BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1. Masalah Penelitian Peradaban masyarakat mengalami perubahan sejak terjadinya pertemuan para bangsa. Masyarakat yang sifatnya dinamis terus membentuk sebuah pembaharuan tindakan sosial. Popper mencoba untuk membahas bentuk masyarakat yang dilatar belakangi oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi secara global. Bentuk masyarakat menurut Popper dibedakan menjadi dua, yaitu: masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (Popper, vol.1, 1947: 152). Masyarakat tertutup merupakan masyarakat yang magis, kolektif atau tribal. Dalam masyarakat terbuka bentuk prilaku masyarakat menjadi dinamis. Perubahan bentuk masyarakat didahului oleh gejala sosial yang membentuk suatu realitas baru. Perubahan dinamika masyarakat menuju masyarakat terbuka juga berdampak pada kehidupan sosial yang terbentuk secara otomatis. Dampak yang ditimbulkan berupa segala bentuk efek samping dari kemajuan ilmu, teknologi, telekomunikasi, sosial politik, sosial ekonomi, pendidikan. Beberapa hal yang disebutkan itu merupakan bentuk nyata dari dinamika masyarakat, berupa sistem yang saling memengaruhi satu sama lainnya. Dinamika masyarakat terbuka memiliki orientasi terhadap hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial yang otomatis tersistem. Hubungan

Transcript of BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian 1....

  1  

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Masalah Penelitian

Peradaban masyarakat mengalami perubahan sejak terjadinya pertemuan

para bangsa. Masyarakat yang sifatnya dinamis terus membentuk sebuah

pembaharuan tindakan sosial. Popper mencoba untuk membahas bentuk

masyarakat yang dilatar belakangi oleh kondisi sosial, politik, dan ekonomi secara

global. Bentuk masyarakat menurut Popper dibedakan menjadi dua, yaitu:

masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup (Popper, vol.1, 1947: 152).

Masyarakat tertutup merupakan masyarakat yang magis, kolektif atau

tribal. Dalam masyarakat terbuka bentuk prilaku masyarakat menjadi dinamis.

Perubahan bentuk masyarakat didahului oleh gejala sosial yang membentuk suatu

realitas baru. Perubahan dinamika masyarakat menuju masyarakat terbuka juga

berdampak pada kehidupan sosial yang terbentuk secara otomatis. Dampak yang

ditimbulkan berupa segala bentuk efek samping dari kemajuan ilmu, teknologi,

telekomunikasi, sosial politik, sosial ekonomi, pendidikan. Beberapa hal yang

disebutkan itu merupakan bentuk nyata dari dinamika masyarakat, berupa sistem

yang saling memengaruhi satu sama lainnya.

Dinamika masyarakat terbuka memiliki orientasi terhadap hubungan

sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial yang otomatis tersistem. Hubungan

  2  

sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial merupakan sumber dari penelaahan

lebih lanjut dari pandangan sosio epistemologi. Kajian sosio epistemologi banyak

dikembangkan oleh ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan tentang sistem sosial dan

kebudayaan untuk melihat pengaruhnya bagi pengetahuan manusia. Dinamika

sosial budaya mendorong kreativitas pikiran dalam mengembangkan teori

pengetahuan untuk memperbaharui klaim-klaim pengetahuan menjadi sebuah

revolusi pengetahuan yang dinamis.

Popper menginginkan bentuk masyarakat terbuka yang menjunjung tinggi

demokrasi. Masyarakat terbuka menurut Popper tidak dapat terwujud dengan

sempurna karena bentuk negara demokrasi yang dicita-citakan Popper adalah

tahapan untuk mencapai kesempurnaan (Popper, vol.1, 1947: 157). Cita-cita

Popper merupakan kritik terhadap pandangan Plato, Hegel, dan Karl Marx yang

utopis tentang wujud masyarakat. Titik pijak Popper tentang masyarakat terbuka

menggunakan cara berpikir falsifikasi untuk memperoleh bentuk masyarakat yang

tidak komunis, marxis, maupun utopis (Popper, vol.1, 1947: 241).

Epistemologi masyarakat terbuka mencoba untuk melihat lebih jauh

sistem dan gejala yang terbentuk dalam dinamika masyarakat. Pada kajian

epistemologi, sumber pengetahuan dijadikan acuan dasar. Epistemologi modern

mencoba untuk memperluas pandangan pengetahuan ke arah sosial. Sosio

epistemologi bertujuan untuk mengembangkan sistem pengetahuan dan keilmuan

masyarakat pada praxis emansipatorisnya sebagai jembatan humanisasi (Watloly,

2013: 69).

  3  

Sosio epistemologi Karl R. Popper dalam relevansinya di Yogyakarta

setelah reformasi merupakan kajian untuk melihat dan memetakan kondisi

kultural masyarakat ilmiah setelah permasalahan sosial politik di masa Orde Baru

dengan latar belakang sejarah panjang. Kondisi kultural sangatlah dipengaruhi

oleh dinamika masyarakat yang terjadi, sehingga pergerakan masyarakat secara

terus menerus dan perlahan membentuk tradisi baru. Tradisi masyarakat organik

pada masyarakat tertutup mendapat benturan dari sistem sosial masyarakat,

sehingga berevolusi menjadi masyarakat terbuka.

Yogyakarta pada masa Pra Reformasi memiliki sistem sosial masyarakat

tertutup. Hal ini ditandai dengan pengaruh kekuasaan rezim Soeharto, di mana

keadaan masyarakat di bawah hegemoni Soeharto, dan semua berlangsung dengan

komando Soeharto. Bidang-bidang dibatasi, terutama dalam kaitannya dengan

agama, partai, pers. Semua harus sesuai perintah dari Soeharto, sehingga hal ini

memengaruhi cara berpikir masyarakat menjadi primordialisme. Perubahan cara

berpikir masyarakat menjadi primordialisme, yang menganggap kelompok, ethnis,

agamanya merupakan yang lebih unggul, membutuhkan waktu yang tidak singkat.

