenaran Ilmiah Dalam Pemikiran Thomas S. Kuhn Dan
Karl R. Popper: Suatu Kajian Hermeneutika Dan Kontribusinya Bagi Masa Depan
Ilmu”, pada tahun 2013, untuk memperoleh jenjang Doktor di Fakultas Filsafat,
Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini mengkaji pemikiran Kuhn dan Popper
tentang kebenaran ilmiah. Pemikiran Kuhn dan Popper terlihat dalam perdebatan
penting yang berimplikasi dengan kajian Hermeneutika masa kini dan tidak
terlepas dari pemahaman tentang masa depan ilmu. Hermeneutika Kuhn bercorak
fenomenologis karena hanya memahami kebenaran ilmiah berdasarkan fenomena
kemajuan ilmiah, sedangkan hermeneutika Popper bercorak ontologis karena
meyakini adanya kebenaran absolut. Persamaan essensial hermeneutika Kuhn dan
Popper karena mengakui kebenaran ilmiah yang bersifat relatif ideal. Perbedaan
fundamental hermeneutika Kuhn dan Popper karena Kuhn bertitik tolak dari
dimensi deskriptif, sedangkan Popper bertolak dari dimensi normatif.
Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat dikontribusikan sebagai landasan filosofis
pengembangan ilmu, yaitu: wilayah penyelidikan ilmiah (landasan ontologis),
dialektika kemajuan ilmiah (landasan epistemologis), dan menuju kebenaran
absolut transendental (landasan aksiologis). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat
dikontribusikan bagi upaya reintegrasi ilmu dan filsafat, terkait korelasi dan
inkoneksi dimensi empiris dan metafisik, yang sekaligus dapat dijadikan dasar
untuk memahami demarkasi ilmu (sistem pengetahuan empiris) dan filsafat
10
(sistem pengetahuan metafisik). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat
dikontribusikan untuk mewujudkan integrasi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu
kemanusiaan di Indonesia dalam rangka pengembangan IPTEK yang relevan
dengan nilai-nilai etika Pancasila.
Penelusuran melalui internet telah menghasilkan beberapa temuan atas
penelitian yang telah dilakukan. Peneliti melakukan identifikasi terhadap literatur-
literatur yang bersangkutan di internet, yaitu: Karl Popper dan Masa Depan
Masyarakat Terbuka, tahun 2012, ditulis oleh Amin Mudzakkir. Tulisan ini
membahas tentang historisisme Masyarakat Terbuka Popper terhadap cita-cita
bersama. Pada bagian awal, tulisan ini membahas pandangan Popper pada bagian
ontologi dan epistemologi, kemudian memunculkan permasalahan sosial politik
pada masyarakat terbuka. Permasalahan utama yang dibahas pada tulisan ini
diselesaikan dengan sistem penyelesaian masalah dengan rumusan Popper sendiri,
yaitu rasionalisme kritis (Mudzakkir, 2012).
Penelusuran melalui internet ditemukan penelitian dengan judul, Madzhab
Ideologi Open Society dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Ali Imron, tahun 2013.
Open society menyangkut realitas sosial empirik masyarakat Indonesia dalam
pluralitas dan perbedaan-perbedaanya. Masyarakat yang dalam komunitasnya
tidak lagi mempedulikan serta mempersoalkan perbedaan tanah air, agama, suku,
bahasa, warna kulit, budaya, adat istiadat dan memiliki cita-cita terbuka dalam
masyarakatnya yaitu untuk membentuk sebuah nation building, construst society
building, conaction humanity, development of mentality, behavior and solidarity
society, nation and state. Open society atau masyarakat terbuka dalam masyarakat
11
muslim, setidaknya terdapat dua bahasan; (1) Membahas tentang realitas sosial
empirik masyarakat pluralis, termasuk di dalamnya masyarakat muslim yang
sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam komunitas
masyarakat terbuka, di situ masyarakat muslim dituntut harus melakukan upaya-
upaya nyata dalam merubah sikap eksklusifitas menjadi sikap inklusifitas. (2)
Dalam kajian open society disini masyarakat muslim seharusnya dapat
memposisikan diri dalam wacana humanitas rahmatan lil’alamien yang toleran
(Imron, 2013).