Hal ini ditandai dengan masa jabatan Soeharto menjadi kepala negara yang

panjang dan membentuk hegemoni sehingga berdampak pada pembatasan pada

hal-hal yang dianggap merugikan untuk rezim Orde Baru.

Pada masa peralihan pemerintahan terjadi dinamika sosial yang berbeda,

khususnya pada saat terjadinya pergolakan politik 1998. Masyarakat Yogyakarta

yang dikenal sebagai kota istimewa dengan bentuk pemerintahan dan kesultanan

memiliki ciri khas. Masyarakat Yogyakarta sangatlah cepat menyesuaikan diri

  4  

dengan perubahan atas adaptasi individu masyarakat dari para pendatang yang

bermukim di kota ini. Dinamika masyarakat di Yogyakarta dapat dilihat dari

dimulainya perubahan politik masa Orde Baru ke Reformasi yang berimbas pada

perubahan dalam segala segi kehidupan.

Reformasi di Yogyakarta merupakan tonggak dari dinamika masyarakat

Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta terlepas dari hegemoni Soeharto dan

memasuki tahapan baru untuk menata kembali sistem sosial masyarakat yang

sebelumnya mengalami pembatasan. Masyarakat Yogyakarta yang multikultur

dijadikan sebagai keistimewaan bagi Yogyakarta. Diawali oleh kampanye

menyuarakan damai oleh Partai Amanat Nasional (PAN) di Yogyakarta. Bentuk

kampanye PAN merupakan cara untuk menyuarakan eklektisme budaya Jawa

yang dapat menghormati dan fleksibel terhadap beragam etnis, agama, dan

kebudayaan dari pendatang yang tinggal di Yogyakarta. Pendatang mulai banyak

masuk ke Yogyakarta sejak adanya Universitas sebagai payung dari institusi

pendidikan tinggi untuk mewadahi masyarakat multikultur.

Sultan tidak tinggal diam pada saat terjadi demo besar di Jl. Solo

bertepatan dengan deklarasi Reformasi di Yogyakarta. Sultan langsung turun

tangan ke Jl. Solo untuk memberikan penjelasan bahwa Yogyakarta aman dan

damai. Fakta lainnya adalah tingginya harga tanah di Yogyakarta dikarenakan

Yogyakarta terhindar dari kerusuhan dan terorisme. Yogyakarta sebagai kota

damai dilatar belakangi oleh cara berpikir Sultan yang dipengaruhi tradisi budaya

Jawa. Gagasan pandangan hidup yang didasarkan kultural Jawa terdapat pada

pandangan mistik dan transendental tentang keselarasan antara manusia dengan

  5  

dirinya sendiri, sesama, dan alam semesta serta dengan Tuhan. Hubungan

mikrokosmos dengan makrokosmos sangatlah kuat dalam budaya Jawa

(Nurhayati dkk, 2006: 64).

Masa setelah Reformasi di Yogyakarta merupakan masa pembaharuan dari

sistem pemerintahan daerah karena pelaksanaan pilkada, amandemen undang-

undang, dan pada masa ini merupakan tonggak awal pembaharuan dari runtuhnya

masa Orde Baru. Pola pembaharuan yang terjadi pada masa setelah Reformasi

memberikan perubahan pada dinamika masyarakat. Pengaruh atau dampak yang

ditimbulkan dengan adanya dinamika masyarakat Yogyakarta setelah Reformasi

tampak pada keadaan sosial masyarakat, semua ini menimbulkan dampak yang

signifikan. Perubahan pada sistem sosial masyarakat menjadi titik balik dari

dinamika yang dialami. Sistem sosial masyarakat membentuk sebuah perubahan

cara pandang dalam pengetahuan dari bentuk gejala sosial. Hal ini akan

memengaruhi pola sosial masyarakat jangka panjang karena akan terjadi

perubahan pola sosial masyarakat lama menjadi pola sosial masyarakat baru.

Sosio epistemologi Popper yang berbentuk masyarakat terbuka memberikan

sumbangan penting bagi masa depan masyarakat ilmiah dengan gejala-gelaja

sosial yang ditimbulkan.

2. Perumusan Masalah

a. Apa pengertian dan permasalahan utama sosio epistemologi ?

b. Apa yang menjadi kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund Popper ?

  6  

c. Apa relevansi sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi dinamika

masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004 ?

3. Keaslian Penelitian

Peneliti telah melakukan penelusuran terhadap penelitian-penelitian

sebelumnya yang telah dilakukan pihak-pihak lain terkait masyarakat terbuka Karl

R. Popper. Penelurusan dilakukan dengan dua jalan, yakni penelusuran literatur

kepustakaan dan penelusuran keterangan literatur melalui internet. Penelusuran

kepustakaan mendapatkan penelitian Ichwan Supandi Azis dengan judul “Konsep

Pengetahuan Menurut Karl Raimund Popper (dalam komparasi dengan penelitian

Auguste Comte), pada tahun 1999, untuk memperoleh jenjang Master di Fakultas

Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini merupakan studi komparasi

antara pemikiran Popper dengan Auguste Comte yang dipengaruhi oleh pemikiran

positivisme. Pemikiran Popper dengan Auguste Comte ada perbedaan yang

mendasar. Popper mendasarkan pemikirannya pada rasionalisme kritis dan

empirisme kritis, sedangkan Comte berpijak pada landasan empirik positivistik.

Metodologi Popper adalah deduktif falsifikatif, dengan solusi tentatifnya problem

solving, sedangkan Comte menggunakan metode induktif verifikatif dengan

andalannya observasi, eksperimentasi, dan komparasi. Titik temu keduanya ada

pada kesamaan tujuan, yakni pengembangan, kemajuan, dan kebenaran yang ingin

dicari. Pemikiran Popper secara intensif dapat dijadikan sebagai mitra dialog dan

sarana kritik terhadap setiap problem yang timbul.

  7  

Penelusuran kepustakaan mendapatkan penelitian Soedarso, dengan judul

“Filsafat Demokrasi Karl Popper Dan Relevansinya Bagi Pengembangan

Demokrasi Indonesia”, pada tahun 2010, untuk memperoleh jenjang Doktor di

Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini memaparkan filsafat

demokrasi Karl Popper dan relevansinya bagi pengembangan demokrasi di

Indonesia. Tema ini penting untuk mendukung proses demokratisasi yang sedang

berlangsung di Indonesia, guna mengokohkan landasan teoritik serta menyediakan

bahan-bahan kritis bagi pengembangannya. Penelitian ini menunjukan bahwa

menurut Popper dasar demokrasi adalah masyarakat terbuka, yakni suatu

masyarakat yang dibangun atas pengakuan kemanusiaan universal, kesetaraan hak

dan sifat kontrol terhadap kekuasaan. Hakikat demokrasi bukan pada

penyeragaman tetapi pengakuan atas perbedaan, bukan pula mekanisme

penyelesaian konflik kelas dalam masyarakat tetapi bagaimana menciptakan

komunikasi kritis antar komponenn di dalamnya. Relevansi filsafat demokrasi

Karl Popper terhadap pengembangan demokrasi di Indonesia terletak pada

penekanan penyatuan dua persoalan yakni teoritik dan praksis, yang kemudian

diketahui bahwa penekanaan pada satu aspek teoritik saja seperti penyatuan

ideologis sebagaimana terjadi pada Orde Lama dan Orde Baru justru

menghasilkan pemerintahan totaliter, serta menyisakan persoalan baru bagaimana

mengakomodasi adanya realitas plural dalam teori dan praksis demokrasi

Indonesia. Demokrasi Indonesia era Reformasi mengikuti langkah rasionalisme

kritis dengan menolak tindakan revolusioner yang juga mengembangkan filsafat

  8  

demokrasi Pancasila melalui jalan amandemen konstitusional dan perbaikan

secara terus menerus proses serta kelembagaan demokrasi.

Penelusuran kepustakaan mendapatkan majalah Prisma tentang pemikiran

sosial ekonomi, dengan judul “Masyarakat Terbuka Indonesia: Pesona atau

Persoalan?” (Vol. 30, No. 1, tahun 2011). Majalah ini membahas banyak hal

tentang masyarakat terbuka Karl R. Popper secara luas dari perspektif politik,

ekonomi, pendidikan tetapi tidak cukup mendalam dan hanya review singkat atas

tema tersebut.

Penelusuran melalui sumber kepustakaan mendapatkan penelitian untuk

memperoleh jenjang Master yang dilakukan oleh Canggih Gumanky Farunik di

Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2013. Judul penelitian

yang dilakukan adalah “Dasar Epistemologi Ilmu Kognitif Dalam Tinjauan

Pemikiran Tiga Dunia Karl Raimund Popper”. Peneliti melihat bahwa pemikiran

Tiga Dunia merupakan salah satu pemikiran terpenting Popper, karena merupakan

dasar ontologis dan juga dasar epistemologis dari filsafat Popper. Pemikiran Tiga

Dunia Popper digunakan untuk melihat dasar epistemologis dari ilmu kognitif.

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan pengertian dan permasalahan utama di

dalam ilmu kognitif, dan juga menemukan dasar epistemologis di dalam ilmu

kognitif. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah pemikiran Tiga Dunia

Popper membagi realitas yang terdiri dari dunia fisik sebagai dunia pertama, dunia

proses pemikiran sebagai dunia kedua, dan dunia hasil proses pemikiran sebagai

dunia ketiga. Bentuk epistemologi dari ilmu kognitif dalam tinjauan pemikiran

Tiga Dunia Popper, menjelaskan bahwa pengetahuan objektif didapatkan melalui

  9  

pemahaman atas ”thought content”, kemudian dikritisi oleh justifikasi kebenaran,

tanpa melibatkan proses justifikasi moral.

Penelusuran kepustakaan yang dilakukan juga mendapatkan penelitian

Fuad, dengan judul “Kebenaran Ilmiah Dalam Pemikiran Thomas S. Kuhn Dan

Karl R. Popper: Suatu Kajian Hermeneutika Dan Kontribusinya Bagi Masa Depan

Ilmu”, pada tahun 2013, untuk memperoleh jenjang Doktor di Fakultas Filsafat,

Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini mengkaji pemikiran Kuhn dan Popper

tentang kebenaran ilmiah. Pemikiran Kuhn dan Popper terlihat dalam perdebatan

penting yang berimplikasi dengan kajian Hermeneutika masa kini dan tidak

terlepas dari pemahaman tentang masa depan ilmu. Hermeneutika Kuhn bercorak

fenomenologis karena hanya memahami kebenaran ilmiah berdasarkan fenomena

kemajuan ilmiah, sedangkan hermeneutika Popper bercorak ontologis karena

meyakini adanya kebenaran absolut. Persamaan essensial hermeneutika Kuhn dan

Popper karena mengakui kebenaran ilmiah yang bersifat relatif ideal. Perbedaan

fundamental hermeneutika Kuhn dan Popper karena Kuhn bertitik tolak dari

dimensi deskriptif, sedangkan Popper bertolak dari dimensi normatif.

Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat dikontribusikan sebagai landasan filosofis

pengembangan ilmu, yaitu: wilayah penyelidikan ilmiah (landasan ontologis),

dialektika kemajuan ilmiah (landasan epistemologis), dan menuju kebenaran

absolut transendental (landasan aksiologis). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat

dikontribusikan bagi upaya reintegrasi ilmu dan filsafat, terkait korelasi dan

inkoneksi dimensi empiris dan metafisik, yang sekaligus dapat dijadikan dasar

untuk memahami demarkasi ilmu (sistem pengetahuan empiris) dan filsafat

  10  

(sistem pengetahuan metafisik). Hermeneutika Kuhn dan Popper dapat

dikontribusikan untuk mewujudkan integrasi ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu

kemanusiaan di Indonesia dalam rangka pengembangan IPTEK yang relevan

dengan nilai-nilai etika Pancasila.

Penelusuran melalui internet telah menghasilkan beberapa temuan atas

penelitian yang telah dilakukan. Peneliti melakukan identifikasi terhadap literatur-

literatur yang bersangkutan di internet, yaitu: Karl Popper dan Masa Depan

Masyarakat Terbuka, tahun 2012, ditulis oleh Amin Mudzakkir. Tulisan ini

membahas tentang historisisme Masyarakat Terbuka Popper terhadap cita-cita

bersama. Pada bagian awal, tulisan ini membahas pandangan Popper pada bagian

ontologi dan epistemologi, kemudian memunculkan permasalahan sosial politik

pada masyarakat terbuka. Permasalahan utama yang dibahas pada tulisan ini

diselesaikan dengan sistem penyelesaian masalah dengan rumusan Popper sendiri,

yaitu rasionalisme kritis (Mudzakkir, 2012).

Penelusuran melalui internet ditemukan penelitian dengan judul, Madzhab

Ideologi Open Society dalam Perspektif Islam, ditulis oleh Ali Imron, tahun 2013.

Open society menyangkut realitas sosial empirik masyarakat Indonesia dalam

pluralitas dan perbedaan-perbedaanya. Masyarakat yang dalam komunitasnya

tidak lagi mempedulikan serta mempersoalkan perbedaan tanah air, agama, suku,

bahasa, warna kulit, budaya, adat istiadat dan memiliki cita-cita terbuka dalam

masyarakatnya yaitu untuk membentuk sebuah nation building, construst society

building, conaction humanity, development of mentality, behavior and solidarity

society, nation and state. Open society atau masyarakat terbuka dalam masyarakat

  11  

muslim, setidaknya terdapat dua bahasan; (1) Membahas tentang realitas sosial

empirik masyarakat pluralis, termasuk di dalamnya masyarakat muslim yang

sudah menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam komunitas

masyarakat terbuka, di situ masyarakat muslim dituntut harus melakukan upaya-

upaya nyata dalam merubah sikap eksklusifitas menjadi sikap inklusifitas. (2)

Dalam kajian open society disini masyarakat muslim seharusnya dapat

memposisikan diri dalam wacana humanitas rahmatan lil’alamien yang toleran

(Imron, 2013).

Penelusuran kepustakaan dan internet yang dilakukan peneliti, tidak

menemukan judul yang mirip dengan ini. Hal ini berarti, penelitian ini belum

pernah diteliti atau ditulis oleh orang lain, sehingga penelitian ini dapat diteliti

lebih lanjut.

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi filsafat dan sains, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan

studi sejarah pengetahuan manusia, jembatan komunikasi antar bidang khusus

(antar science), dan bahan refleksi filosofis pengembangan science lebih lanjut.

b. Bagi bidang penelitian terkait, bermanfaat sebagai inventaris kepustakaan dan

wahana diskusi.

c. Bagi peneliti, akan mendapatkan pemahaman menyeluruh dari prinsip-prinsip

umum dan hal-hal khusus tentang pemikiran sosio epistemologi Karl R. Popper

tentang masyarakat terbuka, yang dijadikan acuan pengembangan pribadi.

  12  

d. Bagi Bangsa dan Negara Indonesia, penelitian tentang pemikiran sosio

epistemologi Karl R. Popper tentang masyarakat terbuka dan relevansinya

dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca Reformasi

1999-2004 dapat menyumbangkan khasanah acuan cara berpikir filosofis dan

ilmiah di dalam rangka kemajuan Bangsa dan Negara.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Melakukan pendefinisian pemikiran sosio epistemologi pada umumnya dan

analisis permasalahan utama sosio epistemologi.

2. Melakukan analisis terhadap kekhasan sosio epistemologi Karl Raimund

Popper.

3. Analisis relevansi pemikiran sosio epistemologi Karl Raimund Popper bagi

dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-2004.

C. Tinjauan Pustaka

Karlina Supeli dalam tulisannya berjudul ‘Masyarakat Terbuka Catatan

Kritis untuk Pesona sebuah Konsep’ yang termuat dalam Jurnal Prisma tahun

2011, lebih mengkritisi konsep masyarakat terbuka yang digunakan Popper.

Karlina menjelaskan bahwa Masyarakat Terbuka Popper adalah masyarakat yang

mengandalkan ruang publik untuk menjamin kebebasan setiap individu untuk

menyampaikan pemikirannya, sehingga memungkinkan untuk mengemukakan

daya kritis setiap individu dengan bebas. Konsep Masyarakat Terbuka Popper

  13  

berasal dari logika sains yang melandasi filsafat ilmu Popper yang mengandaikan

bahwa masyarakat dapat menyelesaikan berbagai macam persoalan dengan

pikiran yang jernih daripada menggunakan emosi dan hasrat. Juga disertai dengan

keyakinan bahwa setiap gagasan pengetahuan dan keyakinan bisa saja salah.