Penelusuran kepustakaan dan internet yang dilakukan peneliti, tidak
menemukan judul yang mirip dengan ini. Hal ini berarti, penelitian ini belum
pernah diteliti atau ditulis oleh orang lain, sehingga penelitian ini dapat diteliti
lebih lanjut.
4. Manfaat Penelitian
a. Bagi filsafat dan sains, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan
studi sejarah pengetahuan manusia, jembatan komunikasi antar bidang khusus
(antar science), dan bahan refleksi filosofis pengembangan science lebih lanjut.
b. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan dan
wahana diskusi.
c. Bagi peneliti, akan mendapatkan pemahaman menyeluruh dari prinsip-prinsip
umum dan hal-hal khusus tentang pemikiran sosio epistemologi Karl R. Popper
tentang masyarakat terbuka, yang dijadikan acuan pengembangan pribadi.
12
d. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia, penelitian tentang pemikiran sosio
epistemologi Karl R. Popper tentang masyarakat terbuka dan relevansinya
dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca Reformasi
1999-2004 dapat menyumbangkan khasanah acuan cara berpikir filosofis dan
ilmiah di dalam rangka kemajuan Bangsa dan Negara.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
1. Melakukan pendefinisian pemikiran sosio epistemologi pada umumnya dan
analisis permasalahan utama sosio epistemologi.
2. Melakukan analisis terhadap kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund
Popper.
3. Analisis relevansi pemikiran sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi
dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004.
C. Tinjauan Pustaka
Karlina Supeli dalam tulisannya berjudul ‘Masyarakat Terbuka Catatan
Kritis untuk Pesona sebuah Konsep’ yang termuat dalam Jurnal Prisma tahun
2011, lebih mengkritisi konsep masyarakat terbuka yang digunakan Popper.
Karlina menjelaskan bahwa Masyarakat Terbuka Popper adalah masyarakat yang
mengandalkan ruang publik untuk menjamin kebebasan setiap individu untuk
menyampaikan pemikirannya, sehingga memungkinkan untuk mengemukakan
daya kritis setiap individu dengan bebas. Konsep Masyarakat Terbuka Popper
13
berasal dari logika sains yang melandasi filsafat ilmu Popper yang mengandaikan
bahwa masyarakat dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan dengan
pikiran yang jernih daripada menggunakan emosi dan hasrat. Juga disertai dengan
keyakinan bahwa setiap gagasan pengetahuan dan keyakinan bisa saja salah.
Perbedaan bukanlah menjadi penghalang, tetapi semangat untuk membangun dan
menghidupkan ruang publik. Ruang publik menjamin kebebasan setiap individu
untuk menyampaikan pemikirannya dan memungkinkan untuk mengemukakan
daya kritis manusia dengan bebas. Musuh-musuh lainnya yang dimaksud Popper
dalam Masyarakat Terbuka adalah fasisme dan komunisme, serta terdapat bentuk
barunya yaitu, rezim fasis klerik, rezim korup, rezim militer diktator, dan
nasionalisme militan. Popper memiliki dasar landasan bertindak yang kuat tentang
rasionalisme kritis yang juga menjadi landasan dari Masyarakat Terbuka (Supelli,
2011:7).
Masyarakat terbuka merupakan proses panjang perjalanan manusia yang
melaluinya dengan sikap rasional. Masyarakat terbuka lahir dari pemikiran-
pemikiran terbuka anggotanya yang tidak anti kritik dan senantiasa menjadikan
ide-ide dan pandangan anggotanya sebagai esensi dari perbedaan, sehingga tak
harus dihalang-halangi ataupun ditolak. Masyarakat terbuka tidak memerlukan
penyeragaman ide, melainkan membangun identitas dari beragam ide dan
pandangan sebab penyeragaman akan menciptakan masyarakat statis, bukan yang
dinamis. Sikap otoriter memusuhi ide dan pandangan yang berbeda merupakan
musuh masyarakat terbuka (Sihotang, 2010).