Perbedaan bukanlah menjadi penghalang, tetapi semangat untuk membangun dan

menghidupkan ruang publik. Ruang publik menjamin kebebasan setiap individu

untuk menyampaikan pemikirannya dan memungkinkan untuk mengemukakan

daya kritis manusia dengan bebas. Musuh-musuh lainnya yang dimaksud Popper

dalam Masyarakat Terbuka adalah fasisme dan komunisme, serta terdapat bentuk

barunya yaitu, rezim fasis klerik, rezim korup, rezim militer diktator, dan

nasionalisme militan. Popper memiliki dasar landasan bertindak yang kuat tentang

rasionalisme kritis yang juga menjadi landasan dari Masyarakat Terbuka (Supelli,

2011:7).

Masyarakat terbuka merupakan proses panjang perjalanan manusia yang

melaluinya dengan sikap rasional. Masyarakat terbuka lahir dari pemikiran-

pemikiran terbuka anggotanya yang tidak anti kritik dan senantiasa menjadikan

ide-ide dan pandangan anggotanya sebagai esensi dari perbedaan, sehingga tak

harus dihalang-halangi ataupun ditolak. Masyarakat terbuka tidak memerlukan

penyeragaman ide, melainkan membangun identitas dari beragam ide dan

pandangan sebab penyeragaman akan menciptakan masyarakat statis, bukan yang

dinamis. Sikap otoriter memusuhi ide dan pandangan yang berbeda merupakan

musuh masyarakat terbuka (Sihotang, 2010).

  14  

Gombrich dalam tulisanya di The British Journal of Sociologi Desember

1952, menguraikan Masyarakat Terbuka Popper menurut ulasan dari Plamenatz

yang kemudian juga dikomparasikan dengan pandangan Popper tentang

Masyarakat Terbuka dalam bukunya Open Society and Its Enemies. Terdapat dua

hal yang membingungkan pada penyataan Popper. Pertama, Popper menegaskan

permasalahan Plato dengan tergesa-gesa tentang egoisme dan individualisme.

Kedua, Popper mencoba meninggalkan kesan pembaca dengan berhati-hati

menambahkan catatan kaki untuk memperkecil kesalahpahaman. Popper memilih

untuk mendiskusikan Plato, Hegel, dan Marx sebagai yang paling berpengaruh

dari totalitarian utopis dan historis fatalistik tercermin pada masyarakat tertutup

(Gombrich, 1952: 358-360).

Willmoore Kendall menulis artilel dengan judul The ‘Open Society’ and

Its Fallacies tahun 1960, dengan landasan awal dari buku On Liberty ditulis oleh

John Stuart Mill yang berisi tentang permasalahan peradaban masyarakat terletak

pada komunikasi. Di sisi lain Popper juga berikir tantang masyarakat terbuka

yang diawali dengan ide tentang masyarakat tertutup. Pendapat Mill tentang

masyarakat terbuka adalah demokrasi, kebebasan, dan cara untuk memperoleh

semuanya, dan menentang authoritarian, musuh masyarakat merdeka dan

masyarakat totarian (Kendall, 1960: 972-973).

Masyarakat terbuka Popper menurut Alfred Cobban, memiliki cara

pandang historis dan akan melemahkan sehingga tidak perlu dilakukan. Cobban

mengkritik Popper karena fokus dengan permasalahan masyarakat yang dilihat

dengan cara pandang yang berbahaya dan salah. Popper memilih Plato karena

  15  

merupakan penulis dari Republic, dan melihat permasalahannya dengan cara

pandang sederhana memakai banyak pandangan spekulatif subjek (Political

Science Quarterly, 1954: 119). Kritik yang disampaikan Cobban merupakan

kritik yang wajar karena tulisan Popper pada bukunya didasarkan pada konsepsi

positif masyarakat terbuka, meskipun unsur-unsur positif itu juga merupakaan

perbedaan argumen (Cobban, 1954: 124).

Nasionalisme merupakan termin yang muncul dengan adanya masyarakat

terbuka. Popper mengakui bahwa nasionalisme merupakan tantangan yang

mengacaukan, dan akhirnya berbalik pada multikulturalisme di atas kepala dari

idetitas nasional sebagai ras. Popper memberi banyak kesan dari harapan untuk

menyingkirkan dengan memberi contoh pada masyarakat tertutup. Dilain pihak,

nasionalisme merupakan hal yang tidak perlu pada masyarakat tribal dan primitive

karena tidak memiliki nilai. Permasalahan ke dua Popper dari penerapan pembeda

antara nasionalisme dan multikulturalisme. Nasionalisme merupakan penerapan

kepadatan bangsa. Multikulturalisme menurut Popper merupakan penerapan

kemungkinan dialog internal beragam budaya (Vincent, 2005:54-55).