14
Gombrich dalam tulisanya di The British Journal of Sociologi Desember
1952, menguraikan Masyarakat Terbuka Popper menurut ulasan dari Plamenatz
yang kemudian juga dikomparasikan dengan pandangan Popper tentang
Masyarakat Terbuka dalam bukunya Open Society and Its Enemies. Terdapat dua
hal yang membingungkan pada penyataan Popper. Pertama, Popper menegaskan
permasalahan Plato dengan tergesa-gesa tentang egoisme dan individualisme.
Kedua, Popper mencoba meninggalkan kesan pembaca dengan berhati-hati
menambahkan catatan kaki untuk memperkecil kesalahpahaman. Popper memilih
untuk mendiskusikan Plato, Hegel, dan Marx sebagai yang paling berpengaruh
dari totalitarian utopis dan historis fatalistik tercermin pada masyarakat tertutup
(Gombrich, 1952: 358-360).
Willmoore Kendall menulis artilel dengan judul The ‘Open Society’ and
Its Fallacies tahun 1960, dengan landasan awal dari buku On Liberty ditulis oleh
John Stuart Mill yang berisi tentang permasalahan peradaban masyarakat terletak
pada komunikasi. Di sisi lain Popper juga berikir tantang masyarakat terbuka
yang diawali dengan ide tentang masyarakat tertutup. Pendapat Mill tentang
masyarakat terbuka adalah demokrasi, kebebasan, dan cara untuk memperoleh
semuanya, dan menentang authoritarian, musuh masyarakat merdeka dan
masyarakat totarian (Kendall, 1960: 972-973).
Masyarakat terbuka Popper menurut Alfred Cobban, memiliki cara
pandang historis dan akan melemahkan sehingga tidak perlu dilakukan. Cobban
mengkritik Popper karena fokus dengan permasalahan masyarakat yang dilihat
dengan cara pandang yang berbahaya dan salah. Popper memilih Plato karena
15
merupakan penulis dari Republic, dan melihat permasalahannya dengan cara
pandang sederhana memakai banyak pandangan spekulatif subjek (Political
Science Quarterly, 1954: 119). Kritik yang disampaikan Cobban merupakan
kritik yang wajar karena tulisan Popper pada bukunya didasarkan pada konsepsi
positif masyarakat terbuka, meskipun unsur-unsur positif itu juga merupakaan
perbedaan argumen (Cobban, 1954: 124).
Nasionalisme merupakan termin yang muncul dengan adanya masyarakat
terbuka. Popper mengakui bahwa nasionalisme merupakan tantangan yang
mengacaukan, dan akhirnya berbalik pada multikulturalisme di atas kepala dari
idetitas nasional sebagai ras. Popper memberi banyak kesan dari harapan untuk
menyingkirkan dengan memberi contoh pada masyarakat tertutup. Dilain pihak,
nasionalisme merupakan hal yang tidak perlu pada masyarakat tribal dan primitive
karena tidak memiliki nilai. Permasalahan ke dua Popper dari penerapan pembeda
antara nasionalisme dan multikulturalisme. Nasionalisme merupakan penerapan
kepadatan bangsa. Multikulturalisme menurut Popper merupakan penerapan
kemungkinan dialog internal beragam budaya (Vincent, 2005:54-55).
Epistemologi secara historis difokuskan pada inquirers individu yang
menjalankan kepentingan intelektual secara independen satu sama lain. Sebagai
persoalan yang dijelaskan, bagaimanapun juga, apa yang orang tahu dan percaya
sebagian besar merupakan fungsi masyarakat dan budaya mereka. Hal ini
ditafsirkan secara sempit ataupun luas. Sebagian besar dari apa yang kita yakini
dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, dengan ucapan-ucapan dan
tulisan-tulisan orang lain. Jadi epistemologi sosial layak atau setidaknya sama
16
berdiri di samping sebuah sektor epistemologi individu. Hal ini tidak menantang
integritas atau kepatutan epistemologi individu. Goldman siap untuk mengakui
bahwa banyak pengetahuan persepsi individu, pengetahuan memorial, dan
pengetahuan introspektif dicapai secara murni individualistis. Tetapi mengingat
berat dan pentingnya penyebab sosial untuk sektor yang sangat besar keyakinan
kita, sebab-sebab sosial harus menerima proporsi yang jauh lebih besar perhatian
epistemologis dari mereka secara tradisional diterima. Faktor sosial memainkan
peran semakin penting dalam teori saat ini konsep semantik, jenis teori-teori yang
berada di luar ruang lingkup esai saat ini. Meningkatnya minat dalam faktor sosial
juga terlihat dalam literatur epistemologis baru-baru ini, tetapi belum ada
konsensus tentang bagaimana bidang epistemologi sosial harus dibangun atau
dipahami (Goldman, 1999: 3-4).
Sosio epistemologi merupakan sebuah teori pengetahuan bersifat sosial
dan bersifat humanisasi untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Pengetahuan
merupakan sebuah bentuk dari kekayaan kemanusiaan yang didapat dari interaksi
masyarakat. Pengetahuan seharusnya berfungsi untuk kepentingan sosial yang
luas dalam dinamika sosial. Oleh sebab itu, unsur-unsur dari nilai-nilai
kemanusiaan dan sosial budaya menjadi pendorong pertumbuhan pengetahuan.
Nilai kebenaran yang menjadi landasan untuk melihat pola dinamika sosial,
sifatnya majemuk dan selalu membuka kemungkinan untuk dikritisi (Watloly,
2013: 20-22). Sosio epistemologi berorientasi pada pengetahuan dan keilmuan
yang digunakan sebagai jembatan untuk membebaskan diri dari proses
dehumanisasi, yang cenderung membentuk kesadaran naif yang berujung pada
17
pseudo-science (Watloly, 2013: 70). Dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa sosio
epistemologi bebasis pada pengetahuan dan keilmuan yang dalam proses
dinamika sosial tidak dapat terlepas dari perubahan kontradiksi sosial, politik, dan
ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dalam proses selanjutnya,
sosio epistemologi memiliki posisi sebagai agen pembebasan dari proses
dehumanisasi (Watloly, 2013: 79).
Sudarminta menjelaskan bahwa epistemologi sosial merupakan kajian
konseptual dan normatif tentang dimensi sosial pengetahuan tentang relevansi
hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial bagi pengetahuan.
Tujuan dari adanya sosio epistemologi adalah untuk mempertanyakan
kemunculan dari pengetahuan yang tidaklah mungkin ada tanpa adanya pengaruh
dari lingkungan sosial. Keberadaan pengetahuan selalu berkaitan dengan
pengujian kebenaran pengetahuan berdasarkan pengamatan inderawi dan
penalaran (primer), berbeda halnya dengan epistemologi sosial untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan yang biasanya melalui konsensus dan kesepakatan
bersama (sekunder). Epistemologi sosial akan selalu berkaitan dengan
perkembangan ilmu-ilmu sosial. Perkembangan dari episemologi sosial akan
selalu menelaah hubungan individu dan masyarakatnya dalam konteks
pengetahuan akan semakin kompleks. Pemahaman dari pengertian masing-masing
dan hubungan antara pengetahuan dan struktur sosial masyarakat mengalami
prubahan terus menerus. Hubungan keduanya selalu saling berinteraksi sehingga
membentuk realitas yang baru (Sudarminta, 2000: 5-6).
18
Epistemologi sosial untuk institusi liberal memenuhi persyaratan
liberalime politik dengan membuat kasus yang kuat untuk institusi liberal tanpa
mengandalkan konsepsi tertentu atau konsepsi moral komprehensif, landasan itu
bukan dalam komitmen untuk memperbaiki moral dan resiko kita semua untuk
bertanggung jawab berdasarkan ketergantungan sosial. Epistemologi sosial
menjelaskan kebijakan menghindari ketergantungan pada permasalahan toleransi.