Epistemologi secara historis difokuskan pada inquirers individu yang

menjalankan kepentingan intelektual secara independen satu sama lain. Sebagai

persoalan yang dijelaskan, bagaimanapun juga, apa yang orang tahu dan percaya

sebagian besar merupakan fungsi masyarakat dan budaya mereka. Hal ini

ditafsirkan secara sempit ataupun luas. Sebagian besar dari apa yang kita yakini

dipengaruhi, secara langsung atau tidak langsung, dengan ucapan-ucapan dan

tulisan-tulisan orang lain. Jadi epistemologi sosial layak atau setidaknya sama

  16  

berdiri di samping sebuah sektor epistemologi individu. Hal ini tidak menantang

integritas atau kepatutan epistemologi individu. Goldman siap untuk mengakui

bahwa banyak pengetahuan persepsi individu, pengetahuan memorial, dan

pengetahuan introspektif dicapai secara murni individualistis. Tetapi mengingat

berat dan pentingnya penyebab sosial untuk sektor yang sangat besar keyakinan

kita, sebab-sebab sosial harus menerima proporsi yang jauh lebih besar perhatian

epistemologis dari mereka secara tradisional diterima. Faktor sosial memainkan

peran semakin penting dalam teori saat ini konsep semantik, jenis teori-teori yang

berada di luar ruang lingkup esai saat ini. Meningkatnya minat dalam faktor sosial

juga terlihat dalam literatur epistemologis baru-baru ini, tetapi belum ada

konsensus tentang bagaimana bidang epistemologi sosial harus dibangun atau

dipahami (Goldman, 1999: 3-4).

Sosio epistemologi merupakan sebuah teori pengetahuan bersifat sosial

dan bersifat humanisasi untuk kepentingan sosial kemasyarakatan. Pengetahuan

merupakan sebuah bentuk dari kekayaan kemanusiaan yang didapat dari interaksi

masyarakat. Pengetahuan seharusnya berfungsi untuk kepentingan sosial yang

luas dalam dinamika sosial. Oleh sebab itu, unsur-unsur dari nilai-nilai

kemanusiaan dan sosial budaya menjadi pendorong pertumbuhan pengetahuan.

Nilai kebenaran yang menjadi landasan untuk melihat pola dinamika sosial,

sifatnya majemuk dan selalu membuka kemungkinan untuk dikritisi (Watloly,

2013: 20-22). Sosio epistemologi berorientasi pada pengetahuan dan keilmuan

yang digunakan sebagai jembatan untuk membebaskan diri dari proses

dehumanisasi, yang cenderung membentuk kesadaran naif yang berujung pada

  17  

pseudo-science (Watloly, 2013: 70). Dapat dijelaskan lebih lanjut, bahwa sosio

epistemologi bebasis pada pengetahuan dan keilmuan yang dalam proses

dinamika sosial tidak dapat terlepas dari perubahan kontradiksi sosial, politik, dan

ekonomi yang terjadi dalam masyarakat. Sehingga dalam proses selanjutnya,

sosio epistemologi memiliki posisi sebagai agen pembebasan dari proses

dehumanisasi (Watloly, 2013: 79).

Sudarminta menjelaskan bahwa epistemologi sosial merupakan kajian

konseptual dan normatif tentang dimensi sosial pengetahuan tentang relevansi

hubungan sosial, kepentingan sosial, dan lembaga sosial bagi pengetahuan.

Tujuan dari adanya sosio epistemologi adalah untuk mempertanyakan

kemunculan dari pengetahuan yang tidaklah mungkin ada tanpa adanya pengaruh

dari lingkungan sosial. Keberadaan pengetahuan selalu berkaitan dengan

pengujian kebenaran pengetahuan berdasarkan pengamatan inderawi dan

penalaran (primer), berbeda halnya dengan epistemologi sosial untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan yang biasanya melalui konsensus dan kesepakatan

bersama (sekunder). Epistemologi sosial akan selalu berkaitan dengan

perkembangan ilmu-ilmu sosial. Perkembangan dari episemologi sosial akan

selalu menelaah hubungan individu dan masyarakatnya dalam konteks

pengetahuan akan semakin kompleks. Pemahaman dari pengertian masing-masing

dan hubungan antara pengetahuan dan struktur sosial masyarakat mengalami

prubahan terus menerus. Hubungan keduanya selalu saling berinteraksi sehingga

membentuk realitas yang baru (Sudarminta, 2000: 5-6).

  18  

Epistemologi sosial untuk institusi liberal memenuhi persyaratan

liberalime politik dengan membuat kasus yang kuat untuk institusi liberal tanpa

mengandalkan konsepsi tertentu atau konsepsi moral komprehensif, landasan itu

bukan dalam komitmen untuk memperbaiki moral dan resiko kita semua untuk

bertanggung jawab berdasarkan ketergantungan sosial. Epistemologi sosial

menjelaskan kebijakan menghindari ketergantungan pada permasalahan toleransi.

Hubungan antara epistemologi sosial dengan institusi liberal, ada pada efektifitas

antar disiplin dari epistemologi sosial kemungkinan ada pada masyarakat liberal

karena hanya di masyarakat liberal terdapat kemungkinan akses informasi bebas

tentang proses sosial dan kemampuan dengan kerelaan untuk menyelidiki kondisi

perbedaan rasional epistemik yang menuntut epistemologi sosial (Buchanan,

2004: 129-130).

D. Landasan Teori

Epistemologi adalah bidang kajian tentang pengetahuan. Epistemologi

mencoba mengkaji dan berusaha menemukan ciri-ciri umum dan sifat dasar dari

pengetahuan manusia. Epistemologi pada dasarnya merupakan upaya rasional

untuk menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan

kesadarannya sendiri, lingkungan sosialnya, dan alam sekitarnya. Bertolak dari itu

semua, epistemologi adalah disiplin ilmu yang sifatnya evaluatif, normatif, dan

kritis. Epistemologi merupakan cabang dari ilmu filsafat yang belum cukup jika

hanya memberi penjelasan secara deskriptif, tetapi haruslah bisa memberikan

alasan secara rasional berdasarkan norma atau metodologi epistemik (Sudarminta,

2002: 18-19).