Hubungan antara epistemologi sosial dengan institusi liberal, ada pada efektifitas
antar disiplin dari epistemologi sosial kemungkinan ada pada masyarakat liberal
karena hanya di masyarakat liberal terdapat kemungkinan akses informasi bebas
tentang proses sosial dan kemampuan dengan kerelaan untuk menyelidiki kondisi
perbedaan rasional epistemik yang menuntut epistemologi sosial (Buchanan,
2004: 129-130).
D. Landasan Teori
Epistemologi adalah bidang kajian tentang pengetahuan. Epistemologi
mencoba mengkaji dan berusaha menemukan ciri-ciri umum dan sifat dasar dari
pengetahuan manusia. Epistemologi pada dasarnya merupakan upaya rasional
untuk menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan
kesadarannya sendiri, lingkungan sosialnya, dan alam sekitarnya. Bertolak dari itu
semua, epistemologi adalah disiplin ilmu yang sifatnya evaluatif, normatif, dan
kritis. Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang belum cukup jika
hanya memberi penjelasan secara deskriptif, tetapi haruslah bisa memberikan
alasan secara rasional berdasarkan norma atau metodologi epistemik (Sudarminta,
2002: 18-19).
19
Persoalan epistemologi berpijak dari pertimbangan kebutuhan bagi hidup
manusia akan landasan dasar pengetahuan untuk mengambil strategi untuk
menentukan pilihan tindakan hidup. Berkaitan erat dengan sistem kebudayaan,
ekonomi, politik, religi, seni, teknologi, bahasa, pendidikan (Pranarka, 1987:19-
20). Hal ini dapat menganalisis permasalahan dan mengambil keputusan untuk
revolusi pengetahuan yang membawa dampak pada kebudayaan. Epistemologi
sering dikaitkan dengan bentuk metode ilmiah sebagai penentu kerangka ilmu
dalam sistem pendidikan. Beberapa bentuk dari persoalan epistemologi
merupakan bagian dari peta ilmu, sejarah perkembangan, sifat hakiki, dan cara
kerja ilmu (Sudarminta, 2002: 28-29).
Sosio epistemologi yang merupakan kajian khusus dari pembahasan tesis
ini, merupakan pengetahuan yang dikaji secara sosial. Kajian sosio epistemologi
mulai dikenal mulai zaman Descartes yang merupakan awal zaman epistemologi
modern (Watloly, 2013: 49). Pembahasan dari sosio epistemologi berkaitan
dengan pengetahuan yang berkaitan dengan individu dan masyarakat, tentang
kepentingan manusia atas kekuasaan ilmiah dalam bentuk klaim-klaim teori,
kebenaran universal, kepentingan kaum elit.
Sosio epistemologi menerima wacana pengetahuan yang terdapat dalam
praktek sosial yang dapat menentukan kebenaran pengetahuan. Praktek sosial
dilakukan oleh pelaku yang berkepentingan terhadap perkembangan pengetahuan.
Pelaku tersebut dinamakan sebagai rezim yang memiliki kepentingan akan
wacana-wacana pengetahuan sosial sebagai jaringan produktif dalam kehidupan
sehari-hari. Wacana pengetahuan yang dibentuk dalam pola sosial dan dari
20
karakteristik individu membentuk transformasi pengetahuan secara kultural. Kerja
epistemologi sosial berada dalam lingkaran filsafat transendental yang bertujuan
melakukan kritik, pengujian, analisis, konseptualisasi, negosiasi makna, secara
sistematis untuk menghasilkan pengetahuan berdasarkan relevansi ilmiah yang
objektif (Watloly, 2013: 91-98).
Prinsip kultural dalam perkembangan epistemologi menurut Aholiab
Watloly dalam bukunya berjudul Tanggung Jawab Pengetahuan
Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, dibagi menjadi 4 bagian.
Prinsip pertama adalah prinsip humanitas yang menekankan pada keutamaan
manusia. Kedudukan manusia bukan hanya dalam posisi subjektif, tetapi lebih
pada posisi objektif yang mengarah pada pandangan dasar prinsip nilai dan
pandangan dasar dari pengembangan epistemologi. Pada prinsip pertama ini,
tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan citra keagungan manusia sebagai
makhluk yang memiliki kodrat dan berbudaya (Watloly, 2001:183-184).
Prinsip kedua adalah prinsip holistik yang berkaitan dengan bipolaritas
kesadaran manusia untuk mencapai pengenalan akan eksistensi dirinya. Prinsip
holistik ingin menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai sifat analogis.
Kesadaran tidaklah bersifat subjektif murni tetapi memiliki kesadaran objektif
yang memiliki tingkat kejelasan yang berbeda. Pengembangan epistemologi
holistik dimaksud bahwa kebenaran pengetahuan selalu bersifat intersubjektif,
yang saling dipengaruhi dari berbagai aspek. Prinsip ini menunjukkan bahwa
spesifikasi ilmu pengetahuan menjadi penting dalam rangka mensistematisir
seluruh kenyataan dinamika masyarakat yang beraneka ragam dalam kerangka
21
keutuhannya yang sifatnya menyeluruh atau yang disebut sebagai holistik
(Watloly, 2001: 196-204).
Prinsip ketiga adalah prinsip tanggung jawab. Aktivitas manusia dalam
komunitas ilmiah memerlukan tanggung jawab yang berkaitan dengan penyebab
salah satu akibat yang telah berlangsung. Pentingnya tanggung jawab dalam
perkembangan epistemologi sudah lama dikenal, pada zaman Socrates dan pada
zaman Plato yang disebut dengan Kritias. Tanggung jawab ilmiah menempatkan
manusia yang memiliki kedudukan di antara manusia-manusia yang lainnya. Hal
ini berkaitan dengan aspek aksiologis pengetahuan. Tanggung jawab manusia
hakikatnya adalah terbatas yang ditunjukan dengan adanya tahapan kodrat
manusia. Tanggung jawab sosial merupakan kerangka dasar bagi pengembangan
epistemologi yang harus memiliki sikap tanpa pamrih, kesadaran etis, sikap
professional dan integritas intelektual, dan integritas religious demi keutuhan
harmoni (Watloly, 2001: 207-221).
Prinsip keempat adalah prinsip kontekstualisasi. Tanggung jawab kultural
merupakan bentuk dari pentingnya kontekstualisasi epistemologi secara khusus
berdasarkan nilai-nilai kultural masyarakat setempat. Prinsip ini bertujuan untuk
memecahkan permasalahan kultural secara langsung maupun tidak langsung.
Epistemologi yang berada dalam kondisi masyarakat tertentu yang berkembang
dengan struktur sosial dan tradisi kebudayaan yang keduanya saling mendukung.
Epistemologi sangat membutuhkan masyarakat dan kebudayaan dalam rangka
merealisasikan keberadaannya secara mendasar. Terdapat tiga alasan yang
mendorong adanya kontekstualisasi dalam rangka pengembangan epistemologi.
22
Pertama, globalisasi merupakan bentuk dari evolusi kebudayaan modern yang
telah memberikan perubahan besar dalam pertumbuhan epistemologi yang bersifat
kontekstual. Kedua, permasalahan kontekstual membawa tantangan baru yang
memerlukan jawaban epistemologis yang kontekstual. Ketiga, dinamika
epistemologi yang membentuk dimensi baru dalam perkembangan epistemologi
(Watloly, 2001: 222-224).
E. Metode Penelitian
1. Bahan Penelitian :
a. Pustaka Primer
Pustaka primer adalah karya-karya utama Popper yang terkait dengan
penelitian tesis ini, yakni:
i. Karl R. Popper, 1966. The Open Society and Its Enemies. Vol I. and II.