  19  

Persoalan epistemologi berpijak dari pertimbangan kebutuhan bagi hidup

manusia akan landasan dasar pengetahuan untuk mengambil strategi untuk

menentukan pilihan tindakan hidup. Berkaitan erat dengan sistem kebudayaan,

ekonomi, politik, religi, seni, teknologi, bahasa, pendidikan (Pranarka, 1987:19-

20). Hal ini dapat menganalisis permasalahan dan mengambil keputusan untuk

revolusi pengetahuan yang membawa dampak pada kebudayaan. Epistemologi

sering dikaitkan dengan bentuk metode ilmiah sebagai penentu kerangka ilmu

dalam sistem pendidikan. Beberapa bentuk dari persoalan epistemologi

merupakan bagian dari peta ilmu, sejarah perkembangan, sifat hakiki, dan cara

kerja ilmu (Sudarminta, 2002: 28-29).

Sosio epistemologi yang merupakan kajian khusus dari pembahasan tesis

ini, merupakan pengetahuan yang dikaji secara sosial. Kajian sosio epistemologi

mulai dikenal mulai zaman Descartes yang merupakan awal zaman epistemologi

modern (Watloly, 2013: 49). Pembahasan dari sosio epistemologi berkaitan

dengan pengetahuan yang berkaitan dengan individu dan masyarakat, tentang

kepentingan manusia atas kekuasaan ilmiah dalam bentuk klaim-klaim teori,

kebenaran universal, kepentingan kaum elit.

Sosio epistemologi menerima wacana pengetahuan yang terdapat dalam

praktek sosial yang dapat menentukan kebenaran pengetahuan. Praktek sosial

dilakukan oleh pelaku yang berkepentingan terhadap perkembangan pengetahuan.

Pelaku tersebut dinamakan sebagai rezim yang memiliki kepentingan akan

wacana-wacana pengetahuan sosial sebagai jaringan produktif dalam kehidupan

sehari-hari. Wacana pengetahuan yang dibentuk dalam pola sosial dan dari

  20  

karakteristik individu membentuk transformasi pengetahuan secara kultural. Kerja

epistemologi sosial berada dalam lingkaran filsafat transendental yang bertujuan

melakukan kritik, pengujian, analisis, konseptualisasi, negosiasi makna, secara

sistematis untuk menghasilkan pengetahuan berdasarkan relevansi ilmiah yang

objektif (Watloly, 2013: 91-98).

Prinsip kultural dalam perkembangan epistemologi menurut Aholiab

Watloly dalam bukunya berjudul Tanggung Jawab Pengetahuan

Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, dibagi menjadi 4 bagian.

Prinsip pertama adalah prinsip humanitas yang menekankan pada keutamaan

manusia. Kedudukan manusia bukan hanya dalam posisi subjektif, tetapi lebih

pada posisi objektif yang mengarah pada pandangan dasar prinsip nilai dan

pandangan dasar dari pengembangan epistemologi. Pada prinsip pertama ini,

tujuan utamanya adalah untuk mewujudkan citra keagungan manusia sebagai

makhluk yang memiliki kodrat dan berbudaya (Watloly, 2001:183-184).

Prinsip kedua adalah prinsip holistik yang berkaitan dengan bipolaritas

kesadaran manusia untuk mencapai pengenalan akan eksistensi dirinya. Prinsip

holistik ingin menunjukkan bahwa pengetahuan mempunyai sifat analogis.

Kesadaran tidaklah bersifat subjektif murni tetapi memiliki kesadaran objektif

yang memiliki tingkat kejelasan yang berbeda. Pengembangan epistemologi

holistik dimaksud bahwa kebenaran pengetahuan selalu bersifat intersubjektif,

yang saling dipengaruhi dari berbagai aspek. Prinsip ini menunjukkan bahwa

spesifikasi ilmu pengetahuan menjadi penting dalam rangka mensistematisir

seluruh kenyataan dinamika masyarakat yang beraneka ragam dalam kerangka

  21  

keutuhannya yang sifatnya menyeluruh atau yang disebut sebagai holistik

(Watloly, 2001: 196-204).

Prinsip ketiga adalah prinsip tanggung jawab. Aktivitas manusia dalam

komunitas ilmiah memerlukan tanggung jawab yang berkaitan dengan penyebab

salah satu akibat yang telah berlangsung. Pentingnya tanggung jawab dalam

perkembangan epistemologi sudah lama dikenal, pada zaman Socrates dan pada

zaman Plato yang disebut dengan Kritias. Tanggung jawab ilmiah menempatkan

manusia yang memiliki kedudukan di antara manusia-manusia yang lainnya. Hal

ini berkaitan dengan aspek aksiologis pengetahuan. Tanggung jawab manusia

hakikatnya adalah terbatas yang ditunjukan dengan adanya tahapan kodrat

manusia. Tanggung jawab sosial merupakan kerangka dasar bagi pengembangan

epistemologi yang harus memiliki sikap tanpa pamrih, kesadaran etis, sikap

professional dan integritas intelektual, dan integritas religious demi keutuhan

harmoni (Watloly, 2001: 207-221).

Prinsip keempat adalah prinsip kontekstualisasi. Tanggung jawab kultural

merupakan bentuk dari pentingnya kontekstualisasi epistemologi secara khusus

berdasarkan nilai-nilai kultural masyarakat setempat. Prinsip ini bertujuan untuk

memecahkan permasalahan kultural secara langsung maupun tidak langsung.

Epistemologi yang berada dalam kondisi masyarakat tertentu yang berkembang

dengan struktur sosial dan tradisi kebudayaan yang keduanya saling mendukung.

Epistemologi sangat membutuhkan masyarakat dan kebudayaan dalam rangka

merealisasikan keberadaannya secara mendasar. Terdapat tiga alasan yang

mendorong adanya kontekstualisasi dalam rangka pengembangan epistemologi.