London: Routledge
ii. Karl R. Popper, 1957. The Proverty of Historicism. London: Great Britain
iii. Karl R. Popper, 1989. Conjectures and Refutations The Growth of
scientific Knowledge. London: Routledge
b. Pustaka Sekunder
Pustaka sekunder, yakni berbagai literatur yang berhubungan dengan
tulisan terkait masyarakat terbuka, dan juga literatur terkait dengan objek formal
Sosio Epistemologi, yakni:
23
i. J. Sudarminta, 2002. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat
Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius
ii. Kenneth T. Galllagher. 1982. The Philosophy of Knowledge. New York:
Fordham University Press
iii. Ernst Cassirer, 1950. The Problem of Knowledge, trans. W.H. woglom and
Charles W. Hendel, New Haven: Yale University Press
iv. B. Barnes, 1974. Scientific Knowledge and Sosiological Theory. London
and Boston: Routledge & kegan Paul Ltd.
v. A. M. W. Pranarka, 1987. Epistemologi Dasar: Sebuah Pengantar.
Jakarta: CSIS
vi. Roderick Chisholm, 1977. Theory of Knowledge. Englewood Cliffs, N.J:
vii. Aholiab Watloly, 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan
Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius
viii. Aholiab Watloly, 2013. Sosio Epistemologi Membangun Pengetahuan
Berwatak Sosial. Yogyakarta: Kanisius
2. Jalan Penelitian
a. Pengumpulan data kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian
dari berbagai sumber dan wawancara terhadap nara sumber.
b. Bahan yang telah terkumpul kemudian diidentifikasi, dikelompokan
menurut kriteria tema yang telah dipetakan dalam rencana daftar isi.
24
c. Analisis bahan dari bahan yang telah diklasifikasi menurut tema persoalan
kemudian dianalisis secara sistematis, sesuai objek formal penelitian, dan
dilakukan sintesis baru.
d. Penulisan dilakukan setelah bahan dianalisa dan dievaluasi, proses
selanjutnya adalah penulisan berdasar sistematika dan urutan yang telah
direncanakan.
3. Analisis Hasil :
Penelitian kepustakaan ini dianalisis dengan metode hermeneutika
filsafati, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Deskripsi, menjelaskan berbagai definisi dari unsur-unsur, dan persoalan
yang terdapat pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper.
b. Koherensi Intern adalah dengan menemukan dan menggabungkan struktur
komprehensif dari persoalan Sosio Epistemologi Karl R. Popper.
c. Interpretasi dilakukan peneliti untuk memahami data yang telah ditemukan
secara objektif tentang Sosio Epistemologi Karl R. Popper.
d. Heuristika merupakan tahapan dimana peneliti berusaha untuk
menemukan hal baru yang terdapat dalam Sosio Epistemologi Karl R.
Popper dalam kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra
Reformasi – Pasca Reformasi.
25
F. Hasil Yang Akan Dicapai
1. Inventarisasi data-data tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper.
2. Deskripsi dan uraian secara sistematis metodis tentang pemikiran Sosio
Epistemologi Karl R. Popper.
3. Sebuah tulisan yang komprehensif dan holistik tentang pemikiran Sosio
Epistemologi Karl R. Popper.
4. Pemahaman baru tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper dalam
kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca
Reformasi 1999-2004.
G. Sistematika Penulisan
Pada Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan
tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan
dicapai, dan sistematika penelitian.
Bab II, berisi pengertian sistematis tentang Sosio Epistemologi, objek
formal dan objek material, persoalan-persoalan umum epistemologi, dan aliran-
aliran utama sosio epistemologi.
Bab III, berisi biografi dan pemikiran Karl R. Popper, peta pemikiran Karl
R. Popper, Masyarakat Terbuka Karl R. Popper dan musuh-musuhnya.
26
Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang Sosio Epistemologi Karl.
R. Popper, menguraikan masyarakat terbuka Karl R. Popper, dan permasalahan
yang muncul pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper, solusi dan perkembangan
Sosio Epistemologi Karl R. Popper.
Bab V, berisi uraian tentang relevansi Sosio Epistemologi Karl R. Popper
dengan relevansinya dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-
2004.
Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.