  22  

Pertama, globalisasi merupakan bentuk dari evolusi kebudayaan modern yang

telah memberikan perubahan besar dalam pertumbuhan epistemologi yang bersifat

kontekstual. Kedua, permasalahan kontekstual membawa tantangan baru yang

memerlukan jawaban epistemologis yang kontekstual. Ketiga, dinamika

epistemologi yang membentuk dimensi baru dalam perkembangan epistemologi

(Watloly, 2001: 222-224).

E. Metode Penelitian

1. Bahan Penelitian :

a. Pustaka Primer

Pustaka primer adalah karya-karya utama Popper yang terkait dengan

penelitian tesis ini, yakni:

i. Karl R. Popper, 1966. The Open Society and Its Enemies. Vol I. and II.

London: Routledge

ii. Karl R. Popper, 1957. The Proverty of Historicism. London: Great Britain

iii. Karl R. Popper, 1989. Conjectures and Refutations The Growth of

scientific Knowledge. London: Routledge

b. Pustaka Sekunder

Pustaka sekunder, yakni berbagai literatur yang berhubungan dengan

tulisan terkait masyarakat terbuka, dan juga literatur terkait dengan objek formal

Sosio Epistemologi, yakni:

  23  

i. J. Sudarminta, 2002. Epistemologi Dasar Pengantar Filsafat

Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius

ii. Kenneth T. Galllagher. 1982. The Philosophy of Knowledge. New York:

Fordham University Press

iii. Ernst Cassirer, 1950. The Problem of Knowledge, trans. W.H. woglom and

Charles W. Hendel, New Haven: Yale University Press

iv. B. Barnes, 1974. Scientific Knowledge and Sosiological Theory. London

and Boston: Routledge & kegan Paul Ltd.

v. A. M. W. Pranarka, 1987. Epistemologi Dasar: Sebuah Pengantar.

Jakarta: CSIS

vi. Roderick Chisholm, 1977. Theory of Knowledge. Englewood Cliffs, N.J:

vii. Aholiab Watloly, 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan

Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural. Yogyakarta: Kanisius

viii. Aholiab Watloly, 2013. Sosio Epistemologi Membangun Pengetahuan

Berwatak Sosial. Yogyakarta: Kanisius

2. Jalan Penelitian

a. Pengumpulan data kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian

dari berbagai sumber dan wawancara terhadap nara sumber.

b. Bahan yang telah terkumpul kemudian diidentifikasi, dikelompokan

menurut kriteria tema yang telah dipetakan dalam rencana daftar isi.

  24  

c. Analisis bahan dari bahan yang telah diklasifikasi menurut tema persoalan

kemudian dianalisis secara sistematis, sesuai objek formal penelitian, dan

dilakukan sintesis baru.

d. Penulisan dilakukan setelah bahan dianalisa dan dievaluasi, proses

selanjutnya adalah penulisan berdasar sistematika dan urutan yang telah

direncanakan.

3. Analisis Hasil :

Penelitian kepustakaan ini dianalisis dengan metode hermeneutika

filsafati, dengan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Deskripsi, menjelaskan berbagai definisi dari unsur-unsur, dan persoalan

yang terdapat pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper.

b. Koherensi Intern adalah dengan menemukan dan menggabungkan struktur

komprehensif dari persoalan Sosio Epistemologi Karl R. Popper.

c. Interpretasi dilakukan peneliti untuk memahami data yang telah ditemukan

secara objektif tentang Sosio Epistemologi Karl R. Popper.

d. Heuristika merupakan tahapan dimana peneliti berusaha untuk

menemukan hal baru yang terdapat dalam Sosio Epistemologi Karl R.

Popper dalam kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra

Reformasi – Pasca Reformasi.

  25  

F. Hasil Yang Akan Dicapai

1. Inventarisasi data-data tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper.

2. Deskripsi dan uraian secara sistematis metodis tentang pemikiran Sosio

Epistemologi Karl R. Popper.

3. Sebuah tulisan yang komprehensif dan holistik tentang pemikiran Sosio

Epistemologi Karl R. Popper.

4. Pemahaman baru tentang pemikiran Sosio Epistemologi Karl R. Popper dalam

kaitanya dengan dinamika masyarakat di Yogyakarta Pra Reformasi – Pasca

Reformasi 1999-2004.

G. Sistematika Penulisan

Pada Bab I, berisi penjelasan secara umum dan garis besar keseluruhan

tulisan. Secara berurutan terdiri dari bagian latar belakang penelitian, tujuan

penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, hasil yang akan

dicapai, dan sistematika penelitian.

Bab II, berisi pengertian sistematis tentang Sosio Epistemologi, objek

formal dan objek material, persoalan-persoalan umum epistemologi, dan aliran-

aliran utama sosio epistemologi.

Bab III, berisi biografi dan pemikiran Karl R. Popper, peta pemikiran Karl

R. Popper, Masyarakat Terbuka Karl R. Popper dan musuh-musuhnya.

  26  

Bab IV, berisi tinjauan pemikiran umum tentang Sosio Epistemologi Karl.

R. Popper, menguraikan masyarakat terbuka Karl R. Popper, dan permasalahan

yang muncul pada Sosio Epistemologi Karl R. Popper, solusi dan perkembangan

Sosio Epistemologi Karl R. Popper.

Bab V, berisi uraian tentang relevansi Sosio Epistemologi Karl R. Popper

dengan relevansinya dinamika masyarakat di Yogyakarta setelah Reformasi 1999-

2004.

Bab VI, berisi kesimpulan dan saran.